Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 13 Maret 2014

(Cerpen) COAGULATION



COAGULATION
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Inspired By:
Super Junior KRY – Coagulation
Cast:
Umairoh
Darwin
Windy
Lenght:
Oneshot
Disclaimer:
This story is mine, don’t claim it as yours, and don’t bash...
Warning:
Alur ngebut, typo bertebaran, dll
.
.
***
When your cold words reach my heart
In my eyes, without me knowing
Wet dewdrops
.
***
“Hey Darwin... Bagaimana tugas matematikamu? Apa sudah selesai kau kerjakan?”, tanyaku ketika aku baru memasuki ruang kelas.
“Heumm..”, ia mengangguk. Tsssk, orang ini benar-benar irit kata. Tidak bisakah ia mengatakan beberapa kata lebih panjang?
“Hmmm, pulang kuliah nanti apa kau punya acara?”, kembali aku menanyainya.
Ia memutar bola matanya seperti sedang berpikir, “Kurasa tak ada, mungkin aku akan langsung pulang. Memangnya ada apa?”
Tanpa kusadari sudut bibirku terangkat dengan sendirinya, “Kau mau menemaniku ke toko buku? Ada sebuah buku yang aku cari”
Kali ini ia beranjak dari duduknya, aku pikir ia akan menolak ajakanku. “Baiklah, nanti selesai kuliah kau tunggu aku di parkiran kampus. Karena aku harus ke ruang Dosen Pembimbingku, ada yang harus aku urus sedikit”, ia lantas berlalu keluar kelas setelah sebelumnya mengelus puncak kepalaku.
Kali ini aku tak dapat menahan senyumku. Paling tidak pria dingin yang irit kata itu tidak pernah mengabaikan permintaanku sebagai teman dekatnya.
***
“Buku apa yang kau cari?”, tanyanya ketika ia sudah berada di atas motor sportnya dan menyerahkan sebuah helm untuk kukenakan.
“Sebenarnya aku sedang mencari buku untuk mata kuliah Ekonomi Makro”, jawabku dan lantas bersiap duduk di motornya.
“Oh”, hanya itu responnya. Mungkin jika aku baru menganalnya, pasti aku akan berpikir pria ini menyebalkan. Tapi karena aku sudah mengenalnya cukup lama, jadi aku sudah terbiasa dengan kata-kata iritnya itu. Dan justru hal itu yang membuatnya berbeda dari pria yang lain yang kukenal.
Darwin melajukan motor sportnya dengan kecepatan sedang. Aku merentangkan tangan kananku untuk menikmati hembusan angin di sepanjang jalan, sedang tangan kiriku memeluk pinggangnya. “Jangan rentangkan tanganmu seperti itu, nanti kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagaimana?”, ucapnya dingin saat aku sedang asik-asiknya menikmati hangatnya udara sore ini. Aku lantas mempoutkan bibirku kesal, yah meskipun ia tak bisa melihatku.
Karena tak ingin mendengar omelannya di sepanjang jalan, aku pun menuruti perkataannya. Kupeluk pinggangnya dengan kedua tanganku. Tak kusangka, saat kedua tanganku sudah melingkar sempurna di pinggangnya, ia malah mempercepat laju motornya. Tentu saja aku terkejut dan semakin mempererat tanganku yang bertengger di pinggangnya agar tidak terjatuh. Tapi...
Sesuatu yang hangat menyentuh tanganku.
Itu telapak tangan miliknya. Hangat dan lembut.
Damn! Ada apa denganku? Kenapa tubuhku mendadak menjadi beku seperti ini? Dan jantungku, ya Tuhan kenapa jantungku bekerja tidak normal seperti ini?
“Santai saja, tidak usah tegang begitu”, suaranya menyadarkanku dari kebekuan yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhku.
Kutarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar. Kulakukan berulang-ulang untuk meredakan kerja jantungku yang membuat dadaku terasa sakit. Lantas aku berdehem untuk mengurangi rasa canggungku. Canggung? Tssk, yang benar saja. Sebenarnya apa yang terjadi denganku?
“Jadi kau hanya akan duduk di situ?”, lagi-lagi suaranya menyadarkanku. Kuperhatikan sekelilingku. Ya ampun, aku bahkan tidak sadar kalau sekarang kami sudah ada di depan toko buku.
“Ah, i, iya.. iya aku akan masuk. Apa kau mau ikut denganku?”
Pria ini hanya menggeleng, “Kau masuk saja sendiri. Aku akan menunggumu di sini”
“Heum, baiklah. Kau tidak berniat meninggalkanku kan setelah aku masuk? Aku tidak punya uang lagi untuk pulang, jadi kau jangan berpikiran untuk kabur okey”, aku lalu turun dari motornya dan segera bergegas masuk ke dalam toko buku.
“Mer!!”
Aku terkejut mendengar teriakannya. Aku segera berbalik dan menatapnya dengan ekspresi ada-apa-lagi? Ia menatapku dan menunjuk kepalaku, “Oups, hehe. Aku lupa”, kuserahkan helm yang masih bertengger di kepalaku. Oh My, ini karena jantungku yang masih belum normal. Dan hey, ini benar-benar memalukan. Aku lupa untuk melepas helmku.
***
Malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, bahkan mataku semakin terbuka lebar. Biasanya kalau aku tak bisa tidur seperti ini, aku akan menghubungi Darwin. Menelponnya atau sekedar mengirim sms memintanya menemaniku sampai aku terlelap.
Tapi kurasa ia cukup lelah hari ini. Jadi kuputuskan untuk menelpon teman dekatku, Windy.
“Halo Win..”
“Engh.. Halo Mer...”, jawabnya dengan suara sedikit serak. Apa ia tadi sedang tidur?
“Apa kau sudah tidur tadi? Maaf kalau aku membangunkanmu”
“Tidak, aku belum tidur. Aku sedang menonton film, So Close. Ada apa? Tumben sekali kau menelponku tengah malam seperti ini? Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Aku menggeleng. Ah, bodoh. Windy tak mungkin melihatku menggeleng kan? “Aku tak bisa tidur Win”
“Kenapa? Kau banyak pikiran?”
“Heumm, begitulah. Kau tak apa kan kalau aku memintamu menemaniku malam ini sampai aku merasa mengantuk?”
“Hey.. Aku ini temanmu. Jadi tak masalah”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Windy memang teman yang paling perhatian, kami sudah berteman sejak kelas 1 SMA dan sampai kuliah kami masih tetap akrab. “Tapi, bagaimana dengan filmmu?”
“Kau tenang saja... Aku sudah menonton film ini empat kali Mer, haha”
“Tsskk, apa kau tak bosan menontonnya berulang-ulang?”
“Ini film favoritku dear. Oh iya, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan sampai kau tak bisa tidur?”
“Sebenarnya... Win...”
“Hmmm??”
“Kenapa setiap terjadi skinship antara aku dan Darwin, seluruh tubuhku terasa beku? Bukan itu saja, jantungku bahkan berdetak terlalu cepat. Apa yang terjadi denganku Win?”
“Apa tadi kau bilang? Skinship? Hey, apa aku ketinggalan berita?”
“Kau tak ketinggalan satu berita pun Windy sayang”
“Boleh aku menyimpulkan? Yah, ini masih hipotesis sementara dari hasil pemikiranku”
“Apa?”
“KAU MENYUKAINYA DEAR! AKHIRNYA TEMANKU MENYUKAI SEORANG PRIA!! OH TUHAN TERIMA KASIH...”
Astaga anak ini, kenapa dia berteriak seperti itu? Aku sontak menjauhkan ponselku dari telingaku, “Hey, bisakah kau tidak berteriak seperti itu? Dan apa kau bilang?? Aku menyukainya? Ckk, yang benar saja... Aku menyukai pria menyebalkan seperti itu? Ah, aku yakin hipotesis sementaramu itu pasti salah”
Kudengar ia menghela nafas di seberang sana, “Hey ayolah... percayalah pada temanmu yang sudah berpengalaman ini. Kalau kau tak menyukainya, tidak mungkin jika terjadi skinship jantungmu berdebar-debar, dan yang lebih parahnya sampai seperti yang kau katakan tadi, tubuhmu terasa beku. Mer, pekalah sedikit jadi wanita. Kau menyukainya, kau tak bisa menyangkalnya lagi”
“Aku tak menyangkalnya my dear, hanya saja... Menyukainya? Otakku bahkan tidak bisa menerimanya. Dan lagi, apa tadi kau bilang? Peka? Memangnya aku tidak peka kenapa?”
“Otak dan hati memang terkadang tidak sinkron, tapi percayalah padaku. Cobalah kau dengar kata hatimu, berhentilah menutupi hatimu seperti yang kau lakukan selama ini. Dan maksudku peka itu... Apa kau selama ini tak sadar jika selama ini Darwin juga menyukaimu? Pria dingin yang irit kata itu menyukaimu sayang... Semua orang di kelas bahkan bisa melihatnya”
“Jangan bicara yang bukan-bukan Win, kau terlalu banyak menonton drama. Kau bilang Darwin menyukaiku? Hey, kami ini hanya berteman okey... Dan satu lagi, aku tak menyukainya”
“Kau memang bisa menyangkalnya sekarang, tapi nanti kau tak bisa menutupinya lagi. Mungkin sekarang saat kalian baik-baik saja, perasaan itu memang tidak begitu terasa. Tapi saat ia tidak dekat denganmu lagi, perasaan itu akan semakin kau rasakan. Kau akan merindukannya, jantungku semakin berdetak tidak karuan ketika kau memikirkannya dan-“
“Oke stop... Berhenti sampai di situ. Aku tidak ingin dengar apa-apa lagi. Satu yang pasti aku tidak menyukainya dan dia juga tidak mungkin menyukaiku”, lantas aku menghela nafas panjang. Aku menyukai Darwin katanya? Yang benar saja.
“Baiklah, baiklah. Terserah kau saja dear. Yang pasti, aku sudah memberitahumu. Aku hanya berharap kau menyadari perasaanmu...”
“Iya Windy-ku sayang... Terima kasih ya kau sudah menemaniku malam ini. Kurasa aku sudah mulai mengantuk sekarang. Aku tutup telponnya dulu, oh iya jangan tidur terlalu malam, itu tidak baik untuk kesehatan dan juga kecantikanmu okey...”
“Kau ini cerewet sekali... hahaa, baiklah... Selamat malam, mimpi indah dengan Pangeran Darwin-mu itu...”
Biiip.
Sambungan telpon diputuskan sepihak oleh Windy, bahkan aku belum sempat membalas perkataannya. Tskk, anak ini benar-benar.
Baiklah, kurasa aku harus tidur sekarang. Tapi, entah mengapa tanganku bergerak sendiri untuk mengetik sms kepada pria menyebalkan itu.
To: Mr. Darwin
Malam ini begitu banyak bintang... Selamat malam, semoga mimpimu indan^^
Sent
Kurebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk. Hmmm, nyaman sekali. Kurasa malam ini aku benar-benar akan tidur nyenyak. Baru saja mataku benar-benar terpejam, kudengar sebuah pesan masuk. Buru-buru aku menyambar ponselku yang kuletakkan di meja nakas.
From: Mr. Darwin
Bintang-bintang itu akan menemanimu sepanjang malam... Selamat malam, semoga mimpimu juga indah J
Hey... Ternyata dia belum tidur. Aku tak bisa menahan senyumku saat membaca pesannya. Dan malam ini kurasa aku benar-benar akan tidur nyenyak.
***
“Temani aku ke perpustakaan”, katanya di suatu siang usai mata kuliah Matematika berakhir. Pria ini benar-benar. Dia bahkan tidak memintaku menemaninya dengan nada membujuk atau mengucapkan kata tolong, dan anehnya aku tak pernah menolak setiap permintaannya. Atau lebih tepatnya, perintahnya.
“Baiklah”, aku lantas berjalan mengikutinya menuju ruang perpustakaan yang terletak di lantai dua kampus. “Apa kau sudah makan siang?”, tanyaku mencoba basa-basi. Yah, kalau aku tak mengajaknya berbicara, ia takkan mengucapkan sepatah katapun sepanjang jalan sampai kami tiba di perpustakaan. Dan aku benci hal itu.
“Sudah, kau?”
“Heumm.. Aku juga sudah. Kau ingin meminjam buku? Atau membaca buku?”, kembali aku mencoba mengajaknya berbicara.
“Tidur”, jawabnya singkat dan berjalan mendahuluiku. Hey, apa dia bilang? Tidur?
Aku sedikt berlari mensejajarkan langkahku dengan langkah besarnya. “Kau ingin tidur?”, tanyaku lagi saat aku berhasil menyamai langkahnya.
“Mmmh”, dan lagi-lagi hanya jawaban singkat yang keluar dari mulutnya. Oh Mer, sabar... Ingin sekali aku mencakar-cakar wajahnya itu.
Aku mengambil sebuah buku mengenai Akuntansi Pajak di salah satu rak buku saat kami tiba di perpustakaan. Sebenarnya aku tak berniat membacanya, paling tidak aku membawa satu buku kan saat di dalam perpustakaan?
Setelahnya aku mendudukkan diri di salah satu kursi di deretan paling ujung perpustakaan, tepat di samping Darwin. Dan sepertinya pria ini memang berniat untuk tidur, karena kulihat tak ada satu bukupun di atas meja.
“Kau bilang kau ingin tidur kan? Baiklah, nanti kalau sudah sore biar aku yang membangunkanmu”
Dia hanya tersenyum menanggapi kalimatku, lantas ia merebahkan kepalanya di atas meja dengan wajahnya yang ia hadapkan ke arahku. Aku hanya menatapnya, dan... Sial! Lagi-lagi aku tenggelam dalam bola mata hitamnya, seolah ada magnet yang menarikku untuk semakin menyelami dalamnya mata indah itu.
Mataku mengerjap-ngerjap saat aku sadar matanya mulai menutup dan terdengar hembusan nafasnya yang teratur. Entah mengapa aku juga mulai mengantuk, bahkan aku sudah menguap beberapa kali. Aku ikut merebahkan kepalaku di atas meja dengan wajahku yang menghadap wajahnya yang sedang tertidur, wajahnya benar-benar tenang saat tidur seperti ini. Tak lama, aku sudah mulai memasuki alam mimpi, tak tahu apa lagi yang terjadi di sekitar kami.
***
Where they’re from
And how they from over and over even I don’t know
The only thing I know is that I just really hurt
My formerly burning heart is slowly become cold
It seems even I don’t know what to say
or how to hold on to you
How can I, how can I do it
.
“Kau ingin pulang sekarang? Kau tidak ingin makan dulu?”, aku buru-buru mengejarnya saat ia sudah meninggalkan ruang kelas dan berjalan dengan langkah yang tergesak-gesak.
Ia hanya menatapku datar dan kembali melanjutkan langkahnya tanpa menjawab satu katapun pertanyaanku barusan. Ada apa dengannya?
“Kau buru-buru sekali? Apa ada sesuatu yang penting?”, aku tetap tidak mau menyerah dan terus mensejajarkan langkahku dengan langkahnya. Kutatap wajahnya, lantas ia tiba-tiba berhenti dan menatap wajahku dengan ekspressi... Kesal?
“Kenapa? Kau ingin aku antar pulang?”, tanyanya dengan nada dingin. Bahkan sangat dingin, lebih dingin dari biasa ia berkata-kata.
“Eh? Ti, tid tidak.. aku hanya bertanya, kulihat kau berjalan begitu buru-buru, jadi kupikir... Mungkin ada sesuatu yang terjadi”, takut-takut aku menatap wajahnya.
Kulirik dengan sudut mataku, ia menghela nafas berat, lantas kembali berjalan dan meninggalkanku yang masih kebingungan. Ingin sekali aku mengejarnya, tapi langkahku terlalu berat untuk melakukannya. Mungkin ia ada sedikit masalah, jadi kubiarkan ia sendiri. Mungkin saat ini ia memang ingin sendiri dan tidak ingin diganggu.
***
To: Mr. Darwin
Apa kau baik-baik saja? Aku sangat mengkhawatirkanmu tadi siang. Kau sudah makan malam? Jangan sampai terlambat ya... aku tidak mau melihatmu sakit maag lagi...
Sent
Eunggh.. Ini akhir pekan. Dan malam Minggu seperti ini biasanya aku akan menonton K-drama sampai tengah malam bersama kakakku. Seperti malam ini, aku dan kakak perempuanku sedang menonton drama My Love from Another Star, Kim Soohyun pemeran utamanya. Dia adalah aktor idola kakakku. Tsk, sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan Kim Soohyun, tapi berhubung drama ini jalan ceitanya menarik, dan juga ratingnya yang cukup tinggi, aku sangat antusias menonton.
Berkali-kali aku mengecek ponselku, berharap Darwin membalas pesanku. Biasanya ia tidak selama ini membalas pesanku. Apa mungkin benar-benar terjadi sesuatu yang buruk dengannya? Atau mungkin ia sedang sibuk dan tidak sempat membalas pesanku? Oh iya, bisa saja ia sedang bersama teman-temannya. Ini kan malam Minggu. Atau... ah sudahlah, terlalu banyak kata mungkin yang berkelebat di otakku.
Aku kembali fokus dengan drama yang sedang aku tonton. Di drama ini, Kim Soohyun berperan sebagai Do Min Joon, pria yang berasal dari planet lain dan ia sudah berada di bumi selama 400 tahun. Ia bertemu dengan seorang wanita bernama Chun Song Yi yang berprofesi sebagai seorang aktris yang sangat terkenal. Do Min Joon sangat dingin, irit kata, berbanding terbalik dengan Chun Song Yi yang cerewet dan periang.
Tunggu... Kenapa aku tiba-tiba jadi teringat dengan Darwin. Haha, mirip sekali dengan karakter Darwin dan aku seperti Chun Song Yi. Eh, apa tadi aku bilang?
Aku kembali mengecek ponselku, masih tak ada balasan darinya.
Bahkan saat aku sudah beranjak menuju tempat tidur dan bersiap membaringkan tubuhku, masih belum ada tanda-tanda balasan smsnya.
Dan bingo..
Saat aku mulai terpejam, ada sebuah pesan masuk dan aku buru-buru membuka pesan yang masuk tersebut. Ckk, aku pikir dari Darwin.
From: Windy
Mer, besok sore kau tak ada acara kan? Aku ke rumahmu ya... Aku sudah lama tak bertemu dengan ibumu. Tunggu aku besok oke ^^
Aku menghela nafas. Bukannya aku tidak senang karena smsnya Windy, hanya saja sekarang ada sms dari seseorang yang aku tunggu-tunggu.
To: Windy
Oke sayang... Aku akan menunggumu J akan kusiapkan pancake kesukaanmu... Eum, aku ngantuk >.< selamat malam...
Sent
From: Windy
Baiklah, selamat malam JJ
Kulempar ponselku di tempat tidurku. Darwin, sebenarnya apa yang terjadi denganmu?
Kembali aku mencoba memejamkan mataku, dan sialnya saat mataku mulai terlelap dan nyawaku bersiap menuju alam mimpi, sebuah pesan mengagetkanku. Dengan malas kubuka pesan masuk yang sudah mengganggu malam tenangku.
From: Mr. Darwin
Selamat tidur
Apa-apaan ini? Ia membalas pesanku tengah malam seperti ini, dan ia hanya mengucapkan selamat malam? Bahkan tanpa emoticon seperti biasanya. Tssk, aku jadi badmood sekarang. Kembali kulempar ponselku di atas tempat tidur, tak berniat membalas pesannya sedikitpun. Dan untuk ketiga kalinya, aku kembali bersiap menuju alam mimpi. Semoga tak ada lagi yang mengganggu tidurku kali ini.
***
“Apa kau ingin mengerjakan tugas Ekonomi Mikro bersamaku?”, ajakku pada Darwin saat mata kuliah Ekonomi Mikro berakhir. Saat ini kami masih berada di dalam kelas.
Tak ada jawaban. Ia masih sibuk membereskan buku-bukunya untuk di masukkan ke dalam ransel hitamnya. Sedangkan aku sudah bersiap untuk pulang dan berdiri di samping kursinya, menunggu jawabannya. “Maaf, aku tak bisa”, ia lantas berdiri dan bersiap meninggalkan kelas. “Eum, aku duluan...”, lanjutnya saat ia sudah berada di ambang pintu kelas.
Aku menghela nafas. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering sekali menghela nafas, seolah ada beban berat yang menghimpit dadaku. Kulirik ia yang berjalan di luar sana dengan langkah lebarnya. Biasanya aku selalu berada di sampingnya, berlari berusaha mensejajarkan langkah kecilku dengan langkahnya, dan bahkan... pulang bersamanya.
Darwin.. Kau kenapa?
Malam ini aku tak bisa tidur. Kuhadapkan tubuhku ke kanan, ke kiri, telentang, menghitung domba, menghitung capung, tapi mataku malah semakin tidak mengantuk. Aku bahkan sudah membuka akun jejaring sosial agar mataku bisa mengantuk. Kulirik jam weker di meja nakas, pukul setengah dua belas malam.
“Aaaaarrgh”, erangku frustasi. Tak biasanya aku tak bisa tidur seperti ini.
Kuambil ponsel di atas meja nakas, mencari-cari nomor kontak yang bisa kuhubungi saat ini. Tapi, pilihanku tetap jatuh pada Windy. Karena ia satu-satunya temanku yang selalu mengerti keadaanku.
“Eumm.. Halo Mer...”, suara Windy terdengar lemah di seberang sana.
“Kau sudah tidur?”, tanyaku ragu.
“Sebenarnya aku baru mau tidur... Hoaaach”, sepertinya anak ini benar-benar mengantuk. Sebaiknya aku menutup telponnya sekarang, kasihan Windy jika kupaksa menemaniku malam ini.
“Oh, baiklah selamat tidur-“
“Hey, aku masih bisa menahan kantukku. Ada apa hmm? Kau tak bisa tidur lagi?”, ia memotong cepat ucapanku.
“Hmmm, begitulah. Tapi kalau kau ingin tidur, tidurlah... Ini sudah hampir jam dua belas”
“Tskk, ayolah santai saja. Aku masih duduk di atas tempat tidur sekarang ini. Aku ini kuat okey, aku tidak sepertimu yang jam setengah sebelas malam sudah tidak bisa dihubungi kecuali kalau malam Minggu”
Aku terkikih mendengar kata-katanya, “Jadi kau tak apa kalau aku mengajakmu mengobrol?”
“Sampai pagi pun tak masalah, haha”
Aku bahkan tak bisa menahan tawaku, “Win...”
“Apa Mer?”
“Ucapanmu beberapa waktu yang lalu... Saat kau bilang kalau aku menyukai Darwin...”
“Kenapa? Apa kau sudah menyadari perasaanmu? Jadi bagaimana? Apa kau memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengannya?”
“Entahlah Win, bahkan saat aku mencoba menyadarkan diriku tentang perasaanku padanya, ia seperti awan di langit yang sulit di gapai”, aku tertunduk dalam saat mengucapkan kalimat barusan.
“Kenapa? Bukankah kalian cukup dekat? Kurasa tak ada yang menghambat hubungan kalian untuk ke arah yang lebih serius... dan kenapa kau menganggapnya seperti awan yang sulit digapai?”
“Kurasa ia berubah Win...”
“Maksudmu?”
“Dulu ia tak pernah mengabaikanku, meskipun ia bertingkah dingin. Ia tak pernah mengabaikan pesanku atau telpon dariku. Bahkan ia selalu mengajakku pulang bersamanya.. tapi sekarang, tak jarang smsku tak pernah dibalasnya, bahkan telponku tak diangkatnya. Ia semakin bersikap dingin padaku dan seolah mengacuhkanku...”
“Sudah berapa lama ia seperti itu padamu Mer?”
Aku menerawang langit-langit kamar, mengingat sudah berapa lama ia mulai mengacuhkanku. “Kurasa hampir dua minggu ini...”
“Sudah selama itu? Kenapa kau baru memberitahukannya sekarang padaku?”
“Aku pikir itu hanya sementara, mungkin ia ada masalah. Jadi aku biarkan saja dia seperti itu.. Tapi saat aku tanya apa dia ada masalah, ia bahkan mengabaikanku, atau ia hanya berkata ‘Tidak’ dengan nada yang sangat dingin dari biasanya”
“Mer... kau baik-baik saja?”
“Win... Lebih baik seperti dulu saat aku tak menyadari perasaanku. Lebih baik seperti itu dari pada aku baru mulai menyadarinya saat ia mulai menjauh dariku...  Rasanya sakit Win... Disini”, aku memukul-mukul dadaku. Aku tau, Windy tak mungkin melihatnya. Setitik air mata jatuh dari sudut mataku. Aku sendiri tidak tahu kenapa air mata ini datang dari mana, tapi rasanya sakit.
“Mer... Boleh aku beri saran?”
“Hmmm...”
“Jangan menyalahkan dirimu sendiri, mungkin ia sedang mengalami masalah yang tak ingin ia bagi denganmu. Tidak ada yang salah dengan perasaanmu padanya Mer, cobalah suatu waktu berbicara padanya. Sebenarnya aku tidak begitu mengerti dengan keadaan seperti itu Mer... Tapi, kau jangan terpuruk karenya okey.. Semangat sayang”
Kuhapus kasar air mataku. “Iya Win, terima kasih atas pengertianmu. Tapi, menurutmu apa ia menyukai gadis lain hingga ia mengabaikanku?”
“Kurasa tidak. Entahlah, eh maksudku, aku tidak bisa menduganya. Aku tidak ahli dalam menebak-nebak hati pria. Jika kau ada masalah, jangan kau pendam sendiri.. Berbagilah denganku. Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tapi Mer...”
“Iya?”
“Kalau memang Darwin menyukai gadis lain, kau cemburu?”
“Aku tak tahu Win, mungkin yang pasti rasanya sesak di dadaku. Win, apa yang harus aku lakukan? Hiks, aku menyesal terlambat menyadari perasaanku...”, bahkan tanpa sadar aku sudah terisak. Ayolah Mer, ada apa denganmu?
“Mer... Kau menangis? Mer, kumohon jangan menangis... Kau tak perlu menangis karena pria itu,, kurasa kau hanya perlu berbicara baik-baik berdua dengannya. Mer, sudah... jangan menangis”
“Aku tak menangis Win, hiks... aku tak menangis... Sungguh. Aku hanya tak tahu kenapa air mata ini tak bisa berhenti mengalir, hiks”, bahkan menahan agar tetesan air mata ini turunpun aku tak sanggup.
“Aku tahu ini pertama kalinya bagimu merasakannya. Kumohon jangan menangis sayang... Kuatkan dirimu”
Kembali kuhapus dengan kasar air mataku, “Heumm.. aku takkan menangis. Baiklah, selamat malam Win... terima kasih sudah menemaniku dan mau mendengarkan keluhku, maaf aku mengganggu tidurmu malam ini”
“Tssk, apa yang kau katakan? Kita ini teman kan? Kau yakin tak apa? Setelah ini tidur yang nyenyak yah sayang...jangan menangis kumohon”
“Iya Win, aku takkan menangis lagi... Selamat tidur Windy sayang”
“Selamat tidur my dear...”
Biip.
Usai sambungan telpon terputus, satu lagi air mataku jatuh. Aku tak mengerti, ada apa denganku? Bahkan air mata ini tak bisa berhenti mengalir... Apa yang harus aku lakukan?
Darwin, aku merindukanmu.
***
I’m afraid that if I close my eyes they will flow
Even as I look up to the sky
Of the tears that have ultimately become worse
One drop was finally discovered
.
Hari ini tak ada satupun dosen yang masuk mengajar di kelasku. Jadi aku putuskan untuk pergi ke perpustakaan.
“Darwin!”, seruku saat melihat pria itu berjalan ke arah tangga menuju lantai dua. Sedikit berlari aku menghampirinya yang sepertinya terkejut mendengar seruanku. “Kau mau kemana? Apa kau ingin ke perpustakaan juga?”
Bahkan walau hanya sekedar mengangguk atau menggelengpun tidak. Ia hanya menatapku dengan pandangan yang tak aku mengerti. Lantas setelah menatapku sekilas, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai dua -yang bisa kutebak ia juga berniat ke perpustakaan.
Kuhela nafas berat. Lagi-lagi ia mengacuhkanku, seolah aku adalah tersangka kejahatan yang tak pantas dimaafkan. Aku tak tahu apa yang menyebabkan pria itu menjadi sangat dingin seperti itu padaku. Apa aku pernah membuatnya marah? Jika memang iya, seharusnya ia memberitahuku, atau paling tidak ia lebih baik marah saja padaku, jangan bersikap dingin seperti itu.
Walau berat, aku kembali melanjutkan langkahku. Mungkin dengan membaca buku bisa sedikit mengurangi kekalutanku.
Kuambil salah satu buku -The Jungle Book- lantas mencari kursi yang nyaman untuk duduk.
Biasanya aku selalu duduk di kursi deretan belakang bersama Darwin, dan... hey bukankah tadi ia juga ke perpustakaan? Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan demi mencari sosoknya, namun nihil. Apa mungkin ia tak ke sini? Sedikit kecewa saat aku tak menemukannya. Apa mungkin ia tak jadi ke perpustakaan saat ia tahu aku juga akan ke sini? Kenapa ia begitu menghindariku?
Memikirkannya membuatku kehilangan mood untuk membaca. Buku ini sejak tadi hanya aku bolak balik tanpa membaca satu huruf-pun dari rentetan kata yang tertulis di dalamnya.
Aku begitu terkejut ketika melihat tangan seseorang menyodorkan sebuah buku -buku matematikaku- di samping buku yang sedang kubaca, atau lebih tepatnya buku yang tak aku baca. Sontak saja aku menoleh pada pemilik tangan tersebut.
Darwin?
“Terima kasih, maaf baru mengembalikannya”, lantas usai mengucapkan kalimat itu, ia langsung berbalik meninggalkanku dan berjalan keluar perpustakaan. Aku tak tahu ada apa dengan kakiku karena tiba-tiba saja aku berdiri dan mengejarnya yang sudah menghilang di balik pintu perpustakaan.
Aku berlari-lari kecil menuruni tangga, untunglah sosoknya masih dalam jarak pandangku sehingga aku tak perlu mencari sosoknya kesana kemari. “Darwin  tunggu!!”, teriakku karena aku belum bisa menyamai langkahnya yang berada sekitar delapan langkah di depanku.
Ia berbalik dan menatap terkejut ke arahku yang menghampirinya dengan nafas tersengal-sengal. “Bisakah kita bicara sebentar?”
Ia kembali hanya menatapku, dengan kedua tangannya yang ia masukkan ke dalam saku celana. Kuhela nafas sebelum mengeluarkan kata-kataku. “Kau marah padaku?”, tanyaku sedikit ragu sembari menatap manik matanya.
Kulihat ia mengendikkan bahunya, “Untuk apa?”, tanyanya ambigu. Entah maksudnya untuk apa ia marah padaku atau kemarahan yang mana yang ia maksud.
“Kau berubah. Kalau kau memang marah padaku katakan saja, jangan bersikap seperti ini. Aku beberapa hari terakhir ini mengkhawatirkanmu, aku pikir kau sedang ada masalah makanya kau-“
“Jika kau hanya ingin mengatakan hal-hal tidak penting seperti itu lebih baik kau pergilah, tidak usah membuang-buang waktumu”, potongnya cepat sebelum aku selesai mengucapkan kalimatku.
“Darwin, sebenarnya apa yang terjadi denganmu huh??”, tanyaku tak sabar dan menatap tajam kearahnya.
Kali ini ia menatapku dengan pandangan sinisnya, “Sudah kubilang jika kau hanya ingin mengatakan hal-hal yang tidak penting lebih baik-“
“KAU BILANG INI TIDAK PENTING??!!! BAGIKU INI PENTING KAU TAU.....!! Kau berubah! Kau tidak lagi memperdulikanku, kau menganggapku seolah-olah kita ini tidak saling mengenal. Sebenarnya ada apa?!! Tolong katakan padaku. Apa aku sudah berbuat salah? Kau marah padaku?? Tolong katakan padaku dan jangan membuatku bingung!!!...”, tanpa sadar aku berteriak padanya. Memang inilah yang beberapa hari terakhir ini ingin kukatakan padanya.
Ia menatap intens wajahku. “Berhentilah bersikap seperti anak kecil”, jawabnya datar dan kemudian berjalan melewatiku.
Aku menatap tak percaya pada punggungnya yang mulai menjauh. Bersikap seperti anak kecil? Aku?
Kembali aku mengejarnya, “Kita belum selesai bicara”, aku menghadang langkahnya dengan merentangkan kedua tanganku.
Ia hanya memandang malas ke arahku, “Minggirlah”
“Tidak sebelum kau jelaskan semuanya padaku”
Kali ini kulihat ia memutar matanya jengah dan kembali berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Berjalan melewati bahuku, seolah adegan slow motion aku bisa merasakan bagaimana bahunya menubruk bahu kananku dengan cukup keras. Kali ini aku tak berniat lagi mengejarnya.
Kukepalkan kedua tanganku, menahan rasa sesak di dadaku. Sedikit kutahan nafas dan kudongakkan kepalaku menengadah langit-langit koridor kampus berusaha menahan agar tak setetespun air mata yang lolos. Namun sia-sia. Sekuat apapun aku menahannya, satu tetes air mata sudah mengalir di sudut mataku. Dan kini tidak hanya setetes, namun air mata ini sudah membasahi hampir seluruh wajahku.
Aku bahkan tak bisa merasakan tubuhku, kakiku seolah tak sanggup menahan berat badanku.
Kenapa kau bersikap seperti itu Darwin? Apa yang harus aku lakukan?
***
How if I can’t see you again
Then how can I
Tomorrow morning when I unknowingly reach for the telephone
What will I do then
Tell me what to do
I want to smile and leave you with a good image
But when I look at you
The tears ultimately fall down
.
“Hiks, bisakah kau tak usah pergi Mer?”, Windy terisak ketika ia memelukku.
Aku hanya menggeleng dan makin mengeratkan pelukanku pada Windy, “Aku pasti akan sangat merindukanmu Mer”, ucapnya lagi dengan suara bergetar.
“Aku juga Win, aku pasti akan sangat merindukanmu. Siapa lagi yang menjadi teman curhatku dan yang bisa membantu ibuku setiap hari Minggu di kebunnya”, ujarku sedikit bercanda bermaksud mengurangi kesedihannya.
“Apa karena pria itu?”, tanya Windy saat ia melepaskan pelukan kami.
Aku tersenyum dan menggeleng, “Bukan. Kalau hanya karena dia aku tidak akan pindah keluar kota, aku pasti akan mati-matian untuk tetap berada di sampingnya. Tapi ini sudah menjadi keputusan orang tuaku”, kugenggam tangannya dan kembali tersenyum meyakinkannya.
“Tapi bagaimana dengan kuliahmu?”
“Orang tuaku sudah mengurus semuanya. Dan sepertinya... Setelah ini aku akan sangat merindukanmu dan Darwin”
“Eumm, apa kau sudah memberitahunya?”
“Tidak, aku tidak memberitahunya. Kalaupun aku beritahu mungkin ia tidak akan peduli, lagi pula jika aku bertemu dengannya kurasa aku tak akan sanggup menahan air mataku”, sebenarnya aku tidak begitu yakin dengan kata-kataku barusan.
“Tak ada salahnya kan jika kau memberitahunya, meskipun hanya lewat pesan singkat. Bagaimanapun reaksinya nanti, itu tak masalah. Yang jelas kau sudah memberitahunya”
“Heum baiklah. Nanti aku akan mengirim sms padanya”
“Kau janji ya tidak akan melupakanku”, Windy mengacungkan jari kelingkingnya. Aku dengan senang hati mengaitkan jari kelingkingku dengan kelingkingnya.
“Janji”, jawabku.
“Janji kau tidak akan menangis karena Darwin lagi?”
Aku mengerjap-ngerjap karena pertanyaannya barusan. “Hey, tidak usah bingung begitu. Aku tahu, aku tahu. Kau pasti penasaran karena belum menemukan jawabannya kan? Aku mengerti perasaanmu kawan, tapi jangan terlalu sedih tiap kali kau mengingatnya”, Windy tersenyum memandangku.
Aku lantas memeluknya, “Terima kasih ya dear kau sudah menjadi temanku selama ini. Maaf aku belum bisa berbuat banyak untukmu, dan maaf sudah banyak merepotkanmu selama ini”
“Hush, tak apa. Kita pasti bertemu lagi kan nanti? Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau sudah menjadi temanku selama ini”, ia mengelus-elus punggungku.
Kuhapus dengan kasar air mata yang bertengger di sudut mataku. “Baiklah Win, aku berangkat sekarang. Jaga dirimu”, kulepaskan pelukanku dan berjalan ke arah orang tuaku yang sudah menungguku di depan pintu mobil.
“Hati-hati di perjalanan, dan semoga sampai dengan selamat!”, teriaknya dan melambai-lambaikan tangannya. Aku membalas lambaian tangannya. “Jangan lupa kirimi pesan padanya Mer!”
Aku mengangguk dan tak lama kemudian mobil yang kami naiki perlahan melaju meninggalkan rumah yang sudah dua puluh tahun ini menjadi tempat kami sekeluarga bernaung.
To: Mr. Darwin
Aku minta maaf jika selama ini sudah merepotkanmu. Terima kasih sudah menjadi temanku selama ini, dan terima kasih kau sudah membuatku merasakan bagaimana rasanya menyukai seorang pria.
Aku dan keluargaku pindah keluar kota...
Semoga kita bertemu lagi suatu saat nanti ^^
Sent
.
.
.
Fin
***
Cerita ini bener-bener keinspirasi dari lagunya Super Junior KRY “Coagulation”, apalagi waktu nonton live perform Winter Concert mereka di Jepang. Waktu itu Ryewook Oppa nyanyi sambil main piano, terus waktu Kyuhyun dan Yesung Oppa nyanyi penghayatannya itu loh, daebak! Dan tiba-tiba aja aku dapat inspirasi dari lagu iniJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar