Proses Hijrahku
Oleh: Aisyah
Assalamualaikum wr.wb
Untuk ukhti
yang sedang dalam proses hijrah...
Nggak pernah terpikir kalau aku akan pakai kerudung
lebar. Nggak pernah terpikir akhirnya aku menanggalkan celana jeans ketatku dengan rok dan juga gamis.
Aku wanita ahli maksiat-awalnya. Aku memang pakai
kerudung kemana-mana. Ke kampus, ke pasar, jalan sama teman, pokoknya tiap
keluar rumah aku memang pakai kerudung. Tapi, yah kerudungku hanya menutupi
rambutku. Baju kaos ketat dan celana jeans
ketat adalah pakaianku sehari-hari.
Aku memang tahu,
wanita tidak boleh berpakaian seperti itu. Sama saja dengan berpakaian tapi
telanjang. Tapi apalah artinya tahu, jika aku malah melanggar dengan
sangat-tidak-tahu-dirinya.
SD dan SMP aku di sekolah agama. Aku masih taat saat
itu, tanpa pacaran dan tanpa memakai celana jeans.
SMA-ku di sekolah umum. Dan di sinilah awal mulanya aku berpakaian–yang
sekarang kusebut pakaian jahiliyah—super ketat. Saat masuk kuliah kelakuanku
malah bertambah parah.
Kegiatan pacaran jadi rutinitasku. Meskipun saat itu
status kami bukanlah sebagai pacar. Berangkat dan pulang kuliah boncengan
dengan lelaki tanpa malu, sering ber-khalwat
di pojokan taman, dan serangkaian aktivitas maksiat lain adalah makananku
sehari-hari. Bagiku itu bukanlah sebuah kesalahan. Saat itu aku benar-benar
berada dalam jerat setan.
Seperti ukhti
lain yang proses berhijrahnya karena awalnya disakiti pria, begitu pula
denganku. Aku heran kenapa harus disakiti pria dulu, baru aku bisa berubah dan
dekat dengan Allah. Dan seperti ukhti
lain pula aku mulai belajar Islam lebih dalam setelah mengalami gegana a.k.a
gelisah, galau, merana yang tak kunjung terobati. Bahkan yang lebih ekstreme adalah berat badanku turun
sampai 8 kg saat itu hanya karena sakit hati.
Kalian tahu rasanya setelah aku belajar Islam? Sakit.
Rasanya tercabik-cabik hati ini. Sakit karena aku sering mengabaikan Allah.
Sakit karena aku tak pernah menghadirkan Allah dalam sholatku. Sakit karena
waktuku selama 20 tahun di dunia terbuang percuma. Mungkin itu sebabnya
sholatku tak pernah khusuk, karena maksiat yang senantiasa aku jalani.
Melihat wanita berjilbab, berkerudung lebar, berkaus
kaki, aku menganggap mereka terlalu kolot. Mereka hanya wanita yang anti sosial
dan terlalu berlebihan berpakaian. Ternyata aku salah T_T betapa memalukannya
aku dulu di depan wanita-wanita yang berpakaian syar’i L
Aku malu. Aku malu sebagai mahasiswi di kampus tapi
otakku tak pernah kupakai untuk mengingat Allah. Tak ada artinya gelar sarjana
nanti yang akan kudapat jika Allah tak ridha padaku. Tak ada artinya IP
cumlaude karena IP-ku tak bisa menuntunku ke surga. Bahkan karena kelakuanku,
aku bisa menjerumuskan orangtuaku ke dalam neraka, naudzubillah...
Ya Allah, hamba salah L L ampuni hamba-Mu ini ya Allah
;( Astaghfirullah...
Proses hijrahku cukup panjang ukhti...
Awalnya aku hanya mendekat pada Allah karena “dia”
menyakitiku. Setelah “dia” kembali baik, aku kembali lagi seperti dulu. Niat
untuk berkerudung lebar tak jadi kurealisasikan. Niat untuk mendekat pada Allah
tak juga kulakukan. Aku kembali lagi bermaksiat seperti sebelum “dia”
menyakitiku. Tapi, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Allah yang Maha
Membolak-balikan hati. Ada yang berbicara dan berbisik di hati, “Berubahlah
karena Allah, Allah nggak mau kamu terus bermaksiat. Umur kamu semakin
berkurang setiap hari...”
Aku teringat kalimat pada sebuah artikel yang pernah
kubaca: “Jika hidayah itu datang, tangkap
dan jangan lepaskan lagi. Karena bisa jadi tak kau dapati lagi hidayah itu di
lain waktu.”
Subhanallah... pelan-pelan aku mengganti
celana jeans dengan rok. Aku
menabung, menyisihkan uang gajiku untuk membeli rok dan gamis—sisanya untuk
membayar SPP kuliah—dari hasil kerja sambilanku di toko tas milik Pamanku. Aku
tak bisa meminta uang pada orang tuaku karena penghasilan ayah hanya cukup
untuk keperluan di rumah sehari-hari. Lalu mengganti kerudung tipisku dengan
kerudung tebal dan lebar. Kadang aku juga bergamis, tapi gamisku masih belum
banyak. Aku hanya punya tiga gamis. Lantas beberapa minggu setelah aku
benar-benar tak bercelana jeans, aku
mulai memakai kaos kaki.
Rasanya indah ukhti.
Aku nggak bohong rasanya benar-benar damai J
Aku juga mulai suka membaca kisah hijrah para saudari
yang karena cintanya pada Allah, pun mempelajari agama Islam lebih dalam.
Ternyata pengetahuanku akan Islam benar-benar dangkal. Aku hanya tahu sebatas
sholat, puasa, zakat, membaca Al-Qur’an. Banyak hal yang tak aku tahu tentang
agamaku sendiri. Komunikasi tak penting dengan ikhwan-pun mulai aku kurangi.
Justru tanpa pacaran, hati ini damai. Seriusan deh,
nggak ada gunanya pacaran kalau tiap waktu yang didapat malah dosa. Kebanyakan
yang pastinya adalah dosa zina, zina mata karena sering memandangnya, zina hati
yang selalu mengingatnya, zina—ah ... yang jelas lebih banyak mudharatnya.
Meskipun awalnya sungguh berat menjauh darinya yang
telah mengisi hari-hariku, tapi aku mencoba melawan perasaan itu. Jika memang
benar kami berjodoh, nanti kami pasti akan dipertemukan dalam keadaan halal.
Tapi tidak untuk kadaan sekarang. Itulah yang menguatkanku untuk terus berubah.
Ber-khalwat itu nggak ada gunanya,
dan belum tentu dia jodoh kita.
Dan tentu ukhti
tahu banyak sekali cibiran di sana-sini. Terutama dari teman-teman di kampus,
dan yang lebih menyakitkan cibiran dari saudara sendiri.
“Nggak usah sok alim tapi kelakuan bejat”
“Kamu
berkerudung lebar kayak emak-emak tau nggak”
“Kamu kelihatan gendut pake gamis”
“Apa nggak panas tuh kerudung lebar? Pake kaus kaki
pula”
“Ah, ngapain sih pake gamis segala, ntar aja habis
nikah”
Dan bla bla bla ucapa-ucapan lain yang bikin goyah.
Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk tak terpancing perkataan-perkataan
seperti itu.
Aku masih dalam proses hijrah ukhti...
Bantu do’a-kan aku untuk tetap istiqomah dalam berhijrah. Hijrah itu benar-benar indah setelah aku
mengalaminya sendiri. Untuk ukhti
yang juga masih dalam proses hijrah sepertiku, yuk kita mantapkan hati Lillahita’ala ^^
Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar