Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Jumat, 23 Mei 2014

(Cerpen) Give Your Heart A Break



GIVE YOUR HEART A BREAK

.
.

Inspired By:
Demi Lovato – Give Your Heart A Break

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.

***

The day I first meet you
You told me you’d never fall in love
But now that I get you
I know fear is what it really was

***

Entah bagaimana awalnya kami bisa sedekat sekarang. Dia atau aku yang memulai berkenalan, aku tak ingat. Tapi mengingat dia yang cukup pemalu, kurasa akulah yang lebih dulu mengajaknya berkenalan. Ah, iya aku ingat. Dulu ketika kami pertama kali masuk kuliah setelah masa Peka Kampus, aku sama sekali tak mengenal gadis itu. Tentu saja karena kami memang tidak pernah bertemu sebelumnya. Tidak hanya tidak mengenalnya, aku bahkan tak menyadari eksistensinya di dalam kelas.

Aku yang selalu duduk di bangku bagian belakang bersama teman-temanku, tak pernah menyadari adanya gadis itu di dalam kelas. Ia selalu duduk di kursi deretan paling depan, bahkan bisa kubilang terlalu dekat dengan meja dosen. Belakangan aku baru mengetahui bahwa matanya tidak bisa melihat tulisan di papan tulis ataupun di layar LCD dari jarak jauh.

Pada awal perkuliahan, salah seorang temannya yang bisa kukatakan sikapnya cukup friendly, sering meminjam catatanku –karena-aku-cukup-rajin-mencatat- dengan dalih ia selalu ketinggalan catatan. Karena ia seorang gadis, tentu saja aku dengan senang hati meminjamkan bukuku padanya. Namun kejadian ini terus berlanjut hingga aku merasa cukup jenuh meminjamkan buku catatanku. Tapi untunglah ia tidak lagi melakukannya karena setelah perkuliahan berlangsung hampir satu bulan, ia menjadi lebih akrab dengan salah satu temannya yang duduk di sampingnya. Mungkin ia meminjam buku cacatatan temannya itu.

Gadis yang duduk di sampingnya itu bagiku cukup misterius. Gadis itu tak banyak bicara, ia cukup rajin mencatatan segala penjelasan dosen termasuk hal-hal sekecil apapun. Hingga rasa penasaranku mencuat mengenai gadis itu. Kutanyakanlah mengenai gadis itu pada temannya yang dulu sering meminjam buku catatanku.

Berawal dari kami yang satu kelompok mengenai presentasi salah satu mata kuliah, aku mencoba meminta nomor ponselnya pada temannya dengan alasan untuk bertanya mengenai tugas kelompok. Dan untunglah tanpa ba bi bu temannya langsung memberikan nomor ponselnya padaku.

Awalnya aku berbasa-basi menanyakan mengenai kebenaran nomornya, apakan nomor yang aku dapat benar-benar nomor ponselnya atau bukan. Dan aku cukup kecewa karena sekian lama aku menunggu ia tak kunjung membalas pesanku. Namun keesokan harinya ia baru membalas pesanku –yang bisa kukatakan sudah basi- dan ia beralasan kemarin ia kehabisan pulsa dan tidak sempat mengisinya.

Dan dari sms basa-basi itu akhirnya sekarang kami menjadi teman yang cukup dekat. Bukan hanya cukup dekat, tapi sangat dekat. Dari sekian banyak teman-wanita-ku ia adalah satu-satunya yang berbeda. Entahlah, aku merasa semacam ada kesamaan antara aku dan dia. Mungkin mengenalnya adalah takdir. Tidak hanya sekelas, nomor absen kami berdekatan, dan aku bahkan tidak menyangka kalau kami berasal dari sekolah yang sama di Senior High School. Hanya saja ia lebih dulu lulus setahun, dan baru bisa masuk kuliah di tahun ini. Tapi itu bukan berarti ia lebih tua dariku. Kami lahir di tahun yang sama, hanya berbeda bulan. Ia di bulan-bulan awal tahun sedangkan aku di bulan-bulan akhir tahun. Dan memang jika dilihat dari hitungan bulan, ia memang lebih tua dariku.

Sekalias memang tidak ada yang menarik dengan pertemuan awal kami. Sama seperti kebanyakan kisah orang lain. Tapi aku sangat menyukai bagaimana cara ia merespon setiap pesan yang kukirim untuknya. Hingga tanpa kusadari ternyata hampir setiap malam kami selalu melakukan aktivitas yang bahkan tanpa kami sadari menjadi seperti hal yang wajib harus kami lakukan, yakni saling mengirim pesan singkat, bahkan sampai hampir tengah malam. Yah meskipun tidak sepenuhnya tengah malam, karena gadis itu sudah akan terlelap jika jarum pendek jam di malam hari sudah menunjuk angka 11. Sekarang aku sudah terbiasa dengan kehadirannya.

***

Aku pernah mengatakan padanya agar tidak jatuh cinta denganku. Sebenarnya ada alasan khusus kenapa aku mengatakan seperti itu. Dan ia juga mengatakan hal yang sama, agar aku tidak hatuh cinta dengannya dengan alasan ia takut suatu saat nanti ia menyakiti perasaanku. Well, sebenarnya alasannya kurang bisa kuterima. Atas dasar apa ia menyakitiku? Kurasa ia cukup baik sehingga tidak mungkin ia melakukannya.

Tapi aku mencoba untuk menerima permintaannya untuk tidak jatuh cinta dengannya. Ia bilang biarkan cinta itu tumbuh antara seorang sahabat dengan sahabatnya, bukan antara seorang pria dan wanita. Jadi sekarang aku mencoba dan bahkan sudah terbiasa membiarkan rasa di hatiku berkembang untuknya sebagai seorang sahabat. Persahabatan antara pria dan wanita bukan hal yang aneh kan?

Ia pernah bilang kalau ia tidak akan jatuh cinta dengan seorang pria-pun. Aku tentu saja bingung. Saat kutanyakan kenapa ia tidak akan jatuh cinta dengan pria, ia bilang ia hanya tidak ingin. Ia bilang takut tersakiti, karena banyak sekali teman-temannya yang terlihat menyedihkan karena cinta. Dan ia tidak ingin menjadi menyedihkan seperti itu, terlalu melankolis dan ia sangat membenci hal itu. Aku hanya terkekeh menanggapi perkataannya.

Suatu hari aku pernah mengabaikan pesannya. Ia benar-benar takut saat itu. Aku tidak benar-benar tidak ingin membalas pesannya, hanya saja saat itu aku sedang dalam keadaan kacau. Hingga setelah keadaanku cukup baik, aku bertanya kenapa ia takut? Ia bilang kalau dulu saat di Senior High School ia juga punya teman laki-laki dan mereka cukup akrab bahkan lebih akrab dari pada aku dan dia sekarang. Tiba-tiba suatu hari temannya itu berlaku dingin padanya yang ia sendiri sampai detik ini tidak mengetahui penyebabnya. Kejadian itu terjadi saat ia di tingkat akhir dan mendekati masa-masa Ujian Nasional.

Hingga mereka lulus tak ada kesan baik yang bisa ia tinggalkan untuk temannya itu. Bahkan mereka seolah orang asing yang tidak mengenal sama sekali. Ia bilang saat itu ia rasanya begitu membenci masa SMA-nya. Rasanya sungguh menyedihkan kehilangan teman yang sudah dekat dengan kita dan sangat kita percayai bukan?

Ia bilang ia takut terlalu dekat denganku karena ia takut kejadian seperti di Senior High School dulu terulang kembali. Aku meyakinkan dirinya kalau aku tidak akan menjadi seperti temannya dulu. Awalnya ia begitu ragu, namun aku berusaha meyakinkannya kalau aku berbeda dengan temannya. Hingga akhirnya sampai sekarang kami saling mempercayai satu sama lain.

***

Now here we are
So close yet so far
Haven’t I passed the test
When will you realize
Baby, I’m not like the rest

***

Aku adalah seorang pria yang cukup dekat dengan banyak wanita, bukan karena aku seorang play boy. Aku hanya respect terhadap wanita dan itu mungkin sebabnya banyak wanita yang dekat denganku. Terutama di dunia maya. Bahkan aku sangat dekat dengan seorang gadis yang kuliah di salah satu Universitas terkenal di Indonesia jurusan Bahasa Inggirs. Meskipun kami hanya saling mengenal lewat sosial media, namun ada sejenis ketertarika antara aku dan dia. Kami saling chatting dengan menggunakan bahasa Inggirs. Yah bisa dibilang ia berbeda dengan sahabatku karena sahabatku tidak bisa berbahasa Inggris. Setiap aku mengucapkan kalimat Bahasa Inggris, ia pasti akan merespon dengan bahasa Indonesia.

Aku dan gadis yang kukenal di dunia maya ini semakin akrab. Setiap hari kami selalu chatting, namun aku membagi waktuku dengan sahabatku. Ada waktuku dengan sahabatku, ada waktuku dengan gadis itu.

Hingga kuceritakan mengenai gadis itu padanya. Awalnya ia merespon dengan cukup baik. Aku menceritakan tentang gadis itu mulai dari hal-hal menyenangkan hingga kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan gadis itu. Pada suatu hari, aku menyatakan ingin menjalani hubungan yang lebih serius dengan gadis yang kukenal di dunia maya itu. Ia cukup terkejut, namun ia tetap mensupport-ku. Ia memberiku semangat untuk menjalin hubungan dengan gadis itu.

Sampai suatu hari aku akhirnya menjalin hubungan dengan gadis itu. Ia memberi selamat untukku. Namun kurasa ada yang berubah dengannya. Aku sangat mengenalnya, aku bisa melihat kondisinya meskipun dari isi sms-nya. Sikapnya tiba-tiba sangat dingin padaku. Ia bahkan terlihat acuh bahkan terkesan angkuh terhadapku. Aku mulai berpikir, apa aku sudah melakukan suatu kesalahan?

Aku menyimpulkan sendiri kalau dia mungkin saja cemburu terhadap hubunganku dengan gadis itu. Namun ia menampiknya. Dengan dinginnya ia mengatakan mulai sekarang aku dan dia harus menjaga jarak. Itu demi kebaikanku. Aku cukup bingung, kenapa ia ingin ada jarak antara aku dan dia? Apakah dia membenciku?

Ia bilang ia tidak ingin merusak hubungaku dengan gadis itu. Ia bilang sebagai sahabat yang baik ia harus melakukan yang terbaik yang bisa ia lakukan untukku. Ia bilang dengan saling menjaga jarak, maka tidak akan ada kesalahpahaman yang terjadi suatu saat nanti. Ia takut kekasihku akan membencinya. Ia takut kekasihku mengira yang bukan-bukan antara aku dan dia.

Aku menyangkalnya kalau aku tidak bisa menjaga jarak dengannya. Ia memaksaku untuk tetap mengikuti permintaannya. Jujur permintaan itu cukup berat dan aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa melakukannya atau tidak. Bayangkan bagaimana perasaanmu jika kau menjaga jarak dengan sahabatmu? Sungguh tidak nyaman bukan? Bahkan aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Jika ia menjauhiku, lantas apa yang harus aku lakukan?

Ia bilang semua pria itu sama saja. Aku mengernyit heran, apa maksudnya? Hey, aku berbeda dari pria kebanyakan. Aku sebenarnya takut jika ia mengira aku sama saja dengan temannya saat di Senior High School dulu. Aku bersumpah aku tidak akan menjadi seperti temannya dulu. Aku berbeda. Aku akan terus menjadi sahabatnya tak peduli apapun yang terjadi.

***

Don’t wanna break your heart, Wanna give your heart a break
I know you’re scared it’s wrong
Like you might make a mistake
There’s just one life to live
And there’s no time to waste... to waste
So let me give you heart a break, Give your heart a break
Let me give your heart a break, Give your heart a break

***

Hingga beberapa hari ia berlaku dingin denganku sejak resminya aku menjalin hubungan dengan gadis itu. Aku tak tahu siapa yang salah di sini. Jika memang ia cemburu katakan saja. Toh bukannya dulu pertama kali ia mengatakan agar rasa cinta yang tumbuh di antara kami hanya sebagai perasaan antara sahabat dengan sahabatnya? Jadi kenapa ia seperti ini denganku.

“Sebenarnya kau marah kan jika aku  menjalin hubungan dengan gadis itu?”, aku mencoba mencari jawaban yang sangat mengganjal dipikiranku.

“Cemburu? Siapa? Aku? Tssk.. aku tidak mungkin cemburu okey...”

Tapi aku masih tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Hingga sekali lagi aku meyakinkannya, “Lantas kalau kau tidak cemburu, kau kenapa? Senbenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau berusaha menjauhiku?”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Lantas aku kembali melanjutkan pertanyaanku, “Apa kau takut terjadi kesalahpahaman nanti? Itu tidak mungkin terjadi. Kau kan sahabatku. Aku tidak akan membuatmu terlibat masalah antara aku dan kekasihku”

Ia hanya menatap datar padaku, membuatku terdiam untuk beberapa saat. “Aku hanya tidak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali”

“Kau tidak percaya padaku? Aku sudah mengatakannya bukan, kalau aku tidak akan melakukan hal yang sama dengan temanmu itu”, aku memelas bahkan bisa dikatakan sudah frustasi saat ini.

“Hmm.. Aku percaya kok”, ia mengangguk lemah dan dengan sedikit senyum paksaan ia tunjukkan padaku.

“Kurasa kau tidak sepenuhnya percaya padaku”, aku menghela nafas panjang. “Sebenarnya kau takut aku akan menjauhimu atau kau takut aku tidak bisa dekat lagi denganmu karena kekasihku?”

“Keduanya”, jawabnya cepat.

Sudah kuduga, dua hal inilah yang beberapa hari ini berkelebat di pikiranku. “Aku berjanji tidak akan pergi darimu tanpa alasan. Kita akan selalu bersahabat sampai kapanpun... Jadi kau hanya cukup percaya padaku, mengerti?”

“Tapi kekasihmu bagaimana?”

“Kau sahabatku, maka berlakulah sebagai sahabatku. Tidak perlu takut dengan hal-hal yang masih kemungkinan dan bahkan tidak terjadi.. Aku harap, kita bisa kembali seperti dulu”, aku menatapnya dengan penuh harap.

Ia juga menatapku dan manik matanya mengatakan ia sedang berusaha mempercayaiku, “Baiklah, aku akan mencoba”

Aku merangkul pundaknya, meyakinkannya kalau aku adalah sahabat terbaik yang pernah ia miliki. Meyakinkannya kalau ia takkan menyesal menjadi sahabatku. “Aku akan menjagamu sampai kapanpun”

Ia mengangguk pelan dan bisa kulihat ia menyunggingkan senyum tulus meskipun matanya masih mengatakan ia meragukanku.

***

On Sunday you went home alone
There were tears in your eyes
I called your cell phone my love
But you did not reply

***

Beberapa hari ia mengabaikanku. Aku cukup khawatir jika terjadi sesuatu dengannya. Aku sudah sering menelponnya, namun ia tak pernah mengangkat panggilan telponku. Sudah ratusan pesan yang kukirim padanya namun tak ada satupun ia  balas. Hingga aku putuskan untuk mendatangi rumahnya di hari Minggu saat kami sedang libur kuliah.

Saat aku datang ke rumahnya, ternyata ia tak ada. Aku bingung, kemana ia di hari Minggu seperti ini? Biasanya ia paling anti pergi kemana-mana di hari Minggu, gadis itu lebih memilih untuk berdiam  diri di rumah. Aku memutuskan untuk menunggunya beberapa saat. Dan untunglah tak lama kemudian akhirnya ia datang. Namun ada yang aneh dengannya. Matanya sembab. Dia menangis?

Segera kuhampiri ia yang sepertinya terkejut melihat kedatanganku di rumahnya. “Kau kenapa? Kau menangis?”, kusentuh pelan bahu kanannya.

Ia menggeleng, lantas memelukku. Aku cukup terkejut namun kubiarkan ia memelukku beberapa menit hingga ia merasa tenang. Aku mengelus punggungnya mencoba menenangkannya. Sampai akhirnya ia benar-benar sudah tenang, aku menariknya untuk duduk di bangku di halaman rumahnya. “Ada apa”, tanyaku pelan.

Kulihat ia mengigit bibir bawahnya berusaha menahan agar cairan bening tidak turun dengan leluasa dari matanya. “Jangan menangis...”, kusentuh pelan punggung tangan kirinya. “Jangan pendam masalahmu sendiri..”

“Ak, aku..”, suaranya serak. Aku tahu ia sedang berusaha mengeluarkan suaranya. “Aku menyukai seorang pria sejak aku masih di SMA. Bahkan sampai sekarang aku masih menyukainya. Aku mengenalnya lebih dulu jauh sebelum aku mengenalmu. Pria itu datang dan pergi sesuka hatinya, hiks,,, dia anggap aku ini apa? Kadang ia tak ada kabarnya cukup lama, namun tiba-tiba ia datang dengan kehangatannya. Namun tak lama ia pergi lagi...”, lagi-lagi ia mengigit bibir bawahnya.

Aku terkejut mendengar pernyataannya. Benarkah ia menyukai seorang pria? Tapi kenapa ia tak pernah menceritakannya padaku?

“Kau mungkin memang lebih menyebalkan darinya, tapi setidaknya kau selalu bersamaku, selalu berada di sisiku kapanpun.. tapi aku bodoh, aku malah menyukai pria itu. Seharusnya aku menyukaimu saja”, ia berusaha untuk tersenyum namun akhirnya gagal.

Aku menatap nanar padanya. Ia benar, seharusnya ia menyukaiku saja. Kenapa ia harus menyukai pria menyebalkan itu? Meskipun aku tak tahu siapa pria itu, tapi aku tidak terima jika ia menyakiti sahabatku.

“Jangan menangis.. Sudahlah, lupakan saja pria itu, kau harus kuat.. Jangan menangis hanya karena pria itu”, aku mengelus puncak kepalanya.

Ia tiba-tiba menepis dengan kasar tanganku yang sedang mengelus kepalanya, “Kau pikir aku bisa melupakannya dengan mudah huh? Kalau aku bisa aku pasti sudah melakukannya dari dulu... Sekarang bahkan sudah lebih dari tiga tahuh tapi aku sama sekali tidak bisa melupakannya. Jangankan untuk melupakannya, berusaha menjauhinyapun aku tak bisa”

Aku terkejut kenapa ia tiba-tiba sekasar itu padaku saat aku menyuruhnya melupakan pria itu. “Tapi-“

“Ah sudahlah. Kau tidak tahu apa-apa tentang perasaan gadis yang sedang patah hati”. Ia berjalan meninggalkanku dan masuk ke dalam rumahnya. Aku benar-benar tak habis pikir, kenapa ia menjadi sangat sensitif seperti  itu? Ah bodoh. Kenapa aku tidak bertanya siapa pria itu? Ckk.

***

‘Cause you’ve been hurt before
I can see it in your eyes
You try to smile it away, Some things you can’t disguise
Don’t wanna break your heart
Baby, I can ease the ache, the ache
So let me give your heart a break , Give your heart a break
Let me give your heart a break, Give your heart a break

***

Hari ini usai pulang kuliah, ia menghampiriku dengan senyumannya yang sudah lama tidak kulihat. Kurasa saat ini ia sudah melupakan kesedihannya mengenai pria yang sudah mengacaukan perasaannya. Aku bersandar di pagar gerbang kampus menunggunya hingga ia tiba di hadapanku.

“Kau akan langsung pulang?”, ia melirik pada helm yang sedang kupegang.

“Yah begitulah. Ada apa?”

Matanya langsung berbinar lantas menarik lenganku dan membawaku ke parkiran kampus persis di depan motorku. “Hari ini kau tidak boleh langsung pulang. Temani aku jalan-jalan dulu yah”, kali ini ia menunjukkan sebuah cengiran di tambah puppy eyes-nya yang entah sejak kapan ia bisa melakukannya. Padahal selama ini yang kutahu ia jarang sekali bisa seceria ini.

Aku menautkan kedua alisku bingung. Yang benar saja, selama ini setiap pulang kuliah ia pasti akan langsung pulang dan tidak pernah akan pergi kemanapun bahkan saat aku memintanya menemaniku untuk mampir sebentar ke toko buku ia tidak mau. Aku lantas menyentuh pelan dahinya, “Kau tidak sakit kan?”

Ia langsung menatap tajam padaku dan segera menepis tanganku, “Memangnya ada yang salah? Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar.. ayolah, yaa”, ia kembali menunjukkan puppy eyes-nya padaku membuatku terkekeh melihat tingkahnya.

“Tssk, baiklah... Jadi kita akan kemana?”, aku segera naik ke atas motor dan tanpa kusuruh ia juga sudah langsung duduk dengan nyamannya di belakangku.

“Bagaimana kalau kita ke kedai es krim yang baru buka di dekat rumahku?”

“Hey.. Bukannya kita akan jalan-jalan? Kenapa harus ke kedai es krim? Dan lagi, kedai itu dekat dengan rumahmu, jadi-“

“Jadi kau bisa langsung mengantarku pulang”, ia memotong cepat perkataanku.

“Itu sih bukan jalan-jalan..”

“Ayolah cepat jalan”, ia mengguncang-guncangkan bahuku.

“Iya-iya...”, aku kembali hanya bisa terkekeh melihat sahabatku ini.

***

“Kau pilih es krim tiramissu sama sepertiku saja ya, biar aku yang traktir kali ini”

“Ckk, mana ada orang yang mentraktir tapi memaksa pilihannya”, aku pura-pura mencibirnya. Ia tersenyum tanpa dosa dan tanpa persetujuanku langsung memesan dua cup es krim tiramissu pada pelayan café.

Usai memesan es krim, kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Sekarang kami sedang berada di kursi bagian teras café sehingga kami bisa langsung menikmati sejuknya udara siang ini dan dapat melihat dengan jelas hamparan langit yang luasnya tak berujung di atas sana. Ia sengaja memilih kursi di luar karena ia bilang sedang ingin merileks-kan pikirannya.

Hingga es krim pesanan kami tiba –pesanannya lebih tepatnya- belum ada satupun diantara kami yang memulai pembicaraan. Kurasa ia terlalu sibuk dengan pikirannya.

“Ehmm..”, aku mencoba memecah kesunyian di antara kami, sebenarnya situasi di sini tidak sunyi karena kami bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalanan. “Sebenarnya ada apa kau mentraktirku makan es krim? Pasti ada sesuatu kan?”

“Tidak. Hanya ingin saja, memangnya tidak boleh?”

Aku menatap iris hazel-nya yang membuatnya mau tak mau juga menatap manik kelamku. Aku bisa membaca tatapan itu, aku bisa membaca matanya. Aku tahu ia masih terluka, aku tahu ia sedang mencoba menutupi kesedihannya itu. “Jangan berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa”, aku tahu ia akan menghindari pembicaraan ini.

“Aku tidak sedang berpura-pura. Oh iya, bagaimana keadaan kekasihmu? Ia baik-baik saja kan?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan”.

Ia lantas membuang tatapannya ke arah lain, berusaha menghindari tatapanku. Aku menghela nafas panjang, sebagai sahabatnya aku tentu tahu apa yang sedang terjadi padanya. “Dulu kau bilang kau tidak akan jatuh cinta dengan pria manapun karena kau takut tersakiti kan? Kau bilang teman-temanmu banyak yang terlihat menyedihkan karena cinta, kau saat itu hanya berpura-pura kan? Itu bukan teman-temanmu, tapi kau sendiri”, kataku langsung tanpa basa-basi.

“Apa maksudmu?”, ia kembali menatapku.

“Dulu kau juga bilang agar aku tidak jatuh cinta padamu karena kau tidak ingin kau menyakitiku suatu saat nanti, kau mengatakannya karena pria itu kan? Karena hatimu masih dipenuhi oleh pria itu. Meskipun aku tak tahu siapa pria itu, tapi aku tidak terima ia sudah menyakitimu. Dan yang lebih parahnya, kau sudah menutupinya selama ini dariku. Kau anggap aku ini apa? Bukankah kita sahabat? Setidaknya tidak ada hal yang ditutupi di antara kita. Kalau kau percaya padaku, kau bisa menceritakannya padaku. Kau bisa berbagi masalahmu padaku...”, aku menghirup nafas dalam karena pasokan oksigen di paru-paruku sudah kosong.

Ia menunduk tanpa mengatakan apapun.

“Sebenarnya saat ini kau sedang berusaha menutupinya kan? Aku tahu kau masih terluka tapi kau mencoba menutupinya, berusaha seolah-olah tak terjadi apa-apa. Padahal hatimu masih sakit”

“Maaf”, lirihnya.

Aku berusaha membuatnya menatap mataku, aku mencoba meyakinkannya kalau aku bisa ia andalkan untuk berbagi masalahnya denganku. “Kita ini benar-benar sahabat kan?”

Ia mengangguk lemah. “Tapi aku takut mengganggu waktumu dengan kekasihmu jika aku menceritakan hal-hal tidak berguna seperti itu, dan itu akan membebanimu”

Aku mengusap wajahku frustasi, “Berhetilah mengungkit-ungkit tentang kekasihku. Sudah kubilangkan dulu, kau itu sahabatku maka bertindaklah sebagai sahabat, tidak perlu memikirkan hal yang lain. Dan kau bilang hal itu tidak berguna? Itu sangat berguna, itu menyangkut perasaanmu. Dan itu sama sekali tidak membebaniku asal kau mau berbagi denganku, aku akan merasa terbebani jika kau menutupinya dariku”. Kulihat ia kembali menunduk.

“Tapi...”, ia menghembuskan nafas kasar. “Saat ini aku sudah tidak apa-apa sungguh”

“Kau bohong. Aku bisa melihat matamu. Kau mungkin bisa tersenyum, tapi matamu mengisyaratkan lain”

“Kau... kecewa padaku?”, ujarnya pelan lalu mengigit bibir bawahnya.

Kusentuh pelan tangannya, “Aku tak kecewa padamu sedikitpun. Aku hanya merasa tidak berguna sebagai sahabat karena kau tidak mau membagi kisahmu denganku”

“Maaf”
Aku mencoba tersenyum, meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja. Ia tidak sendirian, ada aku yang akan bersamanya. “Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf selama ini tidak tahu kalau kau banyak terluka”
Kulihat ia tersenyum, meskipun senyumnya tidak seceria saat kami di kampus tadi tapi paling tidak kali ini matanya tidak berbohong. “Aku akan selalu bersamamu. Kau tidak usah sungkan berbagi kisahmu denganku. Aku akan selalu ada untukmu. Kalau ada yang membuatmu menangis kau katakan saja padaku biar kuhabisi orang itu”, aku mencoba bergurau.
Ia meninju pelan lenganku dan kembali tersenyum. “Jadi apa kau tidak mau menceritakan lebih detail mengenai pria itu?”, sambungku lagi. Ia mengeleng pelan dan menatapku dengan perasaan bersalah. “Ya sudah tak apa, yang penting sekarang kau jangan bersedih lagi.. Sekarang bagaimana kalau kita habiskan dulu es krim-nya lalu setelah ini kita pergi jalan-jalan?”

“Kita akan kemana?”

“Kemana saja yang jelas sampai perasaanmu membaik. Ayo cepat habiskan”, aku menyodorkan cup es krim padanya.

“Heum, baiklah”, ia segera menyendok es krim tiramissu dan memasukkan ke dalam mulutnya dengan penuh nafsu. Tssk, dia seperti anak kecil saja.

Ia sahabatku dan aku sahabatnya. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya, aku akan mencoba mententramkan hatinya. Karena perasaanku untuknya terlalu besar, perasaan dari sahabat untuk sahabatnya.

***

There’s just so much you can take
Give your heart a break
Let me give your heart a break, Give your heart a break...
The day I first met you
You told me you’de never fall in love

***

.
.
Fin

***

Yehaa... ini apaan sih hahaaa...
Bagi yang tau ini kisah apaan, yah pasti tau donk ini kisahnya siapa, hihi XD
Yesungdah semoga ceritanya tidak membosankan ^^

(Cerpen) Mas Pregant



Mas Pregant

.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.

---^^---

Eung, okey sebenarnya hari libur ini aku sudah punya banyak rencana yang akan dilakukan dari pagi sampai sore nanti. Mulai dari pergi ke pasar berasama ibuku setelah sarapan pagi untuk membeli bahan-bahan membuat bolu kukus nanti sore, lalu siang hari kami sekeluarga akan membuat menu spesial makan siang yaitu membuat ikan bakar bersama, lantas selepas tengah hari aku akan tidur siang –aku sudah lama tidak tidur siang- dan sore hari aku akan membuat bolu kukus. Aku sangat suka membuat berbagai jenis kue.

Tapi semua rencanaku hancur berantakan karena sahabatku –kurasa aku harus memutuskan persahabatan kami sebentar lagi- yang seenaknya menculikku pagi-pagi sekali dan membawaku ke rumahnya. Apa kalian tahu apa yang ia lakukan padaku?

“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran wanita”, ia masih berusaha membuat adonan kue tart yang ke-tujuh-kalinya setelah enam adonan sebelumnya gagal total dan berakhir di tempat sampah. “Kenapa ia ingin aku membuatkannya kue tart di hari ulang tahunnya”

“Dan aku tidak mengerti jalan pikiranmu”, jawabku ketus.

“Kenapa denganku?”, ia mengalihkan fokusnya dari adonan dan menatapku yang terduduk pasrah di samping kulkas.

“Aku sudah mengajarimu berkali-kali tapi kau selalu gagal membuatnya. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang kau pikirkan selama membuat kue tart itu”

“Aku tentu saja memikirkan kekasihku”, ia memanyunkan bibirnya. Tssk, wajahnya terlihat semakin menyebalkan.

“Kalau kau memikirkan kekasihmu, seharusnya kau bisa membuatnya lebih baik lagi. Kau pikirkan bagaimana kekasihmu bisa memakan kue tart yang gosong huhh?”. Ia mengacuhkanku dan mulai mengambil mixer untuk mengocok adonannya. “Sudah kubilang biar aku yang membuatnya”, sambungku. Aku bahkan sudah mengatakan ini empat kali.

“Eits, ini hadiah spesial untuk kekasihku jadi aku akan membuatnya dengan tanganku sendiri”

“Tapi kau keterlaluan. Aku sudah membimbingmu membuatnya tapi sejak tadi tidak ada hasilnya. Kau sudah mengacaukan hariku”, aku sudah mulai frustasi sekarang. Ini sudah tengah hari dan aku sudah sangat kelaparan. Tadi ia hanya memberiku dua bungkus roti dan segelas susu coklat. Hey, aku orang Indonesia. Orang Indonesia belum makan jika belum bertemu nasi.

“Mas Pregant aku lapar”, erangku karena sejak tadi cacing-cacing di dalam perutku sudah berdemo untuk minta diisi.

“Kau cari di dalam kulkas ada roti”, ia masih berkutat dengan adonannya tanpa menoleh padaku.

“Kau gila... Aku tidak mau makan roti. Aku ingin makan nasi...”

“Tssk, kau ini berisik sekali”

Aku semakin pasrah duduk di samping kulkas. Saat ini orang tua Mas Pregant sedang berada di rumah neneknya di luar kota, jadilah sekarang aku sebagai korban penindasan tak berperikemanusiaan di dapurnya. “Kalau begitu pesankan aku makanan”

“Ckk, sebentar lagi. Aku sedang sibuk...”, ia masih tak mengindahkanku yang sudah diambang hidup dan mati.

“Kalau begitu biar aku yang pesan sendiri”, aku mencoba bangkit berdiri namun ia segera menahanku.

“Kau tidak boleh kemana-mana, kau harus menginstruksikan sampai adonan ini masuk ke dalam oven”

Aku berteriak kesal dalam hati. Pria ini benar-benar seenaknya saja. “Kau ingin melihatku mati kelaparan huh???”

“Kau tidak akan mati tenang saja...”, jawabnya enteng.

Aku menatap jengah padanya. Kalau bukan untuk balas budi karena minggu yang lalu ia rela hujan-hujanan demi menjemputku di minimarket, aku tidak akan sudi melakukan ini untuknya. Oh Tuhan tolonglah aku T_T

---^^---

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka dua nol nol. Dan sampai jam dua siang ini aku bahkan belum makan sesuap nasipun. Untunglah aku tidak memiliki riwayat sakit maag, kalau tidak tamatlah riwayatku sejak tadi. Dan tepat di jam dua nol nol ini Mas Pregant berhasil membuat kuenya yang ke sembilan. Dan ini adalah kue terakhir karena persediaan tepung dan bahan lainnya sudah habis. Kurasa aku bisa bernafas lega sekarang. Paling tidak sebentar lagi aku bisa menikmati lezatnya makanan pokok bernama nasi.

Dan setidaknya kue ke-sembilan ini adalah yang paling baik dibandingkan delapan sebelumnya meskipun masih ada sedikit gosong dibagian sisinya, toh nanti bisa dipotong.

“Mas Pregant.. Makan”, aku yakin sekarang aku sudah seperti pengemis, ugh menyebalkan.

“Tunggu sebentar ya, aku masih memberi hiasan di atasnya”

“Ckk.. kau dari tadi mengatakan sebentar sebentar dan sebentar. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi..”, aku memandang sebal padanya yang mulai menaburkan choco chip di bagian atas kue tart.

Aku ingin sekali mencakar-cakar wajahnya itu kalau saja aku punya tenaga, sayangnya saat  ini aku benar-benar tidak memiliki tenaga. Aku sedang memiliki masalah dengan cacing-cacing di perutku. Ckk..

“Tadaaa...”, ia mengangkat tart-nya dengan wajahnya seperti seorang anak kecil yang mendapatkan kado super besar di hari ulang tahunnya. “Hey kau tidak senang kalau tart ini akhirnya selesai huh?”, tanyanya lantas meletakkan tart itu kembali ke atas meja karena aku hanya menatap datar padanya.

“Iya, iya aku senaaaaang sekali. Akhirnya penderitaanku akan segera berakhir. Jadi bisakah kita makan sekarang?”

“Sejak tadi kau hanya memikirkan makan saja. Baiklah-baiklah aku tidak mau besok masuk Kaltim Post dan berada di bagian Headline News karena membuat seseorang meninggal karena kelaparan dan tidak memberinya makan”, aku segera melemparkan kain serbet ke wajahnya usai ia menyelesaikan kalimatnya. “Kau mau makan apa? Di kota kita tercinta ini tidak ada Pizza atau Burger atau apapun seperti di TV, jadi bagaimana kalau kita pesan Nasi Padang saja?”

“Yayayaa.. Terserah kau saja, tapi aku tidak mau yang pedas”

“Ckk.. Iya baiklah”, ia lantas pergi keluar meninggalkanku di dapur sendirian.

“Hey, kau mau ke mana??!”

“Mau beli Nasi Padang di seberang rumahku. Ah ya, tolong kau bersihkan dapurku itu oke,, setelah aku kembali harus sudah bersih. Kalau masih berantakan aku tidak akan memberimu makan”, lantas ia segera menghilang keluar rumah.

“Apaaa???!!”. Oh God. Dia benar-benar menyebalkan. Dengan pasrah dan sisa tenaga yang kumiliki aku membereskan dapurnya yang sudah kacau dengan berbagai peralatan dan bahan-bahan yang berserakan.

---^^---

Mungkin kalian akan bertanya kenapa aku memanggilnya “Mas Pregant”. Sederhana, dulu ia salah menyebutkan kata ‘Pregnant’ dengan ‘Pregant’. Dan ia mengatakan ‘Pregant’ berkali-kali sampai akhirnya aku memanggilnya ‘Mas Pregant’ karena kesalahannya itu. Tidak masuk akal memang. Biar saja, toh dia juga tidak protes kupanggil seperti itu.

“Kau sudah membereskan dapurku?”, ia tiba-tiba muncul dan membawa bungkusan hitam.

“Heumm”, gumamku karena saat ini aku sedang fokus menatap layar TV mengenai koalisi Capres 2014.

“Anak pintar... Ya sudah aku ambil piring dulu”, ia berlalu meninggalkanku menuju dapur. Aroma Nasi Padang dari dalam bungkusan hitam itu sudah menguar membuatku tak tahan lagi menyantapnya.

“Kapan kau mengantakan kue itu untuk kekasihmu?”, aku mencoba membuka pembicaraan setelah beberapa menit kami terdiam menikmati makan siang di depan TV.

“Nanti malam sekaligus memberinya kejutan, kenapa? Kau mau ikut?”

Aku mencibirnya, yang benar saja, apa dia pikir aku mau jadi obat nyamuk huh?. “Ckk... Aku kan hanya bertanya, lagi pula untuk apa aku ikut..”

“Yah siapa tau...”, ia terkekeh dan wajahnya terlihat menyebalkan. “Oh ya, kenapa kau tidak cari pacar saja Mer?”

Aku menatap malas padanya lalu mengalihkan perhatianku kembali pada layar TV. Dia kan pasti sudah tahu alasanku.

“Kau mau tidak ikut kontak jodoh? Biar kubantu”, pertanyaannya barusan membuatku sontak hampir melemparkan sendok yang kupegang ke wajahnya. Hey, aku seperti tidak laku saja.

“Kau pikir aku wanita murahan? Sudah kubilangkan aku tidak ingin pacaran saat ini?”

“Iya-iya aku tahu... Tapi kan siapa tahu saja kau berubah pikiran”

Aku mendelik dan mengacuhkan ucapannya. Kalau kuladeni pasti tidak akan ada habisnya. “Setelah ini antar aku pulang..”, pintaku.

“Tidak mau”

“Huh? Jadi kau ingin aku pulang jalan kaki begitu ke rumahku?”, tanyaku tak percaya. Oh kalau begitu aku tidak akan sudi lagi membantunya.

“Temani aku mencari hadiah ulang tahun yaa, setelah itu baru kuantarkau pulang”, pintanya dan menunjukkan puppy eyes-nya yang sama sekali tidak mempan untukku.

“Tidak mau”

“Ayolah Mer..”

“Tsk, aku ingin pulang. Aku ingin tidur siang okey...”

“Umairoh yang baik hati, Umairoh yang manis, Umairoh yang senang menolong, Umairoh yang tidak sombong, Umair-“

“Stop. Stop sampai di situ... Aku bilang tidak mau ya tidak mau. Jangan memaksaku”, aku segera menghabiskan makan siangku. Ugh biarlah aku pulang jalan kaki asal aku tidak menemani pria menyebalkan ini. Aku tahu ia tidak mungkin sebentar kalau sudah ke pasar, dan aku pasti akan kehilangan waktu tidur siangku  yang sangat sulit kudapatkan. “Aku sudah selesai, kalau begitu aku pulang dulu... Bye”

Setelah menenggak segelas air putih, aku segera berlari menuju pintu rumahnya. Dan...

Yeah, sepertinya aku benar-benar sedang menjadi korban penindasan hari ini.

“Kau tidak bisa pergi karena kuncinya ada padaku”, ia mengangkat tinggi-tinggi kunci di tangannya sambil menunjukkan ekspresi kau-harus-menuruti-perintahku.

Ugh, dan hari ini pasti akan berakhir tanpa sesuai dengan rencanaku sedikitpun. Kalau begini caranya aku lebih baik segera mencari lelaki untuk kujadikan pacar T_T

Dan aku hanya bisa terduduk pasrah di depan pintu sambil memeluk lututku, “Mas Pregant kau tega sekali...”

.
.
Fin

Ehm, okey ini cerita nggak ada maknanya sama sekali, nggak jelas ceritanya tentang apaan... ah ini cuman pelampiasan dari pusingnya sama tugas kuliah yang belibet bin bikin mumet.... bhuahahhahahaa
Hellow Mas Pregant, hahaa... Makasih namanya udah boleh aku pinjem dicerita ini dan aku nistakan macam begitu.. hihii... ((yeyeyellalalala))
/dance Wolf bareng Luhan Oppa/