GIVE YOUR HEART A BREAK
.
.
Inspired By:
Demi Lovato – Give Your Heart A Break
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.
.
***
The day I first meet you
You told me you’d never fall in love
But now that I get you
I know fear is what it really was
***
Entah bagaimana awalnya kami bisa sedekat sekarang. Dia atau
aku yang memulai berkenalan, aku tak ingat. Tapi mengingat dia yang cukup
pemalu, kurasa akulah yang lebih dulu mengajaknya berkenalan. Ah, iya aku
ingat. Dulu ketika kami pertama kali masuk kuliah setelah masa Peka Kampus, aku
sama sekali tak mengenal gadis itu. Tentu saja karena kami memang tidak pernah
bertemu sebelumnya. Tidak hanya tidak mengenalnya, aku bahkan tak menyadari
eksistensinya di dalam kelas.
Aku yang selalu duduk di bangku bagian belakang bersama
teman-temanku, tak pernah menyadari adanya gadis itu di dalam kelas. Ia selalu
duduk di kursi deretan paling depan, bahkan bisa kubilang terlalu dekat dengan
meja dosen. Belakangan aku baru mengetahui bahwa matanya tidak bisa melihat
tulisan di papan tulis ataupun di layar LCD dari jarak jauh.
Pada awal perkuliahan, salah seorang temannya yang bisa
kukatakan sikapnya cukup friendly, sering meminjam catatanku –karena-aku-cukup-rajin-mencatat-
dengan dalih ia selalu ketinggalan catatan. Karena ia seorang gadis, tentu saja
aku dengan senang hati meminjamkan bukuku padanya. Namun kejadian ini terus
berlanjut hingga aku merasa cukup jenuh meminjamkan buku catatanku. Tapi
untunglah ia tidak lagi melakukannya karena setelah perkuliahan berlangsung hampir
satu bulan, ia menjadi lebih akrab dengan salah satu temannya yang duduk di
sampingnya. Mungkin ia meminjam buku cacatatan temannya itu.
Gadis yang duduk di sampingnya itu bagiku cukup misterius.
Gadis itu tak banyak bicara, ia cukup rajin mencatatan segala penjelasan dosen
termasuk hal-hal sekecil apapun. Hingga rasa penasaranku mencuat mengenai gadis
itu. Kutanyakanlah mengenai gadis itu pada temannya yang dulu sering meminjam
buku catatanku.
Berawal dari kami yang satu kelompok mengenai presentasi salah
satu mata kuliah, aku mencoba meminta nomor ponselnya pada temannya dengan
alasan untuk bertanya mengenai tugas kelompok. Dan untunglah tanpa ba bi bu
temannya langsung memberikan nomor ponselnya padaku.
Awalnya aku berbasa-basi menanyakan mengenai kebenaran
nomornya, apakan nomor yang aku dapat benar-benar nomor ponselnya atau bukan.
Dan aku cukup kecewa karena sekian lama aku menunggu ia tak kunjung membalas
pesanku. Namun keesokan harinya ia baru membalas pesanku –yang bisa kukatakan
sudah basi- dan ia beralasan kemarin ia kehabisan pulsa dan tidak sempat
mengisinya.
Dan dari sms basa-basi itu akhirnya sekarang kami menjadi
teman yang cukup dekat. Bukan hanya cukup dekat, tapi sangat dekat. Dari sekian
banyak teman-wanita-ku ia adalah satu-satunya yang berbeda. Entahlah, aku
merasa semacam ada kesamaan antara aku dan dia. Mungkin mengenalnya adalah
takdir. Tidak hanya sekelas, nomor absen kami berdekatan, dan aku bahkan tidak
menyangka kalau kami berasal dari sekolah yang sama di Senior High School. Hanya
saja ia lebih dulu lulus setahun, dan baru bisa masuk kuliah di tahun ini. Tapi
itu bukan berarti ia lebih tua dariku. Kami lahir di tahun yang sama, hanya
berbeda bulan. Ia di bulan-bulan awal tahun sedangkan aku di bulan-bulan akhir
tahun. Dan memang jika dilihat dari hitungan bulan, ia memang lebih tua dariku.
Sekalias memang tidak ada yang menarik dengan pertemuan awal
kami. Sama seperti kebanyakan kisah orang lain. Tapi aku sangat menyukai
bagaimana cara ia merespon setiap pesan yang kukirim untuknya. Hingga tanpa
kusadari ternyata hampir setiap malam kami selalu melakukan aktivitas yang
bahkan tanpa kami sadari menjadi seperti hal yang wajib harus kami lakukan,
yakni saling mengirim pesan singkat, bahkan sampai hampir tengah malam. Yah
meskipun tidak sepenuhnya tengah malam, karena gadis itu sudah akan terlelap
jika jarum pendek jam di malam hari sudah menunjuk angka 11. Sekarang aku sudah
terbiasa dengan kehadirannya.
***
Aku pernah mengatakan padanya agar tidak jatuh cinta
denganku. Sebenarnya ada alasan khusus kenapa aku mengatakan seperti itu. Dan
ia juga mengatakan hal yang sama, agar aku tidak hatuh cinta dengannya dengan
alasan ia takut suatu saat nanti ia menyakiti perasaanku. Well, sebenarnya
alasannya kurang bisa kuterima. Atas dasar apa ia menyakitiku? Kurasa ia cukup
baik sehingga tidak mungkin ia melakukannya.
Tapi aku mencoba untuk menerima permintaannya untuk tidak
jatuh cinta dengannya. Ia bilang biarkan cinta itu tumbuh antara seorang
sahabat dengan sahabatnya, bukan antara seorang pria dan wanita. Jadi sekarang
aku mencoba dan bahkan sudah terbiasa membiarkan rasa di hatiku berkembang
untuknya sebagai seorang sahabat. Persahabatan antara pria dan wanita bukan hal
yang aneh kan?
Ia pernah bilang kalau ia tidak akan jatuh cinta dengan
seorang pria-pun. Aku tentu saja bingung. Saat kutanyakan kenapa ia tidak akan
jatuh cinta dengan pria, ia bilang ia hanya tidak ingin. Ia bilang takut
tersakiti, karena banyak sekali teman-temannya yang terlihat menyedihkan karena
cinta. Dan ia tidak ingin menjadi menyedihkan seperti itu, terlalu melankolis
dan ia sangat membenci hal itu. Aku hanya terkekeh menanggapi perkataannya.
Suatu hari aku pernah mengabaikan pesannya. Ia benar-benar
takut saat itu. Aku tidak benar-benar tidak ingin membalas pesannya, hanya saja
saat itu aku sedang dalam keadaan kacau. Hingga setelah keadaanku cukup baik,
aku bertanya kenapa ia takut? Ia bilang kalau dulu saat di Senior High School
ia juga punya teman laki-laki dan mereka cukup akrab bahkan lebih akrab dari
pada aku dan dia sekarang. Tiba-tiba suatu hari temannya itu berlaku dingin
padanya yang ia sendiri sampai detik ini tidak mengetahui penyebabnya. Kejadian
itu terjadi saat ia di tingkat akhir dan mendekati masa-masa Ujian Nasional.
Hingga mereka lulus tak ada kesan baik yang bisa ia
tinggalkan untuk temannya itu. Bahkan mereka seolah orang asing yang tidak
mengenal sama sekali. Ia bilang saat itu ia rasanya begitu membenci masa
SMA-nya. Rasanya sungguh menyedihkan kehilangan teman yang sudah dekat dengan
kita dan sangat kita percayai bukan?
Ia bilang ia takut terlalu dekat denganku karena ia takut
kejadian seperti di Senior High School dulu terulang kembali. Aku meyakinkan
dirinya kalau aku tidak akan menjadi seperti temannya dulu. Awalnya ia begitu
ragu, namun aku berusaha meyakinkannya kalau aku berbeda dengan temannya.
Hingga akhirnya sampai sekarang kami saling mempercayai satu sama lain.
***
Now here we are
So close yet so far
Haven’t I passed the test
When will you realize
Baby, I’m not like the rest
***
Aku adalah seorang pria yang cukup dekat dengan banyak wanita,
bukan karena aku seorang play boy. Aku hanya respect terhadap wanita dan itu
mungkin sebabnya banyak wanita yang dekat denganku. Terutama di dunia maya.
Bahkan aku sangat dekat dengan seorang gadis yang kuliah di salah satu
Universitas terkenal di Indonesia jurusan Bahasa Inggirs. Meskipun kami hanya
saling mengenal lewat sosial media, namun ada sejenis ketertarika antara aku
dan dia. Kami saling chatting dengan menggunakan bahasa Inggirs. Yah bisa
dibilang ia berbeda dengan sahabatku karena sahabatku tidak bisa berbahasa
Inggris. Setiap aku mengucapkan kalimat Bahasa Inggris, ia pasti akan merespon
dengan bahasa Indonesia.
Aku dan gadis yang kukenal di dunia maya ini semakin akrab.
Setiap hari kami selalu chatting, namun aku membagi waktuku dengan sahabatku.
Ada waktuku dengan sahabatku, ada waktuku dengan gadis itu.
Hingga kuceritakan mengenai gadis itu padanya. Awalnya ia
merespon dengan cukup baik. Aku menceritakan tentang gadis itu mulai dari
hal-hal menyenangkan hingga kesalahpahaman yang terjadi antara aku dan gadis
itu. Pada suatu hari, aku menyatakan ingin menjalani hubungan yang lebih serius
dengan gadis yang kukenal di dunia maya itu. Ia cukup terkejut, namun ia tetap
mensupport-ku. Ia memberiku semangat untuk menjalin hubungan dengan gadis itu.
Sampai suatu hari aku akhirnya menjalin hubungan dengan gadis
itu. Ia memberi selamat untukku. Namun kurasa ada yang berubah dengannya. Aku
sangat mengenalnya, aku bisa melihat kondisinya meskipun dari isi sms-nya.
Sikapnya tiba-tiba sangat dingin padaku. Ia bahkan terlihat acuh bahkan
terkesan angkuh terhadapku. Aku mulai berpikir, apa aku sudah melakukan suatu
kesalahan?
Aku menyimpulkan sendiri kalau dia mungkin saja cemburu
terhadap hubunganku dengan gadis itu. Namun ia menampiknya. Dengan dinginnya ia
mengatakan mulai sekarang aku dan dia harus menjaga jarak. Itu demi kebaikanku.
Aku cukup bingung, kenapa ia ingin ada jarak antara aku dan dia? Apakah dia
membenciku?
Ia bilang ia tidak ingin merusak hubungaku dengan gadis itu.
Ia bilang sebagai sahabat yang baik ia harus melakukan yang terbaik yang bisa
ia lakukan untukku. Ia bilang dengan saling menjaga jarak, maka tidak akan ada
kesalahpahaman yang terjadi suatu saat nanti. Ia takut kekasihku akan
membencinya. Ia takut kekasihku mengira yang bukan-bukan antara aku dan dia.
Aku menyangkalnya kalau aku tidak bisa menjaga jarak
dengannya. Ia memaksaku untuk tetap mengikuti permintaannya. Jujur permintaan
itu cukup berat dan aku sendiri tidak yakin apakah aku bisa melakukannya atau
tidak. Bayangkan bagaimana perasaanmu jika kau menjaga jarak dengan sahabatmu?
Sungguh tidak nyaman bukan? Bahkan aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Jika
ia menjauhiku, lantas apa yang harus aku lakukan?
Ia bilang semua pria itu sama saja. Aku mengernyit heran, apa
maksudnya? Hey, aku berbeda dari pria kebanyakan. Aku sebenarnya takut jika ia
mengira aku sama saja dengan temannya saat di Senior High School dulu. Aku
bersumpah aku tidak akan menjadi seperti temannya dulu. Aku berbeda. Aku akan
terus menjadi sahabatnya tak peduli apapun yang terjadi.
***
Don’t wanna break your heart, Wanna
give your heart a break
I know you’re scared it’s wrong
Like you might make a mistake
There’s just one life to live
And there’s no time to waste... to
waste
So let me give you heart a break,
Give your heart a break
Let me give your heart a break, Give
your heart a break
***
Hingga beberapa hari ia berlaku dingin denganku sejak
resminya aku menjalin hubungan dengan gadis itu. Aku tak tahu siapa yang salah
di sini. Jika memang ia cemburu katakan saja. Toh bukannya dulu pertama kali ia
mengatakan agar rasa cinta yang tumbuh di antara kami hanya sebagai perasaan antara
sahabat dengan sahabatnya? Jadi kenapa ia seperti ini denganku.
“Sebenarnya kau marah kan jika aku menjalin hubungan dengan gadis itu?”, aku
mencoba mencari jawaban yang sangat mengganjal dipikiranku.
“Cemburu? Siapa? Aku? Tssk.. aku tidak mungkin cemburu
okey...”
Tapi aku masih tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
Hingga sekali lagi aku meyakinkannya, “Lantas kalau kau tidak cemburu, kau
kenapa? Senbenarnya ada apa denganmu? Kenapa kau berusaha menjauhiku?”
Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Lantas aku kembali
melanjutkan pertanyaanku, “Apa kau takut terjadi kesalahpahaman nanti? Itu
tidak mungkin terjadi. Kau kan sahabatku. Aku tidak akan membuatmu terlibat
masalah antara aku dan kekasihku”
Ia hanya menatap datar padaku, membuatku terdiam untuk
beberapa saat. “Aku hanya tidak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali”
“Kau tidak percaya padaku? Aku sudah mengatakannya bukan,
kalau aku tidak akan melakukan hal yang sama dengan temanmu itu”, aku memelas
bahkan bisa dikatakan sudah frustasi saat ini.
“Hmm.. Aku percaya kok”, ia mengangguk lemah dan dengan
sedikit senyum paksaan ia tunjukkan padaku.
“Kurasa kau tidak sepenuhnya percaya padaku”, aku menghela
nafas panjang. “Sebenarnya kau takut aku akan menjauhimu atau kau takut aku
tidak bisa dekat lagi denganmu karena kekasihku?”
“Keduanya”, jawabnya cepat.
Sudah kuduga, dua hal inilah yang beberapa hari ini
berkelebat di pikiranku. “Aku berjanji tidak akan pergi darimu tanpa alasan.
Kita akan selalu bersahabat sampai kapanpun... Jadi kau hanya cukup percaya
padaku, mengerti?”
“Tapi kekasihmu bagaimana?”
“Kau sahabatku, maka berlakulah sebagai sahabatku. Tidak
perlu takut dengan hal-hal yang masih kemungkinan dan bahkan tidak terjadi..
Aku harap, kita bisa kembali seperti dulu”, aku menatapnya dengan penuh harap.
Ia juga menatapku dan manik matanya mengatakan ia sedang
berusaha mempercayaiku, “Baiklah, aku akan mencoba”
Aku merangkul pundaknya, meyakinkannya kalau aku adalah
sahabat terbaik yang pernah ia miliki. Meyakinkannya kalau ia takkan menyesal
menjadi sahabatku. “Aku akan menjagamu sampai kapanpun”
Ia mengangguk pelan dan bisa kulihat ia menyunggingkan senyum
tulus meskipun matanya masih mengatakan ia meragukanku.
***
On Sunday you went home alone
There were tears in your eyes
I called your cell phone my love
But you did not reply
***
Beberapa hari ia mengabaikanku. Aku cukup khawatir jika
terjadi sesuatu dengannya. Aku sudah sering menelponnya, namun ia tak pernah
mengangkat panggilan telponku. Sudah ratusan pesan yang kukirim padanya namun
tak ada satupun ia balas. Hingga aku
putuskan untuk mendatangi rumahnya di hari Minggu saat kami sedang libur
kuliah.
Saat aku datang ke rumahnya, ternyata ia tak ada. Aku
bingung, kemana ia di hari Minggu seperti ini? Biasanya ia paling anti pergi
kemana-mana di hari Minggu, gadis itu lebih memilih untuk berdiam diri di rumah. Aku memutuskan untuk
menunggunya beberapa saat. Dan untunglah tak lama kemudian akhirnya ia datang.
Namun ada yang aneh dengannya. Matanya sembab. Dia menangis?
Segera kuhampiri ia yang sepertinya terkejut melihat
kedatanganku di rumahnya. “Kau kenapa? Kau menangis?”, kusentuh pelan bahu
kanannya.
Ia menggeleng, lantas memelukku. Aku cukup terkejut namun
kubiarkan ia memelukku beberapa menit hingga ia merasa tenang. Aku mengelus
punggungnya mencoba menenangkannya. Sampai akhirnya ia benar-benar sudah
tenang, aku menariknya untuk duduk di bangku di halaman rumahnya. “Ada apa”,
tanyaku pelan.
Kulihat ia mengigit bibir bawahnya berusaha menahan agar cairan
bening tidak turun dengan leluasa dari matanya. “Jangan menangis...”, kusentuh
pelan punggung tangan kirinya. “Jangan pendam masalahmu sendiri..”
“Ak, aku..”, suaranya serak. Aku tahu ia sedang berusaha
mengeluarkan suaranya. “Aku menyukai seorang pria sejak aku masih di SMA.
Bahkan sampai sekarang aku masih menyukainya. Aku mengenalnya lebih dulu jauh
sebelum aku mengenalmu. Pria itu datang dan pergi sesuka hatinya, hiks,,, dia
anggap aku ini apa? Kadang ia tak ada kabarnya cukup lama, namun tiba-tiba ia
datang dengan kehangatannya. Namun tak lama ia pergi lagi...”, lagi-lagi ia
mengigit bibir bawahnya.
Aku terkejut mendengar pernyataannya. Benarkah ia menyukai
seorang pria? Tapi kenapa ia tak pernah menceritakannya padaku?
“Kau mungkin memang lebih menyebalkan darinya, tapi
setidaknya kau selalu bersamaku, selalu berada di sisiku kapanpun.. tapi aku
bodoh, aku malah menyukai pria itu. Seharusnya aku menyukaimu saja”, ia
berusaha untuk tersenyum namun akhirnya gagal.
Aku menatap nanar padanya. Ia benar, seharusnya ia menyukaiku
saja. Kenapa ia harus menyukai pria menyebalkan itu? Meskipun aku tak tahu
siapa pria itu, tapi aku tidak terima jika ia menyakiti sahabatku.
“Jangan menangis.. Sudahlah, lupakan saja pria itu, kau harus
kuat.. Jangan menangis hanya karena pria itu”, aku mengelus puncak kepalanya.
Ia tiba-tiba menepis dengan kasar tanganku yang sedang
mengelus kepalanya, “Kau pikir aku bisa melupakannya dengan mudah huh? Kalau
aku bisa aku pasti sudah melakukannya dari dulu... Sekarang bahkan sudah lebih
dari tiga tahuh tapi aku sama sekali tidak bisa melupakannya. Jangankan untuk
melupakannya, berusaha menjauhinyapun aku tak bisa”
Aku terkejut kenapa ia tiba-tiba sekasar itu padaku saat aku
menyuruhnya melupakan pria itu. “Tapi-“
“Ah sudahlah. Kau tidak tahu apa-apa tentang perasaan gadis
yang sedang patah hati”. Ia berjalan meninggalkanku dan masuk ke dalam
rumahnya. Aku benar-benar tak habis pikir, kenapa ia menjadi sangat sensitif
seperti itu? Ah bodoh. Kenapa aku tidak
bertanya siapa pria itu? Ckk.
***
‘Cause you’ve been hurt before
I can see it in your eyes
You try to smile it away, Some things
you can’t disguise
Don’t wanna break your heart
Baby, I can ease the ache, the ache
So let me give your heart a break ,
Give your heart a break
Let me give your heart a break, Give
your heart a break
***
Hari ini usai pulang kuliah, ia menghampiriku dengan
senyumannya yang sudah lama tidak kulihat. Kurasa saat ini ia sudah melupakan
kesedihannya mengenai pria yang sudah mengacaukan perasaannya. Aku bersandar di
pagar gerbang kampus menunggunya hingga ia tiba di hadapanku.
“Kau akan langsung pulang?”, ia melirik pada helm yang sedang
kupegang.
“Yah begitulah. Ada apa?”
Matanya langsung berbinar lantas menarik lenganku dan
membawaku ke parkiran kampus persis di depan motorku. “Hari ini kau tidak boleh
langsung pulang. Temani aku jalan-jalan dulu yah”, kali ini ia menunjukkan
sebuah cengiran di tambah puppy eyes-nya yang entah sejak kapan ia bisa
melakukannya. Padahal selama ini yang kutahu ia jarang sekali bisa seceria ini.
Aku menautkan kedua alisku bingung. Yang benar saja, selama
ini setiap pulang kuliah ia pasti akan langsung pulang dan tidak pernah akan
pergi kemanapun bahkan saat aku memintanya menemaniku untuk mampir sebentar ke
toko buku ia tidak mau. Aku lantas menyentuh pelan dahinya, “Kau tidak sakit
kan?”
Ia langsung menatap tajam padaku dan segera menepis tanganku,
“Memangnya ada yang salah? Aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar.. ayolah,
yaa”, ia kembali menunjukkan puppy eyes-nya padaku membuatku terkekeh melihat
tingkahnya.
“Tssk, baiklah... Jadi kita akan kemana?”, aku segera naik ke
atas motor dan tanpa kusuruh ia juga sudah langsung duduk dengan nyamannya di
belakangku.
“Bagaimana kalau kita ke kedai es krim yang baru buka di
dekat rumahku?”
“Hey.. Bukannya kita akan jalan-jalan? Kenapa harus ke kedai
es krim? Dan lagi, kedai itu dekat dengan rumahmu, jadi-“
“Jadi kau bisa langsung mengantarku pulang”, ia memotong
cepat perkataanku.
“Itu sih bukan jalan-jalan..”
“Ayolah cepat jalan”, ia mengguncang-guncangkan bahuku.
“Iya-iya...”, aku kembali hanya bisa terkekeh melihat
sahabatku ini.
***
“Kau pilih es krim tiramissu sama sepertiku saja ya, biar aku
yang traktir kali ini”
“Ckk, mana ada orang yang mentraktir tapi memaksa
pilihannya”, aku pura-pura mencibirnya. Ia tersenyum tanpa dosa dan tanpa
persetujuanku langsung memesan dua cup es krim tiramissu pada pelayan café.
Usai memesan es krim, kami terdiam dengan pikiran
masing-masing. Sekarang kami sedang berada di kursi bagian teras café sehingga kami bisa langsung menikmati
sejuknya udara siang ini dan dapat melihat dengan jelas hamparan langit yang
luasnya tak berujung di atas sana. Ia sengaja memilih kursi di luar karena ia
bilang sedang ingin merileks-kan pikirannya.
Hingga es krim pesanan kami tiba –pesanannya lebih tepatnya-
belum ada satupun diantara kami yang memulai pembicaraan. Kurasa ia terlalu
sibuk dengan pikirannya.
“Ehmm..”, aku mencoba memecah kesunyian di antara kami,
sebenarnya situasi di sini tidak sunyi karena kami bisa melihat kendaraan yang
berlalu lalang di jalanan. “Sebenarnya ada apa kau mentraktirku makan es krim?
Pasti ada sesuatu kan?”
“Tidak. Hanya ingin saja, memangnya tidak boleh?”
Aku menatap iris hazel-nya yang membuatnya mau tak mau juga
menatap manik kelamku. Aku bisa membaca tatapan itu, aku bisa membaca matanya.
Aku tahu ia masih terluka, aku tahu ia sedang mencoba menutupi kesedihannya
itu. “Jangan berpura-pura seolah tak terjadi apa-apa”, aku tahu ia akan
menghindari pembicaraan ini.
“Aku tidak sedang berpura-pura. Oh iya, bagaimana keadaan
kekasihmu? Ia baik-baik saja kan?”
“Jangan mengalihkan pembicaraan”.
Ia lantas membuang tatapannya ke arah lain, berusaha
menghindari tatapanku. Aku menghela nafas panjang, sebagai sahabatnya aku tentu
tahu apa yang sedang terjadi padanya. “Dulu kau bilang kau tidak akan jatuh
cinta dengan pria manapun karena kau takut tersakiti kan? Kau bilang
teman-temanmu banyak yang terlihat menyedihkan karena cinta, kau saat itu hanya
berpura-pura kan? Itu bukan teman-temanmu, tapi kau sendiri”, kataku langsung
tanpa basa-basi.
“Apa maksudmu?”, ia kembali menatapku.
“Dulu kau juga bilang agar aku tidak jatuh cinta padamu
karena kau tidak ingin kau menyakitiku suatu saat nanti, kau mengatakannya
karena pria itu kan? Karena hatimu masih dipenuhi oleh pria itu. Meskipun aku
tak tahu siapa pria itu, tapi aku tidak terima ia sudah menyakitimu. Dan yang
lebih parahnya, kau sudah menutupinya selama ini dariku. Kau anggap aku ini
apa? Bukankah kita sahabat? Setidaknya tidak ada hal yang ditutupi di antara
kita. Kalau kau percaya padaku, kau bisa menceritakannya padaku. Kau bisa
berbagi masalahmu padaku...”, aku menghirup nafas dalam karena pasokan oksigen
di paru-paruku sudah kosong.
Ia menunduk tanpa mengatakan apapun.
“Sebenarnya saat ini kau sedang berusaha menutupinya kan? Aku
tahu kau masih terluka tapi kau mencoba menutupinya, berusaha seolah-olah tak
terjadi apa-apa. Padahal hatimu masih sakit”
“Maaf”, lirihnya.
Aku berusaha membuatnya menatap mataku, aku mencoba
meyakinkannya kalau aku bisa ia andalkan untuk berbagi masalahnya denganku.
“Kita ini benar-benar sahabat kan?”
Ia mengangguk lemah. “Tapi aku takut mengganggu waktumu
dengan kekasihmu jika aku menceritakan hal-hal tidak berguna seperti itu, dan
itu akan membebanimu”
Aku mengusap wajahku frustasi, “Berhetilah mengungkit-ungkit
tentang kekasihku. Sudah kubilangkan dulu, kau itu sahabatku maka bertindaklah
sebagai sahabat, tidak perlu memikirkan hal yang lain. Dan kau bilang hal itu tidak
berguna? Itu sangat berguna, itu menyangkut perasaanmu. Dan itu sama sekali
tidak membebaniku asal kau mau berbagi denganku, aku akan merasa terbebani jika
kau menutupinya dariku”. Kulihat ia kembali menunduk.
“Tapi...”, ia menghembuskan nafas kasar. “Saat ini aku sudah
tidak apa-apa sungguh”
“Kau bohong. Aku bisa melihat matamu. Kau mungkin bisa
tersenyum, tapi matamu mengisyaratkan lain”
“Kau... kecewa padaku?”, ujarnya pelan lalu mengigit bibir
bawahnya.
Kusentuh pelan tangannya, “Aku tak kecewa padamu sedikitpun.
Aku hanya merasa tidak berguna sebagai sahabat karena kau tidak mau membagi
kisahmu denganku”
“Maaf”
Aku mencoba tersenyum, meyakinkannya kalau semua akan
baik-baik saja. Ia tidak sendirian, ada aku yang akan bersamanya. “Tidak
apa-apa. Aku juga minta maaf selama ini tidak tahu kalau kau banyak terluka”
Kulihat ia tersenyum, meskipun senyumnya tidak seceria saat
kami di kampus tadi tapi paling tidak kali ini matanya tidak berbohong. “Aku
akan selalu bersamamu. Kau tidak usah sungkan berbagi kisahmu denganku. Aku
akan selalu ada untukmu. Kalau ada yang membuatmu menangis kau katakan saja
padaku biar kuhabisi orang itu”, aku mencoba bergurau.
Ia meninju pelan lenganku dan kembali tersenyum. “Jadi apa
kau tidak mau menceritakan lebih detail mengenai pria itu?”, sambungku lagi. Ia
mengeleng pelan dan menatapku dengan perasaan bersalah. “Ya sudah tak apa, yang
penting sekarang kau jangan bersedih lagi.. Sekarang bagaimana kalau kita
habiskan dulu es krim-nya lalu setelah ini kita pergi jalan-jalan?”
“Kita akan kemana?”
“Kemana saja yang jelas sampai perasaanmu membaik. Ayo cepat
habiskan”, aku menyodorkan cup es krim padanya.
“Heum, baiklah”, ia segera menyendok es krim tiramissu dan
memasukkan ke dalam mulutnya dengan penuh nafsu. Tssk, dia seperti anak kecil
saja.
Ia sahabatku dan aku sahabatnya. Aku tidak akan membiarkan
siapapun menyakitinya, aku akan mencoba mententramkan hatinya. Karena
perasaanku untuknya terlalu besar, perasaan dari sahabat untuk sahabatnya.
***
There’s just so much you can take
Give your heart a break
Let me give your heart a break, Give
your heart a break...
The day I first met you
You told me you’de never fall in love
***
.
.
Fin
***
Yehaa... ini apaan sih hahaaa...
Bagi yang tau ini kisah apaan, yah pasti tau donk ini
kisahnya siapa, hihi XD
Yesungdah semoga ceritanya tidak membosankan ^^