BONJOUR!
.
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
.
**^_^**
2015
Aku menatap daftar menu pada papan menu yang terpajang
pada dinding cafÄ— di belakang
counter. Tertulis dua bahasa di sana.
Bahasa Inggris dan bahasa yang tak aku mengerti satu katapun, dan itu sudah
pasti bahasa Prancis.
“Do you wanna
order something, Miss?”
Aku masih mencari-cari sesuatu pada deretan menu tanpa
menatap waiter yang baru saja menyapa
dari balik counter. Perhatianku
tertuju pada chocolat chaud. Sepertinya
aku harus mencoba menu yang paling terkenal di CafÄ— de Flore ini.
“I want a cup of
chocolat chaud please.” Aku masih
menatap deretan menu di sana. Biasanya kalau ke cafÄ— aku selalu memesan vanilla latte, tapi pengecualian untuk kali ini. Aku tak boleh
menyia-nyiakan kesempatanku saat berkunjung ke Paris.
“Alright, wait a
minute Miss.”
Setelah itu aku mengalihkan fokusku dari mengobservasi
daftar menu dan memperhatikan seorang waiter
pria bertubuh jangkung yang kini membelakangiku karena ia sedang membuatkan
pesananku. Semua waiter di CafÄ— de Flore ini mengenakan apron putih sebagai
ciri khas dari cafÄ—
ini yang memang bergaya klasik.
Seraya menunggu waiter
itu selesai dengan pesananku, kuedarkan netraku ke seluruh penjuru cafÄ—. CafÄ— ini memiliki interior bergaya art
deco, dengan lampu bercahaya kuning dan kursi booth berwarna merah. Bagian luar cafÄ— bergaya
klasik khas negara Prancis dengan jendela kaca besar berbingkai kayu.
“Here you
are...Miss...” kudengar suara waiter
itu memelan di akhir kalimatnya.
Aku tersenyum ramah pada waiter yang menyodorkan satu cup
chocolat chaud yang kini menatapku dengan ekspresi... err...
Oh Tuhan!
Oksigen tiba-tiba bagaikan duri kecil di dalam
paru-paruku. Jantungku rasanya hampir mencelos dari tempatnya. Sistem sarafku seperti
berhenti bekerja. Puluhan sekon aku menatapnya tanpa kedip dan mungkin
ekspresiku sekarang sudah seperti orang paling bodoh sedunia.
Orang di depanku ini tidak mungkin dia kan? Aku salah
lihat kan? Atau mereka mungkin hanya mirip saja, kan?
**^_^**
2009
“Mau kemana, Da?” aku menatap Rida-teman sebangkuku-
yang bersiap-siap meninggalkan kelas. “Kan belum jam istirahat.”
“Bosan nih di kelas. Nggak ada guru yang masuk juga.
Lagian aku mau cari teman baru di kelas sebelah. Mau ikut?”
Aku menggeleng. “Lagi males. Kamu aja deh, aku di
kelas aja.”
Rida hanya mengangguk lantas meninggalkanku sendirian
di kelas. Sebenarnya aku tidak benar-benar sendirian. Ada banyak murid di dalam
kelas namun aku masih belum mengenal mereka semua. Maklumlah, Masa Orientasi
Sekolah baru saja selesai kemarin dan hari ini adalah hari pertama bagi kami
murid kelas sepuluh sebagai siswa SMK 1.
“Ditinggal temannya ya?”
Suara bass namun terkesan cempreng mengejutkanku. Aku
menatap pemilik suara yang kini tengah berdiri di samping mejaku. Astaga,
tubuhnya tinggi sekali. Sampai-sampai aku harus mendongak untuk melihat
wajahnya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Jujur saja
aku tidak begitu terbiasa untuk berbasa-basi dengan teman baru.
Setelahnya pria jangkung itu menarik sebuah kursi yang
berada di deretan sebelanku dan memposisikannya tepat di samping mejaku lantas
ia duduk di kursi itu. “Aku Pur,” ia menyodorkan tangannya untuk bersalaman
denganku.
Aku menyambut tangannya dengan sedikit ragu seraya
memperkenalkan diriku. Kulihat ia tersenyum lebar. Membuatku sedikit risih
karena aku tak terbiasa berdekatan dengan pria. Terus terang selama aku masih
di MTs aku tak pernah berdekatan dengan laki-laki. Itu karena kelasku dulu
dipisah antara siswa perempuan dan laki-laki.
“Kamu kok tegang gitu sih? Santai aja kalau sama aku.
Mulai sekarang kita adalah teman. Teman sampai kita lulus nanti bahkan sampai
setelah lulus..”
Aku kembali hanya tersenyum. Yah, semoga saja aku bisa
beradaptasi dengan cepat di sekolah umum ini. Kalau bukan karena sebuah konflik
dengan temanku, aku pasti sudah masuk MAN setelah lulus MTs, bukan SMK 1.
**^_^**
2015
CafÄ— de Flore merupakan
salah satu cafÄ—
tertua dan paling bergengsi di Paris. CafÄ— ini terletak di sudut persimpangan jalan Boulevard
Saint German dan Rue St. Benoit, Arrondissment 6 kota Paris.
Sekarang aku sedang duduk
di salah satu kursi outdoor cafÄ— yang berada di pinggir trotoar. Seraya berusaha menghabiskan dengan
susah payah chocolat chaud pesananku
yang tiba-tiba rasanya sangat tidak enak di tenggorokanku. Mungkin tidak ada
yang salah dengan chocolat chaud ini,
tapi karena tenggorokanku yang bagaikan tertusuk jutaan jarum.
“Long time no see. How was
your life?”
Pertanyaan yang baru saja
meluncur dengan mudahnya dari mulutnya membuatku mau tak mau menatapnya yang
kini tengah duduk di sampingku. Kupaksakan sebuah senyum meskipun kuakui
senyumku pasti terlihat aneh.
“I’m good, and you?”
“Yeah, I’m doing fine.”
Entah kenapa setelah itu
tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Bernafaspun rasanya sulit sekali saat
pandangan kami saling bersirobok. Hingga akhirnya aku lebih memilih diam dan
netraku kembali beralih pada kendaraan dan juga pedestrian yang berlalu lalang di hadapanku. Pertemuan ini begitu
mengejutkanku sampai-sampai aku tak tahu harus berbuat apa dan harus bersikap
seperti apa.
Setelahnya hening untuk
beberapa menit.
“I think I can’t see you anymore.” Pur memberi jeda pada kalimatnya.
“Anyway, how long we haven’t met?
Eum, almost three years?”
Ia kembali bersuara
memecah keheningan di antara kami. Aku hanya mengangguk pelan tanpa menatapnya.
Chocolat chaud
yang kuminum rasanya semakin tidak enak di kerongkonganku. Tapi aku tak mau
membuangnya. Harga minuman ini 7 €.
Dan aku masih sayang dengan uangku yang sebanyak itu.
Lantas kembali hening. Ada banyak hal yang ingin
kukatakan padanya tapi aku tak tahu harus mengatakan yang mana lebih dulu.
Pertemuan ini sungguh di luar ekspektasiku dan diluar dugaanku.
“It’s so clumsy.
You must be surprised, right? Me too.
I can’t believe that I can
see you again since we had graduated from Vocational High School about three
years ago. So... what are you doing
here?”
Kuberanikan diriku kembali menatapnya dan berusaha
bersikap senormal mungkin. “Just vacation.
How about you?”
Ia terkekeh sebelum menjawab pertanyaanku. Membuat
kedua alisku bertaut bingung. “Why? Is
there something wrong, Mr. Pur?”
“Nggak. Rasanya aneh kalau kita ngobrol pakai bahasa
Inggris. Kita pakai bahasa Indonesia aja ya, soalnya sudah lama aku nggak
ngomong pake bahasa Indonesia.” Ia masih terkekeh.
Aku mencibirnya. “Memangnya kamu kuliah di sini?”
tebakku. Ia mengangguk membuatku hampir tersedak saliva-ku sendiri. “Really?”
“Memangnya aku kelihatan lagi bohong? Lagian memangnya
kamu lupa dulu sama obrolan kita waktu masih sekolah?”
Mulutku menganga tidak percaya. Seorang Purwanto...
Benar-benar kuliah di Paris??!
**^_^**
2011
“Bentar lagi kita kelas dua belas. Nanti kalau sudah
lulus mau lanjut kemana kamu?” tanya Pur dengan mata terpejam sambil
menyandarkan punggungnya pada dinding kelas.
Sekarang ini aku dan Pur tengah duduk di belakang
kelas karena guru yang mengajar mata pelajaran Kewirausahaan sedang tidak
masuk.
“Belum ada planning.
Lagian masih ada waktu satu tahun sebelum benar-benar lulus dari sekolah ini.
Kamu sendiri gimana?”
Kedua kelopak mata Pur terbuka lantas ia memicingkan
matanya menatapku. “Jangan-jangan kamu langsung nikah habis lulus, haha...”
Aku mempoutkan bibirku kesal. “Enak aja. Jangan-jangan
kamu tuh.”
“Hyee.. aku sih masih mau lanjut kuliah dulu,”
jawabnya dan kembali memejamkan kedua matanya.
“Kuliah di mana?”
“Paris,” jawabnya cepat.
Aku terkekeh. “Huh. Ngawur kamu. Paris itu jauh. Luar
negri. Impossible banget kalo kamu
bisa sampe kuliah di sana. Lagian kalo mimpi itu yang normal-normal aja kali
Pur.”
“Itu normal kok.”
“Buat aku itu nggak normal. Banget,” tekanku pada
bagian terakhir kalimatku.
Pur masih tetap mempertahankan kedua matanya yang
terpejam. “Yah, terserah kamu deh.”
**^_^**
2015
Chocolate
chaud di dalam cup yang
kugenggam sudah habis beberapa menit yang lalu. Sementara kami berdua masih
terkurung dalam obrolah yang canggung ini. Menurutku canggung, entah bagaimana
menurutnya.
“Rasanya aneh kita ngobrol begini. Seolah-olah kita
teman dekat yang lama nggak ketemu,” aku mencoba memulai pembicaraan setelah
beberapa menit kembali tak ada satupun di antara kami yang membuka suara. Selama
beberapa menit yang kudengar hanya orang-orang di sekitarku berbicara dalam
bahasa yang begitu asing di telingaku. Bahasa Prancis, mungkin.
Kulihat Pur menatap bingung ke arahku, lantas ia
menarik nafas dalam. Ekspresinya berubah dan menatap bersalah padaku. “Kita
memang pernah dekat. Dulu.”
Kuhela nafas panjang. Terus terang aku tak ingin
mengingat kejadian itu lagi. Kejadian yang benar-benar membuat masa SMA-ku
buruk. Dan kurasa tadi aku sudah salah mengangkat tema untuk bahan obrolan.
“Kamu kerja part
time di sini?” ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan. Lagipula aku memang
penasaran kenapa ia bisa bekerja di cafÄ—
terkenal ini. Yah meskipun sekarang Pur sudah tak mengenakan apronnya lagi.
“Yah begitulah,” jawabnya singkat.
Aku mengangguk pelan. Cup di genggamanku sudah tak berbentuk lagi karena tadi aku
beberapa kali meremasnya. Aku berharap waktu cepat berputar agar aku bisa pergi
dari tempat ini secepatnya.
“Sendirian?”
Aku menggeleng. Kulirik sebentar jam di pergelangan
tanganku. Seharusnya sepuluh menit yang lalu seseorang sudah menjemputku. Jadi
aku tak perlu terjebak dalam konversasi
canggung ini.
“Dari pada bosan nunggu, gimana kalau kutemani
jalan-jalan di sekitar sini?”
Pur sepertinya bisa membaca pikiranku. Benar. Aku
sedang menunggu seseorang. Dan aku harap ia segera datang. Aku hanya bisa
kembali mengangguk dan detik berikutnya Pur sudah menarik pergelangan tanganku
untuk mengikutinya berjalan meninggalkan cafÄ—.
“Kebetulan shift
kerjaku sudah habis. Ohya, kamu sudah lihat Patung Flora belum? Patung Dewi
Romawi untuk bunga dan musim semi yang merupakan asal dari nama CafÄ— de Flore. Patung itu ada di seberang jalan
Boulevard Saint German.”
Lagi-lagi aku hanya menjawabnya dengan bahasa tubuh.
Aku menggeleng pelan seraya mensejajarkan langkah kecilku dengan langkahnya di
pinggir jalan.
Kami berjalan beriringan dan sangat pelan. Banyak
sekali pedestrian di sepanjang jalan
yang kami lalui. Aku beruntung diajak ke Paris saat musim semi seperti ini.
Karena aku bisa melihat berbagai bunga yang-aku-tak-tahu-namanya-karena tak ada
di Indonesia, bermekaran tumbuh dan bunga-bunga itu begitu cantik.
“When we were in
3rd grade of High School, why did you avoid me? Did I do something wrong?” tiba-tiba saja kalimat tanya itu
meluncur dengan sendirinya dari mulutku tanpa kurencanakan. Yah baiklah.
Sejujurnya memang sejak tadi pertanyaan itu terus berkelebat di pikiranku.
Pur menghentikan langkahnya, membuatku juga turut
menghentikan langkahku. Aku menatap lurus trotoar di hadapanku tanpa berani
menatapnya. Oke, aku salah. Lagi-lagi aku salah mengangkat tema pembicaraan.
Jangan dijawab. Kumohon jangan dijawab.
**^_^**
2012
“Kamu kenapa sih? Bentar lagi Ujian Nasional. Kok lesu
banget? Kayak nggak dikasih makan aja di rumah,” celetuk Rida saat kami sedang
berjalan bersama menuju perpustakaan.
Kupaksakan sebuah senyum. “Aku nggak apa-apa kok.
Emang aku kelihatannya lesu banget?”
“Yap. Kamu nggak banyak omong lagi sekarang. Aneh aja
sih.”
Aku terkekeh pelan. “Aku cuman pusing mikirin ujian
nanti, Da,” jawabku sedikit berbohong.
Langkahku terhenti saat berdiri di ambang pintu perpustakaan.
Dari sudut mataku bisa kulihat Rida terlihat bingung karena aku bergeming di
ambang pintu.
“Hey, mau masuk nggak?”
Aku tak begitu menghiraukan pertanyaannya. Di dalam
sana ada pria itu yang sepertinya sama sekali tak ingin melihatku. Terlihat sekali
tadi ia sempat menatapku namun buru-buru ia membereskan bukunya dan bersiap
meninggalkan perpustakaan.
Rida berjalan medahuluiku memasuki perpustakaan.
Sepertinya Rida tak menyadari dengan situasi yang sedang kuhadapi sekarang.
Sebelum pria itu benar-benar berjalan melewatiku untuk
meninggalkan perpustakaan, dengan cepat aku menghentikan langkahnya. Aku sudah
tidak tahan lagi dengan perlakuannya padaku beberapa bulan terakhir ini.
“Bisa ngomong bentar?” ucapku cepat dan menahan
pergelangan tangannya.
Kulihat ia terkejut dengan skinship yang aku lakukan dan dengan cepat ia melepas tanganku yang
mencengkram pergelangannya. “Aku sibuk. Nanti aja-”
“Kamu selalu bilang gitu tiap aku mau ngomong sama
kamu. Sebenernya kamu ini kenapa? Kenapa kamu ngejauhin aku? Apa salah aku ke
kamu Pur? Kalo aku salah ngomong, jangan didiemin kayak gini.”
“Kalo kamu cuman mau ngomong hal-hal yang nggak
penting kayak gini, mending-”
“Jadi kamu anggap ini nggak penting??!” potongku lagi.
“Aku nggak nyangka, kamu itu kekanak-kanakan banget Pur. Aku pikir kamu itu
beda dari yang lain, ternyata kamu lebih parah!” aku segera berlari
meninggalkannya.
Aku tak perduli dengan orang-orang yang menatapku aneh
saat aku belari menuju kamar mandi. Sekuat tenaga aku menahan air mata yang
mendesak untuk keluar. Aku benci Pur. Aku benci!
**^_^**
2015
Kami kembali melanjutkan langkah dalam diam. Tungkaiku
terasa berat. Kembali aku tak mendapatkan jawaban apa-apa karena Pur lebih
memilih diam dan tak mengatakan sepatah katapun. Lagipula aku tak mengharapkan
ia menjawab pertanyaanku. Sampai kami di dekat Patung Flora, yang ada hanya
hening melingkupi kami. Bahkan suara-suara di sekitar kami seolah tak merambat
ke udara karena aku tak bisa mendengar apapun selain semilir angin.
Langkah kami berhenti di depan Patung Flora. Aku
meremas jari-jariku dan tak berani menatap sedikitpun padanya. Seharusnya
pertemuan ini tak usah terjadi. Seharusnya aku tak perlu lagi bertemu dengannya
dan mengubur dalam-dalam kisah SMA-ku.
“I’m gonna answer
your question, so-”
“Stop it,” potongku cepat. “Nggak usah
dijawab. Nggak perlu ada jawaban. Lagipula nggak ada yang perlu dijawab dan
nggak ada yang harus dijawab.”
“Tapi-”
“Lagian kita juga nggak sengaja ketemu kan? Dan aku...
sudah ngelupain masa SMK dulu. Terutama tentang kamu.”
Bohong. Tentu saja aku bohong. Sampai detik inipun aku
masih tak bisa melupakan pria di hadapanku ini. Segalanya. Sejak pertemuan
pertama kami, sampai terakhir kami bertemu sekitar tiga tahun yang lalu.
“But you haven’t
heard my reason,” Pur menyentuh kedua bahuku dengan tangan besarnya
membuatku kini tepat menghadapnya dan pandangan kami saling bersirobok. Aku
bisa dengan jelas melihat manik kelamnya yang menghujam irisku, membuatku tak
bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain. “Dulu... Sebenenya aku-”
“Sayang!”
Suara bass yang sangat kukenali memenuhi indra
pendengaranku. Membuatku menelengkan kepalaku mencari sumber suara. Dan benar
saja, aku melihatnya berdiri tak jauh dari tempatku dan Pur berada sekarang.
Pur melepaskan tangannya yang bertengger di bahuku dan
menatap pria yang kini sudah berdiri di sampingku setelah tadi ia berlari-lari
kecil menghampiri kami. Kedua pria dihadapnku ini lantas saling bertatapan
dengan ekspresi kuriositas yang bisa kulihat dengan jelas.
“Maaf terlambat,” ia mengusap pelan puncak kepalaku
seraya tersenyum membuatku tak tahan untuk ikut menarik kedua sudut bibirku.
“Siapa?” tanyanya padaku setelah kembali menatap Pur untuk kedua kalinya.
Aku menatap Pur terlebih dahulu. “Teman. Teman lama
waktu SMK,” jawabku dengan tetap mempertahankan lengkungan di bibirku.
“Oh ya sudah. Eum, kalau begitu kami permisi dulu ya.
Makasih sudah jagain gadis pendek ini tadi.” Ia tersenyum ke arah Pur, namun
kulihat Pur hanya diam saja.
Aku mempoutkan bibirku kesal. Seenaknya saja dia
selalu mengataiku gadis pendek. Sebenarnya aku ini kekasihnya atau bukan sih.
Huh.
Aku menatap pria yang sedikit lebih pendek dari Pur
yang kini menungguku melakukan sesuatu. “Apa?” tanyaku bingung.
“Pamit dulu sama teman kamu,” perintahnya.
Aku menatap tak enak pada Pur. “Pur. Aku jalan dulu.
Makasih tadi udah nemanin aku. Dan eum, sukses buat kuliahnya ya. Bye,” aku melambaikan tanganku riang
seolah tak terjadi apapun sebelumnya.
Dan kekasihku yang cerewet ini sudah menarik tanganku
meninggalkan Pur sendirian di depan Patung Flora. Pur tak sempat mengatakan
apapun padaku tadi. Sampai kami berbelok di persimpangan jalan, aku melihat Pur
masih bergeming di tempatnya tadi.
Biarlah. Lebih baik aku tak tahu alasannya saat itu
menjauhiku. Lebih baik seperti ini sehingga aku dan Pur tak perlu ada
keterikatan lagi selain sebagai teman satu sekolah di masa SMK. Meskipun dulu
saat SMK Pur-lah orang yang mengisi hari-hariku hingga jadi berwarna, namun ia
juga yang membuat masa SMK-ku menjadi suram.
Dia. Purwanto. Pria yang selalu terlintas namanya
dalam benakku. Pria yang dulu memiliki banyak tempat di hatiku. Bahkan sampai
saat ini, ia masih memiliki tempat meskipun ada nama kekasihku di dalam hatiku.
Pertemuan ini seperti mimpi di musim semi.
Kuharap suatu saat nanti aku bisa kembali bertemu
dengannya. Dan kami bisa membicarakan banyak hal. Suatu saat. Jika itu
memungkinkan.
.
.
FIN
Thanks a lot for ma best friend ever a.k.a Kukang
a.k.a Iwin... Thank you for accompanying me when I typed this story some days ago
J
And for someone who I lent his name on my story, thank you so
much ^^
For my beloved readers, a lot of love for you all ;)
Thank you for reading ^-^ *big hug*