ITB vs DTB (2nd Part)
Special Story for Darwin’s Birthday
.
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
.
Warning: Typo!!!!
.
###
Banyak orang yang tidak begitu menyukai hari Senin. Aku salah
satunya. Jika saja aku tidak mempunyai tetangga baru yang terlampau
menyebalkan, tentu hari Senin-ku tidak akan semakin terasa se-mengerikan
sekarang.
“Isah! Isah! Ayo cepat kita berangkat!! Isah!”
Lihat kan?
Aku tak suka ada orang yang memaksaku. Aku bukan tipe orang
yang mudah diperintah –terkecuali orang tuaku. Dan dia, oh Tuhan tabahkan aku
untuk menghadapi makhluk yang satu ini.
“Iya-iya, tunggu sebentar!,” balasku tak kalah nyaring dari
jendela kamar. Seharusnya aku tak perlu terburu-buru seperti sekarang, karena
pada kenyataannya masih ada waktu lebih dari tiga puluh lima menit sebelum
kuliah dimulai.
Makhluk itu melambaikan tangannya dari balik jendela kamarnya
yang terbuka dengan menampakkan senyum sok
menawannya ke arahku. Baiklah Isah, kau ingin Tuhan menyayangimu bukan? Kalau
begitu kau harus berbuat kebaikan kepada sesama makhluk-Nya.
Dengan berat hati aku membalas lambaian tangannya dan
berusaha menampakkan senyumku –meskipun kuakui senyumku jelek. “Tunggu aku di
luar rumah, aku akan segera keluar,” ucapku lantang agar ia bisa mendengar
suaraku.
Ia hanya mengangguk lantas menutup jendelanya setelah
sebelumnya ia kembali melambaikan tangannya padaku. Demi apapun, ini rasanya
tidak benar. Ayolah, aku ini wanita. Dan dia pria. Tapi kamar kami berhadapan
dengan hanya batas halaman kecil di samping rumahku serta pagar yang tidak
terlalu tinggi. Ia terlampau sering menunjukkan eksistensinya dari jendela
kamarnya dan senang sekali melihatku melalui jendela kamar.
Bukankah aku juga perlu privasi huh?
“Kenapa kau lama sekali? Kau bilang kalau kau itu bukan tipe
wanita yang suka berdandan. Tapi lihat, kau bahkan membuatku menunggumu lebih
dari lima menit,” ia berkacak pinggang dengan bersandar pada pagar rumahku saat
menatapku keluar dari rumah.
Aku memilih tak mengindahkan ucapannya dan berjalan lebih dulu
darinya.
“Hey, kau ini kenapa? Tunggu,” ia menahan lenganku membuatku
berbalik menatapnya.
“Kenapa?”
“Kau serius kita pergi ke kampus dengan jalan kaki?,”
wajahnya menatapku tak yakin.
Aku melepaskan tangannya yang bertengger di lenganku. “Kalau
kau tidak mau ikut denganku ya sudah. Kau ambil motormu dan pergilah lebih
dulu”
“Tapi kau bagaimana? Kau akan jalan kaki sendirian begitu?
Aku tidak mau membiarkanmu sendirian. Bagaimana kalau kau ikut denganku saja hmm?,” tawarnya.
Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya. “Sudahlah, kau
memang tak pernah memenuhi janjimu. Sahabat? Lupakan itu,” aku lantas berjalan
dengan tergesak meninggalkannya.
“Isah tunggu...” kali ini ia berusaha mensejajarkan langkah
besarnya dengan langkahku. “Kau ini kenapa pagi-pagi begini sudah marah-marah
seperti itu? Aku tidak melanggar janjiku, aku hanya merasa lebih baik hari ini
kita pergi naik motor saja, besok baru jalan kaki. Ya?”
Jujur saja aku juga tidak mengerti kenapa aku ingin
marah-marah padanya pagi ini. “Darwin dengarkan aku. Kau yang memberiku solusi
untuk membakar lemak dengan berjalan kaki ke kampus. Kau bilang lebih baik dari
pada harus melakukan diet dan tidak makan malam. Kau yang berjanji menemaniku
melakukannya minimal dalam seminggu ini. Dan hari ini, aku sudah mencoba
menerima saranmu itu. Lalu kau ingin membatalkan niatku begitu?,” aku menatap
sinis padanya.
“Isah bukan begitu. Eumm,
baiklah ayo kita sama-sama ke kampus dan jangan marah-marah pagi-pagi begini
oke?,” ia menarik tanganku dan berjalan dengan langkah lebarnya membuatku susah
payah mensejajarkan langkah kecilku karena kakiku yang lebih pendek darinya.
Aku hanya menurut saja ia yang terus menarikku agar berjalan
cukup cepat. Ini mungkin terlihat konyol, tapi memang kenyataannya. Aku tidak suka
olahraga tapi aku suka makan. Artinya lemak di dalam tubuhku semakin tertimbun
dan akhirnya kau bisa bayangkan bagaimana jadinya kan?
“Kau lagi haid?,” tanyanya tiba-tiba yang sontak membuatku
melepaskan genggaman tangannya.
“Dasar otak mesum,” cibirku membuatnya terkekeh pelan.
“Ya sudah kalau begitu. Kita balapan sampai ke kampus. Siapa
yang kalah harus mentraktir makan siang setuju? Dan kita mulai dari..
sekarang,” ia segera berlari meninggalkanku sebelum aku menyetujui idenya. Aish, ini kecurangan namanya.
Dengan terpaksa aku turut berlari berusaha mengejarnya
meskipun sudah dipastikan aku akan kalah. Yah , paling tidak aku berusaha dulu.
Sungguh, aku tak suka Darwin memandang lemah padaku. “Darwin kau curang! Tunggu
aku!,” teriakku susah payah karena tak bisa mengejarnya.
Darwin berbalik menatapku namun dengan berjalan mundur tanpa
berniat menghentikan langkahnya, “Tidak mau! Kau harus berusaha dulu
mengejarku. Kau tidak bosan selalu kalah denganku? Hahaha,” ia lantas kembali berbalik dan berlari meninggalkanku
dengan pasokan oksigen yang rasanya habis begitu saja di dalam paru-paruku.
Aku ikut tertawa. Aneh memang, selama ini aku selalu kalah
darinya dalam hal apapun. Karena Darwin memang bukan tipe pria yang mudah
mengalah pada wanita termasuk padaku, sahabatnya sendiri. Dengan sisa tenaga
yang kumiliki aku terus berlari agar bisa sampai di kampus lebih dulu dari pada
Darwin.
“Haish sial,”
rutukku karena aku mau saja menuruti tantangan bodohnya ini.
###
“Kenapa kau memutuskan untuk pindah di sebelah rumahku,”
akhirnya pertanyaan yang sudah seminggu ini menggangguku pikiranku kuungkapkan
juga. Kali ini aku berada di teras rumah Darwin karena aku sedang malas di
rumah.
Ia tersenyum mengejek menatapku. “Setelah seminggu lamanya
tetangga barumu ini pindah kau baru menanyakannya?”
“Biasanya kau akan bercerita padaku. Aku menunggu sampai
membuatku penasaran tapi kau tak juga menceritakannya denganku. Bahkan saat kau
akan pindah-pun kau tak memberitahukannya padaku dan tiba-tiba saja kau sudah
menjadi tetanggaku,” aku mempoutkan bibirku sebal.
“Aku bahkan menunggumu bertanya. Aku pikir kau tidak peduli, yeah akhirnya kau bertanya juga. Kau ini
terlalu menjaga ego-mu untuk sekedar bertanya.” Darwin lantas menselonjorkan
kakinya dan menatap jalanan kecil di depan rumahnya.
“Baiklah tidak usah diperpanjang hal itu. Jadi kenapa kau
pindah?”
“Agar bisa semakin dekat denganmu”
Aku terperangah menatapnya. “Hanya itu?,” tanyaku tak
percaya.
“Hmm. Hanya itu,”
jawabnya santai.
Aku masih menatapnya dengan tatapan menuntut penjelasan
lebih. “Orang tuamu bagaimana? Maksudku kau kan pindah sekeluarga, dan tidak
mungkin kan hanya karena alasan itu?”
Kali ini Darwin duduk menyila dan menatapku dengan sedikit
serius. “Kau ingat tidak saat aku kecelakaan setelah kau membohongiku kalau kau
tidak bisa pulang karena kehujanan?”
Aku menghela nafas. Kenapa ia kembali membahas hal itu? Aku kan jadi merasa bersalah lagi. “Iya aku
ingat”
“Setelah kejadian itu kurasa lebih baik aku harus berada di
dekatmu agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Aku yang tidak lagi
membohongimu hanya agar kau bisa datang ke rumahku, dan kau tidak bisa
membohongiku kalau kau sedang tidak berada di luar rumah. Dan kurasa dengan
begini aku bisa menjagamu dari dekat,” tuturnya membuatku terharu.
“Tapi ada alasan lain di samping itu semua”, lanjutnya lagi.
Sebelah alisku terangkat. “Memangnya apa alasan lainnya?”
“Harga rumah ini cukup murah, haha. Dan lagi, jika kita bertetangga aku bisa lebih sering
mengerjaimu dan mengganggumu,” ia tertawa tanpa dosa membuat ekspresi haruku
berubah dan beralih menatapnya dengan ekspresi tak suka.
“Aku baru saja ingin mengatakan kau itu sahabat terbaik di
dunia,” kucubit pelan lengannya membuatnya meringis heboh seperti tangannya
baru saja kugores dengan pisau. “Hey tidak usah berlebihan seperti itu”
“Oh ya Isah. Besok kan hari Sabtu kita libur kuliah, kau mau
menemaniku tidak?”
“Ke mana?”
“Ke sebuah tempat yang sangat indah. Tempat itu hanya aku
yang tahu. Dan besok, aku ingin kau menjadi orang kedua yang melihatnya
setelahku. Kau mau kan?”
Aku berpikir seolah berat untuk menerima tawarannya. “Besok?
Aku tidak janji bisa ikut,” kutunjukkan ekspresi tak yakin padanya padahal
sejujurnya aku tentu saja ingin sekali ikut.
“Ayolah Isah, yaya,”
ia menunjukkan wajah sok imutnya
padaku sembari tangannya mengguncang-guncang pelan bahuku.
“Hmm, baiklah kalau
kau memaksa. Dengan terpaksa aku akan ikut denganmu”
Sekarang senyumnya semakin lebar. Ia benar-benar terlihat
seperti anak kecil jika seperti ini. Aku bahkan turut tak bisa menyembunyikan
senyumku. “Ya sudah aku pulang dulu. Kita bertemu lagi besok,” aku bangkit berdiri.
“Aku akan menjemputmu besok, jangan bangun kesiangan oke,” ia
turut berdiri dan mengantarku sampai ke depan pagar rumahnya.
Aku melambaikan tangan padanya dan ia balas melambaikan
tangannya hingga aku berjalan menuju rumahku yang jaraknya hanya beberapa meter
saja dari rumahnya.
###
Aku mengenal Darwin lima tahun yang lalu. Seharusnya selama
lima tahun itu aku banyak mengetahui tentang dirinya. Tapi fakta menunjukkan
kebalikannya. Entahlah, kurasa terlalu banyak hal yang ia sembunyikan dariku.
Mungkin ia tak bermaksud menyembunyikannya hanya saja terlampau banyak hal yang
tak aku ketahui tentangnya.
Darwin dan aku memang berteman, bersahabat bahkan. Namun
kepribadiannya yang sulit ditebak membuatku selalu tak pernah mengerti akan
dirinya. Bahkan saat ia menunjukkan eksistensinya di hadapankupun aku tak bisa
mengerti dirinya. Terkadang ia menjadi pria yang menyenangkan, membuatku ingin
berlama-lama berada di dekatnya. Terkadang ia menjadi pria menyebalkan yang
membuatku muak –bahkan-aku-pernah-ingin-membunuhnya. Namun terkadang ia kembali
menjadi sosok hangat yang selalu melindungiku dan membuatku merasa berarti.
Darwin bukanlah pria penyuka kisah picisan. Ia lebih menyukai
sesuatu yang berbau horror ataupun thriller. Namun sekarang, ia membuat
hidupku seperti berada dalam kisah picisan yang menguras air mata.
Tadi malam ia menelponku dan berjanji akan menjemputku pagi
ini tepat jam sembilan tanpa lewat satu detikpun. Sekarang sudah pukul sembilan
lebih dua puluh lima menit dan ia sama sekali tak menunjukkan kehadirannya.
Bahkan ia tak membalas pesan singkatku. Oke, seharusnya aku menelponnya. Tapi
terus terang saja aku terlalu gengsi untuk menelponnya lebih dulu. Selama ini
ia lah orang yang selalu menelponku lebih dulu.
Aku sudah mengirim sebelas pesan singkat yang semua isinya
kurang lebih sama. Mengenai keberadaannya sekarang, apakah ia membatalkan
janjinya, serta ancamanku yang tak mau lagi melihatnya jika ia tak membalas
pesanku. Namun hasilnya nihil. Satupun pesanku tak kunjung ia balas.
Langit pagi ini sepertinya kurang bersahabat. Aku menatap
keluar jendela kamarku, melihat jendela kamar Darwin yang tertutup. Biasanya ia
sudah membuka jendelanya pukul enam pagi. Apa ia sakit? Entahlah. Seharusnya
jika ia ingin membatalkan janjinya ia menghubungiku dulu.
Perlahan air langit mulai turun, membuat nuansa picisan
semakin terasa. Aku seperti berada di dalam drama melankolis, di mana sang
pemeran wanita berdiri di tepi jendela menatap langit kelabu dengan tumpahan
air yang menyeruak ke permukaan bumi, menunggu kehadiran seseorang. Dan aku
benci berada dalam situasi ini.
Darwin. Ini sudah janji kesekian yang ia batalkan denganku
selama aku mengenalnya. Baiklah, mungkin kalian akan berpikir kenapa aku bisa
selalu berbaikan dengannya kan?
Kuberitahu kau kalau aku tak bisa menolak tatapan memohonnya yang meminta belas
kasihan padaku. Mungkin aku tak bisa mengatakan kali ini ia membatalkan
janjinya, tapi sudah dipastikan ia tidak akan datang karena toh cuaca sedang tidak bersahabat.
Aku melempar asal ponselku di atas tempat tidur. Kurasa hari
ini akan menjadi hari yang sangat membosankan. Tak ada yang bisa aku lakukan
selain membantu ibuku di dapur, membersihkan rumah, dan juga menenonton
tayangan tv yang itu-itu saja.
Setelah ini aku tidak mau lagi bertegur sapa dengan makhluk
nenyebalkan bernama Darwin itu. Tidak akan.
###
“Isah, kau marah?”
Aku saat ini sedang emosi dan lebih memilih mengacuhkannya.
“Isah, kumohon berhenti sebentar,” Darwin terus berusaha
menyamakan langkahnya dengan langkahku. “Isah,” panggilnya lagi ketika aku
sudah sampai di parkiran dan bersiap mengambil motor.
Aku menatap tajam padanya yang kini matanya menyorotkan
permohonan padaku. Haruskah ia bertanya untuk pertanyaan yang sudah ia tahu
pasti jawabannya? Tentu saja aku marah. Ia juga pasti akan melakukan hal yang
sama jika berada dalam posisiku.
“Isah maaf,” lirihnya dan pandangan memohonnyanya terus
menohokku, menelanjangi pertahananku. Sudah kukatakan bukan aku tidak bisa
melihat tatapan memohonnya seperti itu.
“Minggir, aku mau lewat.” Tak tahan dengan ekspresi
memohonnya itu aku lebih memilih segera pergi dari sini.
“Aku tidak akan minggir jika kau tak mau mendengarkan
penjelasanku,” ia menghadang di depan motorku dengan membentangkan kedua
tangannya.
Aku tak ingin mendebatnya saat ini. Aku membunyikan klakson
pertanda agar ia segera menepi karena jika ia tak juga menjauh maka aku tak
segan-segan menabraknya.
“Isah kemarin aku-“
“Darwin! Kau kemana saja? Aku mencarimu dari tadi,” gadis
kelas sebelah yang aku lupa siapa namanya datang entah dari mana dan langsung
menarik lengan Darwin pergi meninggalkanku. Aku menatap kepergian kedua orang
itu dengan ekspresi tak suka. Oke, aku tak cemburu. Aku hanya tidak suka.
Jangan tanyakan alasannya kenapa kau tak suka karena aku-hanya-tidak-suka.
Dengan rasa dongkol aku membawa motorku meninggalkan parkiran
kampus. Aku tak tahu harus kemana karena sekarang masih terlalu cepat untuk
pulang. Mungkin menghabiskan waktu beberapa puluh menit di tempat yang biasa
aku habiskan bersama Darwin tak masalah, orang tuaku pasti tidak akan khawatir.
Semilir angin di pinggir sungai ini cukup sejuk. Sekarang
tidak terlalu banyak orang yang datang ke sini, hanya ada beberapa orang saja
yang sekedar duduk sepertiku dan ada juga beberapa diantara mereka yang
memancing. Sungai di depanku ini tidak terlalu luas dan airnya-pun tidak begitu
jernih. Yang membuatku menyukai tempat ini adalah udara di sekitar sini yang
segar, karena banyak pepohonan rindang di sekitar sungai.
“Sangat berbahaya gadis sepertimu duduk seorang diri di
tempat ini,” lamunaku buyar karena suara bass yang tak asing menyapa
pendengaranku.
“Oh, hey.. Apa yang
kau lakukan di sini?,” aku tak percaya bertemu dengan Alfi siang-siang begini.
Biasanya anak ini hanya bisa ditemui sore hari atau malam hari. Aku juga tak
tahu sesibuk apa pekerjaannya di bengkel.
“Hanya ingin merilekskan pikiran. Bagaimana denganmu?,” ia
duduk di sampingku.
“Jawabanku sama sepertimu. Eum, ngomong-ngomong bagaimana pekerjaanmu?,” aku lebih dulu
membuka topik pembicaraan.
“Yaah, seperti
biasa. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin sibuk di bengkel. Kuliahmu
bagaimana?”
“Tidak ada peningkatan, monoton. Aku bahkan bosan kuliah dan
ingin berhenti saja,” aku melemparkan beberapa kerikil di sekitarku ke dalam
sungai.
Kudengar Alfi terkekeh pelan. “Kalau kau berhenti kuliah, apa
kau mau bekerja di bengkelku?”
Aku sontak menatapnya. “Bekerja di bengkelmu? Jadi apa?
Bagian Accounting?”
“Bukan. Jadi tukang antar minuman untuk karyawan bengkel.. hahahaa”
Dengan cepat kutinju lengannya. “Tapi, kenapa kau tidak
kuliah? Kau kan bisa bekerja sambil kuliah Fi?”
Alfi tak lantas menjawabku. Ia menghela nafasnya lalu
menatapku dengan senyum tipis. “Mungkin belum Sah. Aku masih belum punya uang
untuk kuliah. Lagipula aku menjadi tulang punggung keluargaku jadi aku harus
giat mencari uang untuk membiayai mereka. Kuliah beberapa tahun lagi tak masalahkan,
toh tidak ada batasan usia”
Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus mengatakan apa karena
aku tak punya kalimat untuk kukatakan. Aku salut dengan Alfi, pria tangguh yang
sudah kukenal sejak kami SD. Aku bahkan mengenal Alfi jauh sebelum aku mengenal
Darwin. Eh, mengingat Darwin
membuatku kembali kehilangan energi positifku.
“Isah”
“Hmm?”
“Kenapa kau sendirian? Biasanya kau bersama Darwin. Kemana
dia?”
“Jangan membicarakannya. Aku sedang tak ingin membahas
tentangnya atau bahkan mendengar namanya”
“Kalian.. bertengkar?” Alfi kembali terkekeh.
Kulempar lagi kerikil-kerikil kecil ke dalam sungai. Aku
yakin Alfi mengerti aku tak ingin membahas hal itu.
“Kalian ini aneh. Bukankah kalian bersahabat? Kalian bisa
menyelesaikannya baik-baik”
Aku hanya mempoutkan bibirku kesal dan terus melempar kerikil
ke dalam sungai. Aku tak ingin mengatakan apapun jika itu menyangkut Darwin.
“Alfi, aku lapar. Mau makan siang denganku? Biar aku yang traktir”
“Ckk, mau ditaruh
di mana harga diriku sebagai pria. Biar aku yang traktir, kebetulan aku sedang
punya uang lebih,” Alfi lebih dulu bangkit berdiri. “Ayo”
“Kau yakin?”
“Hmmm tentu saja..
Ayo, aku juga lapar”
Tanpa berpikir panjang aku lantas berdiri dan berjalan menuju
warung makan tak jauh dari pinggir sungai yang aku duduki. Mungkin dengan
menghabiskan waktu bersama Alfi bisa mengurangi kekesalanku karena Darwin.
###
“Kau dari mana saja?,” Darwin berdiri dengan bersandar pada
pagar rumahku.
Aku masih dalam posisi mengendarai motor dan menatap heran
padanya. Tanpa memperdulikannya aku masuk ke dalam pekarangan rumahku untuk
memarikirkan motorku.
“Aku menelponmu beberapa kali tapi tak kau angkat. Kau kemana
saja?,” ia mendekatiku.
“Bukan urusanmu,” jawabku dingin dan bersiap masuk ke dalam
rumah. Dengan cepat ia menarik tanganku dan menarikku keluar dari halaman
rumah. “Hey, lepaskan aku,” aku
meronta karena cengkramannya pada lenganku terlalu kuat.
Ia tak mengindahkanku yang terus meronta agar melepaskanku.
Darwin menarikku, membawaku ke sebuah kebun tebu tak jauh dari rumah kami. Ia
hanya diam di sepanjang jalan hingga kami sudah sampai di tengah kebun ia baru
melepaskan cengkaramannya. Terang saja aku segera mengelus pergelangan tanganku
yang terasa perih dan panas.
“Kenapa kau tak menjawab panggilan telponku?,” ucapnya sengit
dan menatapku tajam.
Aku yang tak mengerti kenapa ia semarah itu hanya menatap
heran padanya. “Memangnya ada hal penting apa sampai kau semarah itu telponku
tak kujawab?”
“Biarpun tak ada hal yang penting, kau harus menjawab panggilan
telpon dariku!” Darwin berteriak tepat di depan wajahku.
Kini giliranku yang menatap tajam
padanya. “Kau bilang harus?,” sinisku. “Kau siapa memerintahku seperti itu? KAU
TIDAK PUNYA HAK UNTUK MENGATURKU!!”
Aku bisa dengan jelas melihat
tangan Darwin yang terkepal dan matanya terus menyiratkan kemarahan padaku.
“Siapa? Kau bilang siapa aku? JADI SELAMA INI KAU TAK MENGANGGAPKU SAHABATMU?,”
ia berteriak tak kalah nyaring tepat di depan wajahku.
“Kau...,” dengan sengaja aku
mengacungkan jari telunjukku ke hadapannya. “Kau tak usah menganggap kita
sahabat. Persetan dengan kata itu
karena kau bukan sahabatku! Kau tak pernah mengerti aku.. Yang kau tahu hanya
dirimu sendiri!,” desisku.
Darwin mengusap kasar wajahnya. Ia
menghela nafas panjang lantas setelahnya memegang kedua pundakku dengan
tangannya, bahkan cukup kuat hingga bahuku terasa berat. “Kenapa? Kenapa kau
berpikiran seperti itu?,” ia mencoba memelankan nada bicaranya.
Dengan cepat kutepis kedua
tangannya yang bertengger di bahuku membuatnya sontak menatapku penuh tanya.
“Kau bertanya kenapa? Tak bisakah kau pikirkan apa yang selama ini sudah kau
perbuat padaku??? Tak bisakah kau mengerti aku sedikit saja? Kau keterlaluan
Win..” mati-matian aku menahan air yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku
tak ingin menangis di hadapan Darwin saat ini.
“MEMANGNYA SELAMA INI AKU TAK
MENGERTI APA TENTANGMU??! KAU INGIN AKU MENGERTI SEPERTI APA LAGI HAH!,” Darwin
membentakku. Aku tahu ia pasti sudah tersulut emosi.
Ini pertama kalinya Darwin
berteriak seperti itu padaku. Ini pertama kalinya ia membentakku. Mati-matian
aku menahan air mataku, pada akhirnya aku kalah. Aku tak dapat lagi membendung
air mataku, rasanya sesak yang aku sendiri tak tahu kenapa. Aku tak tahu kenapa
rasanya sakit sekali melihatnya berteriak seperti itu padaku. “Jadi...” aku
mencoba mengeluarkan suaraku, tenggorokanku rasanya tiba-tiba tercekat. “Jadi
sekarang kau seperti ini? Sudah bisa membentakku? Padahal kau memang tak pernah
mengerti aku,” aku yakin suaraku terdengar sinis di telinganya. Aku bahkan
menatapnya dengan senyum mengejek meskipun air mataku terus-terusan mengalir.
Darwin kembali menghela nafasnya.
Oh ayolah, aku juga lelah. Seharusnya
aku yang marah dalam situasi ini.
“Sah.. Bisakah kita bicarakan hal
ini baik-baik?” nada bicara Darwin melunak.
“Bicarakan baik-baik? Lalu siapa
yang menyeretku ke sini dan berteriak padaku? Kau kan?? Seharusnya aku juga
marah karena kau tak menjelaskan padaku kenapa kemarin kau membiarkanku
menunggumu??? Kenapa kemarin kau tak membalas pesanku??!”
Darwin diam. Ia bahkan mengalihkan
pandangannya dariku dan berusaha menghindari bertemu pandang dengan mataku.
“Kenapa kau tak menjawabku? Kau tak
ingin menjelaskannya kan?”
Darwin kembali menatapku, aku bisa
melihat matanya yang menyiratkan kekecewaannya padaku. “Karena kau tak
memberiku kesempatan untuk menjelaskannya,” ia menghela nafas –lagi setelah
mengucapkan kalimatnya.
Air mataku terhenti seketika. “Oh
baiklah. Salahkan saja semuanya padaku. Kau bahkan lebih memilih pergi dengan
gadis anak kelas sebelah dibandingkan menahanku agar tak pergi dan menjelaskan
segalanya,” aku bebalik dan berniat pergi dari hadapannya sebelum akhirnya ia
kembali mengucapkan kalimat yang membuat langkahku terhenti.
“Lalu kenapa kau tak menjawab telponku saat
bersama Alfi?”
Aku kembali berbalik dan menatap
heran padanya. “Dari mana kau tahu aku bersama Alfi?”
Ia berjalan mendekatiku dan
memandangku dengan senyum sinis. “Jadi karena bersama pria itu kau tak
mengangkat panggilan dariku? JADI ALFI LEBIH PENTING DARIKU??,” Darwin kembali
berteriak.
Jantungku seolah mencelos melihat
Darwin seperti ini. Kenapa ia harus semarah itu sedangkan aku yang kemarin ia
biarkan menunggu tak sampai semarah ini. “Kau kenapa seperti ini? Bukankah yang
seharusnya marah itu aku? DAN BERHENTI BERTERIAK DI DEPANKU!!”
“Kau marah karena aku tak membalas
pesanmu? Kalau begitu kenapa kau hanya mengirim pesan singkat? Kenapa kemarin
kau tak menelponku dan bertanya aku ada di mana, apa yang aku lakukan, kenapa
aku tak membalas pesanmu, kenapa aku tak bisa menjemputmu... Kenapa kau tak
menelponku?,” aku tak tahu kenapa karena suara Darwin seperti kecewa padaku.
“Oh.. Jadi aku harus menelponmu?”
“Tidak. Tidak usah. Kau terus saja
jaga ego-mu, terus saja menjadi Isah yang tak pernah mengerti seorang Darwin.
Dan... Seperti yang kau katakan tadi. Persetan
dengan kata sahabat. Kita tidak dalam hubungan untuk itu,” Darwin segera
beranjak pergi dari hadapanku dan pergi meninggalkanku dalam geming. Ia
melangkah terburu-buru dengan langkah lebarnya.
Aku mematung menatap punggungnya
yang terus beranjak menjauh. Jadi, begini kah akhirnya persahabatan yang kami
jalani selama lima tahun terakhir ini? Kenapa ia harus semarah itu?
Air mataku kembali mengalir. Aku
berjalan perlahan meninggalkan kebun tebu menuju rumahku. Aku membenci Darwin.
Aku membencinya. Aku tak sudi lagi melihat wajahnya apalagi mendengar namanya.
Segala tentangnya.
###
Jarum jam sudah menunjuk angka
sebelas. Aku bahkan tak bisa meski sekedar memejamkan mataku. Kejadian tiga
hari yang lalu terus berputar dalam memoriku seperti kaset rusak. Kejadian itu
sudah berlalu selama tiga hari namun aku tak bisa melupakannya.
Selama tiga hari ini aku terus
memikirkan berbagai hal yang kemungkinan menjadi penyebab Darwin marah padaku.
Aku yakin ia tak mungkin marah hanya karena aku tak menjawab panggilan
telponnya saat bersama Alfi. Ia bukan pria yang pencemburu, aku sangat yakin
hal itu. Hanya saja... yang membuatku terus menerus berpikir adalah ucapannya
yang mengatakan aku tak menghubunginya saat itu. Saat dimana ia berjanji
menjemputku namun ia malah tak menghubungiku sama sekali.
Memangnya apa yang sebenarnya
terjadi? Kenapa aku harus menelponnya saat itu? Bukankah ia bisa menelponku
jika ia membatalkan janjinya?
“Aaargh...” aku bangkit dari tempat tidur dengan melempar asal
bantalku sampai membentur dinding kamar. Rasanya kantukku hilang dan kupastikan
malam ini aku mengalami insomnia lagi.
Kuambil sebuah buku bersampul
hitam. Terlihat kekanak-kanakan memang, tapi inilah hal yang sudah sekitar tiga
belas tahun kulakukan selama hidup di dunia. Menulis segala kejadian di dalam
buku diary. Alisku bertaut ketika
kubuka bukuku yang tersisa hanya tiga lembar saja halaman yang kosong. Aku tak
ingat kalau bukuku hampir habis. Rasanya sudah sebulan aku tak menulis di dalam
buku diary ini, entahlah aku terlalu
sibuk untuk menghabiskan waktu menulis dan juga, yeah aku terlalu cepat tidur sebelum sempat menulis.
Mataku membelalak seketika ketika
kulihat pertama kali tulisan di halaman terakhir yang kutulis sebulan lalu.
Astaga bunuh saja aku.
15 September, 21.00 p.m
Tadi siang aku dan Darwin pergi ke
toko buku. Kami melihat sebuah buku tentang astronomi. Banyak gambar-gambar
gugusan bintang di dalam buku itu, cantik. Darwin bilang saat ulang tahunnya
bulan depan, dia ingin melihat gugusan bintang di tengah lapangan sepak bola di
dekat rumahnya bersamaku. Ia bilang ingin melihatnya sambil merayakan ulang tahunnya
jam dua belas malam. Aku hanya meng-iyakan perkataannya. Tak masalahkan
sekali-sekali kami berkemah tengah malam, pasti menarik sekali. Semoga bulan
depan rencana kami untuk melihat gugusan bintang di hari ulang tahun Darwin terwujud.
Hoaahm, baiklah aku ngantuk. Besok
harus kuliah.. Semangat ^^
Aku sungguh lupa besok adalah ulang
tahun Darwin. Buru-buru aku bangkit dan membuka tirai jendelaku, menatap
jendela kamar Darwin yang tertutup dan terlihat gelap di dalamnya. Kuhela nafas
gusar. Tiga hari tanpa Darwin terus terang saja aku merasa hambar. Tak ada
Darwin yang mengirimiku pesan singkat sebelum tidur, tak ada Darwin yang
membuka jendelanya di pagi hari dan berteriak memanggil namaku, tak ada Darwin
yang selalu pergi ke kampus bersamaku, tak ada Darwin yang selalu pulang
bersamaku. Di kampus pun kami saling tak bertegur sapa.
Hanya tiga hari namun rasanya sudah
lama sekali. Tanpa kusadari setitik air mata mengalir dari sudut mataku. Tak
bisa kupungkiri, aku merindukan Darwin. Aku merindukannya meskipun ia
menyebalkan. Meskipun kami terlampau sering berdebat hanya untuk hal-hal
konyol, meskipun kami terlampau sering berdebat karena perbedaan pandangan
antara pria dan wanita, tapi aku merindukan eksistensinya di dekatku.
Apa selama ini aku terlalu egois
padanya? Tapi, bukankah ia juga egois?
Aku terus menerus berdebat dengan
pikiranku sendiri hingga nada dering alarm di ponselku menyadarkanku dan detik
berikutnya mataku melotot sempurnya melihat tulisan di layar ponsel.
Darwin’s Birthday.
Sudah pukul 11.35 p.m. ,masih ada
waktu kurang dari setengah jam sebelum jam 12 malam. Aku hanya bisa mondar
mandir di depan jendela kamar. Sejujurnya aku bingung. Malam ini aku pernah
berjanji pada Darwin untuk merayakan ulang tahunnya dan melihat gugusan bintang
bersama. Tapi aku tak yakin apa ia masih mengingat janji itu atau tidak. Dan
yang lebih membuatku gusar adalah aku yang sama sekali tak berani keluar rumah
hampir tengah malam seperti ini.
Kulihat kamar Darwin gelap. Aku tak
tahu apakah anak itu sudah tidur atau ia pergi ke sana seorang diri, entahlah.
Aku bingung apa aku harus ke sana atau tidak. Kalau aku ke sana, mungkin ini
kesempatanku untuk berbaikan dengannya. Tapi, masalah utamanya saat ini adalah
aku tak berani keluar rumah.
Bagaimana ini?
Dengan sedikit keberanian akhirnya
kubawa tungkaiku keluar rumah dengan mengendap-endap. Terang saja, jika aku
meminta ijin kepada orang tuaku pasti aku tidak diijinkan. Dengan perlahan
kukeluarkan motorku menuju halaman dan menyeretnya hingga keluar pagar lantas
setelah benar-benar berada dalam jarak aman aku menyalakan motorku. Jika
kunyalakan motorku sejak di dalam halaman, pasti orang rumah akan mendengar.
Lantas setelah mesin motor
kuhidupkan aku langsung membawa motorku menuju rumah lama Darwin.
###
Jalanan sunyi meskipun ada beberapa
kendaraan besar –maksudku truk- melintas. Udara dingin menelusup membuat bulu
romaku berdiri. Kuharap tak terjadi sesuatu yang buruk hingga aku tiba di sana.
Guk.. guk..
Bukankah itu suara anjing? Dari
kaca spion, aku melihat seekor anjing yang entah warna hitam atau coklat
-karena jalanan cukup gelap- sedang berlari mengejar motorku. Ya Tuhan, kenapa
anjing itu mengejarku? Aku kan tak punya masalah dengannya.
Kulajukan motorku agar lekas
sampai. Namun sialnya, kurasa anjing itu memiliki kekuatan seperti Bolt, kartun animasi yang pernah
kutonton. Untung saja aku sudah bisa melihat rumah lama Darwin dan setelah
sampai segera kuparkirkan motorku.
Guk.. guk..
Sial. Kenapa suara anjing itu
semakin jelas? Aku tak tahu apakah anjing itu berada di belakangku atau tidak,
yang jelas aku segera berlari menuju lapangan sepak bola yang jauhnya sekitar
seratus meter melalui jalan setapak di samping rumah lama Darwin. Jalanan yang
temaram hanya bermodalkan cahaya dari ponselku membuatku sedikit kesusahan
berjalan karena di kiri kanan jalan setapak ini ditumbuhi semak belukar.
Guk.. guk..
Oh Tuhan apa dosaku sampai-sampai
tengah malam seperti ini aku dikejar anjing. Meskipun suara anjing itu sudah
samar-samar terdengar tapi aku tetap saja ketakutan dan terus berlari. Bukan
hanya karena aku takut anjing itu menggigitku, tapi karena jalanan ini yang
sangat seram. Aku takut jika nanti melihat penampakkan, atau tiba-tiba ada
makhluk astral yang berjalan di sampingku, atau nanti...
“Aaaakh,” aku tak melihat jika di depanku ada bebatuan hingga
akhirnya aku terjerembab dan lututku mengenai bebatuan yang cukup tajam hingga
bagian lutut celanaku robek.
Aku meringis kesakitan. Ditemani
dengan cahaya ponsel –karena tak ada lampu di sepanjang jalan- aku menerangi
lututku untuk memeriksanya. Ada bercak darah dan rasanya perih sekali. Kembali
udara dingin dan kali ini sepoi angin malam menerpa kulitku yang terbuka
membuat bulu romaku meremang.
Dengan susah payah aku bangkit agar
keluar dari jalan setapak ini. Namun lututku tak mampu menahan keseimbangan
tubuhku hingga aku kembali terjatuh. Jantungku sudah berdebar sejak tadi karena
aku benar-benar ketakutan saat ini.
“Kau tidak apa-apa?”
“Aaaargh,” dengan cepat kututupi wajahku dengan kedua telapak
tanganku. Itu tadi suara apa? Aku mendengar suara seseorang dan... aku bisa
merasakan presensinya di dekatku.
Kurasakan ada yang menyentuh bahuku
membuatku terisak tanpa sadar. “Aaaarrgh... Pergi dari sini!!,” aku meronta
bahkan sejak tadi mulutku sudah komat-kamit
membaca Ayat Kursi dan Surah-surah pendek yang kuhafal.
“Isah.. Isah... Kau kenapa? Ini
aku, Darwin”
Aku masih belum berani membuka
mataku. Aku takut itu Darwin sungguhan atau Darwin jadi-jadian.
“Isah, buka matamu. Ini aku..
Isah,” aku merasakan ia mengguncang pelan bahuku. Aku kenal suara itu, itu
memang suara Darwin.
Perlahan kubuka telapak tanganku
dan samar-samar aku melihat Darwin berjongkok di sampingku dengan memegang
sebuah senter. Aku mengerjapkan mataku memastikan kalau yang di hadapanku ini
memang Darwin sungguhan.
Tanpa pikir panjang aku langsung
memeluknya. Aku sungguh takut apa yang akan terjadi seandainya Darwin tak
datang ke sini. “Hiks, Darwin aku
takut.. Hiks”
Darwin mengelus pelan punggungku,
membiarkanku meminjam dada bidangnya untuk menghilangkah ketakutanku. “Tak
apa-apa, ada aku di sini”
Aku hanya mengangguk pelan dan
semakin mengeratkan pelukanku pada pinggangnya. Darwin mendekapku begitu erat,
memberikan rasa nyaman untukku.
“Apa yang kau lakukan tengah malam
seperti ini di sini?,” akhirnya Darwin yang lebih dulu mengeluarkan suaranya di
sela dekapannya setelah beberapa menit kami hanya terdiam.
Isakanku sudah berhenti dan aku
segera melepaskan pelukanku. Kutatap wajah Darwin yang tidak begitu jelas,
mungkin mataku terlihat sembab sekarang. “Selamat... Ulang tahun Win,” kucoba
agar nada suaraku setenang mungkin.
Darwin tertawa pelan lantas
mengusap pelan puncak kepalaku. “Kau ini ada-ada saja. Kau rela keluar tengah
malam begini karena ingat janjimu bulan lalu huh?”
Tentu saja aku menjawabnya dengan
anggukan pasti. Aku kan bukan gadis yang suka melanggar janji.
“Baiklah, kalau begitu kita pergi
dari sini. Kau ingin berlama-lama di sini? Di sini kan katanya ada
‘penampakan’”
“Aaaakh, Darwin jangan menakut-nakutiku.” Aku langsung memeluk
Darwin lagi karena sejujurnya aku sensitif sekali dengan segala hal yang berbau
mistis.
“Hahaa, aku hanya bercanda. Ya sudah, kalau begitu ayo kita segera
ke lapangan”
“Tapi.. Lututku sakit. Tadi aku
berlari di sepanjang jalan karena ada anjing yang sepertinya mengejarku,”
kutunjukkan lututku yang berdarah setelah kulepaskan pelukanku.
“Dikejar anjing? Bagaimana bisa?”
Aku hanya menggeleng pelan. Aku
memang tak yakin kalau anjing itu memang mengejarku atau tidak.
Darwin berbalik, membiarkanku
menatap punggugnya. “Naiklah”
“Hah? Ap, apa? Naik ke punggungmu?”
“Hmm.. Ayo cepat naik”
Dengan ragu aku naik ke punggung
Darwin. Ia menggendongku dan berjalan dengan perlahan menyisir jalan setapak
ini menuju lapangan sepak bola yang tak jauh beberapa meter lagi. Aku memegang
senter yang tadi Darwin bawa dan mengarahkannya tepat ke arah jalanan di depan
Darwin agar ia bisa melihat jalanan dengan jelas.
Aku tak tahu kenapa tapi yang pasti
jantungku berdentam-dentam, bahkan aku takut jika sampai Darwin bisa merasakan
debaran jantungku ini. Darwin masih terus berjalan tanpa mengeluarkan sepatah
kata-pun. Begitu pula denganku. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan
padanya hanya saja aku bingung harus memulainya dari mana.
###
Lapangan sepak bola yang menjadi
tempat tujuan kami hanyalah lapangan rumput biasa yang sering dijadikan tempat
bermain sepak bola oleh anak-anak di kompleks sekitar sini. Tak ada lampu
penerangan sama sekali selain senter yang kubawa. Tapi untunglah langit terang
berhiaskan gemerlap bintang dan cahaya bulan yang hampir penuh menambah semarak
panorama langit malam ini.
“Kita sampai.” Darwin menurunkanku
tepat di tengah lapangan, lantas ia juga turut duduk di sisi kananku.
Jantungku semakin berdetak tak
karuan ketika Darwin menautkan jemari tangan kirinya dengan jemari tangan
kananku. Dengan susah payah aku menelan salivaku sembari menatap manik
kelamnya. Padahal tak ada lampu selain senter yang kubiarkan tergeletak di sisi
kiriku, tapi aku bisa melihat dengan jelas wajah Darwin.
“Lututmu tak apa?”
“Hmmm,” aku mengangguk.
“Syukurlah. Eum, ucapkan lagi yang kau katakan tadi sebelum kita di sini,”
ucapnya terdengar begitu lembut di telingaku.
Dahiku berkerut. Aku memikirkan
kalimat apa yang aku ucapkan sebelumnya. “Yang mana?”
Ia mendorong pelan kepalaku dengan
telunjuk tangan kanannya. “Gunakan otakmu”
Aku mempoutkan bibirku kesal.
Makhluk ini memang tak pernah baik padaku, tssk.
“Iya-iya, selamat ulang tahun Darwin”
“Hanya itu?”
“Bukankah kau memintaku
mengatakannya lagi?”
“Kau tak mengatakan hal yang lain?
Seperti semoga panjang umur, dimurahkan rejeki, jodoh, atau apapun begitu?”
“Tak perlu kukatakan karena aku
selalu berharap yang terbaik untukmu, temanku,” aku segera menyandarkan
kepalaku pada bahunya. Darwin-pun menyandarkan kepalanya dengan kepalaku yang
kusandarkan di bahunya.
Kami menatap gugusan bintang yang
bertaburan di permadani langit malam ini. Aku tak tahu satupun nama-nama
gugusan itu karena aku tidak begitu menyukai astronomi. Ulang tahun yang
sempurna untuk Darwin karena keinginannya melihat bintang malam ini tercapai.
Bunyi jangkrik serta cacing tanah saling bersahutan menghilangkan kesunyian
malam. Kami berdua membiarkan beberapa menit terlewati dalam diam karena moment
seperti ini jarang sekali kami dapatkan. Membiarkan keheningan yang membuat
kami bisa merasakan arti memiliki satu sama lain. Membiarkan keheningan membuat
kami bisa merasakan debaran jantung satu sama lain.
“Isah.. Maaf atas kejadian waktu
itu, dan maaf sudah membentakmu” lirih Darwin.
Posisi kami masih sama dengan
kepalaku yang bersandar di bahunya serta jemari kami yang saling bertautan.
“Aku juga minta maaf Win. Saat itu aku benar-benar marah karena kau
membiarkanku menunggu dan kau tak membalas pesanku”
“Maaf. Saat itu aku ditelpon Mira,
gadis yang kau lihat di parkiran saat itu. Ia temanku satu Organisasi di PMII.
Ia memintaku menjemputnya karena ban motornya bocor di tengah jalan. Ia tak
tahu harus menelpon siapa karena hanya aku yang cukup dekat dengannya. Gadis
itu tak pandai bergaul jadi temannya tidak banyak. Dan, aku bukannya tak ingin
membalas pesanmu. Hanya saja aku kehabisan pulsa dan tak bisa mengabarimu kalau
aku tak bisa menjemputmu, karena ban motorku juga bocor saat aku pulang
mengantar Mira,” terang Darwin.
“Karena itu kau bilang seharusnya
aku saat itu menelponmu? Bukan hanya sekedar mengirim pesan?”
“Hmm.. Begitulah”
“Maafkan aku,” ucapku menyesal.
“Seharusnya saat itu aku menelponmu dan bisa membantumu,” kutatap wajahnya yang
jaraknya cukup dekat dengan wajahku.
“Tak apa. Setidaknya hal ini bisa
menjadi pelajaran bagi kita berdua di kemudian waktu. Tapi, ngomong-ngomong kenapa kau tak
mengangkat panggilan telponku saat kau bersama Alfi?”
“Sebenarnya ponselku sedang di-silent jadi aku tak mendengar kalau kau
menelpon, hehe.. Maaf”
“Oh, pantas saja”.
“Memangnya waktu itu kau ingin
mengajakku kemana?”
“Ra-ha-sia. Oh iya, lalu, kenapa
saat kita bertengkar kau menyebut-nyebut gadis kelas sebelah? Kau cemburu saat ia
menarikku pergi waktu itu?,” Darwin menatapku dengan pandangan ‘menggoda’.
“Cemburu? Tidak, terima kasih. Aku
tak akan cemburu padamu”
“Haha, ya sudah aku juga sedang tak ingin berdebat saat ini. Eum, Isah.. Terima kasih ya sudah mau
menemaniku malam ini. Aku merasa menjadi pria yang paling beruntung malam ini”
“Heum, sama-sama. Aku juga senang bisa menepati janjiku. Lagipula
tak ada ruginya karena aku bisa melihat gugusan bintang yang indah di atas
sana”
Darwin menatap intens iris
caramelku ketika kepalaku tak lagi bersandar di bahunya, membuatku mati-matian
menahan debaran jantungku. Bahkan otakku sudah mulai berspekulasi terhadap
berbagai hal yang mungkin akan terjadi setelah ini. Darwin semakin
mencondongkan kepalanya, berusaha memangkas jarak di antara kami.
Demi Tuhan aku rasanya ingin mati
ketika hangat nafasnya bisa kurasakan dalam jarak sedekat ini. Manik kelamnya
terus menatap lembut iris-ku membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku
darinya. Hingga jarak sekitar lima centimeter, Darwin berhenti dan kini
tatapannya beralih pada bibirku.
Oke, baiklah rasanya untuk menelan
salivapun terlalu sulit. Seperti ada jutaan jarum di dalam tenggorokanku.
Setelah menatap bibirku sekian sekon, ia kembali beralih menatap irisku. Darwin
sengaja membiarkan pergerakan lambatnya menjadi sensasi aneh yang menjalar ke
seluruh tubuhku. Tanpa sadar aku malah menatap pada bibir penuhnya yang semakin
mendekat dengan sangat lambat, membayangkan ketika bibirnya bertautan lembut
dengan bibirku, menyesapnya pelan dan-
Mataku refleks menutup pelan ketika
hidung kami saling bersentuhan, bibirnya mulai terasa akan menyentuh bibirku
–mungkin satu sentimeter lagi- membuat jantungku terus berdetak tak karuan.
“Aaaakh”
“Hyaaa, apa yang akan kau lakukan huh?,” aku mencubit pinggang Darwin dengan kuat setelah kesadaranku
kembali normal dan sebelum bibirku yang suci tercemar oleh bibirnya.
Darwin mengelus pinggangnya dan
meringis karena cubitanku yang terlalu kuat. Darwin menatapku sambil
mengerjapkan matanya, lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Ta, tadi.. Tadi aku, hanya.. aku
hanya.. eumm.. aku”
“Su, sudah.. sudahlah.. Kita..
pulang,” aku tak tahu kenapa aku juga jadi tergagap seperti ini. Aku bahkan
berkali-kali menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal.
Aku berusaha bangkit meskipun
lututku masih terasa perih. Namun belum sempat tubuhku berdiri sempurna, Darwin
langsung memelukku tanpa aba-aba membuatku hampir terjatuh namun untung saja ia
bisa menahan berat badanku.
“Isah, terima kasih ya.. Ulang
tahun malam ini takkan terlupakan,” aku mendengar ucapan tulus darinya di
telingaku.
“Iya Win, sama-sama. Kau ingin
hadiah ulang tahun apa?,” aku membalas pelukannya dan menyandarkan kepalaku
pada dada bidangnya.
“Kau menemaniku malam ini sudah
menjadi kado terindah. Dan semakin indah jika kau terus bersamaku”
“Hmm, baiklah. Jadi, kalau begitu kita pulang sekarang?”
Ia menggeleng membuatku menautkan
kedua alisku. “Biarkan dulu beberapa menit seperti ini, ya,” pintanya dengan
nada merengek seperti anak kecil.
Aku hanya terkekeh pelan dan
membiarkan ia mendekapku dengan erat. “Baiklah. Asal kau jangan ketiduran oke, haha”
“Heum, Isah cerewet”
.
.
FIN
/lempar kembang, lempar serbet, lempar gayung, lempar
bantal, lempar Darwin/
Ngetiknya dengan tingkat kewarasan kurang dari 60%
wakawakawakawakakk..
Selamat ulang tahun Darwin-ku, Ma_Kes, Cinta Permai,
Polusi, Mr. Marketing, Mas Pregant, aduh lupa saking banyaknya :-P
Sama seperti cerpen untuk ulang tahun Yuni, aku seneng
akhirnya bisa menyelesaikannya sebelum hari H. Sedikit ngebut dan dikejar
deadline *eaaaak (Berasa jurnalis, hahaaks)
Yah meskipun deadline aku salah... Aku lupa kalo
tanggal ulang tahunmu itu tanggal 15, aku pikir tanggal 16, hehehee... Ini
sebenernya malah udah selesai sebelum tanggal 15.. Maapkan aku telat banget
ngepost-nya ^^v
Semoga tidak kecewa dengan cerita edisi ITB vs DTB
part 2 ini yah.. seperti biasa, review kamu setelah membaca cerpen ini aku
tunggu loh di sms...
Eumm, mau sedikit cerita nih kalo aku pengen kamu
bikinin ITB vs DTB part 3 untuk
edisi Ultahku... yah, itu pun kalau kamu bersedia soalnya cerita ini masih ada
bagian yang belum dijelaskan kayak tempat nanti yang mau Darwin tunjukin ke
Isah itu tempat apa. Dan semoga kamu bisa mengabulkan permintaanku ini yah..
heheee... (Padahal ultahku masih lama, dan ini jadi tantangan buat kamu yang
harus kamu selesaikan *maksa*)
Kenapa aku bikin sudut pandang Isah semua gak
ganti-ganti kayak sudut pandang di ITB vs DTB sebelumnya? Karena ini edisi
ultah kamu, nah semoga kamu bisa bikin edisi dengan sudut pandang Darwin
nanti... gak perlu panjang-panjang kok, yang penting ada... hehee...
Ya sudah sekian, makasih sudah baca dan sekali lagi
selamat ulang tahun.. semoga kita terus berteman baik sampai wisuda nanti
bahkan selamanya... Amiin..
Pai-pai ^^