Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 23 Oktober 2014

(Fanfiction) Daehyun, Wake Up!



Daehyun, Wake Up!
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.

Cast:
B.A.P’s Jung Daehyun
You
.
.

Ficlet, Typo, OOC, PG-17...
.
.

<3<3<3

Aku tak menyalahkan takdir jika memang Jung Daehyun harus menjadi teman sekelasku. Aku juga tak menyalahkan takdir jika harus mendapat tugas kelompok bersama Jung Daehyun untuk membuat makalah tentang anatomi tubuh manusia.

Hanya saja,

Apakah ini juga karena takdir hingga aku dan seorang Daehyun harus terjebak di dalam kamarku yang hanya seluas enam belas meter persegi berdua? Catat itu. Hanya berdua!

Jika memang karena takdir, maka kali ini aku akan menyalahkan takdir itu.

Tidak tidak. Jangan pikirkan hal-hal buruk yang tidak sesuai dengan norma hukum dan norma agama yang berlaku. Ini tidak ada hubungangannya dengan itu. Aku dan Daehyun hanya sedang mengerjakan tugas kelompok di kamarku. Yeah, memang tak seharusnya seorang pria berada di kamar wanita bukan? Aku tahu itu. Sangat tahu malah.

“Kamarku terlalu kecil untuk kita berdua, dan jika kau ingin mengerjakannya di ruang tamu juga tak akan nyaman. Terlalu banyak kucing yang keluar masuk. Lagipula di rumahku tidak ada akses internet jadi kita akan kesusahan mencari referensi tambahan selain dari buku”

Begitu perkataannya tadi siang saat kami pulang sekolah. Dan pada akhirnya kamarku lah yang menjadi pilihan.

“Bukankah kamarmu cukup besar Nona? Di rumahmu juga ada wifi kan? Nah, lalu apa lagi yang kau pikirkan? Sampai bertemu di rumahmu nanti sore ya. Aku duluan”

Dan itu adalah ucapannya sebelum ia beranjak meninggalkanku di gerbang sekolah. Aku bahkan belum menyetujui usulnya namun bukannya protes entah kenapa aku malah terus tersenyum dengan usulnya itu.

Seharusnya empat puluh menit yang kami lalui paling tidak pekerjaan kami sudah mencapai tujuh puluh lima persen. Tapi... Bahkan sedikitpun belum ada materi yang kami kumpulkan.

Empat puluh menit yang lalu Daehyun datang yang aku sambut dengan senyum terbaikku, lantas aku menyuruhnya masuk ke kamar, lantas ia duduk di tepi ranjangku sementara aku duduk di kursi meja belajar, lantas ia mengeluarkan buku-buku dari dalam ranselnya, lantas ia memintaku membawakan minuman karena ia kehausan, lantas... Apa kalian tahu apa yang terjadi setelahnya?

Dengan semangat aku kembali dari dapur membawa nampan berisi dua buah gelas es jeruk serta sepiring bolu kukus. Tapi pemandangan yang kulihat di dalam kamar sungguh luar biasa.

Seorang Jung Daehyun tertidur di atas ranjangku!

Hell...

Salahkan takdir yang membuatku harus mati-matian menahan debaran jantungku. Salahkan takdir yang membuat kami terkurung di dalam kamarku. Salahkan takdir yang membuatku bahkan tak berani untuk sekedar mengeluarkan sepatah kata demi membangunkannya.

Tuhan maafkan aku. Aku tak tahu tapi tungkaiku membawaku untuk duduk di samping ranjang dan menatap wajah damai Daehyun yang tertidur. Bahkan selama empat puluh menit berlalu aku hanya terus menatap wajah tampannya dengan matanya yang tertutup rapat. Aku tak menyangka jika Daehyun semakin terlihat tampan saat tertidur.

Eh, tampan?

Aku tersenyum sendiri bahkan wajahku terasa panas ketika jarak antara wajahnya dengan wajahku hanya sekitar tiga puluh sentimeter. Dalam jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfum yang menguar dari tubuhnya serta indra pendengaranku dapat menangkap dengan jelas suara dengkuran halusnya.

Oh Tuhan, dia imut sekali.

Mataku seketika mengerjap saat nada dering ponsel Daehyun berbunyi dari dalam ranselnya. Membuatku mau tak mau akhirnya mengalihkan fokusku yang sejak tadi hanya wajah damainya saat tidur.

“Daehyun bangun,” ucapku pada akhirnya tepat di telinganya.

Namun bukannya bangun ia hanya melenguh pelan dan kemudian tetap melanjutkan tidurnya.

“Hey, Jung Daehyun bangun. Ada panggilan masuk di ponselmu..,” kutinggikan suaraku berharap ia lekas bangun. “Daehyun”

“Eung,” lagi-lagi ia hanya melenguh dengan matanya yang sama sekali tidak ada tanda-tanda untuk terbuka.

Kusenggol bahunya dengan jari telunjukku. “Daehyun.. Bangun...”

“Daehyun ba- Aaaakh”

Tidak.

Ini tidak benar. Sungguh.

“Kenapa kau baru menyuruhku bangun? Padahal sejak tadi kau terus memandangiku kan?,” suara Daehyun begitu rendah dan sedikit serak. Ia mengucapkannya tanpa membuka matanya. Tapi yang menjadi masalah adalah...

Saat ini posisiku berada di atas tubuhnya yang sedang terbaring terlentang karena ia tiba-tiba menarik tanganku saat aku menyenggol bahunya hingga membuat tubuhku terjatuh tepat di atas tubuhnya.

“Da, Daehyun... Apa, ap apa yang,, yang kau la..kukan?”

Daehyun masih memejamkan matanya dan menahan tubuhku untuk terus berada pada posisi ini. “Bukankah dengan begini kau bisa melihatku lebih jelas? Jadi kau tidak perlu diam-diam memandangku. Jadi, biarkan seperti ini dulu. Aku juga masih ingin tidur. Bangunkah aku lima belas menit lagi ya”

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Dari mana ia tahu kalau sejak tadi aku memperhatikannya? Apa sejak tadi ia hanya berpura-pura tertidur?

Wajah Daehyun hanya berjarak kurang dari lima belas sentimeter dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang terasa seirama dengan detak jantungku serta hangat nafasnya yang menerpa wajahku. Oh Tuhan. Aku tak bisa bergerak barang satu sentipun. Lima belas menit? Apakah aku akan mati secara perlahan selama lima belas menit nanti?

Pada akhirnya aku hanya bisa bergeming dengan posisi tubuhku yang menindih tubuhnya. Jadi, apakah aku harus menyalahkan takdir lagi atas apa yang aku alami sekarang?

Oh, sial. Kau keterlaluan Jung Daehyun.

.
.
FIN

Salahkan takdir yang membuatku makin terpesona dengan Jung Daehyun... mhuahahahahahhh...
Kenapa Daehyun harus menebar foto nista-nya di twitter? T_T
Ini dia selca Daehyun di twitter yang bikin aku keinspirasi bikin fanfict ini..


Wooooy... Daehyun banguuunnn!! Sahur sahuuuur!!!
Hahaa.. okelah, kebanyakan bacot.. makasih yang sudah mau baca... ^^

(Fanfiction) A Short Meeting



A Short Meeting
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.

Cast:
Super Junior’s Yesung a.k.a Kim Jongwoon
OC’s Jirin

.

Ficlet, Teen, Typo...

.
.

<3<3<3

Menunggu bukanlah keahlian Jirin. Ia juga sama seperti gadis seusianya kebanyakan, tak suka menunggu. Terlebih menunggu seseorang yang bahkan terlampau jarang untuk sekedar peduli padanya. Tapi itulah yang selama tiga bulan terakhir Jirin lakukan, menunggu Jongwoon pulang kembali ke kota kelahirannya kendatipun sekedar bertatap sekian menit.

Jirin hanya gadis biasa seperti gadis lain, gadis biasa yang hanya bisa mengagumi seorang pria dalam diam. Hanya berharap sang pria bisa peka terhadap perasaannya dengan menunggu. Menunggu sang pria mengungkapkan perasaannya padanya. Menunggu sang pria memberi kabar di sela-sela kesibukannya di kota perantauan.

Walaupun selama ini Jirin-lah yang selalu menjadi orang pertama yang menghubungi Jongwoon, mengiriminya sms, menelponnya, mengirim pesan di media sosial, tapi Jirin tak bisa menyerah akan perasaannya karena Jongwoon yang jarang peduli padanya. Toh Jongwoon selalu membalas semua pesannya dan membuat Jirin akhirnya kembali melambung tinggi dan terus hidup dalam ekspektasi tak berujung terhadap perasaannya untuk Jongwoon.

Mungkin segala penantian Jirin ‘sedikit’ terbayar dengan pesan singkat yang tadi malam Jongwoon kirimkan padanya.

From: Jongpa
Jirin-a, aku sudah pulang kemarin. Besok kau ada di rumah? Aku akan ke rumahmu besok.. Tunggu aku ya ^^

Jirin tak bisa menahan lengkungan bibirnya tiap kali ia membaca pesan Jongwoon tersebut berulang-ulang. Dan rona merah menjalar begitu saja di wajahnya sembari tungkainya membawa tubuh mungilnya berdiri di depan pagar rumah demi menunggu Jongwoon.

Bisakah Jirin berharap ia tak mati saat presensi Jongwoon nanti di dekatnya? Jantungnya saja sudah berdentam tak normal ketika motor sport Jongwoon sudah terlihat puluhan meter di jalan. Jirin menggenggam erat ponsel yang ia pegang sembari mengatur nafasnya yang terasa terkecat karena jantungnya yang terus bertalu dengan frekuensi yang teramat cepat.

Oppa,” sambut Jirin kala Jongwoon benar-benar sudah memasuki pekarangan rumahnya dan memakirkan motornya di dalam pekarangan rumah Jirin.

Jongwoon tersenyum lembut sembari menatap iris caramel Jirin, lantas mengusap puncak kepala Jirin sekilas. “Apa aku boleh masuk?,” Jongwoon memperbaiki posisi ranselnya setelah anggukan dari Jirin dan mengikuti Jirin memasuki teras rumah.

Oppa mau masuk ke dalam atau di teras saja?,” Jirin berhenti di depan pintu masuk dan menatap Jongwoon yang terlihat sedikit berbeda dengan saat terakhir mereka bertemu tiga bulan yang lalu. Pria itu terlihat lebih kurus dengan rambutnya lebih pendek dibanding yang Jirin lihat tiga bulan lalu.

Jongwoon langsung meletakkan ranselnya di samping kursi teras lalu mendudukkan tubuhnya di kursi itu. “Di sini saja”

Jirin hanya mengangguk lantas turut duduk di kursi lainnya. “Oppa mau minum apa?”

“Hey.. Tak usah repot begitu, aku tak haus kok. Eum, bagaimana kabar Dongsaeng-ku yang makin cantik ini?”

Rona di wajah Jirin semakin tercetak jelas berkat pertanyaan Jongwoon barusan. Hingga gadis itu harus kembali berusaha mengatur dentaman jantungnya. “Seperti yang Oppa lihat. Aku baik-baik saja. Oppa pasti baik juga kan?”

Heumm,” Jongwoon mengangguk pasti sembari tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam ranselnya. “Oh iya, ini aku bawakan sesuatu untuk Dongsaeng-ku tersayang.” Jongwoon menyerahkan bungkusan hitam pada Jirin yang langsung diterima dengan antusias oleh gadis itu.

“Apa ini Oppa?”

“Bukalah”

Binar pada manik Jirin terlihat jelas serta lengkungan bibirnya yang semakin tertarik ketika netranya menangkap bayangan benda di dalam bungkusan yang Jongwoon berikan padanya. “Es krim?”

Hmm, kau suka kan? Aku belikan spesial untukmu”

“Tapi kenapa ada dua Oppa?,” alis Jirin bertaut bingung karena ada dua es krim dengan dua rasa yang berbeda. Coklat dan espresso.

“Yang coklat untukmu. Sebenarnya yang rasa espresso itu untukku, karena aku ingin kita makan es krim itu bersama. Tapi-” Jongwoon melirik arloji di pergelangan tangannya. “Kurasa aku harus segera berangkat”

“Berangkat? Oppa sudah akan pergi lagi? Tapi bukankah Oppa baru saja tiba kemarin? Kenapa cepat sekali?,” pertanyaan beruntun Jirin membuat Jongwoon terkekeh pelan.

“Sebenarnya aku tidak libur, hanya mencuri waktu untuk pulang dan menyempatkan diri untuk bertemu denganmu. Lagipula kemarin ibuku memintaku untuk pulang sebentar, jadi aku izin kerja”

Jongwoon sadar dengan perubahan air muka Jirin. Gadis itu bahkan hanya menatap bungkusan di tangannya dengan ekspresi cemberut.

“Aku akan pulang lagi kok, mungkin sekitar satu setengan bulan lagi aku ada libur panjang. Jangan sedih seperti itu,” Jongwoon kembali mengelus pelan puncak kepala Jirin.

Jirin berusaha menciptakan sebuah senyum –meskipun ia akui senyumnya terlihat jelek- dan menatap tepat pada manik kelam Jongwoon dengan tak rela. “Padahal kita baru saja bertemu”

“Tak apa. Yang penting kan kita sudah bisa bertemu sebentar. Ya sudah, aku harus segera berangkat,” Jongwooon bersiap menyampirkan ranselnya dan berjalan meninggalkan teras rumah Jirin menuju motornya yang terparkir di pekarangan.

Jirin turut mengantar Jongwoon sampai di dekat motornya. “Hati-hati di jalan ya Oppa

Heumm, aku pergi dulu Jirin-a.. Anyeong,” Jongwoon melambaikan tangannya yang disambut dengan lambaian tak rela dari Jirin.

Jirin terus menatap motor Jongwoon yang mulai menjauhi halaman rumahnya. Akhirnya ia hanya bisa kembali menelan rasa rindu pada Jongwoon. Akhirnya ia harus kembali menungu Jongwoon pulang untuk bertemu dengannya. Akhirnya ia hanya bisa menahan air matanya yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Karena banyak hal yang ingin Jirin katakan pada Jongwoon. Banyak hal yang ingin Jirin ceritakan pada Jongwoon. Banyak hal yang ingin Jirin tanyakan pada Jongwoon.

Jirin menatap bungkusan yang tadi Jongwoon berikan padanya. Dua buah es krim yang akhirnya harus Jirin habiskan sendiri. Dua buah es krim yang sedikit mengobati kerinduan Jirin pada Jongwoon. Dua buah es krim yang harus Jirin habiskan demi Jongwoon.

Jirin tersenyum hambar setelah fokusnya beralih dari bungkusan yang ia tenteng pada jalan raya di mana eksistensi Jongwoon tak terlihat lagi di sana. “Oppa, kurasa aku akan sakit perut setelah ini”

.
.
FIN

Ehm.. Test, test...
Cuman mau bilang kalo ngabisin dua buah es krim sendirian itu nggak enakin banget T_T apalagi harusnya es krim itu buat dimakan berdua...
(psstt.. pengalaman pribadi author :p)
Oke makasih yang sudah mau baca ^^

Rabu, 15 Oktober 2014

(Cerpen) ITB vs DTB (2nd Part)



ITB vs DTB (2nd Part)
Special Story for Darwin’s Birthday

.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.

Warning: Typo!!!!
.

###

Banyak orang yang tidak begitu menyukai hari Senin. Aku salah satunya. Jika saja aku tidak mempunyai tetangga baru yang terlampau menyebalkan, tentu hari Senin-ku tidak akan semakin terasa se-mengerikan sekarang.

“Isah! Isah! Ayo cepat kita berangkat!! Isah!”

Lihat kan?

Aku tak suka ada orang yang memaksaku. Aku bukan tipe orang yang mudah diperintah –terkecuali orang tuaku. Dan dia, oh Tuhan tabahkan aku untuk menghadapi makhluk yang satu ini.

“Iya-iya, tunggu sebentar!,” balasku tak kalah nyaring dari jendela kamar. Seharusnya aku tak perlu terburu-buru seperti sekarang, karena pada kenyataannya masih ada waktu lebih dari tiga puluh lima menit sebelum kuliah dimulai.

Makhluk itu melambaikan tangannya dari balik jendela kamarnya yang terbuka dengan menampakkan senyum sok menawannya ke arahku. Baiklah Isah, kau ingin Tuhan menyayangimu bukan? Kalau begitu kau harus berbuat kebaikan kepada sesama makhluk-Nya.

Dengan berat hati aku membalas lambaian tangannya dan berusaha menampakkan senyumku –meskipun kuakui senyumku jelek. “Tunggu aku di luar rumah, aku akan segera keluar,” ucapku lantang agar ia bisa mendengar suaraku.

Ia hanya mengangguk lantas menutup jendelanya setelah sebelumnya ia kembali melambaikan tangannya padaku. Demi apapun, ini rasanya tidak benar. Ayolah, aku ini wanita. Dan dia pria. Tapi kamar kami berhadapan dengan hanya batas halaman kecil di samping rumahku serta pagar yang tidak terlalu tinggi. Ia terlampau sering menunjukkan eksistensinya dari jendela kamarnya dan senang sekali melihatku melalui jendela kamar.

Bukankah aku juga perlu privasi huh?

“Kenapa kau lama sekali? Kau bilang kalau kau itu bukan tipe wanita yang suka berdandan. Tapi lihat, kau bahkan membuatku menunggumu lebih dari lima menit,” ia berkacak pinggang dengan bersandar pada pagar rumahku saat menatapku keluar dari rumah.

Aku memilih tak mengindahkan ucapannya dan berjalan lebih dulu darinya.

“Hey, kau ini kenapa? Tunggu,” ia menahan lenganku membuatku berbalik menatapnya.

“Kenapa?”

“Kau serius kita pergi ke kampus dengan jalan kaki?,” wajahnya menatapku tak yakin.

Aku melepaskan tangannya yang bertengger di lenganku. “Kalau kau tidak mau ikut denganku ya sudah. Kau ambil motormu dan pergilah lebih dulu”

“Tapi kau bagaimana? Kau akan jalan kaki sendirian begitu? Aku tidak mau membiarkanmu sendirian. Bagaimana kalau kau ikut denganku saja hmm?,” tawarnya.

Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya. “Sudahlah, kau memang tak pernah memenuhi janjimu. Sahabat? Lupakan itu,” aku lantas berjalan dengan tergesak  meninggalkannya.

“Isah tunggu...” kali ini ia berusaha mensejajarkan langkah besarnya dengan langkahku. “Kau ini kenapa pagi-pagi begini sudah marah-marah seperti itu? Aku tidak melanggar janjiku, aku hanya merasa lebih baik hari ini kita pergi naik motor saja, besok baru jalan kaki. Ya?”

Jujur saja aku juga tidak mengerti kenapa aku ingin marah-marah padanya pagi ini. “Darwin dengarkan aku. Kau yang memberiku solusi untuk membakar lemak dengan berjalan kaki ke kampus. Kau bilang lebih baik dari pada harus melakukan diet dan tidak makan malam. Kau yang berjanji menemaniku melakukannya minimal dalam seminggu ini. Dan hari ini, aku sudah mencoba menerima saranmu itu. Lalu kau ingin membatalkan niatku begitu?,” aku menatap sinis padanya.

“Isah bukan begitu. Eumm, baiklah ayo kita sama-sama ke kampus dan jangan marah-marah pagi-pagi begini oke?,” ia menarik tanganku dan berjalan dengan langkah lebarnya membuatku susah payah mensejajarkan langkah kecilku karena kakiku yang lebih pendek darinya.

Aku hanya menurut saja ia yang terus menarikku agar berjalan cukup cepat. Ini mungkin terlihat konyol, tapi memang kenyataannya. Aku tidak suka olahraga tapi aku suka makan. Artinya lemak di dalam tubuhku semakin tertimbun dan akhirnya kau bisa bayangkan bagaimana jadinya kan?

“Kau lagi haid?,” tanyanya tiba-tiba yang sontak membuatku melepaskan genggaman tangannya.

“Dasar otak mesum,” cibirku membuatnya terkekeh pelan.

“Ya sudah kalau begitu. Kita balapan sampai ke kampus. Siapa yang kalah harus mentraktir makan siang setuju? Dan kita mulai dari.. sekarang,” ia segera berlari meninggalkanku sebelum aku menyetujui idenya. Aish, ini kecurangan namanya.

Dengan terpaksa aku turut berlari berusaha mengejarnya meskipun sudah dipastikan aku akan kalah. Yah , paling tidak aku berusaha dulu. Sungguh, aku tak suka Darwin memandang lemah padaku. “Darwin kau curang! Tunggu aku!,” teriakku susah payah karena tak bisa mengejarnya.

Darwin berbalik menatapku namun dengan berjalan mundur tanpa berniat menghentikan langkahnya, “Tidak mau! Kau harus berusaha dulu mengejarku. Kau tidak bosan selalu kalah denganku? Hahaha,” ia lantas kembali berbalik dan berlari meninggalkanku dengan pasokan oksigen yang rasanya habis begitu saja di dalam paru-paruku.

Aku ikut tertawa. Aneh memang, selama ini aku selalu kalah darinya dalam hal apapun. Karena Darwin memang bukan tipe pria yang mudah mengalah pada wanita termasuk padaku, sahabatnya sendiri. Dengan sisa tenaga yang kumiliki aku terus berlari agar bisa sampai di kampus lebih dulu dari pada Darwin.

Haish sial,” rutukku karena aku mau saja menuruti tantangan bodohnya ini.

###

“Kenapa kau memutuskan untuk pindah di sebelah rumahku,” akhirnya pertanyaan yang sudah seminggu ini menggangguku pikiranku kuungkapkan juga. Kali ini aku berada di teras rumah Darwin karena aku sedang malas di rumah.

Ia tersenyum mengejek menatapku. “Setelah seminggu lamanya tetangga barumu ini pindah kau baru menanyakannya?”

“Biasanya kau akan bercerita padaku. Aku menunggu sampai membuatku penasaran tapi kau tak juga menceritakannya denganku. Bahkan saat kau akan pindah-pun kau tak memberitahukannya padaku dan tiba-tiba saja kau sudah menjadi tetanggaku,” aku mempoutkan bibirku sebal.

“Aku bahkan menunggumu bertanya. Aku pikir kau tidak peduli, yeah akhirnya kau bertanya juga. Kau ini terlalu menjaga ego-mu untuk sekedar bertanya.” Darwin lantas menselonjorkan kakinya dan menatap jalanan kecil di depan rumahnya.

“Baiklah tidak usah diperpanjang hal itu. Jadi kenapa kau pindah?”

“Agar bisa semakin dekat denganmu”

Aku terperangah menatapnya. “Hanya itu?,” tanyaku tak percaya.

Hmm. Hanya itu,” jawabnya santai.

Aku masih menatapnya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih. “Orang tuamu bagaimana? Maksudku kau kan pindah sekeluarga, dan tidak mungkin kan hanya karena alasan itu?”

Kali ini Darwin duduk menyila dan menatapku dengan sedikit serius. “Kau ingat tidak saat aku kecelakaan setelah kau membohongiku kalau kau tidak bisa pulang karena kehujanan?”

Aku menghela nafas. Kenapa ia kembali membahas hal itu? Aku kan jadi merasa bersalah lagi. “Iya aku ingat”

“Setelah kejadian itu kurasa lebih baik aku harus berada di dekatmu agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi. Aku yang tidak lagi membohongimu hanya agar kau bisa datang ke rumahku, dan kau tidak bisa membohongiku kalau kau sedang tidak berada di luar rumah. Dan kurasa dengan begini aku bisa menjagamu dari dekat,” tuturnya membuatku terharu.

“Tapi ada alasan lain di samping itu semua”, lanjutnya lagi.

Sebelah alisku terangkat. “Memangnya apa alasan lainnya?”

“Harga rumah ini cukup murah, haha. Dan lagi, jika kita bertetangga aku bisa lebih sering mengerjaimu dan mengganggumu,” ia tertawa tanpa dosa membuat ekspresi haruku berubah dan beralih menatapnya dengan ekspresi tak suka.

“Aku baru saja ingin mengatakan kau itu sahabat terbaik di dunia,” kucubit pelan lengannya membuatnya meringis heboh seperti tangannya baru saja kugores dengan pisau. “Hey tidak usah berlebihan seperti itu”

“Oh ya Isah. Besok kan hari Sabtu kita libur kuliah, kau mau menemaniku tidak?”

“Ke mana?”

“Ke sebuah tempat yang sangat indah. Tempat itu hanya aku yang tahu. Dan besok, aku ingin kau menjadi orang kedua yang melihatnya setelahku. Kau mau kan?”

Aku berpikir seolah berat untuk menerima tawarannya. “Besok? Aku tidak janji bisa ikut,” kutunjukkan ekspresi tak yakin padanya padahal sejujurnya aku tentu saja ingin sekali ikut.

“Ayolah Isah, yaya,” ia menunjukkan wajah sok imutnya padaku sembari tangannya mengguncang-guncang pelan bahuku.

Hmm, baiklah kalau kau memaksa. Dengan terpaksa aku akan ikut denganmu”

Sekarang senyumnya semakin lebar. Ia benar-benar terlihat seperti anak kecil jika seperti ini. Aku bahkan turut tak bisa menyembunyikan senyumku. “Ya sudah aku pulang dulu. Kita bertemu lagi besok,” aku bangkit  berdiri.

“Aku akan menjemputmu besok, jangan bangun kesiangan oke,” ia turut berdiri dan mengantarku sampai ke depan pagar rumahnya.

Aku melambaikan tangan padanya dan ia balas melambaikan tangannya hingga aku berjalan menuju rumahku yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari rumahnya.

###

Aku mengenal Darwin lima tahun yang lalu. Seharusnya selama lima tahun itu aku banyak mengetahui tentang dirinya. Tapi fakta menunjukkan kebalikannya. Entahlah, kurasa terlalu banyak hal yang ia sembunyikan dariku. Mungkin ia tak bermaksud menyembunyikannya hanya saja terlampau banyak hal yang tak aku ketahui tentangnya.

Darwin dan aku memang berteman, bersahabat bahkan. Namun kepribadiannya yang sulit ditebak membuatku selalu tak pernah mengerti akan dirinya. Bahkan saat ia menunjukkan eksistensinya di hadapankupun aku tak bisa mengerti dirinya. Terkadang ia menjadi pria yang menyenangkan, membuatku ingin berlama-lama berada di dekatnya. Terkadang ia menjadi pria menyebalkan yang membuatku muak –bahkan-aku-pernah-ingin-membunuhnya. Namun terkadang ia kembali menjadi sosok hangat yang selalu melindungiku dan membuatku merasa berarti.

Darwin bukanlah pria penyuka kisah picisan. Ia lebih menyukai sesuatu yang berbau horror ataupun thriller. Namun sekarang, ia membuat hidupku seperti berada dalam kisah picisan yang menguras air mata.

Tadi malam ia menelponku dan berjanji akan menjemputku pagi ini tepat jam sembilan tanpa lewat satu detikpun. Sekarang sudah pukul sembilan lebih dua puluh lima menit dan ia sama sekali tak menunjukkan kehadirannya. Bahkan ia tak membalas pesan singkatku. Oke, seharusnya aku menelponnya. Tapi terus terang saja aku terlalu gengsi untuk menelponnya lebih dulu. Selama ini ia lah orang yang selalu menelponku lebih dulu.

Aku sudah mengirim sebelas pesan singkat yang semua isinya kurang lebih sama. Mengenai keberadaannya sekarang, apakah ia membatalkan janjinya, serta ancamanku yang tak mau lagi melihatnya jika ia tak membalas pesanku. Namun hasilnya nihil. Satupun pesanku tak kunjung ia balas.

Langit pagi ini sepertinya kurang bersahabat. Aku menatap keluar jendela kamarku, melihat jendela kamar Darwin yang tertutup. Biasanya ia sudah membuka jendelanya pukul enam pagi. Apa ia sakit? Entahlah. Seharusnya jika ia ingin membatalkan janjinya ia menghubungiku dulu.

Perlahan air langit mulai turun, membuat nuansa picisan semakin terasa. Aku seperti berada di dalam drama melankolis, di mana sang pemeran wanita berdiri di tepi jendela menatap langit kelabu dengan tumpahan air yang menyeruak ke permukaan bumi, menunggu kehadiran seseorang. Dan aku benci berada dalam situasi ini.

Darwin. Ini sudah janji kesekian yang ia batalkan denganku selama aku mengenalnya. Baiklah, mungkin kalian akan berpikir kenapa aku bisa selalu berbaikan dengannya kan? Kuberitahu kau kalau aku tak bisa menolak tatapan memohonnya yang meminta belas kasihan padaku. Mungkin aku tak bisa mengatakan kali ini ia membatalkan janjinya, tapi sudah dipastikan ia tidak akan datang karena toh cuaca sedang tidak bersahabat.

Aku melempar asal ponselku di atas tempat tidur. Kurasa hari ini akan menjadi hari yang sangat membosankan. Tak ada yang bisa aku lakukan selain membantu ibuku di dapur, membersihkan rumah, dan juga menenonton tayangan tv yang itu-itu saja.

Setelah ini aku tidak mau lagi bertegur sapa dengan makhluk nenyebalkan bernama Darwin itu. Tidak akan.

###

“Isah, kau marah?”

Aku saat ini sedang emosi dan lebih memilih mengacuhkannya.

“Isah, kumohon berhenti sebentar,” Darwin terus berusaha menyamakan langkahnya dengan langkahku. “Isah,” panggilnya lagi ketika aku sudah sampai di parkiran dan bersiap mengambil motor.

Aku menatap tajam padanya yang kini matanya menyorotkan permohonan padaku. Haruskah ia bertanya untuk pertanyaan yang sudah ia tahu pasti jawabannya? Tentu saja aku marah. Ia juga pasti akan melakukan hal yang sama jika berada dalam posisiku.

“Isah maaf,” lirihnya dan pandangan memohonnyanya terus menohokku, menelanjangi pertahananku. Sudah kukatakan bukan aku tidak bisa melihat tatapan memohonnya seperti itu.

“Minggir, aku mau lewat.” Tak tahan dengan ekspresi memohonnya itu aku lebih memilih segera pergi dari sini.

“Aku tidak akan minggir jika kau tak mau mendengarkan penjelasanku,” ia menghadang di depan motorku dengan membentangkan kedua tangannya.

Aku tak ingin mendebatnya saat ini. Aku membunyikan klakson pertanda agar ia segera menepi karena jika ia tak juga menjauh maka aku tak segan-segan menabraknya.

“Isah kemarin aku-“

“Darwin! Kau kemana saja? Aku mencarimu dari tadi,” gadis kelas sebelah yang aku lupa siapa namanya datang entah dari mana dan langsung menarik lengan Darwin pergi meninggalkanku. Aku menatap kepergian kedua orang itu dengan ekspresi tak suka. Oke, aku tak cemburu. Aku hanya tidak suka. Jangan tanyakan alasannya kenapa kau tak suka karena aku-hanya-tidak-suka.

Dengan rasa dongkol aku membawa motorku meninggalkan parkiran kampus. Aku tak tahu harus kemana karena sekarang masih terlalu cepat untuk pulang. Mungkin menghabiskan waktu beberapa puluh menit di tempat yang biasa aku habiskan bersama Darwin tak masalah, orang tuaku pasti tidak akan khawatir.

Semilir angin di pinggir sungai ini cukup sejuk. Sekarang tidak terlalu banyak orang yang datang ke sini, hanya ada beberapa orang saja yang sekedar duduk sepertiku dan ada juga beberapa diantara mereka yang memancing. Sungai di depanku ini tidak terlalu luas dan airnya-pun tidak begitu jernih. Yang membuatku menyukai tempat ini adalah udara di sekitar sini yang segar, karena banyak pepohonan rindang di sekitar sungai.

“Sangat berbahaya gadis sepertimu duduk seorang diri di tempat ini,” lamunaku buyar karena suara bass yang tak asing menyapa pendengaranku.

“Oh, hey.. Apa yang kau lakukan di sini?,” aku tak percaya bertemu dengan Alfi siang-siang begini. Biasanya anak ini hanya bisa ditemui sore hari atau malam hari. Aku juga tak tahu sesibuk apa pekerjaannya di bengkel.

“Hanya ingin merilekskan pikiran. Bagaimana denganmu?,” ia duduk di sampingku.

“Jawabanku sama sepertimu. Eum, ngomong-ngomong bagaimana pekerjaanmu?,” aku lebih dulu membuka topik pembicaraan.

Yaah, seperti biasa. Akhir-akhir ini aku menjadi semakin sibuk di bengkel. Kuliahmu bagaimana?”

“Tidak ada peningkatan, monoton. Aku bahkan bosan kuliah dan ingin berhenti saja,” aku melemparkan beberapa kerikil di sekitarku ke dalam sungai.

Kudengar Alfi terkekeh pelan. “Kalau kau berhenti kuliah, apa kau mau bekerja di bengkelku?”

Aku sontak menatapnya. “Bekerja di bengkelmu? Jadi apa? Bagian Accounting?

“Bukan. Jadi tukang antar minuman untuk karyawan bengkel.. hahahaa

Dengan cepat kutinju lengannya. “Tapi, kenapa kau tidak kuliah? Kau kan bisa bekerja sambil kuliah Fi?”

Alfi tak lantas menjawabku. Ia menghela nafasnya lalu menatapku dengan senyum tipis. “Mungkin belum Sah. Aku masih belum punya uang untuk kuliah. Lagipula aku menjadi tulang punggung keluargaku jadi aku harus giat mencari uang untuk membiayai mereka. Kuliah beberapa tahun lagi tak masalahkan, toh tidak ada batasan usia”

Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus mengatakan apa karena aku tak punya kalimat untuk kukatakan. Aku salut dengan Alfi, pria tangguh yang sudah kukenal sejak kami SD. Aku bahkan mengenal Alfi jauh sebelum aku mengenal Darwin. Eh, mengingat Darwin membuatku kembali kehilangan energi positifku.

“Isah”

Hmm?”

“Kenapa kau sendirian? Biasanya kau bersama Darwin. Kemana dia?”

“Jangan membicarakannya. Aku sedang tak ingin membahas tentangnya atau bahkan mendengar namanya”

“Kalian.. bertengkar?” Alfi kembali terkekeh.

Kulempar lagi kerikil-kerikil kecil ke dalam sungai. Aku yakin Alfi mengerti aku tak ingin membahas hal itu.

“Kalian ini aneh. Bukankah kalian bersahabat? Kalian bisa menyelesaikannya baik-baik”

Aku hanya mempoutkan bibirku kesal dan terus melempar kerikil ke dalam sungai. Aku tak ingin mengatakan apapun jika itu menyangkut Darwin. “Alfi, aku lapar. Mau makan siang denganku? Biar aku yang traktir”

Ckk, mau ditaruh di mana harga diriku sebagai pria. Biar aku yang traktir, kebetulan aku sedang punya uang lebih,” Alfi lebih dulu bangkit berdiri. “Ayo”

“Kau yakin?”

Hmmm tentu saja.. Ayo, aku juga lapar”

Tanpa berpikir panjang aku lantas berdiri dan berjalan menuju warung makan tak jauh dari pinggir sungai yang aku duduki. Mungkin dengan menghabiskan waktu bersama Alfi bisa mengurangi kekesalanku karena Darwin.

###

“Kau dari mana saja?,” Darwin berdiri dengan bersandar pada pagar rumahku.

Aku masih dalam posisi mengendarai motor dan menatap heran padanya. Tanpa memperdulikannya aku masuk ke dalam pekarangan rumahku untuk memarikirkan motorku.

“Aku menelponmu beberapa kali tapi tak kau angkat. Kau kemana saja?,” ia mendekatiku.

“Bukan urusanmu,” jawabku dingin dan bersiap masuk ke dalam rumah. Dengan cepat ia menarik tanganku dan menarikku keluar dari halaman rumah. “Hey, lepaskan aku,” aku meronta karena cengkramannya pada lenganku terlalu kuat.

Ia tak mengindahkanku yang terus meronta agar melepaskanku. Darwin menarikku, membawaku ke sebuah kebun tebu tak jauh dari rumah kami. Ia hanya diam di sepanjang jalan hingga kami sudah sampai di tengah kebun ia baru melepaskan cengkaramannya. Terang saja aku segera mengelus pergelangan tanganku yang terasa perih dan panas.

“Kenapa kau tak menjawab panggilan telponku?,” ucapnya sengit dan menatapku tajam.

Aku yang tak mengerti kenapa ia semarah itu hanya menatap heran padanya. “Memangnya ada hal penting apa sampai kau semarah itu telponku tak kujawab?”

“Biarpun tak ada hal yang penting, kau harus menjawab panggilan telpon dariku!” Darwin berteriak tepat di depan wajahku.

Kini giliranku yang menatap tajam padanya. “Kau bilang harus?,” sinisku. “Kau siapa memerintahku seperti itu? KAU TIDAK PUNYA HAK UNTUK MENGATURKU!!”

Aku bisa dengan jelas melihat tangan Darwin yang terkepal dan matanya terus menyiratkan kemarahan padaku. “Siapa? Kau bilang siapa aku? JADI SELAMA INI KAU TAK MENGANGGAPKU SAHABATMU?,” ia berteriak tak kalah nyaring tepat di depan wajahku.

“Kau...,” dengan sengaja aku mengacungkan jari telunjukku ke hadapannya. “Kau tak usah menganggap kita sahabat. Persetan dengan kata itu karena kau bukan sahabatku! Kau tak pernah mengerti aku.. Yang kau tahu hanya dirimu sendiri!,” desisku.

Darwin mengusap kasar wajahnya. Ia menghela nafas panjang lantas setelahnya memegang kedua pundakku dengan tangannya, bahkan cukup kuat hingga bahuku terasa berat. “Kenapa? Kenapa kau berpikiran seperti itu?,” ia mencoba memelankan nada bicaranya.

Dengan cepat kutepis kedua tangannya yang bertengger di bahuku membuatnya sontak menatapku penuh tanya. “Kau bertanya kenapa? Tak bisakah kau pikirkan apa yang selama ini sudah kau perbuat padaku??? Tak bisakah kau mengerti aku sedikit saja? Kau keterlaluan Win..” mati-matian aku menahan air yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku tak ingin menangis di hadapan Darwin saat ini.

“MEMANGNYA SELAMA INI AKU TAK MENGERTI APA TENTANGMU??! KAU INGIN AKU MENGERTI SEPERTI APA LAGI HAH!,” Darwin membentakku. Aku tahu ia pasti sudah tersulut emosi.

Ini pertama kalinya Darwin berteriak seperti itu padaku. Ini pertama kalinya ia membentakku. Mati-matian aku menahan air mataku, pada akhirnya aku kalah. Aku tak dapat lagi membendung air mataku, rasanya sesak yang aku sendiri tak tahu kenapa. Aku tak tahu kenapa rasanya sakit sekali melihatnya berteriak seperti itu padaku. “Jadi...” aku mencoba mengeluarkan suaraku, tenggorokanku rasanya tiba-tiba tercekat. “Jadi sekarang kau seperti ini? Sudah bisa membentakku? Padahal kau memang tak pernah mengerti aku,” aku yakin suaraku terdengar sinis di telinganya. Aku bahkan menatapnya dengan senyum mengejek meskipun air mataku terus-terusan mengalir.

Darwin kembali menghela nafasnya. Oh ayolah, aku  juga lelah. Seharusnya aku yang marah dalam situasi ini.

“Sah.. Bisakah kita bicarakan hal ini baik-baik?” nada bicara Darwin melunak.

“Bicarakan baik-baik? Lalu siapa yang menyeretku ke sini dan berteriak padaku? Kau kan?? Seharusnya aku juga marah karena kau tak menjelaskan padaku kenapa kemarin kau membiarkanku menunggumu??? Kenapa kemarin kau tak membalas pesanku??!”

Darwin diam. Ia bahkan mengalihkan pandangannya dariku dan berusaha menghindari bertemu pandang dengan mataku.

“Kenapa kau tak menjawabku? Kau tak ingin menjelaskannya kan?”

Darwin kembali menatapku, aku bisa melihat matanya yang menyiratkan kekecewaannya padaku. “Karena kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskannya,” ia menghela nafas –lagi setelah mengucapkan kalimatnya.

Air mataku terhenti seketika. “Oh baiklah. Salahkan saja semuanya padaku. Kau bahkan lebih memilih pergi dengan gadis anak kelas sebelah dibandingkan menahanku agar tak pergi dan menjelaskan segalanya,” aku bebalik dan berniat pergi dari hadapannya sebelum akhirnya ia kembali mengucapkan kalimat yang membuat langkahku terhenti.

 “Lalu kenapa kau tak menjawab telponku saat bersama Alfi?”

Aku kembali berbalik dan menatap heran padanya. “Dari mana kau tahu aku bersama Alfi?”

Ia berjalan mendekatiku dan memandangku dengan senyum sinis. “Jadi karena bersama pria itu kau tak mengangkat panggilan dariku? JADI ALFI LEBIH PENTING DARIKU??,” Darwin kembali berteriak.

Jantungku seolah mencelos melihat Darwin seperti ini. Kenapa ia harus semarah itu sedangkan aku yang kemarin ia biarkan menunggu tak sampai semarah ini. “Kau kenapa seperti ini? Bukankah yang seharusnya marah itu aku? DAN BERHENTI BERTERIAK DI DEPANKU!!”

“Kau marah karena aku tak membalas pesanmu? Kalau begitu kenapa kau hanya mengirim pesan singkat? Kenapa kemarin kau tak menelponku dan bertanya aku ada di mana, apa yang aku lakukan, kenapa aku tak membalas pesanmu, kenapa aku tak bisa menjemputmu... Kenapa kau tak menelponku?,” aku tak tahu kenapa karena suara Darwin seperti kecewa padaku.

“Oh.. Jadi aku harus menelponmu?”

“Tidak. Tidak usah. Kau terus saja jaga ego-mu, terus saja menjadi Isah yang tak pernah mengerti seorang Darwin. Dan... Seperti yang kau katakan tadi. Persetan dengan kata sahabat. Kita tidak dalam hubungan untuk itu,” Darwin segera beranjak pergi dari hadapanku dan pergi meninggalkanku dalam geming. Ia melangkah terburu-buru dengan langkah lebarnya.

Aku mematung menatap punggungnya yang terus beranjak menjauh. Jadi, begini kah akhirnya persahabatan yang kami jalani selama lima tahun terakhir ini? Kenapa ia harus semarah itu?

Air mataku kembali mengalir. Aku berjalan perlahan meninggalkan kebun tebu menuju rumahku. Aku membenci Darwin. Aku membencinya. Aku tak sudi lagi melihat wajahnya apalagi mendengar namanya. Segala tentangnya.

###

Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas. Aku bahkan tak bisa meski sekedar memejamkan mataku. Kejadian tiga hari yang lalu terus berputar dalam memoriku seperti kaset rusak. Kejadian itu sudah berlalu selama tiga hari namun aku tak bisa melupakannya.

Selama tiga hari ini aku terus memikirkan berbagai hal yang kemungkinan menjadi penyebab Darwin marah padaku. Aku yakin ia tak mungkin marah hanya karena aku tak menjawab panggilan telponnya saat bersama Alfi. Ia bukan pria yang pencemburu, aku sangat yakin hal itu. Hanya saja... yang membuatku terus menerus berpikir adalah ucapannya yang mengatakan aku tak menghubunginya saat itu. Saat dimana ia berjanji menjemputku namun ia malah tak menghubungiku sama sekali.

Memangnya apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku harus menelponnya saat itu? Bukankah ia bisa menelponku jika ia membatalkan janjinya?

Aaargh...” aku bangkit dari tempat tidur dengan melempar asal bantalku sampai membentur dinding kamar. Rasanya kantukku hilang dan kupastikan malam ini aku mengalami insomnia lagi.

Kuambil sebuah buku bersampul hitam. Terlihat kekanak-kanakan memang, tapi inilah hal yang sudah sekitar tiga belas tahun kulakukan selama hidup di dunia. Menulis segala kejadian di dalam buku diary. Alisku bertaut ketika kubuka bukuku yang tersisa hanya tiga lembar saja halaman yang kosong. Aku tak ingat kalau bukuku hampir habis. Rasanya sudah sebulan aku tak menulis di dalam buku diary ini, entahlah aku terlalu sibuk untuk menghabiskan waktu menulis dan juga, yeah aku terlalu cepat tidur sebelum sempat menulis.

Mataku membelalak seketika ketika kulihat pertama kali tulisan di halaman terakhir yang kutulis sebulan lalu. Astaga bunuh saja aku.

15 September, 21.00 p.m
Tadi siang aku dan Darwin pergi ke toko buku. Kami melihat sebuah buku tentang astronomi. Banyak gambar-gambar gugusan bintang di dalam buku itu, cantik. Darwin bilang saat ulang tahunnya bulan depan, dia ingin melihat gugusan bintang di tengah lapangan sepak bola di dekat rumahnya bersamaku. Ia bilang ingin melihatnya sambil merayakan ulang tahunnya jam dua belas malam. Aku hanya meng-iyakan perkataannya. Tak masalahkan sekali-sekali kami berkemah tengah malam, pasti menarik sekali. Semoga bulan depan rencana kami untuk melihat gugusan bintang di hari ulang tahun Darwin terwujud.
Hoaahm, baiklah aku ngantuk. Besok harus kuliah.. Semangat ^^

Aku sungguh lupa besok adalah ulang tahun Darwin. Buru-buru aku bangkit dan membuka tirai jendelaku, menatap jendela kamar Darwin yang tertutup dan terlihat gelap di dalamnya. Kuhela nafas gusar. Tiga hari tanpa Darwin terus terang saja aku merasa hambar. Tak ada Darwin yang mengirimiku pesan singkat sebelum tidur, tak ada Darwin yang membuka jendelanya di pagi hari dan berteriak memanggil namaku, tak ada Darwin yang selalu pergi ke kampus bersamaku, tak ada Darwin yang selalu pulang bersamaku. Di kampus pun kami saling tak bertegur sapa.

Hanya tiga hari namun rasanya sudah lama sekali. Tanpa kusadari setitik air mata mengalir dari sudut mataku. Tak bisa kupungkiri, aku merindukan Darwin. Aku merindukannya meskipun ia menyebalkan. Meskipun kami terlampau sering berdebat hanya untuk hal-hal konyol, meskipun kami terlampau sering berdebat karena perbedaan pandangan antara pria dan wanita, tapi aku merindukan eksistensinya di dekatku.

Apa selama ini aku terlalu egois padanya? Tapi, bukankah ia juga egois?

Aku terus menerus berdebat dengan pikiranku sendiri hingga nada dering alarm di ponselku menyadarkanku dan detik berikutnya mataku melotot sempurnya melihat tulisan di layar ponsel.

Darwin’s Birthday.

Sudah pukul 11.35 p.m. ,masih ada waktu kurang dari setengah jam sebelum jam 12 malam. Aku hanya bisa mondar mandir di depan jendela kamar. Sejujurnya aku bingung. Malam ini aku pernah berjanji pada Darwin untuk merayakan ulang tahunnya dan melihat gugusan bintang bersama. Tapi aku tak yakin apa ia masih mengingat janji itu atau tidak. Dan yang lebih membuatku gusar adalah aku yang sama sekali tak berani keluar rumah hampir tengah malam seperti ini.

Kulihat kamar Darwin gelap. Aku tak tahu apakah anak itu sudah tidur atau ia pergi ke sana seorang diri, entahlah. Aku bingung apa aku harus ke sana atau tidak. Kalau aku ke sana, mungkin ini kesempatanku untuk berbaikan dengannya. Tapi, masalah utamanya saat ini adalah aku tak berani keluar rumah.

Bagaimana ini?

Dengan sedikit keberanian akhirnya kubawa tungkaiku keluar rumah dengan mengendap-endap. Terang saja, jika aku meminta ijin kepada orang tuaku pasti aku tidak diijinkan. Dengan perlahan kukeluarkan motorku menuju halaman dan menyeretnya hingga keluar pagar lantas setelah benar-benar berada dalam jarak aman aku menyalakan motorku. Jika kunyalakan motorku sejak di dalam halaman, pasti orang rumah akan mendengar.

Lantas setelah mesin motor kuhidupkan aku langsung membawa motorku menuju rumah lama Darwin.

###

Jalanan sunyi meskipun ada beberapa kendaraan besar –maksudku truk- melintas. Udara dingin menelusup membuat bulu romaku berdiri. Kuharap tak terjadi sesuatu yang buruk hingga aku tiba di sana.

Guk.. guk..

Bukankah itu suara anjing? Dari kaca spion, aku melihat seekor anjing yang entah warna hitam atau coklat -karena jalanan cukup gelap- sedang berlari mengejar motorku. Ya Tuhan, kenapa anjing itu mengejarku? Aku kan tak punya masalah dengannya.

Kulajukan motorku agar lekas sampai. Namun sialnya, kurasa anjing itu memiliki kekuatan seperti Bolt, kartun animasi yang pernah kutonton. Untung saja aku sudah bisa melihat rumah lama Darwin dan setelah sampai segera kuparkirkan motorku.

Guk.. guk..

Sial. Kenapa suara anjing itu semakin jelas? Aku tak tahu apakah anjing itu berada di belakangku atau tidak, yang jelas aku segera berlari menuju lapangan sepak bola yang jauhnya sekitar seratus meter melalui jalan setapak di samping rumah lama Darwin. Jalanan yang temaram hanya bermodalkan cahaya dari ponselku membuatku sedikit kesusahan berjalan karena di kiri kanan jalan setapak ini ditumbuhi semak belukar.

Guk.. guk..

Oh Tuhan apa dosaku sampai-sampai tengah malam seperti ini aku dikejar anjing. Meskipun suara anjing itu sudah samar-samar terdengar tapi aku tetap saja ketakutan dan terus berlari. Bukan hanya karena aku takut anjing itu menggigitku, tapi karena jalanan ini yang sangat seram. Aku takut jika nanti melihat penampakkan, atau tiba-tiba ada makhluk astral yang berjalan di sampingku, atau nanti...

Aaaakh,” aku tak melihat jika di depanku ada bebatuan hingga akhirnya aku terjerembab dan lututku mengenai bebatuan yang cukup tajam hingga bagian lutut celanaku robek.

Aku meringis kesakitan. Ditemani dengan cahaya ponsel –karena tak ada lampu di sepanjang jalan- aku menerangi lututku untuk memeriksanya. Ada bercak darah dan rasanya perih sekali. Kembali udara dingin dan kali ini sepoi angin malam menerpa kulitku yang terbuka membuat bulu romaku meremang.

Dengan susah payah aku bangkit agar keluar dari jalan setapak ini. Namun lututku tak mampu menahan keseimbangan tubuhku hingga aku kembali terjatuh. Jantungku sudah berdebar sejak tadi karena aku benar-benar ketakutan saat ini.

“Kau tidak apa-apa?”

Aaaargh,” dengan cepat kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Itu tadi suara apa? Aku mendengar suara seseorang dan... aku bisa merasakan presensinya di dekatku.

Kurasakan ada yang menyentuh bahuku membuatku terisak tanpa sadar. “Aaaarrgh... Pergi dari sini!!,” aku meronta bahkan sejak tadi mulutku sudah komat-kamit membaca Ayat Kursi dan Surah-surah pendek yang kuhafal.

“Isah.. Isah... Kau kenapa? Ini aku, Darwin”

Aku masih belum berani membuka mataku. Aku takut itu Darwin sungguhan atau Darwin jadi-jadian.

“Isah, buka matamu. Ini aku.. Isah,” aku merasakan ia mengguncang pelan bahuku. Aku kenal suara itu, itu memang suara Darwin.

Perlahan kubuka telapak tanganku dan samar-samar aku melihat Darwin berjongkok di sampingku dengan memegang sebuah senter. Aku mengerjapkan mataku memastikan kalau yang di hadapanku ini memang Darwin sungguhan.

Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya. Aku sungguh takut apa yang akan terjadi seandainya Darwin tak datang ke sini. “Hiks, Darwin aku takut.. Hiks

Darwin mengelus pelan punggungku, membiarkanku meminjam dada bidangnya untuk menghilangkah ketakutanku. “Tak apa-apa, ada aku di sini”

Aku hanya mengangguk pelan dan semakin mengeratkan pelukanku pada pinggangnya. Darwin mendekapku begitu erat, memberikan rasa nyaman untukku.

“Apa yang kau lakukan tengah malam seperti ini di sini?,” akhirnya Darwin yang lebih dulu mengeluarkan suaranya di sela dekapannya setelah beberapa menit kami hanya terdiam.

Isakanku sudah berhenti dan aku segera melepaskan pelukanku. Kutatap wajah Darwin yang tidak begitu jelas, mungkin mataku terlihat sembab sekarang. “Selamat... Ulang tahun Win,” kucoba agar nada suaraku setenang mungkin.

Darwin tertawa pelan lantas mengusap pelan puncak kepalaku. “Kau ini ada-ada saja. Kau rela keluar tengah malam begini karena ingat janjimu bulan lalu huh?”

Tentu saja aku menjawabnya dengan anggukan pasti. Aku kan bukan gadis yang suka melanggar janji.

“Baiklah, kalau begitu kita pergi dari sini. Kau ingin berlama-lama di sini? Di sini kan katanya ada ‘penampakan’”

Aaaakh, Darwin jangan menakut-nakutiku.” Aku langsung memeluk Darwin lagi karena sejujurnya aku sensitif sekali dengan segala hal yang berbau mistis.

Hahaa, aku hanya bercanda. Ya sudah, kalau begitu ayo kita segera ke lapangan”

“Tapi.. Lututku sakit. Tadi aku berlari di sepanjang jalan karena ada anjing yang sepertinya mengejarku,” kutunjukkan lututku yang berdarah setelah kulepaskan pelukanku.

“Dikejar anjing? Bagaimana bisa?”

Aku hanya menggeleng pelan. Aku memang tak yakin kalau anjing itu memang mengejarku atau tidak.

Darwin berbalik, membiarkanku menatap punggugnya. “Naiklah”

Hah? Ap, apa? Naik ke punggungmu?”

Hmm.. Ayo cepat naik”

Dengan ragu aku naik ke punggung Darwin. Ia menggendongku dan berjalan dengan perlahan menyisir jalan setapak ini menuju lapangan sepak bola yang tak jauh beberapa meter lagi. Aku memegang senter yang tadi Darwin bawa dan mengarahkannya tepat ke arah jalanan di depan Darwin agar ia bisa melihat jalanan dengan jelas.

Aku tak tahu kenapa tapi yang pasti jantungku berdentam-dentam, bahkan aku takut jika sampai Darwin bisa merasakan debaran jantungku ini. Darwin masih terus berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata-pun. Begitu pula denganku. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan padanya hanya saja aku bingung harus memulainya dari mana.

###

Lapangan sepak bola yang menjadi tempat tujuan kami hanyalah lapangan rumput biasa yang sering dijadikan tempat bermain sepak bola oleh anak-anak di kompleks sekitar sini. Tak ada lampu penerangan sama sekali selain senter yang kubawa. Tapi untunglah langit terang berhiaskan gemerlap bintang dan cahaya bulan yang hampir penuh menambah semarak panorama langit malam ini.

“Kita sampai.” Darwin menurunkanku tepat di tengah lapangan, lantas ia juga turut duduk di sisi kananku.

Jantungku semakin berdetak tak karuan ketika Darwin menautkan jemari tangan kirinya dengan jemari tangan kananku. Dengan susah payah aku menelan salivaku sembari menatap manik kelamnya. Padahal tak ada lampu selain senter yang kubiarkan tergeletak di sisi kiriku, tapi aku bisa melihat dengan jelas wajah Darwin.

“Lututmu tak apa?”

Hmmm,” aku mengangguk.

“Syukurlah. Eum, ucapkan lagi yang kau katakan tadi sebelum kita di sini,” ucapnya terdengar begitu lembut di telingaku.

Dahiku berkerut. Aku memikirkan kalimat apa yang aku ucapkan sebelumnya. “Yang mana?”

Ia mendorong pelan kepalaku dengan telunjuk tangan kanannya. “Gunakan otakmu”

Aku mempoutkan bibirku kesal. Makhluk ini memang tak pernah baik padaku, tssk. “Iya-iya, selamat ulang tahun Darwin”

“Hanya itu?”

“Bukankah kau memintaku mengatakannya lagi?”

“Kau tak mengatakan hal yang lain? Seperti semoga panjang umur, dimurahkan rejeki, jodoh, atau apapun begitu?”

“Tak perlu kukatakan karena aku selalu berharap yang terbaik untukmu, temanku,” aku segera menyandarkan kepalaku pada bahunya. Darwin-pun menyandarkan kepalanya dengan kepalaku yang kusandarkan di bahunya.

Kami menatap gugusan bintang yang bertaburan di permadani langit malam ini. Aku tak tahu satupun nama-nama gugusan itu karena aku tidak begitu menyukai astronomi. Ulang tahun yang sempurna untuk Darwin karena keinginannya melihat bintang malam ini tercapai. Bunyi jangkrik serta cacing tanah saling bersahutan menghilangkan kesunyian malam. Kami berdua membiarkan beberapa menit terlewati dalam diam karena moment seperti ini jarang sekali kami dapatkan. Membiarkan keheningan yang membuat kami bisa merasakan arti memiliki satu sama lain. Membiarkan keheningan membuat kami bisa merasakan debaran jantung satu sama lain.

“Isah.. Maaf atas kejadian waktu itu, dan maaf sudah membentakmu” lirih Darwin.

Posisi kami masih sama dengan kepalaku yang bersandar di bahunya serta jemari kami yang saling bertautan. “Aku juga minta maaf Win. Saat itu aku benar-benar marah karena kau membiarkanku menunggu dan kau tak membalas pesanku”

“Maaf. Saat itu aku ditelpon Mira, gadis yang kau lihat di parkiran saat itu. Ia temanku satu Organisasi di PMII. Ia memintaku menjemputnya karena ban motornya bocor di tengah jalan. Ia tak tahu harus menelpon siapa karena hanya aku yang cukup dekat dengannya. Gadis itu tak pandai bergaul jadi temannya tidak banyak. Dan, aku bukannya tak ingin membalas pesanmu. Hanya saja aku kehabisan pulsa dan tak bisa mengabarimu kalau aku tak bisa menjemputmu, karena ban motorku juga bocor saat aku pulang mengantar Mira,” terang Darwin.

“Karena itu kau bilang seharusnya aku saat itu menelponmu? Bukan hanya sekedar mengirim pesan?”

Hmm.. Begitulah”

“Maafkan aku,” ucapku menyesal. “Seharusnya saat itu aku menelponmu dan bisa membantumu,” kutatap wajahnya yang jaraknya cukup dekat dengan wajahku.

“Tak apa. Setidaknya hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita berdua di kemudian waktu. Tapi, ngomong-ngomong kenapa kau tak mengangkat panggilan telponku saat kau bersama Alfi?”

“Sebenarnya ponselku sedang di-silent jadi aku tak mendengar kalau kau menelpon, hehe.. Maaf”

“Oh, pantas saja”.

“Memangnya waktu itu kau ingin mengajakku kemana?”

“Ra-ha-sia. Oh iya, lalu, kenapa saat kita bertengkar kau menyebut-nyebut gadis kelas sebelah? Kau cemburu saat ia menarikku pergi waktu itu?,” Darwin menatapku dengan pandangan ‘menggoda’.

“Cemburu? Tidak, terima kasih. Aku tak akan cemburu padamu”

Haha, ya sudah aku juga sedang tak ingin berdebat saat ini. Eum, Isah.. Terima kasih ya sudah mau menemaniku malam ini. Aku merasa menjadi pria yang paling beruntung malam ini”

Heum, sama-sama. Aku juga senang bisa menepati janjiku. Lagipula tak ada ruginya karena aku bisa melihat gugusan bintang yang indah di atas sana”

Darwin menatap intens iris caramelku ketika kepalaku tak lagi bersandar di bahunya, membuatku mati-matian menahan debaran jantungku. Bahkan otakku sudah mulai berspekulasi terhadap berbagai hal yang mungkin akan terjadi setelah ini. Darwin semakin mencondongkan kepalanya, berusaha memangkas jarak di antara kami.

Demi Tuhan aku rasanya ingin mati ketika hangat nafasnya bisa kurasakan dalam jarak sedekat ini. Manik kelamnya terus menatap lembut iris-ku membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Hingga jarak sekitar lima centimeter, Darwin berhenti dan kini tatapannya beralih pada bibirku.

Oke, baiklah rasanya untuk menelan salivapun terlalu sulit. Seperti ada jutaan jarum di dalam tenggorokanku. Setelah menatap bibirku sekian sekon, ia kembali beralih menatap irisku. Darwin sengaja membiarkan pergerakan lambatnya menjadi sensasi aneh yang menjalar ke seluruh tubuhku. Tanpa sadar aku malah menatap pada bibir penuhnya yang semakin mendekat dengan sangat lambat, membayangkan ketika bibirnya bertautan lembut dengan bibirku, menyesapnya pelan dan-

Mataku refleks menutup pelan ketika hidung kami saling bersentuhan, bibirnya mulai terasa akan menyentuh bibirku –mungkin satu sentimeter lagi- membuat jantungku terus berdetak tak karuan.

“Aaaakh”

Hyaaa, apa yang akan kau lakukan huh?,” aku mencubit pinggang Darwin dengan kuat setelah kesadaranku kembali normal dan sebelum bibirku yang suci tercemar oleh bibirnya.

Darwin mengelus pinggangnya dan meringis karena cubitanku yang terlalu kuat. Darwin menatapku sambil mengerjapkan matanya, lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Ta, tadi.. Tadi aku, hanya.. aku hanya.. eumm.. aku”

“Su, sudah.. sudahlah.. Kita.. pulang,” aku tak tahu kenapa aku juga jadi tergagap seperti ini. Aku bahkan berkali-kali menggaruk tengkukku yang sama sekali tak gatal.

Aku berusaha bangkit meskipun lututku masih terasa perih. Namun belum sempat tubuhku berdiri sempurna, Darwin langsung memelukku tanpa aba-aba membuatku hampir terjatuh namun untung saja ia bisa menahan berat badanku.

“Isah, terima kasih ya.. Ulang tahun malam ini takkan terlupakan,” aku mendengar ucapan tulus darinya di telingaku.

“Iya Win, sama-sama. Kau ingin hadiah ulang tahun apa?,” aku membalas pelukannya dan menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya.

“Kau menemaniku malam ini sudah menjadi kado terindah. Dan semakin indah jika kau terus bersamaku”

Hmm, baiklah. Jadi, kalau begitu kita pulang sekarang?”

Ia menggeleng membuatku menautkan kedua alisku. “Biarkan dulu beberapa menit seperti ini, ya,” pintanya dengan nada merengek seperti anak kecil.

Aku hanya terkekeh pelan dan membiarkan ia mendekapku dengan erat. “Baiklah. Asal kau jangan ketiduran oke, haha

Heum, Isah cerewet”

.
.
FIN

/lempar kembang, lempar serbet, lempar gayung, lempar bantal, lempar Darwin/
Ngetiknya dengan tingkat kewarasan kurang dari 60% wakawakawakawakakk..
Selamat ulang tahun Darwin-ku, Ma_Kes, Cinta Permai, Polusi, Mr. Marketing, Mas Pregant, aduh lupa saking banyaknya :-P
Sama seperti cerpen untuk ulang tahun Yuni, aku seneng akhirnya bisa menyelesaikannya sebelum hari H. Sedikit ngebut dan dikejar deadline *eaaaak (Berasa jurnalis, hahaaks)
Yah meskipun deadline aku salah... Aku lupa kalo tanggal ulang tahunmu itu tanggal 15, aku pikir tanggal 16, hehehee... Ini sebenernya malah udah selesai sebelum tanggal 15.. Maapkan aku telat banget ngepost-nya ^^v
Semoga tidak kecewa dengan cerita edisi ITB vs DTB part 2 ini yah.. seperti biasa, review kamu setelah membaca cerpen ini aku tunggu loh di sms...
Eumm, mau sedikit cerita nih kalo aku pengen kamu bikinin ITB vs DTB part 3 untuk edisi Ultahku... yah, itu pun kalau kamu bersedia soalnya cerita ini masih ada bagian yang belum dijelaskan kayak tempat nanti yang mau Darwin tunjukin ke Isah itu tempat apa. Dan semoga kamu bisa mengabulkan permintaanku ini yah.. heheee... (Padahal ultahku masih lama, dan ini jadi tantangan buat kamu yang harus kamu selesaikan *maksa*)
Kenapa aku bikin sudut pandang Isah semua gak ganti-ganti kayak sudut pandang di ITB vs DTB sebelumnya? Karena ini edisi ultah kamu, nah semoga kamu bisa bikin edisi dengan sudut pandang Darwin nanti... gak perlu panjang-panjang kok, yang penting ada... hehee...
Ya sudah sekian, makasih sudah baca dan sekali lagi selamat ulang tahun.. semoga kita terus berteman baik sampai wisuda nanti bahkan selamanya... Amiin..
Pai-pai ^^