Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Senin, 19 Januari 2015

(Puisi) Ranah Nestapa



Ranah Nestapa


Oleh: Aisyah
Tana Paser, 16 Januari 2015


Masih saja sendu
Masih saja kelabu
Masih saja pilu
Masih saja sembilu ditancap hatiku
Masih saja sayu
Masih saja meraung membisu


Nyatanya tak jua kugapai
Nyatanya tak jua kuraih
Untuk setitik asa yang menggunung
Yang lenyap terhembus dalam pekat halimun
Yang tertutup kubangan asap cerutu tua
Hingga hilang tanpa menyisakan sedikitpun asa untuk kuhirup walau seteguk


Kubukan pujangga
Kubukan penyair yang kerap menuliskan aksara di atas ladang putih
Kuhanya membagi kesakitanku akan asaku yang telah lama lenyap
Di ranah yang tak kunjung beriku sedikit harap akan inginku
Tak juga pula beriku atensi agar kudapat merajut langkah tuk gapai sang asa


Nyatanya nestapa yang kudapat
Cerapanku pada impian memburam seiring ranah yang tak lagi memihakku
Inginku meraung, namun tetap kuberkemam
Karna tak jua beri arti di tiap raunganku
Karna kuhanya jiwa kosong yang tak lagi ber-asa


Bunga padma menatapku dalam geming
Namun sukmanya membuatku ciut
Betapa indahnya sang padma di ranah ini, sedang aku terus saja merutuki si ranah yang tak berbelas kasihan padaku


Hingga akhirnya hanya mimpi hidupku
Karna ranah tempat kuberpijak terus mempersakitku dan memperolokku
Dan masih saja nestapaku tak pudar
Meski ku’tlah beri segala hidupku...


(Fanfiction) Raindrop under The Canopy



Raindrop under The Canopy
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.

Cast:
One Direction’s Louis Thomlison
You
.

Genre, Rating: Sad, Teen
Be ware... Typo!!
.

<3<3

Hujan masih saja turun sejak lima belas menit yang lalu dengan udara yang semakin dingin membuatku merapatkan jaket tipis yang tengah kupakai. Aku tak membawa mantel karena kupikir tak akan turun hujan sebab puluhan menit yang lalu saat aku keluar rumah tak ada yang tak beres dengan cuaca. Yah aku memang bodoh. Seharusnya aku tahu kalau musim gugur kali ini rentan sekali turun hujan.

Berkali-kali kugosokkaan kedua tanganku dan sesekali meniupnya berharap dapat mengurangi rasa dingin. Sialnya udara terus saja menusuk-nusuk permukaan kulitku yang terbuka membuatku tubuhku sedikit menggigil. Kulirik jalanan di depanku, masih tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku masih berdiri selama lima belas menit di bawah kanopi sebuah toko boneka karena hanya di sini tempat berteduh yang cukup aman menurutku.

Grep..

Kurasakan hangat di pundakku saat netraku dengan jelas menangkap sosok pria yang lebih tinggi dariku tengah memakaikan sebuah mantel di pundakku. Tubuhku seketika mematung saat ia turut berdiri di sampingku-menunggu hujan reda-mungkin.

Kulihat tangannya terulur untuk menangkap tiap tetesan hujan yang jatuh dari atas kanopi. Secara tidak sadar kedua sudut bibirku tertarik, mengingat betapa seringnya dulu ia melakukan itu setiap kami pulang sekolah.

“Lama tak melihatmu,” ucapnya tiba-tiba yang membuatku mengerjapkan kedua mataku karena sejak tadi aku terus menatapnya tanpa kedip. Yah, lagi-lagi aku melakukan hal bodoh.

“Y y..ya... ya sudah lama sekali...” jawabku pelan entah ia mendengarku atau tidak. Kali ini aku tak berani menatapnya. Aku lebih memilih menatap ujung sepatuku yang basah karena percikan air hujan.

Setelahnya hening. Baik aku mapun pria itu sama-sama tak mengucapkan sepatah katapun. Demi Tuhan aku begitu merindukan sosok yang tengah berdiri di sampingku ini. Dan demi Tuhan aku sangat terkejut saat presensinya yang tiba-tiba bahkan membuatku tak tahu harus bertingkah seperti apa dan mengatakan apa. Aku tak tahu haruskah aku merasa senang, atau... Haruskah aku marah padanya saat ini?

“Bagaimana kabarmu?” kali ini kepalaku terangkat dan menatap maniknya setelah pertanyaan tadi meluncur dari mulutnya.

Aku tersenyum kecut tak langsung menjawab pertanyaan sederhananya. Kali ini aku turut mengulurkan tangan kananku untuk menangkap tetesan hujan yang membuat permukaan telapak tanganku dingin. “Tak baik, tak juga buruk,” jawabku sekenanya.

“Maksudmu?”

Lagi, aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Kuhela nafas dalam dan menghembuskannya dengan teramat perlahan. Terus terang saja aku cukup sensitif setiap ada orang yang menanyakan kabarku. “Yah di antaranya. Aku tahu kau mengerti maksudku.”

Dengan ekor mataku kulihat ia mengangguk pelan, mengerti dengan ucapaknku –atau pura-pura mengerti- entahlah aku tak begitu perduli.

Kembali hening. Mungkin tak ada yang ingin ia katakan padaku, sama sepertiku. Dan mungkin juga ia terkejut melihatku sehingga tak ada yang bisa diucapkan karena belum mempersiapkannya, sama sepertiku.

“Kau sendiri bagaimana?” kali ini kuberanikan diri untuk memulai lebih dulu pembicaraan.

“Aku baik,” jawabnya cepat dan kali ini ia menatapku sembari tersenyum.

Kutarik tanganku yang tadi menangkap tetesan hujan karena dingin yang semakin menusuk di permukaan telapak tanganku lantas kumasukan ke dalam saku jaketku. Aku hanya mengangguk pelan seraya kembali menatap ujung sepatuku yang semakin basah. Kuharap hujan segera berhenti sehingga aku bisa pergi dari sini agar aku tak terus-terusan menahan sakit di dadaku karena kehadiran pria di sampingku ini.

“Ada yang ingin kukatakan sejak lama padamu. Maaf baru bisa mengatakannya sekarang karena aku kehilangan kontak denganmu dan aku tak tahu kau tinggal di mana sejak kita lulus SMA,” ucapnya dan kali ini menarik tangan kananku dan menggenggamnya. Sekujur tubuhku mati rasa karena sentuhannya, dan... aku harus mati-matian menahan air mata yang bersiap meluncur dari sudut mataku. “Aku... Aku tak bermaksud mengakhiri hubungan kita saat itu dan-“

“Kalau kau hanya ingin mengatakan itu, maka hentikanlah,” potongku cepat karena aku tak ingin lagi mengingat kenangan masa lalu, terutama jika itu menyangkut dirinya.

“Maaf... Saat itu aku hanya-“

“Kau hanya tak ingin melihat sahabatmu menderita kan? Kau bilang Niall begitu mencintaiku sehingga kau melepasku demi dirinya? Louis....” aku menghentikan kalimatku lantas kuhela nafas dalam lagi dan kali ini kurasa oksigen seperti jarum kecil yang menusuk di paru-paruku. “Aku tak tahu apa artinya aku bagimu sehingga kau begitu mudahnya melepaskanku sementara dulu kau tahu tak ada pria lain bagiku selain kau,” kugigit bibir bawahku kuat menahan agar aku tak terisak.

Sudah enam tahun sejak lulus SMA dan aku pergi dari kota ini untuk meninggalkan Louis dan berharap bisa melupakannya. Namun nyatanya aku tak bisa karena bagiku, cintaku untuk Louis masihlah tetap sama seperti dulu. Meskipun... aku sudah memiliki Niall. Dan seminggu yang lalu aku kembali ke kota ini karena orang tuaku memintaku untuk pulang sebab sudah enam tahun aku pergi meninggalkan orang tuaku.

Louis menatapku dengan perasaan bersalah dan aku benci melihatnya seperti itu, sehingga aku lebih memilih menatap jalanan di depan kami yang lengang karena hujan yang tak kunjung reda.

“Saat itu aku egois. Aku pikir hanya itu cara agar aku bisa melihat Niall bahagia dan sama seperti manusia normal. Aku.... Minta maaf... dan, aku tahu kau tak mungkin memaafkanku. Aku tahu kata maaf dariku tak akan mengubah apapun dan... yang ingin kukatakan padamu sejak enam tahun lalu adalah maaf.... dan juga, aku sangat mencintaimu.”

Sontak aku menatap matanya setelah ia selesai dengan kalimatnya. Louis bilang mencintaiku? Bodoh. Tentu saja yang dia maksud mencintaiku itu adalah saat kami SMA. Louis tak mungkin masih memiliki perasaan itu padaku.

“Perasaan itu tak pernah berubah. Bahkan sampai sekarang. Sampai detik ini, sampai saat aku berdiri di sini, di sampingmu. Aku... aku tak bisa melupakanmu. Maaf...”

Aku menatap tak percaya padanya. Aku menatap maniknya dan berusaha mencari kebohongan dari tiap kata yang ia ucapkan. Tapi... mata Louis tak pernah berbohong. Mata Louis selalu mengatakan yang sebenarnya. Louis tak bohong. Louis masih mencintaiku sama sepertiku? Tidak... aku yakin ini semua tidak semudah itu. Apa dengan Louis yang masih mencintaiku dan aku juga masih mencintainya lantas kami bisa menjalani hidup bersama dan bahagia sampai Tuhan memisahkan kami? Tidak. Aku tidak bodoh untuk pikiran kekanak-kanakan seperti itu.

Susah payah aku menelan saliva-ku. Dengan cepat kutarik tanganku yang masih digenggamnya dan kembali menggigit bibir bawahku. “Hentikan Lou. Kau tahukan hal itu hanya akan menyakiti kita berdua?”

Kudengar helaan nafas yang cukup keras dari Louis. Pria itu kembali menarik tanganku, dan kali ini ia menggenggamnya erat sehingga mau tak mau aku harus tepat menghadap tubuhnya. Jika aku tak mengingat Niall saat ini, aku pasti sudah menghambur pada dada bidangnya dan menumpahkan segela kerinduan dan rasa lelahku padanya. Tapi aku tak bisa. Aku memiliki Niall. Niall yang selalu membutuhkanku.

“Bagaimana kabar Niall?” tanyanya pelan dan ragu-ragu.

Aku tersenyum kecut. Untuk apa ia menanyakan kabar pria yang sudah mengambil kekasihnya?

“Ia baik-baik saja. Penyakit demensianya perlahan mulai membaik, meskipun aku masih kerepotan karena ia masih jauh dari kata ‘sembuh’...” tekanku pada kata terakhir dari kalimatku.

“Maaf kau harus repot mengurusnya. Maaf...”

“Berhenti minta maaf Lou!” ucapku cepat dan dengan nada cukup tinggi membuatnya menatapku dengan ekspresi terkejut. “Kubilang hentikan mengucapkan kata maaf. Karena seperti yang kau katakan, kata maaf darimu tak akan mengubah apapun. Kumohon Louis...”

Kulihat ia menghela nafas berat seolah ribuan ton beban menghimpit dadanya. Ayolah, aku juga lelah dalam kondisi ini. Bahkan aku jauh lebih lelah darinya.

“Jika aku dapat memutar waktu-“

“Jangan kekanak-kanakan Louis. Kau jalanilah hidupmu saat ini, karena akupun aku terus menjalani kehidupanku tanpa ada unsur dirimu sedikitpun di dalamnya. Meskipun kehidupanku teramat sakit, entah kau juga merasakannya atau tidak, tapi jalanilah. Kau yang memilih melepaskanku saat itu, jadi tak ada lagi kata ‘jika’ untuk penyesalanmu yang tak akan berarti apapun,” mataku sudah memburam dan cairan hangat sudah merembes di wajahku. Aku benci untuk mengatakan hal itu, tapi aku tak ingin mendengar penyesalan dari Louis. Hal itu hanya akan membuatku semakin sakit.

“Lalu...” kudengar suara Louis yang bergetar dan tangannya yang semakin erat menggenggam tanganku. “Apa yang harus aku lakukan untukmu, dan juga... Niall?”

“Hiduplah dengan baik. Dan, jangan muncul di hadapanku lagi. Aku bisa menjaga Niall... Aku yakin ia akan sembuh meskipun perlu terapi yang sangat lama untuk demensia-nya. Meskipun aku harus merasakan sakit, tak ada lagi yang bisa kau dan aku lakukan. Kubur rasa cintamu padaku sedalam mungkin. Tak ada lagi kita seperti dulu. Tak ada lagi cintamu dan cintaku seperti dulu. Semua sudah berakhir Louis, meskipun... Meskipun aku masih mencintaimu, sama seperti dulu. Tapi... Kita sudah memiliki jalan masing-masing jadi...”

“Jadi? Apa aku tak memiliki kesempatan lagi seperti dulu? Apa tak ada tempat sedikitpun tersisa untukku? Kau masih mencintaiku seperti aku yang masih mencintaimu kan? Kenapa kita tak mencobanya? Hum? Kumohon... beri aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya dan beri aku kesempatan utuk memperbaiki kesalahanku di masa lalu..”

Segera kutepis tangannya yang menggenggam tanganku dan aku menatap tak percaya padanya. “Maksudmu dengan aku memberi kesempatan padamu dengan aku meninggalkan Niall begitu? Dulu kau yang begitu menyayangi sahabatmu bahkan rela melepasku demi Niall.. tapi sekarang kau ingin memisahkan aku dan Niall begitu?” kali ini aku menatapnya tajam meskipun air mata yang terus-menerus turun.

Louis mengalihkan pandangannya dariku dan kulihat dengan jelas ia yang mengusap kasar air matanya.

“Jawab aku Louis! Kau ingin aku meninggalkan Niall dan kembali padamu?? Katakan Louis....”

“Aku, aku...”

“Kau tak tahu harus menjawab apa kan? Jadi berhentilah dan lanjutkan hidupmu. Anggap pertemuan kita hari ini hanyalah mimpi di musim gugur yang tak pernah kita kehendaki,” kuhela nafas dalam kembali dan menghembuskannya dengan cepat. Lantas setelahnya kuhapus kasar air mataku.

“Tapi-“

“Mom!”

Suara Louis terpotong oleh suara gadis kecil yang empat tahun terakhir mengisi indra pendengaranku. Dengan cepat aku membalik tubuhku mencari sumber suara dan kedua sudut bibirku tertarik melihat buah hatiku membawa payung kecilnya dan ia berlari ke arahku. Dengan cepat aku menghambur memeluknya dan mencium pipi gembulnya.

Aku menggendongnya agar ia turut berteduh di bawah kanopi toko boneka ini. Lantas kulirik Louis yang menatap kebingungan padaku.

“Putri kecilku, Ema,” ucapku menjawab kebingungannya.

“Kau.. Kau sudah memiliki seorang putri? Anak kau dan Niall??” tanyanya masih tak percaya.

Aku mengangguk dan kembali mencium pipi gembul putri kecilku. “Ema... Perkenalkan ini uncle Louis, ia teman mom waktu SMA.”

“Halo uncle...” ucap Ema riang.

Louis manatapku dan Ema bergantian tanpa kedip. Membuatku merasa bersalah dan lagi-lagi air mata di sudut mataku memberontak untuk meluncur.

“Eum, Louis.. Kurasa aku harus segera pulang sekarang. Lagipula hujan sudah mulai reda. Sampai bertemu lagi suatu hari nanti,” ucapku seraya menatap tak enak padanya dan mengembalikan mantel miliknya lantas berbalik meninggalkannya.

Louis tak mengucapkan sepatah katapun sampai aku berbelok di tikungan di samping toko boneka. Tanpa sadar  air mata yang sudah susah payah kutahan meluncur dan kembali membasahi pipiku.

Mom... Are you crying?

Kuusap pelan wajah putriku dalam gendonganku. “Tidak. Ini bukan air mata, tapi air hujan yang menetes di wajah mom...” kuberikan senyum terbaikku untuk bidadari kecilku.

Ema memelukku erat. “Mom, payungku tertinggal.”

Aku menghentikan langkahku. Tidak, aku tak ingin kembali ke tempat itu. Aku tak ingin melihat Louis lagi untuk saat ini. Aku tak ingin melihat wajah kalutnya saat ia melihat putriku. “Nanti kita beli yang baru saja honey...” ucapku sambil mengelus puncak kepalanya.

Really? Thank you mom..” Ema bertepuk tangan riang dalam gendonganku.

Louis dan Niall. Dua pria yang telah mengajariku apa itu cinta. Louis, cinta masa laluku yang sampai saat ini masih memiliki banyak tempat di hatiku. Dan Niall, cintaku yang akan kubangun selamanya sampai akhir hayat. Dan Ema, my beloved angel, cintaku kemarin, hari ini, dan selamanya.

“Hiduplah dengan baik Louis...”

.
.
FIN

Hyeyeyeyeyyeyy... lalalalallaaaa...
Harusnya aku bikin fanfiction Zayn soalnya dia baru aja ulang tahun. Tapi aku lebih ngerasa ada feel kalo ini cast-nya Boo Bear :D
I’m a Directioner forever!!!!!
Makasih buat yang rela membaca tulisanku yang tak berkelas ini ^^

Sabtu, 10 Januari 2015

(Puisi) Rinduku Tak Bertuan



RINDUKU TAK BERTUAN

Oleh: Aisyah
Tana Paser, 29 Desember 2014


Hasratku besar akan presensimu
Namun kau tak terlihat lagi
Hasratku besar akan alun merdu suaramu
Namun kau tak terdengar lagi
Hasratku besar akan sentuhmu
Namun kau tak tergapai lagi


Tadi malam kuimpikanmu, kita bersama
Kemarin malam kuimpikanmu, kita bersama
Esok malampun kuimpikanmu, kita bersama


Adakah arti disetiap deru nafas ini
Yang senantiasa berisi rindu padamu tuk kembali
Yang senantiasa menanti di sini
Yang senantiasa bertitip doa pada embun pagi


Ingin hati memekik
Apa daya jiwaku lemah adanya
Hanya terus menyimpan kesakitan
Atas rindu yang seringkali menohok persendianku


Semilir angin tak jua sejukanku
Semilir angin tak jua sampaikan rinduku
Terhadap rinduku, rindu tak bertuan...