Raindrop under The Canopy
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
Cast:
One
Direction’s Louis Thomlison
You
.
Genre, Rating: Sad, Teen
Be ware... Typo!!
.
<3<3
Hujan masih saja turun sejak lima belas menit yang lalu
dengan udara yang semakin dingin membuatku merapatkan jaket tipis yang tengah
kupakai. Aku tak membawa mantel karena kupikir tak akan turun hujan sebab
puluhan menit yang lalu saat aku keluar rumah tak ada yang tak beres dengan
cuaca. Yah aku memang bodoh. Seharusnya aku tahu kalau musim gugur kali ini
rentan sekali turun hujan.
Berkali-kali kugosokkaan kedua tanganku dan sesekali
meniupnya berharap dapat mengurangi rasa dingin. Sialnya udara terus saja
menusuk-nusuk permukaan kulitku yang terbuka membuatku tubuhku sedikit
menggigil. Kulirik jalanan di depanku, masih tak ada tanda-tanda hujan akan
berhenti. Aku masih berdiri selama lima belas menit di bawah kanopi sebuah toko
boneka karena hanya di sini tempat berteduh yang cukup aman menurutku.
Grep..
Kurasakan hangat di pundakku saat netraku dengan jelas
menangkap sosok pria yang lebih tinggi dariku tengah memakaikan sebuah mantel
di pundakku. Tubuhku seketika mematung saat ia turut berdiri di
sampingku-menunggu hujan reda-mungkin.
Kulihat tangannya terulur untuk menangkap tiap tetesan hujan
yang jatuh dari atas kanopi. Secara tidak sadar kedua sudut bibirku tertarik,
mengingat betapa seringnya dulu ia melakukan itu setiap kami pulang sekolah.
“Lama tak melihatmu,” ucapnya tiba-tiba yang membuatku
mengerjapkan kedua mataku karena sejak tadi aku terus menatapnya tanpa kedip.
Yah, lagi-lagi aku melakukan hal bodoh.
“Y y..ya... ya sudah lama sekali...” jawabku pelan entah ia
mendengarku atau tidak. Kali ini aku tak berani menatapnya. Aku lebih memilih
menatap ujung sepatuku yang basah karena percikan air hujan.
Setelahnya hening. Baik aku mapun pria itu sama-sama tak
mengucapkan sepatah katapun. Demi Tuhan aku begitu merindukan sosok yang tengah
berdiri di sampingku ini. Dan demi Tuhan aku sangat terkejut saat presensinya
yang tiba-tiba bahkan membuatku tak tahu harus bertingkah seperti apa dan
mengatakan apa. Aku tak tahu haruskah aku merasa senang, atau... Haruskah aku
marah padanya saat ini?
“Bagaimana kabarmu?” kali ini kepalaku terangkat dan menatap
maniknya setelah pertanyaan tadi meluncur dari mulutnya.
Aku tersenyum kecut tak langsung menjawab pertanyaan
sederhananya. Kali ini aku turut mengulurkan tangan kananku untuk menangkap
tetesan hujan yang membuat permukaan telapak tanganku dingin. “Tak baik, tak
juga buruk,” jawabku sekenanya.
“Maksudmu?”
Lagi, aku tak langsung menjawab pertanyaannya. Kuhela nafas
dalam dan menghembuskannya dengan teramat perlahan. Terus terang saja aku cukup
sensitif setiap ada orang yang menanyakan kabarku. “Yah di antaranya. Aku tahu
kau mengerti maksudku.”
Dengan ekor mataku kulihat ia mengangguk pelan, mengerti
dengan ucapaknku –atau pura-pura mengerti- entahlah aku tak begitu perduli.
Kembali hening. Mungkin tak ada yang ingin ia katakan padaku,
sama sepertiku. Dan mungkin juga ia terkejut melihatku sehingga tak ada yang
bisa diucapkan karena belum mempersiapkannya, sama sepertiku.
“Kau sendiri bagaimana?” kali ini kuberanikan diri untuk
memulai lebih dulu pembicaraan.
“Aku baik,” jawabnya cepat dan kali ini ia menatapku sembari
tersenyum.
Kutarik tanganku yang tadi menangkap tetesan hujan karena
dingin yang semakin menusuk di permukaan telapak tanganku lantas kumasukan ke
dalam saku jaketku. Aku hanya mengangguk pelan seraya kembali menatap ujung
sepatuku yang semakin basah. Kuharap hujan segera berhenti sehingga aku bisa
pergi dari sini agar aku tak terus-terusan menahan sakit di dadaku karena
kehadiran pria di sampingku ini.
“Ada yang ingin kukatakan sejak lama padamu. Maaf baru bisa
mengatakannya sekarang karena aku kehilangan kontak denganmu dan aku tak tahu
kau tinggal di mana sejak kita lulus SMA,” ucapnya dan kali ini menarik tangan
kananku dan menggenggamnya. Sekujur tubuhku mati rasa karena sentuhannya,
dan... aku harus mati-matian menahan air mata yang bersiap meluncur dari sudut
mataku. “Aku... Aku tak bermaksud mengakhiri hubungan kita saat itu dan-“
“Kalau kau hanya ingin mengatakan itu, maka hentikanlah,”
potongku cepat karena aku tak ingin lagi mengingat kenangan masa lalu, terutama
jika itu menyangkut dirinya.
“Maaf... Saat itu aku hanya-“
“Kau hanya tak ingin melihat sahabatmu menderita kan? Kau
bilang Niall begitu mencintaiku sehingga kau melepasku demi dirinya? Louis....”
aku menghentikan kalimatku lantas kuhela nafas dalam lagi dan kali ini kurasa
oksigen seperti jarum kecil yang menusuk di paru-paruku. “Aku tak tahu apa
artinya aku bagimu sehingga kau begitu mudahnya melepaskanku sementara dulu kau
tahu tak ada pria lain bagiku selain kau,” kugigit bibir bawahku kuat menahan
agar aku tak terisak.
Sudah enam tahun sejak lulus SMA dan aku pergi dari kota ini
untuk meninggalkan Louis dan berharap bisa melupakannya. Namun nyatanya aku tak
bisa karena bagiku, cintaku untuk Louis masihlah tetap sama seperti dulu.
Meskipun... aku sudah memiliki Niall. Dan seminggu yang lalu aku kembali ke
kota ini karena orang tuaku memintaku untuk pulang sebab sudah enam tahun aku
pergi meninggalkan orang tuaku.
Louis menatapku dengan perasaan bersalah dan aku benci
melihatnya seperti itu, sehingga aku lebih memilih menatap jalanan di depan
kami yang lengang karena hujan yang tak kunjung reda.
“Saat itu aku egois. Aku pikir hanya itu cara agar aku bisa
melihat Niall bahagia dan sama seperti manusia normal. Aku.... Minta maaf...
dan, aku tahu kau tak mungkin memaafkanku. Aku tahu kata maaf dariku tak akan
mengubah apapun dan... yang ingin kukatakan padamu sejak enam tahun lalu adalah
maaf.... dan juga, aku sangat mencintaimu.”
Sontak aku menatap matanya setelah ia selesai dengan
kalimatnya. Louis bilang mencintaiku? Bodoh. Tentu saja yang dia maksud
mencintaiku itu adalah saat kami SMA. Louis tak mungkin masih memiliki perasaan
itu padaku.
“Perasaan itu tak pernah berubah. Bahkan sampai sekarang.
Sampai detik ini, sampai saat aku berdiri di sini, di sampingmu. Aku... aku tak
bisa melupakanmu. Maaf...”
Aku menatap tak percaya padanya. Aku menatap maniknya dan
berusaha mencari kebohongan dari tiap kata yang ia ucapkan. Tapi... mata Louis
tak pernah berbohong. Mata Louis selalu mengatakan yang sebenarnya. Louis tak
bohong. Louis masih mencintaiku sama sepertiku? Tidak... aku yakin ini semua
tidak semudah itu. Apa dengan Louis yang masih mencintaiku dan aku juga masih
mencintainya lantas kami bisa menjalani hidup bersama dan bahagia sampai Tuhan
memisahkan kami? Tidak. Aku tidak bodoh untuk pikiran kekanak-kanakan seperti
itu.
Susah payah aku menelan saliva-ku.
Dengan cepat kutarik tanganku yang masih digenggamnya dan kembali menggigit
bibir bawahku. “Hentikan Lou. Kau tahukan hal itu hanya akan menyakiti kita
berdua?”
Kudengar helaan nafas yang cukup keras dari Louis. Pria itu
kembali menarik tanganku, dan kali ini ia menggenggamnya erat sehingga mau tak
mau aku harus tepat menghadap tubuhnya. Jika aku tak mengingat Niall saat ini,
aku pasti sudah menghambur pada dada bidangnya dan menumpahkan segela kerinduan
dan rasa lelahku padanya. Tapi aku tak bisa. Aku memiliki Niall. Niall yang
selalu membutuhkanku.
“Bagaimana kabar Niall?” tanyanya pelan dan ragu-ragu.
Aku tersenyum kecut. Untuk apa ia menanyakan kabar pria yang
sudah mengambil kekasihnya?
“Ia baik-baik saja. Penyakit demensianya perlahan mulai
membaik, meskipun aku masih kerepotan karena ia masih jauh dari kata
‘sembuh’...” tekanku pada kata terakhir dari kalimatku.
“Maaf kau harus repot mengurusnya. Maaf...”
“Berhenti minta maaf Lou!” ucapku cepat dan dengan nada cukup
tinggi membuatnya menatapku dengan ekspresi terkejut. “Kubilang hentikan
mengucapkan kata maaf. Karena seperti yang kau katakan, kata maaf darimu tak
akan mengubah apapun. Kumohon Louis...”
Kulihat ia menghela nafas berat seolah ribuan ton beban
menghimpit dadanya. Ayolah, aku juga lelah dalam kondisi ini. Bahkan aku jauh
lebih lelah darinya.
“Jika aku dapat memutar waktu-“
“Jangan kekanak-kanakan Louis. Kau jalanilah hidupmu saat
ini, karena akupun aku terus menjalani kehidupanku tanpa ada unsur dirimu
sedikitpun di dalamnya. Meskipun kehidupanku teramat sakit, entah kau juga
merasakannya atau tidak, tapi jalanilah. Kau yang memilih melepaskanku saat
itu, jadi tak ada lagi kata ‘jika’ untuk penyesalanmu yang tak akan berarti
apapun,” mataku sudah memburam dan cairan hangat sudah merembes di wajahku. Aku
benci untuk mengatakan hal itu, tapi aku tak ingin mendengar penyesalan dari
Louis. Hal itu hanya akan membuatku semakin sakit.
“Lalu...” kudengar suara Louis yang bergetar dan tangannya
yang semakin erat menggenggam tanganku. “Apa yang harus aku lakukan untukmu,
dan juga... Niall?”
“Hiduplah dengan baik. Dan, jangan muncul di hadapanku lagi.
Aku bisa menjaga Niall... Aku yakin ia akan sembuh meskipun perlu terapi yang
sangat lama untuk demensia-nya. Meskipun aku harus merasakan sakit, tak ada
lagi yang bisa kau dan aku lakukan. Kubur rasa cintamu padaku sedalam mungkin.
Tak ada lagi kita seperti dulu. Tak ada lagi cintamu dan cintaku seperti dulu.
Semua sudah berakhir Louis, meskipun... Meskipun aku masih mencintaimu, sama
seperti dulu. Tapi... Kita sudah memiliki jalan masing-masing jadi...”
“Jadi? Apa aku tak memiliki kesempatan lagi seperti dulu? Apa
tak ada tempat sedikitpun tersisa untukku? Kau masih mencintaiku seperti aku
yang masih mencintaimu kan? Kenapa kita tak mencobanya? Hum? Kumohon... beri
aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya dan beri aku kesempatan utuk
memperbaiki kesalahanku di masa lalu..”
Segera kutepis tangannya yang menggenggam tanganku dan aku menatap
tak percaya padanya. “Maksudmu dengan aku memberi kesempatan padamu dengan aku
meninggalkan Niall begitu? Dulu kau yang begitu menyayangi sahabatmu bahkan
rela melepasku demi Niall.. tapi sekarang kau ingin memisahkan aku dan Niall
begitu?” kali ini aku menatapnya tajam meskipun air mata yang terus-menerus
turun.
Louis mengalihkan pandangannya dariku dan kulihat dengan
jelas ia yang mengusap kasar air matanya.
“Jawab aku Louis! Kau ingin aku meninggalkan Niall dan
kembali padamu?? Katakan Louis....”
“Aku, aku...”
“Kau tak tahu harus menjawab apa kan? Jadi berhentilah dan
lanjutkan hidupmu. Anggap pertemuan kita hari ini hanyalah mimpi di musim gugur
yang tak pernah kita kehendaki,” kuhela nafas dalam kembali dan
menghembuskannya dengan cepat. Lantas setelahnya kuhapus kasar air mataku.
“Tapi-“
“Mom!”
Suara Louis terpotong oleh suara gadis kecil yang empat tahun
terakhir mengisi indra pendengaranku. Dengan cepat aku membalik tubuhku mencari
sumber suara dan kedua sudut bibirku tertarik melihat buah hatiku membawa
payung kecilnya dan ia berlari ke arahku. Dengan cepat aku menghambur
memeluknya dan mencium pipi gembulnya.
Aku menggendongnya agar ia turut berteduh di bawah kanopi
toko boneka ini. Lantas kulirik Louis yang menatap kebingungan padaku.
“Putri kecilku, Ema,” ucapku menjawab kebingungannya.
“Kau.. Kau sudah memiliki seorang putri? Anak kau dan
Niall??” tanyanya masih tak percaya.
Aku mengangguk dan kembali mencium pipi gembul putri kecilku.
“Ema... Perkenalkan ini uncle Louis,
ia teman mom waktu SMA.”
“Halo uncle...”
ucap Ema riang.
Louis manatapku dan Ema bergantian tanpa kedip. Membuatku
merasa bersalah dan lagi-lagi air mata di sudut mataku memberontak untuk
meluncur.
“Eum, Louis.. Kurasa aku harus segera pulang sekarang.
Lagipula hujan sudah mulai reda. Sampai bertemu lagi suatu hari nanti,” ucapku
seraya menatap tak enak padanya dan mengembalikan mantel miliknya lantas
berbalik meninggalkannya.
Louis tak mengucapkan sepatah katapun sampai aku berbelok di
tikungan di samping toko boneka. Tanpa sadar
air mata yang sudah susah payah kutahan meluncur dan kembali membasahi
pipiku.
“Mom... Are you crying?”
Kuusap pelan wajah putriku dalam gendonganku. “Tidak. Ini
bukan air mata, tapi air hujan yang menetes di wajah mom...” kuberikan senyum terbaikku untuk bidadari kecilku.
Ema memelukku erat. “Mom,
payungku tertinggal.”
Aku menghentikan langkahku. Tidak, aku tak ingin kembali ke
tempat itu. Aku tak ingin melihat Louis lagi untuk saat ini. Aku tak ingin
melihat wajah kalutnya saat ia melihat putriku. “Nanti kita beli yang baru saja
honey...” ucapku sambil mengelus
puncak kepalanya.
“Really? Thank you
mom..” Ema bertepuk tangan riang dalam gendonganku.
Louis dan Niall. Dua pria yang telah mengajariku apa itu
cinta. Louis, cinta masa laluku yang sampai saat ini masih memiliki banyak
tempat di hatiku. Dan Niall, cintaku yang akan kubangun selamanya sampai akhir
hayat. Dan Ema, my beloved angel,
cintaku kemarin, hari ini, dan selamanya.
“Hiduplah dengan baik Louis...”
.
.
FIN
Hyeyeyeyeyyeyy... lalalalallaaaa...
Harusnya aku bikin fanfiction Zayn
soalnya dia baru aja ulang tahun. Tapi aku lebih ngerasa ada feel kalo ini cast-nya Boo Bear :D
I’m a Directioner
forever!!!!!
Makasih buat yang rela membaca tulisanku yang tak berkelas ini ^^