NIGHTMARE
.
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
.
Warning:
Fantasy, failed thriller, NC 17, Typo!!!
.
***
Nyatanya aku tidaklah tuli.
Nyatanya aku tidaklah buta.
Aku bisa mendengar dengan jelas, pun bisa melihat dengan
teramat jelas melalui kedua bola mataku apa yang pria itu lakukan di dalam
kamarku bersama seorang gadis. Melakukan sesuatu yang erotis ditambah
suara-suara menjijikan –dari desahan keduanya- yang membuatku hampir gila.
Baiklah, mungkin aku memang sudah gila.
Seharusnya aku tak berada di sini. Berdiri di ambang pintu
kamar menyaksikan kedua makhluk itu melakukan sesuatu yang menurutku sangat
menjijikan. Hanya saja kedua betisku terlalu kaku untuk sekedar kugerakan satu
senti, terlebih untuk menjauh dari kamarku lantas berlari sejauh mungkin bahkan
keluar rumah jika bisa.
Namun saat pria di atas kasur itu menatapku dengan manik
kelamnya, tubuhku terasa semakin membeku. Pria yang saat ini posisinya sedang
ditindih oleh gadis yang aku tak tahu dari mana asalnya itu, menatapku seolah
memintaku tetap berdiri di sini dan menyaksikan apa yang ia lakukan hingga ia
selesai melakukan urusannya.
Tubuhku semakin mematung, terlebih saat aku menyaksikan
sesuatu yang tak pantas kulihat. Sontak aku mengalihkan pandanganku ke arah
lain. Demi apapun rasanya begitu sesak melihat pria itu melakukan hal itu
kepada wanita lain. Lalu, apa artinya aku selama ini baginya? Kenapa ia tak
pernah mau melakukan hal itu kepadaku? Kenapa ia selalu mencari wanita lain
untuk memuaskan hasratnya? Tidakkah ia sedikit saja pernah menganggapku sebagai
seorang wanita?
Ini kali ke empat aku melihatnya melakukan ‘itu’ kepada
wanita lain di dalam kamarku dan dengan empat wanita yang berbeda. Aku tak tahu
selama ini apa yang terjadi padanya karena aku hanya bertemu pria itu saat
matahari terbenam.
Aku masih tak sanggup melihat apa yang mereka lakukan karena
netraku saat ini hanya tertuju pada langit-langit rumahku yang bercat biru cream, namun telingaku dapat menangkap
dengan jelas suara menjijikan dari mereka berdua. Aku ingin pergi, sungguh.
Tapi tungkaiku tak bisa kugerakan sama sekali. Tubuhku membatu di ambang pintu
tanpa aku tahu penyebabnya.
“Aaaaaakkkh.”
Tidak. Itu bukan suara desahan yang bermenit-menit lalu aku
dengar. Tapi itu suara teriakan kesakitan dan itu adalah-
“Aaaaarrgh.”
Lagi aku mendengar suara teriakan kesakitan itu. Sontak aku
menoleh pada sumber suara dan mataku seketika membelalak lebar saat melihat
wanita yang bersama pria itu berteriak dan mengerang kesakitan. Kali ini tubuh
polosnya yang tanpa sehelai kain itu menggeliat kesakitan di atas kasurku
membuatku merinding namun tak juga aku bisa menggerakkan tubuhku sedikitpun.
“Aaaakkkh... aaaaakkkkhhh.”
Wanita itu berteriak seperti kesetanan. Aku menatap pria di
samping wanita itu yang kini menatap wanita yang kesakitan itu dengan tatapan
puas dan netraku dengan jelas melihat ia sedang menyeka sudut bibirnya karena
cairan merah yang merembes.
Tunggu.
Bukankah itu darah?
Jantungku serasa mencelos dan nafasku tercekat ketika wanita
itu tak bergerak lagi di atas tempat tidur. Dari sini indra penciumanku dengan
jelas menangkap aroma amis darah yang membuat perutku mual. Bahkan noda darah
yang memercik memenuhi lantai kamarku membuat tubuhku serasa lemas seketika.
Kali ini aku menatap penuh tanya dan ketakutan pada pria itu
yang menatapku dengan tatapan sendu. Kenapa ia memintaku untuk melihat
semuanya? Kenapa pria itu melakukan hal ini padaku? Kenapa? Ini bahkan sudah
keempat kalinya aku menyaksikan pria itu menghisap darah wanita dari lehernya. Seketika
tubuhku terkulai lemas ketika pandangan kami saling bersorobok hingga
setelahnya gelap dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada tubuhku.
***
Kicau burung dari luar jendelaku membuatku terbangun dan
seketika cahaya matahari yang menelusup melalui tirai jendela menghujam
retinaku saat kelopak mataku perlahan terbuka membuatku berusaha keras
menyesuaikan retinaku dengan cahaya yang masuk ke dalam netraku. Perlahan aku
bangkit untuk duduk seraya mengamati keadaan di sekitarku. Aroma khas pria yang
sudah satu tahun ini tinggal bersamaku seketika menyapa indra penciumanku saat
pria itu masuk ke kamar dengan masih mengenakan handuk mandi yang ia lilitkan
di pinggangnya serta rambutnya yang masih basah.
“Kau sudah bangun?” tanyanya sedikit khawatir lantas
mendudukkan diri di samping ranjang tempat di sampingku.
Aku hanya mengangguk pelan. Lantas kulirik sprey tempat
tidurku sudah berganti dengan yang baru, tak ada bercak darah dan lantai
kamar-pun bersih tanpa ada sedikitpun noda darah yang kulihat tadi malam. Jujur
saja aku masih bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi tadi malam, namun
kuurungkan niatku untuk bertanya karena pria di sampingku ini bertindak seolah
tak pernah terjadi apapun. Begitupun dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Aku
enggan bertanya karena aku hanya menunggu ia menceritakannya sendiri tanpa
harus aku bertanya lebih dulu. Bahkan tak jarang aku berharap kejadian-kejadian
itu hanyalah mimpi burukku.
“Kau sepertinya kelelahan, jadi aku tak enak membangunkanmu.
Lihatlah, matahari sudah tinggi dan kau baru bangun,” ucapnya seraya bangkit
dari sisi ranjang dan berjalan ke samping jendela untuk menyibak tirai itu dan
membiarkan cahaya matahari semakin leluasa masuk ke dalam kamar.
Aku tersenyum kecut. Aku hanya mengamati tubuh topless-nya yang hanya mengenakan handuk
dan menatap langit dari balik jendela. Demi Tuhan aku tak pernah menjamah tubuh
indah pria itu. Meskipun kami sudah satu tahun tinggal bersama, tapi kami tidak
pernah melakukan sex sedikitpun. Hanya sekedar berciuman. Itupun tak
berlangsung lama, hanya kecupan singkat di bibir.
“Aku akan membuatkanmu sarapan. Kau tunggu di sini, aku akan
mengantarkannya kalau sudah siap,” ujarnya lagi seraya mengelus pelan puncak
kepalaku lantas setelahnya ia menghilang di balik pintu kamar.
Kutarik nafas dalam.
Aku dan pria itu bukanlah sepasang suami istri yang tinggal
bersama atas dasar pernikahan. Aku bertemu pria itu satu tahun yang lalu saat pulang
ke rumah usai aku mengajar les di tempat kerjaku. Pria itu tergeletak tak
berdaya di halaman rumahku dengan bersimbah darah. Aku tak tahu dari mana ia
datang karena saat itu ia tak sadarkan diri. Entah jiwa malaikat dari mana yang
membuatku mau menolongnya yang sama sekali tak kukenal. Aku membasuh darah di
tubuhnya serta mengobati luka-luka di beberapa bagian tubuhnya. Ia bahkan saat
itu tak sadarkan diri selama dua hari.
Saat ia sadar, tubuhku seakan bergetar saat menatap manik
kelamnya. Tubuhku seolah terhipnotis akan indahnya manik kelam itu, bahkan
jantungku berdentam-dentam tak terkendali.
Tak ada perjanjian apapun, tak ada syarat apapun, saat itu
aku dengan mudahnya mengizinkannya untuk tinggal di rumahku saat ia bilang ia
tak memiliki tempat tinggal. Ia bilang ia memiliki suatu tujuan, hanya saja tak
ada tempat untuknya tinggal sampai tujuannya itu terwujud.
Bodohnya aku mengizinkan orang asing sepertinya menghuni
rumahku yang memang hanya kutempati seorang diri ini. Karena kedua orang tuaku
tinggal di desa bersama saudariku yang lebih muda lima tahun dariku. Dan
bodohnya aku membiarkan hatiku untuk terus tenggelam pada pria yang bahkan saat
ini aku tak mengetahui identitasnya selain namanya yang satu-satunya aku
ketahui tentangnya.
Darwin. Pria itu mengaku bernama Darwin. Ia tak memberitahuku
apa pekerjaannya, dari daerah mana ia berasal, apakah pria itu memiliki orang
tua atau tidak. Dan aku semakin bodoh karena tak pernah menanyakan hal itu
padanya, karena aku terlalu merasa nyaman saat eksistensinya di dekatku.
“Kau melamun?”
Mataku mengerjap saat suara pria itu menyapa indra
pendengaranku, membuatku seketika menoleh padanya yang saat ini sudah duduk di
sampingku dan kini ia sudah mengenakan kaos lengan pendek serta celana jeans panjang berwarna abu-abu pekat.
Aku masih duduk di atas ranjang, tubuhku terasa sakit seluruhnya membuatku
sulit untuk bergerak.
Aku memaksakan sebuah senyum saat ia menatapku dengan begitu
lembut. Aku berani bersumpah bahwa darahku berdesir dan membuat seluruh sistem
organku terasa panas saat mata elangnya menghujam irisku dengan begitu lembut.
“Ini makanlah..” Darwin menyodorkan sepiring sandwich untuk kumakan.
Aku kembali menghela nafas dalam. Aku saat ini sungguh tak
berselera makan. Aku menjauhkan piring itu dari tubuhku membuat kedua alisnya
bertaut bingung.
“Kenapa? Kau tak ingin makan? Tssk, kau harus makan. Atau kau
mau aku suapi? Ayo buka mulutmu.. aaaa,” ia menuntunku untuk memakan sandwich itu. Dengan terpaksa aku
menggigit pelan sandwich darinya
meskipun aku benar-benar tak berselera saat ini.
“Anak pintar. Kau harus habiskan ini semua, mengerti?”
Aku kembali hanya mengangguk pelan, membiarkannya menyuapiku
perlahan. Setelahnya tak ada satupun diantara kami yang mengucapkan sepatah
kata, karena Darwin bukanlah tipikal pria yang suka berbicara. Begitupun
denganku.
Aku membiarkan hening melingkupi kami berdua, karena aku
begitu menikmat momen seperti ini. Hanya saja, akan lebih baik jika Darwin
memberitahuku sebenarnya apa yang terjadi selama ini, dan siapa dirinya
sebenarnya.
***
Malam ini hujan turun begitu deras saat hanya aku sendirian
di dalam rumah. Petir menyambar serta guntur yang terus menerus saling bersahutan
memakakkan telinga. Ini sudah pukul sebelas malam namun Darwin belum juga
pulang ke rumah. Biasanya ia sudah kembali ke rumah saat matahari terbenam.
Entah kenapa aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi
sebentar lagi. Aku menggelengkan kepalaku berusaha mengusir pikiran buruk itu
jauh-jauh. Tapi tetap saja rasanya aku sangat khawatir dengan Darwin saat ini.
Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas lebih lima belas
menit. Mataku tak kunjung terpejam karena aku tak biasa tidur sendiri. Setahun terakhir
ini aku sudah biasa tidur dengan Darwin yang memelukku dari samping. Aku terus
berusaha memejamkan kedua mataku namun tak juga berhasil.
̴ting
tong...
Bunyi bell seketika
membuat tubuhku terbangun dan berlari keluar untuk membuka pintu. Nafasku memburu
karena aku membuka pintu dengan terburu-buru berharap itu Darwin. Dan benar
saja. Setelah daun pintu terbuka lebar, aku mendapati Darwin dengan tubuh basah
kuyup dan pria itu terlihat lemah.
Mataku melebar karena Darwin yang langsung memelukku dengan
tubuh basahnya membuatku keheranan.
“Darwin...” lirihku.
Ia semakin mempererat pelukannya dan menyandarkan kepalanya
pada bahu kananku. “Sebentar saja. Kumohon,” ucapnya serak.
Aku membiarkan tubuh basahnya memeluk tubuhku. Kubalas
pelukannya dengan melingkarkan kedua tanganku pada pinggangnya. Ini kali
pertama Darwin seperti ini. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat saat
memelukku, membuatku semakin kebingungan dan ingin sekali bertanya apa yang
terjadi padanya.
Usai beberapa menit Darwin mendekapku, ia lantas menutup
pintu dan menuntunku untuk masuk ke dalam kamar. Ia menyuruhku duduk di
sampingnya di tepi ranjang. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku. Aku
bisa merasakan tangannya yang begitu dingin dan sedikit bergetar.
Tubuhnya masih basah membuat tepi ranjang yang ia duduki
menjadi basah. Dan bisa kulihat bibir Darwin yang bergetar, mungkin kedinginan.
“Kau ingin membersihkan dirimu dulu?” tanyaku pelan.
Darwin menggeleng. Ia semakin mengeratkan genggaman tangannya
pada tanganku membuatku semakin keheranan. Darwin menatapku sendu, lantas ia
mencondongkan tubuhnya dan dalam sekejap langsung meraup bibirku untuk
dilumatnya.
Bibirnya terus bergerak menyapu bibirku, membuatku tak tahan
untuk membalas perlakuannya pada bibirku. Dengan serta merta aku langsung
melingkarkan kedua tanganku pada lehernya dan turut memagut bibir penuhnya.
Untuk sepersekian menit bibir kami masih terus saling
berpagutan hingga akhirnya Darwin yang terlebih dahulu melepaskan kotak bibir
kami. Darwin memegangi pipi kananku dan tangan satunya lagi memegang daguku
dengan lembut, berusaha membuat tatapan kami saling beradu. Entah kenapa
tatapannya kali ini lebih sendu dari yang pernah aku lihat selama ini. Meskipun
ia memiliki mata setajam elang, namun ia selalu menatapku sendu dan hangat.
Aku bergeming. Menimati dalamnya manik kelam miliknya yang
selalu kurindukan. Aku tahu perasaan ini hanya perasaan sepihak karena Darwin
tak mungkin memiliki perasaan yang sama denganku.
Darwin kembali mencondongkan tubuhnya dan berbisik tepat di
telingaku. “Would you be mine tonight?”
bisiknya seduktif yang seketika membuat bulu romaku meremang.
Aku tak langsung mengiyakan ataupun menolaknya. Aku menatap
tak yakin padanya karena selama ini Darwin tak pernah menyentuhku lebih jauh. Kutatap
lekat manik matanya mencari ketulusan di dalamnya.
Darwin tersenyum hangat lantas setelahnya aku langsung
mengangguk pasti menerima tawarannya. Tentu saja aku ingin. Karena aku
mencintainya. Aku tak tahu apakah ia hanya menginginkan tubuhku atau ia juga
memiliki perasaan yang sama denganku, yang pasti aku sungguh-sungguh ingin membuatku
menjadi miliknya malam ini.
Darwin mendorong tubuhku hingga saat ini posisinya menindih
tubuhku. Ia langsung melumat bibirku dengan sedikit terburu-buru namun aku bisa
merasakan kelembutannya. Mataku terpejam menikmati ciuman Darwin dan turut
membalas ciumannya. Hingga aku benar-benar mabuk karena sentuhannya dan
membiarkannya menjamah seluruh tubuhku.
***
Aku memeluk erat kedua kakiku yang kutekuk dan meringkuk di
sudut ranjang. Nafasku tercekat dan pandanganku buram karena air mata yang
terus saja membanjiri wajahku. Aku benar-benar tak mengerti apa yang Darwin
katakan. Ini benar-benar tak masuk akal, sungguh. Otakku sama sekali tak bisa
memahami apa maksud dari perkataannya.
Saat ini aku sama sekali tidak telanjang. Pakaianku masih
utuh membalut tubuhku hanya saja piyama tidurku yang sudah terbuka di bagian
dada serta menampakkan bra merah yang tengah kupakai. Aku tak memperdulikan
lagi pakaianku karena aku benar-benar hampir gila. Kuharap ini mimpi. Oh Tuhan
bangunkan aku dari mimpi burukku ini. Aku benar-benar tak ingin mengetahui
fakta yang terjadi. Lebih baik aku tak mengetahui siapa Darwin sebenarnya. Aku hanya
ingin bersamanya, tidak lebih dari itu.
“Maafkan aku. Itulah sebabnya selama ini aku tak pernah
menyentuh tubuhmu. Karena jika aku melakukannya, maka aku harus menghisap
darahmu. Aku tak ingin kehilanganmu,” suaranya jelas terdengar bergetar dan itu
membuatku merasa serba salah.
Aku menelan salivaku susah payah. Aku berusaha keras untuk
menghentikan air mata yang terus saja mengalir, karena semua ini terasa tidak
benar bagiku.
“La, lalu.. Lalu kenapa tadi kau ingin bercinta denganku?”
lirihku. Tidak, kami tidak bercinta. Darwin menghentikan kegiatannya saat
membuka kancing piyamaku dan aku bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang
bergetar saat maniknya menangkap buah dadaku yang masih berbalut bra.
Darwin tertunduk. Ia kembali menatapku dengan pandangan
bersalah, “Maaf... Sungguh aku minta maaf karena-“
“Karena apa?” selaku cepat karena aku sungguh ingin tahu
alasannya.
“Karena malam ini kau yang menjadi korban berikutnya,”
ucapnya dan kini kembali menunduk menatap keramik putih di bawah sana.
Daguku terjatuh dan mulutku sudah terbuka lebar. “Mak,
maksudddmu.. Ja jadi aku-“
“Maaf. Aku tak bisa memberitahumu selama ini. Itulah sebabnya
aku membuatmu menyaksikan semua yang terjadi dengan para gadis yang bercinta
denganku. Karena aku ingin kau tahu, jika kita melakukannya maka kau-“
“Hentikan!” seruku cepat. Aku tak ingin mendengar apapun lagi
darinya. “Chupacabra? Aku bahkan tak
pernah tahu ada makhluk seperti itu. Lalu aku sudah terdaftar sebagai calon
korbanmu begitu? Dan... Apa artinya aku selama ini?” aku sungguh tak
mempercayai apa yang aku dengar darinya beberapa menit yang lalu.
“Bukankah sudah kukatakan? Aku makhluk Chupacabra setengah manusia. Kami makhluk Chupacabra harus menghisap darah manusia yang sudah ditakdirkan
menjadi korban kami agar kami bisa bertahan hidup di dunia manusia. Awalnya
semua berjalan baik-baik saja dan aku tak pernah berpikir akan seperti ini
jadinya. Hingga aku merasa kalau aku sudah jatuh hati padamu, dan aku tak tega
melakukannya padamu. Maaf...”
Aku masih tak mempercayainya. Semua ini sungguh di luar
nalarku. “Darwin kau bohong kan? Katakan kalau yang kau ucapkan itu semua hanya
bohongkan??!!”
“Maaf,” kali ini ia berusaha mendekat padaku namun tubuhku
refleks menjauh darinya. “Aku tak bisa menyakitimu karena aku mencintaimu,”
lirihnya lagi yang seketika membuat aliran darahku memanas.
“Darwin...” ucapku pelan. “Lalu, apa yang terjadi jika kau
tak menghisap darahku?” tanyaku hati-hati.
“Maka aku...” ia menatapku dengan air mata yang menggenang di
pelupuk matanya. “Maka aku akan menghilang dari dunia manusia.”
Kedua mataku membelalak tak percaya. “Kau, kau akan menghilang?”
Ia mengangguk pelan lantas menatapku dengan tulus dan aku
bisa melihat kedua sudut bibirnya yang tertarik hingga membentuk sebuah
senyuman yang begitu aku sukai selama satu tahun terakhir ini. “Tak apa. Itu lebih
baik dibandingkan kau mati karenaku. Karena jika kau mati, maka aku tak akan
bisa hidup dengan tenang.”
Darwin kembali berusaha mendekati tubuhku dan kali ini aku
membiarkan kedua lengannya merengkuh tubuhku dalam dekapannya. “Maaf dan terima
kasih,” bisiknya serak di telingaku.
Aku tak bisa bergerak karena ia merengkuhku begitu erat. “Aku
ingin kau mendengarnya dengan baik karena aku tak akan mengatakannya dua kali. Aku-mencintaimu-sangat-sangat-mencintaimu.”
Tubuhku membeku. Aku tak salah dengar bukan?
Darwin melepaskan rengkuhannya dari tubuhku dan ia
menghujamiku dengan tatapan teduhnya. Lantas Darwin memperbaiki piyamaku dan
memasang kancingku yang terbuka. “Setelah ini carilah pria yang baik untuk mendampingi
hidupmu. Jangan bangun kesiangan lagi, jangan lupa sarapan, dan jangan tidur
larut malam. Kau juga tidak boleh hujan-hujanan, tidak boleh kelelahan, dan
tidak boleh pergi ke klub malam, mengerti?”
Aku menggenggam erat tangannya. “Hentikan. Aku tak ingin
mendengarnya. Kau mengatakan itu seperti kau akan pergi..”
Darwin mengelus pelan puncak kepalaku. “Terima kasih atas
semuanya selama satu tahun terakhir ini.” Darwin mengecup sekilas bibirku.
Air mataku kembali tumpah. Kali ini aku membuka kembali
kancing piyamaku dan kulepaskan hingga tubuhku hanya mengenakan bra.
“Ap, apa yang akan kau lakukan?” Darwin menatapku tak
percaya.
“Lakukan apa yang harus kau lakukan. Kalau ada yang harus
meninggalkan dunia ini, biarkan itu aku. Jadi, lakukanlah...”
Darwin berusaha memasangkan kembali piyamaku namun segera
kutepis. “AKU TAK BISA KEHILANGANMU! KAU PIKIR AKU AKAN HIDUP DENGAN BAIK JIKA
KAU PERGI??? JADI LAKUKANLAH APA YANG SEHARUSNYA KAU LAKUKAN PADAKU MALAM INI.”
Air mataku benar-benar tumpah dan memukul-mukul dadanya. “Kau
jahat! Aku membencimu!!! Hiks...”
“Maaf, aku memang makhluk jahat. Kau tak pantas mencintaiku. Tapi
aku sungguh tak bisa menghisap darahmu... Biarkan aku yang menghilang dari
dunia ini,” Darwin kembali merengkuhku.
“Aku mencintaimu bodoh, hatiku sudah jatuh terlalu dalam
padamu. Lalu kau tega membiarkanku sendiri? Hiks, hisap darahku sekarang...
Kumohon.”
“Tidak, aku tak bis- aaaaakh.”
Seketika jantung Darwin berpendar dan aku bisa melihat cahaya
jingga pekat memancar hingga Darwin melepas rengkuhannya dari tubuhku.
“Darwin!!!!” seruku heboh.
“Aaaaakkh, aaaaakh,” Darwin terus berteriak kesakitan.
“Darwin ada apa denganmu???? Darwiiin!”
Udara dingin tiba-tiba menelusup masuk dan menyapa tubuhku. Seketika
angin kencang berputar mengelilingi tubuh Darwin hingga cahaya jingga pekat itu
semakin terang dan membuatku refleks menutup mataku karena cahaya itu begitu
silau. Tubuhku menggigil karena udara semakin dingin, ditambah saat ini aku
dalam keadaan hanya memakai bra.
“Aaaaakh,” sayup-sayup suara Darwin bisa kudengar namun
mataku masih terpejam karena cahaya itu belum menghilang. “Aaaaakh, aaaakkkhhh,”
suara kesakitan itu terus menghujam pendengaranku membuatku kembali menangis
karena tak tahan mendengar pria yang kucintai kesakitan seperti itu.
“Aaaaaargh,” suara itu seperti semakin menjauh diiringi
dengan angin yang mulai menghilang dan cahaya jingga itu mulai berkurang.
Aku memberanikan diri membuka kedua kelopak mataku dan kedua
mataku melebar karena tak lagi menemukan eksistensi Darwin di dekatku.
“Darwiin! Darwin kau di mana? Hiks... Darwin jangan pergi
kumohon...”
Udara dingin kembali menyapa kulitku. Tubuhku lemas dan
merosot di samping ranjang. Tidak. Ini tidak benar. Ini hanya mimpi. Darwin masih
di sini. Dia tak mungkin pergi meninggalkanku.
“Hiks, Darwin...”
Aku memeluk kedua lututku dan meraung sejadi-jadinya di malam
ini. Kuharap ini semua benar-benar hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk yang
kuharap aku bisa terbangun darinya.
Menghadapi kenyataan bahwa Darwin bukanlah manusia, ia adalah
Chupacabra. Hal tergila yang tidak
pernah aku bayangkan selama ini dalam hidupku.
“Hiks, Darwin kumohon kembalilah...”
.
.
FIN
***
Gua gilaaak... cerpen dalam rangka menghadapi Final Test hari Senin
nanti... huaaa...
Jelek yah ceritanya? Uhuhuhhh... Ini otak aku emang lagi kacau, hahaaa...
Thanks yang rela ngebaca cerita gaje ini ^^