Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Minggu, 08 Februari 2015

(Fanfiction) Happiness



Happiness
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.

Cast:
Infinite’s Nam Woohyun
One Direction’s Harry Styles

.

Oneshot, Friendship, Teen, Fantasy, Typo...

.
.
^-^
.

Jalanan sempit dan bangunan bobrok yang benar-benar tak layak huni menyambutku setiap malam usai pulang bekerja dari sebuah toko buku bekas. Tak ada alasan kenapa aku memilih bekerja di toko buku bekas dan sudah tua itu, selain demi mengisi perutku tiga kali sehari sekaligus menyambung hidupku sampai ajal menjemputku nanti.

Beginilah hidupku. Setiap hari. Di rumah bobrok dengan atap yang sudah bocor di bagian dapurnya serta pintu depan yang engselnya sudah hampir lepas ditambah lampu di depan pintu yang sudah rusak. Benar-benar luar biasa bukan suasana rumahku?

“Oh shit! Anjing sialan... Dia pikir aku tak perlu makan besok,, seenaknya anjing keparat itu mengambil jatah sarapanku esok hari!!!”

Hey tidak. Itu bukan suara teriakanku. Itu suara tetanggaku, Jongwoon hyung. Hampir setiap malam aku mendengarnya berteriak, mengumpat, ataupun menyumpahi anjing-anjing kelaparan yang sering mencuri makanannya. Aku tak bisa membantu apa-apa selain mendengarkan-bahkan kadang pura-pura tidak mendengar-teriakannya yang sudah membuat kupingku kebal.

Sejujurnya aku sudah bosan hidup. Dan kalau aku beruntung tadi seharusnya aku sudah mengakhiri hidupku di stasiun kereta bawah tanah. Tapi sialnya seorang anak SMA yang sok suci menolongku dan menceramahiku panjang lebar tentang berharganya hidup ini.

Tskk... Memangnya tahu apa dia tentang hidup? Anak SMA seperti itu hanya tahu bersekolah dan meminta uang jajan. Apa yang dia tahu memangnya tentang bertahan hidup dan kerasnya hidup? Huh.. menyebalkan.

Kubuka jendela kamarku demi mengurangi pengap di dalam kamar yang mungkin sudah lebih dari empat tahun setelah kuingat-ingat terakhir aku membersihkannya. Memang menatap langit dari jendela kamar ini tak menarik sama sekali, tapi yah setidaknya aku bisa melamun di sini. Membayangkan betapa menyenangkannya hidup sebagai orang kaya dan aku tak perlu tinggal di rumah tua ini lagi, dan tak perlu bersusah-susah menjaga toko buku dan yang pasti aku tak perlu khawatir apakah esok hari aku masih bisa makan atau tidak.

Kutenggak habis sekaleng soda yang tadi aku beli di pinggir jalan. Aku lapar. Tapi aku bosan makan ramen. Mungkin malam ini aku harus kembali berurusan dengan cacing-cacing di ususku yang tak mendapat jatah makanan sampai esok pagi.

Langit Seoul malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Bersih namun tak banyak bintang yang terlihat. Itu karena cahaya kota yang terlalu terang membuat bintang-bintang itu tak seterang saat aku masih kecil dulu.

Braak!

Sontak aku terkejut karena bunyi itu terlalu nyaring dan sialnya... Sesuatu yang cukup besar terjatuh tepat di samping jendela kamarku. Aku berusaha melihat benda yang baru saja jatuh itu dengan melongokkan kepalaku ke luar jendela.

Oh sepertinya aku sudah menghayal terlalu jauh sekarang.

Atau mataku yang sudah rusak?

Atau mungkin aku pindah ke dunia lain sekarang?

Sayap putih dengan warna yang sangat bersih. Itulah yang pertama kali kutangkap dari retina mataku. Sayap itu terlalu besar untuk ukuran seekor burung. Beberapa kali aku mengerjapkan mataku untuk meyakinkan apa yang aku lihat. Lantas sayap itu mengepak menimbulkan gemercik angin di sekitarnya dan membuat suraiku yang sedikit panjang ikut tertiup angin.

Mataku-melotot-sempurna. Oke baiklah. Aku sudah gila. Woohyun kau benar-benar sudah gila. Benda yang terjatuh itu adalah seorang pria, seorang pria yang bersayap, pria bersayap putih, sayap itu bersinar, dan, dan, dan... Aku bergeming ketika pria itu bangkit dari posisi jatuhnya yang sedikit tidak elit karena tubuhnya yang terjerembab di atas tanah. Lantas ia tersenyum padaku dan menunjukkan senyum menawannya bak seorang pangeran dan ditambah lesung pipinya yang semakin menyempurnakan wajah pangerannya.

Oh aku bahkan melupakan fakta kalau aku juga seorang pria.

“Maaf mengejutkanmu,” suara serak basahnya menyambut indra pendengaranku dan meyakinkanku bahwa aku memang tak salah lihat. Seorang malaikatkah? Apa ia datang untuk menjemputku? Ah beruntung sekali malaikat yang mencabut nyawaku begitu tampan dan wajah western-nya yang sangat kentara. “Hey.. Kau mendengarku?”

Aku kembali mengerjap. Ia benar-benar berbicara padaku?

“K, kau.. Kau ini apa?” tanyaku penasaran dan tubuhku masih mematung di depan jendela kamar.

“Aku ini seorang peri. Aku tak sengaja masuk ke dunia manusia. Tapi, kau jangan takut padaku. Aku akan segera kembali ke duniaku setelah sayapku sembuh. Eumm, apa kau tak keberatan untuk mengajakku masuk?”

Mulutku menganga dengan apa yang baru saja ia bilang. Peri? Sayapnya luka? Tersesat di dunia manusia katanya? Apa sekarang aku sedang berada di dunia buku bergambar? Terlalu kekanak-kanakan. Jangan-jangan ia hanya pria bule kurang kerjaan yang berniat mengerjaiku lantas setelah aku menolongnya ia akan mengambil keuntungan dariku, lalu ia menculikku ke negaranya lalu aku dijadikan budak lalu-

“Berhentilah berpikiran omong kosong Woohyun. Lebih baik kau siapkan perban untuk sayapku.”

Kali ini aku hampir terjungkal ke belakang saking terkejutnya. Sejak kapan pria bule yang mengaku peri ini sudah berada di dalam kamarku? Dan.. dari mana ia tahu namaku?

“Bukankah sudah kubilang aku ini peri? Aku bisa membaca pikiran manusia sepertimu itu. Sudahlah tak usah kebanyakan berpikir. Cepat tolong aku...” titahnya dan bodohnya aku malah menurut saja apa yang ia katakan.

Aku membalut ujung sayap kirinyanya yang berdarah di bagian ujung. Sejak tadi aku tak mengucapkan sepatah katapun karena apapun yang aku pikirkan peri ini selalu dengan tepat mengetahuinya.

“Kau tinggal sendirian di sini?”

“Heumm”

“Kemana orang tuamu? Bukankah manusia itu tinggal bersama orang tua mereka?”

“Mereka sudah pergi.”

“Pergi? Pergi ke mana? Apakah akan lama? Aku ingin bertemu dengan orang tuamu..”

“Mereka pergi menghadap Tuhan.”

Tak ada ucapan lagi kali ini. Aku membereskan kotak P3K lantas duduk di kursi belajar –yang dulu sering kugunakan saat masih SMA- dan menghadapnya yang sejak tadi duduk di tepi tempat tidurku.

Aku mengamati lamat-lamat wajahnya. Benar-benar berbeda dari manusia. Wajahnya putih bersih dan benar-benar seperti pangeran. Ia selalu tersenyum dan menunjukkan lesung pipinya yang membuatku iri.

“Apa peri sepertimu punya nama?” tanyaku penasaran. Sebenarnya tak begitu penasaran sih.

“Harry. Namaku Harry Styles. Aku Peri Kebahagiaan. Biasanya aku bertugas di musim semi seperti sekarang ini untuk mengobati orang-orang yang terluka hatinya. Tapi, sayapku sedang luka sekarang, jadi aku tak bisa bertugas saat ini. Awalnya aku dan teman-teman periku sedang bermain-main di dekat portal antara dunia kami dan dunia manusia, lalu aku terjatuh dan terdorong hingga akhirnya aku masuk ke dunia manusia. Tapi aku tak menyangka ternyata portal itu jatuhnya di dekat jendela kamarmu, hahaa,” terangnya panjang lebar.

Aku hanya mengangguk saja. Sejujurnya kepalaku agak pening karena masih tak percaya dengan apa yang aku lihat. Ditambah aku benar-benar lapar saat ini.

“Kau bisa istirahat di kamarku malam ini,” aku menyudahi pembicaraanku dengannya dan mengambil selimut untuk tidur. “Kau bisa tidur di ranjangku, biar aku tidur di atas lantai. Selamat malam,” aku sungguh lelah dan tak peduli dengan jawaban apa yang ia katakan. Toh bisa saja ini semua hanya mimpi dan besok pagi aku kembali menjalani kehidupan normalku. Tanpa peri bule sepertinya.

.
^-^
.

Aku melihatnya bersenandung di belakang rumahku. Gerimis sejak sepuluh menit yang lalu dan ia masih betah membasahi tubuhnya di bawah guyuran gerimis yang membuat perutku semakin keroncongan. Harry meloncat-loncat seperti anak kecil, mengingatkanku yang dulu begitu menyukai hujan saat masih kecil. Yah, itu sudah terlalu lama. Kurasa aku tak baik mengingat-ingat masa lalu yang membuat suasana pagiku menjadi melankolis.

Aku memilih mengabaikannya dan masuk ke dalam untuk menyiapkan semangkuk ramen sebelum pergi ke toko buku. Ternyata yang aku alami tadi malam bukanlah mimpi. Aku benar-benar bertemu dengan seorang peri. Tapi toh tak ada untungnya juga untukku bertemu peri sepertinya. Ia bahkan tak datang padaku membawakan sekarung uang untuk membeli makanan.

“Aku memang tidak membawakanmu sekarung uang, tapi setelah ini kau akan mendapatkan lebih dari sekarung kebahagiaan,” suara Harry menghentikan kegiatanku mengaduk ramen yang asapnya mengepul dan aromanya sudah membuat cacing-cacing di perutku berdemo masa. Lantas aku menatapnya dengan senyum miring.

“Sekarung lebih kebahagiaan? Aku bahkan tak pernah tahu apa itu kebahagiaan meskipun sesendok,” jawabku malas dan memilih memasukkan ramen ke dalam mulutku.

Entah karena memang ia ajaib atau tadi ia sudah mengeringkan tubuhnya dengan handuk, yang jelas sekarang Harry sudah duduk di sampingku dengan kondisi tubuh yang sudah kering. Ia tersenyum seperti sebelum-sebelumnya dan mengamati wajahku lamat-lamat membuatku sedikit risih.

“Kau tampan.”

Aku mengerutkan keningku. “Jadi apa peri itu suka sesama jenis?”

Harry menggeleng. Ia melanjutkan kegiatan menatapku secara intens sedangkan aku lebih memilih mengabaikannya dan menghabiskan dengan cepat ramenku.

“Kau mau makan?” tawarku.

Harry kembali menggeleng. “Aku tak bisa makan makanan manusia. Lagipula aku bisa bertahan hidup meskipun tak makan selama satu minggu,” terangnya.

Aku mengangguk pelan dan dengan sedikit buru-buru menghabiskan ramenku. Jujur saja aku terlalu lapar untuk makan dengan perlahan.

“Apa manusia selalu makan dengan cepat seperti itu?” tanya Harry yang terus menatapku.

Aku tak langsung menjawabnya. Lagipula kurasa itu pertanyaan retoris jadi aku tak perlu repot-repot menjawab pertanyaannya. Setelah meneguk segelas air putih dan membersihkan mangkuk ramen ke dapur, aku kembali ke ruang tengah di mana Harry masih duduk di sana. “Bukankah kau bilang kau ini peri kebahagiaan? Kenapa aku sama sekali tak merasakan bahagia saat kau berada di dekatku?”

Harry tersenyum lebih lebar dan berdiri menghampiriku. Sayapnya cukup mengganggu penglihatanku karena benda itu selalu mengeluarkan cahaya dan juga bunyi gemerincing seperti lonceng. “Memangnya definisi kebahagiaan yang kau tahu itu seperti apa?” Harry berdiri tepat di depanku dan melipat kedua tangannya masih dengan mempertahankan senyum sok kerennya.

“Banyak uang, banyak makanan di kulkas, atap tanpa bocor, pintu rumah yang tidak rusak engselnya, dan lampu rumah yang menyala dari depan sampai belakang.”

Harry mengangguk mendengar jawabanku. Ia masih menatapku dengan senyumannya yang kini membuatku muak.

“Lalu apa kau akan memberiku semua yang kukatakan tadi?”

Harry menggeleng membuatku menaikkan sebelah alisku. Lalu untuk apa ia repot-repot menanyakan hal itu padaku?

“Sudahlah. Kau peri tak mungkin bisa memberiku banyak uang. Hanya bekerja, bekerja, bekerja, yang bisa membuatku paling tidak bisa makan ramen setiap hari. Aku pergi dulu..” aku mengambil jaket hitamku lantas bersiap keluar rumah. “Oh iya, jangan keluar rumah kalau kau tidak ingin dicurigai orang lain. Dan aku akan kembali malam hari. Kau bisa lakukan apa saja yang kau sukai asal jangan menghancurkan rumahku, mengerti?”

Harry hanya menatapku masih dengan senyum sok keren dan sok menawannya. Apa Peri Kebahagiaan akan terus tersenyum seperti itu? Lalu bagaimana dengan Peri Duka Cita? Apa wajahnya juga selalu sedih? Tsk... Sejak kapan aku jadi peduli urusan peri seperti ini?

Kupercepat langkahku mengikis jarak menuju toko buku yang jauhnya sekitar dua blok dari rumahku. Perlu waktu sekitar lebih dari lima belas menit berjalan kaki sampai aku di tempat itu. Aku tak perlu repot-repot naik bus karena uangku lebih berharga untuk membeli semangkuk ramen ataupun sepotong roti.

Belum sampai berpuluh langkah gerimis kembali turun. Indra pendengaranku-pun dengan jelas mendengar suara gemerincing lonceng, mirip sayap Harry. Sontak aku menolehkan kepalaku ke belakang dan melihat bagian belakang rumahku yang bersinar. Sebenarnya ada apa dengan peri bernama Harry itu? Kenapa dia selalu membasahi tubuhnya dengan guyuran hujan? Memilih mengabaikannya aku dengan cepat berlari agar hujan tak semakin deras dan supaya aku bisa sampai di toko buku sebelum bosku kembali mengomel hari ini.

.
^-^
.

Seharusnya malam ini aku sudah mengakhiri hidupku. Sialnya aku kembali bertemu anak SMA yang kemaren menolongku dan menceramahiku panjang lebar -lagi. Kau tahu apa yang semakin membuatku kesal? Aku benar-benar ingin mengakhiri hidup ini dengan damai. Tapi anak SMA bernama Jung Daehyun –aku sempat membaca name tag-nya- itu berkata kalau hidup ini adalah anugerah Tuhan dan aku seharusnya bersyukur dengan kehidupan yang telah Tuhan berikan.

Bersyukur katanya?

Tahu apa dia tentang hidupku. Tak ada yang perlu kusyukuri untuk kehidupanku saat ini. Toh Tuhan tak juga memberikanku cukup uang untuk makan. Tuhan tak juga memberiku sebuah rumah layak huni bahkan untuk mandi saja aku jarang mendapatkan air. Benar-benar-menyebalkan.

Aku kembali melangkah gontai menuju rumahku tersayang. Yah, suara gong-gongan anjing selalu menyambutku tiap malam dan juga bau kotoran mereka yang menyemarakkan aroma yang selalu kuhirup tiap melewati gang sempit menuju rumahku.

“Hei Woohyun, kau baru pulang?” Jongwoon hyung berdiri di ambang pintu rumahku seraya menenteng sebuah koper besar. “Kupikir tadi kau ada di dalam karena aku lihat dari jendela lampu kamarku menyala.”

Aku melirik sebentar jendela kamarku yang terang. Sepertinya Harry belum tidur. “Iya aku baru pulang hyung. Eumm, kenapa kau membawa koper?” aku mengerutkan keningku karena sepertinya Jongwoon hyung akan pergi.

“Ohya, aku hendak berpamitan denganmu. Aku akan pulang ke Cheonan. Kurasa aku sudah tak tahan lagi tinggal di Seoul, hidupku terlalu sulit dan semakin sulit karena anjing-anjing itu selalu mencuri makananku setiap malam,” terang Jongwoon hyung yang membuat kedua alisku bertaut.

“Kenapa tiba-tiba sekali?” tanyaku penasaran.

Jongwoon hyung menepuk bahuku lantas menyeret kopernya dan bersiap beranjak meninggalkan halaman rumahku. “Aku sudah memikirkannya cukup lama. Ya sudah jaga dirimu baik-baik. Kalau ada waktu kapan-kapan aku akan kembali ke Seoul untuk mengunjungimu. Sampai jumpa Hyun,” Jongwoon hyung kembali menepuk pundakku dan kali ini aku hanya mengangguk tanpa tahu harus mengucapkan apa.

“Ah iya Hyun-“ Jongwoon hyung berbalik setelah beberapa langkah ia berjalan. “Aku sudah meminta ahjumma pemilik saluran air itu untuk tidak sering-sering mematikan air supaya kau tak kekurangan air untuk mandi. Aku kasihan melihatmu yang jarang mandi,” terang Jongwoon hyung sembari terkekeh pelan.

Aku tersenyum simpul karena Jongwoon hyung masih sempat memikirkanku sebelum ia pergi. “Terima kasih hyung. Hati-hati di jalan.”

Jongwoon hyung mengangguk pelan lantas ia melambaikan tangannya dan kembali berbalik dan menyeret kopernya menjauh dari rumahku. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Apa aku juga harus seperti Jongwoon hyung? Mungkin jika aku mencari pekerjaan yang lebih baik di luar kota bisa membuatku sedikit-

Ah sudahlah lupakan saja. Toh hidupku tak akan berubah lebih baik jika aku ke luar kota. Mungkin saja hidupku lebih menderita jika aku meninggalkan Seoul.

“Kau sudah pulang?” aku sedikit terkejut mendapati presensi Harry yang tiba-tiba di dekatku.

“Hmm,” aku tak berniat berbasa-basi dengannya dan memilih melangkahkan kakiku memasuki rumah. Kurasa lebih baik aku segera mandi karena tubuhku benar-benar lelah hari ini.

“Kau sudah makan?” Harry mengikutiku masuk ke dalam rumah dan terus membuntutiku sampai di depan pintu kamar mandi.

“Hmm.”

“Kau mau mandi ya?”

Aku mendelik tajam menatapnya membuat senyuman di wajah Harry semakin lebar. Dan itu cukup membuatku bertambah kesal.

Ops, maaf. Silakan lakukan apa yang mau kau lakukan.” Harry segera meninggalkanku dan sepertinya pria itu kembali masuk ke dalam kamarku.

“Peri menyebalkan,” gerutuku seraya tungkaiku memasuki kamar mandi.

.
^-^
.

Ya! Apa yang kau lakukan???” seruku heboh ketika mendapati Harry yang sedang membongkar seluruh isi lemariku.

“Kau selalu peringkat pertama saat SMA. Tapi kenapa kau hidup menyedihkan seperti ini?” Harry menyodorkanku buku rapor SMA-ku.

“Bukan urusanmu,” ketusku seraya merebut rapor yang tengah ia pegang dan dengan cepat meletakkan kembali ke dalam lemari. “Kenapa kau malah mengacaukan semuanya? Kau tahu aku benar-benar lelah dan tak memiliki tenaga untuk membereskan ini semua.”

“Memangnya siapa yang memintamu membereskannya?”

Aku menghentikan gerakanku untuk memasukkan benda-benda yang berserakan ketika angin berhembus di sekitar tubuhku dan semua benda itu melayang lantas dalam sekejap mata semuanya sudah kembali seperti semula. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali dan menelan saliva dengan susah payah.

Kutatap Harry yang tersenyum tanpa dosa ke arahku. Wow... Aku benar-benar seperti berada dalam dongeng.

“Kau tidak sedang berada dalam dunia fairy tale. Ini nyata Hyun.”

Ckk... Lagi-lagi peri bule ini membaca pikiranku. “Berhentilah membaca pikiranku Harry,” aku bangkit dari posisiku dan membaringkah tubuhku di atas ranjang. Punggungku rasanya benar-benar mau patah sekarang.

“Kapan tanggal ulang tahunmu Hyun?” Harry duduk di dekat jendela seraya mengamati benda-benda angkasa di atas sana –mungkin.

“Bukankah kau bisa membaca pikiranku? Untuk apa bertanya?”

“Aku tak bisa membaca pikiran untuk hal-hal yang tersembunyi. Aku hanya bisa membaca pikiranmu ketika kau sedang mengatakan sesuatu dalam hatimu,” terangnya tanpa menatapku sedikitpun.

“Entahlah. Aku bahkan tak ingat hari ini tanggal berapa. Jadi aku tak mungkin bisa ingat kapan aku lahir,” terangku seraya berusaha memejamkan kedua mataku.

“Kau bohong Hyun. Aku tahu kau sedang berusaha menyembunyikannya. Apa kau memiliki kenangan buruk tentang ulang tahunmu?”

“Hmmm”

“Orang tuamu meninggal saat ulang tahunmu yang ke-sebelas?”

“Yah. Persis seperti apa yang kau baca dalam pikiranku.” Aku bangkit dan duduk dengan menyandarkan punggungku pada dashboard ranjang. Kurasa aku tak mungkin bisa tertidur dalam hitungan detik kalau peri ini terus mengajakku mengobrol.

“Tapi aku tak bisa membaca tanggal lahirmu. Kau sepertinya sengaja melupakannya,” ucapnya seraya menghampiriku dan duduk di tepi ranjang, persisnya di sampingku.

“Yah begitulah.”

“Sekarang usiamu dua puluh kan? Berarti kejadian itu sudah sembilan tahun yang lalu. Dan kau tinggal sendiri selama sembilan tahun ini?”

“Untuk apa kau menanyakan hal-hal yang kau sudah tahu jawabannya. Ckkk...” gerutuku seraya melempar bantal ke wajahnya.

Kudengar Harry terkekeh pelan karena ia berhasil menghindari lemparan bantal dariku. Namun detik berikutnya aku mendengar helaan nafas yang cukup berat keluar dari mulutnya. “Kurasa aku sudah gagal mejadi Peri Kebahagiaan. Nyatanya aku tak pernah melihatmu tertawa,” senyum lebar yang selalu tercetak di sajah Harry kini berganti dengan senyum tipis.

“Memangnya orang yang tertawa itu sudah pasti bahagia huh?” sinisku.

“Setidaknya dengan tertawa manusia bisa sedikit melupakan kesedihan mereka. Oh... lihat-“ Harry dengan cepat beranjak dari tepi tempat tidur dan berdiri di samping jendela. “Di luar gerimis Hyun. Aku mau keluar sebentar.”

Belum sempat aku mengambil nafas, Harry sudah menghilang dari dalam kamar. Dengan sedikit malas aku turun dari ranjang dan melangkahkan tubuhku pelan mendekati jendela. Kedua bola mataku hampir mencuat saat retinaku menangkap sosok Harry seperti yang aku lihat tadi pagi di belakang rumah. Ia melompat-lompat kegirangan di bawah guyuran hujan sembari bersenandung kecil dan sayapnya mengeluarkan bunyi gemerincing yang cukup merdu. Tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik menatapnya.

Aku teringat saat masih kecil dulu selalu bermain-main jika hujan turun –termasuk gerimis kecil sekalipun. Dan selalu berakhir dengan aku yang dimarahi ibu karena aku masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah.

Harry menyadari eksistensiku di jendela. Dengan senyum menawannya ia melambaikan tangannya ke arahku dan setelahnya ia membentangkan kedua tangannya menikmati tiap tetesan air yang menerpa kulitnya. Kedua matanya kini terpejam membiarkan seluruh tubuhnya basah. Aku mengulurkan tangan kananku untuk menangkap tetasan hujan yang turun dari atap. Cukup dingin. Namun entah mengapa aku merasakan ada sesuatu yang berdesir di hatiku. Dan itu cukup membuat persaan damai yang tiba-tiba saja menjalar di dalam rongga dadaku.

.
^-^
.

Ini hari ketiga Harry berada di rumahku. Dan selama tiga hari berturut-turut selalu turun gerimis entah itu pagi, siang, sore, ataupun malam. Jam masih menunjukkan pukul lima sore ketika aku kembali mendapati Harry bersenandung di belakang rumah di bawah guyuran hujan. Jujur saja aku selalu bertanya-tanya apa yang ia lakukan di bawah tetesan hujan. Apa jangan-jangan di dunia peri tak pernah turun hujan?

Aku memilih mengabaikannya dan kembali masuk ke dalam rumah. Hari ini bosku menyuruhku pulang cepat karena ia sedang ada pesta pindah rumah dengan keluarganya. Jadi yah di sinilah aku. Duduk di dalam kamar kembali tanpa tahu harus melakukan apa.

“Kenapa kau tidak membereskan kamarmu saja? Atau membereskan dapurmu yang seperti sarang tikus itu?” lagi-lagi aku terlonjak kaget karena presensi Harry yang selalu tiba-tiba dan tentu saja dengan tubuhnya yang sudah kering.

Aku mengelus dada dan menatapnya tajam. “Berhentilah muncul tiba-tiba seperti itu!” seruku sebal dan mencoba memejamkan mataku sambil menyandarkan punggungku pada dashboard ranjang.

Kudengar Harry tertawa pelan. Lantas aku bisa merasakan eksistensi Harry di dekatku –lebih tepatnya ia duduk di sampingku- sembari memegang sebelah tanganku dan membuatku sontak membuka kedua kelopakku yang sudah terpejam rapat.

“Terima kasih sudah mau menampungku selama sayapku patah, Hyun,” kali ini nada bicara Harry terdengar serius meskipun senyumannya tak pernah pudar.

“Heum, tak masalah,” jawabku seadanya.

“Kau selalu bertanya kan kenapa aku selalu membasahi tubuhku saat gerimis?”

Aku mengangguk pelan. Terus terang saja aku ingin berteriak di depan wajahnya karena aku benar-benar sebal dengan senyuman sok menawannya itu. Seolah-olah ia mengolokku kalau wajahnya jauh lebih tampan dibandingkan dengan wajahku.

“Aku sedang tak mengolokmu Hyun. Lagipula aku memang selalu tersenyum seperti ini.”

Aku mengangkat kedua bahuku acuh. Terkadang aku merasa ia sudah melanggar privasiku karena selalu membaca apa yang sedang hati kecilku katakan.

“Setiap kali gerimis turun, setiap kali itu pula ulang tahunku. Kami para peri dilahirkan saat gerimis pertama menyentuh tanah. Itulah kenapa aku selalu bahagia saat gerimis dan membasahi tubuhku di bawah guyuran gerimis,” terangnya yang membuatku mengangguk-anggukan kepalaku.

“Lalu?”

“Kami para peri menganggap setiap ulang tahun adalah momen yang paling membahagiakan. Karena disaat itu kami bersyukur Tuhan telah memberikan kami kesempatan untuk hidup,” Harry menatapku dan kini senyumnya terlihat tulus dibandingkan sebelumnya.

Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan karena aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Ada bagian kalimatnya yang sedikit mengusik pikiranku. Bersyukur karena Tuhan telah memberikan kesempatan untuk hidup katanya?

“Tuhan memberi kita kesempatan untuk hidup tak mungkin tak ada artinya.” Kali ini Harry menepuk pelan pundakku. “Begitu juga denganmu Hyun. Aku tak tahu kenapa kau berusaha melupakan hari ulang tahunmu, tapi yang pasti setiap ulang tahun adalah momen yang patut disyukuri. Bukan berarti usia kita bertambah, justru sebaliknya. Semakin banyak ulang tahun yang sudah kita rayakan, berarti semakin berkurang pula usia kita.”

“Lalu kenapa memangnya?”

Harry kembali menggenggam tanganku. “Justru karena itulah kau tak boleh terus bersedih Hyun. Kau harus menjalani hidupmu dengan penuh kebahagiaan mengingat waktumu di dunia tidaklah lama. Kulihat kau itu pintar, lagipula kau selalu peringkat pertama saat SMA. Kurasa kau tak akan sulit menemukan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan di toko buku bekas itu.”

“Sekarang ini jika hanya bermodalkan ijazah SMA cukup sulit untuk mencari pekerjaan. Toh aku hanya bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa makan. Dan bekerja di toko buku bekas itu sudah cukup untuk aku membeli makanan setiap hari.”

Kali ini Harry tersenyum lebih lebar dengan memamerkan lesung pipinya. “Aku mengerti Hyun. Kau hanya ingin berada dalam zona amanmu dengan bekerja di sana. Cobalah kau keluar dari zona aman itu dan cari pekerjaan yang lebih baik. Aku yakin banyak orang yang mau mempekerjakanmu, dan lagi kau itu cukup tampan. Ayolah Hyun, setidaknya setelah aku pergi aku bisa melihatmu tertawa dari duniaku.”

“Memangnya kau sudah akan pergi?”

“Heumm. Aku harus segera kembali ke duniaku karena sayapku sudah pulih. Dan, mungkin ini pertemuan terakhir kita sebelum suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi.”

Memang tiga hari bukanlah waktu yang cukup lama untuk kami saling mengenal. Namun meskipun hanya tiga hari, aku merasa damai saat eksistensi Harry berada di dekatku. Dan jika ia pergi, aku benar-benar merasa kehilangan karena aku hanya sendirian di sini. Jongwoon hyung juga sudah pergi.

“Karena itulah kau harus keluar dari lingkungan yang membuatmu terkekang ini Hyun. Kenapa kau tidak mencoba ikut dengan tetanggamu yang ke luar kota itu? Atau mungkin kau memiliki kenalan di luar kota lainnya?”

Aku berpikir sejenak. Aku teringat surat yang dikirimkan Sunggyeol seminggu yang lalu. Ia mengajakku bekerja di cafe yang baru dibukanya di Mokpo.

“Nah... Kenapa tidak langsung kau terima saja tawarannya? Bukankah itu lebih baik?”

Aku kembali mendelik tajam karena peri bule ini lagi-lagi membaca apa yang sedang aku pikirkan. “Entahlah. Aku tak yakin untuk pergi ke Mokpo. Aku sudah tinggal di sini sejak aku lahir.”

Harry memelukku tiba-tiba yang membuat kedua alisku bertaut dan menatap heran padanya setelah ia melepaskan pelukannya. “Jaga dirimu baik-baik Woohyun. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan,” Harry bangkit berdiri dan kali ini bisa kulihat sayapnya lebih terang dibandingkan sebelumnya.

Aku turut berdiri karena kurasa ini sudah waktunya Harry untuk pergi. “Kau akan pergi sekarang?”

“Heumm.. Kau dengar kan sayapku bergemerincing lebih nyaring? Ini tandanya aku sudah harus segera kembali ke dunia peri,” Harry tersenyum dan kali ini aku tak dapat menahan kedua sudut bibirku yang tertarik membentuk sebuah senyuman tulus seraya menatap tubuh Harry yang semakin memudar menyisakan taburan cahaya kristal yang cantik.

Aku sendiri tak mengerti kenapa aku tak dapat menahan senyumanku ketika menatap seisi kamarku. Benar, aku sudah dua puluh tahun tinggal di sini. Merasakan kebahagiaan di sini, merasakan kehilangan di sini, dan merasakan sakitnya hidup di tempat ini. Yah, aku memang harus keluar dari zona amanku. Mencari kehidupan yang lebih baik, mungkin bersama Sunggyeol di Mokpo.

“Semoga aku bisa kembali bertemu denganmu, peri menyebalkan.”

.
^-^
.

“Wow... gerimis!” seruku ketika menatap tetesan hujan di luar jendela cafe. Dengan cepat aku berjalan meninggalkan counter dan berlari keluar cafe merasakan sejuknya air langit yang tumpah dan menyapu kulitku.

Sejak kepergian Harry empat bulan yang lalu, aku memutuskan untuk menjadikan gerimis sebagai pertanda ulang tahunku. Aku ingin selalu mengingat Harry di setiap gerimis karena ia sudah membuatku menjalani kehidupanku sekarang dengan penuh kebahagiaan. Dan aku begitu menyukai saat-saat gerimis seperti ini.

“Hey, Nam Woohyun! Berhentilah bersikap kekanak-kanakan seperti itu!” seru Sunggyeol yang sedang berdiri di ambang pintu cafe dengan berkacak pinggang.

“Bukankah gerimis ini cantik Sunggyeol? Kau tidak mau bergabung bersamaku?” ucapku sedikit berteriak.

Sunggyeol mengibaskan tangannya dan menatapku dengan wajah datar. “Aku tak mau melakukan hal kekanakkan seperti itu. Sudahlah cepat masuk dan keringkah tubuhmu itu. Banyak pelanggan yang harus dilayani,” Sunggyeol menggelengkan kepalanya dan berbalik masuk ke dalam cafe meninggalkanku yang masih betah berdiri di bawah guyuran air.

Kuulurkan tanganku menangkap tiap tetesan air. Aku jadi merindukan Harry di saat seperti ini. Apa yang peri bule itu lakukan sekarang? Apa dia juga sedang bermain di bawah gerimis seperti yang sedang aku lakukan?

Indra pendengaranku tiba-tiba menangkap bunyi gemerincing tak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Bukankah itu seperti suara sayap Harry? Dengan cepat aku menelengkan kepalaku ke segala arah berharap menemukan sosok Harry di sini.

Benar saja. Aku mendapati sosok peri bule dengan senyum sok kerennya berdiri tak jauh dari tempatku sekarang dan aku tak dapat menahan lengkungan di bibirku ketika melihatnya karena aku benar-benar dalam keadaan merindukannya saat ini.

Gerimis sudah berubah menjadi hujan, meskipun tak terlalu deras. Namun aku masih berdiri di sini seraya menatap Harry yang masih saja tersenyum di sana. Apakah ia mau merayakan ulang tahun bersama denganku?

“Apa kabar Hyun? Lama tidak bertemu.”

Dan aku hanya bisa tersenyum semakin lebar ketika presensinya berada di dekat tubuhku secara tiba-tiba. “Heumm.. Lama tidak bertemu, peri menyebalkan.”

.
.
FIN

Alhamdulillah selesai juga dunia khayalanku, yehet.... Hahahahaaa...
Gabungan antara member boyband Korea dan Inggris, wow bingit... karena mereka berdua bias aku ^^ hahaa.... tak lupa Jongwoon Oppa yang  turut menyemarakkan fanfict ini... dan seperti biasa, makasih yang sudah mau baca J

(Fanfiction) Bleedy Night



Bleedy Night
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.

Cast:
B.A.P’s Yongguk
B.A.P’s Youngjae
.
.

Ficlet, Brothership, Little Bit Thriller, Typo...

.

###

Hyung, kau sudah di rumah?” Youngjae mengambil sekaleng soda di dalam kulkas tak jauh dari Yongguk yang sibuk menghias kue tart.

“Hmm”

“Tumben sekali kau pulang lebih awal Hyung, biasanya kau pulang sekitar pukul sembilan malam. Tapi..” Youngjae menahan kalimatnya dan melirik jarum jam dinding yang masih menunjuk angka delapan. “Ini masih jam delapan Hyung. Kau sedang tak ada latihan malam ini?”

“Hmmm”

“Kau membuat kue itu untuk siapa Hyung?” kini Youngjae berdiri tak jauh dari Yongguk yang sepertinya begitu fokus dengan kuenya.

“Jirin,” jawaban singkat lagi-lagi keluar dari mulut Yongguk.

“Jirin? Jirin junior kita itu?”

“Hmm.”

“Ckk,, kau terlalu fokus dengan kue-mu Hyung sampai-sampai kau menjawab pertanyaanku begitu singkat. Ohya, ada apa memangnya dengan gadis itu? Kenapa kau membuat kue untuknya? Kau biasanya hanya akan membuat kue untuk ulang tahun ibumu kan?”

Setelah melontarkan kalimatnya, Youngjae menenggak habis isi soda tersebut lantas setelahnya ia berjalan ke samping Yongguk untuk membuang kaleng kosong itu di dalam tempat sampah di samping Yongguk berdiri. Youngjae sama sekali tak menyadari jika sejak tadi Yongguk menatap tajam padanya bahkan sampai ia kembali pada posisinya semula –berdiri tak jauh dari Yongguk- ia tetap tak menyadari tatapan yang Yongguk layangkan padanya.

“Apa gadis itu ulang tahun Hyung?” Youngjae mencoba mendekati Yongguk berniat membantu pria yang lebih tua empat tahun darinya itu. Yongguk adalah kakak angkat Youngjae. Mereka sudah tinggal bersama lebih dari lima tahun saat Youngjae pertama kali datang ke Seoul untuk sekolah di salah satu SMA di Seoul.

“Begitulah.”

“Whoaa, Hyung kau romantis sekali,” seru Youngjae heboh dan pria itu kini mencoba mencicipi sedikit krim kue yang masih ditata Yongguk.

Yongguk kembali mendelik tajam. Kali ini ia tak tanggung-tanggung membiarkan Youngjae menyadari tatapannya membuat kedua alis Youngjae berkerut.

“Kenapa Hyung?”

Yongguk tak langsung menjawab. Salah satu sudut bibirnya tertarik membuat sebuah seringaian di wajah tampannya dan kini Yongguk mengambil sebuah pisau kecil tak jauh dari mangkuk chocochip di atas meja. “Kau tahu kan kalau aku sudah menyukai Jirin sejak aku masih SMP?”

Youngjae mengangguk polos. Ia masih tak menyadari arti tatapan Yongguk. “Aku tahu Hyung. Lalu kenapa?”

Youngjae membulatkan kedua matanya. Seharusnya ia berteriak saat ini tapi tenggorokannya tercekat seperti ada yang menghalangi suaranya untuk keluar. Yongguk dengan sengaja menggoreskan  pisau kecil di tangannya ke leher Youngjae membuat darah segar mengucur deras dari lehernya yang tergores pisau. Youngjae menahan nafasnya ketika rasa perih luar biasa tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya. “H hyung.. Hyung...”

Yongguk mengganti seringaiannya dengan senyum manis seraya mengambil sebuah mangkuk kecil untuk menampung darah yang terus-terusan mengalir dari leher Youngjae. Yongjae bergeming ketika Yongguk mencondongkan kepalanya dan berbisik tepat di telinganya.

“Aku kehabisan pewarna merah untuk krim di kue-ku. Jadi aku meminta sedikit darahmu Jae,” suara Yongguk terdengar seperti sebuah ancaman untuk Youngjae.

Kedua iris Youngjae bisa dengan jelas melihat Yongguk yang mulai mencampurkan darahnya dengan krim kue membuat krim itu berwarna merah menjijikan. Youngjae masih belum bisa menggerakkan sedikitpun tubuhnya meskipun ia benar-benar merasakan kesakitan luar biasa di lehernya yang membuat seluruh tubuhnya bergetar hebat.

“Ah, rasanya warna merahnya masih kurang.” Yongguk kembali menatap Youngjae yang masih bergeming di tempatnya. Yongguk lantas perlahan kembali mendekati Youngjae membuat Youngjae sontak mundur beberapa langkah karena Yongguk yang kembali mengacungkan pisau ke hadapannya.

Hyung.. Hyung, ap pa, apa.. apa yang kau lakukan Hyung?”

Yongguk tersenyum manis. Setelahnya ia lantas menurunkan pisau di tangannya dan beralih mengusap wajah Youngjae yang mulai basah karena peluh yang mengalir deras dari pelipisnya. Namun beberapa sekon berikutnya Yongguk kembali mengacungkan pisaunya dan menggoreskan pisau itu dari kening Youngjae dan menggoreskannya sampai ke dagu Youngjae melalui pipi kanannya. Bau anyir darah dengan serta merta menyapa penciuman Youngjae. Ingin rasanya ia berteriak namun suaranya benar-benar tercekat saat menatap Yongguk yang juga menatapnya dan menyiratkan kebencian dari matanya.

“Aku tahu kau tidak bodoh Jae. Kurasa selama ini kau hanya berpura-pura tak mengerti keadaannya. Benar begitukan dongseng kesayanganku?” suara rendah Yongguk membuat bulu roma Youngjae berdiri. Kali ini Youngjae tak tahan untuk tak mengeluarkan isakannya karena wajah dan lehernya benar-benar terasa perih dan sakit luar biasa.

Hyu, Hyung..”

“Hmm? Kenapa Jae? Kenapa kau menangis? Apa sakit?” Yongguk memasang ekspresi kasihan dibuat-dibuat. Lantas Yongguk mengusap darah yang mengalir di pipi Youngjae dan ia tertawa begitu nyaring seolah yang baru saja ia lakukan hanyalah sebuah lelucon biasa.

Hyung...” Youngjae berucap lirih. Ia tak pernah tahu jika Yongguk selama ini membencinya –mungkin. Youngjae bukannya berpura-pura tak mengerti. Ia hanya menjaga perasaan Yongguk yang memang sudah menyukai Jirin sejak masih SMP. Youngjae juga tak menyangka jika Jirin-gadis yang lebih muda setahun darinya- ternyata malah menyukai Youngjae dan itu ia ketahui saat ulang tahunnya bulan lalu dimana Jirin memberinya sebuah kado ulang tahun beserta sebuah surat yang merupakan pernyataan dari perasaan Jirin terhadapnya selama ini. Dan yang membuat Youngjae semakin tak percaya adalah Yongguk yang berani melukainya hanya karena seorang wanita.

“Aku sudah mengetahuinya lebih dari setahun belakangan ini. Tapi aku mencoba diam dan membiarkan semuanya, namun nyatanya aku tak bisa. Sekarang aku tak tahan lagi Jae,” Yongguk kembali menggoreskan pisaunya pada pipi kiri Youngjae.

Hyung, ma maaf.. Maafkan aku Hyung. Sungguh aku tak menyukai Jirin sedikitpun, Hyung. Percayalah,” Youngjae mati-matian menahan isakannya sekaligus rasa perih tak tertahankan akibat goresan pisau yang Yongguk lakukan di wajahnya. “Hyung...”

Yongguk memasang ekspresi sedih sembari meletakkan pisau kecil itu kembali ke atas meja. Setelahnya Yongguk memandang nanar pada Youngjae dan kue tart di atas meja bergantian. “Aku bingung harus memilih yang mana. Kue tart-ku kehabisan pewarna merah untuk krimnya, tapi aku tak tahan melihat ekspresi kesakitan dari adikku. Oh... bagaimana ini?” Yongguk kembali menghampiri Youngjae dan kembali mengusap wajah adiknya itu yang benar-benar terlihat kesakitan ditambah warna merah darah yang hampir menutupi seluruh wajah Yongjae.

Hyuung..”

“Kau tahu Jae, kau hanya akan menjadi penghalang bagiku untuk mendekati Jirin. Selama kau masih ada, Jirin tetap akan hanya melihat dirimu. Ia tak akan melihat laki-laki lain.”

“Tapi Hyung-“

“Aku menyayangimu Jae,” bisik Yongguk seduktif tepat di telinga kiri Youngjae, dan bersamaan dengan itu cairan hangat terasa keluar dari dada kiri Youngjae membuat Yongjae melebarkan kedua matanya dan menatap Yongguk tak percaya.

Hy, Hyung.. Hyuuuung.”

Tubuh Youngjae merosot ke atas lantai. Sementara Yongguk tersenyum puas sambil menatap pada pisau kecil yang entah sejak kapan kembali ia pegang. Pisau itu berlumuran darah segar dari jantung Youngjae ia baru saja ia tusuk.

“Aaaakkhhhhh...” Yongjae berteriak kesakitan seraya memegangi dada kirinya yang terus-terusan mengeluarkan darah. “Hyung to toloong.. tolong Hyuuuung...”

“Maaf Jae. Kurasa ini lebih baik untukmu...” setelah mengucapkan kalimatnya, Yongguk membawa tungkainya perlahan meninggalkan dapur dan meninggalkan Youngjae sendirian di atas lantai yang berlumuran darah.

Tubuh Youngjae terbujur kaku di atas genangan darah yang terus menerus mengalir dari dada kirinya. Yongguk masih sempat melihatnya di ambang pintu dapur dan seringaiannya kembali muncul menyaksikan bagaimana nyawa Youngjae ia habisi dengan tangannya sendiri. “Aku tak akan membiarkan seorangpun menghalangiku untuk mendapatkan Jirin, termasuk kau.. Youngjae.”

.
.
FIN

Baiklah... setelah lama nggak nulis ternyata cukup berat untuk mengembalikan mood dan juga inspirasi buat nulis. Jangan timpukin aku ya Bang Yongguuuuuk yang guanteng tak tertahankan, hahaa... dan juga maafkan aku Yongjae yang unyu-unyu nasibnya harus berakhir tragis, xixixi...
Lagi mencoba untuk bikin thriller tapi tak bisa. Tapi kayaknya cerita satu ini emang bener-bener hancur deh... Eum, makasih yang sudah berkenan membaca ficlet ini ^^