Happiness
.
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
Cast:
Infinite’s
Nam Woohyun
One
Direction’s Harry Styles
.
Oneshot, Friendship, Teen, Fantasy, Typo...
.
.
^-^
.
Jalanan sempit dan bangunan bobrok yang benar-benar tak layak
huni menyambutku setiap malam usai pulang bekerja dari sebuah toko buku bekas.
Tak ada alasan kenapa aku memilih bekerja di toko buku bekas dan sudah tua itu,
selain demi mengisi perutku tiga kali sehari sekaligus menyambung hidupku
sampai ajal menjemputku nanti.
Beginilah hidupku. Setiap hari. Di rumah bobrok dengan atap
yang sudah bocor di bagian dapurnya serta pintu depan yang engselnya sudah
hampir lepas ditambah lampu di depan pintu yang sudah rusak. Benar-benar luar
biasa bukan suasana rumahku?
“Oh shit! Anjing
sialan... Dia pikir aku tak perlu makan besok,, seenaknya anjing keparat itu
mengambil jatah sarapanku esok hari!!!”
Hey tidak. Itu bukan suara teriakanku. Itu suara tetanggaku,
Jongwoon hyung. Hampir setiap malam
aku mendengarnya berteriak, mengumpat, ataupun menyumpahi anjing-anjing
kelaparan yang sering mencuri makanannya. Aku tak bisa membantu apa-apa selain
mendengarkan-bahkan kadang pura-pura tidak mendengar-teriakannya yang sudah
membuat kupingku kebal.
Sejujurnya aku sudah bosan hidup. Dan kalau aku beruntung
tadi seharusnya aku sudah mengakhiri hidupku di stasiun kereta bawah tanah.
Tapi sialnya seorang anak SMA yang sok suci menolongku dan menceramahiku
panjang lebar tentang berharganya hidup ini.
Tskk... Memangnya
tahu apa dia tentang hidup? Anak SMA seperti itu hanya tahu bersekolah dan
meminta uang jajan. Apa yang dia tahu memangnya tentang bertahan hidup dan
kerasnya hidup? Huh.. menyebalkan.
Kubuka jendela kamarku demi mengurangi pengap di dalam kamar
yang mungkin sudah lebih dari empat tahun setelah kuingat-ingat terakhir aku
membersihkannya. Memang menatap langit dari jendela kamar ini tak menarik sama
sekali, tapi yah setidaknya aku bisa melamun di sini. Membayangkan betapa
menyenangkannya hidup sebagai orang kaya dan aku tak perlu tinggal di rumah tua
ini lagi, dan tak perlu bersusah-susah menjaga toko buku dan yang pasti aku tak
perlu khawatir apakah esok hari aku masih bisa makan atau tidak.
Kutenggak habis sekaleng soda yang tadi aku beli di pinggir
jalan. Aku lapar. Tapi aku bosan makan ramen. Mungkin malam ini aku harus
kembali berurusan dengan cacing-cacing di ususku yang tak mendapat jatah
makanan sampai esok pagi.
Langit Seoul malam ini masih sama seperti malam-malam
sebelumnya. Bersih namun tak banyak bintang yang terlihat. Itu karena cahaya
kota yang terlalu terang membuat bintang-bintang itu tak seterang saat aku
masih kecil dulu.
Braak!
Sontak aku terkejut karena bunyi itu terlalu nyaring dan
sialnya... Sesuatu yang cukup besar terjatuh tepat di samping jendela kamarku.
Aku berusaha melihat benda yang baru saja jatuh itu dengan melongokkan kepalaku
ke luar jendela.
Oh sepertinya aku sudah menghayal terlalu jauh sekarang.
Atau mataku yang sudah rusak?
Atau mungkin aku pindah ke dunia lain sekarang?
Sayap putih dengan warna yang sangat bersih. Itulah yang
pertama kali kutangkap dari retina mataku. Sayap itu terlalu besar untuk ukuran
seekor burung. Beberapa kali aku mengerjapkan mataku untuk meyakinkan apa yang
aku lihat. Lantas sayap itu mengepak menimbulkan gemercik angin di sekitarnya
dan membuat suraiku yang sedikit panjang ikut tertiup angin.
Mataku-melotot-sempurna. Oke baiklah. Aku sudah gila. Woohyun
kau benar-benar sudah gila. Benda yang terjatuh itu adalah seorang pria,
seorang pria yang bersayap, pria bersayap putih, sayap itu bersinar, dan, dan,
dan... Aku bergeming ketika pria itu bangkit dari posisi jatuhnya yang sedikit
tidak elit karena tubuhnya yang terjerembab di atas tanah. Lantas ia tersenyum
padaku dan menunjukkan senyum menawannya bak seorang pangeran dan ditambah
lesung pipinya yang semakin menyempurnakan wajah pangerannya.
Oh aku bahkan melupakan fakta kalau aku juga seorang pria.
“Maaf mengejutkanmu,” suara serak basahnya menyambut indra
pendengaranku dan meyakinkanku bahwa aku memang tak salah lihat. Seorang
malaikatkah? Apa ia datang untuk menjemputku? Ah beruntung sekali malaikat yang
mencabut nyawaku begitu tampan dan wajah western-nya
yang sangat kentara. “Hey.. Kau mendengarku?”
Aku kembali mengerjap. Ia benar-benar berbicara padaku?
“K, kau.. Kau ini apa?” tanyaku penasaran dan tubuhku masih
mematung di depan jendela kamar.
“Aku ini seorang peri. Aku tak sengaja masuk ke dunia
manusia. Tapi, kau jangan takut padaku. Aku akan segera kembali ke duniaku
setelah sayapku sembuh. Eumm, apa kau tak keberatan untuk mengajakku masuk?”
Mulutku menganga dengan apa yang baru saja ia bilang. Peri?
Sayapnya luka? Tersesat di dunia manusia katanya? Apa sekarang aku sedang
berada di dunia buku bergambar? Terlalu kekanak-kanakan. Jangan-jangan ia hanya
pria bule kurang kerjaan yang berniat mengerjaiku lantas setelah aku
menolongnya ia akan mengambil keuntungan dariku, lalu ia menculikku ke
negaranya lalu aku dijadikan budak lalu-
“Berhentilah berpikiran omong kosong Woohyun. Lebih baik kau
siapkan perban untuk sayapku.”
Kali ini aku hampir terjungkal ke belakang saking
terkejutnya. Sejak kapan pria bule yang mengaku peri ini sudah berada di dalam
kamarku? Dan.. dari mana ia tahu namaku?
“Bukankah sudah kubilang aku ini peri? Aku bisa membaca
pikiran manusia sepertimu itu. Sudahlah tak usah kebanyakan berpikir. Cepat
tolong aku...” titahnya dan bodohnya aku malah menurut saja apa yang ia
katakan.
Aku membalut ujung sayap kirinyanya yang berdarah di bagian
ujung. Sejak tadi aku tak mengucapkan sepatah katapun karena apapun yang aku
pikirkan peri ini selalu dengan tepat mengetahuinya.
“Kau tinggal sendirian di sini?”
“Heumm”
“Kemana orang tuamu? Bukankah manusia itu tinggal bersama
orang tua mereka?”
“Mereka sudah pergi.”
“Pergi? Pergi ke mana? Apakah akan lama? Aku ingin bertemu
dengan orang tuamu..”
“Mereka pergi menghadap Tuhan.”
Tak ada ucapan lagi kali ini. Aku membereskan kotak P3K
lantas duduk di kursi belajar –yang dulu sering kugunakan saat masih SMA- dan
menghadapnya yang sejak tadi duduk di tepi tempat tidurku.
Aku mengamati lamat-lamat wajahnya. Benar-benar berbeda dari
manusia. Wajahnya putih bersih dan benar-benar seperti pangeran. Ia selalu
tersenyum dan menunjukkan lesung pipinya yang membuatku iri.
“Apa peri sepertimu punya nama?” tanyaku penasaran.
Sebenarnya tak begitu penasaran sih.
“Harry. Namaku Harry Styles. Aku Peri Kebahagiaan. Biasanya
aku bertugas di musim semi seperti sekarang ini untuk mengobati orang-orang
yang terluka hatinya. Tapi, sayapku sedang luka sekarang, jadi aku tak bisa
bertugas saat ini. Awalnya aku dan teman-teman periku sedang bermain-main di
dekat portal antara dunia kami dan dunia manusia, lalu aku terjatuh dan
terdorong hingga akhirnya aku masuk ke dunia manusia. Tapi aku tak menyangka
ternyata portal itu jatuhnya di dekat jendela kamarmu, hahaa,” terangnya
panjang lebar.
Aku hanya mengangguk saja. Sejujurnya kepalaku agak pening
karena masih tak percaya dengan apa yang aku lihat. Ditambah aku benar-benar
lapar saat ini.
“Kau bisa istirahat di kamarku malam ini,” aku menyudahi
pembicaraanku dengannya dan mengambil selimut untuk tidur. “Kau bisa tidur di
ranjangku, biar aku tidur di atas lantai. Selamat malam,” aku sungguh lelah dan
tak peduli dengan jawaban apa yang ia katakan. Toh bisa saja ini semua hanya mimpi
dan besok pagi aku kembali menjalani kehidupan normalku. Tanpa peri bule
sepertinya.
.
^-^
.
Aku melihatnya bersenandung di belakang rumahku. Gerimis
sejak sepuluh menit yang lalu dan ia masih betah membasahi tubuhnya di bawah
guyuran gerimis yang membuat perutku semakin keroncongan. Harry meloncat-loncat
seperti anak kecil, mengingatkanku yang dulu begitu menyukai hujan saat masih
kecil. Yah, itu sudah terlalu lama. Kurasa aku tak baik mengingat-ingat masa
lalu yang membuat suasana pagiku menjadi melankolis.
Aku memilih mengabaikannya dan masuk ke dalam untuk
menyiapkan semangkuk ramen sebelum pergi ke toko buku. Ternyata yang aku alami
tadi malam bukanlah mimpi. Aku benar-benar bertemu dengan seorang peri. Tapi
toh tak ada untungnya juga untukku bertemu peri sepertinya. Ia bahkan tak
datang padaku membawakan sekarung uang untuk membeli makanan.
“Aku memang tidak membawakanmu sekarung uang, tapi setelah
ini kau akan mendapatkan lebih dari sekarung kebahagiaan,” suara Harry
menghentikan kegiatanku mengaduk ramen yang asapnya mengepul dan aromanya sudah
membuat cacing-cacing di perutku berdemo masa. Lantas aku menatapnya dengan
senyum miring.
“Sekarung lebih kebahagiaan? Aku bahkan tak pernah tahu apa
itu kebahagiaan meskipun sesendok,” jawabku malas dan memilih memasukkan ramen
ke dalam mulutku.
Entah karena memang ia ajaib atau tadi ia sudah mengeringkan
tubuhnya dengan handuk, yang jelas sekarang Harry sudah duduk di sampingku
dengan kondisi tubuh yang sudah kering. Ia tersenyum seperti sebelum-sebelumnya
dan mengamati wajahku lamat-lamat membuatku sedikit risih.
“Kau tampan.”
Aku mengerutkan keningku. “Jadi apa peri itu suka sesama
jenis?”
Harry menggeleng. Ia melanjutkan kegiatan menatapku secara
intens sedangkan aku lebih memilih mengabaikannya dan menghabiskan dengan cepat
ramenku.
“Kau mau makan?” tawarku.
Harry kembali menggeleng. “Aku tak bisa makan makanan
manusia. Lagipula aku bisa bertahan hidup meskipun tak makan selama satu
minggu,” terangnya.
Aku mengangguk pelan dan dengan sedikit buru-buru
menghabiskan ramenku. Jujur saja aku terlalu lapar untuk makan dengan perlahan.
“Apa manusia selalu makan dengan cepat seperti itu?” tanya
Harry yang terus menatapku.
Aku tak langsung menjawabnya. Lagipula kurasa itu pertanyaan
retoris jadi aku tak perlu repot-repot menjawab pertanyaannya. Setelah meneguk
segelas air putih dan membersihkan mangkuk ramen ke dapur, aku kembali ke ruang
tengah di mana Harry masih duduk di sana. “Bukankah kau bilang kau ini peri
kebahagiaan? Kenapa aku sama sekali tak merasakan bahagia saat kau berada di
dekatku?”
Harry tersenyum lebih lebar dan berdiri menghampiriku.
Sayapnya cukup mengganggu penglihatanku karena benda itu selalu mengeluarkan
cahaya dan juga bunyi gemerincing seperti lonceng. “Memangnya definisi kebahagiaan
yang kau tahu itu seperti apa?” Harry berdiri tepat di depanku dan melipat
kedua tangannya masih dengan mempertahankan senyum sok kerennya.
“Banyak uang, banyak makanan di kulkas, atap tanpa bocor,
pintu rumah yang tidak rusak engselnya, dan lampu rumah yang menyala dari depan
sampai belakang.”
Harry mengangguk mendengar jawabanku. Ia masih menatapku
dengan senyumannya yang kini membuatku muak.
“Lalu apa kau akan memberiku semua yang kukatakan tadi?”
Harry menggeleng membuatku menaikkan sebelah alisku. Lalu
untuk apa ia repot-repot menanyakan hal itu padaku?
“Sudahlah. Kau peri tak mungkin bisa memberiku banyak uang.
Hanya bekerja, bekerja, bekerja, yang bisa membuatku paling tidak bisa makan
ramen setiap hari. Aku pergi dulu..” aku mengambil jaket hitamku lantas bersiap
keluar rumah. “Oh iya, jangan keluar rumah kalau kau tidak ingin dicurigai
orang lain. Dan aku akan kembali malam hari. Kau bisa lakukan apa saja yang kau
sukai asal jangan menghancurkan rumahku, mengerti?”
Harry hanya menatapku masih dengan senyum sok keren dan sok
menawannya. Apa Peri Kebahagiaan akan terus tersenyum seperti itu? Lalu
bagaimana dengan Peri Duka Cita? Apa wajahnya juga selalu sedih? Tsk... Sejak
kapan aku jadi peduli urusan peri seperti ini?
Kupercepat langkahku mengikis jarak menuju toko buku yang
jauhnya sekitar dua blok dari rumahku. Perlu waktu sekitar lebih dari lima
belas menit berjalan kaki sampai aku di tempat itu. Aku tak perlu repot-repot
naik bus karena uangku lebih berharga untuk membeli semangkuk ramen ataupun
sepotong roti.
Belum sampai berpuluh langkah gerimis kembali turun. Indra
pendengaranku-pun dengan jelas mendengar suara gemerincing lonceng, mirip sayap
Harry. Sontak aku menolehkan kepalaku ke belakang dan melihat bagian belakang
rumahku yang bersinar. Sebenarnya ada apa dengan peri bernama Harry itu? Kenapa
dia selalu membasahi tubuhnya dengan guyuran hujan? Memilih mengabaikannya aku
dengan cepat berlari agar hujan tak semakin deras dan supaya aku bisa sampai di
toko buku sebelum bosku kembali mengomel hari ini.
.
^-^
.
Seharusnya malam ini aku sudah mengakhiri hidupku. Sialnya
aku kembali bertemu anak SMA yang kemaren menolongku dan menceramahiku panjang
lebar -lagi. Kau tahu apa yang semakin membuatku kesal? Aku benar-benar ingin
mengakhiri hidup ini dengan damai. Tapi anak SMA bernama Jung Daehyun –aku
sempat membaca name tag-nya- itu
berkata kalau hidup ini adalah anugerah Tuhan dan aku seharusnya bersyukur
dengan kehidupan yang telah Tuhan berikan.
Bersyukur katanya?
Tahu apa dia tentang hidupku. Tak ada yang perlu kusyukuri
untuk kehidupanku saat ini. Toh Tuhan tak juga memberikanku cukup uang untuk
makan. Tuhan tak juga memberiku sebuah rumah layak huni bahkan untuk mandi saja
aku jarang mendapatkan air. Benar-benar-menyebalkan.
Aku kembali melangkah gontai menuju rumahku tersayang. Yah,
suara gong-gongan anjing selalu menyambutku tiap malam dan juga bau kotoran
mereka yang menyemarakkan aroma yang selalu kuhirup tiap melewati gang sempit
menuju rumahku.
“Hei Woohyun, kau baru pulang?” Jongwoon hyung berdiri di ambang pintu rumahku seraya menenteng sebuah koper
besar. “Kupikir tadi kau ada di dalam karena aku lihat dari jendela lampu
kamarku menyala.”
Aku melirik sebentar jendela kamarku yang terang. Sepertinya
Harry belum tidur. “Iya aku baru pulang hyung.
Eumm, kenapa kau membawa koper?” aku mengerutkan keningku karena sepertinya
Jongwoon hyung akan pergi.
“Ohya, aku hendak berpamitan denganmu. Aku akan pulang ke
Cheonan. Kurasa aku sudah tak tahan lagi tinggal di Seoul, hidupku terlalu
sulit dan semakin sulit karena anjing-anjing itu selalu mencuri makananku
setiap malam,” terang Jongwoon hyung
yang membuat kedua alisku bertaut.
“Kenapa tiba-tiba sekali?” tanyaku penasaran.
Jongwoon hyung
menepuk bahuku lantas menyeret kopernya dan bersiap beranjak meninggalkan
halaman rumahku. “Aku sudah memikirkannya cukup lama. Ya sudah jaga dirimu
baik-baik. Kalau ada waktu kapan-kapan aku akan kembali ke Seoul untuk
mengunjungimu. Sampai jumpa Hyun,” Jongwoon hyung
kembali menepuk pundakku dan kali ini aku hanya mengangguk tanpa tahu harus
mengucapkan apa.
“Ah iya Hyun-“ Jongwoon hyung
berbalik setelah beberapa langkah ia berjalan. “Aku sudah meminta ahjumma pemilik saluran air itu untuk
tidak sering-sering mematikan air supaya kau tak kekurangan air untuk mandi.
Aku kasihan melihatmu yang jarang mandi,” terang Jongwoon hyung sembari terkekeh pelan.
Aku tersenyum simpul karena Jongwoon hyung masih sempat memikirkanku sebelum ia pergi. “Terima kasih hyung. Hati-hati di jalan.”
Jongwoon hyung mengangguk pelan lantas ia melambaikan tangannya dan kembali
berbalik dan menyeret kopernya menjauh dari rumahku. Aku menatap punggungnya
yang semakin menjauh. Apa aku juga harus seperti Jongwoon hyung? Mungkin jika aku mencari pekerjaan yang lebih baik di luar
kota bisa membuatku sedikit-
Ah sudahlah lupakan saja. Toh
hidupku tak akan berubah lebih baik jika aku ke luar kota. Mungkin saja hidupku
lebih menderita jika aku meninggalkan Seoul.
“Kau sudah pulang?” aku sedikit
terkejut mendapati presensi Harry yang tiba-tiba di dekatku.
“Hmm,” aku tak berniat berbasa-basi
dengannya dan memilih melangkahkan kakiku memasuki rumah. Kurasa lebih baik aku
segera mandi karena tubuhku benar-benar lelah hari ini.
“Kau sudah makan?” Harry
mengikutiku masuk ke dalam rumah dan terus membuntutiku sampai di depan pintu
kamar mandi.
“Hmm.”
“Kau mau mandi ya?”
Aku mendelik tajam menatapnya
membuat senyuman di wajah Harry semakin lebar. Dan itu cukup membuatku
bertambah kesal.
“Ops, maaf. Silakan lakukan apa yang mau kau lakukan.” Harry segera
meninggalkanku dan sepertinya pria itu kembali masuk ke dalam kamarku.
“Peri menyebalkan,” gerutuku seraya
tungkaiku memasuki kamar mandi.
.
^-^
.
“Ya! Apa yang kau
lakukan???” seruku heboh ketika mendapati Harry yang sedang membongkar seluruh
isi lemariku.
“Kau selalu peringkat pertama saat SMA. Tapi kenapa kau hidup
menyedihkan seperti ini?” Harry menyodorkanku buku rapor SMA-ku.
“Bukan urusanmu,” ketusku seraya merebut rapor yang tengah ia
pegang dan dengan cepat meletakkan kembali ke dalam lemari. “Kenapa kau malah
mengacaukan semuanya? Kau tahu aku benar-benar lelah dan tak memiliki tenaga
untuk membereskan ini semua.”
“Memangnya siapa yang memintamu membereskannya?”
Aku menghentikan gerakanku untuk memasukkan benda-benda yang
berserakan ketika angin berhembus di sekitar tubuhku dan semua benda itu
melayang lantas dalam sekejap mata semuanya sudah kembali seperti semula. Aku
mengerjapkan mataku beberapa kali dan menelan saliva dengan susah payah.
Kutatap Harry yang tersenyum tanpa dosa ke arahku. Wow... Aku
benar-benar seperti berada dalam dongeng.
“Kau tidak sedang berada dalam dunia fairy tale. Ini nyata Hyun.”
Ckk... Lagi-lagi peri bule ini membaca pikiranku.
“Berhentilah membaca pikiranku Harry,” aku bangkit dari posisiku dan
membaringkah tubuhku di atas ranjang. Punggungku rasanya benar-benar mau patah
sekarang.
“Kapan tanggal ulang tahunmu Hyun?” Harry duduk di dekat
jendela seraya mengamati benda-benda angkasa di atas sana –mungkin.
“Bukankah kau bisa membaca pikiranku? Untuk apa bertanya?”
“Aku tak bisa membaca pikiran untuk hal-hal yang tersembunyi.
Aku hanya bisa membaca pikiranmu ketika kau sedang mengatakan sesuatu dalam
hatimu,” terangnya tanpa menatapku sedikitpun.
“Entahlah. Aku bahkan tak ingat hari ini tanggal berapa. Jadi
aku tak mungkin bisa ingat kapan aku lahir,” terangku seraya berusaha
memejamkan kedua mataku.
“Kau bohong Hyun. Aku tahu kau sedang berusaha
menyembunyikannya. Apa kau memiliki kenangan buruk tentang ulang tahunmu?”
“Hmmm”
“Orang tuamu meninggal saat ulang tahunmu yang ke-sebelas?”
“Yah. Persis seperti apa yang kau baca dalam pikiranku.” Aku
bangkit dan duduk dengan menyandarkan punggungku pada dashboard ranjang. Kurasa aku tak mungkin bisa tertidur dalam
hitungan detik kalau peri ini terus mengajakku mengobrol.
“Tapi aku tak bisa membaca tanggal lahirmu. Kau sepertinya
sengaja melupakannya,” ucapnya seraya menghampiriku dan duduk di tepi ranjang,
persisnya di sampingku.
“Yah begitulah.”
“Sekarang usiamu dua puluh kan? Berarti kejadian itu sudah
sembilan tahun yang lalu. Dan kau tinggal sendiri selama sembilan tahun ini?”
“Untuk apa kau menanyakan hal-hal yang kau sudah tahu
jawabannya. Ckkk...” gerutuku seraya melempar bantal ke wajahnya.
Kudengar Harry terkekeh pelan karena ia berhasil menghindari
lemparan bantal dariku. Namun detik berikutnya aku mendengar helaan nafas yang
cukup berat keluar dari mulutnya. “Kurasa aku sudah gagal mejadi Peri
Kebahagiaan. Nyatanya aku tak pernah melihatmu tertawa,” senyum lebar yang
selalu tercetak di sajah Harry kini berganti dengan senyum tipis.
“Memangnya orang yang tertawa itu sudah pasti bahagia huh?”
sinisku.
“Setidaknya dengan tertawa manusia bisa sedikit melupakan
kesedihan mereka. Oh... lihat-“ Harry dengan cepat beranjak dari tepi tempat
tidur dan berdiri di samping jendela. “Di luar gerimis Hyun. Aku mau keluar
sebentar.”
Belum sempat aku mengambil nafas, Harry sudah menghilang dari
dalam kamar. Dengan sedikit malas aku turun dari ranjang dan melangkahkan
tubuhku pelan mendekati jendela. Kedua bola mataku hampir mencuat saat retinaku
menangkap sosok Harry seperti yang aku lihat tadi pagi di belakang rumah. Ia
melompat-lompat kegirangan di bawah guyuran hujan sembari bersenandung kecil
dan sayapnya mengeluarkan bunyi gemerincing yang cukup merdu. Tanpa sadar kedua
sudut bibirku tertarik menatapnya.
Aku teringat saat masih kecil dulu selalu bermain-main jika
hujan turun –termasuk gerimis kecil sekalipun. Dan selalu berakhir dengan aku
yang dimarahi ibu karena aku masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah.
Harry menyadari eksistensiku di jendela. Dengan senyum
menawannya ia melambaikan tangannya ke arahku dan setelahnya ia membentangkan
kedua tangannya menikmati tiap tetesan air yang menerpa kulitnya. Kedua matanya
kini terpejam membiarkan seluruh tubuhnya basah. Aku mengulurkan tangan kananku
untuk menangkap tetasan hujan yang turun dari atap. Cukup dingin. Namun entah
mengapa aku merasakan ada sesuatu yang berdesir di hatiku. Dan itu cukup
membuat persaan damai yang tiba-tiba saja menjalar di dalam rongga dadaku.
.
^-^
.
Ini hari ketiga Harry berada di rumahku. Dan selama tiga hari
berturut-turut selalu turun gerimis entah itu pagi, siang, sore, ataupun malam.
Jam masih menunjukkan pukul lima sore ketika aku kembali mendapati Harry bersenandung
di belakang rumah di bawah guyuran hujan. Jujur saja aku selalu bertanya-tanya
apa yang ia lakukan di bawah tetesan hujan. Apa jangan-jangan di dunia peri tak
pernah turun hujan?
Aku memilih mengabaikannya dan kembali masuk ke dalam rumah.
Hari ini bosku menyuruhku pulang cepat karena ia sedang ada pesta pindah rumah
dengan keluarganya. Jadi yah di sinilah aku. Duduk di dalam kamar kembali tanpa
tahu harus melakukan apa.
“Kenapa kau tidak membereskan kamarmu saja? Atau membereskan
dapurmu yang seperti sarang tikus itu?” lagi-lagi aku terlonjak kaget karena
presensi Harry yang selalu tiba-tiba dan tentu saja dengan tubuhnya yang sudah
kering.
Aku mengelus dada dan menatapnya tajam. “Berhentilah muncul
tiba-tiba seperti itu!” seruku sebal dan mencoba memejamkan mataku sambil
menyandarkan punggungku pada dashboard
ranjang.
Kudengar Harry tertawa pelan. Lantas aku bisa merasakan
eksistensi Harry di dekatku –lebih tepatnya ia duduk di sampingku- sembari
memegang sebelah tanganku dan membuatku sontak membuka kedua kelopakku yang
sudah terpejam rapat.
“Terima kasih sudah mau menampungku selama sayapku patah,
Hyun,” kali ini nada bicara Harry terdengar serius meskipun senyumannya tak
pernah pudar.
“Heum, tak masalah,” jawabku seadanya.
“Kau selalu bertanya kan kenapa aku selalu membasahi tubuhku
saat gerimis?”
Aku mengangguk pelan. Terus terang saja aku ingin berteriak
di depan wajahnya karena aku benar-benar sebal dengan senyuman sok menawannya itu. Seolah-olah ia
mengolokku kalau wajahnya jauh lebih tampan dibandingkan dengan wajahku.
“Aku sedang tak mengolokmu Hyun. Lagipula aku memang selalu
tersenyum seperti ini.”
Aku mengangkat kedua bahuku acuh. Terkadang aku merasa ia
sudah melanggar privasiku karena selalu membaca apa yang sedang hati kecilku
katakan.
“Setiap kali gerimis turun, setiap kali itu pula ulang
tahunku. Kami para peri dilahirkan saat gerimis pertama menyentuh tanah. Itulah
kenapa aku selalu bahagia saat gerimis dan membasahi tubuhku di bawah guyuran
gerimis,” terangnya yang membuatku mengangguk-anggukan kepalaku.
“Lalu?”
“Kami para peri menganggap setiap ulang tahun adalah momen
yang paling membahagiakan. Karena disaat itu kami bersyukur Tuhan telah
memberikan kami kesempatan untuk hidup,” Harry menatapku dan kini senyumnya
terlihat tulus dibandingkan sebelumnya.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan karena aku benar-benar
tak tahu harus mengatakan apa. Ada bagian kalimatnya yang sedikit mengusik
pikiranku. Bersyukur karena Tuhan telah memberikan kesempatan untuk hidup katanya?
“Tuhan memberi kita kesempatan untuk hidup tak mungkin tak
ada artinya.” Kali ini Harry menepuk pelan pundakku. “Begitu juga denganmu
Hyun. Aku tak tahu kenapa kau berusaha melupakan hari ulang tahunmu, tapi yang
pasti setiap ulang tahun adalah momen yang patut disyukuri. Bukan berarti usia
kita bertambah, justru sebaliknya. Semakin banyak ulang tahun yang sudah kita
rayakan, berarti semakin berkurang pula usia kita.”
“Lalu kenapa memangnya?”
Harry kembali menggenggam tanganku. “Justru karena itulah kau
tak boleh terus bersedih Hyun. Kau harus menjalani hidupmu dengan penuh
kebahagiaan mengingat waktumu di dunia tidaklah lama. Kulihat kau itu pintar,
lagipula kau selalu peringkat pertama saat SMA. Kurasa kau tak akan sulit
menemukan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan di toko buku bekas itu.”
“Sekarang ini jika hanya bermodalkan ijazah SMA cukup sulit
untuk mencari pekerjaan. Toh aku hanya bekerja untuk mendapatkan uang agar bisa
makan. Dan bekerja di toko buku bekas itu sudah cukup untuk aku membeli makanan
setiap hari.”
Kali ini Harry tersenyum lebih lebar dengan memamerkan lesung
pipinya. “Aku mengerti Hyun. Kau hanya ingin berada dalam zona amanmu dengan
bekerja di sana. Cobalah kau keluar dari zona aman itu dan cari pekerjaan yang
lebih baik. Aku yakin banyak orang yang mau mempekerjakanmu, dan lagi kau itu
cukup tampan. Ayolah Hyun, setidaknya setelah aku pergi aku bisa melihatmu
tertawa dari duniaku.”
“Memangnya kau sudah akan pergi?”
“Heumm. Aku harus segera kembali ke duniaku karena sayapku
sudah pulih. Dan, mungkin ini pertemuan terakhir kita sebelum suatu hari nanti
kita bisa bertemu lagi.”
Memang tiga hari bukanlah waktu yang cukup lama untuk kami
saling mengenal. Namun meskipun hanya tiga hari, aku merasa damai saat
eksistensi Harry berada di dekatku. Dan jika ia pergi, aku benar-benar merasa
kehilangan karena aku hanya sendirian di sini. Jongwoon hyung juga sudah pergi.
“Karena itulah kau harus keluar dari lingkungan yang
membuatmu terkekang ini Hyun. Kenapa kau tidak mencoba ikut dengan tetanggamu
yang ke luar kota itu? Atau mungkin kau memiliki kenalan di luar kota lainnya?”
Aku berpikir sejenak. Aku teringat surat yang dikirimkan
Sunggyeol seminggu yang lalu. Ia mengajakku bekerja di cafe yang baru dibukanya di Mokpo.
“Nah... Kenapa tidak langsung kau terima saja tawarannya?
Bukankah itu lebih baik?”
Aku kembali mendelik tajam karena peri bule ini lagi-lagi
membaca apa yang sedang aku pikirkan. “Entahlah. Aku tak yakin untuk pergi ke
Mokpo. Aku sudah tinggal di sini sejak aku lahir.”
Harry memelukku tiba-tiba yang membuat kedua alisku bertaut
dan menatap heran padanya setelah ia melepaskan pelukannya. “Jaga dirimu baik-baik
Woohyun. Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan,” Harry bangkit
berdiri dan kali ini bisa kulihat sayapnya lebih terang dibandingkan
sebelumnya.
Aku turut berdiri karena kurasa ini sudah waktunya Harry
untuk pergi. “Kau akan pergi sekarang?”
“Heumm.. Kau dengar kan sayapku bergemerincing lebih nyaring?
Ini tandanya aku sudah harus segera kembali ke dunia peri,” Harry tersenyum dan
kali ini aku tak dapat menahan kedua sudut bibirku yang tertarik membentuk
sebuah senyuman tulus seraya menatap tubuh Harry yang semakin memudar
menyisakan taburan cahaya kristal yang cantik.
Aku sendiri tak mengerti kenapa aku tak dapat menahan
senyumanku ketika menatap seisi kamarku. Benar, aku sudah dua puluh tahun
tinggal di sini. Merasakan kebahagiaan di sini, merasakan kehilangan di sini,
dan merasakan sakitnya hidup di tempat ini. Yah, aku memang harus keluar dari
zona amanku. Mencari kehidupan yang lebih baik, mungkin bersama Sunggyeol di
Mokpo.
“Semoga aku bisa kembali bertemu denganmu, peri menyebalkan.”
.
^-^
.
“Wow... gerimis!” seruku ketika menatap tetesan hujan di luar
jendela cafe. Dengan cepat aku berjalan meninggalkan counter dan berlari keluar cafe
merasakan sejuknya air langit yang tumpah dan menyapu kulitku.
Sejak kepergian Harry empat bulan yang lalu, aku memutuskan
untuk menjadikan gerimis sebagai pertanda ulang tahunku. Aku ingin selalu
mengingat Harry di setiap gerimis karena ia sudah membuatku menjalani
kehidupanku sekarang dengan penuh kebahagiaan. Dan aku begitu menyukai saat-saat
gerimis seperti ini.
“Hey, Nam Woohyun! Berhentilah bersikap kekanak-kanakan
seperti itu!” seru Sunggyeol yang sedang berdiri di ambang pintu cafe dengan berkacak pinggang.
“Bukankah gerimis ini cantik Sunggyeol? Kau tidak mau
bergabung bersamaku?” ucapku sedikit berteriak.
Sunggyeol mengibaskan tangannya dan menatapku dengan wajah
datar. “Aku tak mau melakukan hal kekanakkan seperti itu. Sudahlah cepat masuk
dan keringkah tubuhmu itu. Banyak pelanggan yang harus dilayani,” Sunggyeol
menggelengkan kepalanya dan berbalik masuk ke dalam cafe meninggalkanku yang masih betah berdiri di bawah guyuran air.
Kuulurkan tanganku menangkap tiap tetesan air. Aku jadi
merindukan Harry di saat seperti ini. Apa yang peri bule itu lakukan sekarang?
Apa dia juga sedang bermain di bawah gerimis seperti yang sedang aku lakukan?
Indra pendengaranku tiba-tiba menangkap bunyi gemerincing tak
jauh dari tempatku berdiri sekarang. Bukankah itu seperti suara sayap Harry?
Dengan cepat aku menelengkan kepalaku ke segala arah berharap menemukan sosok
Harry di sini.
Benar saja. Aku mendapati sosok peri bule dengan senyum sok kerennya berdiri tak jauh dari
tempatku sekarang dan aku tak dapat menahan lengkungan di bibirku ketika
melihatnya karena aku benar-benar dalam keadaan merindukannya saat ini.
Gerimis sudah berubah menjadi hujan, meskipun tak terlalu
deras. Namun aku masih berdiri di sini seraya menatap Harry yang masih saja
tersenyum di sana. Apakah ia mau merayakan ulang tahun bersama denganku?
“Apa kabar Hyun? Lama tidak bertemu.”
Dan aku hanya bisa tersenyum semakin lebar ketika presensinya
berada di dekat tubuhku secara tiba-tiba. “Heumm.. Lama tidak bertemu, peri
menyebalkan.”
.
.
FIN
Alhamdulillah selesai juga dunia khayalanku, yehet.... Hahahahaaa...
Gabungan antara member boyband Korea dan Inggris, wow bingit... karena
mereka berdua bias aku ^^ hahaa.... tak lupa Jongwoon Oppa yang
turut menyemarakkan fanfict
ini... dan seperti biasa, makasih yang sudah mau baca J