Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 21 Agustus 2014

(Fanfiction) Different

Different
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast:
B.A.P’s Yoo Young Jae
B.A.P’s Jung Daehyun

Genre: Friendship, Slight!Surrealism  Rating: Teen  Lenght: Ficlet

.
.
###

Sejak dua puluh dua menit yang lalu pembicaraan mereka berputar di situ-situ saja. Selesai dari A sampai Z, lalu kembali lagi ke A, dan begitu seterusnya hingga sampai sekarang Young Jae tetap tak berniat menghentikan pembicaraannya meskipun terlihat jelas yang menjadi lawan bicaranya sudah menunjukkan wajah bosan.

“Mereka terlalu memilih-milih teman.” Selesai mengatakan kalimat itu, Young Jae mengenggak habis isi gelasnya. Bukan mochaccino, bukan teh hijau, bukan pula segelas soju. Hanya air putih yang ia rebus tadi pagi sebelum pergi ke kampus.

“Aku tahu”

“Kau tahu, bahkan saat pembagian kelompok presentasi tak ada yang memilihku dalam kelompok mereka”

“Aku tahu”

“Mereka tak menginginkan eksistensiku Daehyun-ah,” Young Jae mendesah berat.

“Aku tahu”

Young Jae menatap jengah pada Daehyun yang juga menatapnya dengan ekspresi datar. “Haiiish, apa yang kau ketahui memangnya huh?”

Daehyun memperbaiki posisi duduknya, “Aku tahu karena kau sudah mengatakannya tiga kali. Dan ini yang keempat.” Daehyun mendongakkan wajahnya menatap langit yang tidak begitu cerah sore ini, persis suasana hati Young Jae. “Jadi bisakah kita alihkan topik pembicaraannya?,” lanjut Daehyun ketika tak ada reaksi yang berarti dari pria di hadapannya yang lebih muda beberapa bulan darinya itu.

“Aku kan hanya ingin berbagi kisah Jung Daehyun.. ckkk

Daehyun nampak berpikir sejenak. Ia tahu masalah Young Jae bukanlah masalah yang mudah dicarikan solusinya. Lantas karena tak menemukan jalan keluar untuk sahabatnya itu, ia lebih memilih diam dan membiarkan Young Jae melanjutkan kalimat demi kalimatnya.

“Jika hanya aku yang diperlakukan seperti itu, aku tak masalah. Tapi jika sudah menyangkut Ayahku, aku tidak bisa tinggal diam.”

Ucapan Young Jae barusan berhasil membuat Daehyun menatap penuh tanya padanya. Pasalnya sejak pertama mereka berbincang puluhan menit yang lalu baru kali ini akhirnya Young Jae membahas hal lain selain dirinya yang terus dijauhi teman-teman sekelasnya. “Maksudmu?”

Young Jae kembali mendesah, entah sudah berapa kalinya pria itu mendesah selama kurang dari tiga puluh menit yang ia habiskan bersama Daehyun. “Memangnya aku belum mengatakannya tadi?”

Hanya gelengan sebagai jawaban atas pertanyaan Young Jae tersebut. Daehyun masih tetap menatapnya dengan rasa ingin tahu.

“Aku mendengar mereka mengatakan Ayahku adalah seorang pria miskin tak tahu malu yang berani menguliahkan anaknya di kampus mereka. Aku benar-benar tak habis pikir... Memangnya siapa mereka seenaknya mengatakan Ayahku seperti itu? Mereka tak tahu bagaimana Ayahku berjuang mencari uang untuk membantu biaya kuliahku meskipun pada akhirnya aku membiayai kuliahku dengan uangku sendiri dengan gaji yang kuterima tiap bulan di restoran. Mereka tak tahu bagaimana Ayahku berusaha membuat kami anak-anaknya agar  bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi darinya. Mereka semua bodoh Daehyun-ah, mereka bodoh...,” Young Jae berusaha menekan agar air yang menggenang di pelupuk matanya tidak jatuh begitu saja.

Daehyun menatap iba pada Young Jae yang kini mulai membenamkan wajahnya pada kedua kakinya yang ditekuk. Daehyun ingin sekali memeluk Young Jae, menenangkannya agar pria itu tak perlu sedih lagi karena Young Jae memilikinya yang selalu bersedia mendengarkan keluhnya. Tapi pada akhirnya ia hanya bisa menatap pada Young Jae yang kini mulai terdengar isakan kecil yang keluar dari mulutnya.

“Young Jae-ah, gwaenchana?,” Daehyun semakin khawatir melihat Young Jae, pria yang sudah ia kenal sejak mereka masih kecil, pria yang ia tahu sangat kuat. Bahkan selama ia mengenal Young Jae, baru kali ini ia melihat pria itu menangis.

Hmmm, nan gwaenchana...” samar-samar Daehyun mendengar suara Young Jae yang masih saja membenamkan wajah tampannya pada kedua lututnya.

“Young Jae-ah... kau tahu tidak, di duniaku aku juga sering dijauhi teman-temanku,” Daehyun bermonolog karena Young Jae masih belum mau menatapnya. “Aku tidak sehebat mereka yang bisa mengubah diri mereka menjadi makhluk lain. Hanya karena aku tak sehebat mereka, mereka tidak mau menjadi temanku”

Masih tak ada reaksi dari Young Jae. Daehyun tahu, Young Jae memang terlampau lelah dengan semua yang ia alami. “Itulah sebabnya aku sering bermain ke duniamu dan bersamamu. Karena kau satu-satunya temanku yang mau menjadi temanku apa adanya aku”

Kini giliran Daehyun yang mendesah. Pria itu kemudian tersenyum menampilkan wajah tampannya yang semakin tampan kala tersenyum. “Young Jae-ah, aku memang tak bisa membantumu. Tapi kau jangan bersedih karena aku akan selalu menjadi temanmu sampai kapanpun. Aku tak pernah memperdulikan bagaimanapun keadaanmu, karena kau adalah kau. Kau temanku meskipun kita makhluk yang berbeda, dan dari dunia yang berbeda”

Perlahan Young Jae mendongakkan wajahnya, matanya sedikit merah dan terlihat jelas pria itu berusaha menahan isakannya. Daehyun masih menatapnya dengan tersenyum, meyakinkan Young Jae bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Young Jae-ah... Kau tidak ingin mereka menghina Ayahmu kan? Kalau begitu, kau tunjukkan pada mereka siapa yang pantas dihina. Tunjukkan bahwa kau bisa lebih hebat dari mereka, bahkan jauh lebih hebat dari mereka. Apapun yang terjadi di kampus, meskipun mereka selalu menjauhimu, tetaplah belajar dengan rajin. Kau pasti bisa. Tunjukkan betapa kau bisa membuat Ayahmu bangga padamu  nae chingu

Young Jae berusaha menarik kedua sudut bibirnya. Daehyun memang selalu menanangkannya di saat ia mengalami masa sulit. Young Jae tahu, Daehyun tulus menjadi temannya. Tidak seperti teman-teman manusianya yang hanya berteman dengannya di saat mereka perlu.

“Apakah karena aku berbeda dari mereka, sehingga mereka tak mau berteman denganku Daehyun-ah? Apakah karena aku hanya orang miskin sehingga mereka tak mau berada di dekatku?”

Hmmm, entahlah. Aku tak mengerti jalan pikiran manusia. Mungkin kau benar, mereka hanya ingin berteman dengan orang yang sama dengan mereka. Keundae, Young Jae-ah... apa kau memang menginginkan mereka menjadi temanmu?”

Young Jae mengerjapkan matanya. Pertanyaan Daehyun barusan tak pernah terpikirkan olehnya selama ini. Daehyun benar, apa ia memang sungguh menginginkan berteman dengan orang-orang seperti itu?

“Hey, Yoo Young Jae.... Kau melamun?,” Daehyun mengibaskan tangannya di depan wajah Young Jae membuat pria itu kembali mengerjapkan matanya.

Engg, Daehyun-ah kau benar. Aku tidak benar-benar ingin menjadi teman mereka. Toh lagi pula aku tak membutuhkan orang-orang seperti itu, mereka hanya membuatku sakit kepala. Melihat mereka yang selalu berganti-ganti mode mengikuti trend, mereka yang selalu membuang uang di cafe dan tempat karaoke, mereka yang hanya menginginkan orang yang setara dengan mereka”

Daehyun mengangguk pelan.

“Mereka tak berguna buatku”

“Kalau begitu mulai sekarang tak perlu kau khawatirkan lagi perlakuan mereka padamu. Kau hanya perlu fokus belajar dan menjadi yang terbaik melebihi mereka, arra?”

Young Jae kini tak dapat menahan senyumannya. “Ne, arraseo Daehyun-ah

“Baiklah masalah selesai. Kalau begitu aku pergi dulu, besok aku akan kembali lagi,” Daehyun berniat beranjak dari duduknya sebelum suara Young Jae menginterupsinya dan membuatnya mengurungkan niatnya untuk pergi.

“Tapi Daehyun, apa kau selamanya tidak bisa kusentuh? Apa kau tidak bisa juga berubah menjadi manusia?”

Daehyun memutar bola matanya malas. “Lalu kenapa kalau aku tidak bisa berubah seperti teman-temanku? Kau tidak mau berteman lagi denganku? Kan dari dulu sudah kukatakan kalau kemampuanku tidak sehebat mereka yang bisa merubah wujudku menjadi makhluk lain,” ketus Daehyun.

Young Jae terkekeh pelan, “Iya-iya aku tahu. Bagaimanapun dirimu, kau adalah teman terbaikku,” Young Jae mengacungkan kedua ibu jarinya. “Kalau begitu pergilah, kau bilang tadi ingin pergi kan?”

Ckk... Jadi kau mengusirku huh? Baiklah-baiklah aku pergi dulu. Kau jangan menangis seperti tadi ya, mau kau taruh di mana harga dirimu sebagai pria, hahaha,” Daehyun lantas segera menghilang dan angin pelan seketika berhembus menyisakan Young Jae yang duduk sendirian di teras belakang rumahnya.

Daehyun benar, Young Jae tak memerlukan teman seperti mereka. Orang-orang yang selalu menjauhinya hanya karena ia berbeda dari mereka. Lagi pula selama ada Daehyun yang selalu bersamanya ia tak kesepian meskipun mereka makhluk yang berbeda.

“Jung Daehyun, tetaplah jadi temanku. Selamanya”

.
.
FIN
###

Hyeeey...
Ini pertama kalinya aku bikin fanfiction B. A. P, hahahahaaahh.... Nggak tau kenapa beberapa hari ini aku kebayang mulu muka cakepnya Daehyun Oppa dan Young Jae, jadi tetiba aja gitu bikin ff ini.
Seperti biasa, yang sudah mau baca kansahamnidaaaa ^^
/pelukciumDaehyun/

(Fanfiction) Louis, I'm Sorry...



Louis, I’m Sorry...

.
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Main Cast:
One Direction’s Harry Styles
One Direction’s Louis Thomlison

Genre:
Friendship, and little bit romance

Rating:
Teen

Lenght:
Oneshot

Summary:
Salah paham itu bisa diselesaikan dengan kata-kata...

-----OD-----

Ting tong...

Bunyi bell di rumah bercat hijau-cream itu terdengar berkali-kali. Namun tak juga sang empunya rumah membuka pintu yang berpelitur mengkilap itu, menimbulkan decakan berkali-kali dari orang yang menekan bell tersebut.

Ting tong.. ting tong..

Kali ini bunyi bell itu lebih cepat, hingga tidak mungkin tidak terdengar oleh rumah di sekitarnya.

“Tssk, kemana kau. Awas saja jika sampai nanti aku bertemu denganmu, akan kubuat perhitungan karna sudah membuatku menunggu di luar sini bahkan hampir membeku”, gerutu seseorang yang sedari dari terus menerus menekan bell di rumah itu.

Karena lelah bercampur kesal, ditambah udara yang semakin dingin -karena memang musim dingin- seseorang itu beranjak pergi dari rumah yang pintunya tak kunjung dibuka meskipun ia telah ratusan kali menekan-nekan bell di rumah itu.

Satu hal yang dilupakan orang itu, ponsel. Oh ayolah, ini sudah abad dua puluh satu, dan ponsel bukan barang langka bin ajaib lagi kan? Setidaknya akan lebih baik jika ia ingat untuk menelpon seseorang yang akan ia temui di rumah itu.

Harry. Namanya Harry Styles. Bukan siapa-siapa, bukan pria terkenal, bukan peraih medali emas olimpiade Sains, bukan Siswa Pecinta Alam, bahkan bukan seorang siswa teladan di sekolahnya. Setidaknya itu yang pria itu ketahui. Tapi pria itu cukup populer di kalangan..... errrr, gadis-gadis.

Well, siapa gadis yang tidak tahan untuk tidak mengeluarkan beberapa oktaf suaranya hanya karna kerlingan nakal dari pria itu. Siapa pula gadis yang tidak mampu untuk bahkan sekedar memejamkan mata di malam hari hanya karna mendapat sebuah senyuman dari pria berlesung pipit itu. Bahkan wajahnya begitu sepadan dengan rambut ikalnya yang berwarna coklat. Kulitnya putih bersih, umm... ditambah abs-nya yang membuatnya terlihat semakin sexy. Dan tinggi badannya cukuplah untuk standar seorang pria berkebangsaan Inggris.

Oke, anggaplah beberapa pernyataan tersebut sedikit berlebihan. Tapi ada satu yang terlewatkan, suara serak-serak basah yang dimiliki pria itu semakin “menyempurnakan” penampilannya, paling tidak bagi gadis-gadis yang baru pertama kali bertemu dengannya.

Sempurna?

Demi Merkurius tidak ada yang sempurna di dunia ini bukan? Bahkan murid Sekolah Dasar tingkat pertama pun tahu akan hal ini. Asal kau tahu, pria ini memang tidak sempurna. Kau tahu apa? Play boy, pria ini play boy. Bahkan di usianya yang masih tujuh belas tahun ini ia sudah menyandang gelar play boy kelas kakap, bahkan kelas hiu mungkin. Tapi Harry begitu membenci gelar yang disandangkan untuknya, ia lebih senang menyebut dirinya dengan “Pecinta Wanita”.

Baik, kita anggap saja dua kalimat terebut berbeda namun memiliki makna yang sama. Ckk, bukankah itu berarti sama saja?

Well well... baiklah, abaikan mengenai pria ini yang play boy atau pecinta wanita atau Cassanova ataupun apalah namanya yang sejenis dengan itu. Lupakan juga tentang kepopulerannya di kalangan para gadis, karna yang terpenting saat ini ialah ia sedang mencari temannya, Louis.

Entahlah, teledor, lupa, pikun, tidak ingat, atau kata-kata yang sebangsa dengan itu yang dialami Harry saat ini. Dia bahkan tidak memberi pesan terlebih dahulu kepada Louis bahwa dia akan datang ke rumah temannya itu. Yah, setidaknya begitu agar dia berhenti menggerutu di sepanjang jalan pulang, sebelum akhirnya ia berhenti di depan salah satu etalase toko pakaian yang menarik perhatiannya.

“Best Friend Forever”, Harry mengeja tulisan yang terpampang dibagian depan baju couple berwarna hijau tosca yang digantung di etalase toko itu. “Hahaa, kekanak-kanakan sekali. Terlalu klise”.

Harry kembali melanjutkan langkahnya melewati toko itu menuju rumahnya yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Louis. Tanpa ia sadari, atau memang sebenarnya ia sadar, beberapa gadis di sekitar toko itu berusaha menarik perhatiannya. Tapi Harry tidak peduli. Karna ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Mungkin bisa dikatakan sedikit bosan. Oh yeah, bosan.

Dan mungkin Harry juga tidak menyadari kalimat yang ia ucapkan saat di depan etalase toko tadi itu menunjuk ke dirinya sendiri. Kekanakan, terlalu klise. Apa ia tidak sadar dengan kalimat apa yang terpampang di baju kaosnya? “I Love My Friend”. Hey, bukankah itu juga kekanakan?

-----OD-----

~plukk...

Ini sudah batu kerikil kedelapan puluh tiga yang Louis lempar ke danau demi sekedar mengusir rasa bosannya. Yah, pria itu sekarang sedang duduk termenung di pinggir sebuah danau yang cukup sepi, memang tidak banyak orang yang datang kesini karena danau tersebut terletak cukup jauh dari pusat desa.

~plukk...

kerikil ke- delapan puluh empat.

Well, katakanlan pria ini kurang kerjaan. Sedari tadi ia hanya melempar kerikil dengan ekspresi datar, tanpa semangat, seolah menunggu detik-detik kedatangan malaikat maut. Dan mungkin memang benar pria ini sedang menunggu, tapi hey sungguh ia bukan menunggu malaikat maut. Benar-benar kurang kerjaan jika memang ia hanya duduk di tepi danau untuk sekedar menunggu datangnya malaikat yang konon katanya berjubah hitam dan berwajah mengerikan, setidaknya itu yang dulu ia dengar dari sahabatnya, Harry.

Sudah hampir enam jam Louis duduk di pinggir danau itu. Enam jam? Yup, benar sekali. Enam jam. Bayangkan saja, ia sudah duduk manis di pinggir danau dengan segala macam peralatan pancing di sampingnya sejak pukul sepuluh pagi tadi, dan sekarang sudah hampir pukul empat sore. Selama hampir enam jam duduk di sana tanpa berniat untuk sekedar beranjak dari tempat itu, atau mungkin untuk makan siang? Baiklah, Louis sudah melewatkan waktu makan siangnya.

Berkali-kali pula pria itu mengecek ponselnya untuk sekedar memastikan sebuah panggilan masuk ataupun sebuah pesan, mungkin dari orang yang ditunggunya sejak tadi. Tapi nihil. Berkali-kali pula Louis menekan panggilan keluar pada nomer yang ditujunya itu, serta pesan singkat yang sudah tak terhitung berapa banyaknya. Dan hasilnya masih tetap sama, nihil. Tak ada jawaban dari nomor yang ditujunya, dan tak ada satupun balasan pesan dari nomor yang sedari tadi ia tunggu-tunggu.

Decakan pun tak henti-hentinya keluar dari mulut pria berwajah manis itu. Sebenarnya ia bisa saja beranjak dari pinggir danau itu dari tadi, namun ia takut. Mungkin saja orang yang ia tunggu-tunggu akan datang sebentar lagi.

Mungkin sebentar lagi, sebentar lagi, dan sebentar lagi.

Dan sekarang sudah pukul lima sore. Yah, sepertinya yang ditunggunya benar-benar tidak datang. Kembali decakan frustasi keluar dari mulutnya sembari ia membereskan peralatan memancingnya dengan wajahnya sudah benar-benar ditekuk berkali lipat.

“Tsssk... Kalau memang tidak bisa datang, minimal hubungi aku. Kau benar-benar sudang menguji kesabaranku. Baiklah, kita lihat saja nanti. Akan kubuat perhitungan denganmu... Aaargggh”, Louis bermonolog sambil mengacak-acak rambutnya yang memang sudah tidak beraturan dari tadi.

Siapapun mungkin akan merasakan hal yang sama dengan Louis jika mengalami hal serupa. Menunggu tanpa hasil. Well, setidaknya Louis tidak berpikir untuk menceburkan dirinya ke danau ditengah musim dingin seperti ini karena rasa dongkolnya. Terlalu berlebihan memang jika ia benar-benar melakukannya. Terlalu konyol.

Louis berjalan gontai kembali ke rumah neneknya di tengah desa sambil bersungut-sungut. Sesekali menendang bebatuan kecil atau ranting pohon atau apapun yang lewati di tengah perjalanan pulang. Baiklah, mungkin ketika sampai nanti ia akan meminum tiga gelas besar coklat panas serta roti dengan selai kacang kesukaannya di depan perapian dengan selimut tebal. Setidaknya dengan membayangkan coklat panas tersebut berada ditangannya membuat suasana hatinya sedikit membaik. Dipercepat langkahnya agar segera sampai, bukan hanya ingin menikmati coklat panas, namun dinginnya cuaca yang semakin menusuk sampai ketulang membuat sekujur tubuhnya sudah menggigil. Ditambah seharian ini ia belum makan sepotong rotipun.

-----OD-----

Malam di musim dingin.

Pria berambut ikal dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya, sebut saja Harry, -karena memang itu namanya- berdiri di depan jendela kamarnya sembari menerawang temaramnya langit. Terlihat begitu sepi di langit karena memang tak banyak bintang malam ini. Sama seperti dirinya yang kesepian saat ini.

Bukan karena ia sendirian. Ada banyak orang di rumahnya sekarang, termasuk kakek dan neneknya yang datang berkunjung ke rumahnya malam ini. Tapi sungguh, seharian ini tanpa Louis membuatnya merasa sangat kesepian. Tak ada kabar dari Louis. Bahkan pukul enam sore tadi ia kembali ke rumah Louis tetap tak ada siapapun di rumah itu.

“Ada apa denganmu Harry? Kau terlihat tidak bersemangat. Hey, ini Harry cucu kesayangan kakek bukan?”, suara seseorang menyadarkan Harry dari kegiatannya menerawang langit. Pria lanjut usia itu duduk di pinggir tempat tidur Harry, memberi isyarat agar sang cucu duduk di sampingnya. Yang disuruh langsung mendudukkan diri di samping kakek kesayangannya, pria yang sudah memasuki usia kepala tujuh namun tetap memiliki aura kebijaksanaan dan masih terlihat kuat. Orang-orang memanggil kakeknya dengan sebutan Tuan Fred.

“Sekarang ceritakan pada kakek, apa yang terjadi pada cucu kakek yang tampan ini...”

Harry tersenyum memandang kakeknya. Saat-saat seperti inilah yang membuatnya teringat akan masa kecilnya dulu. Ketika ia masih tinggal di desa bersama orang tuanya di rumah kakek-neneknya. Dulu ketika ia masih Sekolah Dasar, ia akan menceritakan kejadian apapun pada kakeknya, termasuk saat ia menyukai teman wanita sekelasnya. Memang itu sudah sangat lama, dan Harry sudah Sekolah Menengah Atas sekarang, ditambah lagi ia sudah tidak tinggal di desa bersama kakek dan neneknya, sehingga ia tidak lagi memiliki waktu untuk berbagi cerita dengan kakek yang menjadi idolanya itu.

“Eumm, aku tak apa-apa kek”, suara Harry terdengar cukup sumbang.

Sang kakek mendelik mendengar jawaban seadanya dari Harry. “Benarkah? Kau pikir kakek tak tahu jika kau sedang memikirkan sesuatu. Ayolah, ceritakan pada kakek. Kakek sudah lama tidak mendengar ocehan dari mulutmu itu”, terang sang kakek dengan nada sedikit bercanda di akhir kalimatnya.

Harry tampak berfikir, kemudian sedikit berdehem sebelum mengucapkan sesuatu “Ehm, kakek...”

Sang kakek menaikkan kedua alisnya menunggu kalimat yang akan dilontarkan dari cucunya.

“Dulu, apa kakek pernah punya seorang teman?”

“Teman? Tentu saja kakek punya. Siapapun di dunia ini pasti punya teman bukan?”

“Maksudku bukan teman yang seperti itu, teman yang eumm... Seperti teman dekat begitu kek”

“Teman dekat? Sahabat maksudmu?”, sang kakek mulai tertarik dengan arah pembicaraan Harry.

“Yaahh, bisa dikatakan seperti itu. Jadi, apa kakek punya sahabat?”.

“Iya, kakek punya. Tapi itu dulu”, Harry menatap lekat kakeknya dengan pandangan yang mengisyaratkan ‘maksud-kakek?’

“Hey, kau tidak berfikir kakek dan sahabat kakek sekarang sudah tidak berteman lagi kan?”, Tuan Fred mencondongkan wajahnya ke arah wajah Harry, yang membuat Harry sontak menjauhkan sedikit wajahnya. Tuan Fred kembali memposisikan wajahnya seperti semula. “Kami masih berteman, bahkan sampai kapanpun akan tetap berteman. Namanya Simon. Tapi... dia sudah lebih dulu dipanggil Tuhan”.

Harry hanya mengangguk mendengarnya. Ah tentu saja sahabat kakeknya sudah meninggal, bukankah usia kakeknya saja sudah kepala tujuh? Harry tertawa dalam hatinya. “Hey, kau melamun? Apa yang kau pikirkan?,” interupsi sang kakek membuat Harry mengerjapkan matanya.

Harry menggaruk pelan pelipisnya sambil berfikir, “Eumm, kakek. Apa dulu kakek dan sahabat kakek itu sering bertengkar?”

“Haha, tentu saja kami sering bertengkar. Bahkan rasanya aneh kalau kami jarang bertengkar. Dan kau tahu tidak, kami lebih sering bertengkar gara-gara kesalahpahaman,” Tuan Fred memandang langit-langit kamar Harry, menerawang masa lalunya yang indah bersama Simon.

“Lalu, bagaimana caranya kalian berbaikan? Maksudku, bukankah sulit untuk meminta maaf setelah bertengkar itu kek?”

Tuan Fred berdiri menatap langit malam di depan jendela kamar Harry, “Yah, cukup mudah. Salah paham itu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi dulu kami sering bertengkar, lalu tak lama kami kembali berbaikan setelah masing-masing diantara kami menjelaskan yang terjadi sebenarnya. Namun tak lama kami kembali bertengkar dan setelahnya kami berbaikan. Begitu seterusnya, rasanya lucu sekali mengingat masa-masa itu.”

“Salah paham bisa dijelaskan dengan kata-kata?,” Harry mengulang kalimat kakeknya.

Tuan Fred tersenyum dan mengangguk, lantas kembali duduk di tepi ranjang di samping cucunya. Tak lama setelah itu, ia merangkul pundak Harry dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya menggenggap tangan kanan cucunya itu, “Kau tahu Harry, hal yang paling indah di dunia ini adalah persahabatan. Tidak peduli bagaimanapun salah paham yang terjadi, asal kau bisa menjelaskan baik-baik, maka semuanya akan baik-baik saja”.

Harry tersenyum tulus mendengar nasihat kakeknya. “Iya kek, aku akan mengingat nasehat kakek”

“Jadi, apa ada sesuatu yang terjadi antara kau dan Louis?”

“Tidak kek, aku hanya bertanya jika seandainya suatu saat nanti terjadi salah paham antara aku dan Louis”

“Yah, ingat kata-kata kakek. Salah paham itu bisa diselesaikan dengan kata-kata. Baiklah, sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kau tidurlah, jangan lupa tutup jendelanya karena malam ini diprediksi lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Kakek keluar dulu, selamat malam jagoan kakek”, Tuan Fred mengelus pelan puncak kepala Harry sebelum ia benar-benar pergi dari kamar cucunya dan menghilang di balik pintu kamar.

Beberapa menit saat Harry hendak memejamkan matanya dan bersiap menuju alam mimpi, pria itu teringat akan sesuatu, “Ya Tuhan. Ponselku tertinggal di rumah Emily”.

Oh My, ayolah Harry. Seharusnya kau mengingatnya dari tadi. Apakah play boy itu sering melupakan hal yang penting?

-----OD-----

“Selamat pagi nek, apa tidur nenek nyenyak tadi malam?”, Louis memeluk pinggang wanita paruh baya yang ia panggil nenek -yang sedang sibuk memotong irisan daun bawang itu dari belakang. Baiklah, Louis memang sudah tujuh belas tahun, namun ia masih manja jika sedang bersama neneknya.

“Hey, lepaskan nenek. Kau ingin membuat nenek kehabisan nafas heumm?”. Louis lantas melepaskan pelukannya dan detik berikutnya ia beringsut ke samping neneknya dan malah memeluk neneknya dari samping. Well, well, Louis sangat senang mengganggu neneknya, mengingatkannya ketika ia masih Taman Kanak-kanak dulu. “Waaah, pria tampan ini masih manja rupanya”.

Louis mempoutkan bibirnya, “Louis senang liburan kali ini ke rumah nenek, dan Louis sangaaatt sangaaaaat merindukan nenek. Jadi tak apa kan jika cucuk nenek yang tampan ini bermanja-manja dengan neneknya yang cantik?”

Neneknya lantas menyikut perut Louis pelan dengan lengannya, menyebabkan pria itu meringis –pura-pura-kesakitan-. “Kau sebaiknya segera mencari pacar, jadi kau tak perlu menggoda nenekmu yang sudah tua ini”

“Waah waah... Siapa yang nenek bilang tua? Bagi Louis, nenek adalah wanita tercantik nomor dua di dunia ini”

“Nomor dua? Memangnya siapa yang pertama?”

Louis semakin mempererat pelukannya, “Yah, tentu saja ibu. Ibu mewarisi kecantikannya nenek”, Louis lantas mengedipkan sebelah matanya bermaksud kembali menggoda sang nenek.

“Tsskk.. sudahlah, kau bersihkan dirimu sana. Nenek harus cepat menyelesaikan sarapan ini. Oh iya, ayah dan ibumu sudah berangkat pagi-pagi tadi. Jadi kau tak apa kan hari ini sendirian? Karena nenek juga sebentar lagi harus ke rumah Bibi Swift”

“Baiklah-baiklah nenekku sayang. Tolong buatkan sarapan yang lezat untuk pria tampan yang kesepian ini”, Louis lantas mengecup pipi kanan sang nenek dan terkekeh pelan sebelum berlari kecil menuju kamar mandi.

“Hey, apakah Harry tidak jadi datang kesini?”, teriak sang nenek saat Louis sudah menutup pintu kamar mandi.

“Aku tak tahu nek, aku tak peduli dengannya”, samar-samar suara Louis terdengar, sepertinya pria itu sedang mengggosok gigi.

“Ckk, ada apa dengan anak itu”.

-----OD-----

“Ugh, kenapa musim dingin ini sangat dingin?”, begitulah pertanyaan retoris Harry pada dirinya sendiri di sepanjang perjalanan menuju rumah kekasihnya, Emily. Hey, bahkan anak TK pun tahu kalau musim dingin itu dingin, untuk apa ia mempermasalahkan hal itu.

“Oh, Harry?”, suara lembut seorang gadis membuat langkahnya terhenti untuk mengamati pemilik suara tersebut.

“Hey, Miranda. Kau mau kemana?”, tanyanya dan menghampiri gadis yang bernama Miranda itu yang sedang duduk di sebuah halte. Lantas ia pun ikut mendudukkan dirinya di samping gadis berambut hitam itu. Dan jangan katakan kalau ia melupakan niatnya untuk ke rumah kekasihnya.

“Aku mau ke rumah Lucy. Kau sendiri mau ke mana?”

“Aku? Oh, aku hanya sedang berjalan-jalan. Hey, lihat rambutmu. Kau baru memotongnya?”. Kalau Emily tahu akan hal ini, ia pasti akan mencabik-cabik Harry seperti seonggok daging yang diperebutkan anjing jalanan di tempat sampah.

Miranda mengangguk cepat. “Apa terlihat aneh?”

“Tidak, kau malah semakin cantik dengan rambut pendek itu. Kau terlihat lebih fresh”

“Gombal”, Miranda mencubit pelan lengan Harry. “Hey, akan kuberitahu Emily nanti”.

Mata Harry sontak membuka lebar, “Astaga, aku harus ke rumah Emily. Miranda, kau tak apakan jika aku tinggal sendirian? Sangat bahaya jika gadis cantik sepertimu sendirian di halte ini”

“Dasar play boy, tadi kau bilang hanya berjalan-jalan. Awas kau, akan kuberitahu Emily nanti. Dan lagi, aku tak sendirian. Kau tidak lihat orang-orang itu?”, Miranda menunjuk beberapa orang yang juga duduk di halte itu.

“Haha, baiklah cantik aku duluan kalau begitu. Eits, jangan beritahu Emily hal ini okey”, dan Harry pun berdiri dengan mengedipkan sebelah matanya lebih dulu pada Miranda sebelum berjalan melangkah menuju rumah Emily. Sedangkan Miranda hanya menggeleng melihat kelakuan teman sekelasnya itu.

-----OD-----

Berkali-kali bunyi lemparan kerikil terdengar di jendela kamar seorang gadis yang sedang berkutat dengan komik kesukannya, serta sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya. Yah, itu adalah kelakuan seorang pria berambut ikal dan berlesung pipit di luar jendela kamarnya.

Tentu saja karena merasa terganggu, gadis itu lantas berdiri dan berjalan ke arah jendela. Matanya seketika membulat sempurnya, dan jika ini adalah kartun, maka bola matanya hampir terjatuh ke luar. “Hey apa yang kau lakukan dengan jendela kamarku??!!”, teriaknya sedikit histeris melihat pria yang tak lain dan tak bukan adalah kekasihnya sendiri, Harry.

Ayolah, gadis mana yang tidak histeris melihat kekasihnya mengendap-ngendap seperti seorang maling. Dan yang lebih parah adalah kekasihmu melempari kaca jendelamu dengan kerikil.

“Hehe, halo sayang... pssst”, Harry meletakkan telunjuknya di bibirnya dan melongokkan kepalanya ke dalam kamar Emily dari jendela. “Jangan berteriak seperti itu”.

“Ya!! Bagaimana aku tidak berteriak? Kau hendak mengahancurkan jendelaku dengan kerikil itu hah?? Lagi pula, kenapa kau tidak menemuiku di luar saja? Kenapa harus mengendap-ngendap seperti ini??! Kau seperti maling... Tsskk, Harry lihatlah kelakuanmu itu. Jika ada orang yang melihat bagaimana? Mereka akan berpikiran yang bukan-bukan. Dan lagi-“

“Okey stop sayang. Iya aku salah, jadi tolong maafkan kekasihmu ini yaa”, Harry memasang puppy eyes terbaiknya.

Dan yah, seperti biasa. Emily akan selalu luluh dengan tatapan itu. “Baiklah-baiklah. Jadi ada apa?”, Emily membuka jendelanya lebih lebar membiarkan kekasihnya itu bisa melihat isi kamarnya dengan lebih leluasa.

Harry tersenyum smirk, “Aku merindukanmu sayang”.

Jika ada batu besar di dalam kamar Emily sekarang, ia benar-benar akan melemparkan batu itu tepat ke kepala Harry, “Tidak usah konyol begitu. Jika kau merindukanku, kau kan bisa menelponku”, Emily memutar matanya bosan. Sebenarnya ia sangat bangga memiliki kekasih seperti Harry yang dipuja banyak wanita, tapi jika begini caranya ia akan melepaskan Harry dengan sukarela.

“Naaah, justru itu aku ke sini sayang. Ponselku... sebenarnya ponselku tertinggal di rumahmu saat kemarin aku ke sini. Yaah, kau tahulah aku jadinya tidak bisa menghubungimu. Padahal tadi malam aku benar-benaaaaaar merindukanmu, dan ingin menelponmu untuk mengucapkan selamat malam”

“Benarkah? Tertinggal di mana? Kurasa tak ada di kamarku”, Emily mengedarkan pandangannya ke seluruh kamarnya.

“Sepertinya tertinggal di dekat TV saat kita menonton film kemarin”

“Mmm, baiklah kalau begitu. Aku carikan dulu, kau tunggu di sini sebentar yaa”

“Heumm”, Harry menganggguk dan tersenyum menunjukkan lesung pipinya. “Tapi jangan lama-lama yaa.. aku kedinginan”

“Baiklaaah”, teriak Emily dan menghilang di balik pintu kamarnya.

Harry menunggu Emily sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan kamar kekasihnya itu. Kedua sudut bibirnya melengkung kala ia melihat sebuah foto berbingkai merah muda di atas meja belajar Emily. Fotonya berdua dengan Emily sewaktu mereka berada di festival musim dingin satu bulan yang lalu. Pria ikal itu membayangkan bagaimana bahagianya ia dan Emily karena saat itu juga hari perayaan satu tahun hubungan mereka. Itu artinya sekarang mereka sudah menjalin hubungan selama satu tahun lebih satu bulan.

Harry masih saja memandangi foto itu hingga ia tak sadar Emily sudah berada di dalam kamarnya dan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Harry.

“H huh? Sejak kau ada di sini sayang?”, Harry sedikit terlonjak karena melihat kekasihnya yang tiba-tiba ada di depan wajahnya.

Emily memutar bola matanya, “Sejak kau memandangi lamat-lamat foto kita itu”, Emily lalu menunjuk foto yang menjadi pusat perhatian Harry tadi. “Kenapa? Kau terpesona dengan fotoku di sana? Kau baru sadar kalau kekasihmu ini cantik huh?”

Harry mengangguk sambil menunjukan ekspresi yang terlalu mendramatisir. “Kau benar sayang. Kau cantik sekali. Tapiii, kau semakin cantik kalau...”, ia sengaja menggantungkan kalimatnya lantas menunjuk bibirnya dengan ibu jari kanannya dan mengerling pada emily yang sudah bersiap memasang deat glare-nya.

Seolah ada aura hitam yang melingkupi di sekitar tubuh kekasihnya itu, Harry menelan salivanya dengan susah payah. Pria itu paling takut jika Emily sudah mengeluarkan death-glare-nya karena menurutnya kekasihnya bisa tampak lebih mengerikan dari pada Lord Voldemort. Harry mengggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menunjukkan cengiran di tambah puppy eyes-nya yang ia tunjukkan sebaik mungkin berharap Emily akan luluh dengan tatapannya itu.

Emily kembali memutar bola matanya bosan. Oh ayolah ia ingin sekali melempar batu besar di kepala kekasihnya sekarang juga. “Sayang, jangan marah ya...”, Harry mencoba memelas pada Emily. Harry semakin takut kala Emily hanya menatap datar padanya dan berdiri angkuh di depan jendela sambil mengacak pinggangnya.

Harry masih memasang puppy eyes-nya dan dengan kedua telapak tangannya yang ia tangkupkan memohon pada Emily berharap agar gadis itu tidak memutuskan hubungan mereka saat ini juga. Terlalu berlebihan memang jika kekasihnya memutuskan hubungan mereka hanya karena ia bercanda -namun-ia-sangat-berharap ingin mendapatkan ‘ciuman manis’ di tengah cuaca dingin seperti ini.

“Pfft..”, Emily berusaha menahan tawanya, bahkan wajahnya sudah mulai memerah sekarang.

Harry mengernyit bingung, “Sayang... Apa yang lucu?”, tanyanya polos.

“Kau ini lucu sekali. Aku benar-benar suka melihat kau memelas seperti itu, aku suka melihat wajahmu seperti orang menderita.. hahaa”

Wajah Harry seperti orang bodoh sekarang melihat kekasihnya tertawa melihat bagaimana ia ketakutan setengah mati tadi. “Tsk.. kau mentertawakanku huh? Baiklah tunggu pembalasanku”

Emily tampak kesusahan menahan tawanya. “Oh iya, coba kau periksa ponselmu. Banyak sekali pesan dan panggilan tidak terjawab dari Louis”, ucapnya susah payah setelah berhasil menghentikan tawanya.

Harry dengan cepat merebut ponselnya dari tangan Emily lantas bola matanya hampir mencelos keluar ketika membaca deretan pesan yang Louis kirimkan padanya. “Sayang, bagaimana ini?????”

“Bagaimana apanya?,” Emily sama sekali tidak mengerti maksud kekasihnya itu.

“Aku... Aku lupa kalau kemarin ada janji dengan Louis untuk berlibur ke kampung halamannya. Sayang, aku takut Louis marah padaku. Bagaimana ini?,” Harry gelagapan dengan masih terus membaca semua isi pesan Louis yang semua isinya kurang lebih sama.

“Ckk, bagaimana mungkin kekasihku ini pelupa seperti ini? Kau ini benar-benar sahabat yang buruk. Aku yakin Louis di sana pasti mengamuk, atau lebih parahnya ia bersiap mencincangmu saat ia pulang. Atau lebih parahnya kau akan-“

“Hey, stop sayang. Kau menakutiku huh? Bukannya memberikanku solusi”, Harry memukul pelan kepalanya pada jendela kamar Emily. “Louis pasti membenciku”

Emily melipat kedua tangannya di depan dada. “Dengar Harry sayang... kau hubungi saja dia. Aku yakin Louis pasti akan mengerti jika kau jelaskan baik-baik padanya, dan yang pasti kau harus menemuinya untuk meminta maaf,” terang Emily melihat kekasihnya itu yang tiba-tiba kehilangan tenaganya.

“Tapi bagaimana jika Louis tidak mau memaafkanku? Aku takut sayang”, wajah Harry terlihat kusut, berbanding terbalik dengan saat tadi ia datang menemui Emily.

“Dengar. Kau mengenal Louis sudah sejak kalian Sekolah Dasar kan? Nah, kau pasti tahu bagaimana sifat Louis. Tapi menurutku ia pasti akan memaafkanmu, aku yakin. Aku juga cukup kenal bagaimana kepribadian Louis. Jadi, tunggu apa lagi cepat hubungi dia”

Harry mengangguk lemah. Lantas menatap kekasihnya yang terlihat lucu dengan kaca mata besarnya. “Terima kasih ya sayang atas saranmu. Maaf sepertinya hari ini aku akan sibuk dengan Louis jadi tidak bisa menemanimu”

“Hmm.. tak masalah. Lebih baik kau cepat minta maaf padanya oke”

“Pasti,” Harry kemudian menarik lengan Emily membuat gadis itu melebarkan kedua matanya seketika karena Harry tiba-tiba saja mengecup sekilas bibir merah mudanya.

“Heyy! Kau selalu mencari kesempatan, ckkk,” Emily memukul pelan bahu kanan Harry.

Harry terkekeh lalu berniat beranjak meninggalkan rumah kekasihnya itu. “Aku pulang dulu sayang... Dadah,” Harry melambaikan tangannya sambil melangkah menjauh dengan menunjukkan senyum tampannya yang menawan. Emily hanya membalas lambaian tangan Harry kemudian langsung menutup jendela kamarnya setelah Harry sudah jauh.

Di perjalanan pulang, Harry terus menerus mendesah mengingat keteledorannya yang sudah melupakan janjinya pada Louis. “Aaarggh,” erangnya frsutasi hingga sebuah ide muncul dalam otaknya yang ‘cukup’ cerdas.

-----OD-----

Louis bisa saja pulang hari ini juga mengingat tak ada yang ia lakukan di rumah neneknya. Oh sungguh ia benar-benar bosan sekarang. Sejak tadi ia hanya mengganti channel tv tanpa menonton tayangannya.

“Aku bosaaaaaan,” Louis melempar sembarang remote tv di atas sofa di samping ia duduk. Pria itu lantas bangkit berdiri menuju kamarnya, mungkin ia lebih memilih tidur siang sampai nanti pukul enam sore. Lagi pula tak ada siapa-siapa di rumah neneknya, hanya ia sendirian dan kucing peliharaan neneknya yang sedang berkencan dengan kucing tetangga di teras rumah.

Louis memandang hamparan rumput yang berwarna kuning dari luar jendelanya. Harusnya jika sesuai rencana yang sudah ditetapkan, setelah kemarin mereka memancing, hari ini mereka akan menghabiskan hari dengan berkemah di padang rumput itu yang tak jauh dari rumah nenek Louis, dan malam ini mereka habiskan dengan memandangi gugusan bintang yang muncul di musim dingin.

Tapi...

Ya sudahlah. Itu hanya rencana yang sudah tak ada artinya lagi. Karena sahabatnya itu sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya, bahkan membalas pesannya pun tidak sama sekali.

Ponsel Louis bergetar di dalam saku celananya, dengan buru-buru ia merogoh benda berbentuk kotak berwarna putih itu. Alisnya bertaut ketika membaca nama orang yang menghubunginya yang terpampang pada layar ponselnya. Oke seandainya saja Louis tidak sayang dengan ponselnya, ia pasti sudah langsung melemparkan ponsel itu ke luar jendela.

Orang yang baru saja ia pikirkan menghubunginya. Panjang umur sekali orang itu.

Sepertinya Louis tak bisa mengabaikan hatinya yang seperti malaikat, semarah apapun ia pada orang itu akhirnya Louis menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari pria yang bernama Harry.

“Hallo Louis”

“Hmmm,” gumam Louis. Dan tanpa dijelaskan pun pasti sudah terlihat kalau Louis sedang kesal.

“Louis kau dimana? Oke, aku tau aku salah dan aku minta maaf. Aku, aku... eumm, sungguh aku tak berniat melupakan janji kita untuk-”

“Oh jadi kau lupa?,” potong Louis cepat.

“Hey, buk bukan.. bukan seperti itu. Maksudku.. sebenarnya...”

“Aku tau kau memang tak berniat berlibur bersamaku kan? Kau lebih memilih menghabiskan waktumu dengan kekasihmu yang tercinta itu”

“Louis dengarkan aku. Oke sekali lagi aku minta maaf. Dan aku juga minta maaf soal panggilanmu yang tidak kujawab, bukannya aku mengabaikan telpon darimu tapi ponselku tertinggal di rumah Emily jadi-”

“Kau memang lebih memilih kekasihmu kan”

“Tidak Louis. Aku sungguh lupa... Kemarin aku ke rumahmu, aku merasa ada sesuatu jadi aku datang ke rumahmu. Aku menekan bell di rumahmu ratusan kali namun tak ada siapapun, awalnya aku kesal padamu. Tapi, yah aku tahu aku mudah sekali lupa akhir-akhir ini. Louis... aku minta maaf, ya. Maafkan aku”

“Apa kau pikir dengan kau meminta maaf semuanya akan berubah? Kau tahu Harry, sikap pelupamu itu membuatku muak. Aku lelah karena kau yang sering melupakan janji kita... sudahlah kalau kau hanya mengatakan hal itu lebih baik kau matikan telponnya-“

“Eitss.. tunggu, tunggu dulu jangan kau matikan ponselnya oke. Iya aku tahu, kau pasti sulit sekali memaafkanku. Tapi,, aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku janji Lou, aku akan berusaha untuk tidak jadi pelupa lagi. Louis... aku merindukanmu”

Louis menyunggingkan sebelah bibirnya, Harry merindukannya katanya? Yang benar saja? “Sudahlah, aku tutup telpon-“

“Louis kumohon. Baiklah, kalau kau tidak mau aku menelponmu setidaknya kau bukakan pintu agar aku bisa bertemu dan berbicara langsung denganmu”

Louis terperangah, yang benar saja Harry ada di depan rumah neneknya. “Jangan bercanda”

“Aku tidak bercanda Lou, aku serius. Jadi, bisakah kau bukakan pintunya sekarang juga?”

Louis masih ragu. Namun sekali lagi, ia memang terlahir dengan hati bagaikan malaikat. Akhirnya Louis memilih melangkah dengan pelan keluar kamar dan melihat apakah Harry benar-benar datang saat ini juga.

Pintu terbuka, menampilkan wajah Harry dengan senyum lebarnya yang menampakkan lesung pipitnya yang terlihat manis ditambah ransel besar dan peralatan memancing di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri pria itu masih menggenggam ponselnya yang ia tempelkan pada telingnya.

Louis menganga tak percaya. Ini benar-benar seperti dalam sebuah drama. Baiklah, Louis akui rasa kesalnya sudah berkurang. Namun kali ini ia tak mau memaafkan Harry dengan begitu mudahnya.

“Hai Lou,” sapa Harry dengan wajah cerianya.

Louis menatap Harry dengan ekspresi datar lalu kembali masuk ke dalam rumah membiarkan pintu tetap terbuka, isyarat agar Harry juga masuk.

“Louis, maafkan aku. Yayaya...”, Harry membuntuti Louis yang kini duduk di depan tv sambil mengganti-ganti channel tv, mengabaikan Harry yang terus merengek padanya. “Louis... aku salah. Aku benar-benar minta maaf, Lou..” Harry menyenggol-nyenggol lengan Louis karena pria itu mengacuhkannya. “Lou.. Eumm, baiklah. Bagaimana kalau kita memancing sekarang? Kurasa cuacanya cukup bagus... Lalu, ikan hasil tangkapan kita nanti kita bakar untuk berkemah malam ini. Bagaimana?”

“Aku tak berniat kemana-mana. Kalau kau mau memancing, pergilah sendiri,” jawab Louis dingin.

Harry menghela nafas, ia tahu Louis benar-benar kesal padanya. Ia sendiri mungkin juga akan seperti itu jika ia yang berada di posisi Louis sekarang. “Louis... kumohon jangan seperti itu, aku sungguh tak berniat melupakannya. Aku ingin sekali memancing denganmu... dan lagi, libur musim dingin kita juga akan segera berakhir. Kapan lagi kita berdua melakukan kegiatan seperti itu?”

Louis menatap sekilas pada Harry yang menatapnya dengan pandangan memohon, lalu tatapannya kembali beralih pada layar tv. “Terserah”

Jika saja saat ini ada pemukul baseball di dekat Louis, ia akan langsung memukul kepala Harry dengan benda itu karena tiba-tiba saja Harry memeluknya dari samping dengan sangat erat. “Hey, lepaskan aku. Apa yang kau lakukan?,” Louis memberontak agar Harry melepaskan pelukannya.

“Tidak mau. Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau memaafkanku”

“Ckk.. kau berlebihan sekali. Sudahlah jangan kekanak-kanakan seperti itu. Cepat lepaskan aku”

“Tidak mau”, Harry semakin mengancangkan pelukannya. Tak peduli jika Louis terus menerus bergerak memberontak dan ia tidak peduli jika setelah ini Louis akan memukul kepalanya dengan spatula milik nenek Louis.

“Lepaskan aku atau..”

“Atau apa?”

“Atau... kau tidak akan kumaafkan”

Dengan sigap Harry melepaskan tangannya dari tubuh Louis. Harry kembali tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang putih, menatap sahabatnya yang juga menatapnya dengan ekspresi errr entahlah Harry tak tahu ekspresi macam apa itu.

“Kapan kau datang?”

“Huh?,” Harry menatap bingung Louis. “Maksudmu datang ke sini? Baru saja. Tadi pagi sekitar pukul delapan aku mengambil ponselku di rumah Emily lalu setelahnya aku langsung membeli tiket bus ke sini. Ternyata lelah sekali lima jam perjalanan ke desa nenekmu ini, kau tahu tadi di bus aku duduk di samping seorang paman yang-“

“Stop. Berhenti sampai di situ. Aku tak tertarik mendengar ceritamu”

“Oups, hehe.. Jadi, apa aku sudah resmi kau maafkan?”

“Belum. Aku akan memaafkanmu kalau kau mau memasakkanku makan siang. Tak ada yang bisa kumakan selain bahan mentah di dalam kulkas. Jadi kalau kau memasakkanku sesuatu yang bisa dimakan, maka kau akan kumaafkan”

Harry mengulum senyumnya. Jadi ekspresi yang Louis tunjukkan itu ekspresi lapar? Hahaa.. Yang benar saja. Jadi sahabatnya ini ditinggal sendirian di rumah ini tanpa ada makanan yang bisa ia makan?

“Hey, kenapa kau tersenyum begitu?”

“Tidak ada. Baiklah, kau janji ya memaafkanku setelah aku memasakanmu makan siang. Dan satu lagi”

“Apa?,” Louis menatap Harry yang sedang meletakkan ransel besarnya beserta peralatan pancingnya tak jauh dari sofa.

“Setelah makan siang, kita memancing lalu malam ini kita berkemah, oke.” Tanpa persetujuan Louis, Harry langsung menghilang menuju dapur.

Louis menghela nafasnya. Louis tahu, ia tak bisa membenci sahabatnya itu. Lupakan mengenai hatinya yang sudah diciptakan seperti malaikat, ia memang membutuhkan Harry dalam hidupnya. Harry, sahabatnya. Harry yang playboy, Harry yang pelupa, Harry yang sering membuatnya kesal, dan Harry yang juga membuatnya bahagia di saat yang bersamaan. Sahabat itu kata yang begitu agung baginya.

Dan Harry, pria yang mulai memotong sosis beserta tomat di dapur itu tak bisa meneyembunyikan senyumannya. Kakeknya benar, asalkan salah paham itu bisa dijelaskan dengan baik-baik, maka semuanya akan baik-baik saja. Harry merasa beruntung memiliki Louis yang berhati malaikat, Louis yang selalu memaafkannya meskipun ia seringkali membuat sahabatnya itu kesal. Louis, sahabatnya. Louis yang selalu memarahinya jika ia mulai menggoda gadis-gadis di sekolah, Louis yang selalu memintanya memasak karena Louis tak suka memasak, dan.. Louis yang cintanya baru saja ditolak oleh adik kelas mereka, hahaha. Karena sahabat itu segalanya.

Sekali lagi, salah paham itu bisa diselesaikan dengan kata-kata.

.
.
FIN

-----OD-----

Huuuuufft..
Hasilnya nggak sesuai sama ekspektasiku. Ini aku pertama kali bikin awal tahun 2014, dan baru aja bisa selesai di bulan Agustus, ngeri banget deh... awalnya tuh nggak gini imajinasi awalnya, nggak tau kenapa aku susah banget nyelesaikan ini FF. Dan bahasanya juga bisa dilihat beda banget di bagian awal sama di bagian terakhir.
Aku kehilangan feel FF ini gara-gara di awal-awal tahun 2014 jiwa fangirl K-Pop-ku mulai menggila, jadi aku nggak ada feel bikin FF One Direction. Jadi ada feel lagi nulis setelah nonton MV You and I One Direction yang ke-tiga belas kalinya setelah download tuh MV bulan kemaren.
Ini kok malah jadinya curhat gini sih.. Oke seperti biasa makasih pake banget yang sudah meluangkan waktu buat baca nih FF Gagje. Semoga terhibur dan dapat pelajaran kalau sahabat itu tuh berarti banget J
Pai-pai...
*Nyanyi Best Song Ever bareng Louis, Zayn, Liam, Niall and Harry*