Louis, I’m Sorry...
.
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Main Cast:
One Direction’s Harry Styles
One Direction’s Louis Thomlison
Genre:
Friendship, and little bit romance
Rating:
Teen
Lenght:
Oneshot
Summary:
Salah paham itu bisa diselesaikan dengan
kata-kata...
-----OD-----
Ting tong...
Bunyi bell di rumah bercat hijau-cream itu terdengar
berkali-kali. Namun tak juga sang empunya rumah membuka pintu yang berpelitur
mengkilap itu, menimbulkan decakan berkali-kali dari orang yang menekan bell
tersebut.
Ting tong.. ting tong..
Kali ini bunyi bell itu lebih cepat, hingga tidak mungkin
tidak terdengar oleh rumah di sekitarnya.
“Tssk, kemana kau. Awas saja jika sampai nanti aku bertemu
denganmu, akan kubuat perhitungan karna sudah membuatku menunggu di luar sini
bahkan hampir membeku”, gerutu seseorang yang sedari dari terus menerus menekan
bell di rumah itu.
Karena lelah bercampur kesal, ditambah udara yang semakin
dingin -karena memang musim dingin- seseorang itu beranjak pergi dari rumah yang
pintunya tak kunjung dibuka meskipun ia telah ratusan kali menekan-nekan bell
di rumah itu.
Satu hal yang dilupakan orang itu, ponsel. Oh ayolah, ini
sudah abad dua puluh satu, dan ponsel bukan barang langka bin ajaib lagi kan?
Setidaknya akan lebih baik jika ia ingat untuk menelpon seseorang yang akan ia
temui di rumah itu.
Harry. Namanya Harry Styles. Bukan siapa-siapa, bukan pria
terkenal, bukan peraih medali emas olimpiade Sains, bukan Siswa Pecinta Alam,
bahkan bukan seorang siswa teladan di sekolahnya. Setidaknya itu yang pria itu
ketahui. Tapi pria itu cukup populer di kalangan..... errrr, gadis-gadis.
Well, siapa gadis yang tidak tahan untuk tidak mengeluarkan
beberapa oktaf suaranya hanya karna kerlingan nakal dari pria itu. Siapa pula
gadis yang tidak mampu untuk bahkan sekedar memejamkan mata di malam hari hanya
karna mendapat sebuah senyuman dari pria berlesung pipit itu. Bahkan wajahnya
begitu sepadan dengan rambut ikalnya yang berwarna coklat. Kulitnya putih
bersih, umm... ditambah abs-nya yang membuatnya terlihat semakin sexy. Dan
tinggi badannya cukuplah untuk standar seorang pria berkebangsaan Inggris.
Oke, anggaplah beberapa pernyataan tersebut sedikit
berlebihan. Tapi ada satu yang terlewatkan, suara serak-serak basah yang
dimiliki pria itu semakin “menyempurnakan” penampilannya, paling tidak bagi
gadis-gadis yang baru pertama kali bertemu dengannya.
Sempurna?
Demi Merkurius tidak ada yang sempurna di dunia ini bukan?
Bahkan murid Sekolah Dasar tingkat pertama pun tahu akan hal ini. Asal kau
tahu, pria ini memang tidak sempurna. Kau tahu apa? Play boy, pria ini play
boy. Bahkan di usianya yang masih tujuh belas tahun ini ia sudah menyandang
gelar play boy kelas kakap, bahkan kelas hiu mungkin. Tapi Harry begitu
membenci gelar yang disandangkan untuknya, ia lebih senang menyebut dirinya
dengan “Pecinta Wanita”.
Baik, kita anggap saja dua kalimat terebut berbeda namun
memiliki makna yang sama. Ckk, bukankah itu berarti sama saja?
Well well... baiklah, abaikan mengenai pria ini yang play boy
atau pecinta wanita atau Cassanova ataupun apalah namanya yang sejenis dengan
itu. Lupakan juga tentang kepopulerannya di kalangan para gadis, karna yang
terpenting saat ini ialah ia sedang mencari temannya, Louis.
Entahlah, teledor, lupa, pikun, tidak ingat, atau kata-kata
yang sebangsa dengan itu yang dialami Harry saat ini. Dia bahkan tidak memberi
pesan terlebih dahulu kepada Louis bahwa dia akan datang ke rumah temannya itu.
Yah, setidaknya begitu agar dia berhenti menggerutu di sepanjang jalan pulang,
sebelum akhirnya ia berhenti di depan salah satu etalase toko pakaian yang
menarik perhatiannya.
“Best Friend Forever”, Harry mengeja tulisan yang terpampang
dibagian depan baju couple berwarna hijau tosca yang digantung di etalase toko
itu. “Hahaa, kekanak-kanakan sekali. Terlalu klise”.
Harry kembali melanjutkan langkahnya melewati toko itu menuju
rumahnya yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Louis. Tanpa ia sadari,
atau memang sebenarnya ia sadar, beberapa gadis di sekitar toko itu berusaha
menarik perhatiannya. Tapi Harry tidak peduli. Karna ia sudah terbiasa dengan
hal-hal seperti itu. Mungkin bisa dikatakan sedikit bosan. Oh yeah, bosan.
Dan mungkin Harry juga tidak menyadari kalimat yang ia
ucapkan saat di depan etalase toko tadi itu menunjuk ke dirinya sendiri.
Kekanakan, terlalu klise. Apa ia tidak sadar dengan kalimat apa yang terpampang
di baju kaosnya? “I Love My Friend”. Hey, bukankah itu juga kekanakan?
-----OD-----
~plukk...
Ini sudah batu kerikil kedelapan puluh tiga yang Louis lempar
ke danau demi sekedar mengusir rasa bosannya. Yah, pria itu sekarang sedang
duduk termenung di pinggir sebuah danau yang cukup sepi, memang tidak banyak
orang yang datang kesini karena danau tersebut terletak cukup jauh dari pusat
desa.
~plukk...
kerikil ke- delapan puluh empat.
Well, katakanlan pria ini kurang kerjaan. Sedari tadi ia
hanya melempar kerikil dengan ekspresi datar, tanpa semangat, seolah menunggu
detik-detik kedatangan malaikat maut. Dan mungkin memang benar pria ini sedang
menunggu, tapi hey sungguh ia bukan menunggu malaikat maut. Benar-benar kurang
kerjaan jika memang ia hanya duduk di tepi danau untuk sekedar menunggu
datangnya malaikat yang konon katanya berjubah hitam dan berwajah mengerikan,
setidaknya itu yang dulu ia dengar dari sahabatnya, Harry.
Sudah hampir enam jam Louis duduk di pinggir danau itu. Enam
jam? Yup, benar sekali. Enam jam. Bayangkan saja, ia sudah duduk manis di
pinggir danau dengan segala macam peralatan pancing di sampingnya sejak pukul
sepuluh pagi tadi, dan sekarang sudah hampir pukul empat sore. Selama hampir
enam jam duduk di sana tanpa berniat untuk sekedar beranjak dari tempat itu,
atau mungkin untuk makan siang? Baiklah, Louis sudah melewatkan waktu makan
siangnya.
Berkali-kali pula pria itu mengecek ponselnya untuk sekedar
memastikan sebuah panggilan masuk ataupun sebuah pesan, mungkin dari orang yang
ditunggunya sejak tadi. Tapi nihil. Berkali-kali pula Louis menekan panggilan
keluar pada nomer yang ditujunya itu, serta pesan singkat yang sudah tak
terhitung berapa banyaknya. Dan hasilnya masih tetap sama, nihil. Tak ada
jawaban dari nomor yang ditujunya, dan tak ada satupun balasan pesan dari nomor
yang sedari tadi ia tunggu-tunggu.
Decakan pun tak henti-hentinya keluar dari mulut pria berwajah
manis itu. Sebenarnya ia bisa saja beranjak dari pinggir danau itu dari tadi,
namun ia takut. Mungkin saja orang yang ia tunggu-tunggu akan datang sebentar
lagi.
Mungkin sebentar lagi, sebentar lagi, dan sebentar lagi.
Dan sekarang sudah pukul lima sore. Yah, sepertinya yang
ditunggunya benar-benar tidak datang. Kembali decakan frustasi keluar dari
mulutnya sembari ia membereskan peralatan memancingnya dengan wajahnya sudah
benar-benar ditekuk berkali lipat.
“Tsssk... Kalau memang tidak bisa datang, minimal hubungi
aku. Kau benar-benar sudang menguji kesabaranku. Baiklah, kita lihat saja
nanti. Akan kubuat perhitungan denganmu... Aaargggh”, Louis bermonolog sambil
mengacak-acak rambutnya yang memang sudah tidak beraturan dari tadi.
Siapapun mungkin akan merasakan hal yang sama dengan Louis
jika mengalami hal serupa. Menunggu tanpa hasil. Well, setidaknya Louis tidak
berpikir untuk menceburkan dirinya ke danau ditengah musim dingin seperti ini
karena rasa dongkolnya. Terlalu berlebihan memang jika ia benar-benar
melakukannya. Terlalu konyol.
Louis berjalan gontai kembali ke rumah neneknya di tengah
desa sambil bersungut-sungut. Sesekali menendang bebatuan kecil atau ranting
pohon atau apapun yang lewati di tengah perjalanan pulang. Baiklah, mungkin
ketika sampai nanti ia akan meminum tiga gelas besar coklat panas serta roti
dengan selai kacang kesukaannya di depan perapian dengan selimut tebal.
Setidaknya dengan membayangkan coklat panas tersebut berada ditangannya membuat
suasana hatinya sedikit membaik. Dipercepat langkahnya agar segera sampai,
bukan hanya ingin menikmati coklat panas, namun dinginnya cuaca yang semakin
menusuk sampai ketulang membuat sekujur tubuhnya sudah menggigil. Ditambah
seharian ini ia belum makan sepotong rotipun.
-----OD-----
Malam di musim dingin.
Pria berambut ikal dengan lesung pipi yang menghiasi
wajahnya, sebut saja Harry, -karena memang itu namanya- berdiri di depan
jendela kamarnya sembari menerawang temaramnya langit. Terlihat begitu sepi di
langit karena memang tak banyak bintang malam ini. Sama seperti dirinya yang
kesepian saat ini.
Bukan karena ia sendirian. Ada banyak orang di rumahnya
sekarang, termasuk kakek dan neneknya yang datang berkunjung ke rumahnya malam
ini. Tapi sungguh, seharian ini tanpa Louis membuatnya merasa sangat kesepian.
Tak ada kabar dari Louis. Bahkan pukul enam sore tadi ia kembali ke rumah Louis
tetap tak ada siapapun di rumah itu.
“Ada apa denganmu Harry? Kau terlihat tidak bersemangat. Hey,
ini Harry cucu kesayangan kakek bukan?”, suara seseorang menyadarkan Harry dari
kegiatannya menerawang langit. Pria lanjut usia itu duduk di pinggir tempat
tidur Harry, memberi isyarat agar sang cucu duduk di sampingnya. Yang disuruh
langsung mendudukkan diri di samping kakek kesayangannya, pria yang sudah
memasuki usia kepala tujuh namun tetap memiliki aura kebijaksanaan dan masih
terlihat kuat. Orang-orang memanggil kakeknya dengan sebutan Tuan Fred.
“Sekarang ceritakan pada kakek, apa yang terjadi pada cucu
kakek yang tampan ini...”
Harry tersenyum memandang kakeknya. Saat-saat seperti inilah
yang membuatnya teringat akan masa kecilnya dulu. Ketika ia masih tinggal di
desa bersama orang tuanya di rumah kakek-neneknya. Dulu ketika ia masih Sekolah
Dasar, ia akan menceritakan kejadian apapun pada kakeknya, termasuk saat ia
menyukai teman wanita sekelasnya. Memang itu sudah sangat lama, dan Harry sudah
Sekolah Menengah Atas sekarang, ditambah lagi ia sudah tidak tinggal di desa
bersama kakek dan neneknya, sehingga ia tidak lagi memiliki waktu untuk berbagi
cerita dengan kakek yang menjadi idolanya itu.
“Eumm, aku tak apa-apa kek”, suara Harry terdengar cukup
sumbang.
Sang kakek mendelik mendengar jawaban seadanya dari Harry.
“Benarkah? Kau pikir kakek tak tahu jika kau sedang memikirkan sesuatu. Ayolah,
ceritakan pada kakek. Kakek sudah lama tidak mendengar ocehan dari mulutmu
itu”, terang sang kakek dengan nada sedikit bercanda di akhir kalimatnya.
Harry tampak berfikir, kemudian sedikit berdehem sebelum
mengucapkan sesuatu “Ehm, kakek...”
Sang kakek menaikkan kedua alisnya menunggu kalimat yang akan
dilontarkan dari cucunya.
“Dulu, apa kakek pernah punya seorang teman?”
“Teman? Tentu saja kakek punya. Siapapun di dunia ini pasti
punya teman bukan?”
“Maksudku bukan teman yang seperti itu, teman yang eumm...
Seperti teman dekat begitu kek”
“Teman dekat? Sahabat maksudmu?”, sang kakek mulai tertarik
dengan arah pembicaraan Harry.
“Yaahh, bisa dikatakan seperti itu. Jadi, apa kakek punya
sahabat?”.
“Iya, kakek punya. Tapi itu dulu”, Harry menatap lekat
kakeknya dengan pandangan yang mengisyaratkan ‘maksud-kakek?’
“Hey, kau tidak berfikir kakek dan sahabat kakek sekarang
sudah tidak berteman lagi kan?”, Tuan Fred mencondongkan wajahnya ke arah wajah
Harry, yang membuat Harry sontak menjauhkan sedikit wajahnya. Tuan Fred kembali
memposisikan wajahnya seperti semula. “Kami masih berteman, bahkan sampai
kapanpun akan tetap berteman. Namanya Simon. Tapi... dia sudah lebih dulu
dipanggil Tuhan”.
Harry hanya mengangguk mendengarnya. Ah tentu saja sahabat
kakeknya sudah meninggal, bukankah usia kakeknya saja sudah kepala tujuh? Harry
tertawa dalam hatinya. “Hey, kau melamun? Apa yang kau pikirkan?,” interupsi
sang kakek membuat Harry mengerjapkan matanya.
Harry menggaruk pelan pelipisnya sambil berfikir, “Eumm,
kakek. Apa dulu kakek dan sahabat kakek itu sering bertengkar?”
“Haha, tentu saja kami sering bertengkar. Bahkan rasanya aneh
kalau kami jarang bertengkar. Dan kau tahu tidak, kami lebih sering bertengkar
gara-gara kesalahpahaman,” Tuan Fred memandang langit-langit kamar Harry,
menerawang masa lalunya yang indah bersama Simon.
“Lalu, bagaimana caranya kalian berbaikan? Maksudku, bukankah
sulit untuk meminta maaf setelah bertengkar itu kek?”
Tuan Fred berdiri menatap langit malam di depan jendela kamar
Harry, “Yah, cukup mudah. Salah paham itu bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Jadi dulu kami sering bertengkar, lalu tak lama kami kembali berbaikan setelah
masing-masing diantara kami menjelaskan yang terjadi sebenarnya. Namun tak lama
kami kembali bertengkar dan setelahnya kami berbaikan. Begitu seterusnya,
rasanya lucu sekali mengingat masa-masa itu.”
“Salah paham bisa dijelaskan dengan kata-kata?,” Harry
mengulang kalimat kakeknya.
Tuan Fred tersenyum dan mengangguk, lantas kembali duduk di
tepi ranjang di samping cucunya. Tak lama setelah itu, ia merangkul pundak
Harry dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya menggenggap tangan kanan
cucunya itu, “Kau tahu Harry, hal yang paling indah di dunia ini adalah
persahabatan. Tidak peduli bagaimanapun salah paham yang terjadi, asal kau bisa
menjelaskan baik-baik, maka semuanya akan baik-baik saja”.
Harry tersenyum tulus mendengar nasihat kakeknya. “Iya kek,
aku akan mengingat nasehat kakek”
“Jadi, apa ada sesuatu yang terjadi antara kau dan Louis?”
“Tidak kek, aku hanya bertanya jika seandainya suatu saat
nanti terjadi salah paham antara aku dan Louis”
“Yah, ingat kata-kata kakek. Salah paham itu bisa
diselesaikan dengan kata-kata. Baiklah, sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kau
tidurlah, jangan lupa tutup jendelanya karena malam ini diprediksi lebih dingin
dari malam-malam sebelumnya. Kakek keluar dulu, selamat malam jagoan kakek”,
Tuan Fred mengelus pelan puncak kepala Harry sebelum ia benar-benar pergi dari
kamar cucunya dan menghilang di balik pintu kamar.
Beberapa menit saat Harry hendak memejamkan matanya dan
bersiap menuju alam mimpi, pria itu teringat akan sesuatu, “Ya Tuhan. Ponselku
tertinggal di rumah Emily”.
Oh My, ayolah Harry. Seharusnya kau mengingatnya dari tadi.
Apakah play boy itu sering melupakan hal yang penting?
-----OD-----
“Selamat pagi nek, apa tidur nenek nyenyak tadi malam?”,
Louis memeluk pinggang wanita paruh baya yang ia panggil nenek -yang sedang
sibuk memotong irisan daun bawang itu dari belakang. Baiklah, Louis memang
sudah tujuh belas tahun, namun ia masih manja jika sedang bersama neneknya.
“Hey, lepaskan nenek. Kau ingin membuat nenek kehabisan nafas
heumm?”. Louis lantas melepaskan pelukannya dan detik berikutnya ia beringsut
ke samping neneknya dan malah memeluk neneknya dari samping. Well, well, Louis
sangat senang mengganggu neneknya, mengingatkannya ketika ia masih Taman
Kanak-kanak dulu. “Waaah, pria tampan ini masih manja rupanya”.
Louis mempoutkan bibirnya, “Louis senang liburan kali ini ke
rumah nenek, dan Louis sangaaatt sangaaaaat merindukan nenek. Jadi tak apa kan
jika cucuk nenek yang tampan ini bermanja-manja dengan neneknya yang cantik?”
Neneknya lantas menyikut perut Louis pelan dengan lengannya,
menyebabkan pria itu meringis –pura-pura-kesakitan-. “Kau sebaiknya segera
mencari pacar, jadi kau tak perlu menggoda nenekmu yang sudah tua ini”
“Waah waah... Siapa yang nenek bilang tua? Bagi Louis, nenek
adalah wanita tercantik nomor dua di dunia ini”
“Nomor dua? Memangnya siapa yang pertama?”
Louis semakin mempererat pelukannya, “Yah, tentu saja ibu.
Ibu mewarisi kecantikannya nenek”, Louis lantas mengedipkan sebelah matanya
bermaksud kembali menggoda sang nenek.
“Tsskk.. sudahlah, kau bersihkan dirimu sana. Nenek harus
cepat menyelesaikan sarapan ini. Oh iya, ayah dan ibumu sudah berangkat
pagi-pagi tadi. Jadi kau tak apa kan hari ini sendirian? Karena nenek juga
sebentar lagi harus ke rumah Bibi Swift”
“Baiklah-baiklah nenekku sayang. Tolong buatkan sarapan yang
lezat untuk pria tampan yang kesepian ini”, Louis lantas mengecup pipi kanan
sang nenek dan terkekeh pelan sebelum berlari kecil menuju kamar mandi.
“Hey, apakah Harry tidak jadi datang kesini?”, teriak sang
nenek saat Louis sudah menutup pintu kamar mandi.
“Aku tak tahu nek, aku tak peduli dengannya”, samar-samar
suara Louis terdengar, sepertinya pria itu sedang mengggosok gigi.
“Ckk, ada apa dengan anak itu”.
-----OD-----
“Ugh, kenapa musim dingin ini sangat dingin?”, begitulah
pertanyaan retoris Harry pada dirinya sendiri di sepanjang perjalanan menuju
rumah kekasihnya, Emily. Hey, bahkan anak TK pun tahu kalau musim dingin itu
dingin, untuk apa ia mempermasalahkan hal itu.
“Oh, Harry?”, suara lembut seorang gadis membuat langkahnya
terhenti untuk mengamati pemilik suara tersebut.
“Hey, Miranda. Kau mau kemana?”, tanyanya dan menghampiri
gadis yang bernama Miranda itu yang sedang duduk di sebuah halte. Lantas ia pun
ikut mendudukkan dirinya di samping gadis berambut hitam itu. Dan jangan
katakan kalau ia melupakan niatnya untuk ke rumah kekasihnya.
“Aku mau ke rumah Lucy. Kau sendiri mau ke mana?”
“Aku? Oh, aku hanya sedang berjalan-jalan. Hey, lihat
rambutmu. Kau baru memotongnya?”. Kalau Emily tahu akan hal ini, ia pasti akan
mencabik-cabik Harry seperti seonggok daging yang diperebutkan anjing jalanan
di tempat sampah.
Miranda mengangguk cepat. “Apa terlihat aneh?”
“Tidak, kau malah semakin cantik dengan rambut pendek itu.
Kau terlihat lebih fresh”
“Gombal”, Miranda mencubit pelan lengan Harry. “Hey, akan
kuberitahu Emily nanti”.
Mata Harry sontak membuka lebar, “Astaga, aku harus ke rumah
Emily. Miranda, kau tak apakan jika aku tinggal sendirian? Sangat bahaya jika
gadis cantik sepertimu sendirian di halte ini”
“Dasar play boy, tadi kau bilang hanya berjalan-jalan. Awas
kau, akan kuberitahu Emily nanti. Dan lagi, aku tak sendirian. Kau tidak lihat
orang-orang itu?”, Miranda menunjuk beberapa orang yang juga duduk di halte
itu.
“Haha, baiklah cantik aku duluan kalau begitu. Eits, jangan
beritahu Emily hal ini okey”, dan Harry pun berdiri dengan mengedipkan sebelah
matanya lebih dulu pada Miranda sebelum berjalan melangkah menuju rumah Emily.
Sedangkan Miranda hanya menggeleng melihat kelakuan teman sekelasnya itu.
-----OD-----
Berkali-kali bunyi lemparan kerikil terdengar di jendela
kamar seorang gadis yang sedang berkutat dengan komik kesukannya, serta sebuah
kacamata yang menghiasi wajahnya. Yah, itu adalah kelakuan seorang pria
berambut ikal dan berlesung pipit di luar jendela kamarnya.
Tentu saja karena merasa terganggu, gadis itu lantas berdiri
dan berjalan ke arah jendela. Matanya seketika membulat sempurnya, dan jika ini
adalah kartun, maka bola matanya hampir terjatuh ke luar. “Hey apa yang kau
lakukan dengan jendela kamarku??!!”, teriaknya sedikit histeris melihat pria
yang tak lain dan tak bukan adalah kekasihnya sendiri, Harry.
Ayolah, gadis mana yang tidak histeris melihat kekasihnya
mengendap-ngendap seperti seorang maling. Dan yang lebih parah adalah kekasihmu
melempari kaca jendelamu dengan kerikil.
“Hehe, halo sayang... pssst”, Harry meletakkan telunjuknya di
bibirnya dan melongokkan kepalanya ke dalam kamar Emily dari jendela. “Jangan
berteriak seperti itu”.
“Ya!! Bagaimana aku tidak berteriak? Kau hendak
mengahancurkan jendelaku dengan kerikil itu hah?? Lagi pula, kenapa kau tidak
menemuiku di luar saja? Kenapa harus mengendap-ngendap seperti ini??! Kau
seperti maling... Tsskk, Harry lihatlah kelakuanmu itu. Jika ada orang yang
melihat bagaimana? Mereka akan berpikiran yang bukan-bukan. Dan lagi-“
“Okey stop sayang. Iya aku salah, jadi tolong maafkan
kekasihmu ini yaa”, Harry memasang puppy eyes terbaiknya.
Dan yah, seperti biasa. Emily akan selalu luluh dengan
tatapan itu. “Baiklah-baiklah. Jadi ada apa?”, Emily membuka jendelanya lebih
lebar membiarkan kekasihnya itu bisa melihat isi kamarnya dengan lebih leluasa.
Harry tersenyum smirk, “Aku merindukanmu sayang”.
Jika ada batu besar di dalam kamar Emily sekarang, ia
benar-benar akan melemparkan batu itu tepat ke kepala Harry, “Tidak usah konyol
begitu. Jika kau merindukanku, kau kan bisa menelponku”, Emily memutar matanya
bosan. Sebenarnya ia sangat bangga memiliki kekasih seperti Harry yang dipuja
banyak wanita, tapi jika begini caranya ia akan melepaskan Harry dengan
sukarela.
“Naaah, justru itu aku ke sini sayang. Ponselku... sebenarnya
ponselku tertinggal di rumahmu saat kemarin aku ke sini. Yaah, kau tahulah aku
jadinya tidak bisa menghubungimu. Padahal tadi malam aku benar-benaaaaaar
merindukanmu, dan ingin menelponmu untuk mengucapkan selamat malam”
“Benarkah? Tertinggal di mana? Kurasa tak ada di kamarku”,
Emily mengedarkan pandangannya ke seluruh kamarnya.
“Sepertinya tertinggal di dekat TV saat kita menonton film
kemarin”
“Mmm, baiklah kalau begitu. Aku carikan dulu, kau tunggu di
sini sebentar yaa”
“Heumm”, Harry menganggguk dan tersenyum menunjukkan lesung
pipinya. “Tapi jangan lama-lama yaa.. aku kedinginan”
“Baiklaaah”, teriak Emily dan menghilang di balik pintu
kamarnya.
Harry menunggu Emily sembari mengedarkan pandangannya ke
seluruh ruangan kamar kekasihnya itu. Kedua sudut bibirnya melengkung kala ia
melihat sebuah foto berbingkai merah muda di atas meja belajar Emily. Fotonya
berdua dengan Emily sewaktu mereka berada di festival musim dingin satu bulan
yang lalu. Pria ikal itu membayangkan bagaimana bahagianya ia dan Emily karena
saat itu juga hari perayaan satu tahun hubungan mereka. Itu artinya sekarang
mereka sudah menjalin hubungan selama satu tahun lebih satu bulan.
Harry masih saja memandangi foto itu hingga ia tak sadar
Emily sudah berada di dalam kamarnya dan melambai-lambaikan tangannya di depan
wajah Harry.
“H huh? Sejak kau ada di sini sayang?”, Harry sedikit
terlonjak karena melihat kekasihnya yang tiba-tiba ada di depan wajahnya.
Emily memutar bola matanya, “Sejak kau memandangi lamat-lamat
foto kita itu”, Emily lalu menunjuk foto yang menjadi pusat perhatian Harry
tadi. “Kenapa? Kau terpesona dengan fotoku di sana? Kau baru sadar kalau
kekasihmu ini cantik huh?”
Harry mengangguk sambil menunjukan ekspresi yang terlalu
mendramatisir. “Kau benar sayang. Kau cantik sekali. Tapiii, kau semakin cantik
kalau...”, ia sengaja menggantungkan kalimatnya lantas menunjuk bibirnya dengan
ibu jari kanannya dan mengerling pada emily yang sudah bersiap memasang deat
glare-nya.
Seolah ada aura hitam yang melingkupi di sekitar tubuh
kekasihnya itu, Harry menelan salivanya dengan susah payah. Pria itu paling
takut jika Emily sudah mengeluarkan death-glare-nya karena menurutnya
kekasihnya bisa tampak lebih mengerikan dari pada Lord Voldemort. Harry
mengggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil menunjukkan cengiran di tambah
puppy eyes-nya yang ia tunjukkan sebaik mungkin berharap Emily akan luluh
dengan tatapannya itu.
Emily kembali memutar bola matanya bosan. Oh ayolah ia ingin
sekali melempar batu besar di kepala kekasihnya sekarang juga. “Sayang, jangan
marah ya...”, Harry mencoba memelas pada Emily. Harry semakin takut kala Emily
hanya menatap datar padanya dan berdiri angkuh di depan jendela sambil mengacak
pinggangnya.
Harry masih memasang puppy eyes-nya dan dengan kedua telapak
tangannya yang ia tangkupkan memohon pada Emily berharap agar gadis itu tidak
memutuskan hubungan mereka saat ini juga. Terlalu berlebihan memang jika
kekasihnya memutuskan hubungan mereka hanya karena ia bercanda
-namun-ia-sangat-berharap ingin mendapatkan ‘ciuman manis’ di tengah cuaca
dingin seperti ini.
“Pfft..”, Emily berusaha menahan tawanya, bahkan wajahnya
sudah mulai memerah sekarang.
Harry mengernyit bingung, “Sayang... Apa yang lucu?”,
tanyanya polos.
“Kau ini lucu sekali. Aku benar-benar suka melihat kau
memelas seperti itu, aku suka melihat wajahmu seperti orang menderita.. hahaa”
Wajah Harry seperti orang bodoh sekarang melihat kekasihnya
tertawa melihat bagaimana ia ketakutan setengah mati tadi. “Tsk.. kau
mentertawakanku huh? Baiklah tunggu pembalasanku”
Emily tampak kesusahan menahan tawanya. “Oh iya, coba kau
periksa ponselmu. Banyak sekali pesan dan panggilan tidak terjawab dari Louis”,
ucapnya susah payah setelah berhasil menghentikan tawanya.
Harry dengan cepat merebut ponselnya dari tangan Emily lantas
bola matanya hampir mencelos keluar ketika membaca deretan pesan yang Louis
kirimkan padanya. “Sayang, bagaimana ini?????”
“Bagaimana apanya?,” Emily sama sekali tidak mengerti maksud
kekasihnya itu.
“Aku... Aku lupa kalau kemarin ada janji dengan Louis untuk
berlibur ke kampung halamannya. Sayang, aku takut Louis marah padaku. Bagaimana
ini?,” Harry gelagapan dengan masih terus membaca semua isi pesan Louis yang
semua isinya kurang lebih sama.
“Ckk, bagaimana mungkin kekasihku ini pelupa seperti ini? Kau
ini benar-benar sahabat yang buruk. Aku yakin Louis di sana pasti mengamuk,
atau lebih parahnya ia bersiap mencincangmu saat ia pulang. Atau lebih parahnya
kau akan-“
“Hey, stop sayang. Kau menakutiku huh? Bukannya memberikanku
solusi”, Harry memukul pelan kepalanya pada jendela kamar Emily. “Louis pasti
membenciku”
Emily melipat kedua tangannya di depan dada. “Dengar Harry
sayang... kau hubungi saja dia. Aku yakin Louis pasti akan mengerti jika kau
jelaskan baik-baik padanya, dan yang pasti kau harus menemuinya untuk meminta
maaf,” terang Emily melihat kekasihnya itu yang tiba-tiba kehilangan tenaganya.
“Tapi bagaimana jika Louis tidak mau memaafkanku? Aku takut
sayang”, wajah Harry terlihat kusut, berbanding terbalik dengan saat tadi ia
datang menemui Emily.
“Dengar. Kau mengenal Louis sudah sejak kalian Sekolah Dasar
kan? Nah, kau pasti tahu bagaimana sifat Louis. Tapi menurutku ia pasti akan
memaafkanmu, aku yakin. Aku juga cukup kenal bagaimana kepribadian Louis. Jadi,
tunggu apa lagi cepat hubungi dia”
Harry mengangguk lemah. Lantas menatap kekasihnya yang
terlihat lucu dengan kaca mata besarnya. “Terima kasih ya sayang atas saranmu.
Maaf sepertinya hari ini aku akan sibuk dengan Louis jadi tidak bisa
menemanimu”
“Hmm.. tak masalah. Lebih baik kau cepat minta maaf padanya
oke”
“Pasti,” Harry kemudian menarik lengan Emily membuat gadis
itu melebarkan kedua matanya seketika karena Harry tiba-tiba saja mengecup
sekilas bibir merah mudanya.
“Heyy! Kau selalu mencari kesempatan, ckkk,” Emily memukul
pelan bahu kanan Harry.
Harry terkekeh lalu berniat beranjak meninggalkan rumah
kekasihnya itu. “Aku pulang dulu sayang... Dadah,” Harry melambaikan tangannya
sambil melangkah menjauh dengan menunjukkan senyum tampannya yang menawan.
Emily hanya membalas lambaian tangan Harry kemudian langsung menutup jendela
kamarnya setelah Harry sudah jauh.
Di perjalanan pulang, Harry terus menerus mendesah mengingat
keteledorannya yang sudah melupakan janjinya pada Louis. “Aaarggh,” erangnya
frsutasi hingga sebuah ide muncul dalam otaknya yang ‘cukup’ cerdas.
-----OD-----
Louis bisa saja pulang hari ini juga mengingat tak ada yang
ia lakukan di rumah neneknya. Oh sungguh ia benar-benar bosan sekarang. Sejak
tadi ia hanya mengganti channel tv tanpa menonton tayangannya.
“Aku bosaaaaaan,” Louis melempar sembarang remote tv di atas
sofa di samping ia duduk. Pria itu lantas bangkit berdiri menuju kamarnya,
mungkin ia lebih memilih tidur siang sampai nanti pukul enam sore. Lagi pula
tak ada siapa-siapa di rumah neneknya, hanya ia sendirian dan kucing peliharaan
neneknya yang sedang berkencan dengan kucing tetangga di teras rumah.
Louis memandang hamparan rumput yang berwarna kuning dari
luar jendelanya. Harusnya jika sesuai rencana yang sudah ditetapkan, setelah
kemarin mereka memancing, hari ini mereka akan menghabiskan hari dengan
berkemah di padang rumput itu yang tak jauh dari rumah nenek Louis, dan malam
ini mereka habiskan dengan memandangi gugusan bintang yang muncul di musim
dingin.
Tapi...
Ya sudahlah. Itu hanya rencana yang sudah tak ada artinya lagi.
Karena sahabatnya itu sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya, bahkan
membalas pesannya pun tidak sama sekali.
Ponsel Louis bergetar di dalam saku celananya, dengan
buru-buru ia merogoh benda berbentuk kotak berwarna putih itu. Alisnya bertaut
ketika membaca nama orang yang menghubunginya yang terpampang pada layar
ponselnya. Oke seandainya saja Louis tidak sayang dengan ponselnya, ia pasti
sudah langsung melemparkan ponsel itu ke luar jendela.
Orang yang baru saja ia pikirkan menghubunginya. Panjang umur
sekali orang itu.
Sepertinya Louis tak bisa mengabaikan hatinya yang seperti
malaikat, semarah apapun ia pada orang itu akhirnya Louis menggeser tombol
hijau untuk menerima panggilan dari pria yang bernama Harry.
“Hallo Louis”
“Hmmm,” gumam Louis. Dan tanpa dijelaskan pun pasti sudah
terlihat kalau Louis sedang kesal.
“Louis kau dimana? Oke, aku tau aku salah dan aku minta maaf.
Aku, aku... eumm, sungguh aku tak berniat melupakan janji kita untuk-”
“Oh jadi kau lupa?,” potong Louis cepat.
“Hey, buk bukan.. bukan seperti itu. Maksudku..
sebenarnya...”
“Aku tau kau memang tak berniat berlibur bersamaku kan? Kau
lebih memilih menghabiskan waktumu dengan kekasihmu yang tercinta itu”
“Louis dengarkan aku. Oke sekali lagi aku minta maaf. Dan aku
juga minta maaf soal panggilanmu yang tidak kujawab, bukannya aku mengabaikan
telpon darimu tapi ponselku tertinggal di rumah Emily jadi-”
“Kau memang lebih memilih kekasihmu kan”
“Tidak Louis. Aku sungguh lupa... Kemarin aku ke rumahmu, aku
merasa ada sesuatu jadi aku datang ke rumahmu. Aku menekan bell di rumahmu
ratusan kali namun tak ada siapapun, awalnya aku kesal padamu. Tapi, yah aku
tahu aku mudah sekali lupa akhir-akhir ini. Louis... aku minta maaf, ya.
Maafkan aku”
“Apa kau pikir dengan kau meminta maaf semuanya akan berubah?
Kau tahu Harry, sikap pelupamu itu membuatku muak. Aku lelah karena kau yang
sering melupakan janji kita... sudahlah kalau kau hanya mengatakan hal itu
lebih baik kau matikan telponnya-“
“Eitss.. tunggu, tunggu dulu jangan kau matikan ponselnya
oke. Iya aku tahu, kau pasti sulit sekali memaafkanku. Tapi,, aku
sungguh-sungguh minta maaf. Aku janji Lou, aku akan berusaha untuk tidak jadi
pelupa lagi. Louis... aku merindukanmu”
Louis menyunggingkan sebelah bibirnya, Harry merindukannya
katanya? Yang benar saja? “Sudahlah, aku tutup telpon-“
“Louis kumohon. Baiklah, kalau kau tidak mau aku menelponmu
setidaknya kau bukakan pintu agar aku bisa bertemu dan berbicara langsung
denganmu”
Louis terperangah, yang benar saja Harry ada di depan rumah
neneknya. “Jangan bercanda”
“Aku tidak bercanda Lou, aku serius. Jadi, bisakah kau
bukakan pintunya sekarang juga?”
Louis masih ragu. Namun sekali lagi, ia memang terlahir
dengan hati bagaikan malaikat. Akhirnya Louis memilih melangkah dengan pelan
keluar kamar dan melihat apakah Harry benar-benar datang saat ini juga.
Pintu terbuka, menampilkan wajah Harry dengan senyum lebarnya
yang menampakkan lesung pipitnya yang terlihat manis ditambah ransel besar dan
peralatan memancing di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri pria itu masih
menggenggam ponselnya yang ia tempelkan pada telingnya.
Louis menganga tak percaya. Ini benar-benar seperti dalam
sebuah drama. Baiklah, Louis akui rasa kesalnya sudah berkurang. Namun kali ini
ia tak mau memaafkan Harry dengan begitu mudahnya.
“Hai Lou,” sapa Harry dengan wajah cerianya.
Louis menatap Harry dengan ekspresi datar lalu kembali masuk
ke dalam rumah membiarkan pintu tetap terbuka, isyarat agar Harry juga masuk.
“Louis, maafkan aku. Yayaya...”, Harry membuntuti Louis yang
kini duduk di depan tv sambil mengganti-ganti channel tv, mengabaikan Harry
yang terus merengek padanya. “Louis... aku salah. Aku benar-benar minta maaf,
Lou..” Harry menyenggol-nyenggol lengan Louis karena pria itu mengacuhkannya.
“Lou.. Eumm, baiklah. Bagaimana kalau kita memancing sekarang? Kurasa cuacanya
cukup bagus... Lalu, ikan hasil tangkapan kita nanti kita bakar untuk berkemah
malam ini. Bagaimana?”
“Aku tak berniat kemana-mana. Kalau kau mau memancing,
pergilah sendiri,” jawab Louis dingin.
Harry menghela nafas, ia tahu Louis benar-benar kesal
padanya. Ia sendiri mungkin juga akan seperti itu jika ia yang berada di posisi
Louis sekarang. “Louis... kumohon jangan seperti itu, aku sungguh tak berniat
melupakannya. Aku ingin sekali memancing denganmu... dan lagi, libur musim
dingin kita juga akan segera berakhir. Kapan lagi kita berdua melakukan
kegiatan seperti itu?”
Louis menatap sekilas pada Harry yang menatapnya dengan
pandangan memohon, lalu tatapannya kembali beralih pada layar tv. “Terserah”
Jika saja saat ini ada pemukul baseball di dekat Louis, ia
akan langsung memukul kepala Harry dengan benda itu karena tiba-tiba saja Harry
memeluknya dari samping dengan sangat erat. “Hey, lepaskan aku. Apa yang kau
lakukan?,” Louis memberontak agar Harry melepaskan pelukannya.
“Tidak mau. Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau
memaafkanku”
“Ckk.. kau berlebihan sekali. Sudahlah jangan kekanak-kanakan
seperti itu. Cepat lepaskan aku”
“Tidak mau”, Harry semakin mengancangkan pelukannya. Tak
peduli jika Louis terus menerus bergerak memberontak dan ia tidak peduli jika
setelah ini Louis akan memukul kepalanya dengan spatula milik nenek Louis.
“Lepaskan aku atau..”
“Atau apa?”
“Atau... kau tidak akan kumaafkan”
Dengan sigap Harry melepaskan tangannya dari tubuh Louis.
Harry kembali tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang putih, menatap
sahabatnya yang juga menatapnya dengan ekspresi errr entahlah Harry tak tahu
ekspresi macam apa itu.
“Kapan kau datang?”
“Huh?,” Harry menatap bingung Louis. “Maksudmu datang ke
sini? Baru saja. Tadi pagi sekitar pukul delapan aku mengambil ponselku di
rumah Emily lalu setelahnya aku langsung membeli tiket bus ke sini. Ternyata
lelah sekali lima jam perjalanan ke desa nenekmu ini, kau tahu tadi di bus aku
duduk di samping seorang paman yang-“
“Stop. Berhenti sampai di situ. Aku tak tertarik mendengar
ceritamu”
“Oups, hehe.. Jadi, apa aku sudah resmi kau maafkan?”
“Belum. Aku akan memaafkanmu kalau kau mau memasakkanku makan
siang. Tak ada yang bisa kumakan selain bahan mentah di dalam kulkas. Jadi
kalau kau memasakkanku sesuatu yang bisa dimakan, maka kau akan kumaafkan”
Harry mengulum senyumnya. Jadi ekspresi yang Louis tunjukkan
itu ekspresi lapar? Hahaa.. Yang benar saja. Jadi sahabatnya ini ditinggal
sendirian di rumah ini tanpa ada makanan yang bisa ia makan?
“Hey, kenapa kau tersenyum begitu?”
“Tidak ada. Baiklah, kau janji ya memaafkanku setelah aku
memasakanmu makan siang. Dan satu lagi”
“Apa?,” Louis menatap Harry yang sedang meletakkan ransel
besarnya beserta peralatan pancingnya tak jauh dari sofa.
“Setelah makan siang, kita memancing lalu malam ini kita
berkemah, oke.” Tanpa persetujuan Louis, Harry langsung menghilang menuju
dapur.
Louis menghela nafasnya. Louis tahu, ia tak bisa membenci
sahabatnya itu. Lupakan mengenai hatinya yang sudah diciptakan seperti
malaikat, ia memang membutuhkan Harry dalam hidupnya. Harry, sahabatnya. Harry
yang playboy, Harry yang pelupa, Harry yang sering membuatnya kesal, dan Harry
yang juga membuatnya bahagia di saat yang bersamaan. Sahabat itu kata yang
begitu agung baginya.
Dan Harry, pria yang mulai memotong sosis beserta tomat di
dapur itu tak bisa meneyembunyikan senyumannya. Kakeknya benar, asalkan salah
paham itu bisa dijelaskan dengan baik-baik, maka semuanya akan baik-baik saja.
Harry merasa beruntung memiliki Louis yang berhati malaikat, Louis yang selalu
memaafkannya meskipun ia seringkali membuat sahabatnya itu kesal. Louis,
sahabatnya. Louis yang selalu memarahinya jika ia mulai menggoda gadis-gadis di
sekolah, Louis yang selalu memintanya memasak karena Louis tak suka memasak,
dan.. Louis yang cintanya baru saja ditolak oleh adik kelas mereka, hahaha.
Karena sahabat itu segalanya.
Sekali lagi, salah paham itu bisa diselesaikan dengan
kata-kata.
.
.
FIN
-----OD-----
Huuuuufft..
Hasilnya nggak sesuai sama ekspektasiku. Ini aku pertama kali
bikin awal tahun 2014, dan baru aja bisa selesai di bulan Agustus, ngeri banget
deh... awalnya tuh nggak gini imajinasi awalnya, nggak tau kenapa aku susah
banget nyelesaikan ini FF. Dan bahasanya juga bisa dilihat beda banget di
bagian awal sama di bagian terakhir.
Aku kehilangan feel FF ini gara-gara di awal-awal tahun 2014
jiwa fangirl K-Pop-ku mulai menggila, jadi aku nggak ada feel bikin FF One
Direction. Jadi ada feel lagi nulis setelah nonton MV You and I One Direction
yang ke-tiga belas kalinya setelah download tuh MV bulan kemaren.
Ini kok malah jadinya curhat gini sih.. Oke seperti biasa
makasih pake banget yang sudah meluangkan waktu buat baca nih FF Gagje. Semoga
terhibur dan dapat pelajaran kalau sahabat itu tuh berarti banget J
Pai-pai...
*Nyanyi Best Song Ever bareng Louis, Zayn, Liam, Niall and
Harry*