Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Rabu, 14 Oktober 2015

(Cerpen) ITB VS DTB - Last Chapter



ITB vs DTB (Last Chapter)
Special for Darwin’s Birthday

.
.

Author:
AISYAH (@cloudisah)

.
.

p.s: Chapter terakhir dari cerpen yang aku buat khusus untuk orang yang pernah dan mungkin akan selalu mewarnai hidupku, ITB vs DTB...  Cerpen ini masih ada sedikit kaitannya dengan chapter-chapter sebelumnya. Maaf hanya cerpen ini yang bisa aku kasih sebagai kado ulang tahun kamu, bukan berupa benda seperti lazimnya kado ulang tahun. Karena kalo aku ngasih kamu kado berupa benda, bisa aja benda itu hilang, rusak, dsb, dan tentu saja orang lain juga bisa memberikan kado itu buat kamu. Tapi kado dari aku adalah cerpen ini yang nggak akan kamu temukan di tempat lain, nggak ada yang bikin, dan nggak ada yang bisa beli cerpen ini, dan yang pasti hanya aku yang memberikan cerpen ini buat kamu... Semoga di chapter terakhir ini kamu bisa menemukan sesuatu yang baru yang belum pernah aku buat sebelumnya...
And when you read it, please use your highest imagination (like usual, english limited edition) ^^ Happy reading J

.

Warning:
Too long story (more than 12.000 words), but please read it till you find a word “FIN”...

.

©©©

.

ITB vs DTB
Welcome to... An “absurd” adventure...

.

Tiga buah kaleng terlihat berserakan di atas lantai dalam sebuah kamar yang cukup temaram. Bukan karena aliran listrik yang tengah padam, melainkan sang empunya kamar tak berniat menerangi ruangan pribadinya itu dengan cahaya putih yang cukup menyilaukan matanya. Oke, memang tak benar-benar silau—seharusnya. Tapi bagi pemilik kamar itu, cahaya lampu terlalu menyilaukannya sehingga ia lebih memilih duduk di kursi belajar dengan penerangan menggunakan lampu yang ada di atas meja belajarnya.

Satu kaleng lagi yang isinya baru saja ia tenggak habis beberapa sekon yang lalu lantas kembali ia lempar asal bersama tiga kaleng lainnya yang telah lebih dulu tergeletak di atas lantai dengan kondisi mengenaskan. Tak ada dosa bagi keempat kaleng air soda itu melainkan karena sang tersangka hanya melampiaskan perasaannya pada minuman bersoda.

Tidak elit memang. Jika manusia-manusia penganut liberalisme-kapitalisme-pluralisme-hedonisme dan paham isme-isme yang lain, mereka pasti akan menggunakan minuman beralkohol untuk melampiaskan perasaan mereka. Namun sang pemilik kamar ini masih sadar diri untuk tidak menyentuh minuman keras yang akan merusak otak cerdasnya.

Siapa yang patut disalahkan untuk keadaannya yang seperti sekarang ini?

Apakah gadis yang bernama Isah itu? Oh tidak. Dirinya masih memiliki sedikit nurani untuk tak menyalahkan gadis itu. Yah, benar. Hanya sedikit. Setelah gadis itu mencabik-cabik perasaannya yang mulai terlampau dalam, akhirnya ia lebih memilih mengutuk gadis itu dalam diam meskipun ia sendiri tahu tak ada alasan baginya untuk membenci gadis itu.

Pukul satu lebih dua puluh empat menit.

Suara lolongan anjing hutan memenuhi indra pendengarannya. Cukup membuat bulu roma pria itu meremang. Dengan tubuh yang sulit digerakkan dan matanya yang mulai berat, ia membawa tubuhnya berjalan perlahan menuju tempat tidur.

“Aku benci Isah... Aku benci Isah...”

Pria itu tak tahu sejak kapan ia mulai melafalkan kalimat tersebut berulang-ulang. Yang ia tahu, rasa benci itu mulai tumbuh senja tadi saat gadis itu pergi meninggalkannya sendirian di bawah guyuran gerimis setelah dengan jelas ia mendengar kalimat dari gadis itu yang membuat jantungnya serasa teriris. Pria itu benci kalimat perpisahan. Dan gadis itu dengan gampangnya mengatakan kalimat itu.

Hingga matanya mulai memberat seiring dengan kelopak matanya yang mencoba untuk menutup. Berharap esok hari ia akan terbangun dan kejadian yang baru saja ia alami hanyalah mimpi buruk sesaat. Mimpi buruk yang dengan mudah akan ia hapus nantinya.

©©©

Rasanya belum sempat pria itu memejamkan matanya, bunyi deritan pintu kamar menyapa indra pendengarannya membuatnya terlonjak kaget. Siapa orang gila yang masuk ke kamarnya di tengah malam seperti ini? Mengabaikan rasa kantuk luar biasa yang mendera, lamat-lamat ia menangkap siluet seorang gadis berdiri tepat di samping tempat tidurnya.

Kedua netranya membulat seraya membawa tubuhnya untuk bangkit duduk lantas mengucek kedua matanya untuk meyakinkan penglihatannya. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri melihat penampilan gadis itu yang errrr... sangat aneh.

“Kenapa kamu malah tidur? Professor bilang kan kita harus mengerjakan tugasnya bersama. Aku tidak mau dapat C lagi gara-gara kamu,” gadis itu cemberut lantas duduk persis di sisi tempat tidur.

Pria itu—Darwin—menatap heran gadis itu dari kepala hingga kaki. Membuat yang ditatap menjadi risih dan melototkan matanya. Dan apa yang gadis itu katakan tadi? Tidur? Enak saja dia, padahal Darwin belum sempat memejamkan matanya sama sekali. Huh.

“Kamu kenapa sih? Cepat ganti baju. Nanti kawanan siput itu keburu kembali ke sarang mereka.”

Dengan pakaian serba biru dari kepala hingga kaki, dan buku tebal bersampul coklat yang Darwin tak tahu buku apa itu, serta sebuah kaca mata yang menghiasi wajah gadis di hadapannya ini, membuat Darwin meyakinkan dirinya kalau saat ini ia tengah tertidur dan sedang bermimpi. Darwin yakin kalau senja tadi ia baru saja berpisah dengan Isah, lalu tadi ia minum empat kaleng air soda, lalu ia juga merasa baru saja akan terlelap tidur.

Ditambah lagi... Kawanan siput? Memangnya ada urusan apa dirinya dengan kawanan siput itu?

Darwin terkekeh pelan dan menatap seisi kamarnya. Hebat sekali mimpinya kali ini. Di set sesuai dengan keadaan kamarnya yang sebenarnya. Hanya saja kaleng-kaleng yang ia minum tadi sudah tidak ada lagi.

“Awwwwh...” Darwin meringis ketika satu cubitan keras dari gadis itu mendarat di lengan kirinya. Membuatnya kembali membulatkan kedua matanya karena ia benar-benar merasakan sakit luar biasa. Hey, jika ia sedang bermimpi tentu tidak akan merasakan sakit bukan?

Mencoba kembali mencubit lengannya sendiri, Darwin hendak berteriak saat itu juga jika saja ia lupa harga dirinya sebagai seorang lelaki. Sebenarnya ini mimpi atau bukan?

“Isah, ini mimpi kan? Ini konyol. Maksudku, bukannya sore tadi kamu bilang tidak mau bertemu aku lagi? Lantas, kamu pergi meninggalkan aku sendirian disaat masih gerimis.”

Yang diajak berbicara memutar kedua bola matanya jengah. “Ayolah Darwin, sampai kapan kamu terus membahas hal itu? Kejadian itu sudah seminggu yang lalu. Kamu masih marah waktu itu aku meningggalkan kamu? Ckk, kekanak-kanakan sekali.”

Oh bunuh saja Darwin sekarang. Sudah seminggu yang lalu? Bukankah jelas-jelas kejadian itu baru saja tadi sore?

“Cepat ganti bajumu. Aku tunggu kamu di luar,” gadis itu beranjak pergi meninggalkan Darwin sendirian di kamarnya dalam kebingungan.

Darwin melirik jam dinding. Bukankah seharusnya ini masih malam? Dan hampir saja bola matanya hendak mecuat dari tempatnya ketika melihat jarum jam sudah menunjuk angka tujuh.

“Sepertinya aku mulai tidak waras,” ucapnya pada diri sendiri. Namun detik berikutnya tetap saja ia menurut perkataan Isah untuk segera mengganti pakaiannya.

©©©

Pria itu tidak tahu sejak kapan ia memiliki baju serba biru di dalam lemari pakaiannya. Bahkan sampai pakaian dalampun semuanya berwarna biru. Sejujurnya Darwin adalah pria penyuka warna merah. Kenapa tidak warna merah saja?

Ia terus membatin seraya membawa tungkainya menuju teras rumah di mana gadis bernama Isah itu tengah duduk dengan menselonjorkan kedua kakinya, dan buku tebal bersampul coklat itu tengah terbuka di atas pangkuannya.

“Kita mau ke mana sih?”

Yah, setidaknya pertanyaan itu masih terdengar normal ketimbang jika Darwin masih mempertanyakan di dunia mana mereka sekarang. Darwin melirik isi buku di pangkuan Isah. Kertas buku itu terlihat kusam, dan Darwin merasa ia pernah melihat buku seperti itu dalam film favoritnya, Harry Potter.

Oh, bisa saja sekarang mereka di dunia sihir. Bahkan Darwin mulai membayangkan ia akan naik sapu terbang kemanapun ia akan pergi. Sepertinya akan sangat menyenangkan sekali.

“Kamu melamun?” suara Isah seketika menghancurkan imajinasinya akan sapu terbang itu.

“Eeh, ti, tidak kok. Jadi, kita mau kemana?”

Isah menutup bukunya seraya bangkit berdiri. Gadis itu menatap Darwin yang notabenenya bertubuh lebih tinggi di hadapannya. “Tidak usah pura-pura tidak ingat. Kamu senang kan jika akau dapat nilai C lagi untuk PR Ilmu Bumi? Huh, itu sebabnya kamu malas-malasan mengerjakan tugas kelompok dari Professor,” gadis itu memeluk erat bukunya sembari mencibir menatap Darwin.

Darwin yang sama sekali tak mengerti arah pembicaraan gadis di hadapannya itu hanya mengangkat kedua bahunya. “Yah, terserah apa katamu. Jadi sekarang kita akan mengerjakan PR Ilmu... Ilmu apa tadi kamu bilang? Ilmu Bumi?”

Tanpa menjawab pertanyaan Darwin barusan, Isah berjalan menuju pekarangan di susul oleh Darwin yang mengekor di belakangnya. “Ayo kita ke hutan pinus tempat kawanan siput-siput yang akan kita teliti. Sebelum matahari semakin meninggi,” Isah mengeluarkan sebuah bola seperti kristal dari dalam sakunya. Bola kristal itu seukuran buah langsat menurut pandangan Darwin.

“Bagaimana caranya kita ke sana? Apa naik sapu terbang?”

Isah menatap heran Darwin yang baru saja menanyakan kalimat itu. Hal itu membuat Darwin hanya balas menatapnya dengan tampang kuriositas yang tergambar jelas di wajahnya.

“Kamu ada-ada saja. Sapu terbang itu tidak ada,” dan Isah mengalihkan atensinya dari Darwin. Gadis itu mulai melemparkan bola kristal seukuran langsat itu ke atas tanah dan seketika sebuah portal yang cukup besar terpampang di hadapan mereka. Membuat kedua belah bibir Darwin terbuka kelewat lebar. “Jangan melamun lagi, ayo cepat,” Isah menarik lengan Darwin memasuki portal itu dan seketika itu juga tubuh Darwin serasa melayang.

Belum sempat keterkejutan Darwin akan bola kristal yang bisa membuat portal besar, sekarang ia kembali dikejutkan dengan suasana hutan pinus yang rindang. Jadi portal tadi membawa dirinya dan Isah menuju hutan pinus ini. Banyak kawanan kelinci di sekitar mereka. Serta, hey tunggu dulu. Apa Darwin tidak salah lihat? Bukankah itu siput? Tapi kenapa siput itu memiliki sayap?

“Nah, itu dia siput-siputnya. Ayo Win kita hampiri mereka,” Isah kembali menarik lengan Darwin untuk berjalan mengikutinya menuju kawanan siput bersayap yang tengah berbaris berjalan keluar dari sarangnya. Apa? Siput punya sarang?

“Ini benar-benar siput? Kenapa mereka memiliki sayap?” tunjuk Darwin ketika ia dan Isah berjongkok di samping barisan para siput itu.

“Kamu kenapa sih Win kok jadi aneh begitu? Bukankah itu memang yang menjadi PR kita kali ini? Meneliti siput-siput yang mulai berevolusi dengan tumbuhnya sayap di samping cangkang mereka. Huh...”

Darwin hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan semua keanehan ini. Ia akhirnya hanya bisa pasrah mengikuti kemana jalan cerita di dunia tak masuk akal ini akan membawanya.

“Hey lihat anak siput itu Win, dia mulai mengepakkan sayapnya. Imut sekali,” ucap Isah heboh ketika mereka melihat dua ekor anak siput mengepakkan sayap mereka bersiap untuk terbang, namun sepertinya sayap mereka masih terlalu lemah untuk bisa terbang.

“Iya, imut seperti kamu.” Maksud hati ingin membuat suasana humoris, namun niat itu harus ditelan bulat-bulat ketika Isah menatapnya dengan tatapan horror. Darwin akhirnya hanya menunjukkan cengiran lebar berharap gadis itu berhenti menatapnya dengan tatapan mengerikan seperti itu. “Oh iya Sah,” panggil Darwin ketika mereka kembali mengamati siput-siput itu.

“Hmm?”

“Aku tidak bawa buku catatan. Jadi bagaimana aku bisa mencatat apa yang kuteliti dari siput-siput ini?”

Isah mendengus kelewat nyaring membuat kedua alis Darwin bertaut. “Kamu semalam makan apa sih? Bukankah kita hanya perlu mengingat apa yang kita lihat? Nanti juga kita akan menyampaikan hasil penelitian kita ini secara lisan di hadapan professor. Ckk, sepertinya otakmu perlu penyegaran.”

Darwin kembali menggaruk tengkuknya. Ini semakin membuatnya bingung. “Memangnya kapan tugas ini harus selesai?”

Isah bangkit berdiri dan Darwin turut mengikuti gadis itu. “Lebih baik kita menelitinya besok saja. Kurasa hari ini kamu memang perlu jalan-jalan untuk menyegarkan otakmu. Ayo,” Isah mengeluarkan sebuah kristal seperti tadi. Dan ia kembali melempar kristal itu ke atas tanah, hingga sebuah portal kembali terbentuk di hadapan mereka.

Darwin menurut saja dan mengikuti kemana Isah membawanya. Dan Darwin rasa ia mulai terbiasa dengan hal-hal aneh yang terjadi dengannya sekarang.

©©©

Jalanan itu cukup ramai dengan rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan, serta pepohonan rindang yang entah kenapa menurut Darwin baru kali ini ia melihat pepohonan itu. Dedaunannya memiliki ukuran yang sama dalam satu pohon. Dan lagi, setiap pohon memiliki warna yang berbeda-beda, dan yang paling menarik atensinya adalah pohon yang daunnya berwarna hitam seluruhnya yang berada tepat di samping pohon berwarna peach. Sejujurnya Darwin ingin sekali menanyakan perihal keanehan pada warna dedaunan itu, namun daripada ia disangka semakin aneh akhirnya ia lebih memilih bungkam dengan tanda tanya besar di benaknya.

“Kenapa orang-orang di sini semuanya mengenakan baju biru? Memangnya tidak ada warna lain?”

Kalimat tanya Darwin barusan yang sebenarnya ia tujukan untuk dirinya sendiri itu tertangkap dengan jelas oleh indra pendengaran Isah yang berjalan di sisinya. Isah menghentikan langkahnya membuat Darwin turut menghentikan langkahnya pula. Perlahan gadis itu menyentuh kening Darwin dengan tangan kirinya, dan setelahnya gadis itu berdecak pelan.

“Kamu sejak bangun tidur tadi jadi aneh. Memangnya tadi malam kamu mimpi apa sih? Bukankah kita para Elf memang berpakaian seperti ini sejak nenek moyang kita dulu? Di negeri Blue Saphire ini setiap Elf wajib berpakaian biru, itu adalah warna suci negara kita. Jika kita melanggarnya, maka keluarga kita akan kena kutukan. Ckk, aku menjelaskan ini seperti sedang berbicara dengan anak Tingkat Dasar saja,” Isah kini mengalihkan fokusnya dari Darwin dan menatap orang-orang—yang disebut dengan Elf—berkerumunan di depan sebuah tempat yang terlihat seperti kedai.

Darwin hanya ber-oh ria. Dirinya mulai paham sekarang meskipun ia masih tidak mengerti kenapa ia bisa melintasi batas teritorial negara Indonesia. Bahkan seingatnya saat SD dalam pelajaran IPS tak pernah ada satupun negara dengan nama Blue Saphire.

“Coba kamu lihat kedai milik Paman Jong itu,” tunjuk Isah pada sebuah kedai yang ramai oleh para Elf.

Darwin mengikuti arah telunjuk Isah. “Memangnya kenapa?”

“Ckk, Paman Jong itu selalu menggunakan sihir rahasia keluarganya dalam menyiapkan hidangan di kedainya. Dan kudengar sihir itu adalah sihir curian dari seorang petapa yang dihukum mati tahun lalu,” terang Isah yang membuat bulu kuduk Darwin seketika meremang. Pria itu cukup ngeri mendengar kalimat ‘dihukum mati’.

Bisa saja Darwin bertanya alasan petapa itu dihukum mati. Namun ia lebih memilih berkemam, toh ia tak punya urusan dengan petapa yang sudah almarhum itu.

“Sekarang lebih baik kita ke Danau Sone yuk, kurasa menghabiskan waktu di situ bisa mengembalikan sikap aneh kamu hari ini,” ajak Isah.

Darwin hanya tersenyum dan menjawabnya dengan anggukan pelan. ‘Danau apalagi itu?’ Darwin membatin.

Kali ini Isah tidak menggunakan bola kristal lagi untuk menuju lokasi yang akan ia tuju, melainkan ia membawa Darwin menuju sebuah pohon berdiameter besar di mana di tengah batang itu ada sebuah pintu berpelitur coklat dengan ukiran seperti naga di bagian tepinya.

“Ayo Win,” Isah lebih dulu memasuki pintu itu.

Dengan kuriositas yang terlampau tinggi, Darwin melangkahkan kakinya dengan ragu memasuki pintu itu. Dagu Darwin terjatuh, membuatnya menganga kelewat lebar ketika yang didapatinya pertama kali setelah memasuki pintu itu adalah sebuah danau jernih, persis danau yang ia dan Isah kunjungi terkahir kali.

“Cantik,” itulah kata pertama yang Darwin ucapkan ketika ia berdiri bersisian dengan Isah tepat di tepi danau.

“Heum, memang cantik. Bukankah kamu memang suka ke tempat ini? Lagipula tidak banyak Elf yang tahu akan keberadaan tempat ini. Mereka bahkan menganggap pintu tadi membawa ke tempat menyeramkan.”

Darwin kembali tersenyum. Namun beberapa detik kemudian senyum itu memudar ketika memorinya mengingat kejadian buruk yang ia alami dengan Isah di danau ini. Di danau ini ia mengabaikan Isah, dan di danau ini ia pernah kehilangan Isah dan berakhir dengan pertengkaran mereka yang...mengerikan.

Darwin menggeleng pelan mengingat kejadian itu. Ia benar-benar tak ingin lagi mengingat hal itu, dan ia harap jika dunia tempat ia berada sekarang nyata sehingga ia tak akan memusingkan dirinya lagi dengan Isah di dunia satunya.

Darwin mengikuti Isah yang lebih dulu duduk di atas dandelion. Rasanya benar-benar tenang di tempat ini. Jika memang ini mimpi, rasanya ia sungguh tak ingin terbangun.

“Aku ngantuk... Hoaaahhm.”

Darwin melirik Isah yang tengah berbaring di sampingnya, dan buku bersampul coklat yang sejak tadi dibawa gadis itu ia jadikan sebagai bantal. Entah kenapa Darwin juga merasa mulai mengantuk, sehingga ia turut membaringkan tubuhnya di samping Isah.

“Isah,” panggil Darwin dan posisi pria itu sekarang sudah menyamping, memudahkannya menatap Isah yang saat ini tengah memejamkan matanya.

“Hmm?” gadis itu terlalu enggan sepertinya untuk sekedar membuka matanya.

“Isah...” panggil Darwin lagi.

“Apa Win?” ucap gadis itu lagi masih dengan memejamkan matanya.

“Buka mata kamu.”

“Aku ngantuk.”

“Sebentar saja. Tatap aku,” kali ini nada suara Darwin merendah.

Dengan berat Isah membuka matanya. Dan gadis itu kini juga memilih berbaring menyamping, hingga pandangannya dan Darwin saling bersirobok. “Ada apa?”

Darwin tersenyum tipis. Tangannya terulur menyentuh puncak kepala Isah, dan mengusapnya pelan. Membuat kening Isah mengkerut. “Jangan pernah berniat menjauh dari aku lagi ya. Aku tahu, kamu hanya ingin hubungan kita sebagai sahabat. Jadi kumohon, jangan lagi mengatakan selamat tinggal padaku,” Darwin masih mengelus puncak kepala gadis itu dengan lembut.

Isah balas tersenyum. Gadis itu lebih memilih kembali memejamkan matanya membiarkan Darwin terus mengelus kepalanya. “Hmm, aku tidak akan melakukannya lagi.”

Puluhan sekon berikutnya Darwin merasa matanya sangat berat. Hingga akhirnya ia dan Isah tertidur di tepi danau dengan kicauan burung gereja sebagai lagu pengantar tidur untuk mereka.

©©©

Kali ini Darwin merasa matanya lebih berat dari sebelumnya. Mengabaikan rasa kantuk yang mendera, ia berusaha membuka kedua kelopak matanya. Pria itu lantas terkekeh pelan ketika mendapati dirinya terbaring di atas tempat tidurnya tanpa mengenakan pakaian  serba biru yang tadi rasanya ia pakai dalam mimpinya—mungkin. Dan suara lolongan anjing masih terdengar, meyakinkan pria itu kalau tadi  ia memang tertidur mungkin sekitar beberapa menit mengingat saat ini hari masih gelap.

Perlahan ia bangkit dan mendudukkan dirinya di atas tempat tidur seraya mengamati keadaan di seluruh kamarnya. Tak ada yang berubah. Dan yang lebih menarik atensi Darwin adalah kaleng soda yang berserakan sudah kembali di tempat semula, tergelatak di atas lantai. Darwin menghitung jumlah kaleng itu, memastikan jumlahnya masih sama seperti sebelumnya.

“Satu, dua, tig—”

BOOOM...

Suara ledakan yang memekakkan telinga cukup membuat jantungnya bertalu dengan cepat. Pria itu berniat bangkit dari tempat tidur menuju jendela hendak melihat apa yang baru saja terjadi, namun belum sempat kakinya menyentuh lantai pintu kamarnya sudah dibuka dengan kasar oleh... Eh bukankah itu—

“Darwin kenapa kamu malah tidur??! Ayo cepat kita harus bergegas menuju perbatasan sebelum matahari terbit!”

—Isah lagi? Dan, kenapa gadis itu berpakaian serba hitam??

“Ap, apa? Apa maksud kamu?”

Tanpa menjawab pertanyaan pria itu, Isah langsung menarik lengan Darwin keluar kamar. Kantuk yang mendera kedua netra Darwin seketika lenyap ketika retinanya menangkap keadaan rumahnya yang kacau balau.

“T, tunggu... Sebenarnya ada apa ini??” Darwin berusaha melepaskan tangan Isah yang menggenggam erat lengan kanannya.

Isah dengan nafas memburu berbalik menghadap Darwin. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. “Bodoh. Seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu malah tidur?”

Darwin hanya menatap gadis di hadapannya itu, menuntut penjelasan lebih lanjut.

“Keluargamu sudah diculik. Kita harus segera ke perbatasan sebelum matahari merangkak naik karena jip yang membawa keluargamu tak boleh keluar jika matahari sudah menyingsing di Timur. Kita harus segera membebaskan mereka, lalu setelah itu kita langsung ikut Captain Sam menuju telaga Boice. Jangan bilang kau lupa?” Isah menatap Darwin dengan penuh selidik.

“Ap, apa? Sebenarnya apa yang terjadi?”

Isah memutar kedua bola matanya jengah. “Sudahlah, aku tahu kamu cuma pura-pura saja. Ayo cepat.” Tanpa menunggu Darwin melanjutkan ucapannya, gadis itu lebih dulu meninggalkan Darwin keluar rumah.

Darwin menatap seisi rumahnya yang benar-benar kacau. Persis seperti kapal Titanic yang terhantam bongkahan es besar. Pria itu mencoba mencubit pipinya sendiri. “Awwwh..” ia meringis ketika merasakan perih akibat cubitannya sendiri. Pria itu kembali menggeleng, meyakinkan dirinya kalau ini hanya sekedar ilusi.

“Hey bodoh! Kenapa kamu malah diam saja di sana? Kita tidak punya banyak waktu...” Isah kembali masuk menghampiri Darwin dan menyerahkan sebuah rompi anti peluru untuk dikenakan Darwin. “Cepat pakai itu, kutunggu di luar.”

Darwin yang entah kenapa merasa de javu segera memakai rompi itu meskipun ia sendiri sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi. Lantas setelah memakai rompi itu di tubuhnya, dengan sedikit berlari ia menghampiri Isah yang berdiri di samping pagar rumahnya.

©©©

“Ambil ini,” Isah menyerahkan sebuah revolver pada Darwin yang disambut pria itu dengan tangan gemetar.

“Apa ini?” tanya Darwin panik. Seumur hidupnya baru kali ini memegang sebuah pistol.

“Itu revolver, bodoh. Kenapa kamu jadi tampak bodoh seperti ini sih? Sudahlah, ayo cepat,” gadis itu lebih dulu berlari meninggalkan Darwin.

Darwin bergeming. “Ckk, seenaknya saja dia dari tadi mengataiku bodoh,” ucapnya seraya menimang-nimang revolver di tangannya.

BOOOM....

Sekali lagi bunyi ledakan yang memekakkan telinga membuat jantungnya hampir mencelos dari tempatnya. Darwin menajamkan penglihatannya, terlihat kobaran api di banyak tempat. Kedua bola matanya membulat sempurnya ketika melihat kobaran api itu semakin besar. Belum lagi suara sirine yang entah sejak kapan—mungkin sejak tadi ia tidak menyadarinya—memenuhi indra pendengarannya.

Perhatian untuk seluruh Black Sniper agar segera berkumpul di pos Barat. Kita akan segera menuju perbatasan. Sekali lagi perhatian kepada seluruh Black Sniper agar segera berkumpul di pos Barat karena kita akan segera menuju perbatasan.”

Kedua alis Darwin bertaut. Namun tak lama kedua matanya kembali melebar mengingat ia ditinggal sendirian di depan rumahnya. Pria itu segera bergegas mencari Isah yang lebih dulu pergi meninggalkannya tanpa memberikan sedikitpun penjelasan akan segala kejadian yang tengah terjadi saat ini. Darwin rasa ia lebih suka berada di dunia Elf sehingga ia tak perlu mendengar suara ledakan ataupun memegang pistol yang baru kali ini ia pegang.

Darwin kesana kemari berlari mencari sosok gadis yang tadi meninggalkannya. Di sana-sini dipenuhi dengan orang-orang yang terluka, juga orang-orang bersenjata di tangan mereka. Serta beberapa helikopter yang baling-balingnya masih berputar membuat Darwin kesulitan mencari sosok itu di tengah hiruk pikuk yang ada. Belum lagi ambulance yang berlalu lalang dan puluhan jip yang melaju cepat membuatnya serasa ingin muntah. Suasana ini sungguh-sungguh memusingkannya.

Langkahnya terhenti ketika mengingat suara yang sempat ia dengar tadi. Black Sniper? Dan, Pos Barat?

Tanpa sadar Darwin melirik pakaian yang ia kenakan. Eh? Sejak kapan Darwin jadi berpakaian serba hitam seperti ini?

Dengan meyakinkan dirinya kalau ia juga bagian dari Black Sniper, pria itu dengan cepat membawa tungkainya menuju Barat. Ia yakin jika Isah juga ada di sana mengingat tadi gadis itu juga berpakaian serba hitam.

Seraya mempertajam penglihatannya, Darwin mengamati orang-orang yang berpakaian serba hitam sepertinya yang tengah berbaris di hadapannya ketika tungkainya telah mencapai Pos Barat. Seorang gadis yang berada di ujung barisan ke-dua menarik perhatiannya. Ia yakin itu gadis yang tadi ia cari. Dengan kembali berlari Darwin hendak menghampiri gadis itu namun belum sempat langkahnya sampai, sebuah tangan lebih dulu mencengkram lengan kirinya.

“Tsk, bodoh. Kamu kemana saja? Kupikir kamu sudah diculik sebelum sampai ke sini,” ketus suara itu.

Mulut Darwin menganga lebar ketika ia menyadari bahwa yang tengah menarik lengannya dan berbicara dengannya ini adalah Isah. Lalu, siapa gadis yang ia lihat tadi?

Isah mengikuti arah pandang Darwin. Gadis itu menggeleng pelan seraya berdecak nyaring. “Bodoh. Jadi kamu pikir gadis yang di ujung itu aku?”

Darwin hanya bisa menunjukkan cengirannya. “Di sini gelap, dan semua orang di sini memakai pakaian hitam jadi aku sulit mengenalimu,” jawabnya jujur.

“Ya sudahlah apa katamu. Kita harus bersiap menuju perbatasan. Jangan lupa isi revolver-mu lebih dulu, dan untuk berjaga-jaga aku sudah menyiapkan amunisi cadangan di dalam ranselmu jika nanti tiba-tiba kau kehabisan amunisi,” Isah menyerahkan sebuah ransel hitam untuk Darwin.

Darwin hanya menerima ransel itu dan menuruti apa yang Isah katakan. Entah kenapa Darwin merasa sangat ahli dalam mengisi bubuk mesiu di dalam revolvernya, sebab tangannya begitu cekatan melakukannya.

“Ayo kita berangkat—”

“Tunggu...” kali ini Darwin menarik lengan Isah membuat langkah gadis itu yang bersiap menuju perbatasan terhenti. Isah hanya menatap Darwin meminta agar pria itu segera mengatakan apa yang ingin dikatakannya. “Berhenti memanggilku bodoh, karena aku tidak bodoh,” ucap Darwin dengan penekanan di akhir kalimatnya.

Isah segera menepis tangan pria itu. “Ckk, baiklah. Aku tidak akan melakukannya lagi,” Isah segera berjalan cepat bersama Black Sniper lainnya.

Darwin ingin berteriak rasanya karena gadis itu kembali lebih dulu berjalan meninggalkannya sendirian. “Hey, Isah tunggu! Kenapa kamu suka sekali sih meninggalkanku??!” Darwin mempercepat langkahnya untuk menyusul Isah yang sudah berada di barisan depan dengan beberapa Black Sniper pria. “Tch, menyebalkan.”

©©©

Jika Darwin pikir mereka—para Black Sniper—menaiki jip untuk menuju perbatasan, ternyata dugaannya itu salah besar. Yang terjadi sekarang adalah ia harus terus memaki dan memukuli nyamuk-nyamuk tak berdosa yang mencari peruntungan dengan menghisap darahnya. Saat ini para Black Sniper tengah mengendap-endap melewati semak belukar di dalam hutan yang disebut dengan hutan Azzuro—tadi Darwin sempat mendengar nama hutan ini dari Black Sniper yang berjalan di belakangnya—agar kehadiran mereka tak disadari oleh kelompok Rebuhos. Dan Darwin sama sekali tak menyangka jika ia bisa berjalan super cepat seperti yang ia lakukan sekarang, mungkin kecepatan langkah mereka hampir bisa menyamai laju jip yang membawa keluarga Darwin menuju perbatasan.

Sedikit penjelasan, Rebuhos adalah kelompok musuh yang sudah empat bulan terkahir ini melakukan invasi di daerah tempat tinggal Darwin dan kelompok itu menculik warga sipil untuk dijadikan bahan percobaan dari serum yang tengah mereka kembangkan. Serum itu berfungsi mengubah struktur jaringan di dalam tubuh manusia untuk bertransformasi menjadi mutan.


Jangan tanya kenapa Darwin bisa mengetahui hal itu karena selama perjalanan mengendap-ngendap menuju perbatasan ia memaksa seorang Black Sniper yang bertubuh tambun di depannya untuk menceritakan segala hal yang terjadi. Dan Darwin rasa ia benar-benar harus menghabisi seluruh kelompok itu karena seluruh keluarganya baru saja diculik. Dan ia tidak ingin jika seluruh keluarganya berubah menjadi mutan.

Hari masih gelap. Dan hal ini tentu saja membuat Darwin yang tak terbiasa melihat di tengah kegelapan kesusahan berjalan. Beberapa kali ini tersandung ranting-ranting pohon. Bahkan ia rasa tubuhnya serasa semakin gatal karena tidak hanya nyamuk yang menggigit kulitnya namun serangga-serangga kecil nakal yang masuk ke dalam pakaiannya. Dan yang lebih menyebalkan adalah, di saat seperti ini tak ada satupun orang yang dikenal Darwin. Oh jangan lupakan gadis yang bernama Isah. Tapi, salahkan gadis itu yang dengan seenak jidatnya meninggalkan Darwin sendirian bersama Black Sniper asing yang tak ia kenal sama sekali.

SELURUH BLACK SNIPER AGAR SEGERA MEMBENTUK FORMASI. SEKALI LAGI, SELURUH BLACK SNIPER SEGERA MEMBENTUK FORMASI.”

Itu suara pria yang Darwin dengar tadi saat ia di depan rumah. Mungkin itu suara milik Captain  mereka, karena Darwin belum melihat batang hidung pria pemilik suara itu sama sekali.

Oke, formasi apa lagi itu? Darwin akhirnya hanya mengikuti Black Sniper lainnya dan membentuk sebuah lingkaran. Dalam setiap formasi lingkaran terdapat sepuluh orang Black Sniper. Lamat-lamat dari dalam hutan, Darwin melihat cahaya dari jarak sekitar seratus meter dari tempatnya sekarang. Jika Darwin tak salah lihat, cahaya itu berasal dari mobil jip yang berhenti di sebuah jalan kecil. Darwin rasa mereka sudah sampai di perbatasan.

BOOOM...

Sekali lagi terdengar bunyi ledakan, dan kali ini Darwin tidak terkejut sama sekali karena sepertinya ia mulai terbiasa dengan suara-suara itu. Namun akhirnya jantungnya harus kembali berpacu ketika indra pendengarannya dipenuhi suara tembakan di sana-sini.

“Berpencar!” perintah salah satu Black Sniper dalam lingkaran mereka, dan hal itu tentu saja membuat Darwin berlari secepat yang ia bisa menghampiri cahaya yang ia lihat tadi.

Darwin hendak berteriak rasanya ketika melihat keluarganya turun dari sebuah jip merah dengan tangan mereka yang diikat dengan borgol serta mulut mereka disekap dengan kain, entahlah Darwin tak yakin apakah itu kain atau lakban. Darwin tak tahu pasti karena cahaya matahari baru saja akan muncul di ufuk timur, sehingga penglihatannya masih kurang jelas. Seorang pria berbadan tinggi besar sedang menggiring keluarganya untuk segera berlari dan melewati perbatasan. Sepertinya pria itu adalah salah satu dari kelompok Rebuhos yang menculik warga dari daerah Darwin.

Terjadi baku tembak dari tim Black Sniper dengan Rebuhos lainnya yang mencoba menahan pergerakan Black Sniper untuk menyelamatkan warga yang mereka culik. Sepertinya pria bertubuh tinggi besar itu memanfaatkan keadaan Black Sniper  yang lengah untuk membawa keluarga Darwin yang diculik secara diam-diam.

Dengan perlahan agar tak menimbulkan suara, Darwin berjalan dengan mengendap-ngendap seraya mengacungkan revolver di tangannya bersiap menembak mati sang penculik. Namun belum sempat Darwin menarik pelatuk revolvernya, bola matanya hampir mencuat ketika pria itu tertembak di kepalanya oleh seorang Black Sniper lain.

Darwin menatap Black Sniper yang baru saja menembak si penculik. Dan bola matanya kembali hendak mencuat saat Black Sniper itu tersenyum remeh padanya. Dengan berlari-lari kecil Darwin menghampiri orang itu yang tengah melepaskan borgol di tangan keluarga Darwin.

“Isah,” sapanya dengan nafas memburu.

“Bukan saatnya basa-basi. Cepat bawa keluargamu kembali,” Isah menepuk pundak Darwin seraya berjalan menjauh meninggalkan Darwin dan keluarganya.

Darwin mengamati punggung Isah yang mulai menjauh dan sepertinya gadis itu kembali beradu tembak dengan Rebuhos yang masih bertahan. Darwin hampir tersentak kaget ketika adik perempuannya menggenggam lengan kanannya.

“Kak, aku takut,” ucap gadis itu lemah.

Darwin mengelus puncak kepala adik satu-satunya itu. “Tidak apa-apa, ada kakak. Kita akan segera kembali ke rumah,” ucapnya seraya tersenyum menenangkan.

Seorang pria yang sepertinya Captain dari Black Sniper berlari menghampiri mereka. “Cepat ikuti saya. Kita harus segera kembali karena pihak Rebuhos sudah meminta anggota tambahan dan mungkin anggota itu akan segera ke sini dan menghabisi kita semua,” ucap pria itu pada orang tua Darwin. Setelah itu pria itu beralih menatap Darwin, “Dan kamu, cepat bantu Black Sniper lainnya. Kita kekurangan tim, nanti akan datang tim bantuan sekitar sepuluh menit lagi. Jadi tolong bertahanlah sepuluh menit lagi di perbatasan ini,” titah pria itu.

Darwin hanya bisa mengangguk. Sebelum pergi bersama sang Captain, Ibu Darwin memeluk putranya itu.

“Hati-hati sayang, jaga diri dan kamu harus selamat,” Ibunya mencium kening putranya itu.

“Heum, aku akan berhati-hati, Bu,” Darwin tersenyum meyakinkan ibunya.

Setelah seluruh keluarganya memasuki jip hitam yang dikemudikan Captain-nya dan setelah jip itu melaju meninggalkan daerah perbatasan untuk kembali, barulah Darwin bersiap bergabung dengan Black Sniper lain.

©©©

Hampir saja kakinya tertembak jika ia tidak segera menghindar ketika seorang Rebuhos dengan tampang menyeramkan tiba-tiba saja datang entah dari mana dan kini ia dan Rebuhos itu tengah berhadap-hadapan. Sejujurnya Darwin sama sekali tak ahli menggunakan revolver. Dan dalam keadaan seperti ini ia harus berusaha semampu yang ia bisa agar serbuk timah tidak bersarang di dalam tubuhnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar Darwin mengacungkan revolvernya ke hadapan Rebuhos itu. Sementara Rebuhos itu tersenyum mengejek.

“Kudengar para Black Sniper itu adalah penembak ahli yang tak tertandingi kehebatannya. Namun jika aku melihat keadaanmu sekarang, kurasa itu hanya gosip murahan untuk menakuti kami,” ia terkekeh dan bersiap menarik pelatuknya.

Darwin sadar sekali pelatuk itu ditarik kemungkinan nyawanya bisa melayang jika pelurunya mengarah ke bagian vital tubuh Darwin. Darwin menelan ludah gugup ketika tampang Rebuhos di hadapannya yang semakin menyeringai kejam.

DORRR... DORRR... DORRR... DORRR...

Bunyi tembakan tanpa ampun terdengar dengan jelas. Yang pasti itu bukan berasal dari pistol di tangan Darwin. Dan bukan pula suara tembakan dari Rebuhos di depannya. Tembakan itu dari seorang gadis yang sekarang tengah menginjak perut Rebuhos yang tadi berhadapan dengan Darwin. Mulut Rebuhos itu mengeluarkan banyak darah ketika gadis itu menginjak dengan tanpa ampun perutnya. Lagi-lagi gadis itu membantu Darwin saat ia masih ragu untuk menarik pelatuk revolvernya.

“Is, Isah...”

“Kamu ini memang bodoh ternyata. Kenapa kamu malah berdiam diri saja dan tidak langsung menembaknya? Jika ada kesempatan menembak, langsung tembak saja. Kamu kenapa jadi seperti ini sih? Biasanya kamu yang paling cekatan menghabisi nyawa para Rebuhos,” gadis itu berdecak sebal.

“Maaf,” ucap Darwin pelan.

Isah menarik nafas dalam. “Hhhh, sudahlah. Cepat bantu Black Sniper lain karena-”

DORRR...

Belum selesai gadis itu mengucapkan kalimatnya, sebuah tembakan mendarat di kepalanya. Hal itu membuat gadis itu jatuh tersungkur di hadapan Darwin. Melihat itu Darwin segera menarik pelatuk revolvernya dan menembakkannya tanpa ampun ke arah Rebuhos yang baru saja menembak Isah. Setelah Rebuhos itu jatuh tersungkur, Darwin menarik Isah dalam pangkuannya.

“Isah... Isah bertahanlah,” tanpa sadar tangan Darwin bergetar ketika melihat banyak darah di tangannya. Sebuah peluru timah bersarang di kepala  gadis itu.

“Darwinh, ak... akuhh aaakkkh,” gadis itu berteriak kesakitan. “Cepppat, bawa akkuh ke dalam hut, hutan. Ceppatth,” pintanya.

“Ken, kenapa? Kamu bisa kehabisan banyak darah. Aku akan membawa kamu kembali ke-”

Gadis itu menggeleng kuat. “Tidak banyaaakh.. hhh waktuuh... kakiku, kakiku...”

Darwin melirik kaki Isah yang ternyata juga mengeluarkan banyak darah. “Kamu juga tertembak di kakimu??! Sejak kapan? Isah!!!!”

Darwin mengguncang tubuh Isah yang sudah tak sadarkan diri. Pria itu bersiap membawa tubuh Isah yang semakin banyak mengeluarkan darah namun saat itu juga sebuah tembakan mengenai lengan kirinya, dan sebuah tembakan lagi juga mengenai kepalanya. Beruntung ia dan Isah mengenakan rompi anti peluru sehingga peluru itu tidak akan mengenai jantung mereka. Namun hal itu membuat tubuh Isah terlepas dari tangannya dan tubuh Darwin tersungkur di atas tanah. Hingga akhirnya penglihatan pria itu memburam lantas gelap sepenuhnya.

©©©

Peluh membasahi sekujur tubuh Darwin. Dengan nafas memburu pria itu bangun dari posisinya. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut hebat, ia menajamkan penglihatannya. Seluruh ruangan itu berwarna putih. Ruangan yang sangat asing baginya.

“Awwh...” ia meringis ketika rasa nyeri menjalar di lengan kirinya. Seraya memegangi kepala dan menahan sakit pada lengannya, ia mencoba bangkit dari tempat tidur.

Darwin kembali memperhatikan sekelilingnya. Biasanya ruangan serba putih itu identik dengan rumah sakit, namun ruangan ini... Entahlah, tak bisa dikatakan kamar pasien rumah sakit karena ruangan ini terlalu mewah untuk sebuah rumah sakit. Dan tak ada selang infus serta peralatan lain yang biasanya ditemukan di kamar pasien.

Ingatan terkahir yang Darwin miliki adalah saat ia tertembak bersama Isah melawan Rebuhos. Eh, tunggu dulu. Isah. Ngomong-ngomong bagaimana keadaan gadis itu?

Perlahan Darwin membawa tungkainya menuju jendela. Seraya mengamati keadaan di luar sana, Darwin mengingat kembali beberapa kejadian aneh yang belakangan terjadi padanya. Semuanya sungguh tidak masuk akal. Dan lagi, kenapa Darwin tidak kembali ke kamarnya seperti sebelumnya? Kenapa ia malah berada di ruangan serba putih ini?

“Sudah bangun?”


Darwin hampir terlonjak mendengar suara berat di belakangnya. Perlahan ia membalik tubuhnya dan mendapati seorang pria paruh baya dengan baju serba putih seperti yang tengah ia kenakan sekarang—mungkin usianya seperti almarhum kakek Darwin—tengah membawa sebuah kotak berwarna coklat. Pria paruh baya itu duduk di sebuah sofa di dekat tempat tidur dan menatap Darwin memberi isyarat agar Darwin turut duduk di sampingnya.

Meskipun ragu, Darwin tetap melangkah mendekati pria itu dan duduk di sampingnya. Setelahnya hening selama puluhan sekon sebelum akhirnya pria paruh baya yang duduk di samping Darwin mengeluarkan suaranya.

“Bagaimana keadaanmu?”

Kalimat tanya itu ditujukkan untuk Darwin. Darwin memegangi kepalanya yang masih berdenyut. Sebelum menjawab pertanyaan pria itu, Darwin mengamati lengan kirinya di balik kemeja putih lengan panjang yang membalut tubuhnya. Tak ada darah sama sekali. Pun memar juga tak ada. Namun entah kenapa Darwin merasakan nyeri di lengan kirinya.

“Tak begitu baik,” jawabnya.

Pria paruh baya itu lantas mengangguk pelan. “Kurasa tubuhmu sudah berusaha memanggil rohnya kembali. Itu sebabnya belakangan kau merasakan sakit sampai jatuh pingsan. Tapi kau tak bisa kembali sebelum menyelesaikan tugasmu.”

Penjelasan pria itu malah membuat kepala Darwin semakin berdenyut. Darwin sama sekali tak mengerti tentang ucapan pria itu. “Apa maksudmu?” Darwin menatap pria paruh baya di sampingnya yang saat ini sama sekali tak menatapnya.

“Kau akan tahu nanti. Untuk saat ini kau harus menyelesaikan tugasmu mengantar semua surat dari surga ini.”

Usai mengucapkan kalimatnya, pria itu menepuk pundak Darwin sekilas lantas bangkit meninggalkan Darwin sendirian di ruangan serba putih itu. Selepas kepergian pria itu, Darwin mengamati isi kotak coklat yang tergeletak di samping sofa. Darwin mengangkat kotak itu dan terdapat tumpukan surat dengan amplop berwarna-warni di dalamnya.

“Surat apa in-”

“Darwiiiin!”

Jika saja kepalanya tidak sakit, mungkin Darwin akan berteriak memaki-maki gadis itu yang tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan dan berteriak memanggil namanya dengan tanpa dosa sedikitpun. Gadis itu berdiri di hadapan Darwin seraya tersenyum lebar membuat Darwin menatapnya heran dari atas kepala hingga kaki. Kenapa sekarang ia dan gadis itu jadi memakai pakaian serba putih seperti ini?

“Bagaimana kabarmu? Setelah pingsan di mercusuar, aku tak bisa bertemu denganmu selama tiga hari karena kakek tua itu melarangku untuk bertemu denganmu. Huh, menyebalkan. Selama tiga hari ini aku harus mengantar semua surat-surat itu sendirian. Ckk... Jadi, apa kau sudah sembuh sekarang? Kita harus segera menyelesaikan tugas kita ini karena semakin hari semakin banyak surat-surat yang datang dari surga. Jadi kita harus bergegas, ayo... Hey, kau mendengarku?”

Darwin menatap gadis itu datar. Ayolah, apa lagi ini? Pingsan di mercusuar? Selama tiga hari? Bukankah jelas-jelas ia dan gadis di depannya ini tertembak?

“Aku tak punya waktu meladeni acara melamunmu,” gadis itu—Isah—menarik paksa Darwin agar segera bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari ruangan serba putih itu. Tak lupa dengan kotak coklat yang berisi surat-surat yang katanya dari surga itu yang saat ini dibawa Darwin.

©©©


Bukit itu hijau. Dengan ratusan tanaman azalea membuat bukit itu terlihat begitu cantik saat pantulan sinar matahari mengenai ujung tanaman-tanaman itu. Isah menarik Darwin agar mereka segera sampai di puncak bukit dimana terdapat sebuah kotak pos dengan warna merah cherry di tengahnya. Kotak pos itu sangat kontras dengan tanaman yang tumbuh di bukit azalea itu.

Dengan gaun menjuntainya, Isah berjalan mendahului Darwin menghampiri kotak pos kala mereka sudah sampai di puncak bukit. Sementara sang pria lebih memilih bergeming seraya mengamati gadis itu memunguti puluhan surat yang ada di dalam kotak pos.

“Ah, lihat Win. Bibi itu mengirim surat lagi untuk anak lelakinya,” Isah menghampiri Darwin ketika gadis itu membaca sebuah amplop surat berwarna langit lantas ia mendudukkan dirinya di atas rerumputan hijau yang tak lama diikuti oleh Darwin.

“Memangnya surat apa?”

Mendengar pertanyaan barusan keluar dari kedua belah bibir Darwin, Isah lantas mendelik dan berdecak pelan. “Apa karena pingsan kamu jadi kehilangan ingatanmu huh? Bukankah ini surat yang kita terima seminggu yang lalu dari bibi yang meninggal saat terjatuh ke sungai ketika hendak menyelamatkan putranya? Seminggu yang lalu, Beliau mengirimi surat dari surga untuk anaknya itu. Bibi itu bilang kalau ia sudah bahagia di surga. Beliau meminta agar anaknya juga hidup bahagia dan harus melanjutkan hidupnya.”

“Apa boleh membaca surat dari orang lain? Terlebih dari orang yang sudah meninggal?”

“Tssk, kamu ini kenapa sih. Bukankah itu memang tugas kita. Membaca dulu isi surat yang akan kita antar. Lagipula memang tidak semua surat harus kita antar kan? Ada juga surat-surat yang tidak boleh kita antar kepada manusia yang masih hidup, seperti surat yang berisi sumpah serapah dari orang yang sudah meninggal itu. Ah, sepertinya karena pingsan kamu jadi seperti ini.”


Darwin hanya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Lantas beberapa sekon berikutnya, ia hanya diam dan merasakan hembusan angin di bukit itu yang menerpa surainya.

“Untuk putra kesayangan Bunda,” Isah mulai membaca baris pertama dalam surat itu.

Darwin memilih bungkam dan membiarkan Isah melanjutkan membaca deretan aksara di tangannya.

“Hari ini ulang tahunmu. Selamat ulang tahun sayang. Maaf Bunda tak bisa menemanimu lagi seperti tahun-tahun sebelumnya—”

Alis Darwin mengernyit ketika tak ada suara lagi setelah Isah membaca kalimat ketiga. “Hey, kamu kenapa?” Darwin menyentuh pelan pundak Isah ketika gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Hiks, aku tak sanggup membacanya. Kamu saja yang membacanya... hiks,” Isah lantas menyodorkan surat ditangannya pada Darwin setelah menghapus kasar air matanya.

Dengan enggan pria itu mengambil kertas berwarna biru langit yang disodorkan padanya. “Ckk, hanya seperti itu saja kamu menangis. Kamu bahkan baru membaca kalimat ketiga. Sudahlah, tak usah dibaca. Lagipula surat ini harus segera kita antar kepada putranya sebelum hari ulang tahunnya berakhir,” Darwin bangkit berdiri seraya meregangkan otot-ototnya.

Perlahan Isah turut bangkit. Keduanya terdiam sejenak membiarkan angin berhembus menerpa kulit mereka. Darwin tak tahu kapan terakhir kalinya ia merasakan angin sesejuk saat ini.

“Ayo kit—” Darwin berniat menarik lengan Isah agar mereka meninggalkan bukit itu namun alisnya kembali dibuat bertaut saat menatap Isah yang sedari tadi menggosok kedua matanya. “Kamu menangis lagi?” tanyanya bingung.

Isah menggeleng pelan. “Aku sudah tidak menangis lagi sungguh. Hanya saja... Kurasa mataku kabur,” gadis itu menatap Darwin dengan matanya yang mengerjap berkali-kali.

“Kabur?”

Isah menggeleng pelan dan beberapa sekon berikutnya ia mengalihkan atensinya dari Darwin dan menatap area di sekitar bukit. “Aneh...”

Darwin tak bisa menyembunyikan ekspresi kebingungannya. “Aneh kenapa?”

“Aku...” Isah kembali menatap Darwin dengan matanya yang menyipit berusaha menajamkan penglihatannya.  “Aku bisa melihat dengan jelas segala yang  ada di sini kecuali kamu,” jawabnya.

“Ap, apa? Kamu tidak bisa melihatku dengan jelas?”

Tangan kanan Isah berusaha menggapai wajah Darwin. “Ak, aku... Aku tidak bisa merasakan tubuhmu. Darwin, apa yang terjadi??” ucap Isah panik.

Sementara Darwin hanya berusaha memutar otaknya dengan apa yang terjadi. Darwin memegang tangan Isah yang masih menyentuh wajahnya. Aneh. Kalau Isah tak bisa merasakan tubuh Darwin, kenapa Darwin bisa merasakan dengan jelas tangan Isah di wajahnya.

“Isah—”


Kedua mata Isah membulat kelewat lebar. Lantas tak lama gadis itu menelengkan kepalanya ke segala arah dengan wajah ketakutan serta cemas yang bisa dilihat dengan jelas oleh Darwin.

“Darwiiiin! Darwiiin!”

Sekarang giliran kedua bola mata Darwin yang membulat. Kenapa gadis itu berteriak memanggil namanya sementara ia ada di sampingnya?

“Isah, kamu kenapa? Aku di sini,” Darwin berniat menyentuh pundak Isah agar gadis itu berhenti bersikap aneh seperti itu. Namun bagaikan tersambar petir, jantungnya serasa sakit ketika tangannya menembus tubuh Isah. “Is, Isah... Isah, aku di sini...” lirihnya.

Isah terduduk lemas di atas rerumputan hijau. “Hiks, kamu kemana?? Darwiiin... hiks... Darwin...”

“Akkkh,” Darwin memegangi kepalanya yang tiba-tiba serasa memberat dan lebih nyeri dari sebelumnya. Dan tiba-tiba saja suara dengungan mengaung di kedua telinganya. “Aaakkh.. akkhh..”

Setelah itu Darwin tak bisa melihat apa-apa lagi selain cahaya hijau yang kelewat terang. Hingga cahaya itu menenggelamkan apa saja yang ada di sekitarnya, termasuk Isah. “Aaakkhhh...”

©©©

Suara ribut dari orang-orang yang tengah tertawa memenuhi indra pendengaran Darwin. Perlahan pria itu membuka kedua netranya. Kali ini ia tidak berada di atas tempat tidur seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Melainkan—

“Hahaha. Kurasa dengan begini kita akan dengan mudah menemukannya.”

—di sebuah ruangan pengap dan gelap dengan tubuhnya yang bersandar pada sebuah tiang.

Eh, tunggu dulu. Apa ini? Darwin menajamkan penglihatannya dan betapa terkejutnya ia saat menyadari kedua tangannya diikat pada tiang yang ia sandari. Dan lagi, mulutnya disekap dengan kain? Hey... Sebenarnya ada apa ini?

“Bos benar. Kita hanya perlu mencari kelemahannya. Tch, kenapa tidak sejak dulu saja kita lakukan.”

Suara berat beberapa pria dapat ditangkap dengan jelas oleh Darwin. Meskipun ruangan itu tampak gelap, namun Darwin masih bisa melihat beberapa pria dengan tubuh kekar tengah duduk sejauh lima meter dari tempatnya sekarang. Dari perhitungan Darwin, sepertinya ada empat orang pria dengan berpakaian serba hitam. Pakaian itu mengingatkannya dengan kejadian saat ia menjadi Black Sniper untuk menyelematkan keluarganya.

Lalu, apa artinya sekarang ia kembali lagi ke dunia itu? Apa orang-orang itu adalah Rebuhos? Dan... Kalau begitu, apa sekarang Darwin sedang diculik?

“Hey, Dude. Sepertinya bocah itu sudah sadar!” Seru salah satu pria berpakaian hitam yang paling kurus dibandingkan ketiga temannya.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Kali ini suara pria dengan tubuh yang kelihatannya lebih tinggi diantara yang lainnya.

Seorang pria bertubuh kekar yang tengah memakai kaos hitam tanpa lengan bangkit dan berjalan perlahan menghampiri Darwin. Jantung Darwin terus berdentam dan rasanya Darwin kesulitan bernafas. Paru-parunya seperti mendadak kehabisan suplai oksigen.

Pria itu lantas berjongkok di samping Darwin untuk menyamakan tinggi mereka karena Darwin saat ini tengah terduduk dan diikat pada sebuah tiang kayu. Lantas pria itu meraih dagu Darwin dan mencengkramnya erat membuat Darwin meringis merasakan perih. “Kita tidak boleh gegabah. Beri tahu Bos kalau bocah tengik ini sudah sadar. Kita hanya perlu menunggu perintah dari Bos,” perintah pria itu pada ketiga orang pria lainnya.

“Baik, aku akan menghubungi Bos sekarang,” jawab pria yang paling tinggi.

Setelah itu, pria bertubuh kekar itu melepaskan cengkramannya dari dagu Darwin dan kembali duduk bergabung bersama kawanannya. Darwin masih memperhatikan mereka. Terdapat beberapa botol minuman keras di sekitar pria-pria itu. Aroma alkohol menguar memenuhi indra penciuman Darwin, dan hal itu sukses membuatnya ingin memuntahkan seluruh isi perutnya.

Darwin menatap pria-pria itu dengan tajam. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ia bisa berada di sini? Kenapa pria-pria itu mengikatnya? Memangnya apa kesalahan Darwin?

“Hey, tampan. Kenapa memandang kami seperti itu? Wow, wow... Tunggu dulu,” salah satu pria yang sejak tadi hanya diam bangkit berdiri dengan membawa sebotol minuman keras seraya menghampiri Darwin. Darwin tetap mempertahankan tatapan tajamnya pada pria yang saat ini tengah berjalan menghampirinya.

“Sebenarnya apa mau kalian?” desis Darwin. Yah, meskipun Darwin rasa percuma karena mulutnya saat ini tengah disekap.

Pria itu terlihat ceking. Kelihatannya ia sedikit kemayu dengan rambut agak panjang dan belah tengah. Iyugh, potongan rambut yang norak sekali pikir Darwin.


“Kamu tidak tampan lagi jika menatap tajam seperti itu,” pria ceking itu mengelus pelan pipi kanan Darwin. “Ayolah, kamu kenapa hmmm? Kamu mau minum bersama kami juga? Baiklah, aku akan memberimu seteguk saja...” pria itu mulai melepaskan kain yang digunakan untuk mendekap mulut Darwin.

Setelah dekapan dari mulutnya terlepas, Darwin berteriak keras tepat di depan wajah pria kemayu itu. “SEBENARNYA APA MAU KALIAN HAHH??! KATAKAN! KENAPA KALIAN MENAHANKU DI SINI??!”

Teriakan Darwin barusan sukses membuat ketiga pria lain yang tengah duduk itu menatapnya seraya menyeringai. Pria tinggi yang sejak beberapa menit lalu menelpon itu, mulai menutup telponnya dan melempar botol kaca ke dinding hingga pecah membuat jantung Darwin kembali berdegup kencang.

Shit. Kenapa kain penutup mulutnya dilepas? Bocah sialan ini mulutnya membuat kepalaku sakit,” geramnya seraya menatap Darwin.

“Hahaha. Biarlah. Aku ingin melihat ketampanan bocah ini. Jika disekap aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas,” kali ini pria kemayu yang sekarang duduk persis di samping Darwin kembali menelus pipi kanan Darwin. “Jadi bocah tampan, di mana kamu dan teman wanitamu menyembunyikan Korona Aurora itu, hmm?” suara pria itu benar-benar membuat Darwin jijik.

Meskipun Darwin sama sekali tidak mengerti maksud ucapan pria itu, Darwin berusaha tidak terlihat gemetar walaupun jatungnya berdentam tak terkendali menahan ketakutan. Darwin hanya diam dan terus menatap tajam pria kemayu di depannya.

“Ckk, kamu tidak mau menjawab pertanyaanku ya? Baiklah, apakah setelah meminum seteguk kamu akan memberitahu kami di mana tempat Korona Aurora itu berada?”

Baru saja pria itu akan mendaratkan bibir botol kaca ke mulut Darwin, suara pintu yang dibuka dengan kasar seketika mengejutkan semua orang yang ada di dalam ruangan itu, tak terkecuali Darwin. Keterkejutan Darwin tidak berhenti sampai di situ saja, jantungnya hampir saja mencelos dari tempatnya dan kedua netranya yang membelalak kelewat lebar saat seorang pria bertubuh besar dengan setelan jas hitam dan kacamata hitam memasuki ruangan sambil menyeret paksa seorang gadis yang teramat sangat Darwin kenal.

“Is, Isah.. Isah...” lirih Darwin. Gigi-gigi Darwin bergemeletuk menahan amarahnya saat netranya dengan jelas menilik darah mengalir di wajah sahabatnya itu. Kedua tangan Darwin yang diikat mengepal kuat menahan kegeramannya.

Semua pria berpakaian hitam di dalam ruangan itu lantas berdiri memberi hormat pada pria yang baru datang itu. Sepertinya pria dengan setelan jas hitam itu adalah Bos mereka.

“Aaaakhhh...” Isah meringis saat tubuh mungilnya dihempaskan oleh pria besar itu.

“Isaaahh!” teriak Darwin reflek saat sahabatnya terjatuh di atas lantai dengan keras, tepat di hadapannya. Gadis itu hanya diam dan menangis, wajahnya tertunduk tanpa menatap Darwin sedikitpun. “APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ISAH??! KUPERINGATKAN KALIAN JANGAN ADA YANG MENYENTUHNYA SEDIKITPUN ATAU KALIAN AKAN MATI!”

Entah keberanian dari mana membuat Darwin berani mengatakan kalimat itu. Sementara suara tangisan Isah malah pecah semakin nyaring membuat empat pria yang saat ini berdiri di belakang pria bertubuh besar itu tertawa terbahak.

“Hey, tampan. Apa kamu tidak salah? Seharusnya yang akan mati itu kamu dan wanita itu. Bagaimana kamu bisa membunuh kami dengan tubuh terikat seperti itu? hahaha...” pria kemayu itu tertawa lantas diiringi tawa sumbang dari ketiga rekannya.

Pria dengan setelan jas itu kembali menarik tubuh Isah. Lantas pria itu mengeluarkan sebuah pistol hitam—yang kembali mengingatkan Darwin pada revolver saat ia menjadi Black Sniper—dan mendaratkan benda itu tepat di kepala Isah.

Darwin ingin kembali berteriak namun Isah menatapnya dengan mata sembabnya dan menggeleng pelan meminta Darwin untuk tidak mengkhawatirkannya. Dari sorot mata itu, Darwin mengerti Isah tak ingin Darwin memberitahukan keberadaan benda yang pria-pria ini cari sekalipun ia mati.

Fokus Darwin kini kembali beralih pada pria besar yang menahan tubuh Isah. Pria itu tersenyum menyeringai menatap Darwin dan—

DOOOR

Tubuh Darwin mendadak lemas dan mati rasa setelah pria besar itu menarik pelatuk pistolnya. Tidak, Isah tidak mati. Dan Darwin tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Darah segar mengalir di dekat kaki Darwin. Darwin menatap tubuh yang terbujur kaku di atas genangan darah dengan jantungnya yang terus-terusan berdetak tak terkendali.

“Jika kamu masih tidak memberitahukan dimana kamu menyembunyikan Korona Aurora itu, maka teman wanitamu ini akan mati dengan mengenaskan seperti itu,” tunjuk pria besar itu dengan dagunya pada mayat yang sudah terbujur kaku.

Betapa terkejutnya Darwin ketika pria besar itu menembak anak buahnya sendiri. Anak buahnya yang sedikit kemayu itu sudah menjadi mayat sekarang.

“Baiklah, aku akan memberitahukannya padamu. Tapi... dengan syarat lepaskan dulu Isah,” Darwin mencoba bernegosiasi dengan pria besar itu, meskipun Darwin sendiri tidak tahu dimana benda yang bernama Korona Aurora itu. Jangankan keberadaannya, bentuk benda itu seperti apa pun Darwin sama sekali tidak tahu.

“Tch, kamu pikir aku percaya padamu?” pria besar itu terkekeh dan kembali mengeratkan tubuh Isah yang ia dekap. “Cepat katakan saja dimana, karena sekali aku menarik pelatuk pistol ini maka nyawanya akan melayang,” ancam pria itu.

Isah menggeleng kuat. “Ja, jangan... Kumohonnnh...” Isah menatap Darwin dengan terus menggeleng berharap Darwin tidak memberitahukan keberadaan benda itu.

Darwin tidak tahan lagi melihat keadaan Isah. Darah terus menerus mengalir dari pelipisnya. Membuat ngilu di hati Darwin melihat keadaan sahabatnya itu. “Aku berjanji akan memberitahukanmu. Kumohon lepaskan Isah...” Darwin tak bisa lagi menahan getaran suaranya.

“Apa jaminannya jika aku melepaskan gadis ini?”

“Nyawaku. Nyawaku yang akan jadi taruhannya. Jadi, tolong lepaskan dulu Isah,” Darwin hanya bisa mengabaikan tatapan memohon dari Isah agar Darwin tidak bertindak gegabah.

“Baiklah, kali ini kupegang kata-katamu.”

Pria itu kembali melempar tubuh Isah tepat di samping Darwin, membuat gadis itu kembali meringis menahan sakit di tubuhnya.

“Isah, Isah, kamu tidak apa-apa?” tanya Darwin panik ketika darah masih saja tak henti-hentinya mengalir di pelipis gadis itu. Bahkan wajah Isah sudah terlihat pucat karena darah yang terus mengalir.

Isah beringsut menghampiri Darwin dan mendekap pria itu dengan erat. “Jangan Win, kumohon jangan beritahu mereka. Biarkan aku mati, asal Korona Aurora itu tidak jatuh ke tangan mereka. Seluruh energi di dunia kita akan habis jika orang-orang jahat itu mengambilnya, hiks...” Isah semakin erat memeluk Darwin.


Darwin hanya bisa diam dan memutar otaknya. Rasanya dari kejadian aneh yang ia alami, ini yang paling parah. Ia tak bisa melihat keadaan sahabatnya seperti ini. Lagipula ia benar-benar tidak tahu dimana keberadaan benda itu. Apa tidak terlihat konyol jika Darwin berbisik pada Isah dan menanyakan rupa dan keberadaan benda itu?

“Jadi, penuhi janjimu bocah. Jika tidak—”

“AAAKKKHHH...” Isah berteriak kesakitan ketika pria itu menembakkan pelurunya di kaki Isah.

“Kamu lihat sendiri kan bagaimana tersiksanya wanita itu? Jika kamu terus mengulur waktu seperti ini, maka teman wanitamu itu akan mati secara perlahan,” suara pria itu bagaikan petir yang menyambar seluruh sistem saraf di tubuh Darwin.

“Jangan, jangan beritahu Win, kumohon, akkh... biarkannhh, ak, aku.. biarkan aku mati...”

Darwin menggeleng kuat. Disaat seperti ini ia seperti pecundang. Ia bahkan tak bisa melakukan apa-apa di saat nyawa sahabatnya di ujung tanduk. Air matanya tanpa sadar tumpah melihat Isah yang menahan kesakitan.

“Sebenarnya... Benda itu...”

“CEPAT KATAKAN!” bentak pria besar itu.

“Benda itu ada di—”

BRUAKKK


Pintu ruangan itu terbuka dengan keras. Seketika sekelompok orang mengenakan rompi anti peluru serta revolver di tangan mereka memasuki ruangan itu. Beberapa orang itu mendekati Darwin dan melepaskan ikatan di tubuh Darwin. Sementara beberapa orang lainnya membopong tubuh Isah dan membawanya keluar dari tempat itu.

“Cepat pergi dari tempat ini sekarang. Helikopter yang akan membawa Anda beserta Nona Isah sudah siap di luar, biar kami yang menangani orang-orang ini,” ucap pria yang terlihat lebih tua dari Darwin itu seraya menyerahkan sebuah peti kecil berbahan dasar kayu dengan cat jingga pada Darwin.

Darwin kembali dibuat bingung, namun detik berikutnya ia hanya menurut saja perkataan pria itu. Lantas ia berjalan tergesak keluar ruangan itu untuk menyusul Isah.

©©©

“Isah, kenapa orang-orang itu ingin mengambil benda ini dari kita?”

Akhirnya pertanyaan yang memenuhi pikiran Darwin sejak tiga jam lalu terhitung sejak mereka keluar dari tempat dimana ia sempat disekap sebelumnya, berhasil ia tanyakan. Meskipun akan terlihat konyol di mata Isah, tapi biarlah. Toh Darwin memang tak mengerti kenapa benda oval seperti berlian yang tersimpan di dalam peti bercat jingga itu menjadi rebutan orang-orang.

Mengabaikan rasa sakit akibat kesehatannya yang masih jauh dari kata pulih, Isah mengangkat kepalanya yang sejak dua puluh menit lalu ia rebahkan di atas pangkuan Darwin. Dengan kaki yang diperban setelah peluru timah berhasil dikeluarkan dari kakinya, juga bagian pelipisnya diperban karena kepala Isah dipukul keras dengan tongkat besi saat sekelompok penjahat itu menculiknya. Gadis itu beberapa kali menghela nafas dalam sebelum sebuah suara meluncur di antara kedua belah bibirnya.

Korona Aurora ini adalah sumber energi di pulau kita. Kita, suku Cauv, suku asli Pulau Tereba adalah penjaga benda pusaka ini. Dan yang berhak menyimpannya hanyalah yang murni keturunan dari klan Fliz, nenek moyang suku Cauv. Namun sekitar satu abad yang lalu mulai tersiar kabar kalau Korona Aurora ini memiliki kekuatan maha dahsyat, siapa yang bisa mengendalikan kekuatan di dalam intinya, maka ia akan hidup abadi dan menjadi penguasa abadi dari Pulau Tereba. Sehingga banyak orang-orang yang mulai memperebutkan Korona Aurora ini, terutama orang-orang dari pulau lain...” terang Isah dengan suara perlahan, namun bisa ditangkap dengan jelas oleh Darwin.

Darwin mengangguk pelan. Ini artinya Darwin tidak kembali ke dunia saat ia menjadi Black Sniper, melainkan di sebuah dunia baru lagi. Karena Darwin tidak mendengar tentang Rebuhos ataupun penculikan warga sipil untuk diubah menjadi mutan.

Seperti beberapa kejadian sebelumnya, Darwin pikir Isah akan menganggapnya aneh karena tidak mengerti dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Sehingga pria itu menampilkan senyum lebar berharap Isah tidak menganggapnya aneh lagi kali ini. “Mungkin karena tadi aku sempat pingsan saat diculik, aku mengalami amnesia mendadak hehee,” Darwin menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Isah menampilkan senyum tipis seraya menggeleng. “Bukan. Kamu tidak amnesia. Kamu memang memiliki penyakit demensia, jadi selalu tidak mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya jika kamu jatuh pingsan ataupun setelah bangun tidur.”

Kedua mata Darwin melebar. Apa? Demensia? Oh ayolah, itu hanya penyakit yang dimiliki lansia ataupun orang-orang yang memang lahir secara tidak normal. Darwin bersumpah ia sangat sehat dan bisa mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Bahkan ia bisa mengingat bagaimana ia melupakan hari ulang tahun Isah dan berakibat gadis itu menunggunya di bawah guyuran hujan.

Astaga, Darwin mengingat kejadian itu lagi.

“Biasanya kamu bertanya kenapa harus kamu yang menjaga Korona Aurora itu, kenapa sekarang kamu diam? Kamu memikirkan apa?” Isah menyadari selama puluhan sekon Darwin hanya bergeming.

“Oh, hehe... Ti, tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya, yah, seperti yang kamu bilang. Aku hanya berpikir kenapa harus aku yang menjaga benda pusaka ini?”

Isah kembali tersenyum. “Dari penjelasanku sebelumnya, kamu pasti sudah tahu kalau kamu adalah keturunan dari klan Fliz. Meskipun kamu memiliki 11 saudara, tapi hanya kamu seorang laki-laki, sementara kesebelas saudaramu adalah perempuan. Jadi meskipun kamu memiliki penyakit demensia, namun seluruh keluarga besar keturunan klan Fliz mempercayakanmu menjaga Korona Aurora itu sampai kamu memiliki keturunan laki-laki nantinya,” terang Isah yang membuat Darwin terkekeh pelan. Sebelas orang saudara perempuan? Yang benar saja.

Darwin hanya menggumam pelan setelah penjelasan singkat Isah. Hingga keduanya memilih diam setelah Darwin meminta Isah agar gadis itu kembali merebahkan kepalanya di atas pangkuannya, dan membiarkan hening mengambil alih suasana.

Puluhan burung gereja beterbangan di hadapan mereka, dan semilir angin menerpa kulit keduanya yang saat ini berada di tengah alun-alun ibu kota Pulau Tereba. Darwin rasa ia mulai mengantuk sekarang. Mungkin setelah ini, akan menanti kejadian-kejadian aneh lagi. Hingga tak lama, Darwin memilih menyandarkan punggungnya pada sisi kolam air mancur yang ada di belakangnya dengan Isah yang tetap berada di pangkuannya. Beberapa sekon berikutnya, netra pria itu memberat seiring dengan kelopaknya yang mulai menutup perlahan.

©©©

“Ini benar-benar siput? Kenapa mereka memiliki sayap?” tunjuk Darwin ketika ia dan Isah berjongkok di samping barisan para siput itu.

“Kamu kenapa sih Win kok jadi aneh begitu? Bukankah itu memang yang menjadi PR kita kali ini? Meneliti siput-siput yang mulai berevolusi dengan tumbuhnya sayap di samping cangkang mereka. Huh...”

.

Kepala Darwin serasa berputar. Tubuhnya bagaikan melayang di sebuah dimensi yang tak bisa dideskripsikan. Sesaat ia melihat tubuhnya sendiri dan Isah sedang memakai baju serba biru. Ia ingat, itu saat ia menjadi seorang Elf.

.

“Ambil ini,” Isah menyerahkan sebuah revolver pada Darwin yang disambut pria itu dengan tangan gemetar.

“Apa ini?” tanya Darwin panik. Seumur hidupnya baru kali ini memegang sebuah pistol.

“Itu revolver, bodoh. Kenapa kamu jadi tampak bodoh seperti ini sih? Sudahlah, ayo cepat,” gadis itu lebih dulu berlari meninggalkan Darwin.

Darwin bergeming. “Ckk, seenaknya saja dia dari tadi mengataiku bodoh,” ucapnya seraya menimang-nimang revolver di tangannya.

.

Kali ini tubuh Darwin kembali ditarik oleh sebuah gaya berkekuatan tinggi dimana saat ini ia kembali melihat dirinya dan Isah saat menjadi Black Sniper. Darwin merasa kedua tangannya bergetar hebat, entahlah ia tak mengerti kenapa sekarang ia berada di tempat ini.

.

“Apa boleh membaca surat dari orang lain? Terlebih dari orang yang sudah meninggal?”

“Tssk, kamu ini kenapa sih. Bukankah itu memang tugas kita. Membaca dulu isi surat yang akan kita antar. Lagipula memang tidak semua surat harus kita antar kan? Ada juga surat-surat yang tidak boleh kita antar kepada manusia yang masih hidup, seperti surat yang berisi sumpah serapah dari orang yang sudah meninggal itu. Ah, sepertinya karena pingsan kamu jadi seperti ini.”

.

Sekarang kedua lutut Darwin serasa tak sanggup menahan berat tubuhnya sendiri. Ini sudah ketiga kalinya ia ditarik dari satu dimensi ke dimensi lainnya. Dan yang baru saja terjadi, Darwin melihat ia bersama Isah di bukit azalea dengan sebuah kotak pos berwarna merah cherry di dekat mereka.

.

“Aaaakhhh...” Isah meringis saat tubuh mungilnya dihempaskan oleh pria besar itu.

“Isaaahh!” teriak Darwin reflek saat sahabatnya terjatuh di atas lantai dengan keras, tepat di hadapannya. Gadis itu hanya diam dan menangis, wajahnya tertunduk tanpa menatap Darwin sedikitpun. “APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ISAH??! KUPERINGATKAN KALIAN JANGAN ADA YANG BERANI MENYENTUHNYA SEDIKITPUN ATAU KALIAN AKAN MATI!”

.

Jika saja Darwin sanggup, ia pasti akan menahan tubuhnya agar tidak terus tertarik ke dimensi lainnya. Setiap pergantian dimensi seperti menghabiskan energi tubuhnya. Kejadian-kejadian aneh yang ia alami tergambar jelas di depannya. Sebenarnya apa yang terjadi dengannya sekarang?


Darwin jatuh tersungkur. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya. Pria itu hampir saja kehilangan kesadarannya ketika indra pendengarannya menangkap suara yang berasal dari—

.

“Ka, kamu... Kamu serius jemputin aku di tengah hujan deras begini?”

“Iya, ini aku sudah sampai. Aku nyari-nyari kamu ke seluruh taman tapi kamu nggak ada, aku di pondok di tengah taman nih. Jadi kamu di mana sekarang?”

“Aku, aku...”

“Iya Isah kamu di mana? Kamu nggak apa-apa kan? Kamu sakit?”

“Win, aku...”

“Isah buruan deh nggak usah bertele-tele kayak gitu. Isah...”

“Surprise!! Hahahahhahahaaa”

 “Eh kenapa kamu ketawa kayak gitu huh?”

“Aku bohongin kamu tau.. hahaha. Ngapain coba hujan-hujan kayak gini aku di luar rumah, mending aku di rumah tiduran. Tapi aku nggak nyangka ternyata kamu beneran datang jemputin aku, kamu memang kawan sejati Win.”

.

—bukankah itu kejadian saat Darwin menjemput Isah di taman di tengah hujan deras? Kenapa ia bisa melihat dirinya sendiri saat itu yang tengah menelpon Isah? Dan bukankah kejadian itu sudah sangat lama?

“Akkh,” Darwin memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Setiap kejadian-kejadian yang terulang itu benar-benar menghabiskan energinya. Sekarang Darwin seperti tak memiliki tenaga lagi.

.

“Sah.. Bisakah kita bicarakan hal ini baik-baik?”

“Bicarakan baik-baik? Lalu siapa yang menyeretku ke sini dan berteriak padaku? Kamu kan?? Seharusnya aku juga marah karena kamu gak menjelaskan padaku kenapa kemarin kamu membiarkanku menunggumu??? Kenapa kemarin kamu tidak membalas pesanku??!”

Darwin diam. Ia bahkan mengalihkan pandangannya dan berusaha menghindari bertemu pandang dengan Isah

“Kenapa kamu tidak menjawabku? Kamu tidak ingin menjelaskannya kan?”

“Karena kamu tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskannya,” Darwin menghela nafas—lagi—setelah mengucapkan kalimatnya.

Air mata Isah terhenti seketika. “Oh baiklah. Salahkan saja semuanya padaku. Kamu bahkan lebih memilih pergi dengan gadis anak kelas sebelah dibandingkan menahanku agar tidak pergi dan menjelaskan segalanya,” Isah bebalik dan berniat pergi dari hadapan Darwin sebelum akhirnya ia kembali mengucapkan kalimat yang membuat langkah gadis itu diterhenti.

“Lalu kenapa kamu tidak menjawab telponku saat bersama Alfi?”

Isah kembali berbalik dan menatap heran padanya. “Dari mana kamu tahu aku bersama Alfi?”

Darwin  berjalan mendekati Isah dan memandangnya dengan senyum sinis. “Jadi karena bersama pria itu kamu tidak mengangkat panggilan dariku? JADI ALFI LEBIH PENTING DARIKU??” Darwin kembali berteriak.

.

Sekarang tubuh Darwin sudah terbaring lemah dalam dimensi itu. Jika saja ada burung gagak saat ini, mungkin burung gagak itu akan memangsa tubuhnya yang sudah mengenaskan. Darwin tak sanggup melihat kejadian itu. Kejadian satu tahun yang lalu, mendekati hari ulang tahunnya di mana ia dan Isah bertengkar di kebun tebu di dekat rumah mereka. Namun berakhir manis dengan Isah yang memenuhi janjinya untuk menemaninya melihat gugusan bintang di tengah lapangan sepak bola di dekat rumah lamanya.

Kedua kelopak mata Darwin hampir saja menutup sebelum akhirnya kejadian yang ingin sekali ia lupakan terpampang nyata di hadapannya saat ini.

.

“Isah-”

“Kenapa kamu datang?” ucap Isah cepat meskipun pelan dan terdengar lemah.

“Isah, jangan bahas itu dulu. Kamu baik-baik aja? Apa kamu pusing?”

“Kutanya kenapa kamu datang? Karena merasa bersalah?”

“Isah...”

“Cepat jawab Win!” nada suara Isah meninggi. Dan gadis itu menatap Darwin dengan tatapan kecewa yang tergambar jelas.

“Maaf. Ponselku tertinggal di rumah Romi. Dan tadi Romi mengantarkan ponselku ke rumah, dan aku baru baca smsmu. Maaf...” lirih Darwin.

Isah membuang tatapannya dan tak berniat menatap pria itu sedikitpun. “Lebih baik kamu nggak datang dan nggak melihatku dalam keadaan menyedihkan begini.”

.

Tanpa ia sadari, air mata sudah mengalir dan membanjiri wajah pucatnya. Darwin benar-benar bisa mengingat kejadian itu dengan teramat sangat jelas. Kejadian nyata itu adalah terkahir yang ia alami sebelum ia memasuki kejadian-kejadian aneh dan tempat-tempat aneh bersama Isah. Apakah itu nyata atau tidak ia tak bisa memastikannya. Karena yang terjadi setelahnya adalah kedua kelopak mata pria itu sudah menutup perlahan seiring dengan kesadarannya yang mulai menghilang.

©©©

Alat elektrokardiograf di samping ranjang pasien itu mengeluarkan bunyi nyaring. Tidak, elektrokardiogram pada monitor tidak menampilkan garis lurus, melainkan berbentuk zig-zag tanda bahwa detak jantung pria yang terbaring di samping alat elektrokardiograf itu kembali normal. Perlahan jemarinya bergerak menimbulkan keterkejutan wanita paruh baya yang tengah duduk di sisinya.

Sementara pria itu sendiri mengerang pelan, dengan aliran nafasnya yang tersengal tak beraturan. Wanita paruh baya itu terkejut bukan main, lantas ia lebih memilih keluar ruangan untuk memanggil perawat beserta dokter yang bertugas menangani pria itu.

Sang pria yang tengah berusaha mengembalikan kesadarannya itu masih belum bisa membuka kedua kelopak matanya. Mulutnya masih mengeluarkan erangan-erangan yang entah kenapa terasa begitu ngilu jika di dengar.

“Sayang, kamu sudah sadar?”

Itulah kalimat yang pertama tertangkap pendengarannya. Darwin begitu mengenali pemilik suara itu. Wanita itu... Ibunya.

Saat kelopaknya membuka perlahan, ia melihat ibunya yang kini menatapnya khawatir. Dengan tubuh lemahnya, pria itu berusaha bangkit setelah sebelumnya dokter menyatakan kalau kondisinya sudah mulai pulih.

Hanya ada pria itu bersama ibunya sekarang di kamar pasien, karena dokter dan beberapa perawat telah meninggalkan ruangan itu beberapa menit yang lalu. Seraya berusaha mengingat apa yang terjadi dengan dirinya, serta mengabaikan rasa pusing yang mendera, pria itu menatap sang ibu yang sejak tadi memegangi tangan kanannya yang tidak di infus.

Pria itu kembali berfikir, apakah sekarang ia ada di dunia berbeda lagi? Apakah setelah ini akan ada kejadian aneh lagi yang ia alami?

Wanita paruh baya itu mengelus puncak kepala putranya dengan lembut seraya memaksakan sebuah senyum, meskipun itu memang senyum tulus hanya saja sulit baginya untuk menarik kedua sudut bibirnya melihat putranya yang begitu pucat. “Ibu lega, akhirnya kamu sadar juga setelah empat hari tidak sadarkan diri,” wanita itu beralih mengelus pipi kiri putranya.

Yang diajak bicara hanya mengerutkan kening, tak paham dengan apa yang dikatakan sang ibu. “Memangnya aku kenapa, Bu?”

Pria itu menerka-nerka. Apakah ia pingsan di mercusuar seperti kejadian yang pernah ia alami di dunia yang tak ia kenali? Ia tak tahu apakah kali ini nyata atau tidak.

Wanita itu menghela nafas dalam. “Empat hari yang lalu saat Ibu memanggilmu untuk sarapan dan membuka pintu kamarmu, Ibu terkejut bukan main melihatmu yang mengigau di atas ranjang dengan suhu tubuh yang sangat panas. Ibu pikir kamu hanya demam, ternyata setelah itu kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Ibu benar-benar takut, Ibu takut terjadi sesuatu denganmu,” dengan air mata yang mengalir di sudut matanya, wanita itu tetap menarik kedua sudut bibirnya.

Sementara putranya lebih memilih diam menunggu sampai sang ibu selesai dengan penjelasannya.

“Saat kamu dibawa ke rumah sakit, Romi memberitahu Ibu kalau sore itu kamu pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup.”

Deg!

Basah kuyup? Yah, Darwin ingat. Sangat ingat malah kejadian sore itu. Jadi... Apakah sekarang ia sudah kembali ke dunia nyata?

Sang ibu kembali melanjutkan. “Ibu juga diberitahu kalau saat itu kamu pergi menemui Isah yang menunggumu di tengah hujan,” wanita itu mengecup kening putranya lembut. “Ibu tidak menyangka, kalian berdua bisa sama-sama pingsan di pagi harinya.”


“Ap, apa? Apa maksud Ibu? Pingsan? Isah? Ja, jadi.. sekarang dia di mana Bu? Bagaimana keadaannya?” pria itu mengguncang lengan ibunya dengan tidak sabaran.

“Dia sudah sadar. Gadis itu dirawat di kamar sebelah, tapi dia sudah lebih dulu sadar tadi malam. Dan, ia sempat menjengukmu sebentar tadi malam sebelum pergi meninggalkan rumah sakit,” terang ibunya.

Pria itu berusaha turun dari ranjang. “Ayo, Bu. Kita juga harus pulang sekarang. Aku, aku akan menemui Isah dan memberitahunya kalau aku sekarang juga sudah baik-baik saja.”

Pergerakannya terhenti ketika sang ibu menahan lengannya. Membuat pria itu menatap heran ibunya. Wanita itu menggeleng pelan, dan menatap putranya seolah mengatakan pria itu harus kembali tetap berada di tempat tidurnya.

“Kenapa Bu? Aku sudah sadar. Dan sekarang sudah waktunya aku pulang kan?”

“Kamu harus istirahat dulu. Lagi pula...”

Bagaikan melihat sesuatu yang tidak beres, pria itu menggenggam kedua tangan ibunya. “Ada apa, Bu? Apa ada sesuatu yang buruk terjadi?”

Wanita itu menyodorkan sebuah amplop kuning yang sejak tadi berada di atas meja nakas di samping selang infus. “Istirahat dulu. Nanti setelah tubuhmu mulai terasa nyaman, kamu bisa membaca kertas yang ada di dalam amplop itu,” ibunya kembali mengelus puncak kepala pria itu perlahan. “Ibu keluar sebentar mau menelpon Bapakmu. Kamu istirahat dulu ya sayang.”

Setelah tubuh sang ibu menghilang di balik pintu, pria itu akhirnya hanya bisa pasrah kembali merabahkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah meletakkan amlop berwarna kuning itu di atas nakas. Karena tubuhnya memang masih terasa sakit dan kepalanya terasa cukup berat.

©©©

“Hey, Dude. Beberapa bulan ini kamu jadi rajin baca novel. Dan, wah... bukan main. Kamu bahkan membaca novel romance. Kurasa setelah pingsan tujuh bulan yang lalu, otakmu mengalami pergesaran. Haha...”

Yang diajak berbicara berdecak pelan seraya mendelik menatap sang pemilik suara. “Dari pada kamu tidak ada kerjaan, lebih baik kamu selesaikan dulu tugas Auditing-mu yang tidak selesai-selesai itu, Romi,” ucapnya sarkastik.

Ckk, itu gampang. Nanti saja.”

Pria yang tengah memegang sebuah buku tebal bernama novel itu akhirnya hanya memutar kedua bola matanya jengah. Lantas setelahnya ia kembali sibuk berkutat  dengan rentetan aksara dalam tiap lembaran kertas pada novel itu.

“Oh, ya Win. Kudengar sekarang kamu sedang dekat dengan seorang perempuan ya. Euum, apa dia kuliah di kampus kita juga?”

“Tidak. Aku tidak dekat dengan satu perempuan-pun. Memangnya kamu dengar dari siapa huh?”

“Dari Yudi. Jadi... kamu masih menunggu Isah kembali?” suara Romi memelan di akhir. Ia sendiri merasa tak nyaman mengucapkannya.

Mendengar nama itu disebut, pria itu hanya bisa menghela nafas berat lantas menutup novelnya dengan kasar. “Aku keluar sebentar mencari udara segar. Kamu bisa baca komik-komikku asal setelah itu kamu membereskannya, mengerti?”

Setelahnya, pria itu keluar kamarnya dengan langkah gontai meninggalkan sepupunya—Romi—di dalam kamarnya. Sementara Romi hanya menggeleng pelan melihat tingkah pria itu. “Tssk, selalu saja seperti itu jika mendengar nama Isah.”

©©©

To: Makes... Darwin

Hey... Jangan gugup ya saat membaca surat ini. Haha, yang pasti ini bukan surat cinta. Kamu pikir untuk apa juga aku membuat surat cinta buat kamu. Dan yang pasti saat kamu membaca surat ini, itu tandanya aku sudah pergi ke luar kota. Dan yang pasti lagi, kamu sudah sadar dari pingsan saat membaca surat ini.

Ckk, jangan pasang wajah sedih seperti itu. Iya-iya, aku tahu kamu pasti merindukanku kan? Apa? Kamu tidak merindukanku? Huhh, kamu memang tidak mau mengakui kalau kamu kangen aku. Menyebalkan...

Win, maaf ya kalau selama ini aku selalu merepotkanmu. Maaf selama ini aku tidak bisa mengerti keadaanmu. Aku selalu memaksa kamu untuk mengerti keadaanku, sementara aku sendiri tidak pernah mengerti keadaan kamu. Aku memang sahabat yang tidak tahu diri ya? Hmm... Maaf sudah jadi sahabat yang buruk buat kamu. Dan satu lagi, maaf aku memakai amlop kuning bukan merah. Ini kan warna kesukaanku, dan aku tidak suka warna merah seperti warna kesukaanmu itu. Seperti darah. Iyuuughh... Haha, aku hanya bercanda. Aku tidak mau isi surat ini terlalu serius. (Oh ya, untung saja aku tidak memakai amplop warna hitam, haha)

Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu. Saat aku pingsan, roh-ku seakan masuk ke dunia lain. Mungkin saja itu mimpi. Pertama aku bermimpi menjadi seorang Elf dengan pakaian serba biru. Lalu aku bisa membuat sebuah portal dari berlian kecil. Haha, lucu sekali sungguh. Kita berdua memakai pakaian serba biru. Ckk, kenapa tidak kuning saja. Aku kan tidak begitu suka warna biru. Lalu yang kedua kita menjadi Black Sniper dengan pakaian serba hitam. Wuhuu, kalau yang ini memang keren. Aku suka style serba hitam, haha. Aku memegang senjata revolver dan dorrr dorr dorrr aku menembaki musuh yang bernama rebuhos untuk menyelamatkan keluargamu. Hey, aku sungguhan tidak berbohong.

Lalu berpindah ke dunia lain. Aku memakai gaun putih. Gaunnya cantik sekali. Hey hey, kamu jangan berpikir kalau aku memakai gaun pengantin yaa. Kamu juga berpakaian serba putih, di sana kita seperti menjadi Heaven’s Postman. Tapi sayang, rasanya sebentar sekali. Padahal saat itu aku merasa damai sekali berada di sebuah bukit azalea. Dan setelahnya... eumm, ah ini benar-benar yang paling tidak aku sukai.

Kamu tahu, kita disandera oleh penculik yang mengingnkan koro... Koro apa yah aku lupa. Yang pasti aku hanya ingat kata kedua dari benda itu, aurora. Kokoro aurora mungkin? ah, entahlah aku lupa. Aku bahkan sampai ditembak, seperti saat menjadi black sniper. Tapi yang ini tidak keren karena aku tidak memegang revolver, huhh.

Haha.. mungkin kamu tidak mengerti apa yang aku tulis di atas yah? Tentu saja, seandainya saja kamu juga mengalami mimpi yang sama denganku. Dan itu pasti keren karena kita berdua berpetualang di dunia tak masuk akal. Ah, kurasa aku harus menghentikan tanganku untuk menulis kejadian selama aku pingsan.

Oh ya ngomong-ngomong aku tidak menyangka bisa pingsan. Dan aku lebih tidak menyangka kamu juga malah ikut-ikutan pingsan -___-  dasar aneh. Kalau sehati, tidak perlu pakai pingsan bersama kan? Tapi aku hebat, karena aku lebih dulu sadar. Kamu itu SO LAME! Hahaa :p

DTB...

Rasanya aku sudah lama tidak menyebut nama itu. Win, aku merindukan kita yang dulu. Kita yang selalu bertengkar. Kita yang masih benar-benar merasakan aura persahabatan. Bukan seperti sekarang. Lebih tepatnya aku yang salah di sini. Aku yang membiarkan diriku tenggelam dalam perasaan yang seharusnya tak kurasakan untukmu. Aku yang membiarkan diriku larut dalam cemburu jika kau bersama wanita lain. Padahal itu hakmu, karena aku hanyalah sahabatmu. Perasaanku yang kelewat batas ini yang malah membuat hubungan persahabatan kita mulai merenggang. Maafkan aku L

Win, kumohon jangan membenciku. Aku pergi bukan karena aku tidak mau bersahabat denganmu lagi. Aku pergi untuk mengatur perasaanku. Aku pergi untuk mengembalikan keadaan kita seperti dulu. Aku akan menghilangkan perasaan ini yang untungnya masih belum terlampau dalam. Sebenarnya aku bisa saja tidak usah pergi, tapi jika aku terus-terusan melihatmu, aku takut kalau aku malah tambah tersakiti. Sepertinya ini resiko memiliki sahabat lelaki yang banyak dikelilingi wanita >_<

Eh, apa tadi aku terlalu serius menulisnya? Yah, baiklah. Sepertinya cukup itu saja yang ingin aku katakan padamu. Kalau aku tidak menghentikan jariku, pasti tidak akan berhenti menulis sampai puluhan lembar. Oh ya, jaga dirimu. Mungkin aku akan kembali. Tapi tidak tahu kapan. Aku juga sudah bilang pada Ayahku untuk pindah kuliah. Dan satu nasihatku, kelakuan play boy mu jangan sampai bertambah parah yaaaa, wahahahahhh... ah, kenapa aku malah menangis saat menulis ini. Ini kan tidak sedih sama sekali.

Ckkk. Menyebalkan. Dari tadi air mataku terus-terus mendesak keluar. Tuh, kertasnya jadi basah. Baiklah, kurasa cukup sekian Win.

Makes. Kukkaaang... Iwin... Aku sayang kamu. Maaf dan terima kasih untuk segalanya... ^^

Your Kuy,


Isah

©©©


Darwin kembali melipat surat yang ia terima sekitar tujuh bulan yang lalu. Surat dengan amplop berwarna kuning itu sudah puluhan kali ia membacanya. Bahkan ia sendiri tak pernah bosan berdo’a usai membaca surat itu, berharap agar sahabatnya kembali padanya. Surat itu bahkan sudah lusuh, karena pertama kali Darwin membacanya, ia meremas kertas itu sampai tak berbentuk.

Awalnya Darwin benar-benar tidak menyangka jika Isah juga mengalami hal yang sama dengannya saat pingsan. Apa roh mereka berdua memang benar-benar bertemu saat itu dan mereka memasuki dunia tak masuk akal? Entahlah, Darwin tak mau ambil pusing dengan dunia yang sama sekali tak nyata itu.

Sudah pukul sebelas malam. Dan itu artinya tinggal satu jam lagi maka hari ulang tahun Darwin akan berakhir. Kali ini benar-benar akan menjadi ulang tahun yang buruk ia rasa. Hanya seorang diri. Tanpa sahabatnya yang biasanya akan selalu menamaninya seharian penuh selama ulang tahun.

Seraya duduk di tepi jendela kamarnya, Darwin menatap langit malam. Darwin pikir, Isah akan kembali saat hari ulang tahunnya. Ia sudah menunggu sejak tadi malam. Ia berharap Isah akan memberi kejutan untuknya. Namun sampai detik ini, dan bahkan hari ulang tahunnya akan berakhir, tak juga gadis itu datang. Jangankan untuk datang, bahkan menghubunginya saja tidak.

Darwin menghela nafas berat. Di seberang sana, kamar Isah tertutup rapat. Dulu, saat pertama kali ia pindah rumah, ia pikir bisa selamanya bisa melihat Isah dari jendela kamarnya. Tapi yang terjadi sekarang, gadis itu tak ada lagi di rumahnya. Hanya ada orang tuanya dan saudaranya karena gadis itu memutuskan untuk kost di dekat kampusnya di Kalimantan Selatan. Ditambah lagi, gadis itu benar-benar sudah memutuskan komunikasi dengannya. Nomor ponsel gadis itu sudah tidak aktif lagi. Dan yang lebih parahnya, tak ada seorangpun yang mau memberikan nomor gadis itu padanya sehingga Darwin tak tahu kemana harus menghubungi sahabatnya itu.

Suara lolongan anjing merambat memenuhi indra pendengarannya. Sedikit meremang bulu kuduknya, lantas pria itu berniat menutup jendela kamarnya. Sebelum benar-benar menutup jendela, pria itu menatap sebuah gugusan bintang di atas sana. Gugusan bintang bernama Sirius. Gugusan bintang yang melambangkan serigala yang kesepian. Sama seperti keadaanya sekarang.

Darwin melirik jam pada layar ponselnya. Lima belas menit lagi pukul dua belas sebelum hari ulang tahunnya benar-benar berakhir. Dan itu artinya ia sudah melamun hampir empat puluh lima menit di tepi jendela kamar. Dengan perlahan, ia menutup daun jendela sebelum sebuah suara deritan jendela terbuka di seberang sana menarik atensinya.

Waktu seakan terhenti berputar. Aliran nafasnya terhenti. Jika mungkin, kedua bola matanya hampir saja mencuat dari tempatnya. Jantungnya bertalu tak karuan dengan kedua lutut bergetar berusaha menopang berat tubuhnya.

Darwin menarik kedua sudut bibirnya. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi. Ya, ia selalu percaya. Ia percaya kalau wanita itu akan kembali.

.
Can we fall, one more time?
Stop the tape and rewind
Oh and if you walk away I know I’ll fade
Cause there’s nobody else
It’s gotta be you
Only you
It’s gotta be you
Only you
.

Di seberang sana, wanita itu tersenyum lebar dengan wajah cerahnya. Seraya melempar konfetti, wanita itu berteriak dari jendela kamarnya.

“IWIIIN SELAMAT ULANG TAHUUUUUUN!!!”

.
.
FIN
.
.

©©©

Alhamdulillah...
MET MILAD DARWIN, BARAKALLAHU FII UMRIK ^^
Oh iya, maaf kalau aku sudah banyak salah sama kamu selama ini. Waktu yang sudah kita lewati bersama, mungkin akan jadi moment yang sulit untuk dilupakan. Piringnya sudah pecah Win, bukan retak seperti waktu itu. Saat retak itu, kita masih mencoba mempertahankan piring itu supaya tidak benar-benar pecah. Tapi sekarang, piring itu sudah pecah dan tidak bisa disatukan kembali. Dan sekarangpun aku sama sekali nggak berniat menyatukan pecahan piring itu yang hanya akan melukai tanganku. Aku tahu, kamu pasti sangat paham dengan perumpamaan ini...
Win, mungkin akan lebih baik aku kembali ke masa di mana aku belum kenal kamu. Tapi aku bilang begini bukan karena aku menyesal sudah pernah jadi teman baik kamu, bahkan bisa dibilang saat itu kita lebih dari teman baik.  Hanya saja, semua sudah berubah sekarang... Aku lelah terkadang dengan kata-kata kasarmu, maaf... Dan mungkin kamu juga sudah lelah dan bosan berteman denganku.
Jangna benci sama aku yaa. Aku seneng kok pernah jadi bagian dalam hidup kamu. Makasih sudah sering nemanin aku di saat aku kesepian. Makasih mau berteman sama perempuan seperti aku. Makasih makasih banget. Pesan aku, jangan lupa sholat lima waktunya Win dijaga. Yang pasti aku sudah nggak bisa sms-an sama kamu lagi dan ngingatin kamu sholat seperti biasanya. Jangan nyakitin wanita dan jangan memberi harapan sama wanita kalau kamu nggak serius sama mereka, karena perempuan itu terlalu rapuh...
And last but not least, ADIOS AMIGO (: