ITB vs DTB (Last Chapter)
Special for Darwin’s
Birthday
.
.
Author:
AISYAH
(@cloudisah)
.
.
p.s: Chapter terakhir dari cerpen yang
aku buat khusus untuk orang yang pernah dan mungkin akan selalu mewarnai
hidupku, ITB vs DTB... Cerpen ini masih
ada sedikit kaitannya dengan chapter-chapter sebelumnya. Maaf hanya cerpen ini
yang bisa aku kasih sebagai kado ulang tahun kamu, bukan berupa benda seperti
lazimnya kado ulang tahun. Karena kalo aku ngasih kamu kado berupa benda, bisa
aja benda itu hilang, rusak, dsb, dan tentu saja orang lain juga bisa
memberikan kado itu buat kamu. Tapi kado dari aku adalah cerpen ini yang nggak
akan kamu temukan di tempat lain, nggak ada yang bikin, dan nggak ada yang bisa
beli cerpen ini, dan yang pasti hanya aku yang memberikan cerpen ini buat
kamu... Semoga di chapter terakhir ini kamu bisa menemukan sesuatu yang baru
yang belum pernah aku buat sebelumnya...
And when you read it, please use your highest imagination
(like usual, english limited edition) ^^ Happy reading J
.
Warning:
Too long story (more than 12.000 words), but please
read it till you find a word “FIN”...
.
©©©
.
ITB vs DTB
Welcome to... An “absurd”
adventure...
.
Tiga buah
kaleng terlihat berserakan di atas lantai dalam sebuah kamar yang cukup temaram.
Bukan karena aliran listrik yang tengah padam, melainkan sang empunya kamar tak
berniat menerangi ruangan pribadinya itu dengan cahaya putih yang cukup
menyilaukan matanya. Oke, memang tak benar-benar silau—seharusnya. Tapi bagi
pemilik kamar itu, cahaya lampu terlalu menyilaukannya sehingga ia lebih
memilih duduk di kursi belajar dengan penerangan menggunakan lampu yang ada di
atas meja belajarnya.
Satu kaleng
lagi yang isinya baru saja ia tenggak habis beberapa sekon yang lalu lantas
kembali ia lempar asal bersama tiga kaleng lainnya yang telah lebih dulu
tergeletak di atas lantai dengan kondisi mengenaskan. Tak ada dosa bagi keempat
kaleng air soda itu melainkan karena sang tersangka hanya melampiaskan
perasaannya pada minuman bersoda.
Tidak elit
memang. Jika manusia-manusia penganut
liberalisme-kapitalisme-pluralisme-hedonisme dan paham isme-isme yang lain,
mereka pasti akan menggunakan minuman beralkohol untuk melampiaskan perasaan
mereka. Namun sang pemilik kamar ini masih sadar diri untuk tidak menyentuh
minuman keras yang akan merusak otak cerdasnya.
Siapa yang
patut disalahkan untuk keadaannya yang seperti sekarang ini?
Apakah
gadis yang bernama Isah itu? Oh tidak. Dirinya masih memiliki sedikit nurani
untuk tak menyalahkan gadis itu. Yah, benar. Hanya sedikit. Setelah gadis itu
mencabik-cabik perasaannya yang mulai terlampau dalam, akhirnya ia lebih
memilih mengutuk gadis itu dalam diam meskipun ia sendiri tahu tak ada alasan
baginya untuk membenci gadis itu.
Pukul satu
lebih dua puluh empat menit.
Suara
lolongan anjing hutan memenuhi indra pendengarannya. Cukup membuat bulu roma
pria itu meremang. Dengan tubuh yang sulit digerakkan dan matanya yang mulai
berat, ia membawa tubuhnya berjalan perlahan menuju tempat tidur.
“Aku benci
Isah... Aku benci Isah...”
Pria itu
tak tahu sejak kapan ia mulai melafalkan kalimat tersebut berulang-ulang. Yang
ia tahu, rasa benci itu mulai tumbuh senja tadi saat gadis itu pergi
meninggalkannya sendirian di bawah guyuran gerimis setelah dengan jelas ia
mendengar kalimat dari gadis itu yang membuat jantungnya serasa teriris. Pria
itu benci kalimat perpisahan. Dan gadis itu dengan gampangnya mengatakan
kalimat itu.
Hingga
matanya mulai memberat seiring dengan kelopak matanya yang mencoba untuk
menutup. Berharap esok hari ia akan terbangun dan kejadian yang baru saja ia
alami hanyalah mimpi buruk sesaat. Mimpi buruk yang dengan mudah akan ia hapus
nantinya.
©©©
Rasanya
belum sempat pria itu memejamkan matanya, bunyi deritan pintu kamar menyapa
indra pendengarannya membuatnya terlonjak kaget. Siapa orang gila yang masuk ke
kamarnya di tengah malam seperti ini? Mengabaikan rasa kantuk luar biasa yang
mendera, lamat-lamat ia menangkap siluet seorang gadis berdiri tepat di samping
tempat tidurnya.
Kedua netranya
membulat seraya membawa tubuhnya untuk bangkit duduk lantas mengucek kedua
matanya untuk meyakinkan penglihatannya. Hampir saja ia tersedak ludahnya
sendiri melihat penampilan gadis itu yang errrr... sangat aneh.
“Kenapa
kamu malah tidur? Professor bilang kan kita harus mengerjakan tugasnya bersama.
Aku tidak mau dapat C lagi gara-gara kamu,” gadis itu cemberut lantas duduk
persis di sisi tempat tidur.
Pria
itu—Darwin—menatap heran gadis itu dari kepala hingga kaki. Membuat yang
ditatap menjadi risih dan melototkan matanya. Dan apa yang gadis itu katakan
tadi? Tidur? Enak saja dia, padahal Darwin belum sempat memejamkan matanya sama
sekali. Huh.
“Kamu
kenapa sih? Cepat ganti baju. Nanti kawanan siput itu keburu kembali ke sarang
mereka.”
Dengan pakaian
serba biru dari kepala hingga kaki, dan buku tebal bersampul coklat yang Darwin
tak tahu buku apa itu, serta sebuah kaca mata yang menghiasi wajah gadis di
hadapannya ini, membuat Darwin meyakinkan dirinya kalau saat ini ia tengah
tertidur dan sedang bermimpi. Darwin yakin kalau senja tadi ia baru saja
berpisah dengan Isah, lalu tadi ia minum empat kaleng air soda, lalu ia juga
merasa baru saja akan terlelap tidur.
Ditambah
lagi... Kawanan siput? Memangnya ada urusan apa dirinya dengan kawanan siput
itu?
Darwin
terkekeh pelan dan menatap seisi kamarnya. Hebat sekali mimpinya kali ini. Di
set sesuai dengan keadaan kamarnya yang sebenarnya. Hanya saja kaleng-kaleng
yang ia minum tadi sudah tidak ada lagi.
“Awwwwh...”
Darwin meringis ketika satu cubitan keras dari gadis itu mendarat di lengan
kirinya. Membuatnya kembali membulatkan kedua matanya karena ia benar-benar
merasakan sakit luar biasa. Hey, jika ia sedang bermimpi tentu tidak akan
merasakan sakit bukan?
Mencoba
kembali mencubit lengannya sendiri, Darwin hendak berteriak saat itu juga jika
saja ia lupa harga dirinya sebagai seorang lelaki. Sebenarnya ini mimpi atau
bukan?
“Isah, ini
mimpi kan? Ini konyol. Maksudku, bukannya sore tadi kamu bilang tidak mau
bertemu aku lagi? Lantas, kamu pergi meninggalkan aku sendirian disaat masih
gerimis.”
Yang diajak
berbicara memutar kedua bola matanya jengah. “Ayolah Darwin, sampai kapan kamu
terus membahas hal itu? Kejadian itu sudah seminggu yang lalu. Kamu masih marah
waktu itu aku meningggalkan kamu? Ckk, kekanak-kanakan sekali.”
Oh bunuh
saja Darwin sekarang. Sudah seminggu yang lalu? Bukankah jelas-jelas kejadian
itu baru saja tadi sore?
“Cepat
ganti bajumu. Aku tunggu kamu di luar,” gadis itu beranjak pergi meninggalkan
Darwin sendirian di kamarnya dalam kebingungan.
Darwin
melirik jam dinding. Bukankah seharusnya ini masih malam? Dan hampir saja bola
matanya hendak mecuat dari tempatnya ketika melihat jarum jam sudah menunjuk
angka tujuh.
“Sepertinya
aku mulai tidak waras,” ucapnya pada diri sendiri. Namun detik berikutnya tetap
saja ia menurut perkataan Isah untuk segera mengganti pakaiannya.
©©©
Pria itu
tidak tahu sejak kapan ia memiliki baju serba biru di dalam lemari pakaiannya.
Bahkan sampai pakaian dalampun semuanya berwarna biru. Sejujurnya Darwin adalah
pria penyuka warna merah. Kenapa tidak warna merah saja?
Ia terus
membatin seraya membawa tungkainya menuju teras rumah di mana gadis bernama
Isah itu tengah duduk dengan menselonjorkan kedua kakinya, dan buku tebal
bersampul coklat itu tengah terbuka di atas pangkuannya.
“Kita mau
ke mana sih?”
Yah,
setidaknya pertanyaan itu masih terdengar normal ketimbang jika Darwin masih
mempertanyakan di dunia mana mereka sekarang. Darwin melirik isi buku di
pangkuan Isah. Kertas buku itu terlihat kusam, dan Darwin merasa ia pernah
melihat buku seperti itu dalam film favoritnya, Harry Potter.
Oh, bisa
saja sekarang mereka di dunia sihir. Bahkan Darwin mulai membayangkan ia akan
naik sapu terbang kemanapun ia akan pergi. Sepertinya akan sangat menyenangkan
sekali.
“Kamu
melamun?” suara Isah seketika menghancurkan imajinasinya akan sapu terbang itu.
“Eeh, ti,
tidak kok. Jadi, kita mau kemana?”
Isah
menutup bukunya seraya bangkit berdiri. Gadis itu menatap Darwin yang
notabenenya bertubuh lebih tinggi di hadapannya. “Tidak usah pura-pura tidak
ingat. Kamu senang kan jika akau dapat nilai C lagi untuk PR Ilmu Bumi? Huh,
itu sebabnya kamu malas-malasan mengerjakan tugas kelompok dari Professor,”
gadis itu memeluk erat bukunya sembari mencibir menatap Darwin.
Darwin yang
sama sekali tak mengerti arah pembicaraan gadis di hadapannya itu hanya
mengangkat kedua bahunya. “Yah, terserah apa katamu. Jadi sekarang kita akan
mengerjakan PR Ilmu... Ilmu apa tadi kamu bilang? Ilmu Bumi?”
Tanpa
menjawab pertanyaan Darwin barusan, Isah berjalan menuju pekarangan di susul
oleh Darwin yang mengekor di belakangnya. “Ayo kita ke hutan pinus tempat
kawanan siput-siput yang akan kita teliti. Sebelum matahari semakin meninggi,”
Isah mengeluarkan sebuah bola seperti kristal dari dalam sakunya. Bola kristal
itu seukuran buah langsat menurut pandangan Darwin.
“Bagaimana
caranya kita ke sana? Apa naik sapu terbang?”
Isah
menatap heran Darwin yang baru saja menanyakan kalimat itu. Hal itu membuat
Darwin hanya balas menatapnya dengan tampang kuriositas yang tergambar jelas di
wajahnya.
“Kamu
ada-ada saja. Sapu terbang itu tidak ada,” dan Isah mengalihkan atensinya dari
Darwin. Gadis itu mulai melemparkan bola kristal seukuran langsat itu ke atas
tanah dan seketika sebuah portal yang cukup besar terpampang di hadapan mereka.
Membuat kedua belah bibir Darwin terbuka kelewat lebar. “Jangan melamun lagi,
ayo cepat,” Isah menarik lengan Darwin memasuki portal itu dan seketika itu
juga tubuh Darwin serasa melayang.
Belum
sempat keterkejutan Darwin akan bola kristal yang bisa membuat portal besar,
sekarang ia kembali dikejutkan dengan suasana hutan pinus yang rindang. Jadi
portal tadi membawa dirinya dan Isah menuju hutan pinus ini. Banyak kawanan
kelinci di sekitar mereka. Serta, hey tunggu dulu. Apa Darwin tidak salah
lihat? Bukankah itu siput? Tapi kenapa siput itu memiliki sayap?
“Nah, itu
dia siput-siputnya. Ayo Win kita hampiri mereka,” Isah kembali menarik lengan
Darwin untuk berjalan mengikutinya menuju kawanan siput bersayap yang tengah
berbaris berjalan keluar dari sarangnya. Apa? Siput punya sarang?
“Ini
benar-benar siput? Kenapa mereka memiliki sayap?” tunjuk Darwin ketika ia dan
Isah berjongkok di samping barisan para siput itu.
“Kamu
kenapa sih Win kok jadi aneh begitu? Bukankah itu memang yang menjadi PR kita
kali ini? Meneliti siput-siput yang mulai berevolusi dengan tumbuhnya sayap di
samping cangkang mereka. Huh...”
Darwin
hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan semua keanehan ini. Ia
akhirnya hanya bisa pasrah mengikuti kemana jalan cerita di dunia tak masuk
akal ini akan membawanya.
“Hey lihat
anak siput itu Win, dia mulai mengepakkan sayapnya. Imut sekali,” ucap Isah
heboh ketika mereka melihat dua ekor anak siput mengepakkan sayap mereka bersiap
untuk terbang, namun sepertinya sayap mereka masih terlalu lemah untuk bisa
terbang.
“Iya, imut
seperti kamu.” Maksud hati ingin membuat suasana humoris, namun niat itu harus
ditelan bulat-bulat ketika Isah menatapnya dengan tatapan horror. Darwin akhirnya hanya menunjukkan cengiran lebar berharap
gadis itu berhenti menatapnya dengan tatapan mengerikan seperti itu. “Oh iya
Sah,” panggil Darwin ketika mereka kembali mengamati siput-siput itu.
“Hmm?”
“Aku tidak
bawa buku catatan. Jadi bagaimana aku bisa mencatat apa yang kuteliti dari
siput-siput ini?”
Isah
mendengus kelewat nyaring membuat kedua alis Darwin bertaut. “Kamu semalam
makan apa sih? Bukankah kita hanya perlu mengingat apa yang kita lihat? Nanti
juga kita akan menyampaikan hasil penelitian kita ini secara lisan di hadapan
professor. Ckk, sepertinya otakmu perlu penyegaran.”
Darwin
kembali menggaruk tengkuknya. Ini semakin membuatnya bingung. “Memangnya kapan
tugas ini harus selesai?”
Isah
bangkit berdiri dan Darwin turut mengikuti gadis itu. “Lebih baik kita
menelitinya besok saja. Kurasa hari ini kamu memang perlu jalan-jalan untuk
menyegarkan otakmu. Ayo,” Isah mengeluarkan sebuah kristal seperti tadi. Dan ia
kembali melempar kristal itu ke atas tanah, hingga sebuah portal kembali terbentuk
di hadapan mereka.
Darwin
menurut saja dan mengikuti kemana Isah membawanya. Dan Darwin rasa ia mulai
terbiasa dengan hal-hal aneh yang terjadi dengannya sekarang.
©©©
Jalanan itu
cukup ramai dengan rumah-rumah penduduk di kiri-kanan jalan, serta pepohonan
rindang yang entah kenapa menurut Darwin baru kali ini ia melihat pepohonan
itu. Dedaunannya memiliki ukuran yang sama dalam satu pohon. Dan lagi, setiap
pohon memiliki warna yang berbeda-beda, dan yang paling menarik atensinya
adalah pohon yang daunnya berwarna hitam seluruhnya yang berada tepat di
samping pohon berwarna peach.
Sejujurnya Darwin ingin sekali menanyakan perihal keanehan pada warna dedaunan
itu, namun daripada ia disangka semakin aneh akhirnya ia lebih memilih bungkam
dengan tanda tanya besar di benaknya.
“Kenapa
orang-orang di sini semuanya mengenakan baju biru? Memangnya tidak ada warna
lain?”
Kalimat
tanya Darwin barusan yang sebenarnya ia tujukan untuk dirinya sendiri itu
tertangkap dengan jelas oleh indra pendengaran Isah yang berjalan di sisinya.
Isah menghentikan langkahnya membuat Darwin turut menghentikan langkahnya pula.
Perlahan gadis itu menyentuh kening Darwin dengan tangan kirinya, dan setelahnya
gadis itu berdecak pelan.
“Kamu sejak
bangun tidur tadi jadi aneh. Memangnya tadi malam kamu mimpi apa sih? Bukankah
kita para Elf memang berpakaian
seperti ini sejak nenek moyang kita dulu? Di negeri Blue Saphire ini setiap Elf
wajib berpakaian biru, itu adalah warna suci negara kita. Jika kita
melanggarnya, maka keluarga kita akan kena kutukan. Ckk, aku menjelaskan ini
seperti sedang berbicara dengan anak Tingkat Dasar saja,” Isah kini mengalihkan
fokusnya dari Darwin dan menatap orang-orang—yang disebut dengan Elf—berkerumunan di depan sebuah tempat
yang terlihat seperti kedai.
Darwin
hanya ber-oh ria. Dirinya mulai paham sekarang meskipun ia masih tidak mengerti
kenapa ia bisa melintasi batas teritorial negara Indonesia. Bahkan seingatnya
saat SD dalam pelajaran IPS tak pernah ada satupun negara dengan nama Blue Saphire.
“Coba kamu
lihat kedai milik Paman Jong itu,” tunjuk Isah pada sebuah kedai yang ramai
oleh para Elf.
Darwin
mengikuti arah telunjuk Isah. “Memangnya kenapa?”
“Ckk, Paman
Jong itu selalu menggunakan sihir rahasia keluarganya dalam menyiapkan hidangan
di kedainya. Dan kudengar sihir itu adalah sihir curian dari seorang petapa
yang dihukum mati tahun lalu,” terang Isah yang membuat bulu kuduk Darwin
seketika meremang. Pria itu cukup ngeri mendengar kalimat ‘dihukum mati’.
Bisa saja
Darwin bertanya alasan petapa itu dihukum mati. Namun ia lebih memilih
berkemam, toh ia tak punya urusan dengan petapa yang sudah almarhum itu.
“Sekarang
lebih baik kita ke Danau Sone yuk,
kurasa menghabiskan waktu di situ bisa mengembalikan sikap aneh kamu hari ini,”
ajak Isah.
Darwin
hanya tersenyum dan menjawabnya dengan anggukan pelan. ‘Danau apalagi itu?’ Darwin membatin.
Kali ini
Isah tidak menggunakan bola kristal lagi untuk menuju lokasi yang akan ia tuju,
melainkan ia membawa Darwin menuju sebuah pohon berdiameter besar di mana di
tengah batang itu ada sebuah pintu berpelitur coklat dengan ukiran seperti naga
di bagian tepinya.
“Ayo Win,”
Isah lebih dulu memasuki pintu itu.
Dengan kuriositas
yang terlampau tinggi, Darwin melangkahkan kakinya dengan ragu memasuki pintu
itu. Dagu Darwin terjatuh, membuatnya menganga kelewat lebar ketika yang
didapatinya pertama kali setelah memasuki pintu itu adalah sebuah danau jernih,
persis danau yang ia dan Isah kunjungi terkahir kali.
“Cantik,”
itulah kata pertama yang Darwin ucapkan ketika ia berdiri bersisian dengan Isah
tepat di tepi danau.
“Heum,
memang cantik. Bukankah kamu memang suka ke tempat ini? Lagipula tidak banyak Elf yang tahu akan keberadaan tempat
ini. Mereka bahkan menganggap pintu tadi membawa ke tempat menyeramkan.”
Darwin
kembali tersenyum. Namun beberapa detik kemudian senyum itu memudar ketika
memorinya mengingat kejadian buruk yang ia alami dengan Isah di danau ini. Di
danau ini ia mengabaikan Isah, dan di danau ini ia pernah kehilangan Isah dan
berakhir dengan pertengkaran mereka yang...mengerikan.
Darwin
menggeleng pelan mengingat kejadian itu. Ia benar-benar tak ingin lagi
mengingat hal itu, dan ia harap jika dunia tempat ia berada sekarang nyata
sehingga ia tak akan memusingkan dirinya lagi dengan Isah di dunia satunya.
Darwin
mengikuti Isah yang lebih dulu duduk di atas dandelion. Rasanya benar-benar tenang di tempat ini. Jika memang
ini mimpi, rasanya ia sungguh tak ingin terbangun.
“Aku
ngantuk... Hoaaahhm.”
Darwin
melirik Isah yang tengah berbaring di sampingnya, dan buku bersampul coklat
yang sejak tadi dibawa gadis itu ia jadikan sebagai bantal. Entah kenapa Darwin
juga merasa mulai mengantuk, sehingga ia turut membaringkan tubuhnya di samping
Isah.
“Isah,”
panggil Darwin dan posisi pria itu sekarang sudah menyamping, memudahkannya
menatap Isah yang saat ini tengah memejamkan matanya.
“Hmm?”
gadis itu terlalu enggan sepertinya untuk sekedar membuka matanya.
“Isah...”
panggil Darwin lagi.
“Apa Win?”
ucap gadis itu lagi masih dengan memejamkan matanya.
“Buka mata
kamu.”
“Aku
ngantuk.”
“Sebentar
saja. Tatap aku,” kali ini nada suara Darwin merendah.
Dengan
berat Isah membuka matanya. Dan gadis itu kini juga memilih berbaring
menyamping, hingga pandangannya dan Darwin saling bersirobok. “Ada apa?”
Darwin
tersenyum tipis. Tangannya terulur menyentuh puncak kepala Isah, dan
mengusapnya pelan. Membuat kening Isah mengkerut. “Jangan pernah berniat
menjauh dari aku lagi ya. Aku tahu, kamu hanya ingin hubungan kita sebagai
sahabat. Jadi kumohon, jangan lagi mengatakan selamat tinggal padaku,” Darwin
masih mengelus puncak kepala gadis itu dengan lembut.
Isah balas
tersenyum. Gadis itu lebih memilih kembali memejamkan matanya membiarkan Darwin
terus mengelus kepalanya. “Hmm, aku tidak akan melakukannya lagi.”
Puluhan
sekon berikutnya Darwin merasa matanya sangat berat. Hingga akhirnya ia dan
Isah tertidur di tepi danau dengan kicauan burung gereja sebagai lagu pengantar
tidur untuk mereka.
©©©
Kali ini
Darwin merasa matanya lebih berat dari sebelumnya. Mengabaikan rasa kantuk yang
mendera, ia berusaha membuka kedua kelopak matanya. Pria itu lantas terkekeh
pelan ketika mendapati dirinya terbaring di atas tempat tidurnya tanpa
mengenakan pakaian serba biru yang tadi
rasanya ia pakai dalam mimpinya—mungkin. Dan suara lolongan anjing masih
terdengar, meyakinkan pria itu kalau tadi
ia memang tertidur mungkin sekitar beberapa menit mengingat saat ini
hari masih gelap.
Perlahan ia
bangkit dan mendudukkan dirinya di atas tempat tidur seraya mengamati keadaan
di seluruh kamarnya. Tak ada yang berubah. Dan yang lebih menarik atensi Darwin
adalah kaleng soda yang berserakan sudah kembali di tempat semula, tergelatak
di atas lantai. Darwin menghitung jumlah kaleng itu, memastikan jumlahnya masih
sama seperti sebelumnya.
“Satu, dua,
tig—”
BOOOM...
Suara
ledakan yang memekakkan telinga cukup membuat jantungnya bertalu dengan cepat.
Pria itu berniat bangkit dari tempat tidur menuju jendela hendak melihat apa
yang baru saja terjadi, namun belum sempat kakinya menyentuh lantai pintu
kamarnya sudah dibuka dengan kasar oleh... Eh bukankah itu—
“Darwin
kenapa kamu malah tidur??! Ayo cepat kita harus bergegas menuju perbatasan
sebelum matahari terbit!”
—Isah lagi?
Dan, kenapa gadis itu berpakaian serba hitam??
“Ap, apa?
Apa maksud kamu?”
Tanpa
menjawab pertanyaan pria itu, Isah langsung menarik lengan Darwin keluar kamar.
Kantuk yang mendera kedua netra Darwin seketika lenyap ketika retinanya
menangkap keadaan rumahnya yang kacau balau.
“T,
tunggu... Sebenarnya ada apa ini??” Darwin berusaha melepaskan tangan Isah yang
menggenggam erat lengan kanannya.
Isah dengan
nafas memburu berbalik menghadap Darwin. Gadis itu melipat kedua tangannya di
depan dada. “Bodoh. Seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu malah tidur?”
Darwin
hanya menatap gadis di hadapannya itu, menuntut penjelasan lebih lanjut.
“Keluargamu
sudah diculik. Kita harus segera ke perbatasan sebelum matahari merangkak naik
karena jip yang membawa keluargamu tak boleh keluar jika matahari sudah
menyingsing di Timur. Kita harus segera membebaskan mereka, lalu setelah itu
kita langsung ikut Captain Sam menuju
telaga Boice. Jangan bilang kau
lupa?” Isah menatap Darwin dengan penuh selidik.
“Ap, apa?
Sebenarnya apa yang terjadi?”
Isah
memutar kedua bola matanya jengah. “Sudahlah, aku tahu kamu cuma pura-pura
saja. Ayo cepat.” Tanpa menunggu Darwin melanjutkan ucapannya, gadis itu lebih
dulu meninggalkan Darwin keluar rumah.
Darwin
menatap seisi rumahnya yang benar-benar kacau. Persis seperti kapal Titanic yang terhantam bongkahan es
besar. Pria itu mencoba mencubit pipinya sendiri. “Awwwh..” ia meringis ketika
merasakan perih akibat cubitannya sendiri. Pria itu kembali menggeleng,
meyakinkan dirinya kalau ini hanya sekedar ilusi.
“Hey bodoh!
Kenapa kamu malah diam saja di sana? Kita tidak punya banyak waktu...” Isah
kembali masuk menghampiri Darwin dan menyerahkan sebuah rompi anti peluru untuk
dikenakan Darwin. “Cepat pakai itu, kutunggu di luar.”
Darwin yang
entah kenapa merasa de javu segera
memakai rompi itu meskipun ia sendiri sama sekali tidak mengerti dengan apa
yang tengah terjadi. Lantas setelah memakai rompi itu di tubuhnya, dengan
sedikit berlari ia menghampiri Isah yang berdiri di samping pagar rumahnya.
©©©
“Ambil
ini,” Isah menyerahkan sebuah revolver pada Darwin yang disambut pria itu
dengan tangan gemetar.
“Apa ini?”
tanya Darwin panik. Seumur hidupnya baru kali ini memegang sebuah pistol.
“Itu revolver,
bodoh. Kenapa kamu jadi tampak bodoh seperti ini sih? Sudahlah, ayo cepat,”
gadis itu lebih dulu berlari meninggalkan Darwin.
Darwin
bergeming. “Ckk, seenaknya saja dia dari tadi mengataiku bodoh,” ucapnya seraya
menimang-nimang revolver di tangannya.
BOOOM....
Sekali lagi
bunyi ledakan yang memekakkan telinga membuat jantungnya hampir mencelos dari
tempatnya. Darwin menajamkan penglihatannya, terlihat kobaran api di banyak
tempat. Kedua bola matanya membulat sempurnya ketika melihat kobaran api itu
semakin besar. Belum lagi suara sirine yang entah sejak kapan—mungkin sejak
tadi ia tidak menyadarinya—memenuhi indra pendengarannya.
“Perhatian untuk seluruh Black Sniper agar segera berkumpul di pos Barat. Kita akan segera menuju perbatasan.
Sekali lagi perhatian kepada seluruh Black Sniper agar segera berkumpul di pos Barat karena kita akan segera menuju
perbatasan.”
Kedua alis
Darwin bertaut. Namun tak lama kedua matanya kembali melebar mengingat ia
ditinggal sendirian di depan rumahnya. Pria itu segera bergegas mencari Isah
yang lebih dulu pergi meninggalkannya tanpa memberikan sedikitpun penjelasan
akan segala kejadian yang tengah terjadi saat ini. Darwin rasa ia lebih suka
berada di dunia Elf sehingga ia tak
perlu mendengar suara ledakan ataupun memegang pistol yang baru kali ini ia
pegang.
Darwin
kesana kemari berlari mencari sosok gadis yang tadi meninggalkannya. Di
sana-sini dipenuhi dengan orang-orang yang terluka, juga orang-orang bersenjata
di tangan mereka. Serta beberapa helikopter yang baling-balingnya masih
berputar membuat Darwin kesulitan mencari sosok itu di tengah hiruk pikuk yang
ada. Belum lagi ambulance yang
berlalu lalang dan puluhan jip yang melaju cepat membuatnya serasa ingin
muntah. Suasana ini sungguh-sungguh memusingkannya.
Langkahnya
terhenti ketika mengingat suara yang sempat ia dengar tadi. Black Sniper? Dan, Pos Barat?
Tanpa sadar
Darwin melirik pakaian yang ia kenakan. Eh? Sejak kapan Darwin jadi berpakaian
serba hitam seperti ini?
Dengan
meyakinkan dirinya kalau ia juga bagian dari Black Sniper, pria itu dengan cepat membawa tungkainya menuju
Barat. Ia yakin jika Isah juga ada di sana mengingat tadi gadis itu juga
berpakaian serba hitam.
Seraya
mempertajam penglihatannya, Darwin mengamati orang-orang yang berpakaian serba
hitam sepertinya yang tengah berbaris di hadapannya ketika tungkainya telah
mencapai Pos Barat. Seorang gadis yang berada di ujung barisan ke-dua menarik
perhatiannya. Ia yakin itu gadis yang tadi ia cari. Dengan kembali berlari
Darwin hendak menghampiri gadis itu namun belum sempat langkahnya sampai,
sebuah tangan lebih dulu mencengkram lengan kirinya.
“Tsk,
bodoh. Kamu kemana saja? Kupikir kamu sudah diculik sebelum sampai ke sini,”
ketus suara itu.
Mulut
Darwin menganga lebar ketika ia menyadari bahwa yang tengah menarik lengannya
dan berbicara dengannya ini adalah Isah. Lalu, siapa gadis yang ia lihat tadi?
Isah
mengikuti arah pandang Darwin. Gadis itu menggeleng pelan seraya berdecak
nyaring. “Bodoh. Jadi kamu pikir gadis yang di ujung itu aku?”
Darwin
hanya bisa menunjukkan cengirannya. “Di sini gelap, dan semua orang di sini
memakai pakaian hitam jadi aku sulit mengenalimu,” jawabnya jujur.
“Ya
sudahlah apa katamu. Kita harus bersiap menuju perbatasan. Jangan lupa isi
revolver-mu lebih dulu, dan untuk berjaga-jaga aku sudah menyiapkan amunisi
cadangan di dalam ranselmu jika nanti tiba-tiba kau kehabisan amunisi,” Isah
menyerahkan sebuah ransel hitam untuk Darwin.
Darwin
hanya menerima ransel itu dan menuruti apa yang Isah katakan. Entah kenapa
Darwin merasa sangat ahli dalam mengisi bubuk mesiu di dalam revolvernya, sebab
tangannya begitu cekatan melakukannya.
“Ayo kita
berangkat—”
“Tunggu...”
kali ini Darwin menarik lengan Isah membuat langkah gadis itu yang bersiap
menuju perbatasan terhenti. Isah hanya menatap Darwin meminta agar pria itu
segera mengatakan apa yang ingin dikatakannya. “Berhenti memanggilku bodoh,
karena aku tidak bodoh,” ucap Darwin
dengan penekanan di akhir kalimatnya.
Isah segera
menepis tangan pria itu. “Ckk, baiklah. Aku tidak akan melakukannya lagi,” Isah
segera berjalan cepat bersama Black
Sniper lainnya.
Darwin
ingin berteriak rasanya karena gadis itu kembali lebih dulu berjalan
meninggalkannya sendirian. “Hey, Isah tunggu! Kenapa kamu suka sekali sih
meninggalkanku??!” Darwin mempercepat langkahnya untuk menyusul Isah yang sudah
berada di barisan depan dengan beberapa Black
Sniper pria. “Tch, menyebalkan.”
©©©
Jika Darwin
pikir mereka—para Black Sniper—menaiki
jip untuk menuju perbatasan, ternyata dugaannya itu salah besar. Yang terjadi
sekarang adalah ia harus terus memaki dan memukuli nyamuk-nyamuk tak berdosa
yang mencari peruntungan dengan menghisap darahnya. Saat ini para Black Sniper tengah mengendap-endap
melewati semak belukar di dalam hutan yang disebut dengan hutan Azzuro—tadi Darwin sempat mendengar nama
hutan ini dari Black Sniper yang
berjalan di belakangnya—agar kehadiran mereka tak disadari oleh kelompok Rebuhos. Dan Darwin sama sekali tak
menyangka jika ia bisa berjalan super cepat seperti yang ia lakukan sekarang,
mungkin kecepatan langkah mereka hampir bisa menyamai laju jip yang membawa
keluarga Darwin menuju perbatasan.
Sedikit
penjelasan, Rebuhos adalah kelompok
musuh yang sudah empat bulan terkahir ini melakukan invasi di daerah tempat
tinggal Darwin dan kelompok itu menculik warga sipil untuk dijadikan bahan
percobaan dari serum yang tengah mereka kembangkan. Serum itu berfungsi
mengubah struktur jaringan di dalam tubuh manusia untuk bertransformasi menjadi
mutan.
Jangan
tanya kenapa Darwin bisa mengetahui hal itu karena selama perjalanan
mengendap-ngendap menuju perbatasan ia memaksa seorang Black Sniper yang bertubuh tambun di depannya untuk menceritakan
segala hal yang terjadi. Dan Darwin rasa ia benar-benar harus menghabisi
seluruh kelompok itu karena seluruh keluarganya baru saja diculik. Dan ia tidak
ingin jika seluruh keluarganya berubah menjadi mutan.
Hari masih
gelap. Dan hal ini tentu saja membuat Darwin yang tak terbiasa melihat di
tengah kegelapan kesusahan berjalan. Beberapa kali ini tersandung
ranting-ranting pohon. Bahkan ia rasa tubuhnya serasa semakin gatal karena
tidak hanya nyamuk yang menggigit kulitnya namun serangga-serangga kecil nakal
yang masuk ke dalam pakaiannya. Dan yang lebih menyebalkan adalah, di saat
seperti ini tak ada satupun orang yang dikenal Darwin. Oh jangan lupakan gadis
yang bernama Isah. Tapi, salahkan gadis itu yang dengan seenak jidatnya
meninggalkan Darwin sendirian bersama Black
Sniper asing yang tak ia kenal sama sekali.
“SELURUH BLACK SNIPER AGAR SEGERA MEMBENTUK FORMASI. SEKALI LAGI, SELURUH BLACK SNIPER SEGERA MEMBENTUK FORMASI.”
Itu suara
pria yang Darwin dengar tadi saat ia di depan rumah. Mungkin itu suara milik Captain mereka, karena Darwin belum melihat batang
hidung pria pemilik suara itu sama sekali.
Oke,
formasi apa lagi itu? Darwin akhirnya hanya mengikuti Black Sniper lainnya dan membentuk sebuah lingkaran. Dalam setiap
formasi lingkaran terdapat sepuluh orang Black
Sniper. Lamat-lamat dari dalam hutan, Darwin melihat cahaya dari jarak
sekitar seratus meter dari tempatnya sekarang. Jika Darwin tak salah lihat,
cahaya itu berasal dari mobil jip yang berhenti di sebuah jalan kecil. Darwin
rasa mereka sudah sampai di perbatasan.
BOOOM...
Sekali lagi
terdengar bunyi ledakan, dan kali ini Darwin tidak terkejut sama sekali karena
sepertinya ia mulai terbiasa dengan suara-suara itu. Namun akhirnya jantungnya
harus kembali berpacu ketika indra pendengarannya dipenuhi suara tembakan di
sana-sini.
“Berpencar!”
perintah salah satu Black Sniper
dalam lingkaran mereka, dan hal itu tentu saja membuat Darwin berlari secepat
yang ia bisa menghampiri cahaya yang ia lihat tadi.
Darwin
hendak berteriak rasanya ketika melihat keluarganya turun dari sebuah jip merah
dengan tangan mereka yang diikat dengan borgol serta mulut mereka disekap
dengan kain, entahlah Darwin tak yakin apakah itu kain atau lakban. Darwin tak
tahu pasti karena cahaya matahari baru saja akan muncul di ufuk timur, sehingga
penglihatannya masih kurang jelas. Seorang pria berbadan tinggi besar sedang
menggiring keluarganya untuk segera berlari dan melewati perbatasan. Sepertinya
pria itu adalah salah satu dari kelompok Rebuhos
yang menculik warga dari daerah Darwin.
Terjadi
baku tembak dari tim Black Sniper dengan
Rebuhos lainnya yang mencoba menahan
pergerakan Black Sniper untuk
menyelamatkan warga yang mereka culik. Sepertinya pria bertubuh tinggi besar
itu memanfaatkan keadaan Black Sniper yang lengah untuk membawa keluarga Darwin yang
diculik secara diam-diam.
Dengan
perlahan agar tak menimbulkan suara, Darwin berjalan dengan mengendap-ngendap
seraya mengacungkan revolver di tangannya bersiap menembak mati sang penculik.
Namun belum sempat Darwin menarik pelatuk revolvernya, bola matanya hampir
mencuat ketika pria itu tertembak di kepalanya oleh seorang Black Sniper lain.
Darwin
menatap Black Sniper yang baru saja
menembak si penculik. Dan bola matanya kembali hendak mencuat saat Black Sniper itu tersenyum remeh
padanya. Dengan berlari-lari kecil Darwin menghampiri orang itu yang tengah
melepaskan borgol di tangan keluarga Darwin.
“Isah,”
sapanya dengan nafas memburu.
“Bukan
saatnya basa-basi. Cepat bawa keluargamu kembali,” Isah menepuk pundak Darwin
seraya berjalan menjauh meninggalkan Darwin dan keluarganya.
Darwin
mengamati punggung Isah yang mulai menjauh dan sepertinya gadis itu kembali
beradu tembak dengan Rebuhos yang
masih bertahan. Darwin hampir tersentak kaget ketika adik perempuannya
menggenggam lengan kanannya.
“Kak, aku
takut,” ucap gadis itu lemah.
Darwin
mengelus puncak kepala adik satu-satunya itu. “Tidak apa-apa, ada kakak. Kita
akan segera kembali ke rumah,” ucapnya seraya tersenyum menenangkan.
Seorang
pria yang sepertinya Captain dari Black Sniper berlari menghampiri mereka.
“Cepat ikuti saya. Kita harus segera kembali karena pihak Rebuhos sudah meminta anggota tambahan dan mungkin anggota itu akan
segera ke sini dan menghabisi kita semua,” ucap pria itu pada orang tua Darwin.
Setelah itu pria itu beralih menatap Darwin, “Dan kamu, cepat bantu Black Sniper lainnya. Kita kekurangan
tim, nanti akan datang tim bantuan sekitar sepuluh menit lagi. Jadi tolong
bertahanlah sepuluh menit lagi di perbatasan ini,” titah pria itu.
Darwin hanya
bisa mengangguk. Sebelum pergi bersama sang Captain,
Ibu Darwin memeluk putranya itu.
“Hati-hati
sayang, jaga diri dan kamu harus selamat,” Ibunya mencium kening putranya itu.
“Heum, aku
akan berhati-hati, Bu,” Darwin tersenyum meyakinkan ibunya.
Setelah
seluruh keluarganya memasuki jip hitam yang dikemudikan Captain-nya dan setelah jip itu melaju meninggalkan daerah
perbatasan untuk kembali, barulah Darwin bersiap bergabung dengan Black Sniper lain.
©©©
Hampir saja
kakinya tertembak jika ia tidak segera menghindar ketika seorang Rebuhos dengan tampang menyeramkan
tiba-tiba saja datang entah dari mana dan kini ia dan Rebuhos itu tengah berhadap-hadapan. Sejujurnya Darwin sama sekali
tak ahli menggunakan revolver. Dan dalam keadaan seperti ini ia harus berusaha
semampu yang ia bisa agar serbuk timah tidak bersarang di dalam tubuhnya.
Dengan
tangan yang sedikit gemetar Darwin mengacungkan revolvernya ke hadapan Rebuhos itu. Sementara Rebuhos itu tersenyum mengejek.
“Kudengar
para Black Sniper itu adalah penembak
ahli yang tak tertandingi kehebatannya. Namun jika aku melihat keadaanmu
sekarang, kurasa itu hanya gosip murahan untuk menakuti kami,” ia terkekeh dan
bersiap menarik pelatuknya.
Darwin
sadar sekali pelatuk itu ditarik kemungkinan nyawanya bisa melayang jika
pelurunya mengarah ke bagian vital tubuh Darwin. Darwin menelan ludah gugup
ketika tampang Rebuhos di hadapannya
yang semakin menyeringai kejam.
DORRR... DORRR... DORRR... DORRR...
Bunyi
tembakan tanpa ampun terdengar dengan jelas. Yang pasti itu bukan berasal dari
pistol di tangan Darwin. Dan bukan pula suara tembakan dari Rebuhos di depannya. Tembakan itu dari
seorang gadis yang sekarang tengah menginjak perut Rebuhos yang tadi berhadapan dengan Darwin. Mulut Rebuhos itu mengeluarkan banyak darah
ketika gadis itu menginjak dengan tanpa ampun perutnya. Lagi-lagi gadis itu
membantu Darwin saat ia masih ragu untuk menarik pelatuk revolvernya.
“Is,
Isah...”
“Kamu ini
memang bodoh ternyata. Kenapa kamu malah berdiam diri saja dan tidak langsung
menembaknya? Jika ada kesempatan menembak, langsung tembak saja. Kamu kenapa
jadi seperti ini sih? Biasanya kamu yang paling cekatan menghabisi nyawa para Rebuhos,” gadis itu berdecak sebal.
“Maaf,”
ucap Darwin pelan.
Isah
menarik nafas dalam. “Hhhh, sudahlah. Cepat bantu Black Sniper lain karena-”
DORRR...
Belum
selesai gadis itu mengucapkan kalimatnya, sebuah tembakan mendarat di
kepalanya. Hal itu membuat gadis itu jatuh tersungkur di hadapan Darwin.
Melihat itu Darwin segera menarik pelatuk revolvernya dan menembakkannya tanpa
ampun ke arah Rebuhos yang baru saja
menembak Isah. Setelah Rebuhos itu
jatuh tersungkur, Darwin menarik Isah dalam pangkuannya.
“Isah... Isah
bertahanlah,” tanpa sadar tangan Darwin bergetar ketika melihat banyak darah di
tangannya. Sebuah peluru timah bersarang di kepala gadis itu.
“Darwinh,
ak... akuhh aaakkkh,” gadis itu berteriak kesakitan. “Cepppat, bawa akkuh ke
dalam hut, hutan. Ceppatth,” pintanya.
“Ken,
kenapa? Kamu bisa kehabisan banyak darah. Aku akan membawa kamu kembali ke-”
Gadis itu
menggeleng kuat. “Tidak banyaaakh.. hhh waktuuh... kakiku, kakiku...”
Darwin
melirik kaki Isah yang ternyata juga mengeluarkan banyak darah. “Kamu juga
tertembak di kakimu??! Sejak kapan? Isah!!!!”
Darwin
mengguncang tubuh Isah yang sudah tak sadarkan diri. Pria itu bersiap membawa
tubuh Isah yang semakin banyak mengeluarkan darah namun saat itu juga sebuah
tembakan mengenai lengan kirinya, dan sebuah tembakan lagi juga mengenai
kepalanya. Beruntung ia dan Isah mengenakan rompi anti peluru sehingga peluru
itu tidak akan mengenai jantung mereka. Namun hal itu membuat tubuh Isah
terlepas dari tangannya dan tubuh Darwin tersungkur di atas tanah. Hingga
akhirnya penglihatan pria itu memburam lantas gelap sepenuhnya.
©©©
Peluh
membasahi sekujur tubuh Darwin. Dengan nafas memburu pria itu bangun dari
posisinya. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut hebat, ia menajamkan
penglihatannya. Seluruh ruangan itu berwarna putih. Ruangan yang sangat asing
baginya.
“Awwh...”
ia meringis ketika rasa nyeri menjalar di lengan kirinya. Seraya memegangi
kepala dan menahan sakit pada lengannya, ia mencoba bangkit dari tempat tidur.
Darwin
kembali memperhatikan sekelilingnya. Biasanya ruangan serba putih itu identik
dengan rumah sakit, namun ruangan ini... Entahlah, tak bisa dikatakan kamar
pasien rumah sakit karena ruangan ini terlalu mewah untuk sebuah rumah sakit.
Dan tak ada selang infus serta peralatan lain yang biasanya ditemukan di kamar
pasien.
Ingatan
terkahir yang Darwin miliki adalah saat ia tertembak bersama Isah melawan Rebuhos. Eh, tunggu dulu. Isah.
Ngomong-ngomong bagaimana keadaan gadis itu?
Perlahan
Darwin membawa tungkainya menuju jendela. Seraya mengamati keadaan di luar
sana, Darwin mengingat kembali beberapa kejadian aneh yang belakangan terjadi
padanya. Semuanya sungguh tidak masuk akal. Dan lagi, kenapa Darwin tidak
kembali ke kamarnya seperti sebelumnya? Kenapa ia malah berada di ruangan serba
putih ini?
“Sudah
bangun?”
Darwin
hampir terlonjak mendengar suara berat di belakangnya. Perlahan ia membalik
tubuhnya dan mendapati seorang pria paruh baya dengan baju serba putih seperti
yang tengah ia kenakan sekarang—mungkin usianya seperti almarhum kakek
Darwin—tengah membawa sebuah kotak berwarna coklat. Pria paruh baya itu duduk
di sebuah sofa di dekat tempat tidur dan menatap Darwin memberi isyarat agar
Darwin turut duduk di sampingnya.
Meskipun
ragu, Darwin tetap melangkah mendekati pria itu dan duduk di sampingnya.
Setelahnya hening selama puluhan sekon sebelum akhirnya pria paruh baya yang
duduk di samping Darwin mengeluarkan suaranya.
“Bagaimana
keadaanmu?”
Kalimat
tanya itu ditujukkan untuk Darwin. Darwin memegangi kepalanya yang masih
berdenyut. Sebelum menjawab pertanyaan pria itu, Darwin mengamati lengan
kirinya di balik kemeja putih lengan panjang yang membalut tubuhnya. Tak ada
darah sama sekali. Pun memar juga tak ada. Namun entah kenapa Darwin merasakan
nyeri di lengan kirinya.
“Tak begitu
baik,” jawabnya.
Pria paruh
baya itu lantas mengangguk pelan. “Kurasa tubuhmu sudah berusaha memanggil
rohnya kembali. Itu sebabnya belakangan kau merasakan sakit sampai jatuh
pingsan. Tapi kau tak bisa kembali sebelum menyelesaikan tugasmu.”
Penjelasan
pria itu malah membuat kepala Darwin semakin berdenyut. Darwin sama sekali tak
mengerti tentang ucapan pria itu. “Apa maksudmu?” Darwin menatap pria paruh
baya di sampingnya yang saat ini sama sekali tak menatapnya.
“Kau akan
tahu nanti. Untuk saat ini kau harus menyelesaikan tugasmu mengantar semua
surat dari surga ini.”
Usai
mengucapkan kalimatnya, pria itu menepuk pundak Darwin sekilas lantas bangkit
meninggalkan Darwin sendirian di ruangan serba putih itu. Selepas kepergian
pria itu, Darwin mengamati isi kotak coklat yang tergeletak di samping sofa.
Darwin mengangkat kotak itu dan terdapat tumpukan surat dengan amplop
berwarna-warni di dalamnya.
“Surat apa
in-”
“Darwiiiin!”
Jika saja
kepalanya tidak sakit, mungkin Darwin akan berteriak memaki-maki gadis itu yang
tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan dan berteriak memanggil namanya dengan
tanpa dosa sedikitpun. Gadis itu berdiri di hadapan Darwin seraya tersenyum
lebar membuat Darwin menatapnya heran dari atas kepala hingga kaki. Kenapa
sekarang ia dan gadis itu jadi memakai pakaian serba putih seperti ini?
“Bagaimana
kabarmu? Setelah pingsan di mercusuar, aku tak bisa bertemu denganmu selama
tiga hari karena kakek tua itu melarangku untuk bertemu denganmu. Huh,
menyebalkan. Selama tiga hari ini aku harus mengantar semua surat-surat itu
sendirian. Ckk... Jadi, apa kau sudah sembuh sekarang? Kita harus segera
menyelesaikan tugas kita ini karena semakin hari semakin banyak surat-surat
yang datang dari surga. Jadi kita harus bergegas, ayo... Hey, kau mendengarku?”
Darwin
menatap gadis itu datar. Ayolah, apa lagi ini? Pingsan di mercusuar? Selama
tiga hari? Bukankah jelas-jelas ia dan gadis di depannya ini tertembak?
“Aku tak
punya waktu meladeni acara melamunmu,” gadis itu—Isah—menarik paksa Darwin agar
segera bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari ruangan serba putih itu. Tak
lupa dengan kotak coklat yang berisi surat-surat yang katanya dari surga itu
yang saat ini dibawa Darwin.
©©©
Bukit itu
hijau. Dengan ratusan tanaman azalea membuat
bukit itu terlihat begitu cantik saat pantulan sinar matahari mengenai ujung
tanaman-tanaman itu. Isah menarik Darwin agar mereka segera sampai di puncak
bukit dimana terdapat sebuah kotak pos dengan warna merah cherry di tengahnya. Kotak pos itu sangat kontras dengan tanaman
yang tumbuh di bukit azalea itu.
Dengan gaun
menjuntainya, Isah berjalan mendahului Darwin menghampiri kotak pos kala mereka
sudah sampai di puncak bukit. Sementara sang pria lebih memilih bergeming
seraya mengamati gadis itu memunguti puluhan surat yang ada di dalam kotak pos.
“Ah, lihat
Win. Bibi itu mengirim surat lagi untuk anak lelakinya,” Isah menghampiri
Darwin ketika gadis itu membaca sebuah amplop surat berwarna langit lantas ia
mendudukkan dirinya di atas rerumputan hijau yang tak lama diikuti oleh Darwin.
“Memangnya
surat apa?”
Mendengar
pertanyaan barusan keluar dari kedua belah bibir Darwin, Isah lantas mendelik
dan berdecak pelan. “Apa karena pingsan kamu jadi kehilangan ingatanmu huh?
Bukankah ini surat yang kita terima seminggu yang lalu dari bibi yang meninggal
saat terjatuh ke sungai ketika hendak menyelamatkan putranya? Seminggu yang
lalu, Beliau mengirimi surat dari surga untuk anaknya itu. Bibi itu bilang
kalau ia sudah bahagia di surga. Beliau meminta agar anaknya juga hidup bahagia
dan harus melanjutkan hidupnya.”
“Apa boleh
membaca surat dari orang lain? Terlebih dari orang yang sudah meninggal?”
“Tssk, kamu
ini kenapa sih. Bukankah itu memang tugas kita. Membaca dulu isi surat yang
akan kita antar. Lagipula memang tidak semua surat harus kita antar kan? Ada
juga surat-surat yang tidak boleh kita antar kepada manusia yang masih hidup,
seperti surat yang berisi sumpah serapah dari orang yang sudah meninggal itu.
Ah, sepertinya karena pingsan kamu jadi seperti ini.”
Darwin
hanya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Lantas beberapa sekon
berikutnya, ia hanya diam dan merasakan hembusan angin di bukit itu yang
menerpa surainya.
“Untuk
putra kesayangan Bunda,” Isah mulai membaca baris pertama dalam surat itu.
Darwin
memilih bungkam dan membiarkan Isah melanjutkan membaca deretan aksara di
tangannya.
“Hari ini
ulang tahunmu. Selamat ulang tahun sayang. Maaf Bunda tak bisa menemanimu lagi
seperti tahun-tahun sebelumnya—”
Alis Darwin
mengernyit ketika tak ada suara lagi setelah Isah membaca kalimat ketiga. “Hey,
kamu kenapa?” Darwin menyentuh pelan pundak Isah ketika gadis itu menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Hiks, aku
tak sanggup membacanya. Kamu saja yang membacanya... hiks,” Isah lantas
menyodorkan surat ditangannya pada Darwin setelah menghapus kasar air matanya.
Dengan
enggan pria itu mengambil kertas berwarna biru langit yang disodorkan padanya.
“Ckk, hanya seperti itu saja kamu menangis. Kamu bahkan baru membaca kalimat
ketiga. Sudahlah, tak usah dibaca. Lagipula surat ini harus segera kita antar
kepada putranya sebelum hari ulang tahunnya berakhir,” Darwin bangkit berdiri
seraya meregangkan otot-ototnya.
Perlahan
Isah turut bangkit. Keduanya terdiam sejenak membiarkan angin berhembus menerpa
kulit mereka. Darwin tak tahu kapan terakhir kalinya ia merasakan angin sesejuk
saat ini.
“Ayo kit—”
Darwin berniat menarik lengan Isah agar mereka meninggalkan bukit itu namun
alisnya kembali dibuat bertaut saat menatap Isah yang sedari tadi menggosok
kedua matanya. “Kamu menangis lagi?” tanyanya bingung.
Isah
menggeleng pelan. “Aku sudah tidak menangis lagi sungguh. Hanya saja... Kurasa
mataku kabur,” gadis itu menatap Darwin dengan matanya yang mengerjap
berkali-kali.
“Kabur?”
Isah
menggeleng pelan dan beberapa sekon berikutnya ia mengalihkan atensinya dari
Darwin dan menatap area di sekitar bukit. “Aneh...”
Darwin tak
bisa menyembunyikan ekspresi kebingungannya. “Aneh kenapa?”
“Aku...”
Isah kembali menatap Darwin dengan matanya yang menyipit berusaha menajamkan
penglihatannya. “Aku bisa melihat dengan
jelas segala yang ada di sini kecuali
kamu,” jawabnya.
“Ap, apa?
Kamu tidak bisa melihatku dengan jelas?”
Tangan
kanan Isah berusaha menggapai wajah Darwin. “Ak, aku... Aku tidak bisa
merasakan tubuhmu. Darwin, apa yang terjadi??” ucap Isah panik.
Sementara
Darwin hanya berusaha memutar otaknya dengan apa yang terjadi. Darwin memegang
tangan Isah yang masih menyentuh wajahnya. Aneh. Kalau Isah tak bisa merasakan
tubuh Darwin, kenapa Darwin bisa merasakan dengan jelas tangan Isah di
wajahnya.
“Isah—”
Kedua mata
Isah membulat kelewat lebar. Lantas tak lama gadis itu menelengkan kepalanya ke
segala arah dengan wajah ketakutan serta cemas yang bisa dilihat dengan jelas
oleh Darwin.
“Darwiiiin!
Darwiiin!”
Sekarang
giliran kedua bola mata Darwin yang membulat. Kenapa gadis itu berteriak
memanggil namanya sementara ia ada di sampingnya?
“Isah, kamu
kenapa? Aku di sini,” Darwin berniat menyentuh pundak Isah agar gadis itu
berhenti bersikap aneh seperti itu. Namun bagaikan tersambar petir, jantungnya
serasa sakit ketika tangannya menembus tubuh Isah. “Is, Isah... Isah, aku di
sini...” lirihnya.
Isah
terduduk lemas di atas rerumputan hijau. “Hiks, kamu kemana?? Darwiiin...
hiks... Darwin...”
“Akkkh,”
Darwin memegangi kepalanya yang tiba-tiba serasa memberat dan lebih nyeri dari
sebelumnya. Dan tiba-tiba saja suara dengungan mengaung di kedua telinganya.
“Aaakkh.. akkhh..”
Setelah itu
Darwin tak bisa melihat apa-apa lagi selain cahaya hijau yang kelewat terang.
Hingga cahaya itu menenggelamkan apa saja yang ada di sekitarnya, termasuk
Isah. “Aaakkhhh...”
©©©
Suara ribut
dari orang-orang yang tengah tertawa memenuhi indra pendengaran Darwin. Perlahan
pria itu membuka kedua netranya. Kali ini ia tidak berada di atas tempat tidur
seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Melainkan—
“Hahaha.
Kurasa dengan begini kita akan dengan mudah menemukannya.”
—di sebuah
ruangan pengap dan gelap dengan tubuhnya yang bersandar pada sebuah tiang.
Eh, tunggu
dulu. Apa ini? Darwin menajamkan penglihatannya dan betapa terkejutnya ia saat
menyadari kedua tangannya diikat pada tiang yang ia sandari. Dan lagi, mulutnya
disekap dengan kain? Hey... Sebenarnya ada apa ini?
“Bos benar.
Kita hanya perlu mencari kelemahannya. Tch, kenapa tidak sejak dulu saja kita
lakukan.”
Suara berat
beberapa pria dapat ditangkap dengan jelas oleh Darwin. Meskipun ruangan itu
tampak gelap, namun Darwin masih bisa melihat beberapa pria dengan tubuh kekar
tengah duduk sejauh lima meter dari tempatnya sekarang. Dari perhitungan
Darwin, sepertinya ada empat orang pria dengan berpakaian serba hitam. Pakaian
itu mengingatkannya dengan kejadian saat ia menjadi Black Sniper untuk menyelematkan keluarganya.
Lalu, apa
artinya sekarang ia kembali lagi ke dunia itu? Apa orang-orang itu adalah Rebuhos? Dan... Kalau begitu, apa
sekarang Darwin sedang diculik?
“Hey, Dude. Sepertinya bocah itu sudah sadar!”
Seru salah satu pria berpakaian hitam yang paling kurus dibandingkan ketiga
temannya.
“Apa yang
akan kita lakukan sekarang?” Kali ini suara pria dengan tubuh yang kelihatannya
lebih tinggi diantara yang lainnya.
Seorang
pria bertubuh kekar yang tengah memakai kaos hitam tanpa lengan bangkit dan berjalan
perlahan menghampiri Darwin. Jantung Darwin terus berdentam dan rasanya Darwin
kesulitan bernafas. Paru-parunya seperti mendadak kehabisan suplai oksigen.
Pria itu
lantas berjongkok di samping Darwin untuk menyamakan tinggi mereka karena
Darwin saat ini tengah terduduk dan diikat pada sebuah tiang kayu. Lantas pria
itu meraih dagu Darwin dan mencengkramnya erat membuat Darwin meringis
merasakan perih. “Kita tidak boleh gegabah. Beri tahu Bos kalau bocah tengik
ini sudah sadar. Kita hanya perlu menunggu perintah dari Bos,” perintah pria
itu pada ketiga orang pria lainnya.
“Baik, aku
akan menghubungi Bos sekarang,” jawab pria yang paling tinggi.
Setelah
itu, pria bertubuh kekar itu melepaskan cengkramannya dari dagu Darwin dan
kembali duduk bergabung bersama kawanannya. Darwin masih memperhatikan mereka.
Terdapat beberapa botol minuman keras di sekitar pria-pria itu. Aroma alkohol
menguar memenuhi indra penciuman Darwin, dan hal itu sukses membuatnya ingin
memuntahkan seluruh isi perutnya.
Darwin
menatap pria-pria itu dengan tajam. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ia bisa
berada di sini? Kenapa pria-pria itu mengikatnya? Memangnya apa kesalahan
Darwin?
“Hey,
tampan. Kenapa memandang kami seperti itu? Wow, wow... Tunggu dulu,” salah satu
pria yang sejak tadi hanya diam bangkit berdiri dengan membawa sebotol minuman
keras seraya menghampiri Darwin. Darwin tetap mempertahankan tatapan tajamnya
pada pria yang saat ini tengah berjalan menghampirinya.
“Sebenarnya
apa mau kalian?” desis Darwin. Yah, meskipun Darwin rasa percuma karena
mulutnya saat ini tengah disekap.
Pria itu
terlihat ceking. Kelihatannya ia sedikit kemayu dengan rambut agak panjang dan
belah tengah. Iyugh, potongan rambut
yang norak sekali pikir Darwin.
“Kamu tidak
tampan lagi jika menatap tajam seperti itu,” pria ceking itu mengelus pelan
pipi kanan Darwin. “Ayolah, kamu kenapa hmmm? Kamu mau minum bersama kami juga?
Baiklah, aku akan memberimu seteguk saja...” pria itu mulai melepaskan kain
yang digunakan untuk mendekap mulut Darwin.
Setelah
dekapan dari mulutnya terlepas, Darwin berteriak keras tepat di depan wajah
pria kemayu itu. “SEBENARNYA APA MAU KALIAN HAHH??! KATAKAN! KENAPA KALIAN
MENAHANKU DI SINI??!”
Teriakan
Darwin barusan sukses membuat ketiga pria lain yang tengah duduk itu menatapnya
seraya menyeringai. Pria tinggi yang sejak beberapa menit lalu menelpon itu,
mulai menutup telponnya dan melempar botol kaca ke dinding hingga pecah membuat
jantung Darwin kembali berdegup kencang.
“Shit. Kenapa kain penutup mulutnya
dilepas? Bocah sialan ini mulutnya membuat kepalaku sakit,” geramnya seraya
menatap Darwin.
“Hahaha.
Biarlah. Aku ingin melihat ketampanan bocah ini. Jika disekap aku tak bisa
melihat wajahnya dengan jelas,” kali ini pria kemayu yang sekarang duduk persis
di samping Darwin kembali menelus pipi kanan Darwin. “Jadi bocah tampan, di
mana kamu dan teman wanitamu menyembunyikan Korona
Aurora itu, hmm?” suara pria itu benar-benar membuat Darwin jijik.
Meskipun
Darwin sama sekali tidak mengerti maksud ucapan pria itu, Darwin berusaha tidak
terlihat gemetar walaupun jatungnya berdentam tak terkendali menahan ketakutan.
Darwin hanya diam dan terus menatap tajam pria kemayu di depannya.
“Ckk, kamu
tidak mau menjawab pertanyaanku ya? Baiklah, apakah setelah meminum seteguk
kamu akan memberitahu kami di mana tempat Korona
Aurora itu berada?”
Baru saja
pria itu akan mendaratkan bibir botol kaca ke mulut Darwin, suara pintu yang
dibuka dengan kasar seketika mengejutkan semua orang yang ada di dalam ruangan
itu, tak terkecuali Darwin. Keterkejutan Darwin tidak berhenti sampai di situ
saja, jantungnya hampir saja mencelos dari tempatnya dan kedua netranya yang
membelalak kelewat lebar saat seorang pria bertubuh besar dengan setelan jas
hitam dan kacamata hitam memasuki ruangan sambil menyeret paksa seorang gadis
yang teramat sangat Darwin kenal.
“Is, Isah..
Isah...” lirih Darwin. Gigi-gigi Darwin bergemeletuk menahan amarahnya saat
netranya dengan jelas menilik darah mengalir di wajah sahabatnya itu. Kedua
tangan Darwin yang diikat mengepal kuat menahan kegeramannya.
Semua pria
berpakaian hitam di dalam ruangan itu lantas berdiri memberi hormat pada pria
yang baru datang itu. Sepertinya pria dengan setelan jas hitam itu adalah Bos
mereka.
“Aaaakhhh...”
Isah meringis saat tubuh mungilnya dihempaskan oleh pria besar itu.
“Isaaahh!”
teriak Darwin reflek saat sahabatnya terjatuh di atas lantai dengan keras,
tepat di hadapannya. Gadis itu hanya diam dan menangis, wajahnya tertunduk
tanpa menatap Darwin sedikitpun. “APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ISAH??!
KUPERINGATKAN KALIAN JANGAN ADA YANG MENYENTUHNYA SEDIKITPUN ATAU KALIAN AKAN
MATI!”
Entah
keberanian dari mana membuat Darwin berani mengatakan kalimat itu. Sementara
suara tangisan Isah malah pecah semakin nyaring membuat empat pria yang saat
ini berdiri di belakang pria bertubuh besar itu tertawa terbahak.
“Hey,
tampan. Apa kamu tidak salah? Seharusnya yang akan mati itu kamu dan wanita
itu. Bagaimana kamu bisa membunuh kami dengan tubuh terikat seperti itu? hahaha...”
pria kemayu itu tertawa lantas diiringi tawa sumbang dari ketiga rekannya.
Pria dengan
setelan jas itu kembali menarik tubuh Isah. Lantas pria itu mengeluarkan sebuah
pistol hitam—yang kembali mengingatkan Darwin pada revolver saat ia menjadi Black
Sniper—dan mendaratkan benda itu tepat di kepala Isah.
Darwin
ingin kembali berteriak namun Isah menatapnya dengan mata sembabnya dan
menggeleng pelan meminta Darwin untuk tidak mengkhawatirkannya. Dari sorot mata
itu, Darwin mengerti Isah tak ingin Darwin memberitahukan keberadaan benda yang
pria-pria ini cari sekalipun ia mati.
Fokus
Darwin kini kembali beralih pada pria besar yang menahan tubuh Isah. Pria itu
tersenyum menyeringai menatap Darwin dan—
DOOOR
Tubuh
Darwin mendadak lemas dan mati rasa setelah pria besar itu menarik pelatuk
pistolnya. Tidak, Isah tidak mati. Dan Darwin tentu tidak akan membiarkan hal
itu terjadi.
Darah segar
mengalir di dekat kaki Darwin. Darwin menatap tubuh yang terbujur kaku di atas
genangan darah dengan jantungnya yang terus-terusan berdetak tak terkendali.
“Jika kamu
masih tidak memberitahukan dimana kamu menyembunyikan Korona Aurora itu, maka teman wanitamu ini akan mati dengan
mengenaskan seperti itu,” tunjuk pria besar itu dengan dagunya pada mayat yang
sudah terbujur kaku.
Betapa
terkejutnya Darwin ketika pria besar itu menembak anak buahnya sendiri. Anak
buahnya yang sedikit kemayu itu sudah menjadi mayat sekarang.
“Baiklah,
aku akan memberitahukannya padamu. Tapi... dengan syarat lepaskan dulu Isah,”
Darwin mencoba bernegosiasi dengan pria besar itu, meskipun Darwin sendiri
tidak tahu dimana benda yang bernama Korona
Aurora itu. Jangankan keberadaannya, bentuk benda itu seperti apa pun
Darwin sama sekali tidak tahu.
“Tch, kamu
pikir aku percaya padamu?” pria besar itu terkekeh dan kembali mengeratkan
tubuh Isah yang ia dekap. “Cepat katakan saja dimana, karena sekali aku menarik
pelatuk pistol ini maka nyawanya akan melayang,” ancam pria itu.
Isah
menggeleng kuat. “Ja, jangan... Kumohonnnh...” Isah menatap Darwin dengan terus
menggeleng berharap Darwin tidak memberitahukan keberadaan benda itu.
Darwin
tidak tahan lagi melihat keadaan Isah. Darah terus menerus mengalir dari
pelipisnya. Membuat ngilu di hati Darwin melihat keadaan sahabatnya itu. “Aku
berjanji akan memberitahukanmu. Kumohon lepaskan Isah...” Darwin tak bisa lagi
menahan getaran suaranya.
“Apa
jaminannya jika aku melepaskan gadis ini?”
“Nyawaku.
Nyawaku yang akan jadi taruhannya. Jadi, tolong lepaskan dulu Isah,” Darwin
hanya bisa mengabaikan tatapan memohon dari Isah agar Darwin tidak bertindak
gegabah.
“Baiklah,
kali ini kupegang kata-katamu.”
Pria itu
kembali melempar tubuh Isah tepat di samping Darwin, membuat gadis itu kembali
meringis menahan sakit di tubuhnya.
“Isah,
Isah, kamu tidak apa-apa?” tanya Darwin panik ketika darah masih saja tak
henti-hentinya mengalir di pelipis gadis itu. Bahkan wajah Isah sudah terlihat
pucat karena darah yang terus mengalir.
Isah
beringsut menghampiri Darwin dan mendekap pria itu dengan erat. “Jangan Win,
kumohon jangan beritahu mereka. Biarkan aku mati, asal Korona Aurora itu tidak jatuh ke tangan mereka. Seluruh energi di
dunia kita akan habis jika orang-orang jahat itu mengambilnya, hiks...” Isah
semakin erat memeluk Darwin.
Darwin
hanya bisa diam dan memutar otaknya. Rasanya dari kejadian aneh yang ia alami,
ini yang paling parah. Ia tak bisa melihat keadaan sahabatnya seperti ini.
Lagipula ia benar-benar tidak tahu dimana keberadaan benda itu. Apa tidak
terlihat konyol jika Darwin berbisik pada Isah dan menanyakan rupa dan
keberadaan benda itu?
“Jadi,
penuhi janjimu bocah. Jika tidak—”
“AAAKKKHHH...”
Isah berteriak kesakitan ketika pria itu menembakkan pelurunya di kaki Isah.
“Kamu lihat
sendiri kan bagaimana tersiksanya wanita itu? Jika kamu terus mengulur waktu
seperti ini, maka teman wanitamu itu akan mati secara perlahan,” suara pria itu
bagaikan petir yang menyambar seluruh sistem saraf di tubuh Darwin.
“Jangan,
jangan beritahu Win, kumohon, akkh... biarkannhh, ak, aku.. biarkan aku
mati...”
Darwin
menggeleng kuat. Disaat seperti ini ia seperti pecundang. Ia bahkan tak bisa
melakukan apa-apa di saat nyawa sahabatnya di ujung tanduk. Air matanya tanpa
sadar tumpah melihat Isah yang menahan kesakitan.
“Sebenarnya...
Benda itu...”
“CEPAT
KATAKAN!” bentak pria besar itu.
“Benda itu
ada di—”
BRUAKKK
Pintu
ruangan itu terbuka dengan keras. Seketika sekelompok orang mengenakan rompi
anti peluru serta revolver di tangan
mereka memasuki ruangan itu. Beberapa orang itu mendekati Darwin dan melepaskan
ikatan di tubuh Darwin. Sementara beberapa orang lainnya membopong tubuh Isah
dan membawanya keluar dari tempat itu.
“Cepat
pergi dari tempat ini sekarang. Helikopter yang akan membawa Anda beserta Nona
Isah sudah siap di luar, biar kami yang menangani orang-orang ini,” ucap pria
yang terlihat lebih tua dari Darwin itu seraya menyerahkan sebuah peti kecil
berbahan dasar kayu dengan cat jingga pada Darwin.
Darwin
kembali dibuat bingung, namun detik berikutnya ia hanya menurut saja perkataan
pria itu. Lantas ia berjalan tergesak keluar ruangan itu untuk menyusul Isah.
©©©
“Isah,
kenapa orang-orang itu ingin mengambil benda ini dari kita?”
Akhirnya
pertanyaan yang memenuhi pikiran Darwin sejak tiga jam lalu terhitung sejak
mereka keluar dari tempat dimana ia sempat disekap sebelumnya, berhasil ia
tanyakan. Meskipun akan terlihat konyol di mata Isah, tapi biarlah. Toh Darwin
memang tak mengerti kenapa benda oval seperti berlian yang tersimpan di dalam
peti bercat jingga itu menjadi rebutan orang-orang.
Mengabaikan
rasa sakit akibat kesehatannya yang masih jauh dari kata pulih, Isah mengangkat
kepalanya yang sejak dua puluh menit lalu ia rebahkan di atas pangkuan Darwin.
Dengan kaki yang diperban setelah peluru timah berhasil dikeluarkan dari
kakinya, juga bagian pelipisnya diperban karena kepala Isah dipukul keras
dengan tongkat besi saat sekelompok penjahat itu menculiknya. Gadis itu
beberapa kali menghela nafas dalam sebelum sebuah suara meluncur di antara
kedua belah bibirnya.
“Korona Aurora ini adalah sumber energi
di pulau kita. Kita, suku Cauv, suku
asli Pulau Tereba adalah penjaga
benda pusaka ini. Dan yang berhak menyimpannya hanyalah yang murni keturunan
dari klan Fliz, nenek moyang suku Cauv. Namun sekitar satu abad yang lalu
mulai tersiar kabar kalau Korona Aurora ini
memiliki kekuatan maha dahsyat, siapa yang bisa mengendalikan kekuatan di dalam
intinya, maka ia akan hidup abadi dan menjadi penguasa abadi dari Pulau Tereba. Sehingga banyak orang-orang yang
mulai memperebutkan Korona Aurora ini,
terutama orang-orang dari pulau lain...” terang Isah dengan suara perlahan,
namun bisa ditangkap dengan jelas oleh Darwin.
Darwin
mengangguk pelan. Ini artinya Darwin tidak kembali ke dunia saat ia menjadi Black Sniper, melainkan di sebuah dunia
baru lagi. Karena Darwin tidak mendengar tentang Rebuhos ataupun penculikan warga sipil untuk diubah menjadi mutan.
Seperti
beberapa kejadian sebelumnya, Darwin pikir Isah akan menganggapnya aneh karena
tidak mengerti dengan kejadian yang sebenarnya terjadi. Sehingga pria itu
menampilkan senyum lebar berharap Isah tidak menganggapnya aneh lagi kali ini.
“Mungkin karena tadi aku sempat pingsan saat diculik, aku mengalami amnesia
mendadak hehee,” Darwin menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Isah
menampilkan senyum tipis seraya menggeleng. “Bukan. Kamu tidak amnesia. Kamu
memang memiliki penyakit demensia,
jadi selalu tidak mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya jika kamu jatuh
pingsan ataupun setelah bangun tidur.”
Kedua mata
Darwin melebar. Apa? Demensia? Oh ayolah, itu hanya penyakit yang dimiliki
lansia ataupun orang-orang yang memang lahir secara tidak normal. Darwin
bersumpah ia sangat sehat dan bisa mengingat kejadian-kejadian sebelumnya.
Bahkan ia bisa mengingat bagaimana ia melupakan hari ulang tahun Isah dan
berakibat gadis itu menunggunya di bawah guyuran hujan.
Astaga,
Darwin mengingat kejadian itu lagi.
“Biasanya
kamu bertanya kenapa harus kamu yang menjaga Korona Aurora itu, kenapa sekarang kamu diam? Kamu memikirkan apa?”
Isah menyadari selama puluhan sekon Darwin hanya bergeming.
“Oh,
hehe... Ti, tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya, yah, seperti yang
kamu bilang. Aku hanya berpikir kenapa harus aku yang menjaga benda pusaka
ini?”
Isah
kembali tersenyum. “Dari penjelasanku sebelumnya, kamu pasti sudah tahu kalau
kamu adalah keturunan dari klan Fliz.
Meskipun kamu memiliki 11 saudara, tapi hanya kamu seorang laki-laki, sementara
kesebelas saudaramu adalah perempuan. Jadi meskipun kamu memiliki penyakit demensia, namun seluruh keluarga besar
keturunan klan Fliz mempercayakanmu
menjaga Korona Aurora itu sampai kamu
memiliki keturunan laki-laki nantinya,” terang Isah yang membuat Darwin
terkekeh pelan. Sebelas orang saudara perempuan? Yang benar saja.
Darwin
hanya menggumam pelan setelah penjelasan singkat Isah. Hingga keduanya memilih
diam setelah Darwin meminta Isah agar gadis itu kembali merebahkan kepalanya di
atas pangkuannya, dan membiarkan hening mengambil alih suasana.
Puluhan
burung gereja beterbangan di hadapan mereka, dan semilir angin menerpa kulit
keduanya yang saat ini berada di tengah alun-alun ibu kota Pulau Tereba. Darwin rasa ia mulai mengantuk
sekarang. Mungkin setelah ini, akan menanti kejadian-kejadian aneh lagi. Hingga
tak lama, Darwin memilih menyandarkan punggungnya pada sisi kolam air mancur
yang ada di belakangnya dengan Isah yang tetap berada di pangkuannya. Beberapa
sekon berikutnya, netra pria itu memberat seiring dengan kelopaknya yang mulai
menutup perlahan.
©©©
“Ini benar-benar siput? Kenapa
mereka memiliki sayap?” tunjuk Darwin ketika ia dan Isah berjongkok di samping
barisan para siput itu.
“Kamu kenapa sih Win kok jadi aneh
begitu? Bukankah itu memang yang menjadi PR kita kali ini? Meneliti siput-siput
yang mulai berevolusi dengan tumbuhnya sayap di samping cangkang mereka.
Huh...”
.
Kepala
Darwin serasa berputar. Tubuhnya bagaikan melayang di sebuah dimensi yang tak
bisa dideskripsikan. Sesaat ia melihat tubuhnya sendiri dan Isah sedang memakai
baju serba biru. Ia ingat, itu saat ia menjadi seorang Elf.
.
“Ambil ini,” Isah menyerahkan
sebuah revolver pada Darwin yang disambut pria itu dengan tangan gemetar.
“Apa ini?” tanya Darwin panik.
Seumur hidupnya baru kali ini memegang sebuah pistol.
“Itu revolver, bodoh. Kenapa kamu
jadi tampak bodoh seperti ini sih? Sudahlah, ayo cepat,” gadis itu lebih dulu
berlari meninggalkan Darwin.
Darwin bergeming. “Ckk, seenaknya
saja dia dari tadi mengataiku bodoh,” ucapnya seraya menimang-nimang revolver
di tangannya.
.
Kali ini
tubuh Darwin kembali ditarik oleh sebuah gaya berkekuatan tinggi dimana saat
ini ia kembali melihat dirinya dan Isah saat menjadi Black Sniper. Darwin merasa kedua tangannya bergetar hebat,
entahlah ia tak mengerti kenapa sekarang ia berada di tempat ini.
.
“Apa boleh membaca surat dari orang
lain? Terlebih dari orang yang sudah meninggal?”
“Tssk, kamu ini kenapa sih.
Bukankah itu memang tugas kita. Membaca dulu isi surat yang akan kita antar.
Lagipula memang tidak semua surat harus kita antar kan? Ada juga surat-surat
yang tidak boleh kita antar kepada manusia yang masih hidup, seperti surat yang
berisi sumpah serapah dari orang yang sudah meninggal itu. Ah, sepertinya
karena pingsan kamu jadi seperti ini.”
.
Sekarang
kedua lutut Darwin serasa tak sanggup menahan berat tubuhnya sendiri. Ini sudah
ketiga kalinya ia ditarik dari satu dimensi ke dimensi lainnya. Dan yang baru
saja terjadi, Darwin melihat ia bersama Isah di bukit azalea dengan sebuah kotak pos berwarna merah cherry di dekat mereka.
.
“Aaaakhhh...” Isah meringis saat
tubuh mungilnya dihempaskan oleh pria besar itu.
“Isaaahh!” teriak Darwin reflek
saat sahabatnya terjatuh di atas lantai dengan keras, tepat di hadapannya.
Gadis itu hanya diam dan menangis, wajahnya tertunduk tanpa menatap Darwin
sedikitpun. “APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ISAH??! KUPERINGATKAN KALIAN JANGAN
ADA YANG BERANI MENYENTUHNYA SEDIKITPUN ATAU KALIAN AKAN MATI!”
.
Jika saja
Darwin sanggup, ia pasti akan menahan tubuhnya agar tidak terus tertarik ke
dimensi lainnya. Setiap pergantian dimensi seperti menghabiskan energi
tubuhnya. Kejadian-kejadian aneh yang ia alami tergambar jelas di depannya.
Sebenarnya apa yang terjadi dengannya sekarang?
Darwin
jatuh tersungkur. Peluh sudah membasahi seluruh tubuhnya. Pria itu hampir saja
kehilangan kesadarannya ketika indra pendengarannya menangkap suara yang
berasal dari—
.
“Ka, kamu... Kamu serius jemputin aku di tengah hujan deras
begini?”
“Iya, ini aku sudah sampai. Aku nyari-nyari kamu ke seluruh
taman tapi kamu nggak ada, aku di pondok di tengah taman nih. Jadi kamu di mana
sekarang?”
“Aku, aku...”
“Iya Isah kamu di mana? Kamu nggak apa-apa kan? Kamu sakit?”
“Win, aku...”
“Isah buruan deh nggak usah bertele-tele kayak gitu. Isah...”
“Surprise!! Hahahahhahahaaa”
“Eh kenapa kamu ketawa
kayak gitu huh?”
“Aku bohongin kamu tau.. hahaha. Ngapain coba hujan-hujan
kayak gini aku di luar rumah, mending aku di rumah tiduran. Tapi aku nggak
nyangka ternyata kamu beneran datang jemputin aku, kamu memang kawan sejati
Win.”
.
—bukankah
itu kejadian saat Darwin menjemput Isah di taman di tengah hujan deras? Kenapa
ia bisa melihat dirinya sendiri saat itu yang tengah menelpon Isah? Dan
bukankah kejadian itu sudah sangat lama?
“Akkh,” Darwin
memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Setiap kejadian-kejadian yang
terulang itu benar-benar menghabiskan energinya. Sekarang Darwin seperti tak
memiliki tenaga lagi.
.
“Sah.. Bisakah kita bicarakan hal
ini baik-baik?”
“Bicarakan baik-baik? Lalu siapa
yang menyeretku ke sini dan berteriak padaku? Kamu kan?? Seharusnya aku juga
marah karena kamu gak menjelaskan padaku kenapa kemarin kamu membiarkanku
menunggumu??? Kenapa kemarin kamu tidak membalas pesanku??!”
Darwin diam. Ia bahkan mengalihkan
pandangannya dan berusaha menghindari bertemu pandang dengan Isah
“Kenapa kamu tidak menjawabku? Kamu
tidak ingin menjelaskannya kan?”
“Karena kamu tidak memberiku kesempatan
untuk menjelaskannya,” Darwin menghela nafas—lagi—setelah mengucapkan kalimatnya.
Air mata Isah terhenti seketika.
“Oh baiklah. Salahkan saja semuanya padaku. Kamu bahkan lebih memilih pergi
dengan gadis anak kelas sebelah dibandingkan menahanku agar tidak pergi dan
menjelaskan segalanya,” Isah bebalik dan berniat pergi dari hadapan Darwin
sebelum akhirnya ia kembali mengucapkan kalimat yang membuat langkah gadis itu
diterhenti.
“Lalu kenapa kamu tidak menjawab
telponku saat bersama Alfi?”
Isah kembali berbalik dan menatap
heran padanya. “Dari mana kamu tahu aku bersama Alfi?”
Darwin berjalan mendekati Isah dan memandangnya
dengan senyum sinis. “Jadi karena bersama pria itu kamu tidak mengangkat panggilan
dariku? JADI ALFI LEBIH PENTING DARIKU??” Darwin kembali berteriak.
.
Sekarang
tubuh Darwin sudah terbaring lemah dalam dimensi itu. Jika saja ada burung
gagak saat ini, mungkin burung gagak itu akan memangsa tubuhnya yang sudah
mengenaskan. Darwin tak sanggup melihat kejadian itu. Kejadian satu tahun yang
lalu, mendekati hari ulang tahunnya di mana ia dan Isah bertengkar di kebun
tebu di dekat rumah mereka. Namun berakhir manis dengan Isah yang memenuhi
janjinya untuk menemaninya melihat gugusan bintang di tengah lapangan sepak
bola di dekat rumah lamanya.
Kedua
kelopak mata Darwin hampir saja menutup sebelum akhirnya kejadian yang ingin
sekali ia lupakan terpampang nyata di hadapannya saat ini.
.
“Isah-”
“Kenapa kamu datang?” ucap Isah
cepat meskipun pelan dan terdengar lemah.
“Isah, jangan bahas itu dulu. Kamu
baik-baik aja? Apa kamu pusing?”
“Kutanya kenapa kamu datang? Karena
merasa bersalah?”
“Isah...”
“Cepat jawab Win!” nada suara Isah
meninggi. Dan gadis itu menatap Darwin dengan tatapan kecewa yang tergambar
jelas.
“Maaf. Ponselku tertinggal di rumah
Romi. Dan tadi Romi mengantarkan ponselku ke rumah, dan aku baru baca smsmu.
Maaf...” lirih Darwin.
Isah membuang tatapannya dan tak
berniat menatap pria itu sedikitpun. “Lebih baik kamu nggak datang dan nggak
melihatku dalam keadaan menyedihkan begini.”
.
Tanpa ia
sadari, air mata sudah mengalir dan membanjiri wajah pucatnya. Darwin
benar-benar bisa mengingat kejadian itu dengan teramat sangat jelas. Kejadian
nyata itu adalah terkahir yang ia alami sebelum ia memasuki kejadian-kejadian
aneh dan tempat-tempat aneh bersama Isah. Apakah itu nyata atau tidak ia tak
bisa memastikannya. Karena yang terjadi setelahnya adalah kedua kelopak mata
pria itu sudah menutup perlahan seiring dengan kesadarannya yang mulai
menghilang.
©©©
Alat
elektrokardiograf di samping ranjang pasien itu mengeluarkan bunyi nyaring. Tidak,
elektrokardiogram pada monitor tidak menampilkan garis lurus, melainkan
berbentuk zig-zag tanda bahwa detak jantung pria yang terbaring di samping alat
elektrokardiograf itu kembali normal. Perlahan jemarinya bergerak menimbulkan
keterkejutan wanita paruh baya yang tengah duduk di sisinya.
Sementara
pria itu sendiri mengerang pelan, dengan aliran nafasnya yang tersengal tak
beraturan. Wanita paruh baya itu terkejut bukan main, lantas ia lebih memilih
keluar ruangan untuk memanggil perawat beserta dokter yang bertugas menangani
pria itu.
Sang pria
yang tengah berusaha mengembalikan kesadarannya itu masih belum bisa membuka
kedua kelopak matanya. Mulutnya masih mengeluarkan erangan-erangan yang entah
kenapa terasa begitu ngilu jika di dengar.
“Sayang,
kamu sudah sadar?”
Itulah
kalimat yang pertama tertangkap pendengarannya. Darwin begitu mengenali pemilik
suara itu. Wanita itu... Ibunya.
Saat
kelopaknya membuka perlahan, ia melihat ibunya yang kini menatapnya khawatir.
Dengan tubuh lemahnya, pria itu berusaha bangkit setelah sebelumnya dokter
menyatakan kalau kondisinya sudah mulai pulih.
Hanya ada
pria itu bersama ibunya sekarang di kamar pasien, karena dokter dan beberapa
perawat telah meninggalkan ruangan itu beberapa menit yang lalu. Seraya
berusaha mengingat apa yang terjadi dengan dirinya, serta mengabaikan rasa
pusing yang mendera, pria itu menatap sang ibu yang sejak tadi memegangi tangan
kanannya yang tidak di infus.
Pria itu
kembali berfikir, apakah sekarang ia ada di dunia berbeda lagi? Apakah setelah
ini akan ada kejadian aneh lagi yang ia alami?
Wanita
paruh baya itu mengelus puncak kepala putranya dengan lembut seraya memaksakan
sebuah senyum, meskipun itu memang senyum tulus hanya saja sulit baginya untuk
menarik kedua sudut bibirnya melihat putranya yang begitu pucat. “Ibu lega,
akhirnya kamu sadar juga setelah empat hari tidak sadarkan diri,” wanita itu
beralih mengelus pipi kiri putranya.
Yang diajak
bicara hanya mengerutkan kening, tak paham dengan apa yang dikatakan sang ibu.
“Memangnya aku kenapa, Bu?”
Pria itu
menerka-nerka. Apakah ia pingsan di mercusuar seperti kejadian yang pernah ia
alami di dunia yang tak ia kenali? Ia tak tahu apakah kali ini nyata atau
tidak.
Wanita itu
menghela nafas dalam. “Empat hari yang lalu saat Ibu memanggilmu untuk sarapan
dan membuka pintu kamarmu, Ibu terkejut bukan main melihatmu yang mengigau di
atas ranjang dengan suhu tubuh yang sangat panas. Ibu pikir kamu hanya demam,
ternyata setelah itu kamu pingsan dan tidak sadarkan diri. Ibu benar-benar
takut, Ibu takut terjadi sesuatu denganmu,” dengan air mata yang mengalir di
sudut matanya, wanita itu tetap menarik kedua sudut bibirnya.
Sementara
putranya lebih memilih diam menunggu sampai sang ibu selesai dengan
penjelasannya.
“Saat kamu dibawa
ke rumah sakit, Romi memberitahu Ibu kalau sore itu kamu pulang ke rumah dalam
keadaan basah kuyup.”
Deg!
Basah
kuyup? Yah, Darwin ingat. Sangat ingat malah kejadian sore itu. Jadi... Apakah
sekarang ia sudah kembali ke dunia nyata?
Sang ibu kembali
melanjutkan. “Ibu juga diberitahu kalau saat itu kamu pergi menemui Isah yang
menunggumu di tengah hujan,” wanita itu mengecup kening putranya lembut. “Ibu
tidak menyangka, kalian berdua bisa sama-sama pingsan di pagi harinya.”
“Ap, apa?
Apa maksud Ibu? Pingsan? Isah? Ja, jadi.. sekarang dia di mana Bu? Bagaimana
keadaannya?” pria itu mengguncang lengan ibunya dengan tidak sabaran.
“Dia sudah
sadar. Gadis itu dirawat di kamar sebelah, tapi dia sudah lebih dulu sadar tadi
malam. Dan, ia sempat menjengukmu sebentar tadi malam sebelum pergi
meninggalkan rumah sakit,” terang ibunya.
Pria itu
berusaha turun dari ranjang. “Ayo, Bu. Kita juga harus pulang sekarang. Aku,
aku akan menemui Isah dan memberitahunya kalau aku sekarang juga sudah
baik-baik saja.”
Pergerakannya
terhenti ketika sang ibu menahan lengannya. Membuat pria itu menatap heran
ibunya. Wanita itu menggeleng pelan, dan menatap putranya seolah mengatakan
pria itu harus kembali tetap berada di tempat tidurnya.
“Kenapa Bu?
Aku sudah sadar. Dan sekarang sudah waktunya aku pulang kan?”
“Kamu harus
istirahat dulu. Lagi pula...”
Bagaikan
melihat sesuatu yang tidak beres, pria itu menggenggam kedua tangan ibunya.
“Ada apa, Bu? Apa ada sesuatu yang buruk terjadi?”
Wanita itu
menyodorkan sebuah amplop kuning yang sejak tadi berada di atas meja nakas di
samping selang infus. “Istirahat dulu. Nanti setelah tubuhmu mulai terasa
nyaman, kamu bisa membaca kertas yang ada di dalam amplop itu,” ibunya kembali
mengelus puncak kepala pria itu perlahan. “Ibu keluar sebentar mau menelpon
Bapakmu. Kamu istirahat dulu ya sayang.”
Setelah
tubuh sang ibu menghilang di balik pintu, pria itu akhirnya hanya bisa pasrah
kembali merabahkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah meletakkan amlop
berwarna kuning itu di atas nakas. Karena tubuhnya memang masih terasa sakit
dan kepalanya terasa cukup berat.
©©©
“Hey, Dude. Beberapa bulan ini kamu jadi rajin
baca novel. Dan, wah... bukan main. Kamu bahkan membaca novel romance. Kurasa setelah pingsan tujuh
bulan yang lalu, otakmu mengalami pergesaran. Haha...”
Yang diajak
berbicara berdecak pelan seraya mendelik menatap sang pemilik suara. “Dari pada
kamu tidak ada kerjaan, lebih baik kamu selesaikan dulu tugas Auditing-mu yang
tidak selesai-selesai itu, Romi,” ucapnya sarkastik.
“Ckk, itu gampang. Nanti saja.”
Pria yang
tengah memegang sebuah buku tebal bernama novel itu akhirnya hanya memutar
kedua bola matanya jengah. Lantas setelahnya ia kembali sibuk berkutat dengan rentetan aksara dalam tiap lembaran
kertas pada novel itu.
“Oh, ya
Win. Kudengar sekarang kamu sedang dekat dengan seorang perempuan ya. Euum, apa
dia kuliah di kampus kita juga?”
“Tidak. Aku
tidak dekat dengan satu perempuan-pun. Memangnya kamu dengar dari siapa huh?”
“Dari Yudi.
Jadi... kamu masih menunggu Isah kembali?” suara Romi memelan di akhir. Ia
sendiri merasa tak nyaman mengucapkannya.
Mendengar
nama itu disebut, pria itu hanya bisa menghela nafas berat lantas menutup
novelnya dengan kasar. “Aku keluar sebentar mencari udara segar. Kamu bisa baca
komik-komikku asal setelah itu kamu membereskannya, mengerti?”
Setelahnya,
pria itu keluar kamarnya dengan langkah gontai meninggalkan sepupunya—Romi—di
dalam kamarnya. Sementara Romi hanya menggeleng pelan melihat tingkah pria itu.
“Tssk, selalu saja seperti itu jika mendengar nama Isah.”
©©©
To:
Makes... Darwin
Hey... Jangan gugup ya saat
membaca surat ini. Haha, yang pasti ini bukan surat cinta. Kamu pikir untuk apa
juga aku membuat surat cinta buat kamu. Dan yang pasti saat kamu membaca surat
ini, itu tandanya aku sudah pergi ke luar kota. Dan yang pasti lagi, kamu sudah
sadar dari pingsan saat membaca surat ini.
Ckk, jangan pasang wajah
sedih seperti itu. Iya-iya, aku tahu kamu pasti merindukanku kan? Apa? Kamu
tidak merindukanku? Huhh, kamu memang tidak mau mengakui kalau kamu kangen aku.
Menyebalkan...
Win, maaf ya kalau selama
ini aku selalu merepotkanmu. Maaf selama ini aku tidak bisa mengerti keadaanmu.
Aku selalu memaksa kamu untuk mengerti keadaanku, sementara aku sendiri tidak pernah
mengerti keadaan kamu. Aku memang sahabat yang tidak tahu diri ya? Hmm... Maaf
sudah jadi sahabat yang buruk buat kamu. Dan satu lagi, maaf aku memakai amlop
kuning bukan merah. Ini kan warna kesukaanku, dan aku tidak suka warna merah
seperti warna kesukaanmu itu. Seperti darah. Iyuuughh... Haha, aku hanya
bercanda. Aku tidak mau isi surat ini terlalu serius. (Oh ya, untung saja aku
tidak memakai amplop warna hitam, haha)
Ngomong-ngomong, ada sesuatu
yang ingin aku ceritakan padamu. Saat aku pingsan, roh-ku seakan masuk ke dunia
lain. Mungkin saja itu mimpi. Pertama aku bermimpi menjadi seorang Elf dengan
pakaian serba biru. Lalu aku bisa membuat sebuah portal dari berlian kecil.
Haha, lucu sekali sungguh. Kita berdua memakai pakaian serba biru. Ckk, kenapa
tidak kuning saja. Aku kan tidak begitu suka warna biru. Lalu yang kedua kita
menjadi Black Sniper dengan pakaian serba hitam. Wuhuu, kalau yang ini memang
keren. Aku suka style serba hitam, haha. Aku memegang senjata revolver dan
dorrr dorr dorrr aku menembaki musuh yang bernama rebuhos untuk menyelamatkan
keluargamu. Hey, aku sungguhan tidak berbohong.
Lalu berpindah ke dunia
lain. Aku memakai gaun putih. Gaunnya cantik sekali. Hey hey, kamu jangan
berpikir kalau aku memakai gaun pengantin yaa. Kamu juga berpakaian serba
putih, di sana kita seperti menjadi Heaven’s Postman. Tapi sayang, rasanya
sebentar sekali. Padahal saat itu aku merasa damai sekali berada di sebuah
bukit azalea. Dan setelahnya... eumm, ah ini benar-benar yang paling tidak aku
sukai.
Kamu tahu, kita disandera
oleh penculik yang mengingnkan koro... Koro apa yah aku lupa. Yang pasti aku
hanya ingat kata kedua dari benda itu, aurora. Kokoro aurora mungkin? ah,
entahlah aku lupa. Aku bahkan sampai ditembak, seperti saat menjadi black
sniper. Tapi yang ini tidak keren karena aku tidak memegang revolver, huhh.
Haha.. mungkin kamu tidak
mengerti apa yang aku tulis di atas yah? Tentu saja, seandainya saja kamu juga
mengalami mimpi yang sama denganku. Dan itu pasti keren karena kita berdua
berpetualang di dunia tak masuk akal. Ah, kurasa aku harus menghentikan
tanganku untuk menulis kejadian selama aku pingsan.
Oh ya ngomong-ngomong aku
tidak menyangka bisa pingsan. Dan aku lebih tidak menyangka kamu juga malah
ikut-ikutan pingsan -___- dasar aneh.
Kalau sehati, tidak perlu pakai pingsan bersama kan? Tapi aku hebat, karena aku
lebih dulu sadar. Kamu itu SO LAME! Hahaa :p
DTB...
Rasanya aku sudah lama tidak
menyebut nama itu. Win, aku merindukan kita yang dulu. Kita yang selalu
bertengkar. Kita yang masih benar-benar merasakan aura persahabatan. Bukan
seperti sekarang. Lebih tepatnya aku yang salah di sini. Aku yang membiarkan
diriku tenggelam dalam perasaan yang seharusnya tak kurasakan untukmu. Aku yang
membiarkan diriku larut dalam cemburu jika kau bersama wanita lain. Padahal itu
hakmu, karena aku hanyalah sahabatmu. Perasaanku yang kelewat batas ini yang
malah membuat hubungan persahabatan kita mulai merenggang. Maafkan aku L
Win, kumohon jangan
membenciku. Aku pergi bukan karena aku tidak mau bersahabat denganmu lagi. Aku
pergi untuk mengatur perasaanku. Aku pergi untuk mengembalikan keadaan kita
seperti dulu. Aku akan menghilangkan perasaan ini yang untungnya masih belum
terlampau dalam. Sebenarnya aku bisa saja tidak usah pergi, tapi jika aku
terus-terusan melihatmu, aku takut kalau aku malah tambah tersakiti. Sepertinya
ini resiko memiliki sahabat lelaki yang banyak dikelilingi wanita >_<
Eh, apa tadi aku terlalu serius
menulisnya? Yah, baiklah. Sepertinya cukup itu saja yang ingin aku katakan
padamu. Kalau aku tidak menghentikan jariku, pasti tidak akan berhenti menulis
sampai puluhan lembar. Oh ya, jaga dirimu. Mungkin aku akan kembali. Tapi tidak
tahu kapan. Aku juga sudah bilang pada Ayahku untuk pindah kuliah. Dan satu
nasihatku, kelakuan play boy mu jangan sampai bertambah parah yaaaa,
wahahahahhh... ah, kenapa aku malah menangis saat menulis ini. Ini kan tidak
sedih sama sekali.
Ckkk. Menyebalkan. Dari tadi
air mataku terus-terus mendesak keluar. Tuh, kertasnya jadi basah. Baiklah,
kurasa cukup sekian Win.
Makes. Kukkaaang... Iwin...
Aku sayang kamu. Maaf dan terima kasih untuk segalanya... ^^
Your Kuy,
Isah
©©©
Darwin
kembali melipat surat yang ia terima sekitar tujuh bulan yang lalu. Surat
dengan amplop berwarna kuning itu sudah puluhan kali ia membacanya. Bahkan ia
sendiri tak pernah bosan berdo’a usai membaca surat itu, berharap agar
sahabatnya kembali padanya. Surat itu bahkan sudah lusuh, karena pertama kali
Darwin membacanya, ia meremas kertas itu sampai tak berbentuk.
Awalnya
Darwin benar-benar tidak menyangka jika Isah juga mengalami hal yang sama
dengannya saat pingsan. Apa roh mereka berdua memang benar-benar bertemu saat
itu dan mereka memasuki dunia tak masuk akal? Entahlah, Darwin tak mau ambil
pusing dengan dunia yang sama sekali tak nyata itu.
Sudah pukul
sebelas malam. Dan itu artinya tinggal satu jam lagi maka hari ulang tahun
Darwin akan berakhir. Kali ini benar-benar akan menjadi ulang tahun yang buruk
ia rasa. Hanya seorang diri. Tanpa sahabatnya yang biasanya akan selalu
menamaninya seharian penuh selama ulang tahun.
Seraya
duduk di tepi jendela kamarnya, Darwin menatap langit malam. Darwin pikir, Isah
akan kembali saat hari ulang tahunnya. Ia sudah menunggu sejak tadi malam. Ia
berharap Isah akan memberi kejutan untuknya. Namun sampai detik ini, dan bahkan
hari ulang tahunnya akan berakhir, tak juga gadis itu datang. Jangankan untuk
datang, bahkan menghubunginya saja tidak.
Darwin
menghela nafas berat. Di seberang sana, kamar Isah tertutup rapat. Dulu, saat
pertama kali ia pindah rumah, ia pikir bisa selamanya bisa melihat Isah dari
jendela kamarnya. Tapi yang terjadi sekarang, gadis itu tak ada lagi di
rumahnya. Hanya ada orang tuanya dan saudaranya karena gadis itu memutuskan
untuk kost di dekat kampusnya di Kalimantan Selatan. Ditambah lagi, gadis itu
benar-benar sudah memutuskan komunikasi dengannya. Nomor ponsel gadis itu sudah
tidak aktif lagi. Dan yang lebih parahnya, tak ada seorangpun yang mau
memberikan nomor gadis itu padanya sehingga Darwin tak tahu kemana harus
menghubungi sahabatnya itu.
Suara
lolongan anjing merambat memenuhi indra pendengarannya. Sedikit meremang bulu
kuduknya, lantas pria itu berniat menutup jendela kamarnya. Sebelum benar-benar
menutup jendela, pria itu menatap sebuah gugusan bintang di atas sana. Gugusan
bintang bernama Sirius. Gugusan bintang yang melambangkan serigala yang
kesepian. Sama seperti keadaanya sekarang.
Darwin
melirik jam pada layar ponselnya. Lima belas menit lagi pukul dua belas sebelum
hari ulang tahunnya benar-benar berakhir. Dan itu artinya ia sudah melamun
hampir empat puluh lima menit di tepi jendela kamar. Dengan perlahan, ia
menutup daun jendela sebelum sebuah suara deritan jendela terbuka di seberang
sana menarik atensinya.
Waktu
seakan terhenti berputar. Aliran nafasnya terhenti. Jika mungkin, kedua bola
matanya hampir saja mencuat dari tempatnya. Jantungnya bertalu tak karuan
dengan kedua lutut bergetar berusaha menopang berat tubuhnya.
Darwin
menarik kedua sudut bibirnya. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi. Ya, ia selalu
percaya. Ia percaya kalau wanita itu akan kembali.
.
Can we fall, one more time?
Stop the tape and rewind
Oh and if you walk away I know I’ll fade
Cause there’s nobody else
It’s gotta be you
Only you
It’s gotta be you
Only you
.
Di seberang
sana, wanita itu tersenyum lebar dengan wajah cerahnya. Seraya melempar
konfetti, wanita itu berteriak dari jendela kamarnya.
“IWIIIN
SELAMAT ULANG TAHUUUUUUN!!!”
.
.
FIN
.
.
©©©
Alhamdulillah...
MET MILAD DARWIN, BARAKALLAHU FII UMRIK ^^
Oh iya, maaf kalau aku sudah banyak salah sama kamu selama
ini. Waktu yang sudah kita lewati bersama, mungkin akan jadi moment yang sulit
untuk dilupakan. Piringnya sudah pecah Win, bukan retak seperti waktu itu. Saat
retak itu, kita masih mencoba mempertahankan piring itu supaya tidak
benar-benar pecah. Tapi sekarang, piring itu sudah pecah dan tidak bisa
disatukan kembali. Dan sekarangpun aku sama sekali nggak berniat menyatukan
pecahan piring itu yang hanya akan melukai tanganku. Aku tahu, kamu pasti
sangat paham dengan perumpamaan ini...
Win, mungkin akan lebih baik aku kembali ke masa di mana aku
belum kenal kamu. Tapi aku bilang begini bukan karena aku menyesal sudah pernah
jadi teman baik kamu, bahkan bisa dibilang saat itu kita lebih dari teman
baik. Hanya saja, semua sudah berubah
sekarang... Aku lelah terkadang dengan kata-kata kasarmu, maaf... Dan mungkin
kamu juga sudah lelah dan bosan berteman denganku.
Jangna benci sama aku yaa. Aku seneng kok pernah jadi bagian
dalam hidup kamu. Makasih sudah sering nemanin aku di saat aku kesepian.
Makasih mau berteman sama perempuan seperti aku. Makasih makasih banget. Pesan
aku, jangan lupa sholat lima waktunya Win dijaga. Yang pasti aku sudah nggak
bisa sms-an sama kamu lagi dan ngingatin kamu sholat seperti biasanya. Jangan
nyakitin wanita dan jangan memberi harapan sama wanita kalau kamu nggak serius
sama mereka, karena perempuan itu terlalu rapuh...
And last but not least, ADIOS
AMIGO (: