Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Rabu, 18 November 2015

(Fanfiction) Dewdrop



Dewdrop
.
.

Author:
Aisyah (@cloudisah)

.
.

Cast:
OC’s Choi Jirin
B.A.P’s Daehyun

.
.

***

Ugh.

Menyebalkan.

Bagaimana bisa ia melakukan hal itu pada seorang wanita huh? Terlebih kepada kekasihnya sendiri. Tsk, awas saja nanti. Ia tidak akan kumaafkan. Tidak-akan-pernah.

 “Kenapa malah duduk di balkon? Cuaca sangat dingin sekarang. Bagaimana kalau nanti kamu masuk angin? Ayo masuk ke dalam.”

Suara sok keren itu adalah suara kekasihku. Yah, kekasihku yang kurang ajar. Jung Daehyun.

Tanpa memperdulikan ucapannya barusan, aku hanya menatap dedaunan di dalam pot gantung—dimana ujung tanaman itu menjuntai melewati pot—yang ujung-ujungnya dibasahi embun. Sebenarnya tadi malam tidak hujan. Hanya saja karena sekarang sudah mulai memasuki musim gugur makanya cuaca jadi sedingin sekarang.

Seraya merapatkan sweater yang tengah kukenakan, kupeluk kedua kakiku yang kulipat. Duduk di atas kursi kayu di balkon di pagi buta seperti ini memang terlihat konyol. Tapi yah, mau bagaimana lagi. Aku sudah terlanjur merajuk dengan pria itu.

Kudengar suara helaan nafas berat di belakangku. Suaranya seperti orang selesai mengerjakan pekerjaan berat saja. Ckk... Memangnya apa yang ia lakukan semalam? Bukankah ia sudah  pasti tidur dengan nyenyak? Tentu saja begitu. Bagaimana tidak, ia merebut selimut dari dalam kamarku dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Selimut satu-satunya yang kubawa ke vila ini. Dan berakhir dengan aku yang tak bisa tidur karena kedinginan.

“Rin-ah, ayo masuk ke dalam. Nanti kamu hipotermia,” suara Daehyun memelan. Beberapa sekon berikutnya pria itu sudah berdiri tepat di sampingku.

Aku tak berniat meladeni ucapannya. Yang kulakukan sekarang hanya mengabaikannya dan memilih menyibukkan diri menatap burung-burung pemakan biji yang hinggap di dahan pohon bunga aprikot yang tumbuh persis di sisi luar balkon.

“Kamu marah?”

Kuhembuskan nafas kasar agar ia mengerti. Tentu saja aku marah. Tanpa ia bertanya seharusnya ia tahu. Lagi pula yang memaksaku ke vila ini kan dia? Lantas, kenapa ia malah membuat liburan akhir pekanku menjadi seperti ini? Huh.

“Rin-ah...”

“Kamu masuk saja. Aku sedang tidak ingin bicara denganmu,” ketusku karena aku memang sedang tidak ingin mendengar suaranya ataupun melihat wajahnya.

Dan, oh sial.

Ternyata pria itu benar-benar masuk ke dalam. Ia bahkan tak memintaku masuk bersamanya? Bagus. Benar-benar kekasih yang kurang ajar.

Tapi, bukankah aku hebat sekali? Aku sudah menjadi kekasihnya hampir tiga tahun. TIGA TAHUN! Yap, tiga tahun. Bukankah seharusnya aku mendapat penghargaan karena sanggup menghadapi kekasih seperti itu?

Dari pada aku harus masuk ke dalam aku lebih memilih kedinginan di balkon ini. Karena aku tidak ingin Daehyun menganggap rendah harga diriku sebagai wanita. Sekali lagi, aku sedang merajuk. Dan aku harus menahan dinginnya cuaca pagi ini agar tidak terlihat lemah.

Dari balkon ini aku bisa melihat tetesan embun yang jatuh dari ujung mahkota bunga aprikot. Juga embun yang menetes dari ujung daun di pot gantung itu. Melihat tetesan embun, membuat suasana hatiku sedikit hangat. Meskipun dinginnya udara terus saja menusuk permukaan kulitku.

Kurasa tak buruk juga duduk di balkon ini. Karena aku begitu menyukai tiap tetesan embun yang jatuh dari ujung dedaunan. Membuatku serasa hangat dan damai di saat yang bersamaan.

Tapi... kenapa mendadak tubuhku hangat seperti ini?

Eh?

“Daehyun...” gumamku.

Daehyun membawa selimut yang tadi malam ia rebut dariku dan meletakkannya pada kedua bahuku. Gigi-gigiku yang sejak tadi bergemeletuk karena menahan dingin, sekarang berganti dengan mulutku yang terbuka melihatnya yang sekarang duduk tepat di sampingku dan memelukku.

“Bagaimana? Sudah hangat?” ucapnya seraya tersenyum—senyum itu sangat menyebalkan sungguh—dan menatap dalam irisku.

Aku tak berkedip selama beberapa sekon sebelum akhirnya kekehan dari mulut Daehyun membuatku tersadar dan berdehem lantas mengalihkan perhatianku dari wajahnya. Selalu saja seperti ini. Kenapa hatiku selalu luluh dengan senyuman dan tatapan matanya? Ugh. Ayolah Jirin, kau harus kuat menghadapi kekasihmu ini. Ingatlah, ia sudah merebut selimutmu dan membuatmu hampir mati kedinginan semalaman.

“Jangan marah lagi ya. Aku tak berniat merebut selimutmu dan berencana membuatmu mati kedinginan. Aku juga tidak bisa tidur tadi malam karena khawatir kamu kedinginan. Hanya saja...”

Daehyun menghentikan ucapannya lantas tangannya terulur menyentuh wajahku agar kembali bersitatap dengan manik kelamnya. Aku kembali hanya bisa diam. Membiarkan Daehyun menyelesaikan kalimatnya.

“Kamu tahu kan seminggu terakhir cuaca semakin dingin. Jadi, maksudku, eum, maksudku... Tidakkah tadi malam kamu berfikir untuk-”

Lagi-lagi Daehyun menghentikan ucapannya. Namun tak lama, kedua netraku melebar saat tangannya semakin erat memeluk tubuhku.


Aliran darahku serasa terhenti dan mungkin saja wajahku sudah seperti kepiting rebus ketika Daehyun berucap seduktif tepat di telingaku, “Tidakkah kamu berfikir untuk masuk ke kamarku lantas tidur bersamaku dan saling menghangatkan satu sama lain—Akkkhh...”

“Dasar pervert!”

Kucubit kuat lengannya yang bertengger di tubuhku lantas aku segera bangkit dari duduk dan berlari masuk ke dalam. Sebelum Daehyun melakukan hal yang tidak-tidak padaku. Oh, sekarang aku menyesal. Mungkin setelah ini aku tidak ingin lagi melihat tetesan embun yang akan mengingatkanku akan ucapannya barusan. Entah dimanapun itu. Ckk, kau benar-benar keterlaluan Jung Daehyun.

“Akkh, Jirin. Sakiiiit...”

.
.
FIN

THE KING IS BACK!!!
I just wanna say "WELCOME BACK B.A.P!!!!!!" ^^

(Fanfiction) Himawari No Yokusoku



Himawari No Yakusoku
.
.

Author:
Aisyah (@cloudisah)

.
.

Cast:
Super Junior’s Yesung
OC’s Jirin

.

Lenght:
Drabble

.

Inspired by:
Motohiro Hata- Himawari No Yakusoku (Doraemon, Stand By Me’s Ost)

.

<3<3<3

Aku adalah salah satu dari sejumlah pria di dunia ini yang menyukai bunga matahari. Memang kelihatannya terlalu feminim, sih. Jangan tanyakan mengapa aku begitu menyukai tanaman dengan bunga berwarna kuning yang memiliki banyak biji—kau pasti tahu biji itu kesukaan kebanyakan hamster—dan selalu mengikuti di mana posisi matahari berada.

Sederhana. Karena gadisku begitu menyukainya.

Yah, hanya seperti itu. Dan aku langsung mendeklarasikan diriku sebagai seorang penyuka bunga matahari.

Awalnya aku sama sekali tak tertarik dengan bunga bermahkota kuning yang kadang kala membuat mataku sakit ketika matahari menyirami cahaya pada mahkotanya itu. Terus terang saja, itu cukup silau bagiku. Aku lebih suka bunga aprikot. Bunga yang mengawali mekar kuncupnya pada awal musim semi.

Tapi itu dulu sekali. Sebelum gadisku masuk dalam kehidupanku. Terlampau dalam malah. Karena sekarang, bunga matahari dan gadisku adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dalam hidupku.

Aku masih duduk di atas rerumputan di tengah taman bunga matahari menunggu gadisku datang. Hari ini adalah hari spesial. Yah tentu saja, aku sangat bersemangat karena aku selalu menunggu datangnya hari ini. Setiap tahun gadisku selalu datang membawa sebuket bunga matahari tepat pada tanggal ini.

Kuhirup nafas dalam. Entah kenapa rasanya biar sebanyak apapun aku berusaha meraup oksigen, rasanya tak pernah cukup untuk memenuhi paru-paruku. Oksigen yang kuhirup serasa hampa. Seperti jiwaku saat ini. Kosong.
Dengan gaun peach selututnya, gadisku—namanya Jirin—berjalan perlahan menghampiriku tempat dimana aku duduk sejak tadi. Surai hitam sebahunya tertiup semilir angin, membuatku tak tahan ingin merapikan surainya ke balik daun telinganya lantas memeluknya erat. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa selain menunggunya hingga tiba di sini, persis di sampingku.


Dengan sebuket bunga matahari yang masih segar di tangan kanannya, serta sebuah keranjang rotan di tangan kirinya, Jirin duduk perlahan di sampingku. Oh, kenapa wajahnya muram? Berbanding terbalik dengan senyum lebar yang sejak tadi tak henti-hentinya menghiasi wajah tampanku.

Perlahan Jirin meletakkan bunga matahari dan keranjang yang ia bawa, lantas menatap hamparan birunya langit di atas sana dimana tak ada sedikitpun awan yang menutupi. Ia bahkan tak menatapku sama sekali.

Oppa,” gumamnya pelan.

Aku menatap wajahnya yang masih menatap langit biru di atas sana. Tanpa ingin menginterupsi, aku memilih diam membiarkan ia melanjutkan kalimat yang ingin dikatakannya.

“Sudah tiga tahun,” ia kemudian diam dan menghirup nafas dalam. Lantas setelahnya kedua kelopaknya terpejam, membiarkan angin sore menerpa kulit wajahnya. Aku hanya bisa tersenyum melihat gadisku ini. Entah dalam keadaan apapun bagiku ia selalu terlihat manis. Apa pun yang ia lakukan.

Oppa... Aku merindukanmu.”

Senyum yang sejak tadi senantiasa bertengger di wajahku seketika menghilang seiring dengan air mata yang mengalir dari sudut mata Jirin. Tanganku terulur hendak menghapus air matanya, namun akhirnya hanya bisa tertahan di udara. Karena aku tahu, aku tak mungkin bisa melakukannya.

“Jirin-ah, jangan menangis. Oppa di sini, di sampingmu,” ucapku berharap ia bisa mendengarnya. Tapi percuma, suaraku ikut terbang bersama hembusan angin hingga tak merambat ke indra pendengaran Jirin.


Puluhan sekon berikutnya Jirin membuka kelopak matanya lantas menghapus kasar air mata yang membasahi wajahnya. Setelahnya, ia menatap benda putih yang melingkar di jari manisnya. Cincin pertunangan kami. Kuperhatikan Jirin tersenyum kecut memandang cincin itu. Cincin yang kuberikan padanya tiga tahun yang lalu.

Aku kembali hanya diam. Memilih untuk menatap wajah yang begitu kurindukan itu yang sekarang tengah menaburkan bunga yang ia bawa dari dalam keranjang rotannya di atas gundukan tanah serta meletakkan buket bunga matahari yang dibawanya tepat di samping batu nisan. Nisan yang bertuliskan nama Kim Yesung.

Hangat tangannya tak lama terasa di seluruh tubuhku ketika kedua lengan rampingnya memeluk erat nisan itu. Membuatku akhirnya harus mati-matian menahan sesak di dalam dada.

Oppa, kau jahat. Hiks... Oppa, apa kau pikir dengan kau pergi seperti ini aku akan bahagia? Tidak Oppa, aku sakit. Hiks, aku merindukanmu Oppa, sangat sangat merindukanmu. Hiks... Oppa, hiks, apah, apah yang haruss hiks aku lakukan sekarang tanpamu Oppa?”

Aku memukul dadaku, berharap mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba menjalar ke seluruh rongga dadaku. “Jirin, maafkan aku...” dan suaraku kembali terbang bersama hembusan angin sore.

“Mana janjimu Oppa? Janjimu yang akan membuat taman bunga matahari bersamaku di belakang rumah kita nanti. Kenapa kau pergi sebelum kau menepati janjimu? Hiks, Oppa... Kau bilang kau selalu merasa hangat ketika melihat bunga matahari itu kan? Lantas, hiks, apa di sana kau melihat lebih banyak bunga matahari ketimbang di dunia ini? Hiks...”

Penglihatanku memburam seiring dengan Jirin yang semakin erat memeluk batu nisan itu. “Melihat wajahmu jauh lebih hangat Rin-ah. Wajahmu yang sehangat cahaya mentari pagi. Maaf, aku tak bisa menepati janjiku,” gumamku meskipun aku tahu ia tak mungkin bisa mendengar suaraku.

“Hari ini tepat tiga tahun kau pergi, Oppa. Setelah ini, apa... Apa aku, apa aku masih sanggup hidup? Oppa, nan neol saranghae... Noumu saranghae... hiks...”


Burung gereja bersahutan, seiring dengan jingga yang mulai tampak di ufuk barat. Jirin masih di posisi yang sama, memeluk nisan di atas makamku. Makam pria yang tak bisa memenuhi janjinya. Dan tak akan pernah lagi bisa memenuhi janjinya. Janji bunga matahari.

“Jirin-ah, neo hanaman saranghannika...”

.
.
FIN

Aku keinspirasi bikin fict ini tetiba gegara nonton KRY nyanyi lagu Motohiro Hata itu waktu mereka lagi di Jepang. Keren, aku sukak :D Apalagi yang pas part Yesung, jantungku langsung bertalu nggak karuan sumvah :v
Udah lama nggak bikin fanfiction dengan cast Yesung Oppa. Semoga ini layak baca yah...
Makasih buat yang sudah berkenenan membaca fict tidak berkelas ini ^-^