Mungkin
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Inspired By:
S4 – Mungkin
Main Cast:
Darwin, Umairoh
Minor Cast:
You can find them by your self
(English limited edition :p)
Warning:
Alur kepanjangan, typo gentayangan,
feel-nya kurang dapet, bikin mata perih, ngantuk, mual, sesak nafas, dll
Happy reading ^^
.
.
###
Tiada hari tanpa bayang-bayangmu
Mengapa dirimu yang selalu hadir di
benakku
Getar hatiku memanggil namamu,
Tanpa kusadari air mata ini bergulir
.
Darwin
Dentingan sendok beradu dengan gelas kaca memecah hening di
dapur minimalis dalam sebuah apartemen sederhana yang hanya kutempati seorang
diri. Memang tak benar-benar hening karena sejak tadi suara volume
tv-yang-tak-kutonton-tayangannya di ruang tengah masih menggema dan masih cukup
jelas ditangkap pendengaranku di dapur.
Eumm, baiklah mungkin akan lebih baik jika kuperkenalkan
diriku lebih dulu. Namaku adalah Darwin. Bukan, aku bukan seorang Darwin penemu
teori tentang asal mula manusia yang berasal dari kera. Aku masih bisa berpikir
dengan jernih kalau manusia sama sekali berbeda dengan kera atau simpanse atau
monyet atau orang utan atau apapun yang masih satu famili dengan kera. Aku
hanya seorang mahasiswa biasa yang mencoba hidup mandiri dan bekerja di pagi
hari dan kuliah pada sore sampai malam hari. Aku mencoba hidup mandiri dengan
menyewa apartemen sendiri dan jauh dari orang tua.
Aku juga bukan pria populer di kampus, bukan peraih medali
emas olimpiade sains, bukan peraih piala bergilir pertandingan bulu tangkis
Kabupaten, bukan Mahasiswa Pecinta Alam, dan yang pasti aku bukan anggota
boyband.
Baiklah kurasa cukup sampai di situ perkenalannya.
Pagi ini aku sedang libur kerja, yeah aku bekerja sebagai
kasir di sebuah café tak jauh dari kampusku –sekitar lima
belas menit dari apartemenku dengan jalan kaki- dan karena café tempatku bekerja selalu tutup di hari Minggu
jadi hari ini aku berniat untuk bersantai di dalam apartemen sekaligus
membersihkan apartemenku yang sudah satu bulan ini tak kuhiraukan. Dan
kebetulan aku sedang libur semester, jadi aku bisa beristirahat dari pusingnya
tugas-tugas kuliah.
“Soledad
It’s a keeping for the lonely
Since the day that you were gone
Why did you leave me
Soledad”
Nada dering ponselku menggema di
ruang tengah karena aku meninggalkan ponselku di samping tv, segera aku
meninggalkan kegiatanku –mengaduk-aduk-cangkir-teh- dan menekan tombol hijau di
layar ponsel. Sebuah panggilan masuk dari Romi.
“Halo Rom”
“WOOY DUDE KAU SUDAH BANGUN?!!!”
Sontak aku menjauhkan ponselku dari
telingaku yang terasa berdengung karena pria tak tahu diri itu berteriak sangat
kencang, “Hey, bisakah kau tak berteriak
seperti itu?,” jawabku malas.
“Eung, okey baiklah. Jadi, kau sudah
bangun?”
“Belum”
“Belum?”
“Ayolah, kalau aku belum bangun aku
tidak mungkin menjawab panggilan telponmu kan?”
“Hehe, oke-oke aku tahu. Jadi apa kau
siap untuk kuculik hari ini?”
“Kau akan menculikku??,” tanyaku tak
percaya. Apa-apaan dia. Lagipula mana ada penculikan dengan ijin korbannya.
“Yeha, kau tidak ingat kalau hari ini
pertandingan basket di kampus?”
Aku memutar mataku berpikir, ah iya
benar, aku bahkan tak mengingatnya sama sekali. “Kau saja yang pergi, aku
sedang malas hari ini untuk keluar”
“Haish kau ini tidak setia kawan.
Bukankah kau yang kemarin berjanji untuk menemaniku... ayolah Darwin kita pergi
sekarang.. ya,” ia
berusaha membujukku dengan nada suaranya yang ia buat seperti anak-anak yang
meminta dibelikan es krim pada ibunya.
“Tidak mau. Lagipula kau kan bisa
pergi dengan Hardi? Atau Iqbal? Atau Yudi?”
“Ckk... Baiklah-baiklah. Kau
menyebalkan. Sudahlah aku tutup telponnya, selamat bertapa di dalam apartemenmu,” jawabnya kesal.
Romi langsung memutuskan sambungan
telpon sebelum aku menjawabnya. Romi adalah teman baikku sejak kami masih kecil
dulu, kami banyak menghabiskan waktu bersama. Dan anak itu juga bekerja di
tempat yang sama denganku.
Hmm, kurasa Romi tak akan marah
padaku karena aku tak bisa ikut menonton pertandingan basket dengannya. Aku
tahu bagaimana sifatnya yang tidak pemarah. Beruntung sekali aku memiliki teman
baik sepertinya, haha.
Aku kembali ke dapur untuk memulai
sarapanku yang tertunda. Kurasa teh di dalam cangkirku mulai mendingin, dan
lebih baik aku segera sarapan sebelum semua makanan yang ada di meja
benar-benar dingin dan tidak layak di makan.
Eits, tunggu. Apa tadi aku bilang
semua? Yaah, hanya ada teh dan pancake sederhana yang bisa kubuat sebagai menu
sarapan pagi ini.
Ngomong-ngomong mengenai pancake, aku
kembali teringat pada seorang gadis yang sangat menyukai pancake. Ia yang
mengajariku cara membuat pancake ini, yah meskipun pancake buatannya jauh lebih
enak dibandingkan buatanku. Seandainya ia ada di sini, seandainya gadis itu
menemaniku, aku pasti akan merasa sangat bahagia.
Berbagai spekulasi mulai merangsek masuk ke dalam alam pikirku
mengenai keberadaan gadis itu. Aku dan gadis itu mengakhiri hubungan kami tepat
setelah kelulusan kami saat SMA. Bukan karena pertengkaran. Bukan karena salah
paham. Kami hanya memutuskan untuk fokus pada studi kami di jenjang
perkuliahan, namun pada akhirnya aku tetap tak bisa fokus belajar karena
pikiranku selalu dipenuhi tentang gadis itu. Aku masih menyayanginya, teramat
sangat menyayanginya.
Setelah kelulusan itu, tak ada lagi kabar mengenai
keberadaannya. Komunikasi diantara kami benar-benar sudah putus. Ia mengganti
nomor ponselnya dan aku juga mengganti nomor ponselku. Ia juga tidak lagi
menggunakan akun jejaring sosial yang biasanya ia pakai.
Yang aku tahu dari temannya adalah ia kuliah di luar kota.
Tak ada lagi yang kuketahui tentangnya selain hal itu. Meskipun begitu, tak ada
satupun hari terlewatkan tanpa bayangnya di benakku. Bahkan aku semakin
merindukannya. Bagaimana kabarnya saat ini, apa dia baik-baik saja, apa yang ia
lakukan, apa ia sudah punya kekasih baru. Kekasih?? Aku bahkan tak sanggup
membayangkan jika ia benar-benar sudah memiliki kekasih baru. Tapi bagaimana
jika memang ia sudah memiliki kekasih? Bagaimana jika kekasihnya lebih tampan
dariku? Bagaimana jika kekasihnya lebih pintar dariku? Bagaimana jika
kekasihnya lebih tinggi dariku? Atau bahkan kulitnya lebih putih dariku?
Tssk, ini masih pukul tujuh tiga puluh pagi dan aku sudah
mulai ber-melankolis-ria. Dan.. oh ya ampun ada apa denganku? Aku bahkan
menangis sekarang. Syukurlah aku tinggal seorang diri di apartemen ini jadi aku
tak perlu malu saat tiba-tiba air mata sialan ini mengalir tanpa kuhendaki.
.
.
Umairoh
Perkenalkan, namaku Umairoh. Kenapa Umairoh? Karena kata
orang tuaku pipiku kemerah-merahan, bahkan semakin memerah jika aku sedang
tertawa atau sedang malu. Aku adalah seorang mahasiswi biasa dan sama sekali
tidak populer di kampus, jurusan
manajemen. Aku bukang anggota BEM di kampus apalagi menjadi PresMa –sungguh aku
tak begitu menyukai organisasi- aku bukan Mahasiswi Pecinta Alam, kulitku tidak
seputih aktris Korea Kim So Eun, wajahku sangat oriental khas wanita Indonesia,
suaraku tidak semerdu penyanyi Mandy Moore, dan tubuhku tidaklah setinggi
member girlband Girls Generation.
Kurasa perkenalannya cukup. Saat ini aku sedang libur kuliah
jadi aku putuskan untuk kembali ke kota kelahiranku setelah satu tahun aku tak
pulang karena aku tinggal bersama bibiku di sana.
Pagi ini aku sedang berolahraga dengan mengendarai sepedaku
sekaligus menikmati pemandangan pagi hari yang masih sejuk. Tak banyak yang
berubah dari kota kelahiranku ini sejak satu tahun yang lalu aku tinggalkan.
Mungkin hanya beberapa bangunan yang direnovasi dan tempat-tempat yang dulu
sering kukunjungi saat SMA sudah diperbarui tatanannya.
Hari Minggu pagi ini ramai sekali orang-orang yang berolahraga.
Ada yang juga mengendarai sepeda sepertiku, bahkan tak sedikit pula mereka yang
berjalan kaki serta berlari-lari kecil di sisi jalan raya. Aku menghentikan
sepedaku di depan sebuah warung yang menjual bubur ayam. Menu sarapan
favoritku. Dan tempat ini tempat yang biasa kukunjungi sewaktu SMA dulu.
Tak perlu menunggu lebih dari sepuluh menit bubur ayam
pesananku sudah siap dan aromanya benar-benar menggiurkan. Pengunjung warung
bubur ayam ini cukup ramai bahkan aku duduk di pojok kanan warung karena hanya
ini satu-satunya tempat yang tersisa. Suapan demi suapan yang cukup teratur
masuk ke dalam mulutku karena aku memang sedang tidak buru-buru. Di sebelahku
ada sepasang kekasih yang menghabiskan bubur mereka sambil bercanda, bahkan
saling menyuapi satu sama lain. Ckk, membuatku yang notabene adalah jomblo ini
jadi sedikit envy.Hey, ini kan tempat umum setidaknya mereka bisa tahu
tempat untuk bermesraan.
Suapanku semakin melambat seiring memori yang berputar di
otaku seperti sebuah film. Dulu aku bersama kekasihku saat SMA juga sering
sarapan di sini tiap hari Minggu. Bahkan kami juga melakukan hal yang kurang
lebih sama dengan yang dilakukan pasangan di sampingku ini. Tunggu dulu, apa
tadi aku bilang kekasih? Maksudku mantan kekasihku. Yah, mantan kekasih. Kami
putus tepat di hari kelulusan kami, bukan karena bertengkar ataupun salah paham
dan bahkan ketidakcocokan lagi di antara kami.
Saat itu aku berpikir untuk fokus pada pendidikanku di
Perguruan Tinggi, jadi akan lebih baik jika kami untuk berpisah saja. Aku
bukannya tidak lagi menyayanginya, aku bahkan masih teramat sayang dengannya.
Dan yang lebih parahnya saat aku di kampus, aku sering sekali membayangkan dia
berada di dekatku. Niatku untuk fokus pada kuliahku, pada akhirnya terbagi
dengan pikiran-pikiranku tentangnya, tentangnya yang semakin kurindukan.
Bagaimana kabarnya? Apa yang ia lakukan? Di mana ia sekarang?
Apa masih di kota ini atau ia juga kuliah di luar kota? Apa ia sudah punya
kekasih baru? Kekasih?
Aku terlalu takut membayangkan jika memang ia sudah memiliki
kekasih baru. Bagaimana wajah kekasihnya, apakah lebih cantik dariku? Apakah
kekasihnya lebih pintar dariku? Apakah kulit kekasihnya lebih putih dariku?
Ckk.. membayangkannya saja membuat selera makanku tiba-tiba hilang.
Bubur di dalam mangkuk belum habis namun aku lebih memilih
segera meninggalkan warung ini dari pada aku terisak dan menjadi perhatian
orang-orang. Segera setelah aku membayar makananku, aku segera keluar dan
mengayuh sepedaku cukup kencang. Oh kumohon jangan lagi menangis. Tsk, mataku
cukup perih sekarang karena aku menahan air mataku agar tidak mengalir, namun
hasilnya tetaplah air mata ini mengalir di sudut mataku. Ada apa denganku?
Kenapa setiap aku mengingatnya aku selalu berakhir menangis seperti ini?
Darwin. Mengingat namanya membuatku hatiku berdesir. Membuat
air mataku turun tanpa komando dan membuatku semakin merindukannya.
###
Saat kubernyanyi
Kala kumelangkah
Ku selalu memikirkanmu
.
Sore ini aku terpaksa berjalan menuju minimarket tak jauh
dari rumahku karena di rumahku sedang kehabisan sabun mandi dan beberapa
keperluan dapur. Aku bisa saja menyuruh adikku, namun aku tidak tega karena ia
sedang istirahat setelah latihan Kempo tadi siang. Aku melangkah pelan sambil
mendengarkan musik dari ponselku menggunakan headset, dan aku memilih lagu
Yesung, For One Day.
“Dan haruman.. dan haruman..
Geudael jiuryeo haebwado
Seupgwancheoreom, babocheorom
Dasi tto nunmuri najyo
Dan haruman.. dan haruman..
Geudael aneul su itdamyeon
Himgyeopge beotyeoon
Mojin geu sesangkkeuteseo, sal su isseultende
Dan haruman...
(Trans: For one day, just for one day
Though I fight to erase you from my mind
But like a habit, and I’m like a fool
Again, again my tears fall
For one day, just for one day
If I can hug you once
I can toughly endure in this harsh world
In the end, we can stay together
Just for one day)
Aku bersenandung pelan mengikuti
alunan lagu Yesung, suaranya mengalun lembut dan membuatku bisa merasakan isi
lagu yang dinyanyikannya. Lagu ini benar-benar sesuai dengan keadaanku saat
ini. Oh, aku teringat padanya lagi sekarang. Entahlah setiap aku mendengarkan
lagu slow, yang terlintas di benakku selalu dirinya.
.
.
Darwin
Benar-benar menyebalkan. Hari ini
seharusnya aku tak perlu kemana-mana dan bersantai saja, tapi karena persediaan
di dalam kulkasku sudah habis aku terpaksa keluar untuk membeli berbagai bahan
makanan. Aku memutuskan untuk berjalan kaki dan tidak menggunakan motorku,
sekalian saja aku berjalan-jalan sore ini.
Rasanya sudah sangat lama aku tidak
merasakan udara sore seperti ini, cukup sejuk. Matahari bersinar tidak begitu
terik dan banyak sekali kulihat orang-orang yang menghabiskan waktu mereka di
luar rumah. Kuputuskan untuk membeli keperluan dapurku di minimarket yang
berada tiga blog dari apartemenku, sebenarnya tepat di depan apartemenku ada
sebuah minimarket yang cukup lengkap. Tapi karena aku sudah terlanjur keluar
apartemen, sekalian saja aku jalan-jalan. Minimarket itu tak jauh dari rumah
ehm.. mantan kekasihku. Yah siapa tahu kalau aku beruntung aku bertemu
dengannya. Yah meskipun sangat kecil kemungkinannya.
Kuputar sebuah lagu dari ponselku,
memang kebiasaanku sejak dulu selalu mendengarkan musik jika aku sedang dalam
perjalanan baik itu jalan kaki, naik motor, atau kendaraan umum. Kupilih lagu
One Direction, Gotta Be You dan mendengarkannya menggunakan headset. Aku
bersenandung pelan mengikuti lirik lagunya.
“Can we fall one more time?
Stop the tape and rewind
Oh and if you walk away I know I’ll
fade
Cause there is nobody else
It’s gotta be you, Only you
It’s gotta be you, Only you...”
Lagu ini begitu cocok dengan
keadaanku sekarang. Ah, kenapa setiap mendengarkan lagu slow perasaanku selalu
seperti ini. Aku selalu teringat akan dirinya.
Aku berjalan perlahan menikmati cuaca
sore ini, yah cukup sejuk. Sejak tadi kendaraan tak henti-hentinya berlalu
lalang di jalan raya, membuat kota ini terlihat kota sibuk seperti kota
Metropolitan. Mungkin karena aku terlalu asyik mendengarkan lagu dan
memperhatikan keadaan di sekitarku aku bahkan tidak sadar kalau minimarket yang
akan kutuju sudah berada dalam jarak pandangku, sekitar dua puluh lima meter
lagi.
Tak ingin buru-buru, aku tetap
menstabilkan langkahku meskipun sebenarnya aku sudah tidak sabar untuk sampai
ke minimarket itu. Namun sebelumnya, sebuah bangunan di seberang jalan menarik
perhatianku, aku berhenti sejenak untuk melihat bangunan tersebut. Bukan
bangunan mewah atau pertokoan yang menjajakan barang unik, hanya sebuah rumah
tinggal minimalis bercat putih yang sejak dulu tak pernah berubah keadaanya.
Masih tetap asri.
Rumah kekasihku.
Maksudku, rumah mantan kekasihku.
Yah aku sering sekali melewati
rumahnya, berharap ia muncul dari balik pagar rumahnya lalu memandang ke arahku
dan berakhir dengan kami yang saling bertegur sapa lantas berbagi cerita.
Sedikit berharap tak apa kan? Toh tak ada sanksi pelanggaran jika aku
melakukannya. Aku menarik nafas dalam, setidaknya dengan melihat dari jauh
rumahnya membuatku lega. Hanya untuk berjaga-jaga saja jika tiba-tiba terpasang
tenda biru di halaman rumahnya. Ckkk, aku mulai membayangkan hal-hal yang tidak
penting.
Aku kembali mengalihkan perhatianku
dari rumah itu lantas kembali melanjutkan langkahku untuk menuju minimarket
yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi.
Tunggu dulu. Kali ini fokusku tertuju
pada seorang gadis tak jauh dari minimarket bercat hijau tosca yang sedang
mengobrol dengan temannya yang sedang berada di atas motor, mungkin mereka tak
sengaja bertemu di jalan. Gadis itu benar-benar tak asing. Umairoh kah?
Entahlah. Aku tak yakin karena akhir-akhir ini aku sering sekali melihat gadis
yang kuanggap Umairoh padahal itu hanya bayanganku saja karena postur tubuh
mereka yang mirip.
Langkahku terhenti untuk
memperhatikan dengan jelas siapa gadis itu. Cukup sulit mengenalinya karena ia
berada sekitar delapan meter dariku dan juga wajahnya tak menghadap ke arahku.
Yah dari postur tubuhnya memang benar-benar seperti Umairoh, tinggi badannya,
cara berpakaiannya dan...
“Woy Win akhirnya aku menemukanmu!”
Sungguh aku benar-benar terkejut
dengan suara yang tiba-tiba muncul dari belakang dan menepuk pundakku dengan
cukup kuat membautku sontak latah ayam-ayam. “Hyaa... Yudi apa yang kau lakukan di sini?,” aku mengelus pelan
dadaku karena sungguh jantungku benar-benar serasa terjatuh dari tempatnya dan
dengan terpaksa aku langsung melepaskan headset di telingaku.
“Romi bilang kau akan bertapa
seharian di dalam apartemenmu, jadi aku berniat mengunjungi apartemenmu. Tapi
untunglah aku menemukanmu di sini,” Yudi menunjukkan cengiran khasnya yang kata
orang membuatnya terlihat manis –tapi-tidak-untukku.
Alisku mengkerut, “Memangnya ada
apa?”
“Nanti malam akan ada pesta kejutan
untuk ulang tahun Hardi. Kau harus ikut membantu kami oke”
“Sekarang?”
“Kemarin. Yah tentu saja sekarang.
Ayo kau ikut denganku saja..,” Yudi menarik lenganku dan membawaku pada
motornya tak jauh dari tempatku berdiri tadi.
“Hey... Tapi banyak barang yang harus
aku beli dulu Di,” aku meronta agar Yudi melepaskan cengkramannya pada
lenganku. Namun pria ini sama sekali tak menghiraukan perkataanku, ia malah
sudah naik di atas motornya dan menatapku dengan ekspresi
cepat-naik-sekarang-juga.
“Tsk, baiklah-baiklah. Tapi kau harus
mengantarku pulang nanti,” aku naik di belakang motornya tanpa mengenakan helm.
Kurasa tak akan ada razia karena hari ini hari Minggu dan sudah terlalu sore
para Polantas itu melakukan razia, hehe.
“Baiklah bisa diatu,”, Yudi
melesatkan motornya berbalik arah dari tempat tujuannku menuju tempat di mana
pesta kejutan untuk ulang tahun Hardi dilaksanakan.
###
Mungkinkah ku juga ada di hatimu
Mungkinkah kau menangis mengingatku
Mungkinkah kau pun memendam perih
Dan tenggelam dalam...
Kerinduan
.
Umairoh
Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan teman
lamaku saat SD usai aku membeli beberapa barang keperluan dapur di minimarket
dekat rumahku tadi sore. Namanya Linda, ia kuliah jurusan Perawat. Sudah
sekitar empat tahun rasanya aku tak bertemu dengannya setelah terakhir kali
kami bertemu saat kelas sembilan SMP ketika reuni teman-teman SD sekelasku.
Banyak hal yang kami bicarakan sampai-sampai aku baru kembali
ke rumah ketika adzan magrib hampir berkumandang dan berakhir dengan mendapat
kultum dari Ayahku di rumah. Yah aku akui aku memang salah karena jika sudah
bertemu dengan teman yang juga sama cerewetnya denganku, aku pasti selalu lupa
waktu karena mulutku memang benar-benar sulit untuk berhenti bicara.
Aku duduk di dekat jendela kamarku yang kubiarkan terbuka
menampilkan panorama malam yang sangat indah. Cukup banyak bintang bertaburan
dengan bulan yang hampir penuh yang semakin membuat permadani langit malam ini
semakin cantik dan terang. Sebuah bintang yang bersinar paling terang
mengalihkan perhatianku dari benda-benda angkasa lain, polaris. Bintang
penunjuk arah. Dulu kekasihku, ehm maksudku mantan-kekasihku selalu menganggap
dirinya sebagai polaris. Ia bilang ia akan selalu menjadi penunjuk arahku, akan
menjadi pusat perhatianku dan akan menuntunku jika aku tersesat dalam kehidupan
ini.
Yah itu hanya masa lalu. Tapi bagiku ia tetaplah seperti
polaris, ia akan terus bersinar terang di hatiku.
Hanya saja... Bagaimana jika hanya aku yang merindukannya?
Bagaimana aku tak ada lagi di hatinya? Bagaimana jika selama ini hanya aku yang
terus menerus mengingatnya?
Kuhela nafas panjang. Perasaan ini terkadang menyebalkan.
Untung saja saat ini aku tidak sedang bermain dalam tayangan telenovela, kalau
iya sudah dipastikan wajahku benar-benar terlihat menyedihkan.
Drttt... drttt...
Ponselku bergetar di atas meja belajar, ada sebuah pesan masuk.
Dengan malas aku mengambil ponselku dan membaca pesan yang masuk tersebut.
From: Windy
HEY MUKA MERAH!! KAU MNYEBALKAN SKLI!!! KNP KAU PULANG DN TDK
MENGABARIKU!!! KAU SDH TDK MENGANGGAPKU SBG TMNMU HUHHH???!!!
Ya Tuhan... Aku langsung terkekeh ketika membaca pesan dari
sahabatku ini. Sungguh aku bukannya tidak ingin memberitahukannya mengenai
kepulanganku, hanya saja aku berniat untuk memberi kejutan padanya. Dengan
cepat jemariku mengetik balasan pesan untuk Windy.
To: Windy
Oh My Dear... Bogosipho :-* :-*
Dari mana kau tahu kalau aku pulang?
Sent
Tak menunggu waktu lama sebuah pesan balasan dari Windy
langsung masuk dan aku segera membaca pesannya.
From: Windy
KAU TDK PERLU TAHU AKU MENGETAHUIX DRI MN KRN KAU ADL SHBAT
“TERJAHAT” SDUNIA!!!
Aku kembali terkekeh pelan. Sepertinya sahabatku ini
benar-benar sedang marah. Aku kembali dengan cepat membalas pesannya.
To: Windy
Maafkan aku Windy, aku hanya ingin memberi kejutan untukmu...
jangan marah ya.. Padahal besok aku akan ke rumahmu untuk memberi kejutan tapi
karena kau sudah tahu jadi yaah terpaksa kejutannya gagal.. Hehe, maaf yah :-D
Sent
From: Windy
KAU TAHU KN KLAU AKU SDANG MNUNGGU OLEH2 DRIMU???? YAH
MKSUDKU BUKANX AKU TDK MRINDUKANMU TP KNP LINDA YG TAHU LEBH DLU KLAU KAU SDH
PULANG HAAH??? APA KAU TDK TAHU KAL*some text missing*
Kedua alisku tertaut bingung, ckk sebagian teks hilang.
Memangnya apa isi pesannya?
To: Windy
Sebagian teks-mu hilang Win.. Dan bisakah tolong kau matikan
caps lock-nya?
Sent
Lagi-lagi Windy membalas pesanku dengan teramat cepat, bahkan
beberapa pesan darinya langsung masuk secara beruntun.
From: Windy
UMAIROH MNYEBLKAN >_<
.
From: Windy
KAU TAHU KN KLAU AKU SDANG MNUNGGU OLEH2 DRIMU???? YAH
MKSUDKU BUKANX AKU TDK MRINDUKANMU TP KNP LINDA YG TAHU LEBH DLU KLAU KAU SDH
PULANG HAAH??? APA KAU TDK TAHU KALAU AKU BNR2 KHAWTIR KAU TDK AKAN PULANG LG
SMSTER INI SPRT SMSTR KMARIN???
.
From: Windy
TIDAK MAU -_- AKU AKN TTP MEMAKAI CAPS LOCK
Nafasku tertahan. Apa Windy benar-benar marah kali ini? Tidak
seperti biasanya. Dan kembali aku membalas pesannya dengan cepat.
To: Windy
Dear, aku benar-benar minta maaf... Baiklah kalau begitu
besok aku akan ke rumahmu, dan yeah aku sudah membeli oleh-oleh untukmu. Jangan
marah yaa.. aku benar-benar merindukanmu...
Sent
From: Windy
YEHET!!! SURPRISE.... AKU TDK MARAH SAYANG... KEJUTAAAAAN
\(^_^)/
BAIKLAH AKU AKN MNUNGGUMU BSOK DRMHKU :-*
Kuhembuskan nafas lega. Setidaknya satu tahun berpisah dengan
Windy gadis itu tidak berubah, ia tetap Windy yang periang dan pemaaf.
To: Windy
Baiklah sampai bertemu besok ;-) Eumm, apa kau sudah akan
tidur?
Sent
Kulirik jam di ponselku sudah menunjukkan angka 10.05 p.m.
From: Windy
BLM.. KAU PSTI SDH AKN TDUR KN? BAIKLH SLMT MLAM ^^ MIMPI
INDAH DG “MR. DARWIN” :-P
Entahlah apa aku yang terlalu berlebihan tapi jantungku
tiba-tiba berdegup kencang saat membaca nama yang Windy sebutkan. Darwin? Aku
sendiri tidak yakin jika ia masih ingat denganku.
To: Windy
Aku dan Darwin sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Baiklah
selamat malam ^^ aku tidak sabar bertemu denganmu besok JJ
Sent
Darwin Darwin Darwin.
Apa kau masih mengingatku?
.
.
Darwin
Aku memandangi genangan air di hadapanku dengan sedikit
antusias. Memang tidak ada yang spesial di dalam genangan air itu, hanya sebuah
kolam kecil yang terkena pantulan cahaya rembulan yang hampir bulat penuh. Tapi
tetap saja bagiku genangan air di dalam kolam tersebut terlihat cantik.
“Hey Masbro...,” Romi muncul tiba-tiba entah dari mana karena
aku tidak mendengar derap langkahnya menghampiriku yang tengah duduk di pinggir
kolam di tengah taman sebuah vila milik keluarga Hardi lantas ia langsung
merangkul pundakku dengan tangan kanannya. Pesta kejutan ulang tahun Hardi
cukup meriah karena diadakan di vila keluarga Hardi yang cukup jauh dari tengah
kota dan akhirnya aku dan teman-temanku terpaksa harus bermalam di sini karena
sekarang sudah hampir tengah malam. “Kau memikirkan seorang gadis? Atau
memikirkan gaji kita yang tidak kunjung dinaikkan oleh bos? Atau... kau
memikirkanku?”
Aku berdecak pelan lalu menurunkan paksa lengan Romi yang
merangkul pundakku. “Aku sedang memikirkan kemerdekaan Palestina,” ketusku.
“Whoaaa, benarkah? Sejak kapan kau jadi manusiawi seperti
ini? Ckckck...” ujarnya sedikit heboh.
Setelahnya kami berdua terdiam, bunyi hewan nocturnal serta
suara cacing dan juga jangkrik cukup jelas menyapa indra pendengaran kami. Aku
mendongak dan menatap langit yang cukup cerah, banyak bintang bertaburan
menemani terangnya bulan malam ini. Perhatianku tertuju pada bintang yang
bersinar paling terang, polaris. Kedua sudut bibirku tertarik ketika memori
tentang polaris itu tiba-tiba muncul dibenakku. Polaris itu mengingatkanku pada
Umair-
“Aaagh, Darwin lihat bintang itu yang paling terang,” tunjuk
Romi kembali dengan heboh pada bintang yang juga menjadi perhatianku tadi dan
membuat segala lamunanku yang baru saja aku bangun seketika hancur
berkeping-keping. “Apa nama bintang itu?”
“Polaris,” jawabku singkat.
Kulirik dengan sudut mataku Romi hanya mengangguk lalu
mengalihkan perhatiannya dari bintang polaris itu pada kolam kecil yang tadi
juga sempat menjadi fokusku. Aku kembali memandang polaris di atas sana yang
bersinar dengan angkuh. “Rom...”
“Hmmm?”
“Pernahkah kau merindukan seseorang?,” pertanyaanku barusan
berhasil mengalihkan perhatian Romi dari acaranya memandangi kolam dan matanya
membulat lebar menatapku.
“Kenapa? Kau merindukan seseorang? Siapa? Orang tuamu?
Kakakmu? Tetanggamu? Penjaga kantin di kampus? Atau....,” Romi menurunkan nada
bicaranya pada akhir kalimatnya. Aku menatapnya menunggu kelanjutan kalimat
yang ia katakan. “Atau Umai..roh,” ucapnya pelan. Aku tahu ia tidak tega padaku
jika menyebutkan nama gadis itu. Romi adalah satu-satunya temanku yang
mengetahui seluk beluk kehidupan asmaraku dan ia sangat mengetahui bagaimana
hubunganku dan Umairoh berakhir.
Kuhela nafas lantas mengangguk pelan dan menatap kosong kolam
yang ada di dekat kami, “Aku tidak pernah tahu kalau seperti ini rasanya ketika
sedang merindukan seseorang”
Romi menepuk pelan pundakku, “Bro... Move on donk..
Ini tahun 2014”
Aku menyernyit bingung, “Apa urusannya dengan tahun 2014?”
“Tahun 2014 ini kita akan memilih Presiden yang baru untuk
menata NKRI menjadi lebih baik lagi, nah kau juga harus menata hatimu dan
mencari hati baru”
Aku kembali menyingkirkan tangannya yang menepuk-nepuk
bahuku. “Kau pikir akan semudah itu... Lagi pula-“
“Lagi pula apa?”
“Tidak. Aku hanya berharap ia juga merindukanku, sebanyak aku
merindukannya”
Kudengar helaan nafas Romi yang cukup nyaring. “Aku juga tahu
Win, aku juga tahu rasanya merindukan seseorang”
Iya aku tahu Romi sangat merindukan kekasihnya yang juga
kuliah di luar kota. Berbeda denganku yang sudah tak memiliki hubungan apapun
lagi dengan Umairoh, hubungan Romi dengan kekasihnya masih perlu dipertanyakan
kelanjutannya apakah masih berlanjut atau tidak karena kekasihnya tak pernah
lagi menghubunginya. Tapi tak pernah ada kata putus sebelumnya di antara
mereka. Jika dilihat mungkin yang lebih menderita adalah Romi dibandingkan
denganku, namun Romi pandai menata hatinya. Ia bukan pria yang suka
berlarut-larut dalam kesediahan dan ia sangat membenci situasi melankolis.
Kali ini aku yang merangkul pundak Romi, berusaha
menguatkannya meskipun aku tahu Romi tak memerlukan dukunganku karena ia jelas
memang baik-baik saja. “Kau pernah bertanya padaku kan seberapa banyak rinduku
pada Umairoh?”
Romi hanya mengangguk dan menatap antusias padaku. “Aku
merindukannya sebanyak tetesan hujan yang menyentuh tanah. Tak terhitung. Tiap
tetesan hujan yang terus menyapu permukaan tanah, sebanyak itulah aku
merindukannya”
Kulihat Romi terkekeh pelan. “Bagaimana bisa kau
mengungkapkan kalimat itu Win? Kau belajar dari mana? Jangan-jangan akhir-akhir
ini kau sering menonton drama Korea ya?,” nadanya seolah mengejekku. “Ah, atau
jangan-jangan tadi pagi kau tidak ikut dengan kami menonton pertandingan basket
karena sedang menonton drama Korea? Drama apa yang kau tonton? Heartstring? The
Heirs? My Love from Another Star? The Greatest Love?”
Pletak...
Aku langsung menjitak kepalanya. Bukannya mendengarkan keluh
kesahku anak ini malah bercanda, dan apa itu katanya drama Korea? Aku bahkan
tak terbiasa mendengar orang Korea berbicara.
“Hya! Kenapa kau menjitakku huh?? Aww, sakit..,” rintihnya
sambil mengusap pelan puncak kepalanya di tempat aku menjitaknya tadi.
“Aku bahkan tak tahu judul drama yang kau sebutkan itu,”
ucapku datar.
Romi masih mengusap kepalanya. “Tssk, iya-iya aku tahu kau
tidak suka menonton drama Korea tapi kau tidak perlu sampai harus menjitakku
begitu kan? Untung saat ini aku sedang berbaik hati dan tidak berniat
membalasmu”
Aku mengangkat bahuku acuh lalu bersandar pada punggung kursi
taman yang kami duduki kemudian memejamkan mataku tak menghiraukan rintihan
Romi yang sepertinya sangat kesakitan akibat jitakanku tadi. Terkadang aku
memang keterlaluan padanya, tapi biarlah aku senang melihat sahabatku ini
menderita, he.
Hingga puluhan detik berikutnya kami kembali terdiam, begitu
pula dengan Romi yang juga sudah berhenti meringis. Entah apa yang ia lakukan
sekarang aku tak peduli yang jelas aku sedang tidak ingin membuka kelopak
mataku.
“Ia sudah pulang Win,” ucap Romi cukup jelas. Namun aku hanya
diam tanpa menyahutnya membiarkan ia melanjutkan kalimatnya. “Kau belum tahu?
Dia pu-lang. Mantan kekasihmu pulang,” kalimat terakhirnya membuat mataku
langsung terbuka dan membuat posisi dudukku langsung tegak.
Aku menatapnya untuk memintanya mengucapkan kembali apa yang
barusan ia katakan. “Ia pulang. Mantan kekasihmu pulang,” ulangnya. Aku
memandang tak percaya padanya yang kini bersandar dengan nyaman seolah tanpa
dosa setelah mengucapkan kalimat yang membuat jantungku terasa mencelos keluar.
Sekian sekon aku hanya menatap Romi yang kini melakukan apa
yang kulakukan sebelumnya, lantas setelahnya aku mengguncang-guncangkan
tubuhnya memintanya menjelaskan lebih detail mengenai kalimatnya tadi. Romi
membuka matanya malas dan menatapku seolah enggan menjabarkan lebih lanjut.
“Hey Rom maksudmu apa?”
“Tssk, kau ini mahasiswa bukan huh? Bukankah sudah jelas tadi
kukatakan mantan kekasihmu pulang. Mantanmu yang mana, yah yang pasti Umairoh
karena mantanmu hanya satu. Jika kau bertanya pulang kemana itu sudah pasti
pulang ke rumahnya, ia tidak mungkin pulang ke apartemenmu kan? Dan jika kau
bertanya aku tahu dari mana, aku melihatnya sendiri tadi sore saat aku hendak
kesini, aku melihatnya di dekat minimarket dekat rumahnya. Tapi jika kau
bertanya kapan ia pulang jawabanku adalah aku-tidak-tahu,” jelasnya panjang
lebar bahkan melebihi pertanyaan yang akan kuajukan.
Tunggu dulu. Apa Romi bilang tadi sore? “Kau bilang tadi
sore?”
Romi mengangguk masih bersandar dengan nyaman pada punggung
kursi. “Memangnya kenapa?”
“Pantas saja tadi sore saat aku menuju ke minimarket di dekat
rumahnya aku melihat seorang gadis yang sangat mirip dengannya. Aku pikir aku
salah lihat, ternyata itu memang dia! Romi dia pulang!!,” ucapku heboh.
Romi lantas bangkit tiba-tiba dari posisinya tadi. “Bodoh,
kenapa tidak kau temui dia?”
“Bagaimana bisa aku menemuinya kalau Yudi tiba-tiba datang
dan langsung membawaku ke sini, bahkan aku belum sempat membeli keperluan
dapur. Tskk”
Kali ini ia menepuk pelan bahuku dan aku membiarkannya,
“Kurasa kerinduanmu akan terbayar setelah ini sobat,” ia lantas berdiri
setelahnya membuatku ikut menatap gerak tubuhnya. “Ya sudah aku tidur duluan,
aku benar-benar mengantuk sekarang.. Hoaaahm,” ia menguap dengan lebar lantas
berjalan menjauh. Namun belum benar-benar jauh dariku ia kembali berbalik,
“Berhati-hatilah jika kau berkeliaran di atas jam sepuluh di sekitar vila ini,
katanya ada wanita dengan jubah putih menjuntai panjang dan rambutnya yang
menutupi wajahnya, si penjaga vila ini,” teriaknya yang membuat bulu kudukku
meremang seketika dan mau tak mau aku ikut menyusulnya masuk ke dalam vila
dengan berlari kecil.
###
Sering kali ku berpura tertawa
Laksana boneka yang tersenyum paksa
tersiksa
Kala ku berlari
Saat ku melamun
Kau memenuhi hatiku
.
Sudah tiga hari sejak Romi memberitahuku kalau Umairoh pulang
aku masih belum sempat berkunjung untuk menemuinya karena aku terlalu sibuk di
café. Di saat liburan seperti ini café tempatku bekerja selalu ramai sampai malam
hari, bakan kami karyawan yang biasanya hanya bekerja sampai sore hari juga
ikut membantu sampai malam dan untung saja saat ini aku sedang libur kuliah
jadi aku bisa bekerja sampai malam. Dan saat pulang ke apartemen-pun aku akan
langsung tertidur tidak sempat melakukan apapun apalagi untuk berkunjung ke
rumah Umairoh.
Seperti
hari ini. Aku masih melayani pengunjung yang datang untuk membayar pesanan mereka.
Kebanyakan pengunjung di sini adalah para remaja wanita dan terkadang mereka
datang berkelompok dengan teman-temannya.
“Ugh
aku lelah sekali Darwin..,” Eni, temanku sesama karyawan, duduk di sampingku
sambil mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya. Aku tahu ia pasti lelah sekali
karena ia harus mengantar pesanan pengunjung yang seolah tak ada habisnya.
“Ayolah
semangat En, bukankah kejadian seperti ini sangat langka? Café kita kan hanya
selalu padat di musim liburan,” terangku bermaksud menyemangatinya. Eni tak
menggubris ucapanku, ia malah mengambil selembar kertas HVS di atas meja lalu
melipatnya menjadi dua dan menggunakan kertas tersebut sebagai kipas. “Tapi
untunglah malam ini pengunjung sudah berkurang,” lanjutku lagi ketika kulirik
jam di atas pintu masuk café sudah menunjukkan pukul 7 lewat sepuluh menit.
Dentingan
bell pintu berbunyi tanda ada pengunjung lagi yang masuk. Aku tak begitu
menghiraukannya karena aku sedang melayani pengunjung yang sedang membayar
pesanan.
“Ah,
tidak bisakah aku beristirahat sebentar saja?” gerutu Eni dan gadis itu
langsung berdiri menghampiri pengunjung yang baru datang tadi. Sedangkan aku
hanya bisa terkekeh pelan. Kulihat Romi juga sedang sibuk mengantarkan pesanan
pengunjung lain.
Saat
tak ada lagi pengunjung yang membayar, kuedarkan pandanganku pada pengunjung
café yang saat ini sudah tak begitu ramai seperti siang tadi meskipun jumlahnya
tidak bisa dibilang sedikit karena kulihat hanya ada dua meja kosong yang
tersisa. Dan... Yeah aku harap ini bukan halusinasiku karena aku menangkap
sosok gadis yang berada di meja café di dekat jendela bersama seorang... Pria?
Aku
yakin kali ini aku benar karena aku sangat tahu dari postur tubuhnya dan gaya
berpakaiannya serta caranya tertawa, itu adalah gadisku. Maksudku mantan
kekasihku. Umairoh. Pria itu terlihat sebaya dengannya, apa itu temannya? Aku
tak mengenali pria itu karena aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Atau...
itu kekasihnya?
“Hey
bung... Bagaimana? Kau lelah?,” Romi menepuk bahuku dan langsung duduk di kursi
di sampingku di balik meja kasir. Romi meletakkan nampan di atas meja lalu
setelahnya ia meregangkan kedua tangannya, untuk merilekskan ototnya mungkin.
Aku
hanya menggeleng pelan menjawabnya. Perhatianku masih tertuju pada dua orang
yang duduk di dekat jendela kaca café dan terlihat sekali kalau mereka berdua
sedang bercanda karena kulihat sejak tadi tak henti-hentinya mereka tertawa.
“Win... Apa yang kau lihat?,” suara Romi membuatku tersadar dan sontak menoleh
pada Romi yang turut mengikuti arah pandangku tadi. “Loh... Itu kan Umairoh,”
Romi menunjuk dua orang di sana lantas ia memandangku dengan tatapan ‘kasihan’.
Aku
hanya tersenyum tipis lantas kembali melayani pengunjung yang akan membayar
pesanannya. Setelah memberikan uang kembalian pada pengunjung tersebut aku
lantas duduk di balik meja café dan kali ini aku tak berniat kembali menatap
dua orang di sana, aku tak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Demi Tuhan
rasanya tanganku gemetar bahkan jantungku berdentam terlalu kencang.
Tepukan
di bahuku membuatku menoleh pada orang tersebut, kupikir Romi ternyata Eni.
“Romi kemana?,” tanyaku pada Eni yang kini menggantikan tempat Romi duduk tadi.
“Mengantar
pesanan,” jawabnya singkat lalu mengambil gelas cola-ku dan menenggak isinya
sampai habis tanpa seizinku. “Aaargh segarnya,” ia lalu meletakkan gelas yang
sudah kosong tersebut kehadapanku.
Aku
tak begitu memperdulikannya karena pikiranku saat ini hanya ada pada gadis itu.
Sejujurnya aku berharap bisa bertemu dengannya tapi jika memang pria itu adalah
kekasihnya, aku benar-benar tak ingin bertemu dengannya saat ini. Kutatap
lantai dibawahku, awalnya aku sama sekali tak merasakan lelah tapi entah kenapa
tiba-tiba seluruh tubuhku serasa pegal.
“Hey
Win, kau kenapa?,” Eni mengibas-ngibaskan kertas HVS yang kembali ia jadikan
kipas ke hadapanku. “Apa kau lelah? Sabarlah sebentar lagi kita tutup,” Eni
masih mengipas-ngipaskan kertas tersebut ke arahku dan membuatku mau tak mau
menatap tajam padanya.
“Berhenti
melakukannya En,” ketusku.
Gadis
di depanku ini malah tertawa dan ia makin semangat mengipasi wajahku. “Tidak
mau.. Hahaha, aku senang sekali melihatmu seperti ini. Kenapa? Kau takut mual
lagi huh karena masuk angin? Hahaha...,” ia masih terus mengipas-ngipaskan
kertas ke wajahku.
“Kubilang
berhenti En,” kutinggikan nada bicaraku.
“Kubilang
aku tidak mau, hahaa.” Tsk, untung ia adalah wanita kalau tidak sudah pasti aku
akan memukul kepalanya dengan buku catatan pesanan miliknya yang tergeletak tak
berdaya di atas meja dan ia memandangku dengan tatapan tanpa dosanya membuatku
juga –terpaksa- ikut tertawa.
.
.
Umairoh
Sungguh aku benar-benar bersyukur di liburan semester ini.
Setelah beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan teman lamaku, dan dua hari
berturut-turut kemarin aku menghabiskan waktu dengan Windy , kali ini aku
bertemu dengan kakak sepupuku yang sudah sekitar enam tahun kami tidak bertemu.
Baru kali ini ia berkunjung ke kotaku karena ia juga memang sedang libur
kuliah. Namanya Rahman, usianya dua tahun lebih tua dariku.
Padahal tadi siang kami berencana ke café ini tapi karena aku harus membantu ibuku
jadinya kami baru bisa pergi sekarang. Aku tak menyangka café ini sangat nyaman
dan ramai sekali pengunjungnya, tahun lalu sebelum aku pergi kuliah di luar
kota café ini masih berupa bangunan yang belum jadi.
Sejak
tadi kakak sepupuku ini tak henti-hentinya membuat lelucon, dari dulu ia memang
suka sekali berkelakar dan dia sungguh berjiwa humor, membuatku tak bisa
menghentikan gelak tawaku. Bahkan karena tawaku yang terlalu nyaring membuat
beberapa pengunjung menatap padaku dengan pandangan, errrr horror.
“Hahahahaa,
sudahh kak.. hen tikannh... perrut kuh sudd dah sakitth,” aku mencoba berbicara
sambil berusaha menghentikan tawaku dan memegang perutku yang rasanya sakit
sekali karena aku tak henti-hentinya tertawa.
Ia
memandang datar padaku. “Bukankah aku sudah berhenti mengatakan apapun sejak
tiga menit yang lalu?”
Aku
mengatur nafasku dan tawaku perlahan sudah mulai mereda. “Tapi wajah konyolmu
itu membuatku tak bisa berhenti tertawa,” sungutku dengan menggigit bibir
bawahku, ekspresi yang tanpa sadar selalu aku tunjukkan jika aku sedang kesal.
Oh My demi Saturnus ekspresi datarnya itu benar-benar konyol dan tawaku masih
belum bisa reda sepenuhnya.
Ia
terkekeh lalu fokus pada wafle dan mochacinno di hadapannya. “Sudah sudah,
berhenti tertawa. Lebih baik kau cepat habiskan makananmu lalu setelah ini kita
pergi ke tempat lain,” ia menyodorkan sepotong wafle ke hadapanku dan aku
menerimanya dengan sedikit enggan. Nafsu makanku langsung lenyap begitu saja karena
aku terlalu banyak tertawa.
Pria
di hadapanku ini mulai sibuk dengan makanannya, sedangkan aku yang tak begitu
bernafsu untuk makan lebih memilih menghabiskan vanilla latte di dalam gelasku
sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh bagian café. Benar-benar ramai.
Perhatianku tertuju pada karyawan café yang sedang berada di balik meja kasir,
sepertinya mereka sedang bercanda. Seorang gadis dan seorang pria. Ah aku jadi
teringat temanku yang juga mengalami cinta lokasi di tempat kerjanya. Tapi aku
tidak bisa langsung menyimpulkan mereka pasangan kekasih kan?
Melihat
kebanyakan karyawan café ini adalah anak muda seusiaku membuatku rasanya juga
ingin bekerja part time untuk mengisi liburanku ini, lumayan kan untuk menambah
uang sakuku.
“Darwin
apa kau sibuk??? Bisa kah kau membantuku sebentar??!!,”, teriak seorang
karyawan café yang berdiri di ambang pintu masuk membuat semua pasang mata yang
berada di dalam café tertuju padanya dan membuat pria itu langsung membekap
mulutnya lantas membungkukkan badannya meminta maaf.
Apa
dia bilang? Darwin?
“Darwin
cepatlah..,” teriak karyawan itu kembali lalu setelahnya ia keluar café dengan
tergesak-gesak.
Dengan
cepat aku menolehkan kepalaku mencari sosok bernama Darwin itu. Dan Demi
Yupiter seluruh sistem sarafku berhenti bekerja ketika seorang karyawan café
berdiri dari balik meja kasir lantas berjalan dengan langkah tergesak menuju
pintu. Ia berjalan melewatiku yang terus menatap padanya hingga tubuhnya
menghilang di balik pintu. Itu... Dia Darwinku. Dia Darwin mantan kekasihku.
Darwin
bekerja di sini? Pandanganku mendadak kosong dan tubuhku seolah kaku untuk
bergerak. Berbagai pertanyaan muncul di dalam benakku mengenai pria itu. Jadi
pria yang kulihat sedang bercanda dengan gadis sesama karyawan café di balik
meja kasir itu adalah Darwin? Kenapa aku tidak mengenalinya? Dan lagi, apa
sejak tadi ia melihatku?
Lantas
jika ia melihatku, kenapa ia tidak menyapaku? Atau ia memang tidak melihatku?
Tapi mataku bisa dengan jelas menangkap pandangannya yang berjalan melewatiku
tadi, ia juga menatapku. Apa dia sudah tidak ingat denganku? Atau jangan-jangan
ia memang sudah memiliki kekasih, dan gadis itu bisa jadi gadis yang tertawa
bersamanya tadi.
Dia
sepertinya tak pernah merindukanku.
“Kau
baik-baik saja Mer?”
Mataku
mengerjap seiring dengan kesadaranku yang kembali pulih. “Oh i iya ak aku,,,
aku baik-baik saja,” aku memaksakan sebuah senyum pada Kak Rahman yang
sepertinya sudah menghabiskan semua makanannya.
Ia
melirik piring berisi wafle di hadapanku. “Wafle-mu tidak kau habiskan?”
Aku
menggeleng pelan, “Aku sedang tidak selera makan.” Jujur saja aku semakin tidak
nafsu makan setelah melihat Darwin tadi.
“Ckk...
Kau senang sekali membuang-buang makanan, kan mubazir. Jadi apa kau masih ingin
tetap di sini atau kita pergi ke tempat lain?,”
“Kita
pergi ke tempat lain saja,” jawabku cepat. Berlama-lama di sini bisa membuatku
menangis meraung-raung. Berlebihan memang.
Sebenarnya
tadi aku sangat bersemangat untuk jalan-jalan malam ini, tapi tiba-tiba saja
semangatku luntur. Ingin sekali aku menemui Darwin, hanya sekedar menyapanya.
Tapi aku takut, aku takut jika ia memperlakukanku seperti orang asing.
“Hey
Mer kau melamun lagi,” Kak Rahman sudah bangkit dari duduknya menungguku yang
masih duduk terdiam dengan pandangan kosong –lagi.
Kali
ini aku kembali memasang senyuman, meskipun aku tahu senyumanku ini sangat kaku
dan terlihat aneh tapi aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan kakak
sepupuku. Memalukan.
###
Tak seorang pun tahu
Ku tersenyum bukan bahagia karena
Memang tak mungkin tanpamu
Oh jujur saja, ku tak mungkin jujur
saja
Akan kucoba hidup tanpamu
Dan tak mengangis lagi
.
Hari Minggu lagi. Sepertinya sudah satu minggu aku pulang
namun tak ada hal-hal yang membuatku terkesan. Sejak melihat Darwin beberapa
hari yang lalu di café aku jadi tidak
bersemangat melakukan apapun. Aku bahkan semakin sering menangis kalau malam.
“Umairoh... Kau sudah lama menungguku?,” Windy muncul dari
dalam. Saat ini aku sedang berada di rumahnya untuk menjemputnya jalan-jalan.
Aku langsung memasang senyum terbaikku untuk sahabatku. “Yap
kau benar. Aku menunggumu lamaaaaa sekali. Bahkan aku hampir tertidur,”
candaku.
Windy mempoutkan bibirnya, “Padahal aku hanya ganti baju. Kau
lihat kan wajahku bahkan tidak menggunakan make-up sama sekali,” ia langsung
duduk di sampingku.
Aku terkekeh pelan. “Iya sayang aku hanya bercanda. Jadi, ayo
kita pergi sekarang,” aku menarik tangannya untuk segera berjalan keluar.
Windy menahan tanganku saat aku mulai beranjak bangkit dari
sofa ruang tamu. Aku menatap heran padanya. “Kau yakin kau baik-baik saja?,”
jelas sekali nada bicaranya terdengar khawatir padaku.
Aku kembali tersenyum meyakinkannya kalau aku baik-baik saja.
“Aku tak apa-apa Win...”
Ia menghela nafas lantas melepaskan genggaman tangannya pada
lenganku membuatku kembali duduk di sampingnya. “Tapi kau bilang saat itu hanya
melihat Darwin, kau yakin kau tidak melihat Romi di sana? Setahuku Romi juga
bekerja di café yang sama dengan Darwin”
Aku refleks memutar mataku untuk berpikir, benarkah Romi juga
ada café itu?. “Mungkin aku terlalu sibuk
menertawakan kak Rahman sampai aku tidak melihat Romi. Sudahlah jangan kau
ingatkan aku lagi dengan hal itu, lebih baik kita pergi sekarang,” aku kembali
bangkit dan menarik tangannya untuk mengikutiku menuju motorku yang kuparkirkan
dengan manis di halaman rumahnya.
“Tapi kita mau kemana?,”
“Kemana saja asalkan bisa menghilangkan stress,” aku
mengenakan helm-ku dan segera naik ke atas motorku. “Ayo Win cepat naik.”
Gadis itu dengan cepat duduk di belakangku. “Bagaimana kalau
kita ke pasar?,” tawarnya setelah ia duduk dengan nyaman.
Alisku menyernyit, “Ke pasar? Untuk apa?”
“Untuk membeli beberapa bahan makanan. Ayolah, kau bilang kan
kemana saja asal bisa menghilangkan stress. Yah meskipun aku tahu kalau pasar
memang bukan tempat yang elit untuk menghilangkan stress tapi kita sudah lama
sekali tidak ke pasar bersama, yaa”
Refleks aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal.
Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa harus pergi ke pasar. Pasar? Yah aku tahu
Windy memang tipikal gadis hemat dan ia selalu membeli segala keperluannya di
pasar karena menurutnya harganya lebih murah. “Baiklah kalau begitu,” aku
menjalankan motorku perlahan menuju pasar. Sejujurnya aku memang tidak memiliki
rencana akan berjalan-jalan kemana jadi aku ikuti saja permintaannya.
***
“Kenapa kau membeli banyak sekali bahan makan Win? Sebenarnya
kau ingin melakukan apa? Party?,” Windy lebih dulu turun dari motor dengan
membawa dua bungkus belanjaan dan menyisakan sebungkus yang besar untuk kubawa.
“Heumm, bisa dibilang semacam pesta. Pesta pertemuan dua
sejoli yang hatinya selalu terkait.” Aku menatap heran padanya. Siapa memangnya
yang akan bertemu?. “Ayolah jalanmu lambat sekali”
Aku sedikit kesusahan menyeimbangkan langkahku karena
bungkusan yang kubawa cukup berat. Jujur saja aku tidak tahu ini di mana dan
ini tempat tinggal siapa.
“Ayo cepat Mer!,” teriaknya lagi yang berada lima langkah di
depanku.
“Kau ini berisik sekali. Kau tidak lihat huh bungkusan yang
kubawa jauh lebih berat dari pada yang kau bawa,” kesalku.
Kulihat ia tertawa dan menungguku mensejajarkan langkah
dengannya. “Sebenarnya ini apartemen siapa? Keluargamu?,” aku mengedarkan
pandanganku pada bangunan di depanku. Sebuah apartemen yang bisa kubilang cukup
sederhana. Namun terlihat sangat bersih dan nyaman.
“Sudahlah ikuti saja aku,” titahnya lalu kembali berjalan
mendahuluiku.
Aku hanya mengangkat bahuku acuh lalu kembali berusaha
mensejajarkan langkahku dengan langkah besarnya untuk memasuki apartemen ini.
Kami menaiki lift menuju lantai tiga. Aku masih
bertanya-tanya, sebenarnya Windy akan bertemu dengan siapa? Setahuku
keluarganya tidak ada yang tinggal di apartemen. “Sebenarnya kita akan menemui
siapa di sini? Ahh.. jangan bilang kau akan menemui kekasih gelapmu?,” aku
menatap curiga padanya.
“Ckk... Kau ini berlebihan sekali. Kau cukup diam dan lihat
saja nanti oke sayang,” Windy kembali berjalan mendahuluiku setelah dentingan
pintu lift terbuka di lantai tiga.
Langkah Windy berhenti di depan pintu bernomor 060.
Kebingunganku semakin bertambah karena senyum gadis itu semakin lebar ketika
menekan bell di samping pintu bernomor 060 tersebut. “Kau jangan terkejut
ya...,” bisiknya membuat kedua alisku kembali bertaut bingung.
.
.
Darwin
“Hyaaaa Romi berhentilah menghambur-hambur isi lemariku!,”
teriakku kesal pada Romi yang mengobrak-abrik lemariku yang berisi kumpulan
komik.
“Ckk, kau ini berisik sekali. Nanti akan aku bereskan,”
jawabnya santai tanpa dosa.
Aku langsung mencibirnya. “Sejak kapan kau bisa membereskan
apartemenku hah? Waktu itu saja kau membongkar-bongkar kulkasku dan akhirnya
aku juga yang terpaksa harus membereskannya. Berhenti atau kau kulaporkan pada
satpam karena sudah menganggu ketenangan penghuni kamar nomor 060”
Bagaimanapun ancamanku anak ini seperti biasanya tak pernah
mau mendengarkanku. Membuatku menghela nafas dalam dan memilih mengacuhkannya
lalu mengehempaskan tubuhku di atas sofa depan TV. Baru saja tanganku menggapai
remote tv yang tergeletak manis di atas sofa di sampingku, bunyi bell pintu
membuatku langsung mengabaikan benda persegi panjang berwarna hitam tersebut.
“Biar aku saja yang membukanya,” Romi dengan cepat berjalan
mendahuluiku menuju pintu saat aku bangkit dari sofa. Aku mengikutinya dari
belakang. Tentu saja aku harus tahu siapa tamu yang datang, ini kan
apartemenku.
“Hey, kalian sudah datang?”
Jantungku mencelos dan mataku membelalak saat daun pintu
dibuka lebar oleh Romi. Aku bisa melihat dengan jelas dua gadis yang berdiri di
depan pintu dengan menenteng bungkusan yang aku tak tahu apa isinya. Seorang
gadis yang berdiri lebih depan tersenyum sumringah menatapku dan Romi
bergantian, dan gadis satunya lagi yang berada dibelakang ekspresinya tak bisa
kujelaskan. Gadis itu menatap lurus padaku membuatku juga menatap dalam
padanya.
Waktu seakan berhenti berputar.
Aku tahu ia terkejut karena aku bisa melihat matanya yang
melebar serta ekspresi tak percayanya yang ia tunjukkan ketika menatapku. Dan
aku bisa memastikan kalau puluhan sekon kami hanya saling menatap dalam diam.
Tatapan itu, wajah itu... Aku bersumpah aku sangat merindukannya.
“Ehmm...,” suara Romi membuatku tersadar dan mataku mengerjap
bersamaan kulihat Umairoh yang menatap Windy -gadis disampingnya- dengan
tatapan menuntut. “Jadi apa kau hanya akan membiarkan para gadis ini berada di
luar Win?,” Romi menatapku dengan senyuman misteriusnya.
Sungguh aku tak tahu sebenarnya apa yang ia sembunyikan dari
senyumannya itu.
“Oh, i iya silakan ma..suk,” ucapku kaku. Entah kenapa
tiba-tiba aku merasa penampilanku aneh. Rambutku, apa berantakan. Lalu bajuku,
apa terlalu lusuh. Dan apartemenku, astaga apartemenku berantakan.
“Silakan duduk ladies, biar aku ambilkan minuman untuk
kalian,” Romi mendorongku dan membawa langkahku menuju dapur membiarkan kedua
gadis itu duduk di sofa depan tv.
Aku menghujam Romi dengan tatapan menuntut penjelasan ketika
sudah berada di dapur, “Kenapa mereka berdua bisa kemari??,” ucapku tak percaya
dan mengacak-acak rambutku.
Ia mengangkat kedua alisnya bingung. “Memangnya kenapa? Kau
tidak senang kalau mereka datang? Bukankah salah satu dari gadis itu sangat kau
rindukan?”
“Siapa? Umairoh? Tapi aku tidak mungkin kan membiarkan
kekasih orang masuk ke dalam apartemenku?”
Gerakan Romi terhenti untuk menuangkan limun ke dalam gelas,
ia menatapku dengan alis mengkerut, “Kekasih? Maksudmu Umairoh sudah punya
kekasih?”
“Yeah, kau tidak ingat saat kita melihatnya di café waktu itu?”
Romi
kembali menuangkan limun ke dalam empat buah gelas tak berniat menjawab
perkataanku.
“Rom,”
lirihku karena aku benar-benar belum siap bertemu dengan Umairoh saat ini.
“Kau kan tidak memiliki bukti kalau pria waktu itu adalah
kekasihnya,” jawabnya acuh lantas berjalan mendahuluiku meninggalkan dapur.
Kupegangi dadaku. Rasanya benar-benar sulit bernafas saat ini
karena jantungku berdetak tak terkendali.
“Hey Darwin apa yang kau lakukan di dapur?? Kau ingin
mengacuhkan tamu kita yang datang??!!,” teriak Romi dari luar dan membuatku
terpaksa melangkah gontai menemui mereka. Jujur saja aku gugup, dan... malu.
“Naah ini dia Tuan rumah akhirnya datang. Kau ingat padaku
kan Darwin?,” Windy menatapku dengan pandangan berbinar. Tentu saja aku
mengingatnya, bagaimana mungkin aku melupakan temanku semasa SMA.
Aku mengangguk pelan dan mencoba menarik kedua sudut bibirku
meskipun kuakui pasti terlihat aneh.
“Bagaimana dengannya? Kau tidak mungkin melupakannya kan?,”
Windy menoleh pada gadis di sampingnya yang duduk dengan tidak nyaman dan sejak
tadi wajahnya hanya menunduk.
Aku kembali mengangguk dan tersenyum canggung saat gadis di
samping Windy mengangkat wajahnya dan pandangan kami kembali bersibobrok
menimbulkan getaran aneh di dalam dadaku saat menatap iris hazelnya.
“Oh kenapa suhu di ruangan ini tiba-tiba jadi panas?,” Romi
berteriak heboh sambil mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajahnya. Aku tahu
ia sengaja melakukan itu dan aku menatapnya dengan ekspresi
jangan-membuatku-malu-atau-kau-kucincang.
“Eumm, aku dan Umairoh sudah membeli banyak sekali bahan
makanan. Kurasa tak ada salahnya jika kita membuat pesta kecil-kecilan. Anggap
saja semacam pesta reuni,” Windy membuka suaranya setelah sebelumnya aura
canggung lagi-lagi melingkupi kami. Lebih tepatnya antara aku dan Umairoh.
“Yaah kau benar Dy. Jadi apa saja yang kalian beli?,” Romi
memeriksa isi bungkusan yang tadi dibawa Windy dan Umairoh. Kulirik dengan
sudut mataku Umairoh sejak tadi hanya diam saja, ia bahkan lebih sering
menunduk. Apa dia tidak ingin bertemu denganku?
“Ya sudah ayo kita ke dapur dan memasak sama-sama,” Windy
bangkit disusul Romi menuju dapur meninggalkanku dan Umairoh yang masih bergeming.
“Ehmm,” aku mencoba mengeluarkan suaraku. Umairoh sontak
menatapku dan membuatku kembali tersenyum canggung, “Apa sebaiknya kita juga
membantu mereka?,” tawarku. Ia langsung mengangguk dan kami berjalan menuju
dapur dalam diam.
###
Mungkin kau ku juga ada di hatimu
Mungkinkah kau menangis mengingatku
Mungkinkah kau pun memendam perih
Dan tenggelam dalam
Kerinduan...
.
Sekarang bisa kusimpulakan kalau semua ini adalah rencana
Romi dan Windy. Dan beginilah akhirnya, aku dan Umairoh terjebak berdua di dalam
apartemenku setelah kami selesai makan makanan yang kami buat untuk pesta
kecil-kecilan kami. Windy dan Romi sedang keluar dengan alasan untuk membeli
makanan kecil. Tadi Umairoh sempat merengek pada Windy agar ia diijinkan untuk
ikut tapi Windy menolaknya dan dengan segera kedua makhluk itu keluar dari
apartemenku meninggalakan kami dalam kecanggungan yang benar-benar terasa.
Jujur aku tak suka keadaan seperti ini.
Di luar sedang gerimis, dan aroma tanah basah langsung
tercium dari jendela apartemenku yang terbuka. Oh Tuhan bagaimana aku
menghadapi situasi ini? Jantungku sudah benar-benar tak terkendali.
Kutatap Umairoh yang sedang berdiri di tepi jendela sambil
mengulurkan tangannya menangkap titik-titik hujan dengan telapak tangannya. Ia
berdiri membelakangiku. Sungguh jika aku tidak menggunakan otakku aku pasti
sudah langsung menghambur memeluknya dengan membabi buta. Aku benar-benar
merindukannya. Tak tergambar betapa besarnya perasaan ini yang membuncah dalam
rongga dadaku.
“Ehmm,” aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya dari
hujan di luar sana.
Ia menatap terkejut padaku yang sekarang sudah berdiri di
sampingnya dan melakukan hal yang sama dengannya. Tak ada suara yang ia
keluarkan membuatku menatap heran padanya. Kutarika nafas dalam lalu kembali
berusaha mengeluarkan suaraku. “Bagaimana kabarmu?,” suaraku terdengar sumbang.
Oh ya jujur saja ini hanya pertanyaan basa-basi dan terdengar konyol. Bukankah
aku bisa melihat dengan jelas kalau ia baik-baik saja? Tsssk.
Ia masih fokus pada titik-titik hujan yang menyapu telapak
tangannya. “Seperti yang kau lihat, aku.. baik-baik saja,” jawabnya tanpa
menatapku sama sekali.
Aku hanya mengangguk pelan dan menatap lurus keluar jendela,
tak tahu harus mengatakan apa lagi. Saat kami sedang makan tadi pun ia lebih
banyak diam dan hanya akan berbicara jika di tanya.
“Kau sendiri bagaimana?”, aku menoleh dengan cepat ke arahnya
setelah akhirnya ia membuka suaranya lagi.
Entah kenapa tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik begitu
saja, “Sama sepertimu, aku baik-baik saja.” Aku kembali ingin membuka suaraku,
menanyakan satu hal yang sangat menggangguku.
“Aku/Kau”, ucap kami bersamaan. Aku dan dia sama-sama
terkejut setelahnya dan kulihat ia refleks mengigit bibir bawahnya.
“Kau duluan,” pintanya.
Kuhela nafasku sebelum mengatakan sebuah kalimat yang ingin
sekali kutanyakan langsung padanya, “Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka
baik-baik saja?.” Oh Tuhan kenapa aku menanyakan pertanyaan basa-basi seperti
itu lagi. Ayolah Darwin tanyakan apakah pria yang bersamanya saat itu adalah
kekasihnya atau bukan...
“Hmm, Ayah dan Ibuku mereka baik-baik saja.”
Aku mengangguk menanggapi jawabannya. “Sekarang giliranmu”
Kali ini kulihat ia yang menghela nafas lalu menatapku
setelah ia menyingkirkan tangannya dari jendela. Iris hazelnya seperti magnet
menarikku untuk menatap dalam dan menyelami indahnya iris hazel tersebut. Untuk
sekian menit kami hanya saling menatap dalam diam. Seandainya ia tahu kalau aku
benar-benar merindukannya. Seandainya ia tahu aku masih mencintainya.
Tubuhku seperti tersengat listrik berkekuatan 60 joule saat
ia tiba-tiba memelukku erat. Jantungku kembali berpacu tak terkendali dan aku
sama sekali tak tahu harus melakukan apa. Seluruh persendianku mati rasanya.
Tubuhku seolah beku mendadak.
Ia semakin mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di
dadaku. Oh Tuhan semoga ini bukan mimpi di siang bolong atau lebih parahnya aku
harap ini bukan imajinasi liarku.
.
.
Umairoh
Bodoh.
Apa yang kulakukan? Aku refleks memeluknya ketika aku sudah
tak kuat lagi menahan perasaanku sejak tadi. Aku merindukan pria di hadapanku
ini.
Aku semakin mengeratkan pelukanku, aku saat ini benar-benar
ingin ia berada di dekatku. Kubenamkam wajahku dalam dada bidangnya, tempat
ternyamanku untuk bersandar dulu saat aku sedang ada masalah. Tak ada
tanda-tanda ia akan membalas pelukanku. Aku tahu ia tidak mungkin membalas
pelukanku karena ia sudah punya kekasih.
Lantas setelah puluhan sekon aku puas memeluknya dan
menghirup dalam aroma maskulin tubuhnya, kulepaskan pelukanku. Aku menelan
ludahku gugup, aku benar-benar malu sekarang. Aku tak harus memeluknya seperti
ini. Oh Tuhan, aku sudah mempermalukan diriku sendiri.
Saat tanganku mulai melepaskan tubuhnya, tiba-tiba saja ia
kembali menarikku. Memelukku sangat erat dan ia kembali menenggelamkan wajahku
pada dada bidangnya. Dan tiba-tiba saja aku terisak pelan dan kembali kedua
tanganku memeluknya. Isakanku semakin kuat ketika aku merasakan pundakku basah
dan pendengaranku mendengar isakan kecil yang keluar dari mulutnya.
Kami berdua sama-sama terisak dan tenggelam dalam perasaan
masing-masing. Ia tak protes ketika isakanku semakin kencang dan membuat
bajunya basah, dan aku juga bisa merasakan tubuhnya bergetar seiring dengan
pundakku yang terasa semakin basah. Aku mencengkram bajunya, berusaha
menghentikan isakan yang terus saja keluar dari mulutku.
Sungguh aku ingin tetap begini beberapa menit saja. Biarkan
aku memeluknya sebelum aku mendengar fakta kalau memang ia sudah memiliki
kekasih.
Aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak cepat, teramat
cepat malah. Dan aku yakin ia juga bisa merasakan bagaimana jantungku
berdentam-dentam dan mungkin menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Ia semakin
erat memelukku membuatku sedikit kesulitan bernafas.
Yang terdengar di dalam apartemennya saat ini hanyalah rintik
air hujan di luar jendela dan isakan kami berdua. Aku mulai menikmati suasana
ini, aku berharap bisa memeluknya sedikit lebih lama.
Setelah sekian menit kami hanya berpelukan dalam haru, aku
mencoba melepaskan pelukannya dan menatap matanya yang sembab. Kupegangi kedua
pipinya dengan kedua tanganku, dan aku bisa melihat ia tersenyum tulus untukku
membuatku juga tak bisa menyembunyikan senyumanku.
Kedua tangannya masih berada di pinggangku, ia menyentuhkan
dahinya dengan dahiku membuatku bersusah payah menelan ludahku karena terlalu
gugup. Dalam jarak sedekat ini aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang
hangat. Aku juga bisa melihat dengan jelas rekfleksi tubuhku yang tergambar di
dalam manik kelamnya.
“Aku merindukanmu,” lirihnya. Dan satu kalimat yang baru ia
ucapkan tadi berhasil menerbangkan ribuan kupu-kupu di dalam perutku. Ia bilang
ia merindukanku?
Jantungku seakan terlepas dari tempatnya setelah mendengar
dua kata dari mulutnya. Ia merindukanku. Darwin bilang ia merindukanku! Oh Tuhan
ini nyata kan??
Kembali aku memeluknya dan tak dapat menahan haruku.
Seandainya ia tahu selama ini apa yang kurasakan, aku jauh lebih merindukannya.
Sangat sangat merindukannya. Dan kini isakanku lebih kencang dari sebelumnya,
ia pun membalas pelukanku dan bahkan memelukku sangat erat.
“Bodoh. Aku juga merindukanmu. Sangat-sangat merindukanmu.”
Ia melepaskan pelukanku dan manik kelamnya menatap dalam
irisku hingga membuatku membeku dan hanyut dalam geming saat aku balas menatap
irisnya. Ia kembali menyentuhkan dahinya dengan dahiku dan hangat nafasnya
kembali menerpa wajahku yang membuat seluruh aliran darahku berdesir.
“Aku akan memberimu satu pertanyaan dan kau harus
menjawabnya. Begitupun kau kuberi kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan
dan aku akan menjawabnya,” perintahnya seolah harus kulaksanakan. Ckk, dia
belum berubah juga ternyata. Ia masih suka memerintah dan bertindak sesukanya.
“Hmm,” aku mengangguk dan kini kedua tanganku beralih
melingkar pada pinggangnya, sedangkan kedua tangannya menangkup kedua pipiku.
Aku tak tahu bagaimana kondisi wajahku saat ini, kuyakin pasti sudah seperti
kepiting rebus.
“Siapa-,” ia berhenti sejenak, terlihat ia ragu untuk
melanjutkan kalimatnya. Aku menatapnya menunggu kalimat yang akan ia katakan.
“Siapa pria yang bersamamu saat di café
waktu itu?”
Alisku
bertaut, pertanyaan macam apa itu. “Itu Kak Rahman”
Ia
berdecak pelan, “Aku tidak bertanya siapa namanya. Maksudmu apa pria itu-”, ia
menelan ludahnya terlihat ragu lagi untuk menyelesaikan pertanyaannya.
“-kekasihmu?”
Aku
lantas tergelak setelahnya. Kekasihku? Kak Rahman? Yang benar saja.
Aku
tersenyum masih dengan melingkarkan tanganku erat di pinggangnya.
“Ia-kakak-sepupu-ku”
Terlihat
jelas sekali matanya berbinar setelah mendengar jawabanku barusan. Lantas
kemudian ia menghembuskan nafas lega. Membuatku kembali bingung, memangnya
kenapa dengan pria itu?
“Giliranmu”
“Kau-“
sengaja aku menggantungkan kalimatku. Tapi aku tidak yakin harus mengatakannya
atau tidak, dan tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku. Kedua alisnya
terangkat menunggu kelanjutan kalimatku. Baiklah lebih baik kukatakan saja.
“Sudah punya... Kekasih?”
Aku
langsung menatap lantai setelah menyelesaikan kalimatku.
“Sudah,”
jawabnya cepat membuatku kembali menatap matanya.
Oh
langit serasa runtuh seketika. Benar, pasti gadis yang bersamanya di café saat
itu. Aku kembali menunduk, terlalu malu untuk menatap matanya. Kenapa rasa
percaya diriku tinggi sekali ketika kuyakin jika ia merindukanku karena masih
memiliki perasaan yang sama denganku. Ia hanya merindukanku sebagai teman,
mungkin.
Dengan
segera kulepaskan kedua tanganku yang berada di pinggingnya. Seharusnya aku
tidak melakukan hal ini padanya.
Ia
tak bergeming masih menangkupkan kedua pipiku dengan kedua tangannya. Darwin
kumohon jangan seperti ini. Membuatku merasa kau masih kekasihku.
Aku
masih menunduk dan tak berani menatapnya. “Kekasihku masih sama seperti yang
dulu,” bisiknya seduktif di telingaku membuatku lagi-lagi mengangkat wajahku
untuk menatapnya.
Aku
menatapnya seolah mengisyaratkan apa-maksud-mu?
Tak
ada jawabannya, tapi...
Bibir
hangat dan lembabnya mengecup keningku dengan teramat lembut. Sangat lembut.
Membuatku tanpa sadar memejamkan kedua mataku karena perlakuannya.
Ia
mengecup keningku sekilas, lantas kembali membawaku ke dalam tatapannya yang
teduh. “Aku tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya, Umairoh.”
Aku
tak dapat menahan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Ia tersenyum
begitu hangat kali ini, dan kembali mengecup keningku seperti tadi. Membuatku
kembali tanpa sadar memejamkan kedua mataku.
Bibirnya
bertahan cukup lama di keningku hingga...
“HYAAAA!!
APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN HAH????,” teriakan Windy sontak membuat kontak
kami terlepas.
“Darwin
kau mau berbuat mesum huhh??,” sinis Romi di samping Windy dengan menunjukkan
smirknya.
Aku
menelan ludahku gugup. Oh kumohon kalian berdua jangan berpikir yang
bukan-bukan.
“Ka
ka-kami, kami ti tidak,, tidak melakukan apapun sungguh,” Darwin mencoba
menjelaskan dengan terbata-bata. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menatap Windy
yang memandang garang padaku.
“Kami
meninggalkan kalian berdua untuk berbaikan, bukan untuk berbuat mesum!,” Romi
berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya.
“Bu,
bukan begitu. Ka kami hanya.. Kami-“, oh kenapa aku juga jadi tergagap seperti
ini. Kami kan tidak melakukan kesalahan.
“Hanya
apa huh?,” sekarang Windy melipat tangannya di depan dada.
“Kami
hanya bernostalgia,” jawab Darwin cepat dan menarik tanganku membawaku berlari
keluar apartemennya.
“Hey
kalian mau kemana???!” Romi berteriak di ambang pintu.
Sedangkan
Darwin tak menghiraukan teriakan Romi, ia terus menarikku berlari keluar hingga
di depan lift. “Kita mau kemana?,” jujur saja aku bingung. Kenapa kami berdua
harus berlari-lari seperti buronan sih.
“Ke
tempat sepi di mana tidak ada dua makhluk pengganggu seperti mereka,” ia
mengeratkan genggaman tangannya dan tersenyum tulus padaku.
Sungguh
aku tak kuasa menahan kedua sudut bibirku untuk tidak membentuk sebuah
lengkungan. Iya Darwin benar, kami perlu tempat dimana hanya ada aku dan dia
untuk membicarakan banyak hal yang terjadi selama satu tahun terakhir ini.
Apakah
selama ini ia juga merasakan apa yang kurasakan?
Apakah
selama ini ia juga selalu memikirkanku?
Apakah
selama ini ia juga masih berharap aku sebagai kekasihnya?
Mungkin.
.
.
FIN
###
Yeyeyelalalala...
Yesung
ganteng, Yesung cakep, Yesung unyu, Yesung manis, Yesung daebak!! Yesung
jjang!!!
Wookeeeeh,
ini keinspirasi karena kerinduanku pada kakak-kakak “S4”, siapa lagi kalo bukan
kak Firly yang Sexy, kak JJ yang Sweet, kak Alif yang Smart, and kak Arthur
yang Sentimentil.
Tapi
kenapa S4 ‘katanya’ bubaaaaaar? T_T /nangis seember/
Padahalkan
lagu-lagu mereka asik semua...
Kenapa
lagu “Mungkin” yang jadi inspirasinya? Karena nggak sengaja playlist k-pop di
notebook-ku lagi muter lagunya 2 am “I wander if you hurt like me”, jadi
keingetan S4 ada nyanyi lagu itu tapi versi Bahasa Indonesia dengan judul
“Mungkin”, nah jadilah langsung keinspirasi dari tuh lagu.
Waktu
bikin cerita ini ada berbagai feel yang muncul, awalnya pengen fokus pada lagu
“Mungkin” aja, lalu kenapa lagi-lagi playlist K-pop di notebook-ku secara acak
muter lagunya B.A.P yang ‘Coffe Shop’, terus lanjut ke lagunya Yesung ‘For One
Day’ dan terakhir aku dapat feel setelah dengerin lagunya Boyfriend ‘Alarm’.
Heheehh,
panjang bin ngebosenin banget yah ini cerita? Maap yah... padahal harusnya
malah lebih panjang lagi ini, ini aja sudah banyak bagian yang di skip dan
dipercepat alurnya.
Makasih
yang sudah berkenan membaca dan saya ucapkan CHUKKAE alias CONGRATS alias
SELAMAT bagi yang sudah bertemu kata “Fin” apalagi sampe baca bagian nggak
penting ini. Wokeh, Yesungdah terima kasih sekali lagi... Saya hanya mahasiswi
biasa yang mencoba belajar menuangkan ide dan imajinasi liar dalam bentuk
tulisan.
Terakhir,
cuman mau tereak kok :P
/injek
caps/
HYUN
SEONG ‘BOYFRIEND’ KOK MAKIN CAKEP DAN MACHO YAAAAA... ASDFGHJKL
*kabbboooor*