Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Selasa, 22 Juli 2014

(Cerpen) On a Rain Day



ON A RAIN DAY

.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.

<3<3<3

Oh sungguh Darwin tidak menyukai suasana saat ini. Ia benar-benar tidak menyukainya. Tempat yang pengap, gelap, hujan di luar yang henti-hentinya turun sejak satu jam yang lalu, ditambah lagi ia kedinginan saat ini.

Bukan. Bukan hujan yang membuatnya serasa dongkol saat ini. Ia bersumpah dirinya begitu menyukai hujan. Dan lagi... ia juga tidak sepenuhnya menyalahkan tempat pengap dan gelap seperti ini jika saja ia tidak terjebak hujan bersama seorang gadis.

Oke. Terjebak dalam tempat yang pengap dan gelap bersama seorang gadis. Harus digaris bawahi dan diberi cetak tebal, BERSAMA SEORANG GADIS!

Itulah masalah utamanya saat ini.

Sejak satu jam yang lalu ia hanya berdiri di depan pintu gudang tua ini menunggu hujan di luar berbaik hati untuk berhenti meski beberapa menit agar ia bisa keluar dari tempat ini, sedangkan gadis yang bersamanya hanya terduduk diam pun tanpa melakukan hal-hal yang lain selain terus meniupkan kedua telapak tangannya, bermaksud mengusir dingin mungkin.

Bukannya Darwin tidak menyukai eksistensi gadis itu bersamanya. Oh ayolah tak ada alasan spesifik kenapa ia tidak meyukai berada di tempat ini bersama gadis itu. Ia hanya bingung. Benar-benar bingung.

Pertama. Darwin tidak mengenal gadis itu. Mereka berdua hanya pengunjung di kebun kakao ini lalu saat hujan tiba-tiba turun tanpa diduga ia berlari mencari tempat berteduh hingga menemukan gudang ini dan... siapa sangka seorang gadis juga berlari kecil –dengan kakinya yang cukup pendek menurut pandangan Darwin- dan berteduh di tempat yang sama dengannya.

Kedua.  Sejak satu jam yang lalu tak ada seorangpun diantara mereka berdua yang berniat mengeluarkan suara disamping deheman pelan Darwin demi mengusir aura canggung dan juga suara bersin dari gadis yang masih saja duduk tak jauh dari tempat Darwin berdiri dengan memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Alasan kedua ini menjadi alasan utama dan satu-satunya alasan kenapa ia membenci dirinya berada di tempat ini. Ia tak suka aura canggung. Dan ia tidak suka membuang waktu tanpa melakukan apapun dengan hanya berdiri sejak tadi di depan pintu gudang menunggu tetesan hujan itu berhenti sepenuhnya.

Berdiri selama satu jam tanpa melakuan apapun cukup membuat kaki pria itu sedikit keram. Udara dingin semakin menusuk kulitnya karena saat ini ia hanya mengenakan jaket tipis.

Darwin menghela nafas gusar. Ia tidak mengerti kenapa ia tidak berani sekedar menyapa gadis itu. Oke tidak perlu bertanya siapa namanya, cukup sekedar menyapa, berbasa-basi selama menuggu hujan. Toh setelah hujan reda ia dan gadis itu akan berpisah dan tidak akan bertemu lagi. Tapi, hey demi Merkurius suaranya seolah lenyap ketika pandangannya bersibobrok dengan tatapan gadis itu ketika ia tidak sengaja mencuri pandang pada gadis yang lebih sering menundukan wajahnya itu.

Entah seperti ada magnet yang mampu menarik perhatiannya hingga Darwin merasa ia tenggelam ketika manik hazel gadis itu menilik dalam maniknya. Dan waktu seolah berhenti berputar, pun bunyi rintik hujan yang cukup nyaring seolah lenyap begitu saja. Darwin bisa merasakan bagaimana detak jantungnya bekerja dan bagaimana rasanya oksigen yang masuk ke dalam paru-parunya dan bertukar dengan karbon dioksida.

“Hatsyuuuu!”

Darwin seketika tersadar ketika suara bersin keluar diantara kedua bibir merah gadis itu, matanya mengerjap seolah membuat waktu berjalan kembali.

Baiklah Darwin rasa cukup kebingungannya. Memilih mengabaikan rasa gugupnya pria itu melangkah pelan dari posisinya sejak satu jam yang lalu dan mendekat lantas berjongkok persis di hadapan gadis dengan baju berwarna peach yang sama sekali tidak ia kenal.

“Ehm, Nona dari tadi kamu bersin-bersin. Kamu nggak apa-apa?,” Darwin mencoba merendahkan nada suaranya. Entahlan menurut Darwin suaranya saat ini terdengar sumbang dan eumm.. cukup jelek.

Darwin bisa melihat dengan jelas ketika gadis itu mengigit bibir bawahnya sebelum sebuah gelengan ia lakukan sebagai jawaban dari pertanyaan Darwin barusan.

“Hatsyiiim,” gadis itu kembali bersin namun cukup pelan kali ini.

Darwin tersenyum tipis. Jujur ia cukup risih juga karena sejak tadi gadis itu tidak berhenti mengeluarkan suara bersin. Ia rasa hidungnya juga mulai gatal sekarang.

“Nona..”, Darwin menggaruk tengkuk kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal sebelum melanjutkan kalimatnya. “Kalau kamu nggak keberatan, eumm.. mau pakai jaketku?,” tanyanya seraya melepaskan jaket tipis yang membalut tubuhnya.

Gadis itu menatap waspada ke arah Darwin yang telah selesai melepas jaketnya dan mengulurkan jaket itu ke hadapannya. “Pakai aja. Kayaknya kamu kedinginan,” pria itu semakin mengulurkan jaketnya agar gadis itu mau menerimanya.

Gadis itu menatap bergantian pada Darwin dan jaketnya hingga akhirnya ia mengangguk pelan dan menerima jaket itu dengan ragu. “Terima kasih,” ucapnya pelan namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Darwin.

“Heumm,” Darwin mengangguk lantas ikut duduk di samping gadis itu yang mulai mengenakan jaketnya. “Kamu sendirian ke sini?”. Oh sungguh dalam hati Darwin ingin sekali berteriak kenapa tidak sejak tadi ia melakukannya dari pada harus membiarkan kakinya keram berdiri di depan pintu.

Sejenak hening. Darwin pikir gadis itu tidak perlu menjawab pertanyaan basa-basinya toh ia juga tidak benar-benar ingin tahu.

“Aku tadi datang sama teman-temanku. Tapi aku memilih melihat-lihat lebih dalam kebun kakao ini dan memisahkan diri dari mereka. Lalu... yeah akhirnya hujan turun dan aku terjebak di sini sama kamu. Aku mau nelpon temanku tapi hp-ku kehabisan baterai”

Darwin menatap gadis itu dan mengangguk pelan. Ckk, sungguh ia kembali merasa dongkol. Kenapa sejak tadi ia diam saja. Toh ternyata gadis ini tidak galak seperti pikian awalnya.

“Kalau kamu?,” dua kata yang membentuk sebuah kalimat tanya yang baru saja meluncur dari mulut gadis itu membuat Darwin kembali menoleh menatapnya. Ia barusan tidak salah dengar kan? Gadis itu bertanya padanya kan?

Darwin kembali berdehem sebelum menjawabnya. “Sama kayak kamu. Aku tadi juga datang sama teman-temanku, dan dengan alasan yang kurang lebih sama kayak kamu akhirnya aku ada di sini,” Darwin menunjukkan cengirannya usai menyelesaikan kalimatnya.

Kini giliran gadis di sampingnya yang mengangguk.

Lantas setelahnya kembali hening di antara mereka. Banyak pertanyaan yang ingin Darwin ajukan untuk gadis itu, hanya saja ia bingung harus memulainya dari mana. Lagi pula, ia harus menghindari pertanyaan yang terlalu pribadi karena ia rasa mereka tak perlu terlibat dalam kehidupan satu sama lain.

“Ohya-“

“Hatsyuuuu!”. Suara bersin lagi-lagi keluar dari mulut gadis di sampingnya membuat kalimat yang akan Darwin utarakan terhenti dan beralih mengerjapkan matanya menatap gadis itu yang sepertinya juga tidak nyaman karena sejak tadi ia terus saja bersin. “Ma, maaf. Aku... alergi hujan,” gadis itu tersenyum dipaksakan berharap Darwin mengerti keadaannya.

Darwin menggaruk tengkuknya dan terkekeh pelan, “Eung, nggak apa-apa kok... Hehee”

Gadis itu kini tersenyum lebih lebar menatap Darwin. Well, gadis itu tak tahu apa yang terjadi pada pria di sampingnya. Darwin gugup melihat senyuman itu. Darwin serasa membeku menatap matanya. Darwin merasa jantungnya mencelos seketika. Oh ada apa dengannya? Ia tidak mengalami demam mendadak hanya karena tadi ia terkena sedikit hujan kan?

Darwin merasa ia mulai gila sekarang. Ia bahkan lupa kalau saat ini mereka berada di dalam sebuah gudang yang pengap dan minim cahaya selain cahaya yang masuk melalui pintu gudang yang terbuka lebar dan menampakkan hujan yang masih saja turun. Ia malah merasa berada di taman dandelion sekarang.

“Hujannya lama banget ya,” akhirnya gadis itu yang kini mengeluarkan suaranya lebih dulu, lalu ia menatap tetesan air yang masih saja turun dengan cukup deras di luar pintu gudang.

Darwin menghirup nafas dalam lalu menghembuskannya dengan cepat. “Iya lama banget. Harusnya kalau hujan deras begini sebentar aja, tapi ini udah lebih dari satu jam”

“Hatsyuuuu,” lagi suara bersin dari gadis itu. Darwin kembali hanya terkekeh, rasanya ia akan mulai terbiasa sekarang jika gadis itu terus menerus bersin dalam frekuensi tiap satu menit. “Maaf,” kata gadis itu lagi.

“Nggak apa-apa kok. Lagian kamu emang alergi hujan jadinya mana mungkin kamu tahan suara bersinmu. Santai aja...”, Darwin tersenyum sembari memainkan jemarinya.

Lalu kembali hening untuk kesekian kalinya diantara keduanya. Darwin memilih diam tanpa melanjutkan kalimat sebelumnya yang sempat terhenti karena suara bersin gadis di sampingnya itu, begitupun dengan gadis itu yang sepertinya juga sama sekali tidak tertarik untuk mengajukan barang satu pertanyaan untuknya.

Hujan sudah tidak sederas tadi namun tidak bisa dikatakan reda karena kuantitasnya masih banyak bahkan cukup membuat tubuh basah meski hanya satu menit berdiri di luar sana. Darwin menselonjorkan kakinya yang serasa cukup pegal. Udara benar-benar dingin dan ia rasa cacing-cacing di dalam perutnya sudah berdemo ria untuk meminta makanan.

Hey ayolah, tidak hanya cacing-cacing itu yang ingin makan. Darwin juga ingin sekali meminum secangkir coklat panas saat ini. Ugh, membayangkan secangkir coklat panas dengan uap yang mengepul di atas cangkir membuatnya berusaha menelan ludah menahan rasa laparnya.

“Hatsyiiim, hatsyiiiim!”

Keduanya sama-sama terkekeh setelah gadis itu kembali bersin untuk kesekian kalinya. “Maaf, hidungku rasanya gatal banget,” gadis itu menggosok hidungnya dengan jari telunjuknya yang menurut Darwin... terlihat menggemaskan.

Kali ini Darwin kembali menelan ludahnya. Bukan, ia bukan menahan lapar sekarang tapi menahan dentaman jantungnya yang bekerja tidak terkendali kala menatap gadis di sampingnya itu.

“Hehehh, kan tadi sudah aku bilang nggak apa-apa. Aku ngerti kok,” kali ini Darwin berusaha membuat lengkungan di bibirnya yang ia rasa pasti terlihat aneh.

“Makasih ya-,” gadis itu menahan kalimatnya dan langsung menatap keadaan di luar gudang yang tiba-tiba saja hujan deras tadi berhenti seketika. “Hey hujannya sudah reda!,” serunya lantas bangkit berdiri dan berjalan ke arah pintu disusul Darwin yang juga mengamati keadaan di luar. “Oh ya, aku duluan kalau gitu. Temanku pasti khawatir... Daah,” serunya seraya berlari meninggalkan Darwin yang berdiri di ambang pintu gudang.

Darwin hanya menatap dalam diam punggung gadis itu yang mulai berlari menjauh meninggalkannya. Tanpa sadar ia tersenyum tipis mengingat kejadian beberapa menit yang lalu, apa ini yang disebut Love at the first sight?

“Hey!,” suara lengkingan gadis menyadarkannya dan membuat kedua alis Darwin bertaut karena gadis tadi kembali berdiri di hadapannya. Sejak kapan gadis itu kembali? Ia bahkan tidak menyadarinya sama sekali. “Aku lupa ngembalikan jaketmu... Ini-,” gadis itu mengulurkan jaket milik Darwin tadi dan langsung diterima Darwin dengan sedikit ragu.

“Makasih yaaa...” gadis itu kembali berniat beranjak meninggalkan Darwin. Namun belum selangkah gadis itu berbalik, lengannya ditahan oleh Darwin membuat gadis itu langsung berbalik dan menatap heran padanya.

Darwin menggaruk pelipisnya sedangkan sebelah tangannya masih memegang lengan gadis itu. “Yeah kamu tahu kan, ini seperti sebuah takdir yang tidak disengaja,” gadis itu masih menatap heran pada Darwin.

“Oh, maafkan aku...” Darwin seakan tersadar tangannya terlalu kuat mencengkeram lengan gadis itu dan dengan segera melepaskannya. “Aku... aku cuman mau tanya siapa namamu. Maksudku, siapa tahu nanti kita ketemu lagi, jadi-“

“Umairoh,” jawab gadis itu cepat seraya mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Darwin dan menunjukkan senyumnya yang Darwin akui terlihat sangat manis.

“Darwin,” ucap Darwin sambil menjabat tangan gadis itu. Terlihat kali ini ia kembali tak dapat menahan senyumannya.

“Baiklah Darwin, senang ketemu sama kamu. Semoga nanti kita ketemu lagi yaa... Aku duluan, bye! Hatsyiiim,” gadis itu, Umairoh, kembali beranjak meninggalkan Darwin setelah sebelumnya menunjukkan senyum lebarnya dan kali ini tanpa ditahan oleh laki-laki yang masih berdiri di ambang pintu gudang dengan memegangi dadanya.

Dan sekarang Darwin tak bisa lagi menyangkal teori mengenai ‘Cinta pada pandangan pertama’ karena ia baru saja merasakan sensasi aneh di dalam dadanya ketika bersama gadis yang baru ia temui karena sama-sama terjebak oleh hujan tadi. Dan tidak bisa dipungkiri setelah ini ia akan selalu mengingat momen ini di tiap hujan turun.

Hujan yang membuatnya bertemu dengan seorang gadis yang dengan mudahnya masuk ke dalam hatinya. Hujan yang membuatnya bisa mengerti maksud dari kalimat “Cinta pada pandangan pertama”. Dan hujan, ia pasti akan semakin menyukai hujan setelah ini.

Seperti ia menyukai gadis itu sebanyak derasnya tetesan hujan yang menyapu tanah.

.
.
Fin

<3<3<3

Welllll...
I dunno why I made this story. Hahahahahahahahahahahaa...
Oke, I wanna say thanks for everyone who have read this arsurd cerpen, kkkk... I think it’s an awkward cerpen, heheee...
Eumm, actually this cerpen special for my BF (Not Boy Friend but my Best Friend)....
Thank u so much much much cz you had teached and explained me about English... And now I’ll learn English seriously...
Okey sekian bacotan nggak penting dari akuuuuh... pai pai...
*peluk Yesung, Zayn, Louis, Liam, Niall, Harry, Kai, Suho, Sehun, D.O, Baek Hyun, Chanyeol, Luhan, Kris, Tao, Xiumin, Chen, Lay, Woohyun, L, Sunggyu, Sunggyeol, Hoya, Dongwoo, Sungjong, Jeongmin, Hyunseong, Donghyun, Kwangmin, Yongmin, Minwoo, Leeteuk, Heechul, Hangeng, Kangin, Sungmin, Shindong, Siwon, Eun Hyuk, Donghae, Ryewook, Kibum, Kyuhyun, Zhoumi, Henry, Junhyung, Yoseob, Onew, Minho, Key, Jonghyun, Taemin, Cap, L.Joe, Niell, Changjo, Chunji, Ricky....oalaaah kebanyakaaann*


Sabtu, 05 Juli 2014

(Cerpen) Mungkin



Mungkin
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Inspired By:
S4 – Mungkin

Main Cast:
Darwin, Umairoh

Minor Cast:
You can find them by your self (English limited edition :p)

Warning:
Alur kepanjangan, typo gentayangan, feel-nya kurang dapet, bikin mata perih, ngantuk, mual, sesak nafas, dll
Happy reading ^^
.
.

###
Tiada hari tanpa bayang-bayangmu
Mengapa dirimu yang selalu hadir di benakku
Getar hatiku memanggil namamu,
Tanpa kusadari air mata ini bergulir
.

Darwin

Dentingan sendok beradu dengan gelas kaca memecah hening di dapur minimalis dalam sebuah apartemen sederhana yang hanya kutempati seorang diri. Memang tak benar-benar hening karena sejak tadi suara volume tv-yang-tak-kutonton-tayangannya di ruang tengah masih menggema dan masih cukup jelas ditangkap pendengaranku di dapur.

Eumm, baiklah mungkin akan lebih baik jika kuperkenalkan diriku lebih dulu. Namaku adalah Darwin. Bukan, aku bukan seorang Darwin penemu teori tentang asal mula manusia yang berasal dari kera. Aku masih bisa berpikir dengan jernih kalau manusia sama sekali berbeda dengan kera atau simpanse atau monyet atau orang utan atau apapun yang masih satu famili dengan kera. Aku hanya seorang mahasiswa biasa yang mencoba hidup mandiri dan bekerja di pagi hari dan kuliah pada sore sampai malam hari. Aku mencoba hidup mandiri dengan menyewa apartemen sendiri dan jauh dari orang tua.

Aku juga bukan pria populer di kampus, bukan peraih medali emas olimpiade sains, bukan peraih piala bergilir pertandingan bulu tangkis Kabupaten, bukan Mahasiswa Pecinta Alam, dan yang pasti aku bukan anggota boyband.

Baiklah kurasa cukup sampai di situ perkenalannya.

Pagi ini aku sedang libur kerja, yeah aku bekerja sebagai kasir di sebuah café tak jauh dari kampusku –sekitar lima belas menit dari apartemenku dengan jalan kaki- dan karena café tempatku bekerja selalu tutup di hari Minggu jadi hari ini aku berniat untuk bersantai di dalam apartemen sekaligus membersihkan apartemenku yang sudah satu bulan ini tak kuhiraukan. Dan kebetulan aku sedang libur semester, jadi aku bisa beristirahat dari pusingnya tugas-tugas kuliah.

“Soledad
It’s a keeping for the lonely
Since the day that you were gone
Why did you leave me
Soledad”

Nada dering ponselku menggema di ruang tengah karena aku meninggalkan ponselku di samping tv, segera aku meninggalkan kegiatanku –mengaduk-aduk-cangkir-teh- dan menekan tombol hijau di layar ponsel. Sebuah panggilan masuk dari Romi.

“Halo Rom”

“WOOY DUDE KAU SUDAH BANGUN?!!!”

Sontak aku menjauhkan ponselku dari telingaku yang terasa berdengung karena pria tak tahu diri itu berteriak sangat kencang, “Hey, bisakah kau tak  berteriak seperti itu?,” jawabku malas.

“Eung, okey baiklah. Jadi, kau sudah bangun?”

“Belum”

“Belum?”

“Ayolah, kalau aku belum bangun aku tidak mungkin menjawab panggilan telponmu kan?”

“Hehe, oke-oke aku tahu. Jadi apa kau siap untuk kuculik hari ini?”

“Kau akan menculikku??,” tanyaku tak percaya. Apa-apaan dia. Lagipula mana ada penculikan dengan ijin korbannya.

“Yeha, kau tidak ingat kalau hari ini pertandingan basket di kampus?”

Aku memutar mataku berpikir, ah iya benar, aku bahkan tak mengingatnya sama sekali. “Kau saja yang pergi, aku sedang malas hari ini untuk keluar”

“Haish kau ini tidak setia kawan. Bukankah kau yang kemarin berjanji untuk menemaniku... ayolah Darwin kita pergi sekarang.. ya,” ia berusaha membujukku dengan nada suaranya yang ia buat seperti anak-anak yang meminta dibelikan es krim pada ibunya.

“Tidak mau. Lagipula kau kan bisa pergi dengan Hardi? Atau Iqbal? Atau Yudi?”

“Ckk... Baiklah-baiklah. Kau menyebalkan. Sudahlah aku tutup telponnya, selamat bertapa di dalam apartemenmu,” jawabnya kesal.

Romi langsung memutuskan sambungan telpon sebelum aku menjawabnya. Romi adalah teman baikku sejak kami masih kecil dulu, kami banyak menghabiskan waktu bersama. Dan anak itu juga bekerja di tempat yang sama denganku.

Hmm, kurasa Romi tak akan marah padaku karena aku tak bisa ikut menonton pertandingan basket dengannya. Aku tahu bagaimana sifatnya yang tidak pemarah. Beruntung sekali aku memiliki teman baik sepertinya, haha.

Aku kembali ke dapur untuk memulai sarapanku yang tertunda. Kurasa teh di dalam cangkirku mulai mendingin, dan lebih baik aku segera sarapan sebelum semua makanan yang ada di meja benar-benar dingin dan tidak layak di makan.

Eits, tunggu. Apa tadi aku bilang semua? Yaah, hanya ada teh dan pancake sederhana yang bisa kubuat sebagai menu sarapan pagi ini.

Ngomong-ngomong mengenai pancake, aku kembali teringat pada seorang gadis yang sangat menyukai pancake. Ia yang mengajariku cara membuat pancake ini, yah meskipun pancake buatannya jauh lebih enak dibandingkan buatanku. Seandainya ia ada di sini, seandainya gadis itu menemaniku, aku pasti akan merasa sangat bahagia.

Berbagai spekulasi mulai merangsek masuk ke dalam alam pikirku mengenai keberadaan gadis itu. Aku dan gadis itu mengakhiri hubungan kami tepat setelah kelulusan kami saat SMA. Bukan karena pertengkaran. Bukan karena salah paham. Kami hanya memutuskan untuk fokus pada studi kami di jenjang perkuliahan, namun pada akhirnya aku tetap tak bisa fokus belajar karena pikiranku selalu dipenuhi tentang gadis itu. Aku masih menyayanginya, teramat sangat menyayanginya.

Setelah kelulusan itu, tak ada lagi kabar mengenai keberadaannya. Komunikasi diantara kami benar-benar sudah putus. Ia mengganti nomor ponselnya dan aku juga mengganti nomor ponselku. Ia juga tidak lagi menggunakan akun jejaring sosial yang biasanya ia pakai.

Yang aku tahu dari temannya adalah ia kuliah di luar kota. Tak ada lagi yang kuketahui tentangnya selain hal itu. Meskipun begitu, tak ada satupun hari terlewatkan tanpa bayangnya di benakku. Bahkan aku semakin merindukannya. Bagaimana kabarnya saat ini, apa dia baik-baik saja, apa yang ia lakukan, apa ia sudah punya kekasih baru. Kekasih?? Aku bahkan tak sanggup membayangkan jika ia benar-benar sudah memiliki kekasih baru. Tapi bagaimana jika memang ia sudah memiliki kekasih? Bagaimana jika kekasihnya lebih tampan dariku? Bagaimana jika kekasihnya lebih pintar dariku? Bagaimana jika kekasihnya lebih tinggi dariku? Atau bahkan kulitnya lebih putih dariku?

Tssk, ini masih pukul tujuh tiga puluh pagi dan aku sudah mulai ber-melankolis-ria. Dan.. oh ya ampun ada apa denganku? Aku bahkan menangis sekarang. Syukurlah aku tinggal seorang diri di apartemen ini jadi aku tak perlu malu saat tiba-tiba air mata sialan ini mengalir tanpa kuhendaki.
.
.

Umairoh

Perkenalkan, namaku Umairoh. Kenapa Umairoh? Karena kata orang tuaku pipiku kemerah-merahan, bahkan semakin memerah jika aku sedang tertawa atau sedang malu. Aku adalah seorang mahasiswi biasa dan sama sekali tidak populer di kampus,  jurusan manajemen. Aku bukang anggota BEM di kampus apalagi menjadi PresMa –sungguh aku tak begitu menyukai organisasi- aku bukan Mahasiswi Pecinta Alam, kulitku tidak seputih aktris Korea Kim So Eun, wajahku sangat oriental khas wanita Indonesia, suaraku tidak semerdu penyanyi Mandy Moore, dan tubuhku tidaklah setinggi member girlband Girls Generation.

Kurasa perkenalannya cukup. Saat ini aku sedang libur kuliah jadi aku putuskan untuk kembali ke kota kelahiranku setelah satu tahun aku tak pulang karena aku tinggal bersama bibiku di sana.

Pagi ini aku sedang berolahraga dengan mengendarai sepedaku sekaligus menikmati pemandangan pagi hari yang masih sejuk. Tak banyak yang berubah dari kota kelahiranku ini sejak satu tahun yang lalu aku tinggalkan. Mungkin hanya beberapa bangunan yang direnovasi dan tempat-tempat yang dulu sering kukunjungi saat SMA sudah diperbarui tatanannya.

Hari Minggu pagi ini ramai sekali orang-orang yang berolahraga. Ada yang juga mengendarai sepeda sepertiku, bahkan tak sedikit pula mereka yang berjalan kaki serta berlari-lari kecil di sisi jalan raya. Aku menghentikan sepedaku di depan sebuah warung yang menjual bubur ayam. Menu sarapan favoritku. Dan tempat ini tempat yang biasa kukunjungi sewaktu SMA dulu.

Tak perlu menunggu lebih dari sepuluh menit bubur ayam pesananku sudah siap dan aromanya benar-benar menggiurkan. Pengunjung warung bubur ayam ini cukup ramai bahkan aku duduk di pojok kanan warung karena hanya ini satu-satunya tempat yang tersisa. Suapan demi suapan yang cukup teratur masuk ke dalam mulutku karena aku memang sedang tidak buru-buru. Di sebelahku ada sepasang kekasih yang menghabiskan bubur mereka sambil bercanda, bahkan saling menyuapi satu sama lain. Ckk, membuatku yang notabene adalah jomblo ini jadi sedikit envy.Hey, ini kan tempat umum setidaknya mereka bisa tahu tempat untuk bermesraan.

Suapanku semakin melambat seiring memori yang berputar di otaku seperti sebuah film. Dulu aku bersama kekasihku saat SMA juga sering sarapan di sini tiap hari Minggu. Bahkan kami juga melakukan hal yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan pasangan di sampingku ini. Tunggu dulu, apa tadi aku bilang kekasih? Maksudku mantan kekasihku. Yah, mantan kekasih. Kami putus tepat di hari kelulusan kami, bukan karena bertengkar ataupun salah paham dan bahkan ketidakcocokan lagi di antara kami.

Saat itu aku berpikir untuk fokus pada pendidikanku di Perguruan Tinggi, jadi akan lebih baik jika kami untuk berpisah saja. Aku bukannya tidak lagi menyayanginya, aku bahkan masih teramat sayang dengannya. Dan yang lebih parahnya saat aku di kampus, aku sering sekali membayangkan dia berada di dekatku. Niatku untuk fokus pada kuliahku, pada akhirnya terbagi dengan pikiran-pikiranku tentangnya, tentangnya yang semakin kurindukan.

Bagaimana kabarnya? Apa yang ia lakukan? Di mana ia sekarang? Apa masih di kota ini atau ia juga kuliah di luar kota? Apa ia sudah punya kekasih baru? Kekasih?

Aku terlalu takut membayangkan jika memang ia sudah memiliki kekasih baru. Bagaimana wajah kekasihnya, apakah lebih cantik dariku? Apakah kekasihnya lebih pintar dariku? Apakah kulit kekasihnya lebih putih dariku? Ckk.. membayangkannya saja membuat selera makanku tiba-tiba hilang.

Bubur di dalam mangkuk belum habis namun aku lebih memilih segera meninggalkan warung ini dari pada aku terisak dan menjadi perhatian orang-orang. Segera setelah aku membayar makananku, aku segera keluar dan mengayuh sepedaku cukup kencang. Oh kumohon jangan lagi menangis. Tsk, mataku cukup perih sekarang karena aku menahan air mataku agar tidak mengalir, namun hasilnya tetaplah air mata ini mengalir di sudut mataku. Ada apa denganku? Kenapa setiap aku mengingatnya aku selalu berakhir menangis seperti ini?

Darwin. Mengingat namanya membuatku hatiku berdesir. Membuat air mataku turun tanpa komando dan membuatku semakin merindukannya.

###

Saat kubernyanyi
Kala kumelangkah
Ku selalu memikirkanmu
.

Sore ini aku terpaksa berjalan menuju minimarket tak jauh dari rumahku karena di rumahku sedang kehabisan sabun mandi dan beberapa keperluan dapur. Aku bisa saja menyuruh adikku, namun aku tidak tega karena ia sedang istirahat setelah latihan Kempo tadi siang. Aku melangkah pelan sambil mendengarkan musik dari ponselku menggunakan headset, dan aku memilih lagu Yesung, For One Day.

“Dan haruman.. dan haruman..
Geudael jiuryeo haebwado
Seupgwancheoreom, babocheorom
Dasi tto nunmuri najyo
Dan haruman.. dan haruman..
Geudael aneul su itdamyeon
Himgyeopge beotyeoon
Mojin geu sesangkkeuteseo, sal su isseultende
Dan haruman...

(Trans: For one day, just for one day
Though I fight to erase you from my mind
But like a habit, and I’m like a fool
Again, again my tears fall
For one day, just for one day
If I can hug you once
I can toughly endure in this harsh world
In the end, we can stay together
Just for one day)

Aku bersenandung pelan mengikuti alunan lagu Yesung, suaranya mengalun lembut dan membuatku bisa merasakan isi lagu yang dinyanyikannya. Lagu ini benar-benar sesuai dengan keadaanku saat ini. Oh, aku teringat padanya lagi sekarang. Entahlah setiap aku mendengarkan lagu slow, yang terlintas di benakku selalu dirinya.
.
.

Darwin

Benar-benar menyebalkan. Hari ini seharusnya aku tak perlu kemana-mana dan bersantai saja, tapi karena persediaan di dalam kulkasku sudah habis aku terpaksa keluar untuk membeli berbagai bahan makanan. Aku memutuskan untuk berjalan kaki dan tidak menggunakan motorku, sekalian saja aku berjalan-jalan sore ini.

Rasanya sudah sangat lama aku tidak merasakan udara sore seperti ini, cukup sejuk. Matahari bersinar tidak begitu terik dan banyak sekali kulihat orang-orang yang menghabiskan waktu mereka di luar rumah. Kuputuskan untuk membeli keperluan dapurku di minimarket yang berada tiga blog dari apartemenku, sebenarnya tepat di depan apartemenku ada sebuah minimarket yang cukup lengkap. Tapi karena aku sudah terlanjur keluar apartemen, sekalian saja aku jalan-jalan. Minimarket itu tak jauh dari rumah ehm.. mantan kekasihku. Yah siapa tahu kalau aku beruntung aku bertemu dengannya. Yah meskipun sangat kecil kemungkinannya.

Kuputar sebuah lagu dari ponselku, memang kebiasaanku sejak dulu selalu mendengarkan musik jika aku sedang dalam perjalanan baik itu jalan kaki, naik motor, atau kendaraan umum. Kupilih lagu One Direction, Gotta Be You dan mendengarkannya menggunakan headset. Aku bersenandung pelan mengikuti lirik lagunya.

“Can we fall one more time?
Stop the tape and rewind
Oh and if you walk away I know I’ll fade
Cause there is nobody else
It’s gotta be you, Only you
It’s gotta be you, Only you...”

Lagu ini begitu cocok dengan keadaanku sekarang. Ah, kenapa setiap mendengarkan lagu slow perasaanku selalu seperti ini. Aku selalu teringat akan dirinya.

Aku berjalan perlahan menikmati cuaca sore ini, yah cukup sejuk. Sejak tadi kendaraan tak henti-hentinya berlalu lalang di jalan raya, membuat kota ini terlihat kota sibuk seperti kota Metropolitan. Mungkin karena aku terlalu asyik mendengarkan lagu dan memperhatikan keadaan di sekitarku aku bahkan tidak sadar kalau minimarket yang akan kutuju sudah berada dalam jarak pandangku, sekitar dua puluh lima meter lagi.

Tak ingin buru-buru, aku tetap menstabilkan langkahku meskipun sebenarnya aku sudah tidak sabar untuk sampai ke minimarket itu. Namun sebelumnya, sebuah bangunan di seberang jalan menarik perhatianku, aku berhenti sejenak untuk melihat bangunan tersebut. Bukan bangunan mewah atau pertokoan yang menjajakan barang unik, hanya sebuah rumah tinggal minimalis bercat putih yang sejak dulu tak pernah berubah keadaanya. Masih tetap asri.

Rumah kekasihku.

Maksudku, rumah mantan kekasihku.

Yah aku sering sekali melewati rumahnya, berharap ia muncul dari balik pagar rumahnya lalu memandang ke arahku dan berakhir dengan kami yang saling bertegur sapa lantas berbagi cerita. Sedikit berharap tak apa kan? Toh tak ada sanksi pelanggaran jika aku melakukannya. Aku menarik nafas dalam, setidaknya dengan melihat dari jauh rumahnya membuatku lega. Hanya untuk berjaga-jaga saja jika tiba-tiba terpasang tenda biru di halaman rumahnya. Ckkk, aku mulai membayangkan hal-hal yang tidak penting.

Aku kembali mengalihkan perhatianku dari rumah itu lantas kembali melanjutkan langkahku untuk menuju minimarket yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi.

Tunggu dulu. Kali ini fokusku tertuju pada seorang gadis tak jauh dari minimarket bercat hijau tosca yang sedang mengobrol dengan temannya yang sedang berada di atas motor, mungkin mereka tak sengaja bertemu di jalan. Gadis itu benar-benar tak asing. Umairoh kah? Entahlah. Aku tak yakin karena akhir-akhir ini aku sering sekali melihat gadis yang kuanggap Umairoh padahal itu hanya bayanganku saja karena postur tubuh mereka yang mirip.

Langkahku terhenti untuk memperhatikan dengan jelas siapa gadis itu. Cukup sulit mengenalinya karena ia berada sekitar delapan meter dariku dan juga wajahnya tak menghadap ke arahku. Yah dari postur tubuhnya memang benar-benar seperti Umairoh, tinggi badannya, cara berpakaiannya dan...

“Woy Win akhirnya aku menemukanmu!”

Sungguh aku benar-benar terkejut dengan suara yang tiba-tiba muncul dari belakang dan menepuk pundakku dengan cukup kuat membautku sontak latah ayam-ayam. “Hyaa... Yudi apa yang  kau lakukan di sini?,” aku mengelus pelan dadaku karena sungguh jantungku benar-benar serasa terjatuh dari tempatnya dan dengan terpaksa aku langsung melepaskan headset di telingaku.

“Romi bilang kau akan bertapa seharian di dalam apartemenmu, jadi aku berniat mengunjungi apartemenmu. Tapi untunglah aku menemukanmu di sini,” Yudi menunjukkan cengiran khasnya yang kata orang membuatnya terlihat manis –tapi-tidak-untukku.

Alisku mengkerut, “Memangnya ada apa?”

“Nanti malam akan ada pesta kejutan untuk ulang tahun Hardi. Kau harus ikut membantu kami oke”

“Sekarang?”

“Kemarin. Yah tentu saja sekarang. Ayo kau ikut denganku saja..,” Yudi menarik lenganku dan membawaku pada motornya tak jauh dari tempatku berdiri tadi.

“Hey... Tapi banyak barang yang harus aku beli dulu Di,” aku meronta agar Yudi melepaskan cengkramannya pada lenganku. Namun pria ini sama sekali tak menghiraukan perkataanku, ia malah sudah naik di atas motornya dan menatapku dengan ekspresi cepat-naik-sekarang-juga.

“Tsk, baiklah-baiklah. Tapi kau harus mengantarku pulang nanti,” aku naik di belakang motornya tanpa mengenakan helm. Kurasa tak akan ada razia karena hari ini hari Minggu dan sudah terlalu sore para Polantas itu melakukan razia, hehe.

“Baiklah bisa diatu,”, Yudi melesatkan motornya berbalik arah dari tempat tujuannku menuju tempat di mana pesta kejutan untuk ulang tahun Hardi dilaksanakan.

###

Mungkinkah ku juga ada di hatimu
Mungkinkah kau menangis mengingatku
Mungkinkah kau pun memendam perih
Dan tenggelam dalam...
Kerinduan
.

Umairoh

Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan teman lamaku saat SD usai aku membeli beberapa barang keperluan dapur di minimarket dekat rumahku tadi sore. Namanya Linda, ia kuliah jurusan Perawat. Sudah sekitar empat tahun rasanya aku tak bertemu dengannya setelah terakhir kali kami bertemu saat kelas sembilan SMP ketika reuni teman-teman SD sekelasku.

Banyak hal yang kami bicarakan sampai-sampai aku baru kembali ke rumah ketika adzan magrib hampir berkumandang dan berakhir dengan mendapat kultum dari Ayahku di rumah. Yah aku akui aku memang salah karena jika sudah bertemu dengan teman yang juga sama cerewetnya denganku, aku pasti selalu lupa waktu karena mulutku memang benar-benar sulit untuk berhenti bicara.

Aku duduk di dekat jendela kamarku yang kubiarkan terbuka menampilkan panorama malam yang sangat indah. Cukup banyak bintang bertaburan dengan bulan yang hampir penuh yang semakin membuat permadani langit malam ini semakin cantik dan terang. Sebuah bintang yang bersinar paling terang mengalihkan perhatianku dari benda-benda angkasa lain, polaris. Bintang penunjuk arah. Dulu kekasihku, ehm maksudku mantan-kekasihku selalu menganggap dirinya sebagai polaris. Ia bilang ia akan selalu menjadi penunjuk arahku, akan menjadi pusat perhatianku dan akan menuntunku jika aku tersesat dalam kehidupan ini.

Yah itu hanya masa lalu. Tapi bagiku ia tetaplah seperti polaris, ia akan terus bersinar terang di hatiku.

Hanya saja... Bagaimana jika hanya aku yang merindukannya? Bagaimana aku tak ada lagi di hatinya? Bagaimana jika selama ini hanya aku yang terus menerus mengingatnya?

Kuhela nafas panjang. Perasaan ini terkadang menyebalkan. Untung saja saat ini aku tidak sedang bermain dalam tayangan telenovela, kalau iya sudah dipastikan wajahku benar-benar terlihat menyedihkan.

Drttt... drttt...

Ponselku bergetar di atas meja belajar, ada sebuah pesan masuk. Dengan malas aku mengambil ponselku dan membaca pesan yang masuk tersebut.

From: Windy
HEY MUKA MERAH!! KAU MNYEBALKAN SKLI!!! KNP KAU PULANG DN TDK MENGABARIKU!!! KAU SDH TDK MENGANGGAPKU SBG TMNMU HUHHH???!!!

Ya Tuhan... Aku langsung terkekeh ketika membaca pesan dari sahabatku ini. Sungguh aku bukannya tidak ingin memberitahukannya mengenai kepulanganku, hanya saja aku berniat untuk memberi kejutan padanya. Dengan cepat jemariku mengetik balasan pesan untuk Windy.

To: Windy
Oh My Dear... Bogosipho :-* :-*
Dari mana kau tahu kalau aku pulang?

Sent

Tak menunggu waktu lama sebuah pesan balasan dari Windy langsung masuk dan aku segera membaca pesannya.

From: Windy
KAU TDK PERLU TAHU AKU MENGETAHUIX DRI MN KRN KAU ADL SHBAT “TERJAHAT” SDUNIA!!!

Aku kembali terkekeh pelan. Sepertinya sahabatku ini benar-benar sedang marah. Aku kembali dengan cepat membalas pesannya.

To: Windy
Maafkan aku Windy, aku hanya ingin memberi kejutan untukmu... jangan marah ya.. Padahal besok aku akan ke rumahmu untuk memberi kejutan tapi karena kau sudah tahu jadi yaah terpaksa kejutannya gagal.. Hehe, maaf yah :-D

Sent

From: Windy
KAU TAHU KN KLAU AKU SDANG MNUNGGU OLEH2 DRIMU???? YAH MKSUDKU BUKANX AKU TDK MRINDUKANMU TP KNP LINDA YG TAHU LEBH DLU KLAU KAU SDH PULANG HAAH??? APA KAU TDK TAHU KAL*some text missing*

Kedua alisku tertaut bingung, ckk sebagian teks hilang. Memangnya apa isi pesannya?

To: Windy
Sebagian teks-mu hilang Win.. Dan bisakah tolong kau matikan caps lock-nya?

Sent

Lagi-lagi Windy membalas pesanku dengan teramat cepat, bahkan beberapa pesan darinya langsung masuk secara beruntun.

From: Windy
UMAIROH MNYEBLKAN >_<

.

From: Windy
KAU TAHU KN KLAU AKU SDANG MNUNGGU OLEH2 DRIMU???? YAH MKSUDKU BUKANX AKU TDK MRINDUKANMU TP KNP LINDA YG TAHU LEBH DLU KLAU KAU SDH PULANG HAAH??? APA KAU TDK TAHU KALAU AKU BNR2 KHAWTIR KAU TDK AKAN PULANG LG SMSTER INI SPRT SMSTR KMARIN???

.

From: Windy
TIDAK MAU -_- AKU AKN TTP MEMAKAI CAPS LOCK

Nafasku tertahan. Apa Windy benar-benar marah kali ini? Tidak seperti biasanya. Dan kembali aku membalas pesannya dengan cepat.

To: Windy
Dear, aku benar-benar minta maaf... Baiklah kalau begitu besok aku akan ke rumahmu, dan yeah aku sudah membeli oleh-oleh untukmu. Jangan marah yaa.. aku benar-benar merindukanmu...

Sent

From: Windy
YEHET!!! SURPRISE.... AKU TDK MARAH SAYANG... KEJUTAAAAAN \(^_^)/
BAIKLAH AKU AKN MNUNGGUMU BSOK DRMHKU :-*

Kuhembuskan nafas lega. Setidaknya satu tahun berpisah dengan Windy gadis itu tidak berubah, ia tetap Windy yang periang dan pemaaf.

To: Windy
Baiklah sampai bertemu besok ;-) Eumm, apa kau sudah akan tidur?

Sent

Kulirik jam di ponselku sudah menunjukkan angka 10.05 p.m.

From: Windy
BLM.. KAU PSTI SDH AKN TDUR KN? BAIKLH SLMT MLAM ^^ MIMPI INDAH DG “MR. DARWIN” :-P

Entahlah apa aku yang terlalu berlebihan tapi jantungku tiba-tiba berdegup kencang saat membaca nama yang Windy sebutkan. Darwin? Aku sendiri tidak yakin jika ia masih ingat denganku.

To: Windy
Aku dan Darwin sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Baiklah selamat malam ^^ aku tidak sabar bertemu denganmu besok JJ

Sent

Darwin Darwin Darwin.

Apa kau masih mengingatku?
.
.

Darwin

Aku memandangi genangan air di hadapanku dengan sedikit antusias. Memang tidak ada yang spesial di dalam genangan air itu, hanya sebuah kolam kecil yang terkena pantulan cahaya rembulan yang hampir bulat penuh. Tapi tetap saja bagiku genangan air di dalam kolam tersebut terlihat cantik.

“Hey Masbro...,” Romi muncul tiba-tiba entah dari mana karena aku tidak mendengar derap langkahnya menghampiriku yang tengah duduk di pinggir kolam di tengah taman sebuah vila milik keluarga Hardi lantas ia langsung merangkul pundakku dengan tangan kanannya. Pesta kejutan ulang tahun Hardi cukup meriah karena diadakan di vila keluarga Hardi yang cukup jauh dari tengah kota dan akhirnya aku dan teman-temanku terpaksa harus bermalam di sini karena sekarang sudah hampir tengah malam. “Kau memikirkan seorang gadis? Atau memikirkan gaji kita yang tidak kunjung dinaikkan oleh bos? Atau... kau memikirkanku?”

Aku berdecak pelan lalu menurunkan paksa lengan Romi yang merangkul pundakku. “Aku sedang memikirkan kemerdekaan Palestina,” ketusku.

“Whoaaa, benarkah? Sejak kapan kau jadi manusiawi seperti ini? Ckckck...” ujarnya sedikit heboh.

Setelahnya kami berdua terdiam, bunyi hewan nocturnal serta suara cacing dan juga jangkrik cukup jelas menyapa indra pendengaran kami. Aku mendongak dan menatap langit yang cukup cerah, banyak bintang bertaburan menemani terangnya bulan malam ini. Perhatianku tertuju pada bintang yang bersinar paling terang, polaris. Kedua sudut bibirku tertarik ketika memori tentang polaris itu tiba-tiba muncul dibenakku. Polaris itu mengingatkanku pada Umair-

“Aaagh, Darwin lihat bintang itu yang paling terang,” tunjuk Romi kembali dengan heboh pada bintang yang juga menjadi perhatianku tadi dan membuat segala lamunanku yang baru saja aku bangun seketika hancur berkeping-keping. “Apa nama bintang itu?”

“Polaris,” jawabku singkat.

Kulirik dengan sudut mataku Romi hanya mengangguk lalu mengalihkan perhatiannya dari bintang polaris itu pada kolam kecil yang tadi juga sempat menjadi fokusku. Aku kembali memandang polaris di atas sana yang bersinar dengan angkuh. “Rom...”

“Hmmm?”

“Pernahkah kau merindukan seseorang?,” pertanyaanku barusan berhasil mengalihkan perhatian Romi dari acaranya memandangi kolam dan matanya membulat lebar menatapku.

“Kenapa? Kau merindukan seseorang? Siapa? Orang tuamu? Kakakmu? Tetanggamu? Penjaga kantin di kampus? Atau....,” Romi menurunkan nada bicaranya pada akhir kalimatnya. Aku menatapnya menunggu kelanjutan kalimat yang ia katakan. “Atau Umai..roh,” ucapnya pelan. Aku tahu ia tidak tega padaku jika menyebutkan nama gadis itu. Romi adalah satu-satunya temanku yang mengetahui seluk beluk kehidupan asmaraku dan ia sangat mengetahui bagaimana hubunganku dan Umairoh berakhir.

Kuhela nafas lantas mengangguk pelan dan menatap kosong kolam yang ada di dekat kami, “Aku tidak pernah tahu kalau seperti ini rasanya ketika sedang merindukan seseorang”

Romi menepuk pelan pundakku, “Bro... Move on donk.. Ini tahun 2014”

Aku menyernyit bingung, “Apa urusannya dengan tahun 2014?”

“Tahun 2014 ini kita akan memilih Presiden yang baru untuk menata NKRI menjadi lebih baik lagi, nah kau juga harus menata hatimu dan mencari hati baru”

Aku kembali menyingkirkan tangannya yang menepuk-nepuk bahuku. “Kau pikir akan semudah itu... Lagi pula-“

“Lagi pula apa?”

“Tidak. Aku hanya berharap ia juga merindukanku, sebanyak aku merindukannya”

Kudengar helaan nafas Romi yang cukup nyaring. “Aku juga tahu Win, aku juga tahu rasanya merindukan seseorang”

Iya aku tahu Romi sangat merindukan kekasihnya yang juga kuliah di luar kota. Berbeda denganku yang sudah tak memiliki hubungan apapun lagi dengan Umairoh, hubungan Romi dengan kekasihnya masih perlu dipertanyakan kelanjutannya apakah masih berlanjut atau tidak karena kekasihnya tak pernah lagi menghubunginya. Tapi tak pernah ada kata putus sebelumnya di antara mereka. Jika dilihat mungkin yang lebih menderita adalah Romi dibandingkan denganku, namun Romi pandai menata hatinya. Ia bukan pria yang suka berlarut-larut dalam kesediahan dan ia sangat membenci situasi melankolis.

Kali ini aku yang merangkul pundak Romi, berusaha menguatkannya meskipun aku tahu Romi tak memerlukan dukunganku karena ia jelas memang baik-baik saja. “Kau pernah bertanya padaku kan seberapa banyak rinduku pada Umairoh?”

Romi hanya mengangguk dan menatap antusias padaku. “Aku merindukannya sebanyak tetesan hujan yang menyentuh tanah. Tak terhitung. Tiap tetesan hujan yang terus menyapu permukaan tanah, sebanyak itulah aku merindukannya”

Kulihat Romi terkekeh pelan. “Bagaimana bisa kau mengungkapkan kalimat itu Win? Kau belajar dari mana? Jangan-jangan akhir-akhir ini kau sering menonton drama Korea ya?,” nadanya seolah mengejekku. “Ah, atau jangan-jangan tadi pagi kau tidak ikut dengan kami menonton pertandingan basket karena sedang menonton drama Korea? Drama apa yang kau tonton? Heartstring? The Heirs? My Love from Another Star? The Greatest Love?”

Pletak...

Aku langsung menjitak kepalanya. Bukannya mendengarkan keluh kesahku anak ini malah bercanda, dan apa itu katanya drama Korea? Aku bahkan tak terbiasa mendengar orang Korea berbicara.

“Hya! Kenapa kau menjitakku huh?? Aww, sakit..,” rintihnya sambil mengusap pelan puncak kepalanya di tempat aku menjitaknya tadi.

“Aku bahkan tak tahu judul drama yang kau sebutkan itu,” ucapku datar.

Romi masih mengusap kepalanya. “Tssk, iya-iya aku tahu kau tidak suka menonton drama Korea tapi kau tidak perlu sampai harus menjitakku begitu kan? Untung saat ini aku sedang berbaik hati dan tidak berniat membalasmu”

Aku mengangkat bahuku acuh lalu bersandar pada punggung kursi taman yang kami duduki kemudian memejamkan mataku tak menghiraukan rintihan Romi yang sepertinya sangat kesakitan akibat jitakanku tadi. Terkadang aku memang keterlaluan padanya, tapi biarlah aku senang melihat sahabatku ini menderita, he.

Hingga puluhan detik berikutnya kami kembali terdiam, begitu pula dengan Romi yang juga sudah berhenti meringis. Entah apa yang ia lakukan sekarang aku tak peduli yang jelas aku sedang tidak ingin membuka kelopak mataku.

“Ia sudah pulang Win,” ucap Romi cukup jelas. Namun aku hanya diam tanpa menyahutnya membiarkan ia melanjutkan kalimatnya. “Kau belum tahu? Dia pu-lang. Mantan kekasihmu pulang,” kalimat terakhirnya membuat mataku langsung terbuka dan membuat posisi dudukku langsung tegak.

Aku menatapnya untuk memintanya mengucapkan kembali apa yang barusan ia katakan. “Ia pulang. Mantan kekasihmu pulang,” ulangnya. Aku memandang tak percaya padanya yang kini bersandar dengan nyaman seolah tanpa dosa setelah mengucapkan kalimat yang membuat jantungku terasa mencelos keluar.

Sekian sekon aku hanya menatap Romi yang kini melakukan apa yang kulakukan sebelumnya, lantas setelahnya aku mengguncang-guncangkan tubuhnya memintanya menjelaskan lebih detail mengenai kalimatnya tadi. Romi membuka matanya malas dan menatapku seolah enggan menjabarkan lebih lanjut. “Hey Rom maksudmu apa?”

“Tssk, kau ini mahasiswa bukan huh? Bukankah sudah jelas tadi kukatakan mantan kekasihmu pulang. Mantanmu yang mana, yah yang pasti Umairoh karena mantanmu hanya satu. Jika kau bertanya pulang kemana itu sudah pasti pulang ke rumahnya, ia tidak mungkin pulang ke apartemenmu kan? Dan jika kau bertanya aku tahu dari mana, aku melihatnya sendiri tadi sore saat aku hendak kesini, aku melihatnya di dekat minimarket dekat rumahnya. Tapi jika kau bertanya kapan ia pulang jawabanku adalah aku-tidak-tahu,” jelasnya panjang lebar bahkan melebihi pertanyaan yang akan kuajukan.

Tunggu dulu. Apa Romi bilang tadi sore? “Kau bilang tadi sore?”

Romi mengangguk masih bersandar dengan nyaman pada punggung kursi. “Memangnya kenapa?”

“Pantas saja tadi sore saat aku menuju ke minimarket di dekat rumahnya aku melihat seorang gadis yang sangat mirip dengannya. Aku pikir aku salah lihat, ternyata itu memang dia! Romi dia pulang!!,” ucapku heboh.

Romi lantas bangkit tiba-tiba dari posisinya tadi. “Bodoh, kenapa tidak kau temui dia?”

“Bagaimana bisa aku menemuinya kalau Yudi tiba-tiba datang dan langsung membawaku ke sini, bahkan aku belum sempat membeli keperluan dapur. Tskk”

Kali ini ia menepuk pelan bahuku dan aku membiarkannya, “Kurasa kerinduanmu akan terbayar setelah ini sobat,” ia lantas berdiri setelahnya membuatku ikut menatap gerak tubuhnya. “Ya sudah aku tidur duluan, aku benar-benar mengantuk sekarang.. Hoaaahm,” ia menguap dengan lebar lantas berjalan menjauh. Namun belum benar-benar jauh dariku ia kembali berbalik, “Berhati-hatilah jika kau berkeliaran di atas jam sepuluh di sekitar vila ini, katanya ada wanita dengan jubah putih menjuntai panjang dan rambutnya yang menutupi wajahnya, si penjaga vila ini,” teriaknya yang membuat bulu kudukku meremang seketika dan mau tak mau aku ikut menyusulnya masuk ke dalam vila dengan berlari kecil.

###

Sering kali ku berpura tertawa
Laksana boneka yang tersenyum paksa tersiksa
Kala ku berlari
Saat ku melamun
Kau memenuhi hatiku
.

Sudah tiga hari sejak Romi memberitahuku kalau Umairoh pulang aku masih belum sempat berkunjung untuk menemuinya karena aku terlalu sibuk di café. Di saat liburan seperti ini café tempatku bekerja selalu ramai sampai malam hari, bakan kami karyawan yang biasanya hanya bekerja sampai sore hari juga ikut membantu sampai malam dan untung saja saat ini aku sedang libur kuliah jadi aku bisa bekerja sampai malam. Dan saat pulang ke apartemen-pun aku akan langsung tertidur tidak sempat melakukan apapun apalagi untuk berkunjung ke rumah Umairoh.

Seperti hari ini. Aku masih melayani pengunjung yang datang untuk membayar pesanan mereka. Kebanyakan pengunjung di sini adalah para remaja wanita dan terkadang mereka datang berkelompok dengan teman-temannya.

“Ugh aku lelah sekali Darwin..,” Eni, temanku sesama karyawan, duduk di sampingku sambil mengipas-ngipaskan tangannya ke wajahnya. Aku tahu ia pasti lelah sekali karena ia harus mengantar pesanan pengunjung yang seolah tak ada habisnya.

“Ayolah semangat En, bukankah kejadian seperti ini sangat langka? Café kita kan hanya selalu padat di musim liburan,” terangku bermaksud menyemangatinya. Eni tak menggubris ucapanku, ia malah mengambil selembar kertas HVS di atas meja lalu melipatnya menjadi dua dan menggunakan kertas tersebut sebagai kipas. “Tapi untunglah malam ini pengunjung sudah berkurang,” lanjutku lagi ketika kulirik jam di atas pintu masuk café sudah menunjukkan pukul 7 lewat sepuluh menit.

Dentingan bell pintu berbunyi tanda ada pengunjung lagi yang masuk. Aku tak begitu menghiraukannya karena aku sedang melayani pengunjung yang sedang membayar pesanan.

“Ah, tidak bisakah aku beristirahat sebentar saja?” gerutu Eni dan gadis itu langsung berdiri menghampiri pengunjung yang baru datang tadi. Sedangkan aku hanya bisa terkekeh pelan. Kulihat Romi juga sedang sibuk mengantarkan pesanan pengunjung lain.

Saat tak ada lagi pengunjung yang membayar, kuedarkan pandanganku pada pengunjung café yang saat ini sudah tak begitu ramai seperti siang tadi meskipun jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit karena kulihat hanya ada dua meja kosong yang tersisa. Dan... Yeah aku harap ini bukan halusinasiku karena aku menangkap sosok gadis yang berada di meja café di dekat jendela bersama seorang... Pria?

Aku yakin kali ini aku benar karena aku sangat tahu dari postur tubuhnya dan gaya berpakaiannya serta caranya tertawa, itu adalah gadisku. Maksudku mantan kekasihku. Umairoh. Pria itu terlihat sebaya dengannya, apa itu temannya? Aku tak mengenali pria itu karena aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Atau... itu kekasihnya?

“Hey bung... Bagaimana? Kau lelah?,” Romi menepuk bahuku dan langsung duduk di kursi di sampingku di balik meja kasir. Romi meletakkan nampan di atas meja lalu setelahnya ia meregangkan kedua tangannya, untuk merilekskan ototnya mungkin.

Aku hanya menggeleng pelan menjawabnya. Perhatianku masih tertuju pada dua orang yang duduk di dekat jendela kaca café dan terlihat sekali kalau mereka berdua sedang bercanda karena kulihat sejak tadi tak henti-hentinya mereka tertawa. “Win... Apa yang kau lihat?,” suara Romi membuatku tersadar dan sontak menoleh pada Romi yang turut mengikuti arah pandangku tadi. “Loh... Itu kan Umairoh,” Romi menunjuk dua orang di sana lantas ia memandangku dengan tatapan ‘kasihan’.

Aku hanya tersenyum tipis lantas kembali melayani pengunjung yang akan membayar pesanannya. Setelah memberikan uang kembalian pada pengunjung tersebut aku lantas duduk di balik meja café dan kali ini aku tak berniat kembali menatap dua orang di sana, aku tak tahu lagi apa yang mereka lakukan. Demi Tuhan rasanya tanganku gemetar bahkan jantungku berdentam terlalu kencang.

Tepukan di bahuku membuatku menoleh pada orang tersebut, kupikir Romi ternyata Eni. “Romi kemana?,” tanyaku pada Eni yang kini menggantikan tempat Romi duduk tadi.

“Mengantar pesanan,” jawabnya singkat lalu mengambil gelas cola-ku dan menenggak isinya sampai habis tanpa seizinku. “Aaargh segarnya,” ia lalu meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut kehadapanku.

Aku tak begitu memperdulikannya karena pikiranku saat ini hanya ada pada gadis itu. Sejujurnya aku berharap bisa bertemu dengannya tapi jika memang pria itu adalah kekasihnya, aku benar-benar tak ingin bertemu dengannya saat ini. Kutatap lantai dibawahku, awalnya aku sama sekali tak merasakan lelah tapi entah kenapa tiba-tiba seluruh tubuhku serasa pegal.

“Hey Win, kau kenapa?,” Eni mengibas-ngibaskan kertas HVS yang kembali ia jadikan kipas ke hadapanku. “Apa kau lelah? Sabarlah sebentar lagi kita tutup,” Eni masih mengipas-ngipaskan kertas tersebut ke arahku dan membuatku mau tak mau menatap tajam padanya.

“Berhenti melakukannya En,” ketusku.

Gadis di depanku ini malah tertawa dan ia makin semangat mengipasi wajahku. “Tidak mau.. Hahaha, aku senang sekali melihatmu seperti ini. Kenapa? Kau takut mual lagi huh karena masuk angin? Hahaha...,” ia masih terus mengipas-ngipaskan kertas ke wajahku.

“Kubilang berhenti En,” kutinggikan nada bicaraku.

“Kubilang aku tidak mau, hahaa.” Tsk, untung ia adalah wanita kalau tidak sudah pasti aku akan memukul kepalanya dengan buku catatan pesanan miliknya yang tergeletak tak berdaya di atas meja dan ia memandangku dengan tatapan tanpa dosanya membuatku juga –terpaksa- ikut tertawa.
.
.

Umairoh

Sungguh aku benar-benar bersyukur di liburan semester ini. Setelah beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan teman lamaku, dan dua hari berturut-turut kemarin aku menghabiskan waktu dengan Windy , kali ini aku bertemu dengan kakak sepupuku yang sudah sekitar enam tahun kami tidak bertemu. Baru kali ini ia berkunjung ke kotaku karena ia juga memang sedang libur kuliah. Namanya Rahman, usianya dua tahun lebih tua dariku.

Padahal tadi siang kami berencana ke café ini tapi karena aku harus membantu ibuku jadinya kami baru bisa pergi sekarang. Aku tak menyangka café ini sangat nyaman dan ramai sekali pengunjungnya, tahun lalu sebelum aku pergi kuliah di luar kota café ini masih berupa bangunan yang belum jadi.

Sejak tadi kakak sepupuku ini tak henti-hentinya membuat lelucon, dari dulu ia memang suka sekali berkelakar dan dia sungguh berjiwa humor, membuatku tak bisa menghentikan gelak tawaku. Bahkan karena tawaku yang terlalu nyaring membuat beberapa pengunjung menatap padaku dengan pandangan, errrr horror.

“Hahahahaa, sudahh kak.. hen tikannh... perrut kuh sudd dah sakitth,” aku mencoba berbicara sambil berusaha menghentikan tawaku dan memegang perutku yang rasanya sakit sekali karena aku tak henti-hentinya tertawa.

Ia memandang datar padaku. “Bukankah aku sudah berhenti mengatakan apapun sejak tiga menit yang lalu?”

Aku mengatur nafasku dan tawaku perlahan sudah mulai mereda. “Tapi wajah konyolmu itu membuatku tak bisa berhenti tertawa,” sungutku dengan menggigit bibir bawahku, ekspresi yang tanpa sadar selalu aku tunjukkan jika aku sedang kesal. Oh My demi Saturnus ekspresi datarnya itu benar-benar konyol dan tawaku masih belum bisa reda sepenuhnya.

Ia terkekeh lalu fokus pada wafle dan mochacinno di hadapannya. “Sudah sudah, berhenti tertawa. Lebih baik kau cepat habiskan makananmu lalu setelah ini kita pergi ke tempat lain,” ia menyodorkan sepotong wafle ke hadapanku dan aku menerimanya dengan sedikit enggan. Nafsu makanku langsung lenyap begitu saja karena aku terlalu banyak tertawa.

Pria di hadapanku ini mulai sibuk dengan makanannya, sedangkan aku yang tak begitu bernafsu untuk makan lebih memilih menghabiskan vanilla latte di dalam gelasku sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh bagian café. Benar-benar ramai. Perhatianku tertuju pada karyawan café yang sedang berada di balik meja kasir, sepertinya mereka sedang bercanda. Seorang gadis dan seorang pria. Ah aku jadi teringat temanku yang juga mengalami cinta lokasi di tempat kerjanya. Tapi aku tidak bisa langsung menyimpulkan mereka pasangan kekasih kan?

Melihat kebanyakan karyawan café ini adalah anak muda seusiaku membuatku rasanya juga ingin bekerja part time untuk mengisi liburanku ini, lumayan kan untuk menambah uang sakuku.

“Darwin apa kau sibuk??? Bisa kah kau membantuku sebentar??!!,”, teriak seorang karyawan café yang berdiri di ambang pintu masuk membuat semua pasang mata yang berada di dalam café tertuju padanya dan membuat pria itu langsung membekap mulutnya lantas membungkukkan badannya meminta maaf.

Apa dia bilang? Darwin?

“Darwin cepatlah..,” teriak karyawan itu kembali lalu setelahnya ia keluar café dengan tergesak-gesak.

Dengan cepat aku menolehkan kepalaku mencari sosok bernama Darwin itu. Dan Demi Yupiter seluruh sistem sarafku berhenti bekerja ketika seorang karyawan café berdiri dari balik meja kasir lantas berjalan dengan langkah tergesak menuju pintu. Ia berjalan melewatiku yang terus menatap padanya hingga tubuhnya menghilang di balik pintu. Itu... Dia Darwinku. Dia Darwin mantan kekasihku.

Darwin bekerja di sini? Pandanganku mendadak kosong dan tubuhku seolah kaku untuk bergerak. Berbagai pertanyaan muncul di dalam benakku mengenai pria itu. Jadi pria yang kulihat sedang bercanda dengan gadis sesama karyawan café di balik meja kasir itu adalah Darwin? Kenapa aku tidak mengenalinya? Dan lagi, apa sejak tadi ia melihatku?

Lantas jika ia melihatku, kenapa ia tidak menyapaku? Atau ia memang tidak melihatku? Tapi mataku bisa dengan jelas menangkap pandangannya yang berjalan melewatiku tadi, ia juga menatapku. Apa dia sudah tidak ingat denganku? Atau jangan-jangan ia memang sudah memiliki kekasih, dan gadis itu bisa jadi gadis yang tertawa bersamanya tadi.

Dia sepertinya tak pernah merindukanku.

“Kau baik-baik saja Mer?”

Mataku mengerjap seiring dengan kesadaranku yang kembali pulih. “Oh i iya ak aku,,, aku baik-baik saja,” aku memaksakan sebuah senyum pada Kak Rahman yang sepertinya sudah menghabiskan semua makanannya.

Ia melirik piring berisi wafle di hadapanku. “Wafle-mu tidak kau habiskan?”

Aku menggeleng pelan, “Aku sedang tidak selera makan.” Jujur saja aku semakin tidak nafsu makan setelah melihat Darwin tadi.

“Ckk... Kau senang sekali membuang-buang makanan, kan mubazir. Jadi apa kau masih ingin tetap di sini atau kita pergi ke tempat lain?,”

“Kita pergi ke tempat lain saja,” jawabku cepat. Berlama-lama di sini bisa membuatku menangis meraung-raung. Berlebihan memang.

Sebenarnya tadi aku sangat bersemangat untuk jalan-jalan malam ini, tapi tiba-tiba saja semangatku luntur. Ingin sekali aku menemui Darwin, hanya sekedar menyapanya. Tapi aku takut, aku takut jika ia memperlakukanku seperti orang asing.

“Hey Mer kau melamun lagi,” Kak Rahman sudah bangkit dari duduknya menungguku yang masih duduk terdiam dengan pandangan kosong –lagi.

Kali ini aku kembali memasang senyuman, meskipun aku tahu senyumanku ini sangat kaku dan terlihat aneh tapi aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan kakak sepupuku. Memalukan.

###

Tak seorang pun tahu
Ku tersenyum bukan bahagia karena
Memang tak mungkin tanpamu
Oh jujur saja, ku tak mungkin jujur saja
Akan kucoba hidup tanpamu
Dan tak mengangis lagi
.

Hari Minggu lagi. Sepertinya sudah satu minggu aku pulang namun tak ada hal-hal yang membuatku terkesan. Sejak melihat Darwin beberapa hari yang lalu di café aku jadi tidak bersemangat melakukan apapun. Aku bahkan semakin sering menangis kalau malam.

“Umairoh... Kau sudah lama menungguku?,” Windy muncul dari dalam. Saat ini aku sedang berada di rumahnya untuk menjemputnya jalan-jalan.

Aku langsung memasang senyum terbaikku untuk sahabatku. “Yap kau benar. Aku menunggumu lamaaaaa sekali. Bahkan aku hampir tertidur,” candaku.

Windy mempoutkan bibirnya, “Padahal aku hanya ganti baju. Kau lihat kan wajahku bahkan tidak menggunakan make-up sama sekali,” ia langsung duduk di sampingku.

Aku terkekeh pelan. “Iya sayang aku hanya bercanda. Jadi, ayo kita pergi sekarang,” aku menarik tangannya untuk segera berjalan keluar.

Windy menahan tanganku saat aku mulai beranjak bangkit dari sofa ruang tamu. Aku menatap heran padanya. “Kau yakin kau baik-baik saja?,” jelas sekali nada bicaranya terdengar khawatir padaku.

Aku kembali tersenyum meyakinkannya kalau aku baik-baik saja. “Aku tak apa-apa Win...”

Ia menghela nafas lantas melepaskan genggaman tangannya pada lenganku membuatku kembali duduk di sampingnya. “Tapi kau bilang saat itu hanya melihat Darwin, kau yakin kau tidak melihat Romi di sana? Setahuku Romi juga bekerja di café yang sama dengan Darwin”

Aku refleks memutar mataku untuk berpikir, benarkah Romi juga ada café itu?. “Mungkin aku terlalu sibuk menertawakan kak Rahman sampai aku tidak melihat Romi. Sudahlah jangan kau ingatkan aku lagi dengan hal itu, lebih baik kita pergi sekarang,” aku kembali bangkit dan menarik tangannya untuk mengikutiku menuju motorku yang kuparkirkan dengan manis di halaman rumahnya.

“Tapi kita mau kemana?,”

“Kemana saja asalkan bisa menghilangkan stress,” aku mengenakan helm-ku dan segera naik ke atas motorku. “Ayo Win cepat naik.”

Gadis itu dengan cepat duduk di belakangku. “Bagaimana kalau kita ke pasar?,” tawarnya setelah ia duduk dengan nyaman.

Alisku menyernyit, “Ke pasar? Untuk apa?”

“Untuk membeli beberapa bahan makanan. Ayolah, kau bilang kan kemana saja asal bisa menghilangkan stress. Yah meskipun aku tahu kalau pasar memang bukan tempat yang elit untuk menghilangkan stress tapi kita sudah lama sekali tidak ke pasar bersama, yaa”

Refleks aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa harus pergi ke pasar. Pasar? Yah aku tahu Windy memang tipikal gadis hemat dan ia selalu membeli segala keperluannya di pasar karena menurutnya harganya lebih murah. “Baiklah kalau begitu,” aku menjalankan motorku perlahan menuju pasar. Sejujurnya aku memang tidak memiliki rencana akan berjalan-jalan kemana jadi aku ikuti saja permintaannya.

***
“Kenapa kau membeli banyak sekali bahan makan Win? Sebenarnya kau ingin melakukan apa? Party?,” Windy lebih dulu turun dari motor dengan membawa dua bungkus belanjaan dan menyisakan sebungkus yang besar untuk kubawa.

“Heumm, bisa dibilang semacam pesta. Pesta pertemuan dua sejoli yang hatinya selalu terkait.” Aku menatap heran padanya. Siapa memangnya yang akan bertemu?. “Ayolah jalanmu lambat sekali”

Aku sedikit kesusahan menyeimbangkan langkahku karena bungkusan yang kubawa cukup berat. Jujur saja aku tidak tahu ini di mana dan ini tempat tinggal siapa.

“Ayo cepat Mer!,” teriaknya lagi yang berada lima langkah di depanku.

“Kau ini berisik sekali. Kau tidak lihat huh bungkusan yang kubawa jauh lebih berat dari pada yang kau bawa,” kesalku.

Kulihat ia tertawa dan menungguku mensejajarkan langkah dengannya. “Sebenarnya ini apartemen siapa? Keluargamu?,” aku mengedarkan pandanganku pada bangunan di depanku. Sebuah apartemen yang bisa kubilang cukup sederhana. Namun terlihat sangat bersih dan nyaman.

“Sudahlah ikuti saja aku,” titahnya lalu kembali berjalan mendahuluiku.

Aku hanya mengangkat bahuku acuh lalu kembali berusaha mensejajarkan langkahku dengan langkah besarnya untuk memasuki apartemen ini.

Kami menaiki lift menuju lantai tiga. Aku masih bertanya-tanya, sebenarnya Windy akan bertemu dengan siapa? Setahuku keluarganya tidak ada yang tinggal di apartemen. “Sebenarnya kita akan menemui siapa di sini? Ahh.. jangan bilang kau akan menemui kekasih gelapmu?,” aku menatap curiga padanya.

“Ckk... Kau ini berlebihan sekali. Kau cukup diam dan lihat saja nanti oke sayang,” Windy kembali berjalan mendahuluiku setelah dentingan pintu lift terbuka di lantai tiga.

Langkah Windy berhenti di depan pintu bernomor 060. Kebingunganku semakin bertambah karena senyum gadis itu semakin lebar ketika menekan bell di samping pintu bernomor 060 tersebut. “Kau jangan terkejut ya...,” bisiknya membuat kedua alisku kembali bertaut bingung.
.
.

Darwin

“Hyaaaa Romi berhentilah menghambur-hambur isi lemariku!,” teriakku kesal pada Romi yang mengobrak-abrik lemariku yang berisi kumpulan komik.

“Ckk, kau ini berisik sekali. Nanti akan aku bereskan,” jawabnya santai tanpa dosa.

Aku langsung mencibirnya. “Sejak kapan kau bisa membereskan apartemenku hah? Waktu itu saja kau membongkar-bongkar kulkasku dan akhirnya aku juga yang terpaksa harus membereskannya. Berhenti atau kau kulaporkan pada satpam karena sudah menganggu ketenangan penghuni kamar nomor 060”

Bagaimanapun ancamanku anak ini seperti biasanya tak pernah mau mendengarkanku. Membuatku menghela nafas dalam dan memilih mengacuhkannya lalu mengehempaskan tubuhku di atas sofa depan TV. Baru saja tanganku menggapai remote tv yang tergeletak manis di atas sofa di sampingku, bunyi bell pintu membuatku langsung mengabaikan benda persegi panjang berwarna hitam tersebut.

“Biar aku saja yang membukanya,” Romi dengan cepat berjalan mendahuluiku menuju pintu saat aku bangkit dari sofa. Aku mengikutinya dari belakang. Tentu saja aku harus tahu siapa tamu yang datang, ini kan apartemenku.

“Hey, kalian sudah datang?”

Jantungku mencelos dan mataku membelalak saat daun pintu dibuka lebar oleh Romi. Aku bisa melihat dengan jelas dua gadis yang berdiri di depan pintu dengan menenteng bungkusan yang aku tak tahu apa isinya. Seorang gadis yang berdiri lebih depan tersenyum sumringah menatapku dan Romi bergantian, dan gadis satunya lagi yang berada dibelakang ekspresinya tak bisa kujelaskan. Gadis itu menatap lurus padaku membuatku juga menatap dalam padanya.

Waktu seakan berhenti berputar.

Aku tahu ia terkejut karena aku bisa melihat matanya yang melebar serta ekspresi tak percayanya yang ia tunjukkan ketika menatapku. Dan aku bisa memastikan kalau puluhan sekon kami hanya saling menatap dalam diam. Tatapan itu, wajah itu... Aku bersumpah aku sangat merindukannya.

“Ehmm...,” suara Romi membuatku tersadar dan mataku mengerjap bersamaan kulihat Umairoh yang menatap Windy -gadis disampingnya- dengan tatapan menuntut. “Jadi apa kau hanya akan membiarkan para gadis ini berada di luar Win?,” Romi menatapku dengan senyuman misteriusnya.

Sungguh aku tak tahu sebenarnya apa yang ia sembunyikan dari senyumannya itu.

“Oh, i iya silakan ma..suk,” ucapku kaku. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa penampilanku aneh. Rambutku, apa berantakan. Lalu bajuku, apa terlalu lusuh. Dan apartemenku, astaga apartemenku berantakan.

“Silakan duduk ladies, biar aku ambilkan minuman untuk kalian,” Romi mendorongku dan membawa langkahku menuju dapur membiarkan kedua gadis itu duduk di sofa depan tv.

Aku menghujam Romi dengan tatapan menuntut penjelasan ketika sudah berada di dapur, “Kenapa mereka berdua bisa kemari??,” ucapku tak percaya dan mengacak-acak rambutku.

Ia mengangkat kedua alisnya bingung. “Memangnya kenapa? Kau tidak senang kalau mereka datang? Bukankah salah satu dari gadis itu sangat kau rindukan?”

“Siapa? Umairoh? Tapi aku tidak mungkin kan membiarkan kekasih orang masuk ke dalam apartemenku?”

Gerakan Romi terhenti untuk menuangkan limun ke dalam gelas, ia menatapku dengan alis mengkerut, “Kekasih? Maksudmu Umairoh sudah punya kekasih?”

“Yeah, kau tidak ingat saat kita melihatnya di café waktu itu?”

Romi kembali menuangkan limun ke dalam empat buah gelas tak berniat menjawab perkataanku.

“Rom,” lirihku karena aku benar-benar belum siap bertemu dengan Umairoh saat ini.

“Kau kan tidak memiliki bukti kalau pria waktu itu adalah kekasihnya,” jawabnya acuh lantas berjalan mendahuluiku meninggalkan dapur.

Kupegangi dadaku. Rasanya benar-benar sulit bernafas saat ini karena jantungku berdetak tak terkendali.

“Hey Darwin apa yang kau lakukan di dapur?? Kau ingin mengacuhkan tamu kita yang datang??!!,” teriak Romi dari luar dan membuatku terpaksa melangkah gontai menemui mereka. Jujur saja aku gugup, dan... malu.

“Naah ini dia Tuan rumah akhirnya datang. Kau ingat padaku kan Darwin?,” Windy menatapku dengan pandangan berbinar. Tentu saja aku mengingatnya, bagaimana mungkin aku melupakan temanku semasa SMA.

Aku mengangguk pelan dan mencoba menarik kedua sudut bibirku meskipun kuakui pasti terlihat aneh.

“Bagaimana dengannya? Kau tidak mungkin melupakannya kan?,” Windy menoleh pada gadis di sampingnya yang duduk dengan tidak nyaman dan sejak tadi wajahnya hanya menunduk.

Aku kembali mengangguk dan tersenyum canggung saat gadis di samping Windy mengangkat wajahnya dan pandangan kami kembali bersibobrok menimbulkan getaran aneh di dalam dadaku saat menatap iris hazelnya.

“Oh kenapa suhu di ruangan ini tiba-tiba jadi panas?,” Romi berteriak heboh sambil mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajahnya. Aku tahu ia sengaja melakukan itu dan aku menatapnya dengan ekspresi jangan-membuatku-malu-atau-kau-kucincang.

“Eumm, aku dan Umairoh sudah membeli banyak sekali bahan makanan. Kurasa tak ada salahnya jika kita membuat pesta kecil-kecilan. Anggap saja semacam pesta reuni,” Windy membuka suaranya setelah sebelumnya aura canggung lagi-lagi melingkupi kami. Lebih tepatnya antara aku dan Umairoh.

“Yaah kau benar Dy. Jadi apa saja yang kalian beli?,” Romi memeriksa isi bungkusan yang tadi dibawa Windy dan Umairoh. Kulirik dengan sudut mataku Umairoh sejak tadi hanya diam saja, ia bahkan lebih sering menunduk. Apa dia tidak ingin bertemu denganku?

“Ya sudah ayo kita ke dapur dan memasak sama-sama,” Windy bangkit disusul Romi menuju dapur meninggalkanku dan Umairoh yang masih bergeming.

“Ehmm,” aku mencoba mengeluarkan suaraku. Umairoh sontak menatapku dan membuatku kembali tersenyum canggung, “Apa sebaiknya kita juga membantu mereka?,” tawarku. Ia langsung mengangguk dan kami berjalan menuju dapur dalam diam.

###

Mungkin kau ku juga ada di hatimu
Mungkinkah kau menangis mengingatku
Mungkinkah kau pun memendam perih
Dan tenggelam dalam
Kerinduan...
.

Sekarang bisa kusimpulakan kalau semua ini adalah rencana Romi dan Windy. Dan beginilah akhirnya, aku dan Umairoh terjebak berdua di dalam apartemenku setelah kami selesai makan makanan yang kami buat untuk pesta kecil-kecilan kami. Windy dan Romi sedang keluar dengan alasan untuk membeli makanan kecil. Tadi Umairoh sempat merengek pada Windy agar ia diijinkan untuk ikut tapi Windy menolaknya dan dengan segera kedua makhluk itu keluar dari apartemenku meninggalakan kami dalam kecanggungan yang benar-benar terasa.

Jujur aku tak suka keadaan seperti ini.

Di luar sedang gerimis, dan aroma tanah basah langsung tercium dari jendela apartemenku yang terbuka. Oh Tuhan bagaimana aku menghadapi situasi ini? Jantungku sudah benar-benar tak terkendali.

Kutatap Umairoh yang sedang berdiri di tepi jendela sambil mengulurkan tangannya menangkap titik-titik hujan dengan telapak tangannya. Ia berdiri membelakangiku. Sungguh jika aku tidak menggunakan otakku aku pasti sudah langsung menghambur memeluknya dengan membabi buta. Aku benar-benar merindukannya. Tak tergambar betapa besarnya perasaan ini yang membuncah dalam rongga dadaku.

“Ehmm,” aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya dari hujan di luar sana.

Ia menatap terkejut padaku yang sekarang sudah berdiri di sampingnya dan melakukan hal yang sama dengannya. Tak ada suara yang ia keluarkan membuatku menatap heran padanya. Kutarika nafas dalam lalu kembali berusaha mengeluarkan suaraku. “Bagaimana kabarmu?,” suaraku terdengar sumbang. Oh ya jujur saja ini hanya pertanyaan basa-basi dan terdengar konyol. Bukankah aku bisa melihat dengan jelas kalau ia baik-baik saja? Tsssk.

Ia masih fokus pada titik-titik hujan yang menyapu telapak tangannya. “Seperti yang kau lihat, aku.. baik-baik saja,” jawabnya tanpa menatapku sama sekali.

Aku hanya mengangguk pelan dan menatap lurus keluar jendela, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Saat kami sedang makan tadi pun ia lebih banyak diam dan hanya akan berbicara jika di tanya.

“Kau sendiri bagaimana?”, aku menoleh dengan cepat ke arahnya setelah akhirnya ia membuka suaranya lagi.

Entah kenapa tanpa sadar kedua sudut bibirku tertarik begitu saja, “Sama sepertimu, aku baik-baik saja.” Aku kembali ingin membuka suaraku, menanyakan satu hal yang sangat menggangguku.

“Aku/Kau”, ucap kami bersamaan. Aku dan dia sama-sama terkejut setelahnya dan kulihat ia refleks mengigit bibir bawahnya.

“Kau duluan,” pintanya.

Kuhela nafasku sebelum mengatakan sebuah kalimat yang ingin sekali kutanyakan langsung padanya, “Bagaimana dengan orang tuamu? Mereka baik-baik saja?.” Oh Tuhan kenapa aku menanyakan pertanyaan basa-basi seperti itu lagi. Ayolah Darwin tanyakan apakah pria yang bersamanya saat itu adalah kekasihnya atau bukan...

“Hmm, Ayah dan Ibuku mereka baik-baik saja.”

Aku mengangguk menanggapi jawabannya. “Sekarang giliranmu”

Kali ini kulihat ia yang menghela nafas lalu menatapku setelah ia menyingkirkan tangannya dari jendela. Iris hazelnya seperti magnet menarikku untuk menatap dalam dan menyelami indahnya iris hazel tersebut. Untuk sekian menit kami hanya saling menatap dalam diam. Seandainya ia tahu kalau aku benar-benar merindukannya. Seandainya ia tahu aku masih mencintainya.

Tubuhku seperti tersengat listrik berkekuatan 60 joule saat ia tiba-tiba memelukku erat. Jantungku kembali berpacu tak terkendali dan aku sama sekali tak tahu harus melakukan apa. Seluruh persendianku mati rasanya. Tubuhku seolah beku mendadak.

Ia semakin mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di dadaku. Oh Tuhan semoga ini bukan mimpi di siang bolong atau lebih parahnya aku harap ini bukan imajinasi liarku.
.
.

Umairoh

Bodoh.

Apa yang kulakukan? Aku refleks memeluknya ketika aku sudah tak kuat lagi menahan perasaanku sejak tadi. Aku merindukan pria di hadapanku ini.

Aku semakin mengeratkan pelukanku, aku saat ini benar-benar ingin ia berada di dekatku. Kubenamkam wajahku dalam dada bidangnya, tempat ternyamanku untuk bersandar dulu saat aku sedang ada masalah. Tak ada tanda-tanda ia akan membalas pelukanku. Aku tahu ia tidak mungkin membalas pelukanku karena ia sudah punya kekasih.

Lantas setelah puluhan sekon aku puas memeluknya dan menghirup dalam aroma maskulin tubuhnya, kulepaskan pelukanku. Aku menelan ludahku gugup, aku benar-benar malu sekarang. Aku tak harus memeluknya seperti ini. Oh Tuhan, aku sudah mempermalukan diriku sendiri.

Saat tanganku mulai melepaskan tubuhnya, tiba-tiba saja ia kembali menarikku. Memelukku sangat erat dan ia kembali menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya. Dan tiba-tiba saja aku terisak pelan dan kembali kedua tanganku memeluknya. Isakanku semakin kuat ketika aku merasakan pundakku basah dan pendengaranku mendengar isakan kecil yang keluar dari mulutnya.

Kami berdua sama-sama terisak dan tenggelam dalam perasaan masing-masing. Ia tak protes ketika isakanku semakin kencang dan membuat bajunya basah, dan aku juga bisa merasakan tubuhnya bergetar seiring dengan pundakku yang terasa semakin basah. Aku mencengkram bajunya, berusaha menghentikan isakan yang terus saja keluar dari mulutku.

Sungguh aku ingin tetap begini beberapa menit saja. Biarkan aku memeluknya sebelum aku mendengar fakta kalau memang ia sudah memiliki kekasih.

Aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak cepat, teramat cepat malah. Dan aku yakin ia juga bisa merasakan bagaimana jantungku berdentam-dentam dan mungkin menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Ia semakin erat memelukku membuatku sedikit kesulitan bernafas.

Yang terdengar di dalam apartemennya saat ini hanyalah rintik air hujan di luar jendela dan isakan kami berdua. Aku mulai menikmati suasana ini, aku berharap bisa memeluknya sedikit lebih lama.

Setelah sekian menit kami hanya berpelukan dalam haru, aku mencoba melepaskan pelukannya dan menatap matanya yang sembab. Kupegangi kedua pipinya dengan kedua tanganku, dan aku bisa melihat ia tersenyum tulus untukku membuatku juga tak bisa menyembunyikan senyumanku.

Kedua tangannya masih berada di pinggangku, ia menyentuhkan dahinya dengan dahiku membuatku bersusah payah menelan ludahku karena terlalu gugup. Dalam jarak sedekat ini aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Aku juga bisa melihat dengan jelas rekfleksi tubuhku yang tergambar di dalam manik kelamnya.

“Aku merindukanmu,” lirihnya. Dan satu kalimat yang baru ia ucapkan tadi berhasil menerbangkan ribuan kupu-kupu di dalam perutku. Ia bilang ia merindukanku?

Jantungku seakan terlepas dari tempatnya setelah mendengar dua kata dari mulutnya. Ia merindukanku. Darwin bilang ia merindukanku! Oh Tuhan ini nyata kan??

Kembali aku memeluknya dan tak dapat menahan haruku. Seandainya ia tahu selama ini apa yang kurasakan, aku jauh lebih merindukannya. Sangat sangat merindukannya. Dan kini isakanku lebih kencang dari sebelumnya, ia pun membalas pelukanku dan bahkan memelukku sangat erat.

“Bodoh. Aku juga merindukanmu. Sangat-sangat merindukanmu.”

Ia melepaskan pelukanku dan manik kelamnya menatap dalam irisku hingga membuatku membeku dan hanyut dalam geming saat aku balas menatap irisnya. Ia kembali menyentuhkan dahinya dengan dahiku dan hangat nafasnya kembali menerpa wajahku yang membuat seluruh aliran darahku berdesir.

“Aku akan memberimu satu pertanyaan dan kau harus menjawabnya. Begitupun kau kuberi kesempatan untuk mengajukan satu pertanyaan dan aku akan menjawabnya,” perintahnya seolah harus kulaksanakan. Ckk, dia belum berubah juga ternyata. Ia masih suka memerintah dan bertindak sesukanya.

“Hmm,” aku mengangguk dan kini kedua tanganku beralih melingkar pada pinggangnya, sedangkan kedua tangannya menangkup kedua pipiku. Aku tak tahu bagaimana kondisi wajahku saat ini, kuyakin pasti sudah seperti kepiting rebus.

“Siapa-,” ia berhenti sejenak, terlihat ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Aku menatapnya menunggu kalimat yang akan ia katakan. “Siapa pria yang bersamamu saat di café waktu itu?”

Alisku bertaut, pertanyaan macam apa itu. “Itu Kak Rahman”

Ia berdecak pelan, “Aku tidak bertanya siapa namanya. Maksudmu apa pria itu-”, ia menelan ludahnya terlihat ragu lagi untuk menyelesaikan pertanyaannya. “-kekasihmu?”

Aku lantas tergelak setelahnya. Kekasihku? Kak Rahman? Yang benar saja.

Aku tersenyum masih dengan melingkarkan tanganku erat di pinggangnya. “Ia-kakak-sepupu-ku”

Terlihat jelas sekali matanya berbinar setelah mendengar jawabanku barusan. Lantas kemudian ia menghembuskan nafas lega. Membuatku kembali bingung, memangnya kenapa dengan pria itu?

“Giliranmu”

“Kau-“ sengaja aku menggantungkan kalimatku. Tapi aku tidak yakin harus mengatakannya atau tidak, dan tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku. Kedua alisnya terangkat menunggu kelanjutan kalimatku. Baiklah lebih baik kukatakan saja. “Sudah punya... Kekasih?”

Aku langsung menatap lantai setelah menyelesaikan kalimatku.

“Sudah,” jawabnya cepat membuatku kembali menatap matanya.

Oh langit serasa runtuh seketika. Benar, pasti gadis yang bersamanya di café saat itu. Aku kembali menunduk, terlalu malu untuk menatap matanya. Kenapa rasa percaya diriku tinggi sekali ketika kuyakin jika ia merindukanku karena masih memiliki perasaan yang sama denganku. Ia hanya merindukanku sebagai teman, mungkin.

Dengan segera kulepaskan kedua tanganku yang berada di pinggingnya. Seharusnya aku tidak melakukan hal ini padanya.

Ia tak bergeming masih menangkupkan kedua pipiku dengan kedua tangannya. Darwin kumohon jangan seperti ini. Membuatku merasa kau masih kekasihku.

Aku masih menunduk dan tak berani menatapnya. “Kekasihku masih sama seperti yang dulu,” bisiknya seduktif di telingaku membuatku lagi-lagi mengangkat wajahku untuk menatapnya.

Aku menatapnya seolah mengisyaratkan apa-maksud-mu?

Tak ada jawabannya, tapi...

Bibir hangat dan lembabnya mengecup keningku dengan teramat lembut. Sangat lembut. Membuatku tanpa sadar memejamkan kedua mataku karena perlakuannya.

Ia mengecup keningku sekilas, lantas kembali membawaku ke dalam tatapannya yang teduh. “Aku tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya, Umairoh.”

Aku tak dapat menahan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Ia tersenyum begitu hangat kali ini, dan kembali mengecup keningku seperti tadi. Membuatku kembali tanpa sadar memejamkan kedua mataku.

Bibirnya bertahan cukup lama di keningku hingga...

“HYAAAA!! APA YANG KALIAN BERDUA LAKUKAN HAH????,” teriakan Windy sontak membuat kontak kami terlepas.

“Darwin kau mau berbuat mesum huhh??,” sinis Romi di samping Windy dengan menunjukkan smirknya.

Aku menelan ludahku gugup. Oh kumohon kalian berdua jangan berpikir yang bukan-bukan.

“Ka ka-kami, kami ti tidak,, tidak melakukan apapun sungguh,” Darwin mencoba menjelaskan dengan terbata-bata. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menatap Windy yang memandang garang padaku.

“Kami meninggalkan kalian berdua untuk berbaikan, bukan untuk berbuat mesum!,” Romi berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya.

“Bu, bukan begitu. Ka kami hanya.. Kami-“, oh kenapa aku juga jadi tergagap seperti ini. Kami kan tidak melakukan kesalahan.

“Hanya apa huh?,” sekarang Windy melipat tangannya di depan dada.

“Kami hanya bernostalgia,” jawab Darwin cepat dan menarik tanganku membawaku berlari keluar apartemennya.

“Hey kalian mau kemana???!” Romi berteriak di ambang pintu.

Sedangkan Darwin tak menghiraukan teriakan Romi, ia terus menarikku berlari keluar hingga di depan lift. “Kita mau kemana?,” jujur saja aku bingung. Kenapa kami berdua harus berlari-lari seperti buronan sih.

“Ke tempat sepi di mana tidak ada dua makhluk pengganggu seperti mereka,” ia mengeratkan genggaman tangannya dan tersenyum tulus padaku.

Sungguh aku tak kuasa menahan kedua sudut bibirku untuk tidak membentuk sebuah lengkungan. Iya Darwin benar, kami perlu tempat dimana hanya ada aku dan dia untuk membicarakan banyak hal yang terjadi selama satu tahun terakhir ini.

Apakah selama ini ia juga merasakan apa yang kurasakan?

Apakah selama ini ia juga selalu memikirkanku?

Apakah selama ini ia juga masih berharap aku sebagai kekasihnya?

Mungkin.

.
.
FIN

###

Yeyeyelalalala...
Yesung ganteng, Yesung cakep, Yesung unyu, Yesung manis, Yesung daebak!! Yesung jjang!!!
Wookeeeeh, ini keinspirasi karena kerinduanku pada kakak-kakak “S4”, siapa lagi kalo bukan kak Firly yang Sexy, kak JJ yang Sweet, kak Alif yang Smart, and kak Arthur yang Sentimentil.
Tapi kenapa S4 ‘katanya’ bubaaaaaar? T_T /nangis seember/
Padahalkan lagu-lagu mereka asik semua...
Kenapa lagu “Mungkin” yang jadi inspirasinya? Karena nggak sengaja playlist k-pop di notebook-ku lagi muter lagunya 2 am “I wander if you hurt like me”, jadi keingetan S4 ada nyanyi lagu itu tapi versi Bahasa Indonesia dengan judul “Mungkin”, nah jadilah langsung keinspirasi dari tuh lagu.
Waktu bikin cerita ini ada berbagai feel yang muncul, awalnya pengen fokus pada lagu “Mungkin” aja, lalu kenapa lagi-lagi playlist K-pop di notebook-ku secara acak muter lagunya B.A.P yang ‘Coffe Shop’, terus lanjut ke lagunya Yesung ‘For One Day’ dan terakhir aku dapat feel setelah dengerin lagunya Boyfriend ‘Alarm’.
Heheehh, panjang bin ngebosenin banget yah ini cerita? Maap yah... padahal harusnya malah lebih panjang lagi ini, ini aja sudah banyak bagian yang di skip dan dipercepat alurnya.
Makasih yang sudah berkenan membaca dan saya ucapkan CHUKKAE alias CONGRATS alias SELAMAT bagi yang sudah bertemu kata “Fin” apalagi sampe baca bagian nggak penting ini. Wokeh, Yesungdah terima kasih sekali lagi... Saya hanya mahasiswi biasa yang mencoba belajar menuangkan ide dan imajinasi liar dalam bentuk tulisan.
Terakhir, cuman mau tereak kok :P
/injek caps/
HYUN SEONG ‘BOYFRIEND’ KOK MAKIN CAKEP DAN MACHO YAAAAA... ASDFGHJKL
*kabbboooor*