1, 2, 3
Dorr!
.
.
Author:
Aisyah a.k.a
Cloudisah
Cast: Palupi, Darwin
Rating: PG-20
Lenght: Vignette
Ps: Cerita kedua buat koncoku, Eni
Palupi... Cerita pertama yang One Spring Day itu menurutku nggak bagus
banget... tapi semoga yang ini nggak mengecewakan yaah... Happy Reading ^^
.
.
***
Pistol.
Darah.
Palupi
terlalu terbiasa dengah hal itu...
.
Jika pembunuh bayaran identik dengan
baju serba hitam dan membunuh korbannya dengan tak berperikemanusiaan, lain
halnya dengan Palupi. Wanita itu sudah menjalani profesinya sebagai ‘pembunuh
bayaran’ selama 12 tahun dengan cara anggun. Pembunuhan pertama yang ia lakukan
tepat di usianya yang ke-17 pada seorang pengedar ganja yang berasal dari
Thailand.
Saat itu ia berpura-pura sebagai
pengguna ganja dan memulai aksi pembunuhannya dengan menggoda sang pengedar
ganja. Tubuh seksi dan perawakan tinggi bak model, cukup menjadi modalnya. Dan
hap! Sekali tangkapan, Palupi berhasil mengelabui si pengedar ganja. Dalam
sebuah kamar hotel yang kedap suara, pintu kamar yang dikunci rapat, Palupi
menjalankan aksinya. Hingga terdengar bunyi ‘dorr’, dalam sekejap nyawa pria
itu melayang.
Jangan mengira Palupi adalah wanita
murahan yang akan menjual dirinya kepada korbannya sebelum membunuhnya. Selama
12 tahun ia menjalani profesinya dan sudah sebanyak tujuh puluh satu orang yang
menjadi korbannya, ia tak pernah berhubungan seks dengan korban-korbannya yang
kesemuanya adalah lelaki dengan nafsu hewan.
Jangan salahkan Palupi yang setega
itu dalam menjalani hidupnya. Ia sudah dikuasi dendam sejak berusia 11 tahun
saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ayahnya ditembak oleh pembunuh
bayaran. Tidak hanya satu tembakan, namun delapan tembakan tepat di jantung
ayahnya. Belum selesai sampai disitu, pembunuh biadab itu menusuk perut ayahnya
berkali-kali hingga darah segar menyeruak ke lantai. Bahkan saat ayahnya
meregang nyawa, pembunuh itu masih saja belum puas dengan memenggal pergelangan
tangan ayahnya.
Palupi kecil saat itu hanya bisa
menangis melihat kekejaman pembunuh itu pada ayahnya dari balik pintu kamar. Ia
tak tahu apa kesalahan ayahnya. Yang ia tahu saat itu adalah ketakutan. Hingga
usianya betambah, ia tahu apa tujuan hidupnya sekarang. Membalas dendam untuk
ayahnya.
Dan pembunuh ayahnya sudah mati di
tangannya. Namun meskipun begitu, ia masih terus melanjutkan profesinya. Karena
yang ia tahu, hanya dengan membunuh ia bisa bertahan hidup.
Palupi tidak hanya membunuh para
pengedar ganja, ataupun pengedar obat-obatan terlarang. Termasuk sekedar pesaing
bisnis dari kliennya pun sudah banyak yang menjadi korbannya.
Seperti targetnya kali.
Seorang pemilik klub malam. Siang
tadi kala Palupi usai dari makam ayahnya, ia mendapat e-mail dari seorang klien
yang merupakan pesaing bisnis dari calon korbannya kali ini. Ia tersenyum sinis
mendapati e-mail tersebut. Lagi-lagi persaingan dalam bisnis klub malam. Bukan
bisnis tabu lagi di abad dua puluh.
Baru selesai membaca e-mail tersebut,
ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomer tidak dikenal.
“Halo...”, Palupi menerima panggilan
tersebut sembari mengambil sebotol cola dari dalam kulkas.
“Selamat siang. Apa benar ini Nona
L?”, suara orang di seberang sana. Nona L. Nama Palupi yang dikenal oleh
klien-kliennya. Ia tak pernah memberitahukan nama aslinya. Sebenarnya tidak ada
alasan spesial kenapa ia memilih nama Nona L itu.
Palupi meneguk cola sebelum menjawab
menjawab pertanyaan penelpon itu, “Saya sendiri. Ada apa?”
“Saya Darwin, yang mengirimkan e-mail
kepada Anda. Apa Anda sudah menerima e-mail saya?”
“Sudah. Jadi kapan saya
melakukannya?”
“Malam ini. Ia pemilik Bar bernama
Lupin dan nanti malam akan ada pesta perayaan delapan tahun berdirinya bar itu.
Jika Anda sudah melakukannya, saya akan memberi Anda bonus tiga kali lipat dari
perjanjian”
“Baiklah”
Belum sempat Palupi mematikan
sambungan telponnya, pria di seberang sana kembali berucap, “Ia masih terlalu
muda dan tidak mudah dibunuh. Berhati-hatilah”
“Tak masalah”
Bip. Sambungan telpon terputus.
Membunuh pemilik Bar Lupin, Bar yang
cukup terkenal. Sepertinya menarik.
***
Lampu remang dengan musik yang
berdentam-dentam memekakkan telinga. Di tambah tarian panas di tengah lantai
dansa, belum lagi code dress malam ini yaitu mini dress. Dan wuhuu... Pria mana
yang tidak birahi ketika memasuki Bar Lupin. Perayaan ulang tahun klub malam
yang cukup terkenal.
Bad girl for bad boy.
Dengan mini dress merah menyala serta
high heel yang senada dengan dress yang ia kenakan, Palupi memasuki bar itu
dengan percaya diri. Pria mana yang tak tahan melihat kemolekan tubuhnya
meskipun lampu yang cukup remang. Palupi hanya menyunggingkan senyum kecut
melihat tatapan-tatapan buas para lelaki di sana. Ia terlalu terbiasa dengan
tatapan itu.
Hingga perayaan puncak, pemilik bar
itu menyampaikan pidato singkatnya sambil
mengangkat segelas advoca sebagai kesuksesan barnya. Semua yang hadir
bertepuk tangan riuh lantas mengangkat gelas masing-masing, bersulang. Palupi
hanya menatap jengah orang-orang itu.
Ia hanya duduk di kursi di depan meja
bartender sambil meneguk segelas air putih. Hey... Ia memang pembunuh bayaran,
tapi ia tak menyukai minuman beralkohol. Cukup memalukan memang. Tapi toh tak
ada yang tahu identitasnya.
Palupi masih menunggu timing yang
tepat melakukan aksinya. Menunggu pemilik bar itu turun dari panggung kecil
yang ada di tengah bar.
Hingga lima menit kemudian, pemilik
bar itu turun dari panggung dan berjalan menuju bartender, tepat di samping
Palupi.
Bingo.
Palupi tak perlu repot-repot
menghampiri pria itu karena pria itu lebih dulu menghampirinya. Palupi lantas
merubah ekspressinya -tersenyum semanis mungkin- berusaha menggoda pria itu.
Dan yeah, pria itu berdiri tepat di samping Palupi duduk masih sambil menenteng
segelas advoca, “Ingin bersenang-senang Nona?”
Pria itu meletakkan gelasnya di atas
meja bartender, lantas mengulurkan tangannya pada Palupi. Tentu Palupi
menerimanya dengan senang hati. Target sudah dalam genggaman. Tinggal
menjalankan aksinya.
Palupi dan pria itu menuju lantai
dansa. Tak banyak yang memperhatikan mereka karena orang-orang di sana sibuk
dengan urusan masing-masing.
Pria itu memeluk pinggang Palupi
untuk memangkas jarak di antara keduanya. Musik sudah berganti menjadi lagu
dansa yang slow. Palupi hanya mengikuti permainan pria di hadapannya. Pria itu
menyandarkan bahunya di pundak Palupi yang terbuka sambil menghembuskan
nafasnya, bermaksud merangsang wanita itu.
Mereka berdansa mengikuti alunan
musik, bergerak ke kiri dan ke kanan. Pria itu lagi-lagi dengan sengaja
menghembuskan nafasnya di tengkuk Palupi.
Palupi terkikih geli lantas ia
mengalungkan tangannya di leher pria itu. “Kau ingin permainan yang lebih
menyenangkan dari ini?”, lirih Palupi dengan nada serendah mungkin tepat di
telinga pria itu.
“Heum.. aku akan melihat seberapa
baik permainanmu”, pria itu mengedipkan sebelah matanya.
Lantas pria itu menarik Palupi keluar
dari lantai dansa dan menuju lantai dua di bar itu. Hingga langkah mereka
terhenti di depan sebuah pintu berpelitur coklat di ujung lorong lantai dua.
“Kau siap memulai permainan Nona?”
Palupi
masih memasang senyum menggodanya, “Aku sudah siap sejak tadi”
Pria itu membuka pintu dan menarik
Palupi ke dalamnya. Lantas setelahnya ia mengunci pintu, dan...
Brukk
Dengan sengaja, ia mendorong Palupi
dengan keras pada tembok kamar. Kedua lengan kekar pria itu mengunci tubuh
Palupi, dan Palupi yakin tatapan pria itu sejak tadi tak beralih dari bibir
merah mudanya. Mungkin setelah ini mereka akan melakukan ciuman panas, pikir
Palupi karna jarak mereka yang sudah terlalu dekat.
Pria itu makin mendekatkan wajahnya.
Nafasnya yang memburu menyapu wajah Palupi, hingga beberapa inchi lagi bibir
mereka saling bersentuhan. Palupi mulai memburamkan penglihatannya, mencoba
memejamkan matanya untuk menikmati sensasi ciuman panas dari pria tampan pemilik
bar yang terkenal di hadapannya. Sedikit bersenang-senang dulu mungkin tak apa.
Palupi sudah memejamkan matanya
beberapa detik, namun tak juga ia merasakan sesuatu yang basah di bibirnya.
Sial. Ia lantas membuka matanya dan mendapati seringaian dari pria di
hadapannya yang masih mengunci tubuhnya pada tembok. “Selamat datang ‘Nona L’”,
pria itu memberikan penekanan pada akhir kalimatnya.
Palupi sontak membulatkan matanya.
Ini tidak seperti perkiraannya. Benar, pria ini tidak semudah itu dibunuh.
Pria itu tersenyum mengejek, lantas
tangannya kirinya beralih menyentuh dagu Palupi berusaha membuat wanita itu
menatap matanya. “Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu? Pembunuh bayaran yang
sudah menghabisi puluhan korban dengan menggoda korban-korbannya”.
Tak ada sepatah katapun yang keluar
dari mulut Palupi. Otaknya masih memikirkan cara untuk menghabisi pria di
hadapannya. Brengsek. Pria ini sangat
mengetahui tentang dirinya.
Tangan kanan pria itu mengelus pelan
puncak kepala Palupi, kemudian beralih mengusap pelan bahu kanan Palupi yang
terbuka. “Kau sangat seksi malam ini. Tapi maaf, aku tidak akan tertipu olehmu.
Jadi... Bagaimana kalau kita bersenang-senang saja”, bisiknya seolah mengancam
wanita itu.
Palupi kembali memasang senyum
menggoda. Kedua tangannya ia kalungkan pada leher pria di hadapannya. Sedang
pria itu masih memegang dagunya, dengan mata mereka yang saling menatap satu
sama lain.
“Terima kasih kau sudah mengenalku.
Aku tidak menyangka kalau aku seterkenal itu”
Pria itu lagi-lagi memasang senyum
mengejek. “Aku akan membuatmu menyesal telah masuk ke dalam sarang harimau.
Tapi aku suka dengan keberanianmu itu Nona”
Palupi tak berniat untuk melanjutkan
perbincangan mereka. Ia lantas menarik pria itu agar semakin dekat dengannya.
Hingga jarak bibir mereka hanya tinggal 2 cm, Palupi berucap lirih, “Kita
bersenang-senang dulu, baru setelah itu kita lanjutkan perbincangan kita”
Tangan kanan pria itu menarik tengkuk
Palupi, sedang tangan kirinya memeluk pinggang ramping wanita itu. Hingga bibir
mereka saling bersentuhan, melumat satu sama lain. Ciuman itu benar-benar
panas. Palupi tidak menyangka, ciuman pria di hadapannya ini benar-benar
memabukkan. Bahkan ia lupa kalau saat ini ia hendak membunuh pria ini.
Cukup lama bibir mereka saling bertautan
hingga Palupi yang lebih dulu melepaskan ciuman itu dengan nafasnya yang
tersengal-sengal. Pria itu sama sekali tidak melepaskan kontak mereka, dahi
mereka masih saling bersentuhan. Nafas Palupi yang memburu membuatnya bisa
merasakan hangat nafas wanita itu menerpa wajahnya.
“Aku tak menyangka ternyata kau
sangat ahli berciuman”, pria itu menghapus saliva di sekitar mulut palupi
dengan ibu jari kanannya.
“Ini masih belum dimulai”. Palupi
kembali menautkan bibir mereka. Dan kali ini lebih panas dari sebelumnya. Lidah
mereka saling berkelit, sedikit kesusahan Palupi menyeimbangkan permainan pria
itu.
Di tengah ciuman yang terus berlanjut
itu, tangan kiri Palupi bergerak mengambil benda kecil berwarna hitam dari
dalam dressnya. Benda itu perlahan ia gerakkan tepat di jantung pria itu.
Palupi menghitung mundur dalam
hatinya, 1...2...3...
Seharusnya dihitungan ketiga benda
itu sudah menghasilkan bunyi ‘dorr’. Tapi sial baginya, pria itu dengan gesit
menarik benda hitam itu dari tangannya dan beralih menodongkan benda itu tepat
di hadapan Palupi. Kontak bibir mereka sudah terlepas, namun pria itu masih
mengunci tubuh Palupi. Tak membiarkan wanita itu bergerak satu centi pun.
“Kau pikir aku tak tahu apa yang akan
kau lakukan? Gerakanmu terlalu mudah dibaca Nona... Kau seharusnya melakukannya
dengan sedikit hati-hati, jangan terlalu terburu-buru”, pria itu menggerakkan
benda hitam itu pada leher Palupi. “Sudah kubilang kan, lebih baik kita
bersenang-senang dulu”
Palupi menatap tajam pria itu. Sedang
yang ditatap hanya menunjukkan seringaiannya, membuatnya terlihat mengerikan.
“Brengsek”, desis Palupi.
“Siapa yang brengsek? Aku?
Hahahaa...”, pria itu melepaskan tubuh Palupi dan berjalan menuju jendela besar
di samping kasur. Pria itu kini membelakangi Palupi yang masih menatap tajam
padanya.
“Ayahmu sudah mati secara
mengenaskan... Apa kau juga ingin bernasib sama dengan ayahmu yang menyedihkan
itu?”, pria itu berbalik dan menatap sinis pada Palupi.
Kalimat dari pria itu sontak membuat
aliran darah dalam tubuh Palupi terhenti. Pikiran gadis itu mendadak kosong.
“Kau...”
“Kenapa Nona? Kenapa kau terkejut
seperti itu??”, pria itu memasang ekspressi terkejut dibuat-buat. Kemudian ia
kembali menghampiri tubuh Palupi yang masih bergeming di depan tembok. “Apa kau
ingin bertanya dari mana aku mengetahuinya? Ayo tanyakan saja tidak usah
menatap takjub padaku seperti itu”, ujar pria itu sedkit heboh.
Palupi masih bergeming. Yang ia tahu
selama ini tak ada seorangpun yang mengetahui mengenai ayahnya. Tapi pria
brengsek ini...
“Waah... Nona, apa kau jadi bisu
mendadak? Semacam speechless begitu?”, pria itu kembali menyentuh dagu Palupi
yang membuat ia dengan terpaksa menatap mata pria itu.
“Orang yang membunuh ayahmu adalah
ayahku, dan ayahku... sudah kau bunuh dengan cara yang sama dengan
korban-korbanmu yang lain”
Mata hitam Palupi melebar. Ia
benar-benar terkejut, tidak menyangka lebih tepatnya. Dunia ini ternyata
benar-benar sempit.
“Kau terkejut Nona Palupi?”
Dan lagi-lagi Palupi hanya bergeming.
Pria ini benar-benar mengetahui segala tentangnya.
“Ah aku bosan denganmu. Dari tadi kau
hanya diam saja... Jadi apa kau ingin bersenang-senang dulu denganku atau kau
ingin langsung menemui ayahmu di neraka?”. Benda hitam itu kini beralih di dahi
Palupi. Palupi tahu, sekali pelatuk pistol itu ditarik maka dalam sekejap
nyawanya melayang. Nafasnya sudah terlalu tegang sekarang.
Palupi menghembuskan nafas dalam. Ia
tidak menyangka kalau membunuh pria ini membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Baiklah, kalau begitu ayo kita bersenang-senang dulu”
Pria itu menyingkirkan pistol itu
dari dahi Palupi. Mungkin Palupi bisa menghembuskan nafasnya dengna sedikit
lega. Namun siapa di sangka, pistol itu beralih menuju jantungnya.
“Kau pikir aku percaya denganmu?”
Oh baiklah. Sepertinya Palupi tidak
bisa menggunakan cara anggun kali ini. Pria di hadapannya sudah memancingnya
untuk bertindak dengan kekerasan. Saat pistol itu bertengger tepat di
jantungnya, Palupi segera menghindar dengan cepat. Namun kali ini ia kembali
sial, ia tidak berhasil menghindari pistol itu. Pria brengsek itu lebih dulu
menarik pelatuk pistol dan berhasil mengenai lengan kirinya.
“Aww, itu pasti sakit kan Nona? Aduh,
maapkan aku...”, pria itu menghampiri Palupi yang terduduk sambil memegangi
lengan kirinya. “Kau baik-baik saja?”
“Brengsek kau!”
Dengan gesit Palupi meninju wajah
pria itu dan merebut pistolnya kembali. Saat pistol itu berhasil ia dapatkan,
pria itu menarik kakinya. Menahan pergerakan Palupi hingga gadis itu kembali
terjatuh ke lantai.
“Tidak semudah itu Nona”, pria itu
kembali menghampiri Palupi dengan sedikit meringis akibat tinjuan Palupi yang
sangat kuat.
“Aku akan membuatnya menjadi mudah”,
sebelum pria itu menghampirinya, Palupi segera bangkit dan dengan tanpa ampun
menembak pria itu berkali-kali. Sampai peluru di dalam pistolnya habis, ia baru
berhenti dan menatap bengis pada pria itu.
“Kau yang membuatku melakukannya
dengan cara seperti ini”, Palupi menghampiri pria itu yang tergeletak di lantai
dengan bersimbah darah dan puluhan peluru timah bersarang di tubuhnya. Palupi
mengusap pelan wajah pria itu. “Ayahku dibunuh dengan cara mengerikan, tapi
ayahmu hanya kubunuh dengan pelan. Dan kau yang akan membayar kematian ayahku,
kau juga harus mati secara mengerikan dan mengenaskan”.
Tubuh pria itu sudah kaku dengan
mulutnya yang terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Mata pria itu juga terbuka
dan berwarna merah. Palupi menutup mata pria itu dengan pelan, “Kau harus
menutup matamu saat mati. Aku tidak suka melihat matamu itu... eumm, kalau
begitu selamat tinggal. Kau bisa bertemu ayah tercintamu di neraka. Tolong
sampaikan salamku untuknya”
Palupi lantas bangkit berdiri dan
berjalan meninggalkan pria itu di dalam kamar. Ia langsung keluar dari bar itu
dan menuju mobilnya di parkiran.
Sebelum menghidupkan mesin mobil, ia
mengambil ponselnya di dashboard mobil untuk menghubungi seseorang, kliennya
tadi siang, Darwin.
“Halo Nona L”
“Aku sudah membunuhnya. Kau benar, ia
tidak mudah dibunuh. Aku minta naikkan bayarannya menjadi lima kali lipat”
Palupi mendengar pria di seberang
sana terkekeh pelan. “Baiklah Nona, aku akan segera mentransfernya ke
rekeningmu. Terima kasih sudah membantuku, kerjamu sangat bagus”
Palupi tak berniat berbasa-basi
dengan kliennya itu. Ia langsung mematikan sambungan telpon dan melempar
ponselnya sembarangan di atas dashboard. Ia mengigit bibir bawahnya menahan
sakit di lengan kirinya yang semakin banyak mengeluarkan darahnya.
“Pria brengsek”, geramnya tertahan.
Sebelum menjalankan mobilnya menjauh
dari bar itu, ia membuka sarung tangan yang berwarna senada dengan kulitnya
yang membungkus kedua tangannya. Inilah salah satu alasan kenapa selama ini
kepolisian tidak bisa melacak sidik jarinya.
Pembunuh profesional.
Dan Palupi segera menjalankan
mobilnya meninggalkan bar itu sembari menelpon teman dekatnya, “Umairoh, tolong
bantu aku mengeluarkan peluru di lenganku. Aku akan ke sana sekarang...”
.
Fin
***
Fiuuuhhhh...
*elap keringat dan ingus*
Eniiiii....
maapkan aku kenapa malah ceritanya jadi begini,,, aku hanya terus memainkan
jariku di atas keyboard sambil mengikuti apa yang ada di dalam imajinasi
liarku. Jangan timpukin aku, atau lebih parahnya... jangan tembaki aku T_T
Yesungdahlah
En, aku harap kamu nggak cekewa yah sama hasilnya... huhuhuuu
Pai pai
Eni... emmuaaach
*seret
Yesung ke warung mi ayam*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar