Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Senin, 05 Mei 2014

(Cerpen) 1, 2, 3 Dorr!



1, 2, 3 Dorr!
.
.
Author:

Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast: Palupi, Darwin

Rating: PG-20

Lenght: Vignette

Ps: Cerita kedua buat koncoku, Eni Palupi... Cerita pertama yang One Spring Day itu menurutku nggak bagus banget... tapi semoga yang ini nggak mengecewakan yaah... Happy Reading ^^

.

.

***

Pistol. Darah.

Palupi terlalu terbiasa dengah hal itu...

.

Jika pembunuh bayaran identik dengan baju serba hitam dan membunuh korbannya dengan tak berperikemanusiaan, lain halnya dengan Palupi. Wanita itu sudah menjalani profesinya sebagai ‘pembunuh bayaran’ selama 12 tahun dengan cara anggun. Pembunuhan pertama yang ia lakukan tepat di usianya yang ke-17 pada seorang pengedar ganja yang berasal dari Thailand.

Saat itu ia berpura-pura sebagai pengguna ganja dan memulai aksi pembunuhannya dengan menggoda sang pengedar ganja. Tubuh seksi dan perawakan tinggi bak model, cukup menjadi modalnya. Dan hap! Sekali tangkapan, Palupi berhasil mengelabui si pengedar ganja. Dalam sebuah kamar hotel yang kedap suara, pintu kamar yang dikunci rapat, Palupi menjalankan aksinya. Hingga terdengar bunyi ‘dorr’, dalam sekejap nyawa pria itu melayang.

Jangan mengira Palupi adalah wanita murahan yang akan menjual dirinya kepada korbannya sebelum membunuhnya. Selama 12 tahun ia menjalani profesinya dan sudah sebanyak tujuh puluh satu orang yang menjadi korbannya, ia tak pernah berhubungan seks dengan korban-korbannya yang kesemuanya adalah lelaki dengan nafsu hewan.

Jangan salahkan Palupi yang setega itu dalam menjalani hidupnya. Ia sudah dikuasi dendam sejak berusia 11 tahun saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ayahnya ditembak oleh pembunuh bayaran. Tidak hanya satu tembakan, namun delapan tembakan tepat di jantung ayahnya. Belum selesai sampai disitu, pembunuh biadab itu menusuk perut ayahnya berkali-kali hingga darah segar menyeruak ke lantai. Bahkan saat ayahnya meregang nyawa, pembunuh itu masih saja belum puas dengan memenggal pergelangan tangan ayahnya.

Palupi kecil saat itu hanya bisa menangis melihat kekejaman pembunuh itu pada ayahnya dari balik pintu kamar. Ia tak tahu apa kesalahan ayahnya. Yang ia tahu saat itu adalah ketakutan. Hingga usianya betambah, ia tahu apa tujuan hidupnya sekarang. Membalas dendam untuk ayahnya.

Dan pembunuh ayahnya sudah mati di tangannya. Namun meskipun begitu, ia masih terus melanjutkan profesinya. Karena yang ia tahu, hanya dengan membunuh ia bisa bertahan hidup.

Palupi tidak hanya membunuh para pengedar ganja, ataupun pengedar obat-obatan terlarang. Termasuk sekedar pesaing bisnis dari kliennya pun sudah banyak yang menjadi korbannya.

Seperti targetnya kali.

Seorang pemilik klub malam. Siang tadi kala Palupi usai dari makam ayahnya, ia mendapat e-mail dari seorang klien yang merupakan pesaing bisnis dari calon korbannya kali ini. Ia tersenyum sinis mendapati e-mail tersebut. Lagi-lagi persaingan dalam bisnis klub malam. Bukan bisnis tabu lagi di abad dua puluh.

Baru selesai membaca e-mail tersebut, ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomer tidak dikenal.

“Halo...”, Palupi menerima panggilan tersebut sembari mengambil sebotol cola dari dalam kulkas.

“Selamat siang. Apa benar ini Nona L?”, suara orang di seberang sana. Nona L. Nama Palupi yang dikenal oleh klien-kliennya. Ia tak pernah memberitahukan nama aslinya. Sebenarnya tidak ada alasan spesial kenapa ia memilih nama Nona L itu.

Palupi meneguk cola sebelum menjawab menjawab pertanyaan penelpon itu, “Saya sendiri. Ada apa?”

“Saya Darwin, yang mengirimkan e-mail kepada Anda. Apa Anda sudah menerima e-mail saya?”

“Sudah. Jadi kapan saya melakukannya?”

“Malam ini. Ia pemilik Bar bernama Lupin dan nanti malam akan ada pesta perayaan delapan tahun berdirinya bar itu. Jika Anda sudah melakukannya, saya akan memberi Anda bonus tiga kali lipat dari perjanjian”

“Baiklah”

Belum sempat Palupi mematikan sambungan telponnya, pria di seberang sana kembali berucap, “Ia masih terlalu muda dan tidak mudah dibunuh. Berhati-hatilah”

“Tak masalah”

Bip. Sambungan telpon terputus.

Membunuh pemilik Bar Lupin, Bar yang cukup terkenal. Sepertinya menarik.

***

Lampu remang dengan musik yang berdentam-dentam memekakkan telinga. Di tambah tarian panas di tengah lantai dansa, belum lagi code dress malam ini yaitu mini dress. Dan wuhuu... Pria mana yang tidak birahi ketika memasuki Bar Lupin. Perayaan ulang tahun klub malam yang cukup terkenal.

Bad girl for bad boy.

Dengan mini dress merah menyala serta high heel yang senada dengan dress yang ia kenakan, Palupi memasuki bar itu dengan percaya diri. Pria mana yang tak tahan melihat kemolekan tubuhnya meskipun lampu yang cukup remang. Palupi hanya menyunggingkan senyum kecut melihat tatapan-tatapan buas para lelaki di sana. Ia terlalu terbiasa dengan tatapan itu.

Hingga perayaan puncak, pemilik bar itu menyampaikan pidato singkatnya sambil  mengangkat segelas advoca sebagai kesuksesan barnya. Semua yang hadir bertepuk tangan riuh lantas mengangkat gelas masing-masing, bersulang. Palupi hanya menatap jengah orang-orang itu.

Ia hanya duduk di kursi di depan meja bartender sambil meneguk segelas air putih. Hey... Ia memang pembunuh bayaran, tapi ia tak menyukai minuman beralkohol. Cukup memalukan memang. Tapi toh tak ada yang tahu identitasnya.

Palupi masih menunggu timing yang tepat melakukan aksinya. Menunggu pemilik bar itu turun dari panggung kecil yang ada di tengah bar.

Hingga lima menit kemudian, pemilik bar itu turun dari panggung dan berjalan menuju bartender, tepat di samping Palupi.

Bingo.

Palupi tak perlu repot-repot menghampiri pria itu karena pria itu lebih dulu menghampirinya. Palupi lantas merubah ekspressinya -tersenyum semanis mungkin- berusaha menggoda pria itu. Dan yeah, pria itu berdiri tepat di samping Palupi duduk masih sambil menenteng segelas advoca, “Ingin bersenang-senang Nona?”

Pria itu meletakkan gelasnya di atas meja bartender, lantas mengulurkan tangannya pada Palupi. Tentu Palupi menerimanya dengan senang hati. Target sudah dalam genggaman. Tinggal menjalankan aksinya.

Palupi dan pria itu menuju lantai dansa. Tak banyak yang memperhatikan mereka karena orang-orang di sana sibuk dengan urusan masing-masing.

Pria itu memeluk pinggang Palupi untuk memangkas jarak di antara keduanya. Musik sudah berganti menjadi lagu dansa yang slow. Palupi hanya mengikuti permainan pria di hadapannya. Pria itu menyandarkan bahunya di pundak Palupi yang terbuka sambil menghembuskan nafasnya, bermaksud merangsang wanita itu.

Mereka berdansa mengikuti alunan musik, bergerak ke kiri dan ke kanan. Pria itu lagi-lagi dengan sengaja menghembuskan nafasnya di tengkuk Palupi.

Palupi terkikih geli lantas ia mengalungkan tangannya di leher pria itu. “Kau ingin permainan yang lebih menyenangkan dari ini?”, lirih Palupi dengan nada serendah mungkin tepat di telinga pria itu.

“Heum.. aku akan melihat seberapa baik permainanmu”, pria itu mengedipkan sebelah matanya.

Lantas pria itu menarik Palupi keluar dari lantai dansa dan menuju lantai dua di bar itu. Hingga langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu berpelitur coklat di ujung lorong lantai dua.

“Kau siap memulai permainan Nona?”

Palupi masih memasang senyum menggodanya, “Aku sudah siap sejak tadi”                          

Pria itu membuka pintu dan menarik Palupi ke dalamnya. Lantas setelahnya ia mengunci pintu, dan...

Brukk

Dengan sengaja, ia mendorong Palupi dengan keras pada tembok kamar. Kedua lengan kekar pria itu mengunci tubuh Palupi, dan Palupi yakin tatapan pria itu sejak tadi tak beralih dari bibir merah mudanya. Mungkin setelah ini mereka akan melakukan ciuman panas, pikir Palupi karna jarak mereka yang sudah terlalu dekat.

Pria itu makin mendekatkan wajahnya. Nafasnya yang memburu menyapu wajah Palupi, hingga beberapa inchi lagi bibir mereka saling bersentuhan. Palupi mulai memburamkan penglihatannya, mencoba memejamkan matanya untuk menikmati sensasi ciuman panas dari pria tampan pemilik bar yang terkenal di hadapannya. Sedikit bersenang-senang dulu mungkin tak apa.

Palupi sudah memejamkan matanya beberapa detik, namun tak juga ia merasakan sesuatu yang basah di bibirnya. Sial. Ia lantas membuka matanya dan mendapati seringaian dari pria di hadapannya yang masih mengunci tubuhnya pada tembok. “Selamat datang ‘Nona L’”, pria itu memberikan penekanan pada akhir kalimatnya.

Palupi sontak membulatkan matanya. Ini tidak seperti perkiraannya. Benar, pria ini tidak semudah itu dibunuh.

Pria itu tersenyum mengejek, lantas tangannya kirinya beralih menyentuh dagu Palupi berusaha membuat wanita itu menatap matanya. “Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu? Pembunuh bayaran yang sudah menghabisi puluhan korban dengan menggoda korban-korbannya”.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Palupi. Otaknya masih memikirkan cara untuk menghabisi pria di hadapannya.  Brengsek. Pria ini sangat mengetahui tentang dirinya.

Tangan kanan pria itu mengelus pelan puncak kepala Palupi, kemudian beralih mengusap pelan bahu kanan Palupi yang terbuka. “Kau sangat seksi malam ini. Tapi maaf, aku tidak akan tertipu olehmu. Jadi... Bagaimana kalau kita bersenang-senang saja”, bisiknya seolah mengancam wanita itu.

Palupi kembali memasang senyum menggoda. Kedua tangannya ia kalungkan pada leher pria di hadapannya. Sedang pria itu masih memegang dagunya, dengan mata mereka yang saling menatap satu sama lain.

“Terima kasih kau sudah mengenalku. Aku tidak menyangka kalau aku seterkenal itu”

Pria itu lagi-lagi memasang senyum mengejek. “Aku akan membuatmu menyesal telah masuk ke dalam sarang harimau. Tapi aku suka dengan keberanianmu itu Nona”

Palupi tak berniat untuk melanjutkan perbincangan mereka. Ia lantas menarik pria itu agar semakin dekat dengannya. Hingga jarak bibir mereka hanya tinggal 2 cm, Palupi berucap lirih, “Kita bersenang-senang dulu, baru setelah itu kita lanjutkan perbincangan kita”

Tangan kanan pria itu menarik tengkuk Palupi, sedang tangan kirinya memeluk pinggang ramping wanita itu. Hingga bibir mereka saling bersentuhan, melumat satu sama lain. Ciuman itu benar-benar panas. Palupi tidak menyangka, ciuman pria di hadapannya ini benar-benar memabukkan. Bahkan ia lupa kalau saat ini ia hendak membunuh pria ini.

Cukup lama bibir mereka saling bertautan hingga Palupi yang lebih dulu melepaskan ciuman itu dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Pria itu sama sekali tidak melepaskan kontak mereka, dahi mereka masih saling bersentuhan. Nafas Palupi yang memburu membuatnya bisa merasakan hangat nafas wanita itu menerpa wajahnya.

“Aku tak menyangka ternyata kau sangat ahli berciuman”, pria itu menghapus saliva di sekitar mulut palupi dengan ibu jari kanannya.

“Ini masih belum dimulai”. Palupi kembali menautkan bibir mereka. Dan kali ini lebih panas dari sebelumnya. Lidah mereka saling berkelit, sedikit kesusahan Palupi menyeimbangkan permainan pria itu.

Di tengah ciuman yang terus berlanjut itu, tangan kiri Palupi bergerak mengambil benda kecil berwarna hitam dari dalam dressnya. Benda itu perlahan ia gerakkan tepat di jantung pria itu.

Palupi menghitung mundur dalam hatinya, 1...2...3...

Seharusnya dihitungan ketiga benda itu sudah menghasilkan bunyi ‘dorr’. Tapi sial baginya, pria itu dengan gesit menarik benda hitam itu dari tangannya dan beralih menodongkan benda itu tepat di hadapan Palupi. Kontak bibir mereka sudah terlepas, namun pria itu masih mengunci tubuh Palupi. Tak membiarkan wanita itu bergerak satu centi pun.

“Kau pikir aku tak tahu apa yang akan kau lakukan? Gerakanmu terlalu mudah dibaca Nona... Kau seharusnya melakukannya dengan sedikit hati-hati, jangan terlalu terburu-buru”, pria itu menggerakkan benda hitam itu pada leher Palupi. “Sudah kubilang kan, lebih baik kita bersenang-senang dulu”

Palupi menatap tajam pria itu. Sedang yang ditatap hanya menunjukkan seringaiannya, membuatnya terlihat mengerikan. “Brengsek”, desis Palupi.

“Siapa yang brengsek? Aku? Hahahaa...”, pria itu melepaskan tubuh Palupi dan berjalan menuju jendela besar di samping kasur. Pria itu kini membelakangi Palupi yang masih menatap tajam padanya.

“Ayahmu sudah mati secara mengenaskan... Apa kau juga ingin bernasib sama dengan ayahmu yang menyedihkan itu?”, pria itu berbalik dan menatap sinis pada Palupi.

Kalimat dari pria itu sontak membuat aliran darah dalam tubuh Palupi terhenti. Pikiran gadis itu mendadak kosong. “Kau...”

“Kenapa Nona? Kenapa kau terkejut seperti itu??”, pria itu memasang ekspressi terkejut dibuat-buat. Kemudian ia kembali menghampiri tubuh Palupi yang masih bergeming di depan tembok. “Apa kau ingin bertanya dari mana aku mengetahuinya? Ayo tanyakan saja tidak usah menatap takjub padaku seperti itu”, ujar pria itu sedkit heboh.

Palupi masih bergeming. Yang ia tahu selama ini tak ada seorangpun yang mengetahui mengenai ayahnya. Tapi pria brengsek ini...

“Waah... Nona, apa kau jadi bisu mendadak? Semacam speechless begitu?”, pria itu kembali menyentuh dagu Palupi yang membuat ia dengan terpaksa menatap mata pria itu.

“Orang yang membunuh ayahmu adalah ayahku, dan ayahku... sudah kau bunuh dengan cara yang sama dengan korban-korbanmu yang lain”

Mata hitam Palupi melebar. Ia benar-benar terkejut, tidak menyangka lebih tepatnya. Dunia ini ternyata benar-benar sempit.

“Kau terkejut Nona Palupi?”

Dan lagi-lagi Palupi hanya bergeming. Pria ini benar-benar mengetahui segala tentangnya.

“Ah aku bosan denganmu. Dari tadi kau hanya diam saja... Jadi apa kau ingin bersenang-senang dulu denganku atau kau ingin langsung menemui ayahmu di neraka?”. Benda hitam itu kini beralih di dahi Palupi. Palupi tahu, sekali pelatuk pistol itu ditarik maka dalam sekejap nyawanya melayang. Nafasnya sudah terlalu tegang sekarang.

Palupi menghembuskan nafas dalam. Ia tidak menyangka kalau membunuh pria ini membutuhkan waktu yang cukup lama. “Baiklah, kalau begitu ayo kita bersenang-senang dulu”

Pria itu menyingkirkan pistol itu dari dahi Palupi. Mungkin Palupi bisa menghembuskan nafasnya dengna sedikit lega. Namun siapa di sangka, pistol itu beralih menuju jantungnya.

“Kau pikir aku percaya denganmu?”

Oh baiklah. Sepertinya Palupi tidak bisa menggunakan cara anggun kali ini. Pria di hadapannya sudah memancingnya untuk bertindak dengan kekerasan. Saat pistol itu bertengger tepat di jantungnya, Palupi segera menghindar dengan cepat. Namun kali ini ia kembali sial, ia tidak berhasil menghindari pistol itu. Pria brengsek itu lebih dulu menarik pelatuk pistol dan berhasil mengenai lengan kirinya.

“Aww, itu pasti sakit kan Nona? Aduh, maapkan aku...”, pria itu menghampiri Palupi yang terduduk sambil memegangi lengan kirinya. “Kau baik-baik saja?”

“Brengsek kau!”

Dengan gesit Palupi meninju wajah pria itu dan merebut pistolnya kembali. Saat pistol itu berhasil ia dapatkan, pria itu menarik kakinya. Menahan pergerakan Palupi hingga gadis itu kembali terjatuh ke lantai.

“Tidak semudah itu Nona”, pria itu kembali menghampiri Palupi dengan sedikit meringis akibat tinjuan Palupi yang sangat kuat.

“Aku akan membuatnya menjadi mudah”, sebelum pria itu menghampirinya, Palupi segera bangkit dan dengan tanpa ampun menembak pria itu berkali-kali. Sampai peluru di dalam pistolnya habis, ia baru berhenti dan menatap bengis pada pria itu.

“Kau yang membuatku melakukannya dengan cara seperti ini”, Palupi menghampiri pria itu yang tergeletak di lantai dengan bersimbah darah dan puluhan peluru timah bersarang di tubuhnya. Palupi mengusap pelan wajah pria itu. “Ayahku dibunuh dengan cara mengerikan, tapi ayahmu hanya kubunuh dengan pelan. Dan kau yang akan membayar kematian ayahku, kau juga harus mati secara mengerikan dan mengenaskan”.

Tubuh pria itu sudah kaku dengan mulutnya yang terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Mata pria itu juga terbuka dan berwarna merah. Palupi menutup mata pria itu dengan pelan, “Kau harus menutup matamu saat mati. Aku tidak suka melihat matamu itu... eumm, kalau begitu selamat tinggal. Kau bisa bertemu ayah tercintamu di neraka. Tolong sampaikan salamku untuknya”

Palupi lantas bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan pria itu di dalam kamar. Ia langsung keluar dari bar itu dan menuju mobilnya di parkiran.

Sebelum menghidupkan mesin mobil, ia mengambil ponselnya di dashboard mobil untuk menghubungi seseorang, kliennya tadi siang, Darwin.

“Halo Nona L”

“Aku sudah membunuhnya. Kau benar, ia tidak mudah dibunuh. Aku minta naikkan bayarannya menjadi lima kali lipat”

Palupi mendengar pria di seberang sana terkekeh pelan. “Baiklah Nona, aku akan segera mentransfernya ke rekeningmu. Terima kasih sudah membantuku, kerjamu sangat bagus”

Palupi tak berniat berbasa-basi dengan kliennya itu. Ia langsung mematikan sambungan telpon dan melempar ponselnya sembarangan di atas dashboard. Ia mengigit bibir bawahnya menahan sakit di lengan kirinya yang semakin banyak mengeluarkan darahnya.

“Pria brengsek”, geramnya tertahan.

Sebelum menjalankan mobilnya menjauh dari bar itu, ia membuka sarung tangan yang berwarna senada dengan kulitnya yang membungkus kedua tangannya. Inilah salah satu alasan kenapa selama ini kepolisian tidak bisa melacak sidik jarinya.

Pembunuh profesional.

Dan Palupi segera menjalankan mobilnya meninggalkan bar itu sembari menelpon teman dekatnya, “Umairoh, tolong bantu aku mengeluarkan peluru di lenganku. Aku akan ke sana sekarang...”

.
Fin
***

Fiuuuhhhh... *elap keringat dan ingus*
Eniiiii.... maapkan aku kenapa malah ceritanya jadi begini,,, aku hanya terus memainkan jariku di atas keyboard sambil mengikuti apa yang ada di dalam imajinasi liarku. Jangan timpukin aku, atau lebih parahnya... jangan tembaki aku T_T
Yesungdahlah En, aku harap kamu nggak cekewa yah sama hasilnya... huhuhuuu
Pai pai Eni... emmuaaach
*seret Yesung ke warung mi ayam*






Tidak ada komentar:

Posting Komentar