Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 19 Maret 2015

It Hurts


Rasanya begitu sesak ketika aku terjebak dalam hubungan yang disebut dengan FRIENDZONE. Aku benci mengakuinya tapi satu tahun terkahir menghabiskan waktu bersamanya cukuplah membuat duniaku penuh dengan berbagai warna di samping mejikuhinibiu. Kini semuanya begitu menyakitkan saat hubungan itu tak bisa dipertahankan karena perasaan berlebihan yang aku miliki.

Awalnya kupikir aku terlalu nyaman bersamanya sebagai teman. Namun lama kelamaan aku tenggelam dalam perasaan melebihi teman dan itu membuatku dibutakan akan inginku terhadapnya. Aku terlalu serakah menganggap ia milikku hingga aku sendiri yang merasakan kecewa yang teramat dalam. Akhirnya mungkin ia jengah denganku dan pergi dari hidupku yang sudah terbiasa dengannya. Kupikir aku bisa melepasnya dengan mudah mengingat kami hanya dalam hubungan FRIENDZONE itu.

Tapi nyatanya kudapati diriku menangis setiap hari –hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya selama hidupku- dan tak jarang aku mengelu-elukan namanya disela isakanku berharap kami bisa kembali berteman sampai kami lulus kuliah. Kini aku tak tahu bagaimana berhadapan dengannya. Aku juga tak tahu apa yang harus kulakukan ketika eksistensinya di dalam kelas namun aku tak bisa mengucapkan sepatah katapun padanya. Tak ada lagi ia yang tertawa di depanku. Tak ada lagi senyumnya yang membuat hari-hariku terasa menyenangkan.

Berat badanku turun saat aku demam dua minggu yang lalu. Tapi belakangan kuketahui aku tak berselera makan dan uring-uringan menjalani hidup karena aku begitu merindukannya. Tak ada lagi pesan singkat selamat malam darinya. Tak ada lagi ia yang menelponku berjam-jam. Tak ada lagi kami yang pulang kuliah bersama. Dan itu benar-benar-menyakitkan!

Pernah aku berpikir mungkin hal itu tak berlangsung lama dan kami akan kembali seperti dulu lagi. Namun kenyataan yang terjadi sebaliknya. Ia makin menjauhiku setiap harinya. Seolah kami adalah orang asing yang tak pernah mengenal. Benar-benar orang asing. Adakah ia sedikit saja mengingatku dan sedikit saja merindukanku?

Masih sama seperti kemarin. Aku menangis saat namanya terlintas di benakku. Aku tak bisa menahan air mataku saat kenangan bersamanya muncul dari memoriku. Aku tak bisa berpura-pura tertawa disaat aku begitu membutuhkannya. Aku menginginkannya di sisiku. Bukan sekejap saja seperti yang sering dilantunkan lagu-lagu sedih. Aku ingin ia di sisiku untuk waktu yang tak terhingga. Saling menggenggam tangan satu sama lain dan saling tertawa satu sama lain.

Jika memilih antara makanan dan dirinya, aku tentu akan memilih makanan. Tidak, itu bukan berarti aku tak menginginkannya. Aku memilih makanan namun dengan ia yang berada di sampingku dan menemaniku makan. Berlebihankah inginku ini? Aku terus mencoba melepaskan perasaan berlebih ini sehingga kami bisa dengan leluasa berteman.

Tapi sekarang apa yang bisa aku lakukan meskipun aku sudah melepaskan perasaanku jika ia tak lagi ada untukku? ;(

Tak bisakah piring yang retak dan hampir pecah itu diperbaiki?

Sungguh begitu menyakitkan dan menyiksaku. Menyakitkan saat aku bisa melihatnya namun aku tak bisa berbicara dengannya. Menyakitkan saat aku bisa melihatnya berjalan di depanku namun aku tak bisa berjalan di sampingnya. Menyakitkan saat melihatnya tertawa namun aku tak bisa tertawa bersamanya.

Betapa mirisnya hati ini mengingat kenangan kami yang tak terhitung jumlahnya. Dia yang sudah menghiasi malam-malam tergelapku namun kenyataannya tak lagi ada eksistensinya untukku.

Bisakah kita kembali berteman? Tak apa meskipun memulai dari awal.

Bisakah?

(Cerpen) Depancas Gaje Story: Kepompong


D’Pancas Gaje Story:
Persahabatan Bagai Kepompong (Kadang Kepo, Kadang Rempong)

.

*This story special for my birthday, and dedicated for D’pancas*
.
(Baru bisa diposting bulan Maret padahal ultah aku bulan Februari kemarin disebabkan lappy aku bermasalah, hehe)
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.
.

Warning: Typo...!
.

###

Hari yang paling menyebalkan buat gue tuh yah hari Senin. Apalagi coba kalo bukan harus dateng ke sekolahan pagi-pagi karena musti Upacara Bendera. Bukannya gue nggak suka ikutin tuh upacara, gue kan emangnya siswi yang memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi jadi gue seneng-seneng aja kalo lagi upacara. Lagian sekaligus mengenang gimana perjuangan para pahlawan dulu buat ngibarin Sang Merah Putih. Tapi... Yang bikin gue sebel tuh karena bell udah bunyi aja jam tujuh sekaligus pagar sekolah yang udah maen tutup sama Pak Satpam. Huh!

Jadi beginilah gue pagi-pagi ngos-ngosan habis ngayuh sepeda Polygon kesayangan gue menuju rumah Okta, sahabat gue yang beda sekolah sama gue. Gue ama temen sebangku gue-Rida namanya-emang markirin sepeda kita tuh di rumahnya Okta. Habisnya di sekolahan orang-orang uda pada naek motor, lah kan gue ama Rida malu dunk musti markirin sepeda kita di parkiran sekolah.

Jiah, nih Nyai jam berapa sih ke sekolahan pagi bener...

Gue membatin waktu liat sepeda Rida uda terparkir manis di samping rumah Okta. Kembali dengan sisa tenaga gue, gue lari secepat yang gue bisa buat sampe ke sekolahan karena gue uda denger sayup-sayup Waka Kesiswaan ngoceh pake mic dan itu tandanya bell bakalan bunyi dalam hitungan kurang dari lima menit. Butuh waktu lebih dari tiga menit dengan berlari dari rumah Okta menuju sekolahan karena jaraknya emang nggak terlalu jauh. Kaki gue udah bener-bener kram, nggak tau nih ntar sanggup apa nggak berdiri lama-lama buat upacara.

“Isah elo telat!” tereak sahabat satu gang gue, Diah namanya.

Gue nggak ngirauin tereakan Diah yang lagi jalan bersiap ke lapangan bareng konco-konco gue yang laen. Gue masih istiaqomah lari menuju kelas gue buat naroh tas. Kadang gue rada nyesel sekolah di sekolah sebesar ini karena selasar kelasnya aja udah berkelok-kelok menuju kelas gue, bahkan dari tadi gue berkali-kali nabrak siswa lain yang jalannya beda arah sama gue karena mereka mau siap-siap ke lapangan.

Habis naroh tas ransel kesayangan gue (gue cuman punya satu ransel jadi yah wajarlah itu jadi kesayangan) gue meriksa dulu pakaian gue sebelum menuju ke lapangan. Kaos kaki udah bener, terus ikat pinggang, jilbab gue nggak kebalik, sepatu udah hitam mengkilap, baju gue udah rapi.. Oke sip waktunya ke lapangan. Berhubung kami siswi yang pake jilbab nggak pake dasi, jadi gue bisa sedikit bernafas lega karena nggak perlu repot-repot pasang dasi, hahaa.

Gue pikir karena gue sedikit telat datangnya pagi ini, gue bisa baris rada-rada belakang. Jadi gue bisa ngobrol atopun jongkok kalo kaki gue pegel. Eh, nyatanya jadi siswa pendek itu nggak enakin banget.

“Sah, lo ke depan buruan gih. Ntar kelas kita ditegor,” seloroh Seksi Kebersihan yang nggak pernah turun dari jabatannya sambil dorong tubuh mungil gue ke depan barisan.

“Yah kok elo seenaknya gitu sih. Gue bosen tau di depan, lagian gue capek nih...” gerutu gue sambil berusaha berontak tapi sayangnya tenaga gue masih kalah jauh dari sang Seksi Kebersihan yang memiliki name tag Galih Santoso.

“Derita lo punya badan pendek, hahaa.” Habis bilang gitu, si Galih langsung balik lagi ke barisan belakang kelas. Gue cuman bisa pasrah dan pasang tampang cemberut karena gue berdiri di barisan paling depan dan paling banyak dapat pancaran sinar matahari pagi.

“Uda Bo sabar aja,” bisik Yuni konco gue di geng Depancas yang berdiri di samping kanan gue sambil gosokin minyak kayu putih ke tangannya. Sumpah tuh bau minyak kayu putih malah bikin perut gue mual nggak karuan.

“Gua yakin do’a kita paling diijabah sama Allah,” lirih gue ala-ala korban penganiayaan dan tampang teraniaya dibuat-buat.

“Kenapa emang?” tanya Dj yang baris di sebelah kiri gue. Dia juga konco gue di geng Depancas selain Yuni, Diah, dan Rida.

“Karena kita selalu dizholimi untuk baris paling depan,” tukas gue sambil ngurut kaki gue yang mulai pegel.

Dj cuman senyum nanggepin ucapan gue. Dan Yuni masih sibuk sama minyak kayu putihnya. Ngomong-ngomong, mana dua konco gue yang laen?

Gue berniat noleh ke belakang waktu Diah tiba-tiba berbisik di telinga gue yang bikin gue hampir keceplosan latah ayam-ayam, dan untungnya masih bisa gue tahan.

“Boo, gue punya berita baru nih,” bisik Diah yang bikin kedua mata gue yang udah lebar makin lebar.

“Berita apaan Bo?” tanya gue penasaran.

“Ntar deh habis upacara gue kasih tau ke kalian semua.”

“Oke sip.” Gue ngacungin jempol gue ke belakang dan detik berikutnya upacara pun dimulai dan termasuk penderitaan gue pun dimulai selama upacara berlangsung.

Kaki gue kram bangeeeet!

Gue cuman bisa pasrah dan tereak dalem hati. Semoga Pembina Upacara pagi ini nggak ngoceh panjang-panjang. Semoga.

.
-----5-----
.

“Jadi elo punya hot news apaan pagi ini?” tanya gue ke Diah yang duduk di belakang gue sambil nyenderin punggung gue ke sandaran kursi. Ugh, akhirnya badan gue bisa istirahat habis upacara yang bikin seluruh tulang gue mau patah.

“Kalian tau nggak kalo-“

“Dj ada Aqua nggak? Beli empat donk,” omongannya Diah kepotong karena Maulani yang langsung nyerobot ke meja Dj buat beli air mineral.

Dj ama Yuni tuh duduk di belakang gue. Sedangkan gue sebangku ama Rida, dan Diah sebenernya duduk rada jauh dari kita. Dia duduknya bareng Seksi Kebersihan yang nyebelin di deretan sebelah baris kedua. Tapi dia lebih sering kalo lagi istirahat ato jam kosong duduk di samping Yuni buat bergosip ria bareng kita-kita, hahaa.

“Nih Mul,” Dj nyodorin empat gelas air mineral ke Maulani. Sebenernya yang jualan itu tuh kami berlima, Depancas. Soanya itu tugas mata pelajaran Kewirausahaan buat jualan bagi semua anak kelas dua belas.

“Tengkyu Dj, ngutang dulu yah,” dan Maulani langsung kabur habis bilang ngutang. Kita mah cuman bisa geleng-geleng aja karena kami bakalan susah dapat laba kalo banyak temen-temen yang ngutang kayak gitu.

“Jadi apaan Di?” kali ini si Yuni yang mulai kepo. Biasanya sih berita dari Diah tuh selalu up to date.

“Kalian tau nggak ‘mantan’ gue si Mr. A?” Diah ngasih penekanan pada kata ‘mantan’.

“Iya tau lah, kan elo barusan putus ama dia. Kenapa emang?” kali ini giliran Dj yang angkat bicara.

“Dia.. dia... dia itu...”                                                                                           

“Dia kenapa emang?” tanya gue nggak sabaran.

“Dia baru aja nikah Bo!!” ucap Diah histeris.

“Hapaaaaahhh???” gue dan ketiga konco gue yang laen kaget berjama’ah.

“Elo serius? Elo tau dari mana? Bukannya elo belom nyampe tiga bulan putus sama dia? Kok dia langsung nikah-nikah aja? Terus elo diundang gitu ke nikahannya? Siapa istrinya? Anak mana? Gue kenal nggak kira-kira?” Yuni langsung nyerang Diah dengan berbagai pertanyaan.

Gue juga jadi kepo nih. Gila, gue nggak sanggup deh ngebayangin kalo di posisi Diah sekarang. Yah mungkin itulah nasib kalo punya pacar yang jauh lebih tua dari kita.

“Gue serius keleus. Iya gue juga nggak nyangka tuh anak baru aja putus sama gue, sekarang gue malah ditinggal nikah sama dia. Istrinya sih gue kurang tau anak mana, tapi dari yang gue denger namanya tuh Ita.”

What? Apa jangan-jangan Ita yang waktu itu di tempat gue Prakerin?” gue kali ini makin antusias. Soalnya setau gue, mantannya Diah itu sebelum pacaran ama Diah pernah juga pacaran sama Mba Ita, yang kerja di tempat fotokopi di samping kantor gue Prakerin kelas sebelas dulu.

“Kayaknya bukan sih Sah, soalnya gue liat fotonya tuh rada gendut gitu. Kalo Ita yang itu kan badannya kurus,” jawab Diah sambil kipas-kipas pake sobekan kardus bekas Aqua jualan kami.

“Terus elo tau dia nikah dari mana?” tanya Dj sambil ngitungin laba jualan kami selama seminggu.

Gue lirik Rida di samping gue yang cuman khusu’ dengerin obrolan kita tanpa niat ikutan buat sekedar interupsi. Konco gue yang satu itu mah emang pendiam Naudzubillah dah pokoknya.

Sebelum jawab pertanyaan Dj, Diah ngebanting potongan kardus yang dia jadiin kipas ke atas meja. Gue hampir latah ayam-ayam lagi dan kali ini gue kembali berhasil nahan kelatahan gue. “Gini ceritanya. Hari Sabtu sore gue ke rumah dia, terus-“

“Apa?? Elo ke rumah dia? Buat apa??” Diah natap tajam Yuni karena omongan dia main potong aja sama tuh anak. “Oups, oke lanjutkan.” Yuni nyengir kuda karena tatapan membunuh dari Diah.

Diah narik nafas dalam sebelum kembali ngelanjutin penjelasan dia. “Nah Sabtu sore gue ke rumah dia niatnya mau main aja sekaligus menyambung silaturrahim. Terus gue kaget waktu di ruang tamu itu ada foto dia pake baju penganten, baju adat Banjar. Nah, gilanya lagi pas gue dateng tuh cuman ada abahnya dia. Elo-elo tau nggak apa yang abahnya bilang?”

Kami serempak menggeleng kayak anak dugem.

“Abahnya natap gue sambil nanya, ‘Mba temannya A? Tapi sudah tau kan kalo A sudah nikah?’”. Oh My God disitu langsung jantung gue mao copot rasanya. Gue bilang aja iya, terus gue bilang gue cuman mau ngantar barang. Habis itu gue langsung pamit soalnya abahnya bilang dia lagi di rumah mertuanya. Ugh... Gue pengen tereak rasanya Boo...”

Gue speechless. Kalo gue jadi Diah juga rasanya nggak sanggup. Untung mantan gue belom nikah sekarang, haha.

“Elo baik-baik aja kan Diah?” akhirnya Rida ngeluarin suaranya juga.

“Gue emang baik-baik aja. Tapi... Gue iri banget sumpah. Gue jadi pengen cepet-cepet nikah jugaaak,” Diah mukul-mukulin meja pake potongan kardus yang dari tadi nggak lepas-lepas dari tangannya.

“Kuliah dulu Bo baru nikah,” jawab Yuni yang mulai ngeluarin buku Agama dari dalem tasnya.

“Tapi kok dia bisa cepet banget dapet pengganti elo,” ucapan Dj barusan dapat anggukan dari gue. Iya juga, baru aja tiga bulan putus udah dapat pengganti Diah dan langsung nikah pula. “Kalian emang nggak jodoh Diah. Sudahlah, nanti elo juga bakalan dapat cowok yang lebih baik dari dia.” Dj kali ini juga ikut-ikutan ngeluarin buku Agama.

“Woooey, Depancas begosip terus. Tuh Guru Agama uda di depan kelas!” tereak Ipur, cowok jangkung yang jago Akuntansi yang nyebelinnya sebelas dua belas sama Seksi Kebersihan, Galih.

Diah bangkit berdiri dan bersiap kembali ke kursinya. “Elo itu rese banget sih Pur. Lagian kita tuh nggak bergosip. Itu tuh f-a-k-t-a,” terang Diah habis duduk di kursinya.

“Intinya kalian rempong,” olok Pur sambil natap gue dan gue balas natap balik dia dengan tatapan membunuh ala mafia.

“Awas elo Pur, nggak kita ijinin lagi elo ngutang Aqua!” bacot gue sambil buka buku Agama karena guru Agama sudah mulai masuk kelas.

“Biarin, kan gue ngutangnya ama Dj.. Weee,” balas Pur nggak mau kalah sambil meletin lidahnya ke arah gue. Gue mah pasrah aja karena tuh anak makin dilawan makin menjadi-jadi.

“Assalamualaikum...” guru Agama masuk dengan wibawa beliau.

“Waalaikumsalam...” jawab kami serempak.

Dan pelajaran agama-pun dimulai, dan juga dimulai pula penderitaan siswa-siswa yang belum nyelesaikan hafalan Surah Pendek mereka. Untung gue udah hafal semua, xixixi...

.
-----5-----
.

Gue sih sebenernya rada menyayangkan kalo guru nggak masuk itu, soalnya bakalan ketinggalan pelajaran. Tapi gue nggak bisa ngebohongin diri gue sendiri kalo gue seneng nggak ada guru alias jam kosong kayak sekarang ini. Yah, yang pasti ini waktunya gue buat ngerempong ria bareng konco-konco gue.

Kayak sekarang nih. Guru Akuntansi Biaya lagi nggak masuk. Sebenernya ada tugas ngerjakan Laporan Harga Pokok Produksi, cuman yah karena dikumpulkan besok jadi bisa aja toh nanti malem ngerjakan di rumah? Haha. Akhirnya di sinilah gue dan konco-konco gue ngabiskan waktu nunggu bell istirahat kedua, di selasar kelas di deket pohon pinus yang nggak terlalu tinggi. Ini adalah tempat favorit gue dan konco-konco gue soalnya adem dan juga kalo mau ngegosip di sini nggak bakal ganggu kelas lain yang lagi belajar.

“Gue gugup Bo. Ujian Nasional nggak lama lagi,” keluh Dj sambil nyomotin keripik singkong pedas favoritnya yang tadi dia ama Yuni beli di Koperasi Sekolah.

“Elaah, ngapain gugup. Kita kan masih semester satu,” jawab gue setelah nyenderin punggung gue pada salah satu tiang.

“Tetep aja keleus gugup mah. Apalagi UN Akuntansi, gue nggak begitu paham,” Dj masih khusuk nyomotin keripiknya tanpa niatan buat bagi-bagi. Eh, lagian dia bagi-bagipun gue nggak doyan keripik pedes.

“Serius elo nggak paham Dj? Kita kan uda kelas tiga?” tanya Diah heboh.

“Gue cuman rada bingung ama Jurnal Penyesuaian. Emang elo udah paham semua Laporan Keuangan?” tanya Dj balik.

“Elo aja nggak ngerti, apalagi gue.”

Kita mah ketawa aja denger kejujuran Diah. Iya juga sih, bentar lagi ujian tapi rada bingung juga ntar soalnya buat UN Akuntansi nanti tuh ngerjain Jurnal sampe ke Laporan Keuangan termasuk Buku Besar. Banyak banget, yah semacam gabungan semua pelajaran dari kelas sepuluh dan kelas sebelas ditambah sedikit pelajaran kelas dua belas. Apalagi Komputerisasi Akuntasi, MYOB. Bikin otak gue jadi kempes -_-

“Kita belajar bareng yok Bo,” ajak Yuni.

“Belajar di mana?” Rida yang dari tadi cuman mandangin kelas TKJ, nggak tau dia cari siapa, akhirnya ikut nimbrung. Gue pikir nih anak cuman raganya di sini, tapi nyawanya entah kemana.

“Gimana kalo di rumah Dj aja? Di loteng rumah Dj kan banyak anginnya, sejuk,” tawar Diah.

“Boleh juga, di rumah gue nanti sore habis Ashar gimana?”

Gue sih manggut-manggut aja tanda setuju. Gue liat juga kayaknya Yuni dan Rida setuju-setuju aja.

“Kalo ada yang punya buah di rumahnya dibawa ya Boo,” usul Diah lagi.

“Gue sih adanya timun,” jawab gue mengingat mama gue yang darah tinggi dan perlu buah timun setiap hari.

“Kalo gue punya kedondong dari rumah nenek gue, elo ada buah apa di rumah lo Da?” tanya Yuni sambil copotin ujung-ujung daun pinus sampe berserakan.

“Ntar gue liat dulu ya, rasanya ada jeruk sih.”

“Gue ntar sore bawa belimbing ya ceman-ceman, soalnya pohon belimbing di depan rumah gue uda pada mateng,” tukas Diah bersemangat.

“Beuh, boleh juga tuh Diah. Bawa yang banyak yah...” pinta gue. Gue nggak sabar nunggu ntar sore, apalagi belimbing di rumah Diah itu gude-gude dan rasanya manis asem segeeerrrr. “Elo ada buah apa Dj?” tanya gue ke Dj yang makan keripik dari tadi nggak abis-abis.

“Hssh, gueehhh punyaah garemh sshh danh gueh nyumbang aerh minummhh hosshh,” ucap Dj yang nggak begitu jelas karena kepedesan.

“Ish, elo tuh mending nggak usah ngomong deh. Sana ambil air minum gih di kelas...” Yuni ngedorong-dorong tubuh Dj yang lebih kecil darinya. “Ambilkan segelas juga buat gue,” titah Yuni setelah Dj bangkit dan berjalan menuju kelas. Tentu aja dengan mendesis karena nggak terima dia didorong-dorong ama Yuni.

“Yuni, ajarin gue MYOB dong,” gue pasang tampang memelas. Karena cuman Yuni yang punya laptop dan dia punya aplikasi MYOB Accounting.

“Iya Yun, ajarin gue juga dong,” Rida ikut-ikutan pasang tampang melas.

“Oke deh. Meskipun juga gue rada nggak paham, ntar sore gue bawa laptop ke rumah Dj kita belajar bareng.”

“Tengkyu Yun,” ucap gue tulus dengan tampang ala Aisha Ayat-ayat Cinta.

Gue kok ngerasa ntar sore tuh bukannya belajar tapi malah ngerujak yah? Lagian kebiasaan anak-anak Depancas nih kalo udah ngumpul sore pasti bawaannya ngerujak mulu.

Habis itu hening diantara kami berempat sambil nungguin Dj balik dari kelas. Gue mandangin halaman sekolah yang luas banget dari koridor tempat gue duduk sekarang. Nggak nyangka dalam hitungan bulan gue bakal ninggalin nih sekolahan. Sekolah yang gude bukan main, luas bukan main, dan juga fasilitasnya lengkap banget. Gue bangga banget sekolah di SMKN 1 terutama sebagai salah satu siswi jurusan Akuntansi. Dan yang pasti yang bikin gue kangen banget tuh ya masa-masa bareng konco-konco gue Depancas gini.

“Sibuknya Depancas ini berempong terus. Anak-anak yang lain pada ngerjakan tugas tapi kalian malah begosip terus... Ckckck...”

Tiba-tiba aja Galih dateng ikutan nimbrung dan berdiri di samping Rida sambil berkacak pinggang. Kami yang lagi duduk ini langsung aja menghujami dia dengan tatapan laser kami.

“Rese banget sih elo Gal. Bilang aja elo sirik mau ikutan berempong juga kan?” sinis Yuni masih tetap istiqomah copotin ujung-ujung pohon pinus.

Sorry gals... Gue nggak tertarik ama rempongan kalian,” Galih natap kami semua dengan ekspresi meremehkan.

“Halaah, lebay amat sih lo. Terus elo ngapain di sini huh?” Diah ngelempar daun pinus ke muka Galih, tapi sayangnya meleset.

“Gue cuman bosan di kelas. Lagian gue ada perlu sama Rida.” Galih langsung ikutan duduk di samping Rida yang bikin kami semua saling berpandangan.

“Kenapa lo?” Rida natap Galih sedikit risih.

“Rida...” Galih nyetopin ucapannya lalu dia pasang ekspresi sok imut yang bikin perut gue mual. “Minta minum, hehee...”

Jiaah gubraak.

Gue liat Rida mutar bola matanya jengah habis itu langsung bangkit dari duduknya, mungkin mau ngasih Galih minuman. Untung aja temen gue satu itu punya hati malaikat.

“Elo itu ada maunya baru baik-baik, huh... Dasar Seksi Kebersihan nyebelin,” gerutu gue dan natap sinis pada sang Seksi Kebersihan.

“Biarin, kan Rida baik. Nggak kayak elo, elo, dan elo,” tunjuk Galih satu-satu ke kami dan habis itu dia langsung lari ke kelas sebelum Diah ngamuk dan menghujani dia dengan lebih banyak daun pinus yang dipetikin.

“Uda yok Bo balik ke kelas. Nggak enak juga jam pelajaran gini kita malah di luar kelas,” ajak Yuni seraya bangkit berdiri.

Gue dan Diah lantas ikutan berdiri ngikutin Yuni menuju kelas. Lagian kayaknya bahaya kalo sampe Waka Kesiswaan tau kami berempong di luar kelas. Yang ada ntar kami dapat Poin Pelanggaran. Kalo sampe itu terjadi, bisa gagal gue dan konco-konco gue dapat piagam penghargaan Zero Point pas perpisahan nanti, haha.

.
-----5-----
.

“Bo, kok ini pisaunya tumpul amat? Gak ada pisau yang lain lagi kah?” Diah berusaha sekuat tenaga buat ngupas kedondong yang Yuni bawa pake pisau dari dapurnya Dj.

“Oups, maaf Bo. Gue salah bawa pisau, bentar gue ambil pisau yang lain.” Dj bangkit berdiri dan ninggalin kami berempat di loteng.

Seperti yang kami bicarakan tadi pagi di sekolah, sore ini kami mau belajar Akuntansi sambil ngerujak. Buku-buku kami sih sudah siap tuh di pojok loteng rumah Dj, tapi sekarang kami lagi khusuk sama buah-buahan yang ada di hadapan kami.

“Yuni jangan kebanyakan masukin cabenya,” protes gue waktu ngeliat Yuni dengan semangat 45 ngulek garem pake cabe satu genggam.

“Tenang, ntar gue bikinin yang nggak terlalu pedes buat elo,” jawab Yuni santai sambil terus ngulek garem.

Gue sendiri dari tadi masih sibuk motongin belimbing super besar yang Diah bawa. Sedangkah Rida kerjaannya ngupasin jeruk doank, sementara gue nggak bawa apa-apa karena ternyata di rumah gue timunnya udah habis semua dan abah gue belom sempet ke pasar buat beli timun, hihii.

“Ini Bo pisaunya,” Dj dateng seraya ngabawa baki yang berisi lima gelas dan satu teko es jeruk, dan yang pasti satu buah pisau. Widih, siap-siap sakit perut dah besok pagi.

Kami berlimapun akhirnya makin fokus sama rujak yang bentar lagi siap makan di hadapan kami. Sekarang ini kami lagi di teras loteng rumah Dj. Angin di sini sejuk dan seger banget. Gue bener-bener rasanya pengen lama-lama aja di sini.

“Waktunya kita sikaaaat...” ucap Diah semangat waktu buah kedondong, jeruk, dan belimbing, udah terpotong dengan cantik di dalam mangkuk besar ditambah garem plus cabe dalem ulekan. Bikin air liur gue udah ngeces-ngeces nggak karuan.

“Bo Bo.. Kalian semua uda denger belom gosip yang tadi siang lagi hot di kelas kita?” tanya Dj sambil nyomotin buah jeruk yang ternyata masamnya Lailahailallah.

“Sssh, belomhh.. Emangh apaanh?”

Gue menatap ngeri ke arah Yuni karena dia sanggup aja ngerujak pake garem dengan cabe yang satu genggem. Yah wajar aja dia kepedesan kayak gitu.

“Ini tuh tentang Ipur dan Ati,” jawab Dj santai.

“Uhukkkh uhuuukkkh...” gue langsung keselek dan Rida buru-buru nyodorin gue segelas aer. Apa? Pur dan Ati? Emang ada apa dengan mereka berdua?

“Kenapa Pur dan Ati, Dj?” kali ini giliran Rida yang antusias.

“Gini... Tadi kan pas kita lagi duduk-duduk di koridor gue balik ke kelas buat ngambil minum. Nah, waktu di kelas gue denger temen sebangkunya Ati bilang kalo Ati tuh suka sama Pur dan katanya mereka berdua sekarang deket,” terang Dj.

“Haaaaaaahhhhh???!!!” tereak gue heboh yang malah dapat tatapan aneh dari konco-konco gue.

“Elo kenapa sih Sah? Tadi keselek, sekarang tereak heboh. Elo kayak baru kali ini denger gosip tau nggak,” Diah geleng-geleng kepala ngeliat gue.

Gue cuman bisa nelan ludah gugup. Gue sendiri juga nggak tau kenapa, gue malah ngerasa nyesek denger berita yang dibawa Dj.

“Menurut gue sih emang iya kalo Ati tuh suka sama Pur,” ucap Diah lagi yang kali ini bikin kami natap dia dengan ekspresi penasaran.

“Kenapah emanghhnyahh Dhii?” Yuni masih aja kepedesan.

Habis nyomot buah kedondong ke dalam mulutnya, baru Diah ngejelasin. “Selama ini gue ngeliat Ati tuh suka curi-curi pandang ke Ipur, dan juga kadang gue liat dia suka jalan ke depan mejanya Pur, entah mungkin cari perhatian Pur kali. Pernah juga gue denger temen-temennya Ati suka ehm-ehm gitu kalo ada Pur di sampingnya Ati.”

Gue cuman bisa diam. Gue ngerasa nggak suka kalo ada yang suka sama Pur. Eh, apa yang barusan gue pikirin? Pur kan nyebelin. Bodo amat gue siapapun yang suka sama dia. Huh.

“Tapi tadi ada yang lebih menarik Bo,” lanjut Dj yang bikin kami kembali natap dia penasaran.

“Apaan?” tanya Rida nggak sabaran. Gue liat dari tadi dia nggak terlalu semangat makan rujak, yah soalnya Rida emang nggak terlalu doyan sama buah-buahan.

Dj neguk habis segelas es jeruk. “Katanya Maulani sekarang Pur dan Ati sering smsan bareng, dan itu yang bikin heboh anak-anak satu kelas tadi.”

“Uhuuukkh.. uhuuuukkkhh,” gue kembali keselek dan Rida kembali nyodorin gue segelas aer.

“Jangan-jangan elo cemburu Sah?” Diah natap curiga ke arah gue.

“Hyee, ngapain gue cemburu sama si Jangkung nyebelin itu. Gue cuman kaget aja akhirnya ada cewek cantik yang suka sama Pur.” Maapkan gue teman-teman, kali ini gue bohong sama kalian.

“Oh pantasan aja kan kemarena Ati bawa fruit cake ke kelas dan Pur dapat jatah potongan paling gede. Ah, ternyata itu toh alasannya,” terang Yuni kali ini tanpa kepedesan.

“Menurut kalian cocok nggak mereka berdua kalo jadian?” kali ini pertanyaan Dj sukses bikin gue natap dia dengan ekspresi kaget berlebihan. Aduh, gue kenapa sih dari tadi jadi gaje gini.

“Menurut gue cocok-cocok aja sih. Kan Ati itu cantik, Pur juga cakep. Komplit kan?” jawab Yuni anteng dan gue malahan natap dia dengan tatapan nggak suka.

“Iya, Pur juga pinter, Ati juga lumayan. Ah, gue jadi iri,” lirih Diah.

Gue lebih milih diem dan makanin dengan sedikit buru-buru rujak yang masih banyak di depan kami. Lagian kalo dipikir-pikir lagi, kenapa gue harus sesebel ini sih?

“Ternyata bener yah kata wali kelas kita pas kelas sepuluh dulu, di kelas kita nanti bakalan ada yang kecantol. Tuh Ati dan Pur, hahaa...” lanjut Diah lagi yang bikin gue tambah sebel.

“Bukannya Apri dan Resti uda duluan tuh jadian waktu kelas sepuluh?” jawab gue malas-malasan sambil nyomotin belimbing. Sebenernya dari tadi gue cuman makan belimbingnya doank, haha.

“Masaaa???” keempat konco gue kaget berjamaah bikin gue natap mereka satu-satu dengan ekspresi nggak yakin. “Emang elo semua belom tau?”

Mereka ngangguk serempak kayak anak rocker.

“Dulu juga gue tau pas kelas sepuluh waktu Apri sms gue sehari setelah dia putus sama Resti. Gue lupa persisnya kenapa Apri jadi curhat ke gue, yah intinya dulu itu mereka backstreet gitu deh. Emh, kalo nggak salah cuman tiga bulan,” terang gue yang bikin mereka berempat kembali mengangguk tanda paham dengan maksud gue.

“Ternyata banyak juga cinlok di kelas kita, ada cinta segitiga antara Maulani, Meisi, dan Hasan. Ada juga Yuni dan Fazri,” olok Diah yang bikin Yuni natap garang ke arah Diah. Diah mah anteng-anteng aja ketawa.

“Oh ya, ngomong-ngomong dari tadi nih kita ngobrol mulu bukannya sambil belajar,” ucap Dj yang bikin gue menatap malas ke arah tumpukan buku Akuntansi di pojokan.

“Ntar aja Dj belajarnya, nanti kita nggak fokus belajar karena sibuk ngerujak. Habiskan dulu rujaknya baru kita belajar,” jawab gue. Lebih tepatnya itu cuman alasan gue karena gue tetiba jadi malas belajar apalagi gegara berita Ati dan Pur tadi.

“Iya bener. Kita ngerujak aja dulu,” sambung Yuni kali ini dapat anggukan setuju dari Diah.

“Tapi ini sudah jam lima lewat loh,” Rida ngelirik jam di ponselnya.

Kami ngelirik rujak di depan kami yang masih banyak. Butuh waktu sekitar setengah jam buat ngabisin ini semua, dan mungkin bisa lebih dari itu kalo kami sambil ngobrol-ngobrol gaje. Terutama gosip sih, haa.

“Gampang Da. Kalo sampe jam setengah enam nanti nih rujak belom kelar, kita masih bisa belajar besok lagi,” terang gue yang kali ini bikin Yuni ngajakin hi five ke gue.

Kami berlima akhirnya ketawa gaje sambil terus ngelanjutin kegiatan ngerujak kami dan ngomongin apa aja yang enak dijadikan bahan pembicaraan. Gue ketawa sedikit dipaksakan soalnya gue masih sebel dengan berita Pur dan Ati, huh.

“Kita ini rempong ya Bo,” ucap Diah seraya terkekeh pelan.

“Hahaa, baru sadar yah elo?” kekeh Dj.

Kami kembali ketawa berjamaah yang sontak aja jadi bahan tontonan anak-anak yang lagi main di bawah sana. Mungkin mereka terpesona ngeliat lima wanita cantik di atas loteng sambil ketawa-ketawa alay, xixi.

Gue sih nggak peduli kata orang apakah kami ini suka rempong, sering kepo, suka begosip, ato apapun itu. Intinya ini adalah momen dimana kami berlima ngumpul sebagai sahabat. Justru saat-saat seperti ini kami bisa semakin dekat dan memahami satu sama lain, dan memahami arti saling memiliki satu sama lain.

Mungkin suatu hari nanti setelah kami sudah nggak jalan bareng ato ngumpul bareng, gue bakalan kangen sama saat-saat begini. Setelah lulus sekolah dan mulai menjalani hidup masing-masing, mungkin itu kuliah atopun kerja, gue pasti bakalan kangen berat sama teman-teman Depancas gue. Teman-teman yang selalu gue jadikan tempat curhat gue, tempat berbagi gue, dan yang pastinya tempat untuk bergosip ria.

“Kalian tau nggak maksudnya ‘Persahabatan Bagai Kepompong’ itu Bo?” tanya gue ke konco-konco gue yang masih belom nyerah ngabisin rujak dengan garem super pedes buatan Yuni.

“Apaan?” tanya Dj ogah-ogahan.

“Persahabatan bagai kepompong. Kepompong, kadang kepo, kadang rempong,” jawab gue.

Alhasil keempat konco gue ngakak denger jawaban gue. Yah, setidaknya mereka sudah nggak bahas tentang Ati dan Pur lagi.

Tapi emang bener, buat gue persahabatan gue dan temen-temen Depancas itu emang bagai kepompong, kepo dan rempong... Haha... Ai lop Depancas so maaaacchhh...

.
.
END

Alhamdulillah selesai, yeheett... *tabur daun*
Gue kangen temen-temen Depancas yang sekarang sibuk sama kehidupan masing-masing, ada yang kuliah, dan ada yang sibuk kerja. Nggak nyangka sudah tiga tahun yang lalu kita lulus dari SMK dan semua kenangan kita selama di SMK nggak bisa gue lupakan. Terutama pas gue liat folder foto dan video kita waktu ngerujak di loteng rumah Dj, itu bikin inspirasi buat gue bikin cerpen ini.
Meskipun kita masih sering ngumpul pas lebaran atopun liburan semester, tapi rasanya nggak sama kayak waktu sekolah dulu. Sekarang kita sudah berada di dunia sebenernya, dunia orang dewasa yang berat dan sulit bingo.
Dan makin nggak nyangka gue duluan dari pada kalian dapat gelar usia 21 T_T dua satu! DUA SATU! Gue paling tua ternyata diantara kita berlima,, huhuuu... u,u
Yesungdahlah, sekian bacotan gue. And last, miss youuuuuu ceman-ceman gue.. emmmuuuuaaachhh...
Buat reader, makasih udah mau baca ^^

(Fanfiction) The Story Of Us


THE STORY OF US
.

(Ini kisah nyata aku dan sahabat aku, Yuni. Tapi kisah ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kisah nyatanya hanya sekitar 30% ^^)
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.

Main Cast:
Aisyah as Choi Jirin and Sri Wahyuni as Park Gaein

Support Cast:
Super Junior’s Cho Kyuhyun / Super Junior’s Yesung a.k.a Kim Jongwoon / Boyfriend’s Lee Jeongmin
.

This is just my high imagination that I poured into a story... Happy reading ^^ *English limited edition :p *
.

###

Musim dingin di Seoul.

Pagi di musim dingin tak pernah sedingin itu bagi Jirin. Baiklah, mungkin kedengarannya sedikit aneh karena musim dingin nyatanya memanglah dingin. Namun tiga tahun di Seoul ia tak pernah merasa begitu sedingin pagi ini. Ini musim dingin ketiga yang gadis itu habiskan di Seoul karena ia bersama sahabatnya yang sama-sama dari Mokpo sedang menyelesaikan gelar Strata Satu mereka di Kyunghee University.

Jirin merapatkan sweater yang membalut tubuh mungilnya seraya membuka tirai jendela berwarna biru langit yang merupakan warna kesukaan sahabatnya, Gaein. Cahaya matahari yang nyatanya tidaklah hangat menelusup melalui jendela kaca dan seketika menerangi seluruh ruang kamar yang gelap sejak tadi karena sang pemilik kamar tak menyalakan lampu penerangan sedikitpun.

“Eungh.”

Erangan gadis yang masih bergelayut di dalam selimut lantas mendominasi kamar. Membuat Jirin berdecak dan memutar bola matanya malas, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sedikit kesal gadis itu membawa tungkainya perlahan ke sisi ranjang dan tanpa ba-bi-bu ia langsung menarik selimut yang membalut tubuh sahabatnya.

Ya! Park Gaein! Ireona...” Jirin memukul pelan boneka beruang biru ke wajah Gaein karena sahabatnya itu masih belum mau membuka matanya.

“Eungh.” Lagi-lagi gadis itu hanya mengerang membuat Jirin mendengus sebal.

Jirin melemparkan boneka itu tepat ke wajah Gaein yang membuat gadis berambut sebahu itu seketika membuka kedua matanya. “Ireona palli. Kau tidak ingin ketinggalan kelas Choi Songsaenim lagi kan? Jadi cepatlah,” perintah Jirin lantas ia beranjak dari sisi ranjang Gaein. Meninggalkan sahabatnya yang masih berusaha mengumpulkan nyawa dan menghilang di balik pintu kamar Gaein.

“Ugh.. Aku masih mengantuk,” desis Gaein seraya bangkit dan kelihatan sekali matanya sangat sulit dibuka. “Hoaahmm.”

###

“Kau tidak cuci muka dulu?” Jirin menatap Gaein sekilas saat Gaein sudah duduk dengan manis dan langsung menyambar segelas coklat panas di atas meja makan. Jirin masih sibuk dengan pancake di atas  frying pan untuk sarapan mereka berdua.

Shireo. Dingin,” jawab Gaein sekenanya lantas gadis itu menghabiskan coklat panas yang masih tersisa setengah gelas.

Jirin hanya menggeleng lantas turut mendudukkan dirinya pada kursi di hadapan Gaein dan meletakkan dua piring pancake di atas meja. “Dasar jorok. Oh ya, kudengar kau akan bekerja part time di toko buku Kim Ahjumma?”

“Heum, begitulah. Kurasa aku perlu uang tambahan. Kau tahu kan aku sangat ingin ikut tour ke Macau bersama teman-teman di club musikku bulan depan?” Gaein menjawabnya dengan mulut penuh pancake.

Jirin lagi-lagi hanya menggeleng pelan. Lantas setelahnya ia mulai memasukkan pancake perlahan ke dalam mulutnya. “Kau ingin ikut tour itu atau karena ada Kyuhyun Sunbae huh?” ledek Jirin.

Ucapan Jirin barusan sukses membuat Gaeun terbatuk. Jirin hanya terkekeh karena ia tahu sahabatnya itu sudah menyukai Khyuhyun sejak lama, salah satu senior mereka di Kyunghee University. Jirin merasa wajar sahabatnya itu menyukai Khyuhyun mengingat pria itu memang termasuk mahasiswa cerdas di kampus dan juga pria itu cukup aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Di tambah wajah tampan dan tubuh tingginya, yeoja mana yang tidak akan bertekuk lutut saat melihatnya.

Yah, tapi itu tidak berlaku untuk Jirin. Saat pertama kali menginjakkan kakinya di Kyunghee University, ia sudah jatuh hati pada senior mereka yang bernama Kim Jongwoon. Salah satu mahasiswa populer karena pria itu adalah captain klub sepak bola kampus mereka. Dan wajah pria itu sama tampannya dengan Khyuyun. Bahkan bagi Jirin, wajah Jongwoon jauh lebih tampan dibandingkan Kyuhyun. Jongwoon adalah sahabat Kyuhyun. Jadi, bukankah itu terlihat dunia ini begitu sempit? Gaein menyukai Khyuhyun, dan Jirin menyukai Jongwoon. Dan mereka juga bersahabat seperti Kyuhyun dan Jongwoon. Tidakkah itu sebuah kebetulan yang luar biasa?

“Apa kau akan langsung ke toko buku usai kuliah?”

“Tentu saja, hari ini hari pertamaku bekerja. Aku harus memberi kesan yang baik pada Kim Ahjumma,” jawab Gaein lantas menghabiskan potongan terakhir pancake ke dalam mulutnya. “Keundae, Jirin-a...”

Jirin menatap Gaein menunggu kelanjutan kalimat Gaein. “Wae?”

“Tumben sekali pagi-pagi begini kau sudah berpakaian rapi. Bukankah jadwal kuliahmu masih dua jam lagi?” Gaein melirik jarum jam dinding di atas kulkas.

“Oh, eum sebenarnya...” Jirin meneguk habis segelas coklat panas sebelum menjawab pertanyaan Gaein lantas berdehem sebentar. “Tadi malam Jeongmin menelponku. Dia bilang pagi ini akan mengajakku ke suatu tempat sebelum ke kampus,” Jirin tersenyum lebar setelah menyelesaikan kalimatnya.

Alis Gaein berkerut. “Jeongmin? Lee Jeongmin? Maksudmu Jeongmin teman satu club drama denganmu itu?”

Jirin mengangguk masih dengan mempertahankan lengkungan di bibirnya.

Sebersit rasa tak suka mendadak menggelayut di hati Gaein ketika mendengar nama pria itu. Ia tak membenci pria itu, hanya saja-

“Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu. Kalau kau tak sempat mencuci piringnya biar nanti aku yang mencucinya, kau letakkan saja di samping wastafel. Anyeong.”

-Jirin mulai berubah sekarang.

Gaein menatap punggung Jirin yang berjalan meninggalkan ruang makan dan menghilang di balik pintu. Gadis itu menghembuskan nafas dalam seraya bangkit dari duduknya untuk membereskan piring dan gelas pada wastafel lantas mencucinya setelah sebelumnya ia memasang sarung tangan karet pada kedua tangannya.

###

Jirin menatap takjub pada semua kanvas dengan cat berbagai warna yang terpajang pada dinding di dalam ruang kosong itu. Jirin tak menyangka di lantai tiga kampus mereka ada sebuah ruang kosong yang tak terpakai dan selama ini dijadikan oleh pria yang sedang duduk di depan sebuah kanvas itu sebagai ruang pribadinya untuk melukis.

“Kau yang membuat ini semua?” tanya Jirin tak percaya tanpa menatap pria itu. Netranya sibuk menilik kanvas-kanvas itu yang tiap-tiap kanvasnya melukiskan gambar yang berbeda-beda.

“Heum, tentu saja. Bagaimana menurutmu?” pria itu terkekeh melihat Jirin yang begitu takjub melihat karya lukisnya. Baginya tingkah Jirin itu sedikit berlebihan. “Hey, Nona Choi Jirin. Apa kau mendengarku?”

“Huh? Kau bilang apa tadi?” Jirin yang masih sibuk mengagumi sebuah kanvas berlukiskan laut biru berbalik menatap Jeongmin yang kini pria itu sedang memegang sebuah kuas. Mungkin ia bersiap untuk kembali melukis.

“Tadi kutanya bagaimana menurutmu semua lukisanku. Ckk.. kau ini terlalu berlebihan menatap lukisan itu.”

“Hehe, mianhe,” Jirin melangkah mendekati Jeongmin seraya mengacungkan kedua ibu jarinya. “Daebak! Noumu daebak,” serunya.

Jeongmin kembali terkekeh. “Jeongmal?”

“Heum, nan jeongmalyo. Keundae Jeongmin-ah, kenapa kau tak memberitahuku sejak awal kalau kau pandai melukis?”

Jeongmin menatap kanvas di depannya yang masih belum selesai sehingga gambarnya tampak abstrak. “Aku tak yakin hobby-ku ini adalah sesuatu yang perlu kubanggakan atau tidak. Karena kurasa hasil lukisanku terlalu standar dan tak layak untuk dipajang di pameran manapun.”

“Eits, apa maksudmu. Coba lihat semua hasil lukisanmu ini,” Jirin kembali menelengkan kepalanya ke seluruh penjuru ruangan itu untuk menatap hasil lukisan Jeongmin. “Kau bilang standar? Kau terlalu merendahkan dirimu Jeong. Semua ini adalah masterpiece bagiku,” ucap Jirin sedikit heboh.

Jeongmin lagi-lagi hanya terkekeh seraya meletakkan kuas yang sejak tadi ia pegang namun tak juga ia lukiskan pada kanvas. “Ya baiklah terima kasih sudah menganggap semua lukisanku ini sebagai suatu masterpiece, Nona.” Jeongmin bangkit dan mengambil ransel merahnya lantas menyampirkannya ke bahu.

“Kau tak jadi melukis?” tanya Jirin heran ketika melihat Jeongmin yang sepertinya berniat meninggalkan ruangan itu.

“Aku tak bisa melukis jika ada orang di dekatku,” jawabnya lantas menarik lengan Jirin untuk bersama-sama keluar dari ruang pribadinya.

Jirin mendengus. “Lalu untuk apa kau mengajakku? Kau membuatku seolah-olah menjadi pengganggu saja,” Jirin mempoutkan bibirnya kesal.

“Bukankah sudah kubilang tadi malam kalau aku akan menunjukkan padamu suatu tempat yang selama ini hanya aku seorang yang tahu. Dan kau harus berterima kasih karena kau adalah orang pertama yang mendapatkan kehormatan masuk ke dalam ruangan itu Nona.”

Jirin memutar bola matanya malas. “Yaya, baiklah Tuan Jeongmin Sang-Pelukis-Yang-Terhormat. Saya merasa sangat tersanjung atas kesempatannya melihat ruang pribadi Anda. Kau puas?”

Jeongmin tertawa disusul Jirin. Keduanya sama-sama tertawa setelah menuruni tangga dan sampai di lantai pertama gedung utama kampus mereka.

“Masih ada waktu empat puluh menit sebelum kelas Jung Songsaenim dimulai,” Jeongmin melirik arloji di pergelangan tangannya. “Kau mau menemaniku ke kantin?”

“Baiklah. Siapa yang terlambat sampai ke kantin harus traktir,” Jirin segera berlari menuju kantin tanpa menunggu persetujuan Jeongmin.

“Haish, dasar curang. Hey, Jirin tunggu aku!” Jeongmin ikut berlari mengejar Jirin yang sudah jauh berada di depannya.

###

Gaein menyusun beberapa buku best seller pada salah satu rak di ujung toko. Gadis itu tampak bersemangat sekali bekerja sehingga Nyonya Kim sang pemilik toko itu terkekeh ketika Gaein menyambut pengunjung yang datang ke toko dengan antusias.

“Park Gaein,” panggil Nyonya Kim saat Gaein hampir selesai menata buku.

Gaein menghampiri Nyonya Kim yang duduk di balik meja kasir. “Ne, Ahjumma.”

“Aku akan keluar sebentar. Mungkin sekitar setengah jam. Kau bisa kan menjaga toko sendirian?”

Gaein tersenyum ramah. “Ne, algaseumnida Ahjumma.”

Nyonya Kim tersenyum seraya bangkit berdiri dan meninggalkan meja kasir. Gaein menatap punggung Nyonya Kim yang berjalan menuju pintu toko lantas dengan cepat kembali menata beberapa buku yang masih belum ia letakkan pada rak.

Pintu toko terbuka saat Gaein sudah selesai menata buku dan gadis itu seperti sebelum-sebelumnya, selalu menyapa pengunjung yang datang. “Selamat dat-“

Kalimatnya terhenti dengan kedua matanya yang mengerjap berusaha meyakinkan penglihatannya. Seorang pria berkulit seputih susu dan dengan postur tegap sedang berdiri di hadapannya sambil netranya mencari-cari sesuatu. “Kyu, Kyuhyun Sunbae...” ucap Gaein pelan.

Pria itu, Kyuhyun, tampaknya tak mendengar apa yang baru saja Gaein katakan. Setidaknya Gaein tak perlu malu karena ia kelihatan begitu terkejut tadi. Gaein sebisa mungkin mengatur deru nafasnya dan bertingkah sewajarnya meskipun cukup sulit karena jantungnya yang tiba-tiba saja berdentam tak terkendali. Seorang Cho Kyuhyun ada di dekatnya!

Tanpa memperdulikan eksistensi Gaein, Kyuhyun berjalan ke rak buku yang baru saja beberapa bukunya tadi ditata oleh Gaein. Pria itu begitu fokus pada deretan buku, yang menurut asumsi Gaein ia sedang mencari sebuah buku pada rak tersebut.

Dengan ragu Gaein mendekati Kyuhyun yang nampaknya masih tak menghiraukan –atau mungkin tak menyadari- eksistensi Gaein di dalam toko itu. “Ada yang bisa saya bantu Sunbae?”

Kyuhyun menelengkan kepalanya ke arah sumber suara dengan memegang sebuah buku ber-cover merah. Pria itu tak lasung menjawab pertanyaan Gaein, melainkan ia lebih dulu menatap meja kasir seperti sedang mencari seseorang. “Di mana Kim Ahjumma?” tanya Kyuhyun seraya menatap heran pada Gaein.

Nde?” Gaein sedikit terkejut karena pertanyaan Kyuhyun barusan. “Oh, Ahjumma sedang keluar sebentar katanya.”

Kyuhyun masih menatap Gaein sedikit heran. “Neo... nuguya?”

Gaein mengangkat kedua alisnya bingung. “Aku bekerja part time  di sini, Sunbaenim.”

“Oh ya? Kenapa aku baru melihatmu? Setahuku Kim Ahjumma tak pernah punya pegawai di sini.” Kyuhyun mengalihkan perhatiannya lagi pada deretan buku di hadapannya tanpa menatap Gaein.

“Ini hari pertamaku bekerja,” jawab Gaein sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Gaein tak menyangka jika Kyuhyun yang ia kagumi adalah langganan di toko buku tempat ia bekerja. Bukankah itu bagus karena ia bisa dengan sering bertemu Kyuhyun?

“Oh iya...” Kyuhyun kembali menatap Gaein membuat gadis itu kembali gugup karena Kyuhyun yang menatap dalam padanya. “Kalau tidak salah dengar tadi kau memanggilku apa? Sunbaenim?” Kyuhyun bersidekap dengan posisi tubuhnya yang tepat berhadapan  dengan  Gaein.

Nde? Oh, i, itu.. itu karena Sunbae adalah seniorku di kampus,” Gaein tertunduk malu. Oh sungguh ini pertama kalinya ia berbicara dengan Kyuhyun bahkan dengan jarak yang sangat dekat.

Jinjja?” Kyuhyun nampak berpikir. “Terlalu banyak mahasiswa di kampus. Aku saja tak mengetahui mahasiswa angkatanku, apalagi dengan adik tingkat. Jadi, maafkan aku kalau aku tak mengenalimu.” Kyuhyun kembali fokus pada rak buku dan kembali mencari-cari buku yang ia cari.

Ne, gwanchana Sunbaenim.”

Kyuhyun dengan cepat kembali menghadap Gaein membuat gadis itu hampir terlonjak kaget. “Eits, tak usah terlalu formal begitu. Jika nanti kita bertemu lagi, jangan memanggilku sunbaenim, itu membuatku terlihat terlalu tua. Panggil saja Kyuhyun, arra?”

Gaein tersenyum dengan ekspresi berbinar luar biasa. “Ne, arraseo Kyuhyun-ssi.”

###

Jirin dan Gaein tinggal di sebuah apartemen kecil yang tak terlalu jauh dari kampus. Cukup dengan berjalan kaki saja selama sepuluh menit mereka bisa sampai ke kampus tanpa perlu naik bus. Apartemen itu memiliki dua buah kamar, sebuah dapur yang merangkap sebagai ruang makan, sebuah kamar mandi, sebuah toilet, dan sebuah ruang tamu yang merangkap sebagai ruang untuk menonton tv.

Ini sudah pukul delapan malam ketika Gaein pulang dan tak menemukan Jirin di seluruh bagian apartemen. Gadis itu lantas masuk ke kamarnys untuk mengambil beberapa perlengkapan mandi. Lantas saat hendak memasuki kamar mandi, pintu ruang tamu terbuka dan Gaein bisa melihat dengan jelas Jirin masuk dengan membawa seorang pria. Eh tunggu. Jirin membawa seorang pria?

Na waseo...” seru Jirin seraya menuntun pria yang masuk bersamanya untuk duduk di sofa berwarna hijau cream di depan tv. “Gaein-a, kita ada tamu,” panggil Jirin ketika ia menatap Gaein yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menatapnya.

Gaein menatap pria itu lamat-lamat. Kalau Gaein tak salah ingat pria itu bernama Lee Jeongmin. Teman satu club drama dengan Jirin dan pria itu sudah beberapa bulan ini akrab dengan sahabatnya. Gaein memutuskan untuk menghampiri Jirin dan Jeongmin yang sudah duduk di sofa. “Anyeonghaseyo, Park Gaein imnida,” sapa Gaein ramah seraya mengulurkan tangannya pada Jeongmin.

Jeongmin membalas jabatan tangan Gaein dengan tak kalah ramah. “Lee Jeongmin imnida. Aku banyak mendengar tentangmu dari Jirin. Ia sering menceritakan banyak hal tentangmu.”

Jeongmal? Memangnya apa yang ia katakan tentangku?”

Jeongmin menarik kedua sudut bibirnya. “Jirin bilang kau itu blue holic. Jirin juga bilang kau itu sahabat terbaiknya di dunia, dan banyak lagi. Aku bahkan sampai lupa apa saja yang ia ceritakan tentangmu.”

Gaein sedikit terkejut. “Jinjja? Haha, baiklah aku mau mandi dulu. Kalian lanjutkan saja mengobrolnya. Hey, kau ambilkan minum untuk tamu. Dasar tidak sopan,” Gaein menatap Jirin dengan tampang kesal dibuat-buat.

Jirin segera bangkit meninggalkan Jeongmin sendirian di ruang tamu untuk mengambil minuman ke dapur dengan Gaein yang mengikutinya dari belakang.

“Jadi dia yang namanya Jeongmin?” tanya Gaein saat mereka sudah di dapur.

Jirin mengeluarkan dua kaleng orange juice dari dalam kulkas. “Heum, bagaimana menurutmu? Dia baik kan? Wajahnya juga manis,” Jirin tersenyum menatap Gaein lantas berbalik menuju ruang tamu meninggalkan Gaein yang nampaknya masih berpikir.

Gaein hanya mengendikkan bahunya lantas segera masuk ke kamar mandi. Hari pertamanya bekerja sungguh melelahkan.

###

Hari  ini Jirin lebih pagi meninggalkan apartemen. Berhubung ia tak ada jadwal kuliah pagi, jadi ia bersama Jeongmin memutuskan untuk kembali ke ruang rahasia Jeongmin di lantai tiga kampus. Jirin bahkan tak menyempatkan diri untuk sarapan bersama Gaein karena ia dan Jeongmin akan sarapan bersama di ruang lukis milik Jeongmin. Jirin hanya meninggalkan sebuah memo yang ia tempelkan pada pintu kulkas untuk sahabatnya itu.

“Sebenarnya gambar apa yang sedang kau lukis itu Jeong?” tanya Jirin antusias menatap kanvas yang masih bergambar abstrak di depannya. Ia duduk di samping Jeongmin yang bersiap untuk melukis di depan sebuah kanvas yang masih dalam proses pengerjaan.

“Tebak dulu,” jawab Jeongmin enteng.

Jirin nampak berpikir. “Eumm, karena masih banyak bagian yang belum jadi, aku tak bisa menebaknya. Apa kau sebenarnya sedang membuat lukisan abstrak?” tebak Jirin.

“Ckk, tentu saja tidak. Coba tebak lagi.” Jeongmin mulai menyapu kanvas itu dengan kuas yang sudah diberi cat berwarna coklat muda.

“Pohon?”

“Terlalu klise. Tebak lagi.”

“Pemandangan?”

“Terlalu mainstream.”

“Bunga?”

“Aku tak suka sesuatu yang feminim.”

“Kalau begitu jangan-jangan monyet? Hahaa”

Jeongmin menatap Jirin yang tertawa terbahak-bahak di sampingnya. “Iya. Monyet betina yang cantik.”

Tawa Jirin terhenti seketika. “Jadi benar kau melukis monyet?” wajah Jirin mendekat pada wajah Jeongmin membuat pria itu mengerjapkan matanya kaget. Jirin masih bergeming dengan menyipitkan matanya seraya menyelidik.

“Te, tentu saja bu bukan. Kau pikir untuk apa aku melukis monyet? Seperti tak ada objek lain saja.” Jeongmin membuang tatapannya ke arah lain lantas menelan saliva dengan sedikit susah payah.

Jirin mengambalikan posisi tubuhnya seperti semula. “Lalu sebenarnya kau melukis apa Jeong?”

 S-e-c-r-e-t.”

Jirin mempotkan bibirnya kesal. “Kau ini menyebalkan. Untuk apa kalau begitu kau memintaku menebaknya. Eum, anyway... Bukankah kau bilang kalau kau tak bisa melukis jika ada orang lain di sampingmu?”

Jeongmin meletakkan kuas yang ia pegang lalu menatap Jirin dengan senyum lebar yang tersungging di wajah tampannya. “Yup, kau benar sekali. Kau lihat kan aku bahkan tak bisa fokus sejak tadi?”

Jirin mengangguk pelan. “Jadi kenapa kau mengajakku lagi ke sini?”

Jeongmin bangkit dan mengambil ranselnya yang ia letakkan pada sebuah meja di ujung ruangan. Lantas ia kembali duduk di samping Jirin dan membuka ransel merah kesayangannya. “Tadaaaa...” Jeongmin mengeluarkan sebuah kotak makanan dari dalam ranselnya.

Ige mwoya?” tanya Jirin heran.

Jeongmin menjitak pelan kepala Jirin membuat gadis itu meringis. “Bukannya kita mau sarapan huh?”

Yak! Kenapa kau memukulku bodoh? Aish, appo...”

Jeongmin menatap bersalah pada Jirin yang memegangi kepalanya. “Gwaenchana? Tadi aku hanya bercanda, mianhe,” Jeongmin memegangi kepala Jirin berniat mengusap kepala gadis itu namun-

“Aww... kenapa kau menjitakku?” Jeongmin meringis heboh ketika Jirin membalasnya.

“Memangnya aku tak bisa membalasmu huhh?” Jirin memeletkan lidahnya menatap Jeongmin. Kemudian fokus Jirin beralih pada kotak makanan yang Jeongmin bawa tanpa memperdulikan Jeongmin yang kesakitan karena balasan dari Jirin yang cukup kuat. “Wah, kau membawa ddobokki. Pasti enak.” Jirin berkali-kali menelan ludahnya ketika membuka tutup kotak makanan tersebut.

Jeongmin terkekeh melihat Jirin yang sepertinya sudah kelaparan. “Heum, tentu saja ini enak. Ddobokki ini buatan uri noona dengan resep rahasia dari almarhum nenekku.”

Jirin menatap Jeongmin sedikit terkejut. “Noona? Kau punya kakak perempuan?”

“Heum. Sudah tak usah bertanya lagi makan saja.” Jeongmin menyerahkan sepasang sumpit untuk Jirin.

Jirin mengambil satu potong ddobokki dan memasukkannya ke dalam mulut. Kedua bola mata gadis itu langsung melebar setelah potongan ddobokki tersebut melewati kerongkongannya.

Eotokhae? Mashitta?” tanya Jeongmin melihat ekspresi Jirin yang tak bisa ditebak.

“Whoa, daebak. Noumu mashittayo, jeongmal.” Jirin mengacungkan jempol kanannya.

“Hahaa, baguslah kalau enak. Kita habiskan dulu ddobokki ini baru aku mengajakmu ke sebuah tempat lagi yang tak pernah satu orangpun mengetahuinya kecuali aku sendiri.”

Arraseo...”

###

“Jadi bagaimana pekerjaanmu dihari kedua di tempat Kim Ahjumma?” tanya Jirin setelah membereskan piring beserta gelas untuk makan malam mereka tadi.

“Tidak terlalu buruk. Untung saja Kim Ahjumma itu ramah, dan ia tak pernah mengomeliku jika aku salah meletakkan buku di rak,” jawab Gaein sembari tangannya sibuk menggonta-ganti channel tv dengan remote yang tak lepas dari tangannya sejak tadi.

Jirin turut duduk di samping Gaein membawa sekotak biskuit keju. “Sepertinya menyenangkan bisa bekerja part time,” Jirin mengunyah sekeping biskuit keju itu dan meletakkan kotaknya di atas meja kecil di depan mereka.

Gaein meletakkan remote tv di atas meja setelah menemukan channel yang menayangkan sebuah variety show dari boyband favoritnya, lantas ia duduk menyamping menghadap Jirin di sampingnya dengan wajah berbinar. “Rin-ah, kau tahu tidak apa yang terjadi kemarin di hari pertamaku bekerja?”

“Apa?”

“Aku bertemu Kyuhyun Sunbae dan aku berbicara dengannya!” seru Gaein sembari memorinya menerawang kejadian kemarin di toko buku.

Jinjja? Kau berbicara dengan Kyuhyun Sunbae?” tanya Jirin tak percaya.

“Awalnya aku pikir juga hanya mimpi. Tapi itu sungguhan Rin-ah... Dan kau tahu apa yang membuatku lebih excited lagi?”

Mwo?”

“Kyuhyun Sunbae memintaku jika bertemu dengannya lagi, aku bisa memanggil namanya tanpa harus panggilan formal ‘sunbaenim’. Bukankah aku cukup beruntung?”

Jirin mengangguk. “Daebak,” Jirin mengacungkan jempolnya lantas kembali mengambil sekeping biskuit keju dari kotaknya.

“Dan satu lagi...”

“Ada lagi?”

“Heum... Kyuhyun Sunbae adalah salah satu dari pelanggan setia di toko buku Kim Ahjumma. Kau tahu apa artinya Rin-ah?” ucap Gaein dengan mempertahankan ekspresi berbinarnya.

“Kau bisa sering bertemu dengannya?” tebak Jirin.

Gaein menjentikkan jarinya. “Hyap, kau benar,” kekeh Gaein lalu fokusnya beralih pada layar tv di depan mereka. “Oh ya Rin-ah...”

“Heum... waeyo?” tanya Jirin sambil tangannya mengutak-atik layar ponsel.

“Kau serius besok akan menguntit Jongwoon Sunbae saat ia latihan lagi? Tidakkah itu sedikit berlebihan?”

Fokus Jirin beralih dari layar ponsel dan menatap Gaein di sampingnya. “Tentu saja aku serius Gaein-a. Aku kan tidak bisa seberuntung dirimu yang bisa langsung berbicara dengan Kyuhyun Sunbae. Setidaknya aku harus berusaha minimal tahu kebiasaan yang dilakukan Jongwoon Sunbae dan hal-hal yang ia sukai.” Setelahnya Jirin kembali fokus pada layar ponselnya dan gadis itu tertawa pelan saat membaca pesan dari Jeongmin.

“Tsk, terserah kau sajalah.” Gaein kembali menatap layar tv namun ia tak bisa fokus karena Jirin yang tertawa sendiri seperti orang gila di sampingnya. “Hey Nona Choi, wae geurae?”

Jirin tak menghiraukan pertanyaan Gaein. Ia malah semakin tenggelam pada ponselnya untuk berbalas pesan dengan Jeongmin di Line.

Gaein menatap Jirin dengan pandangan tak suka. Ia kembali berusaha memfokuskan perhatiannya pada acara tv, namun nyatanya tak bisa. Tidak, Jirin sama sekali tidak membuatnya terganggu meskipun gadis itu tertawa nyaring sekalipun. Hanya saja sikap Jirin kali ini sedikit berlebihan. Ayolah, biasanya ia dan Jirin akan dengan semangat tidur larut demi menonton acara favorit mereka itu. Tapi sekarang, sejak Jeongmin masuk ke dalam hidup Jirin, Gaein tak lagi menjadi orang pertama yang menjadi prioritas Jirin. Dan itu amat-sangat-mengganggu.

“Rin-ah, ada yang mau aku kat-“

Chamkan, nanti saja, ya,” Jirin berdiri setelah menempelkan ponsel pada telinganya dan berjalan meninggalkan Gaein menuju kamarnya. “Yeoboseo Jeongmin-ah...”

Gaein mempoutkan bibirnya kesal. Ia sungguh tak tahan dengan perubahan sahabatnya itu karena seorang pria. Jadi sekarang Jirin sedang mencari sahabat baru begitu? Huh.

Tak ada persahabatan antara pria dan wanita!

Gaein membatin menatap Jirin yang sudah menghilang ke dalam kamarnya. Ia ingat dengan jelas kalimat yang Jirin katakan saat ia membawa Jeongmin ke apartemen mereka kemarin. Gadis itu dengan semangat mengatakan kalau ia dan Jeongmin adalah teman dekat, bahkan hampir dikatakan sahabat.

Lalu apa artinya Gaein selama ini?

“Arrggghhh..” Gaein mengacak rambutnya pelan dan lebih memilih kembali menatap layar tv di mana boyband Infinite yang menjadi bintang tamu dalam acara variety show tersebut.

###

Pagi ini lagi-lagi Jirin hanya meninggalkan memo di kulkas untuk Gaein. Yah setidaknya Jirin masih berbaik hati untuk membuatkan omelette untuknya mengingat Gaein pagi ini bangun cukup kesiangan sehingga tak punya banyak waktu untuk membuat sarapan.

Gaein tahu betul kalau Jirin saat ini pasti sedang bersama Jeongmin. Siapa lagi yang bisa membuat sahabatnya itu bisa bangun pagi bahkan dengan-sedikit-tak-berperasaan meninggalkan Gaein sendirian di apartemen. Biasanya ia dan Jirin akan pergi bersama-sama ke kampus. Tapi saat ini rasanya semua itu hanya seperti sebuah kenangan masa lalu.

Bukannya Gaein melebih-lebihkan dan membuat suasana menjadi terlalu melankolis. Bukankah sudah jelas sikap Jirin sekarang seolah sudah memblok Gaein dari hidupnya meskipun tanpa gadis itu sadari?

Selesai menyantap sarapan yang dibuat Jirin dan membersihkan dirinya, Gaein bersiap menuju kampus. Gaein mengenakan blazer biru kesukaannya setelah berdiri di depan pintu apartemen untuk beranjak menuju kampus. Namun kegiatannya terhenti saat bunyi bell memenuhi indra pendengarannya. Dengan cepat gadis itu membuka pintu dan... Kedua netranya membelalak mendapati presensi seseorang yang tak pernah diduga akan mengunjungi apartemennya dan Jirin.

“Ehm,” orang itu berdehem karena Gaein menatapnya sekion sekon tanpa kedip.

Gaein turut berdehem menahan malu dan berusaha bersikap sewajarnya. “S, Sunbae.. Jongwoon Sunbae?”

Kedua alis orang itu mengernyit dengan kepala yang sedikit ia miringkan, membuatnya nampak terlihat lucu di mata Gaein. “Kau mengenalku?” tunjuk pria itu pada dirinya sendiri.

Gaein menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Astaga! Jangan katakan ia dan Kyuhyun sama-sama tak mengenali junior mereka di kampus.

Ne, kau seniorku di kampus,” jawab Gaein seramah mungkin.

Pria itu-Jongwoon-mengangguk pelan dengan bibirnya yang membentuk ‘o’. “Sepertinya aku begitu populer,” kekeh Jongwoon dengan percaya dirinya. “Oh ya, apa kau yang bernama Choi Jirin?”

Gaein mengerjapkan matanya. Untuk apa seorang pria populer dan tampan seperti Jongwoon mencari Jirin? “Aniyo, naneun Park Gaein-imnida,” jawab Gaein. “Keundae, Jirin itu temanku. Kami tinggal di apartemen yang sama.”

“Oh baguslah kalau begitu. Bisa kau panggilkan temanmu sebentar?”

Gaein sedikit kesusahan bernafas. Ayolah, ia rasanya ingin melayang saja saat ini. Dua hari yang lalu ia berbicara dengan Kyuhyun, dan sekarang ia berbicara dengan seorang Jongwoon yang begitu dielu-elukan sahabatnya. Meskipun ia tak menyukai Jongwoon, tapi pria ini sungguh tampan dengan mata sipitnya dan tubuh tegapnya. Bahkan aroma parfum maskulin Jongwoon dapat tercium dengan jelas oleh indra penciuman Gaein.

“Hey, Gaein-ssi, kau mendengarku?” Jongwoon mengibaskan tangan kirinya di depan wajah Gaein membuat gadis itu kembali mengerjap.

“Huh? Oh, mianhabnida Sunbaenim, Jirin sudah pergi ke kampus. Memangnya ada apa?”

Jongwoon menunjukkan sebuah buku catatan yang sangat Gaein ketahui dengan jelas kalau buku itu milik Jirin. “Aku menemukan buku ini di dekat lapangan sepak bola dua hari yang lalu. Kurasa buku ini terjatuh. Sebenarnya aku cukup kesusahan mencari pemilik buku ini, bahkan aku bertanya pada bagian administrasi kampus untuk mencari tahu gadis pemilik buku ini, hehe,” terang Jongwoon.

Gaein terkekeh melihat buku itu. Untung saja Jongwoon tak mengetahui kalau Jirin sedang menguntitnya saat sedang latihan di lapangan sepak bola dua hari yang lalu. “Wah sunbaenim, kau baik sekali. Padahal kan kau bisa menyerahkannya pada bagian informasi kampus,” Gaein menerima buku yang diulurkan Jongwoon.

“Tidak masalah. Lagi pula aku juga tinggal di apartemen sebelah, jadi aku sekalian ke sini. Dan kurasa buku itu sangat penting,” terang Jongwoon lagi.

Gaein hanya mengangguk dan tersenyum berusaha terlihat seramah mungkin. “Geomapsimnida Sunbae,” Gaein sedikit membungkuk pada Jongwoon untuk berterima kasih yang turut dibalas oleh Jongwoon. “Nanti akan kuserahkan pada Jirin.”

Jongwoon mengangguk pelan. “Oh ya, apa kau mau ke kampus? Bagaimana kalau kita pergi bersama?” tawar Jongwoon.

Gaein sedikit gelagapan. Ya Tuhan, kenapa semuanya terasa seperti dunia fiksi. “Tidak usah Sunbae, terima kasih. Aku bisa pergi sendiri,” tolak Gaein berusaha dengan tetap berusaha ramah.

“Ayolah, aku ingin sekali-sekali mengakrabkan diri dengan juniorku di kampus,” ajak Jongwoon sedikit memaksa.

Kali ini Gaein tersenyum dipaksakan. Rasanya ia tak mungkin bisa menolak permintaan pria di depannya ini. “Ne, Sunbae.”

“Bailah, kajja,” Jongwoon berjalan lebih dulu dari Gaein.

Sedangkan Gaein di belakangnya menatap Jongwoon dengan perasaan bersalah. Bukankah seharusnya yang mengalami hal ini adalah Jirin, bukan dirinya. Gadis itu pasti akan sangat senang sekali.

###

Jirin dan Jeongmin sedang duduk di bawah pohon maple di pinggir lapangan sepak bola. Dari tempat itu, Jirin bisa melihat dengan jelas orang-orang yang berada di lapangan tersebut tanpa diketahui oleh orang-orang di sana. Tempat ini adalah tempat persembunyian Jirin setiap gadis itu menguntit Jongwoon yang sedang latihan sepak bola.

“Kupikir hanya aku yang mempunyai tempat persembunyian yang tidak diketahui orang di kampus ini, ternyata kau juga,” kekeh Jeongmin tanpa menatap Jirin. Pria itu tengah menikmati permainan orang-orang yang sedang bermain sepak bola di tengah lapangan.

Jirin tersenyum bangga meskipun tanpa sepenglihatan Jeongmin. “Tentu saja. Memangnya kau saja yang punya ruang rahasia di lantai tiga dan sebuah taman kecil di belakang kampus, aku juga. Tempat ini sudah seperti apartemen keduaku,” terang Jirin seraya mencari-cari sosok yang selama ini menjadi idolanya.

“Oh ya, memangnya apa yang kau lakukan di sini?” Jeongmin menatap Jirin penuh tanya. Memang tempat ini cukup bagus untuk bersantai bahkan cukup sejuk jika musim semi atau musim gugur tiba, tapi tidak untuk musim dingin seperti ini.

“Me-ngun-tit.”

Jeongmin hampir tersedak ludahnya sendiri. “Mwo? Kau, kau apa tadi? Menguntit??” ucap Jeongmin heboh. “Apa kau seorang stalker?”

Ne, bisa dibilang begitu,” jawab Jirin bangga dengan sedikit malu-malu.

Jeongmin berdecak tak percaya dengan kelakuan teman baiknya itu. “Memangnya kau menguntit siapa huh?”

“Kau tahu Jongwoon Sunbae kan? Captain club sepak bola kampus kita,” jawab Jirin dan kembali gadis itu mencari sosok utama yang biasanya ia lihat di tengah lapangan. “Tapi ngomong-ngomong kemana hari ini Jongwoon Sunbae, biasanya ia yang paling pertama datang.”

Jeongmin menggeleng pelan. “Kau itu bukan menguntit namanya. Kalau kau hanya melihat ia berlatih sepak bola, itu namanya menonton. Kalau yang namanya menguntit itu mengikutinya setiap saat kemanapun ia pergi. Ckk.”

“Terserahlah apa katamu. Bagiku ini mengutit, karena aku selalu melihatnya di sini diam-diam tanpa sepengetahuannya.”

Jeongmin hanya mengendikkan bahunya. “Hey , bukankah itu Jongwoon Sunbae?” Jeongmin mengacungkan telunjuk kanannya ke arah sisi lapangan sepak bola. “Loh, itu kan-“

“Gaein?” sela Jirin memotong ucapan Jeongmin. “Bagaimana bisa Gaein bersama Jongwoon Sunbae?”

“Mungkin mereka tak sengaja bertemu di depan kampus lalu masuk bersama-sama. Atau mereka memiliki urusan yang sama, seperti dengan dosen killer Han Saem. Atau mereka memang kenal sejak lama, atau mereka baru saja berkenalan dan-“

Malddo andwe,” sela Jirin lagi. Gadis itu terus menatap dua orang yang terlihat sangat akrab dan bahkan tertawa bersama di pinggir lapangan. Jirin lantas bangkit berniat menghampiri kedua orang itu yang serta merta membuat Jeongmin menahan tangannya.

Ya, eodiga?”

Jirin dengan cepat menepis tangan Jeongmin dan tanpa menjawab pertanyaan pria itu, ia segera melesat pergi dari bawah pohon maple untuk menghampiri Gaein dan Jongwoon. Hal itu tentu saja membuat Jeongmin mau tak mau mengikutinya karena jujur saja sangat tak nyaman duduk di bawah pohon maple saat musim dingin seperti sekarang.

Jirin menatap heran pada Gaein saat ia sudah berdiri di depan sahabatnya itu. Sayangnya saat Jirin belum sempat menghampiri Gaein tadi, Jongwoon sudah beranjak pergi dari pinggir lapangan dan bergabung dengan teman-teman klubnya di tengah lapangan.

“Oh, hey Rin-a,” sapa Gaein ramah. “Tadi-“

“Kau kenal dengan Jongwoon Sunbae?” ketus Jirin cepat memotong ucapan Gaein.

Gaein menautkan kedua alisnya bingung. “Nde?”

“Jadi selama ini kau sudah mengenal Jongwoon Sunbae tanpa memberitahuku? Lalu selama ini kau senang kan melihat penderitaanku demi menguntitnya? Kau bahagia kan selama ini bisa dekat dengan namja populer di kampus? Kemarin dengan Kyuhyun, sekarang Jongwoon. Wah, kau benar-benar hebat Park Gaein,” Jirin mengatakan kalimat yang sama sekali tak Gaein pahami. Lantas Jirin bersidekap dan tersenyum sinis menatap Gaein yang masih kebingungan di depannya.

“Apa maksudmu Rin-ah? Sungguh aku tak mengerti.”

“Wow, seorang Park Gaien yang selalu tanggap membaca situasi tak mengerti apa yang kukatakan? Lalu kau akan bilang kalau semua yang kukatakan salah paham begitu?”

“Jirin dengarkan aku, tadi aku-“

Geumanhe. Aku tak mau mendengar apapun darimu, kau sungguh tak berperasaan sebagai sahabat Gaein-a,” Jirin segera berbalik dan membawa tungkainya dengan cepat bahkan sedikit berlari meninggalkan lapangan. Di belakangnya Jeongmin mengikutinya tanpa mengerti situasi yang terjadi.

“Jirin-ah, kau salah paham,” lirih Gaein. Gadis itu menatap buku catatan milik Jirin yang rencananya akan ia serahkan pada sahabatnya itu. Tapi sedetik kemudian buku itu langsung ia masukkan ke dalam tas selempangnya.

Gaein menatap Jirin yang semakin menjauh. “Seharusnya aku yang marah dalam posisi ini. Kau bahkan tak mau mendengarkanku, kau sudah memblokku dari hidupmu, Jirin.” Gaein bermonolog lantas meninggalkan area lapangan setelah sebelumnya ia membungkuk memberi hormat pada Jongwoon yang kebetulan melihatnya.

###

Gaein menata beberapa novel teenlit yang baru terbit dengan uring-uringan. Gadis itu tidak seperti biasanya yang bekerja dengan ceria. Hari ini gadis itu terlihat lebih murung dan bahkan ia tak menyapa pengunjung yang datang, hanya membungkuk untuk memberi salam lantas ia kembali sibuk dengan buku-buku yang ia susun di rak.

Pintu toko terbuka. Gaein sedikit enggan menatap pengunjung yang datang sehingga ia lebih memilih berkutat pada tumpukan novel teenlit yang baru datang tadi pagi dari pada harus bersusah-susah memasang senyum pada pelanggan tersebut.

“Hey kau,” dengan jelas pendengaran Gaein menangkap suara yang sudah setengah bulan ini tidak asing baginya.

Gaein menatap pemilik suara itu yang berdiri di sampingnya yang tengah tersenyum lebar. Oh demi Dewa Neptunus yang Gaein sendiri tak tahu seperti apa wujudnya, jantungnya hampir saja mencelos keluar ketika kedua retinanya menangkap sosok tersebut dengan jelas berdiri tepat di sampingnya. “Sunbae, oh maksudku Khyuhyun-ssi,” sapa Gaein berusaha terlihat ramah.

Kyuhyun melirik meja kasir kemudian kembali menatap Gaein yang sepertinya kelelahan karena harus menyusun tumpukan buku yang cukup banyak. “Ini sudah kelima kalinya aku ke toko buku ini dalam setengah bulan terakhir sejak kau pertama kali bekerja di sini. Dan setiap itu pula aku tak pernah bertemu lagi dengan Kim Ahjumma,” Kyuhyun terkekeh lantas melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang ekspresi sedang berfikir dibuat-buat. “Aku jadi curiga,” Kyuhyun menyipitkan kedua matanya seperti sedang menyelidik Gaein.

Kedua alis Gaein terangkat karena ia tak mengerti maksud Kyuhyun. “Waeyo?”

“Aku curiga jangan-jangan Kim Ahjumma berniat mewarisi toko ini padamu,” canda Kyuhyun.

Gaein tanpa sadar terkekeh pelan. “Yang benar saja. Hanya kebetulan setiap kau ke sini Ahjumma ada keperluan di luar,” terang Gaein. “Oh ya, hari ini kau akan membeli buku apa?”

Oppa!” teriak seorang gadis di ambang pintu lantas dengan sedikit berlari ia menghampiri Kyuhyun. “Kenapa Oppa meninggalkanku huh?” gadis itu bergelayut manja di lengan Kyuhyun.

Gaein menatap heran pada gadis itu yang dengan seenaknya saja memeluk lengan Kyuhyun dengan cukup seduktif. Lantas Gaein menatap Kyuhyun yang tampaknya tak keberatan karena kelakuan gadis itu.

Mian, kau terlalu lama mengobrol dengan temanmu jadi aku memutuskan untuk menunggu di dalam toko ini,” Kyuhyun tersenyum begitu manis pada gadis itu dan membuat Gaein semakin heran. “Oh ya,” Kyuhyun menatap Gaein seraya menggamit lengan gadis di sampingnya. “Perkenalkan, dia yeojachingu-ku, namanya Im Yoona.”

Langit serasa runtuh tiba-tiba bagi Gaein saat kalimat itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Kyuhyun. Yeojachingu? Jadi Kyuhyun sudah memiliki seorang kekasih?

Anyeonghaseyo, na ireumi Im Yoona-imnida,” gadis itu memberi salam dengan ramah pada Gaein.

Gaein bergeming menatap Kyuhyun tanpa kedip sekian sekon. Sedangkah Kyuhyun dan gadisnya-Yoona-saling bertukar pandang karena sikap Gaein tersebut.

“Hey, Gaein-ssi... Neo gwaenchana?” Kyuhyun mengibaskan tangannya di depan wajah Gaein membuat gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali.

“Oh, ne, nan gwaenchanayo, hehe,” Gaein tertawa hambar dan saat itu pula tenggorokannya terasa ada ribuan jarum yang menusuk. Baru saja gadis itu berharap kalau ia bisa lebih dekat dengan Kyuhyun karena ini pertemuan kelima mereka. Namun harapan itu runtuh dalam beberapa sekon saja karena kekasih Kyuhyun yang selama ini tak pernah Gaein ketahui.

“Ya sudah, aku dan Yoona pergi dulu. Hari ini sedang tidak ada buku yang kucari. Kau jaga toko baik-baik ya, anyeong,” Kyuhyun memberi salam disusul Yoona lantas kedunya pergi begitu saja dari toko buku tanpa mengetahui keadaan Gaein.

Gaein menatap pintu toko di mana Kyuhyun dan gadisnya baru saja menghilang di balik pintu tersebut. Ia menghela nafas berat. “Padahal kukira Sunbae adalah mimpi indahku. Nyatanya kau sama saja dengan Jirin,” keluh Gaein. Sejurus kemudian gadis itu kembali berusaha memfokuskan dirinya menyusun novel yang masih belum tersusun meskipun nyatanya di pikirannya malah menjadi bertambah kalut.

###

Jirin menatap jalanan di bawah sana melalui jendela kamarnya. Apartemen mereka berada di lantai empat sehingga Jirin bisa dengan mudah melihat lalu lintas di bawah sana. Gadis itu tak benar-benar menatap ramainya lalu lintas, sejak berpuluh menit yang lalu pikiran gadis itu masih kosong.

Ini sudah hampir dua minggu ia dan Gaein tak bertegur sapa. Jujur Jirin sangat merindukan Gaein meskipun kamar Gaein ada di samping kamarnya. Tapi nyatanya saat Jirin bangun di pagi hari ia mendapati apartemen mereka kosong hanya menyisakan Jirin seorang diri. Gaein selalu pergi meninggalkan apartemen pagi-pagi sekali dan ia baru akan pulang larut malam saat Jirin sudah tertidur.

Hal itu Jirin ketahui ketika seminggu yang lalu ia mendengar langkah kaki dan pintu kamar Gaein terbuka saat pukul 23.30. Gaein sepertinya benar-benar menghindari bertemu dengannya.

Jirin berkali-kali menghela nafas dalam dan menghembuskannya dengan teramat pelan. Dadanya begitu sesak seolah ada ribuan ton beban yang menghimpit. Ia tak tahu siapa yang harus ia salahkan saat ini. Baiklah mungkin Jirin memang bersalah karena ia dengan mudahnya mengambil kesimpulan saat ia melihat Gaein bersama Jongwoon. Saat itu Jirin terlalu emosi sehingga ia tak mau mendengarkan penjelasan Gaein. Jirin ingin sekali meminta maaf pada sahabatnya itu, tapi ia tak tahu harus memulai dari mana.

Jirin beranjak dari samping jendela lantas duduk di tepi ranjang. Ia mengambil ponselnya yang tergelatak di atas ranjang untuk menghubungi seseorang. Saat nama kontak  yang akan ia tuju tertera pada layar ponsel, gadis itu kembali menghela nafas dan mengurungkan niatnya untuk menghubungi orang itu.

“Jeongmin-ah, bogoshipho,” lirihnya.

Setitik air mata meluncur tanpa komando ketika Jirin kembali menatap ponselnya. Jirin membuka menu pesan dan ia melihat sebuah pesan terakhir dari Jeongmin yang dikirimkan pria itu enam hari yang lalu.

Aku bersama Soeun sekarang. Ia pacarku yang baru. Kuharap kau mengerti karena aku percaya kau adalah teman yang paling pengertian di dunia.

Jirin bersumpah dadanya terasa tertusuk jutaan duri. Begitu sakit rasanya. Sungguh Jirin tak mengharapkan hubungan yang lebih dengan pria itu, hanya saja Jeongmin sedikit keterlaluan. Jika memang mereka berteman, lalu kenapa selama ini Jeongmin memperlakukan Jirin layaknya wanita yang begitu dicintainya? Lantas jika memang mereka adalah teman, kenapa Jeongmin tak lagi membalas semua pesan yang Jirin kirim? Bahkan sudah puluhan kali Jirin menelpon pria itu, tapi nyatanya tak satupun yang ia angkat.

Di kampus-pun Jeongmin seolah tak menghiraukan eksistensi Jirin. Begitu mudahnya kah pria itu melupakan Jirin yang sudah hampir setengah tahun ini bersamanya?

Jirin melempar asal ponselnya di atas tempat tidur. Lantas ia beranjak mengambil mantel hitam yang tergantung di balik pintu, kemudian berjalan keluar meninggalkan apartemennya.

Hari ini Sabtu. Dan Jirin tidak ada jadwal kuliah sehingga sejak tadi pagi ia hanya berdiam diri di dalam kamar. Bahkan ia belum makan apapun sejak pagi ini. Ini sudah pukul lima sore dan Jirin juga sudah melewatkan waktu makan siangnya.

Jalanan cukup ramai ketika langkah Jirin perlahan menyusuri pusat kota. Hanya taman yang berada tak jauh dari toko buku tempat Gaein bekerja yang menjadi satu-satunya tujuan Jirin saat ini. Ia merasa benar-benar kesepian sekarang. Tak ada Jeongmin yang menemaninya lagi, juga tak ada Gaein yang biasanya akan selalu bersama-sama dengannya jika sedang akhir pekan. Di saat seperti ini, ia jadi merindukan kampung halamannya. Ibunya, ayahnya, dan juga kakak serta adiknya di Mokpo.

Langkah Jirin terhenti saat netranya menangkap sosok yang sejak tadi terus berada dalam pikirannya. Sama sepertinya, sosok itu sepertinya begitu terkejut ketika mendapati Jirin berdiri tak jauh di hadapannya. Keduanya terdiam puluhan sekon tanpa seorangpun diantara mereka untuk beranjak dari geming. Jirin menatap sosok itu dengan perasaan bersalah, sedangkan yang ditatap malah menyiratkan ekspresi kekecewaan yang bisa Jirin tangkap dengan jelas.

“Gaein-ah,” ucap Jirin pelan.

Gaein bisa dengan jelas mendengar apa yang baru saja Jirin katakan mengingat jarak mereka berdua hanya sekitar dua meter. Gaein hanya diam lantas tak lama ia berbalik berniat beranjak meninggalkan Jirin karena ia benar-benar tak ingin bertemu dengan gadis itu sekarang.

“Gaein-ah, chankamman...” panggil Jirin seraya menyusul langkah lebar Gaein. “Chankamman jebal,” ucap Jirin lagi berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Gaein.

Langkah Gaein terhenti dan dengan cepat ia menatap Jirin tajam seraya menahan emosinya. “Wae geurae?”

“Aku, aku ingin bicara sebentar denganmu.”

“Denganku?” tunjuk Gaein tak percaya pada dirinya. “Apa yang ingin kau bicarakan? Kau ingin mengungkit kejadian saat aku bersama Jongwoon Sunbae lagi? Kau ingin memakiku karena hal itu?” nada bicara Gaein meninggi.

Jirin tersentak karena ucapan Gaein barusan. “Bu, bukan. Bukan begitu. Aku ingin... meminta maaf,” lirih Jirin dengan menunduk. Ia sungguh tak berani menatap Gaein saat ini.

Gaein mendengus. “Wow. Meminta maaf? Setelah hampir setengah bulan kau baru meminta maaf sekarang? Mana sosok Jirin yang egois huh? Sudahlah, aku tak ingin-“

Mianhe Gaein-ah, jeongmal mianhaeyo,” ucap Jirin cepat.

Gaein tak menjawab. Gadis itu malah akan beranjak pergi namun langkahnya tertahan karena Jirin yang tiba-tiba berucap, “Saat itu aku terlalu emosi. Maaf,” lirihnya lagi berharap Gaein mau mengerti keadaannya.

Gaein kembali menatap tajam Jirin. “Semudah itukah kau meminta maaf? Kau bahkan tak pernah mau mendengarkanku,” desis Gaein. Gadis itu ingin sekali rasanya meluapkan emosinya, hanya saja ia tahan mengingat saat ini mereka sedang berada di tengah keramaian kota.

“Maaf,” lagi-lagi hanya kata itu yang terucap dari kedua bibir Jirin.

“Kau keterlaluan Jirin. Kau itu egois. Kau bahkan terlalu sibuk dengan duniamu bersama pria bernama Lee Jeongmin itu sampai-sampai kau tak sadar kalau sikapmu itu sudah memblokku dari kehidupanmu,” Gaein membuang tatapannya ke arah lain. Ia sungguh muak jika harus menatap wajah Jirin sekarang.

Jantung Jirin berpacu lebih cepat saat Gaein menyebut nama pria yang sudah membuatnya menangis beberapa hari ini. “Maafkan aku sungguh. Aku, aku menyesal Gaein-ah, maafkan aku. Dan lagi, saat ini aku sudah tak bersama Jeongmin lagi.”

Gaein kembali menatap Jirin. Salah satu sudut bibirnya tertarik sehingga membentuk senyum sinis seraya bersidekap. “Oh, pantas saja. Seorang Jirin yang egois tiba-tiba meminta maaf. Ternyata karena ia sudah tak bersama prianya lagi. Jadi disaat pria itu tak bersamamu lagi, kau baru ingat padaku begitu? Wah, kau hebat.”

“Gaein-ah..”

“Sudahlah. Don’t disturb me anymore.” Gaein meninggalkan Jirin dengan langkah cepat.

Jirin mematung melihat bagaimana kekecewaan Gaein terhadapnya. Benar, Gaein pantas marah padanya dan pantas untuk tidak memaafkannya. Jirin bahkan sudah sangat terlambat menyadari sikapnya yang selama ini lebih mementingkan Jeongmin dibandingkan Gaein, sahabatnya sendiri.

Air mata yang sejak tadi ditahan Jirin akhirnya meluncur dari pelupuk matanya. Ia sungguh tak pernah berpikir jika persahabatannya dan Gaein akan menjadi seperti ini. Karena keegoisannya. Hati Jirin terlalu dingin selama ini, seperti musim dingin sekarang.

Angin dingin berhembus dan menusuk kulit membuat Jirin merapatkan mantel yang ia kenakan. Gadis itu membalik tubuhnya. Mengubah niatnya yang tadi menuju taman kota, sekarang berbalik kembali ke apartemennya. Karena tubuhnya sudah terlalu lemah ditambah ia tak ingin menangis di tengah kota. Jirin terus merutuki dirinya sepanjang jalan karena keegoisannya. Ia egois. Sangat egois.

###

Kampus itu sangat sepi. Hanya ada Jirin seorang diri mengingat hari ini adalah hari Minggu sehingga tak ada kegiatan apapun di kampus. Gadis itu membawa tungkainya perlahan menuju lantai tiga kampus. Ia sendiri tidak tahu kenapa, tapi yang pasti ia benar-benar ingin melihat ruang lukis milik Jeongmin untuk yang terakhir kalinya.

Kening Jirin berkerut karena pintu ruangan itu sedikit terbuka. Seingat Jirin, Jeongmin selalu mengunci pintu itu jika sudah selesai melukis. Karena Jeongmin tak pernah ingin orang lain mengetahui ruangan pribadinya, ditambah semua lukisan hasil karyanya.

Kembali dengan perlahan Jirin membuka pintu itu lebih lebar. Dengan perlahan pula Jirin memasuki ruangan itu seraya berjaga-jaga jika ada orang lain di dalam. Dan benar saja, kedua retina matanya dengan jelas menangkap sosok Jeongmin yang sedang duduk di balik sebuah kanvas. Pria itu sedang fokus pada lukisannya sehingga tak menyadari presensi Jirin di dalam ruangannya.

Jirin mendekati Jeongmin namun sepertinya pria itu masih tak menyadari kehadirannya. Jirin menatap kanvas yang menjadi objek lukisan Jeongmin. Seorang wanita? Jadi lukisan yang selama ini sangat sukar Jeongmin selesaikan adalah lukisan seorang wanita?

“Maaf...” ucap Jirin pelan berharap tak mengejutkan Jeongmin yang masih berkonsentrasi menyapu kuasnya pada kanvas.

“Aku tahu kau datang. Aku melihatmu tadi di pintu, maaf berpura-pura tak menyadari kehadiranmu,” ucap Jeongmin dan terkesan dingin pada nada bicaranya.

“Kau marah aku ke sini?”

Jeongmin meletakkan kuasnya dan menatap Jirin di sampingnya yang sedang menatap lukisannya dengan ekspresi datar. “Aku tak pantas marah. Yang seharusnya marah itu kau, aku tahu kau ingin memperjelas semuanya kan?” Jeongmin bangkit berdiri. “Marahlah padaku sepuasmu, dan.. kau bisa memukulku jika kau-“

-plakkk

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Jeongmin. Nafas Jirin memburu dengan tangan kanannya yang baru saja memukul Jeongmin tadi sedikit bergetar. “Apa maksudmu selama ini Jeong? Kau anggap aku apa selama ini? Chingu? KALAU BEGITU PERLAKUKAN AKU LAYAKNYA TEMAN! BUKAN WANITA YANG KAU BUTUHKAN UNTUK PELAMPIASAN!”

Jeongmin memegangi pipi kirinya yang terasa berdenyut. Jeongmin dengan jelas melihat air mata yang tumpah di wajah Jirin, wanita yang sudah setengah tahun terakhir bersamanya. Jeongmin sungguh tak pernah bermaksud membuat wanita di hadapannya ini menangis.

“Jirin-ah mianhe, jeongmal mianhaeyo,” lirih Jeongmin.

Jirin menatap lukisan Jeongmin yang sudah hampir sempurna. “Apa itu gadis yang bernama Soeun? Sudah berapa lama kau mengenalnya? Kau bahkan tak menceritakannya padaku,” Jirin berusaha mengatur nada bicaranya.

“Tahun lalu,” jawab Jeongmin terus terang. “Jujur aku awalnya memang ingin melukisnya, namun saat aku mengenalmu setengah tahun yang lalu, aku mulai tertarik denganmu karena Seoun yang menjauhiku. Aku ingin mengganti lukisan itu menjadi dirimu, tapi-“

“Tapi kau tak bisa kan? Karena Soeun lah yang kau pikirkan. Bukan aku. Lalu kenapa kau tak menjawab telponku beberapa hari yang lalu? Atau paling tidak balas meskipun hanya satu dari puluhan pesan yang aku kirim, WAE???”

“Itu karena... Karena Soeun-“

“Karena kau bersamanya kan? Karena kalian kembali dekat dan kau mengabaikanku yang bukan siapa-siapamu ini. Benar kan? Kupikir kau berbeda dengan kebanyakan pria lain karena aku nyaman bersamamu, aku bisa menjadi diriku sendiri saat aku bersamamu. Aku merasa nyaman bersamamu melebihi saat aku bersama sahabatku sendiri. Lalu, aku terlalu berlebihan begitu? Aku yang terlalu dibutakan akan sikap baikmu yang ternyata ‘palsu’. Kau tak menganggapku apa-apa sedikitpun. Teman? Gotjimal. Semua itu bohong...” Jirin mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya menahan agar emosinya tak semakin meluap.

“Jirin-ah

“Terima kasih atas semua kebohonganmu. Ini adalah terakhir kalinya aku berbicara padamu. Ini terkahir kalinya aku menganggap kau sebagai teman baikku. Karena setelah ini aku tak sudi lagi bertemu denganmu, atau bahkan mengingatmu. Anyeong Jeongmin-ssi.”

Jirin dengan cepat meninggalkan ruang lukis Jeongmin dengan langkah lebar. Ia tahu sekarang, dirinya terlalu egois dan dibutakan akan segala kebenaran. Kebenaran akan kepura-puraan Jeongmin, dan dibutakan akan kebenaran ketidakbersalahannya Gaein. Jirin merasa menjadi pecundang. Ia benar-benar pecundang yang tak pantas memiliki teman baik.

###

Jirin duduk di tepi sungai Han. Udara sangat dingin sekarang mengingat salju pertama turun tadi malam. Gadis itu mengenakan jaket berbulu dengan warna kuning, jaket couple­-nya dengan Gaein saat ulang tahun Gaein. Milik Jirin warna kuning sedangkan milik Gaein berwarna biru.

Tak banyak orang saat ini karena tak ada orang yang mau mati konyol di tengah dinginnya udara seperti sekarang dengan berada di luar rumah. Jirin menatap air sungai yang mengalir perlahan. Begitu tenang.

Sudah genap satu bulan Jirin tak bertegur sapa dengan Gaein. Bahkan Gaein tanpa sepengetahuan Jirin memilih tidur di sebuah kamar di toko buku tempat Gaein bekerja. Gaein tak pernah pulang kembali ke apartemen mereka sejak pertemuan terakhir mereka di dekat taman di tengah kota kecuali sekali untuk mengambil beberapa pakaiannya. Setelah itu hanya Jirin sendirian tanpa teman. Di kampus juga Gaein menganggap Jirin seperti orang asing. Orang asing yang sama sekali tak pernah mengenal sedikitpun.

Lagi-lagi Jirin menangis ketika ia benar-benar merindukan Gaein. Jirin tak mudah menangis seperti sekarang ini sebelumnya seumur hidup. Seandainya saja benar-benar ada sebuah alat yang bernama mesin waktu itu, tentu Jirin akan memutar kembali waktunya saat sebelum bertemu Jeongmin sehingga ia bisa mengendalikan dirinya saat itu untuk tidak mengabaikan Gaein.

Ah, mengingat pria itu membuat dada Jirin kembali teriris. Lagipula tak ada artinya lagi kata ‘seandainya’ yang Jirin harapkan. Semua benar-benar sudah berlalu. Gaein sudah membencinya sekarang.

“Kupikir kau bersenang-senang sekarang. Nyatanya kau malah terlihat sangat menyedihkan.”

Suara itu?

Jirin sontak menelengkan kepalanya ke arah sumber suara. Kedua matanya membelalak mendapat presensi seseorang yang tak pernah ia sangka akan datang menemuinya di tengah dinginnya udara saat ini.

“Gaein-ah.”

Gadis bernama Gaein  itu lantas memposisikan tubuhnya duduk di samping Jirin. Lantas hening setelahnya. Bahkan nyaris tak ada suara selama bermenit-menit jika saja suara perut Jirin tak berbunyi memecah keheningan yang melingkupi mereka.

Jirin menunduk malu lantas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Oh, sial. Dia benar-benar sudah menjatuhkan harga dirinya karena cacing-cacing di perutnya berdemo di saat yang tidak tepat.

Mianhe,” ucap Gaein pelan namun dapat didengar jelas oleh Jirin.

Jirin hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Huh?”

Gaein menatap Jirin sendu lantas tersenyum tulus pada gadis di depannya yang terlihat lebih kurus dibanding terakhir mereka bertemu. “Maaf. Maaf meninggalkanmu saat itu. Maaf meninggalkanmu sendirian di apartemen. Maaf tak memaafkanmu saat itu. Maaf sudah membuatmu jadi seperti ini,” terang Gaein.

Rongga dada Jirin serasa berdesir mendengar ucapa Gaein barusan. Ia tidak salah dengar kan?

Jirin menggeleng cepat dengan matanya yang sudah memburam karena lagi-lagi air matanya mendesak untuk keluar. “Aniyo, aku yang seharusnya minta maaf. Maaf Gaein-ah, sungguh aku minta maaf, hiks, maaf mengabaikanmu karena Jeongmin. Maaf tak mendengarkan alasanmu saat bersama Jongwoon Sunbae, hiks, maaf aku terlalu egois,” Jirin berkali-kali menghapus kasar air mata yang mengalir begitu saja di wajahnya meskipun ia dengan susah payah menahannya.

Gaein seketika memeluk Jirin yang tentu saja langsung dibalas Jirin dengan turut memeluk erat sahabatnya itu. “Heum, aku sudah memaafkanmu. Aku tahu manusia tak pernah lepas dari kesalahan. Saat itu aku hanya sebal karena kau terlalu mementingkan Jeongmin dari pada aku. Ditambah kau tidak mau mendengarkan penjelasanku saat bersama Jongwoon Sunbae.Tapi-“, Gaein menggantung kalimatnya dan melepaskan pelukannya.

“Tapi apa?” tanya Jirin penasaran.

“Tapi aku jadi merasa bersalah karena membiarkanmu tertipu oleh Jeongmin dan tidak ada bersamamu saat kau kesepian. Aku kasihan padamu, lihat kau bahkan jadi kurus seperti ini,” kekeh Gaein berusaha membuat suasana tak terlalu melankolis. Sungguh Gaein tak suka suasana melankolis seperti ini.

Jirin hanya bisa tersenyum. “Aku tidak berselera makan karena aku tak biasa makan sendiri. Eumm jadi...” Jirin menatap Gaein dengan ragu. “Apa kau sungguh-sungguh sudah memaafkanku?”

Gaein mengangguk pasti. “Tentu saja.”

“Kita sudah berbaikan kan?” tanya Jirin lagi dengan ragu.

Gaein tertawa renyah. Tanpa menjawab pertanyaan retoris Jirin, Gaein malah mengambil sebuah kotak berbungkus kertas kado yang entah sejak kapan berada di sampingnya dan juga sebuah buku catatan yang sudah satu bulan ini dicari oleh Jirin.

Gaein menyerahkan kado berukuran cukup besar tersebut pada Jirin membuat alis Jirin bertaut bingung. “Saengil chukkahamnida uri jirin. Dan ini bukumu yang saat itu terjatuh di pinggir lapangan. Jongwoon Sunbae yang mengantarkan langsung buku itu ke apartemen kita, karena kau tak ada makanya ia serahkan padaku. Dan itu sebabnya aku bersama Jongwoon Sunbae saat itu.”

Dagu Jirin terjatuh dengan mulutnya hampir menganga lebar. Astaga, ia bahkan lupa kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Dan ia tak menyangka jika Jongwoon saat itu mengembalikan bukunya, ia benar-benar salah paham pada Gaein. “Gaein-ah, gomawo,” ucap Jirin tulus.

“Bukalah,” pinta Gaein.

Dengan cepat Jirin membuka kotak kado tersebut. Kado itu berwarna kuning, hadiah khas setiap tahun dari Gaein karena Jirin begitu menyukai warna kuning. “Gaein-ah, ige...” ucapan Jirin tertahan saat netranya melihat isi kado itu. Ada sepuluh buah novel dengan cover beraneka warna. Kado ulang tahun yang tak pernah terpikirkan sedikitpun oleh Jirin.

Eotokhae? Kau suka?”

Jirin mengangguk dan mati-matian kembali menahan air matanya. “Aku lebih dari suka. Ini luar biasa Gaein-ah, aku, aku bahkan kehabisan kata-kata. Gaein-ah bukankah ini-“

“Itu semua novel teenit yang baru terbit dan ada beberapa yang best seller,” ucap Gaein memotong ucapan Jirin.

Jirin tanpa aba-aba langsung memeluk Gaein membuat Gaein terkekeh pelan. “Terima kasih Gaein, sungguh aku tak menyangka kau tak melupakan hari ulang tahunku. Aku bahkan tak menyangka kau bisa memberikanku kado luar biasa ini.” Jirin melepaskan pelukannya.

“Heum, sama-sama.”

“Tapi, novel ini pasti mahal,” Jirin menatap tak enak pada kado di tangannya.

“Hey, kau tidak berfikir setelah ini aku tidak punya uang untuk makan kan? Itu aku beli dengan gaji pertamaku bekerja di toko buku Kim Ahjumma,” terang Gaein yang sukses membuat Jirin kembali membelalakkan matanya.

“Hey, bukankah kau bilang kau ingin sekali ikut tour ke Macau? Lalu-“

“Aku patah hati.”

Jirin menatap Gaein menuntut penjelasan dari gadis itu.

“Kau benar, aku ingin ikut tour itu karena ada Kyuhyun Sunbae. Tapi beberapa minggu yang lalu aku tahu kalau dia sudah punya yeojachingu, jadi aku putuskan untuk tidak ikut tour itu dari pada aku harus merasa tidak nyaman saat melihat Kyuhyun Sunbae.”

Neo gwaenchana?” tanya Jirin khawatir.

Gaein mengangguk masih dengan mempertahankan senyum di wajahnya. “Heum, tentu saja aku baik-baik saja. Aku bahkan tidak sampai kurus sepertimu, haha. Oh ya, sekarang tinggal kau yang berjuang untuk merebut hati Jongwoon Sunbae.

Jirin mempotkan bibirnya. “Kurasa aku menyerah. Jongwoon Sunbae itu seperti bintang yang terlalu tinggi dan sangat mustahil untuk digapai,” terang Jirin lantas menghapus sisa air mata di wajahnya.

“Haha, kau benar juga. Sepetinya kita harus mengucapkan selamat tinggal pada cinta tak terbalaskan di masa kuliah kita Rin-ah.”

Jirin mendengus pelan lantas terkekeh. Namun sial cacing-cacing di perutnya kembali berdemo karena sejak tadi pagi hingga pukul empat sore ini Jirin belum memakan apapun. “Astaga, cacing-cacing sialan,” gerutu Jirin.

Gaein tertawa mendengar bunyi perut Jirin yang cukup nyaring. “Kajja ke restaurant di dekat sini. Aku tahu kau pasti sudah sangat kelaparan. Dan kau harus mentraktirku makan, okey.”

Jirin tertawa pelan. “Baiklah-baiklah. Aku akan mentraktirmu sepuasnya untuk merayakan ulang tahunku sekaligus merayakan perdamaian kita. Dan juga, untuk mengobati patah hatimu, hahaa..” Jirin bangkit dan berjalan mendahului Gaein sebelum temannya itu mengamuk.

Mwo? Apa kau bilang? Hey, aku tidak semenyedihkan itu Nona Choi. Lalu bagaimana denganmu yang patah hati karena seorang Lee-“

“Hey hentikan. Kau jadi kutraktir atau tidak huh?” Jirin memotong cepat ucapan Gaein karena ia tak ingin mendengar nama pria itu lagi.

“Haha, baiklah Nona Choi.”

Mereka berdua terawa bersama seraya meninggalkan tepi sungai Han menuju restaurant tak jauh dari tempat mereka duduk tadi. Kehangatan persahabatan mereka mengalahkan dinginnya cuaca musim dingin di Seoul. Persahabatan yang penuh warna. Warna-warna yang akan terus membumbui persahabatan mereka sampai akhir kisah hidup mereka.

.
.
FIN

Alhamdulillah selesai ^^
Nggak nyangka banget kalo jadinya bakalan sepanjang ini. Pasti eneg bingit dah bacanya, hehe...
Pokoknya aku mau ucapin terima kasih banget deh buat Yuni atas kado yang SUPER AWESOME-nya. Berkat kado itu aku jadi punya inspirasi bikin cerita ini ditambah beberapa kejadian sebelum tanggal ulang tahun aku, yah konflik karena ‘seseorang’ yang nyatanya menyakitkan sekali T_T
Makasih masih memikirkan ulang tahun aku padahal aku sudah banyak mengecewakan kamu, mianhe Yuni-ya, jeongmal mianaheyo nae chingu...
Maaf ya kalo ceritanya jelek banget. Aku juga nggak tau kenapa malah banyak pake penggunaan bahasa Korea.
Makasih buat yang bersedia membaca, gomawo :) *bow