THE STORY OF US
.
(Ini kisah nyata aku dan sahabat aku, Yuni. Tapi kisah ini
sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kisah nyatanya hanya sekitar 30%
^^)
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
Main Cast:
Aisyah as Choi Jirin and Sri Wahyuni as Park
Gaein
Support Cast:
Super
Junior’s Cho Kyuhyun / Super Junior’s Yesung a.k.a Kim Jongwoon / Boyfriend’s
Lee Jeongmin
.
This is just my high imagination that I poured into a
story... Happy reading ^^ *English limited edition :p *
.
###
Musim dingin di Seoul.
Pagi di musim dingin tak pernah sedingin itu bagi
Jirin. Baiklah, mungkin kedengarannya sedikit aneh karena musim dingin nyatanya
memanglah dingin. Namun tiga tahun di Seoul ia tak pernah merasa begitu sedingin
pagi ini. Ini musim dingin ketiga yang gadis itu habiskan di Seoul karena ia
bersama sahabatnya yang sama-sama dari Mokpo sedang menyelesaikan gelar Strata
Satu mereka di Kyunghee University.
Jirin merapatkan sweater
yang membalut tubuh mungilnya seraya membuka tirai jendela berwarna biru
langit yang merupakan warna kesukaan sahabatnya, Gaein. Cahaya matahari yang
nyatanya tidaklah hangat menelusup melalui jendela kaca dan seketika menerangi
seluruh ruang kamar yang gelap sejak tadi karena sang pemilik kamar tak
menyalakan lampu penerangan sedikitpun.
“Eungh.”
Erangan gadis yang masih bergelayut di dalam selimut
lantas mendominasi kamar. Membuat Jirin berdecak dan memutar bola matanya
malas, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. Dengan sedikit kesal
gadis itu membawa tungkainya perlahan ke sisi ranjang dan tanpa ba-bi-bu ia langsung menarik selimut
yang membalut tubuh sahabatnya.
“Ya! Park
Gaein! Ireona...” Jirin memukul pelan
boneka beruang biru ke wajah Gaein karena sahabatnya itu masih belum mau
membuka matanya.
“Eungh.” Lagi-lagi gadis itu hanya mengerang membuat
Jirin mendengus sebal.
Jirin melemparkan boneka itu tepat ke wajah Gaein yang
membuat gadis berambut sebahu itu seketika membuka kedua matanya. “Ireona palli. Kau tidak ingin
ketinggalan kelas Choi Songsaenim
lagi kan? Jadi cepatlah,” perintah Jirin lantas ia beranjak dari sisi ranjang
Gaein. Meninggalkan sahabatnya yang masih berusaha mengumpulkan nyawa dan
menghilang di balik pintu kamar Gaein.
“Ugh.. Aku masih mengantuk,” desis Gaein seraya
bangkit dan kelihatan sekali matanya sangat sulit dibuka. “Hoaahmm.”
###
“Kau tidak cuci muka dulu?” Jirin menatap Gaein
sekilas saat Gaein sudah duduk dengan manis dan langsung menyambar segelas
coklat panas di atas meja makan. Jirin masih sibuk dengan pancake di atas frying pan untuk sarapan mereka berdua.
“Shireo.
Dingin,” jawab Gaein sekenanya lantas gadis itu menghabiskan coklat panas yang
masih tersisa setengah gelas.
Jirin hanya menggeleng lantas turut mendudukkan
dirinya pada kursi di hadapan Gaein dan meletakkan dua piring pancake di atas meja. “Dasar jorok. Oh
ya, kudengar kau akan bekerja part time
di toko buku Kim Ahjumma?”
“Heum, begitulah. Kurasa aku perlu uang tambahan. Kau
tahu kan aku sangat ingin ikut tour
ke Macau bersama teman-teman di club
musikku bulan depan?” Gaein menjawabnya dengan mulut penuh pancake.
Jirin lagi-lagi hanya menggeleng pelan. Lantas
setelahnya ia mulai memasukkan pancake
perlahan ke dalam mulutnya. “Kau ingin ikut tour
itu atau karena ada Kyuhyun Sunbae
huh?” ledek Jirin.
Ucapan Jirin barusan sukses membuat Gaeun terbatuk.
Jirin hanya terkekeh karena ia tahu sahabatnya itu sudah menyukai Khyuhyun
sejak lama, salah satu senior mereka di Kyunghee University. Jirin merasa wajar sahabatnya itu menyukai Khyuhyun
mengingat pria itu memang termasuk mahasiswa cerdas di kampus dan juga pria itu
cukup aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Di tambah wajah tampan dan
tubuh tingginya, yeoja mana yang
tidak akan bertekuk lutut saat melihatnya.
Yah, tapi itu tidak berlaku untuk Jirin. Saat pertama
kali menginjakkan kakinya di Kyunghee University,
ia sudah jatuh hati pada senior mereka yang bernama Kim Jongwoon. Salah satu
mahasiswa populer karena pria itu adalah captain
klub sepak bola kampus mereka. Dan wajah pria itu sama tampannya dengan
Khyuyun. Bahkan bagi Jirin, wajah Jongwoon jauh lebih tampan dibandingkan
Kyuhyun. Jongwoon adalah sahabat Kyuhyun. Jadi, bukankah itu terlihat dunia ini
begitu sempit? Gaein menyukai Khyuhyun, dan Jirin menyukai Jongwoon. Dan mereka
juga bersahabat seperti Kyuhyun dan Jongwoon. Tidakkah itu sebuah kebetulan
yang luar biasa?
“Apa kau akan langsung ke toko buku usai kuliah?”
“Tentu saja, hari ini hari pertamaku bekerja. Aku
harus memberi kesan yang baik pada Kim Ahjumma,”
jawab Gaein lantas menghabiskan potongan terakhir pancake ke dalam mulutnya. “Keundae,
Jirin-a...”
Jirin menatap Gaein menunggu kelanjutan kalimat Gaein.
“Wae?”
“Tumben sekali pagi-pagi begini kau sudah berpakaian
rapi. Bukankah jadwal kuliahmu masih dua jam lagi?” Gaein melirik jarum jam
dinding di atas kulkas.
“Oh, eum sebenarnya...” Jirin meneguk habis segelas
coklat panas sebelum menjawab pertanyaan Gaein lantas berdehem sebentar. “Tadi
malam Jeongmin menelponku. Dia bilang pagi ini akan mengajakku ke suatu tempat
sebelum ke kampus,” Jirin tersenyum lebar setelah menyelesaikan kalimatnya.
Alis Gaein berkerut. “Jeongmin? Lee Jeongmin? Maksudmu
Jeongmin teman satu club drama
denganmu itu?”
Jirin mengangguk masih dengan mempertahankan
lengkungan di bibirnya.
Sebersit rasa tak suka mendadak menggelayut di hati
Gaein ketika mendengar nama pria itu. Ia tak membenci pria itu, hanya saja-
“Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu. Kalau kau tak
sempat mencuci piringnya biar nanti aku yang mencucinya, kau letakkan saja di
samping wastafel. Anyeong.”
-Jirin mulai berubah sekarang.
Gaein menatap punggung Jirin yang berjalan
meninggalkan ruang makan dan menghilang di balik pintu. Gadis itu menghembuskan
nafas dalam seraya bangkit dari duduknya untuk membereskan piring dan gelas
pada wastafel lantas mencucinya setelah sebelumnya ia memasang sarung tangan
karet pada kedua tangannya.
###
Jirin menatap takjub pada semua kanvas dengan cat
berbagai warna yang terpajang pada dinding di dalam ruang kosong itu. Jirin tak
menyangka di lantai tiga kampus mereka ada sebuah ruang kosong yang tak
terpakai dan selama ini dijadikan oleh pria yang sedang duduk di depan sebuah
kanvas itu sebagai ruang pribadinya untuk melukis.
“Kau yang membuat ini semua?” tanya Jirin tak percaya
tanpa menatap pria itu. Netranya sibuk menilik kanvas-kanvas itu yang tiap-tiap
kanvasnya melukiskan gambar yang berbeda-beda.
“Heum, tentu saja. Bagaimana menurutmu?” pria itu
terkekeh melihat Jirin yang begitu takjub melihat karya lukisnya. Baginya
tingkah Jirin itu sedikit berlebihan. “Hey, Nona Choi Jirin. Apa kau
mendengarku?”
“Huh? Kau bilang apa tadi?” Jirin yang masih sibuk
mengagumi sebuah kanvas berlukiskan laut biru berbalik menatap Jeongmin yang
kini pria itu sedang memegang sebuah kuas. Mungkin ia bersiap untuk kembali
melukis.
“Tadi kutanya bagaimana menurutmu semua lukisanku.
Ckk.. kau ini terlalu berlebihan menatap lukisan itu.”
“Hehe, mianhe,”
Jirin melangkah mendekati Jeongmin seraya mengacungkan kedua ibu jarinya. “Daebak! Noumu daebak,” serunya.
Jeongmin kembali terkekeh. “Jeongmal?”
“Heum, nan
jeongmalyo. Keundae Jeongmin-ah, kenapa kau tak memberitahuku sejak
awal kalau kau pandai melukis?”
Jeongmin menatap kanvas di depannya yang masih belum
selesai sehingga gambarnya tampak abstrak. “Aku tak yakin hobby-ku ini adalah sesuatu yang perlu kubanggakan atau tidak.
Karena kurasa hasil lukisanku terlalu standar dan tak layak untuk dipajang di
pameran manapun.”
“Eits, apa maksudmu. Coba lihat semua hasil lukisanmu
ini,” Jirin kembali menelengkan kepalanya ke seluruh penjuru ruangan itu untuk
menatap hasil lukisan Jeongmin. “Kau bilang standar? Kau terlalu merendahkan
dirimu Jeong. Semua ini adalah masterpiece
bagiku,” ucap Jirin sedikit heboh.
Jeongmin lagi-lagi hanya terkekeh seraya meletakkan
kuas yang sejak tadi ia pegang namun tak juga ia lukiskan pada kanvas. “Ya
baiklah terima kasih sudah menganggap semua lukisanku ini sebagai suatu masterpiece, Nona.” Jeongmin bangkit dan
mengambil ransel merahnya lantas menyampirkannya ke bahu.
“Kau tak jadi melukis?” tanya Jirin heran ketika
melihat Jeongmin yang sepertinya berniat meninggalkan ruangan itu.
“Aku tak bisa melukis jika ada orang di dekatku,”
jawabnya lantas menarik lengan Jirin untuk bersama-sama keluar dari ruang
pribadinya.
Jirin mendengus. “Lalu untuk apa kau mengajakku? Kau
membuatku seolah-olah menjadi pengganggu saja,” Jirin mempoutkan bibirnya
kesal.
“Bukankah sudah kubilang tadi malam kalau aku akan
menunjukkan padamu suatu tempat yang selama ini hanya aku seorang yang tahu.
Dan kau harus berterima kasih karena kau adalah orang pertama yang mendapatkan
kehormatan masuk ke dalam ruangan itu Nona.”
Jirin memutar bola matanya malas. “Yaya, baiklah Tuan
Jeongmin Sang-Pelukis-Yang-Terhormat. Saya merasa sangat tersanjung atas
kesempatannya melihat ruang pribadi Anda. Kau puas?”
Jeongmin tertawa disusul Jirin. Keduanya sama-sama
tertawa setelah menuruni tangga dan sampai di lantai pertama gedung utama
kampus mereka.
“Masih ada waktu empat puluh menit sebelum kelas Jung Songsaenim dimulai,” Jeongmin melirik
arloji di pergelangan tangannya. “Kau mau menemaniku ke kantin?”
“Baiklah. Siapa yang terlambat sampai ke kantin harus
traktir,” Jirin segera berlari menuju kantin tanpa menunggu persetujuan
Jeongmin.
“Haish, dasar curang. Hey, Jirin tunggu aku!” Jeongmin
ikut berlari mengejar Jirin yang sudah jauh berada di depannya.
###
Gaein menyusun beberapa buku best seller pada salah satu rak di ujung toko. Gadis itu tampak
bersemangat sekali bekerja sehingga Nyonya Kim sang pemilik toko itu terkekeh
ketika Gaein menyambut pengunjung yang datang ke toko dengan antusias.
“Park Gaein,” panggil Nyonya Kim saat Gaein hampir
selesai menata buku.
Gaein menghampiri Nyonya Kim yang duduk di balik meja
kasir. “Ne, Ahjumma.”
“Aku akan keluar sebentar. Mungkin sekitar setengah
jam. Kau bisa kan menjaga toko sendirian?”
Gaein tersenyum ramah. “Ne, algaseumnida Ahjumma.”
Nyonya Kim tersenyum seraya bangkit berdiri dan
meninggalkan meja kasir. Gaein menatap punggung Nyonya Kim yang berjalan menuju
pintu toko lantas dengan cepat kembali menata beberapa buku yang masih belum ia
letakkan pada rak.
Pintu toko terbuka saat Gaein sudah selesai menata
buku dan gadis itu seperti sebelum-sebelumnya, selalu menyapa pengunjung yang
datang. “Selamat dat-“
Kalimatnya terhenti dengan kedua matanya yang
mengerjap berusaha meyakinkan penglihatannya. Seorang pria berkulit seputih
susu dan dengan postur tegap sedang berdiri di hadapannya sambil netranya
mencari-cari sesuatu. “Kyu, Kyuhyun Sunbae...”
ucap Gaein pelan.
Pria itu, Kyuhyun, tampaknya tak mendengar apa yang
baru saja Gaein katakan. Setidaknya Gaein tak perlu malu karena ia kelihatan
begitu terkejut tadi. Gaein sebisa mungkin mengatur deru nafasnya dan
bertingkah sewajarnya meskipun cukup sulit karena jantungnya yang tiba-tiba
saja berdentam tak terkendali. Seorang
Cho Kyuhyun ada di dekatnya!
Tanpa memperdulikan eksistensi Gaein, Kyuhyun berjalan
ke rak buku yang baru saja beberapa bukunya tadi ditata oleh Gaein. Pria itu
begitu fokus pada deretan buku, yang menurut asumsi Gaein ia sedang mencari
sebuah buku pada rak tersebut.
Dengan ragu Gaein mendekati Kyuhyun yang nampaknya
masih tak menghiraukan –atau mungkin tak menyadari- eksistensi Gaein di dalam
toko itu. “Ada yang bisa saya bantu Sunbae?”
Kyuhyun menelengkan kepalanya ke arah sumber suara
dengan memegang sebuah buku ber-cover
merah. Pria itu tak lasung menjawab pertanyaan Gaein, melainkan ia lebih dulu
menatap meja kasir seperti sedang mencari seseorang. “Di mana Kim Ahjumma?” tanya Kyuhyun seraya menatap
heran pada Gaein.
“Nde?” Gaein
sedikit terkejut karena pertanyaan Kyuhyun barusan. “Oh, Ahjumma sedang keluar sebentar katanya.”
Kyuhyun masih menatap Gaein sedikit heran. “Neo... nuguya?”
Gaein mengangkat kedua alisnya bingung. “Aku bekerja part time di sini, Sunbaenim.”
“Oh ya? Kenapa aku baru melihatmu? Setahuku Kim Ahjumma tak pernah punya pegawai di
sini.” Kyuhyun mengalihkan perhatiannya lagi pada deretan buku di hadapannya
tanpa menatap Gaein.
“Ini hari pertamaku bekerja,” jawab Gaein sambil
menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Gaein tak menyangka jika Kyuhyun yang ia
kagumi adalah langganan di toko buku tempat ia bekerja. Bukankah itu bagus
karena ia bisa dengan sering bertemu Kyuhyun?
“Oh iya...” Kyuhyun kembali menatap Gaein membuat
gadis itu kembali gugup karena Kyuhyun yang menatap dalam padanya. “Kalau tidak
salah dengar tadi kau memanggilku apa? Sunbaenim?”
Kyuhyun bersidekap dengan posisi tubuhnya yang tepat berhadapan dengan
Gaein.
“Nde? Oh, i,
itu.. itu karena Sunbae adalah
seniorku di kampus,” Gaein tertunduk malu. Oh sungguh ini pertama kalinya ia
berbicara dengan Kyuhyun bahkan dengan jarak yang sangat dekat.
“Jinjja?”
Kyuhyun nampak berpikir. “Terlalu banyak mahasiswa di kampus. Aku saja tak
mengetahui mahasiswa angkatanku, apalagi dengan adik tingkat. Jadi, maafkan aku
kalau aku tak mengenalimu.” Kyuhyun kembali fokus pada rak buku dan kembali
mencari-cari buku yang ia cari.
“Ne, gwanchana
Sunbaenim.”
Kyuhyun dengan cepat kembali menghadap Gaein membuat
gadis itu hampir terlonjak kaget. “Eits, tak usah terlalu formal begitu. Jika
nanti kita bertemu lagi, jangan memanggilku sunbaenim,
itu membuatku terlihat terlalu tua. Panggil saja Kyuhyun, arra?”
Gaein tersenyum dengan ekspresi berbinar luar biasa. “Ne, arraseo Kyuhyun-ssi.”
###
Jirin dan Gaein tinggal di sebuah apartemen kecil yang
tak terlalu jauh dari kampus. Cukup dengan berjalan kaki saja selama sepuluh
menit mereka bisa sampai ke kampus tanpa perlu naik bus. Apartemen itu memiliki
dua buah kamar, sebuah dapur yang merangkap sebagai ruang makan, sebuah kamar
mandi, sebuah toilet, dan sebuah ruang tamu yang merangkap sebagai ruang untuk
menonton tv.
Ini sudah pukul delapan malam ketika Gaein pulang dan
tak menemukan Jirin di seluruh bagian apartemen. Gadis itu lantas masuk ke
kamarnys untuk mengambil beberapa perlengkapan mandi. Lantas saat hendak
memasuki kamar mandi, pintu ruang tamu terbuka dan Gaein bisa melihat dengan
jelas Jirin masuk dengan membawa seorang pria. Eh tunggu. Jirin membawa seorang
pria?
“Na waseo...”
seru Jirin seraya menuntun pria yang masuk bersamanya untuk duduk di sofa
berwarna hijau cream di depan tv.
“Gaein-a, kita ada tamu,” panggil
Jirin ketika ia menatap Gaein yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi
sambil menatapnya.
Gaein menatap pria itu lamat-lamat. Kalau Gaein tak
salah ingat pria itu bernama Lee Jeongmin. Teman satu club drama dengan Jirin dan pria itu sudah beberapa bulan ini akrab
dengan sahabatnya. Gaein memutuskan untuk menghampiri Jirin dan Jeongmin yang
sudah duduk di sofa. “Anyeonghaseyo, Park
Gaein imnida,” sapa Gaein ramah
seraya mengulurkan tangannya pada Jeongmin.
Jeongmin membalas jabatan tangan Gaein dengan tak
kalah ramah. “Lee Jeongmin imnida.
Aku banyak mendengar tentangmu dari Jirin. Ia sering menceritakan banyak hal
tentangmu.”
“Jeongmal?
Memangnya apa yang ia katakan tentangku?”
Jeongmin menarik kedua sudut bibirnya. “Jirin bilang
kau itu blue holic. Jirin juga bilang
kau itu sahabat terbaiknya di dunia, dan banyak lagi. Aku bahkan sampai lupa apa
saja yang ia ceritakan tentangmu.”
Gaein sedikit terkejut. “Jinjja? Haha, baiklah aku mau mandi dulu. Kalian lanjutkan saja
mengobrolnya. Hey, kau ambilkan minum untuk tamu. Dasar tidak sopan,” Gaein
menatap Jirin dengan tampang kesal dibuat-buat.
Jirin segera bangkit meninggalkan Jeongmin sendirian
di ruang tamu untuk mengambil minuman ke dapur dengan Gaein yang mengikutinya
dari belakang.
“Jadi dia yang namanya Jeongmin?” tanya Gaein saat
mereka sudah di dapur.
Jirin mengeluarkan dua kaleng orange juice dari dalam kulkas. “Heum, bagaimana menurutmu? Dia
baik kan? Wajahnya juga manis,” Jirin tersenyum menatap Gaein lantas berbalik
menuju ruang tamu meninggalkan Gaein yang nampaknya masih berpikir.
Gaein hanya mengendikkan bahunya lantas segera masuk
ke kamar mandi. Hari pertamanya bekerja sungguh melelahkan.
###
Hari ini Jirin
lebih pagi meninggalkan apartemen. Berhubung ia tak ada jadwal kuliah pagi,
jadi ia bersama Jeongmin memutuskan untuk kembali ke ruang rahasia Jeongmin di
lantai tiga kampus. Jirin bahkan tak menyempatkan diri untuk sarapan bersama
Gaein karena ia dan Jeongmin akan sarapan bersama di ruang lukis milik
Jeongmin. Jirin hanya meninggalkan sebuah memo yang ia tempelkan pada pintu
kulkas untuk sahabatnya itu.
“Sebenarnya gambar apa yang sedang kau lukis itu
Jeong?” tanya Jirin antusias menatap kanvas yang masih bergambar abstrak di
depannya. Ia duduk di samping Jeongmin yang bersiap untuk melukis di depan
sebuah kanvas yang masih dalam proses pengerjaan.
“Tebak dulu,” jawab Jeongmin enteng.
Jirin nampak berpikir. “Eumm, karena masih banyak
bagian yang belum jadi, aku tak bisa menebaknya. Apa kau sebenarnya sedang
membuat lukisan abstrak?” tebak Jirin.
“Ckk, tentu saja tidak. Coba tebak lagi.” Jeongmin
mulai menyapu kanvas itu dengan kuas yang sudah diberi cat berwarna coklat
muda.
“Pohon?”
“Terlalu klise. Tebak lagi.”
“Pemandangan?”
“Terlalu mainstream.”
“Bunga?”
“Aku tak suka sesuatu yang feminim.”
“Kalau begitu jangan-jangan monyet? Hahaa”
Jeongmin menatap Jirin yang tertawa terbahak-bahak di
sampingnya. “Iya. Monyet betina yang cantik.”
Tawa Jirin terhenti seketika. “Jadi benar kau melukis
monyet?” wajah Jirin mendekat pada wajah Jeongmin membuat pria itu mengerjapkan
matanya kaget. Jirin masih bergeming dengan menyipitkan matanya seraya
menyelidik.
“Te, tentu saja bu bukan. Kau pikir untuk apa aku
melukis monyet? Seperti tak ada objek lain saja.” Jeongmin membuang tatapannya
ke arah lain lantas menelan saliva
dengan sedikit susah payah.
Jirin mengambalikan posisi tubuhnya seperti semula.
“Lalu sebenarnya kau melukis apa Jeong?”
“S-e-c-r-e-t.”
Jirin mempotkan bibirnya kesal. “Kau ini menyebalkan.
Untuk apa kalau begitu kau memintaku menebaknya. Eum, anyway... Bukankah kau bilang kalau kau tak bisa melukis jika ada
orang lain di sampingmu?”
Jeongmin meletakkan kuas yang ia pegang lalu menatap
Jirin dengan senyum lebar yang tersungging di wajah tampannya. “Yup, kau benar
sekali. Kau lihat kan aku bahkan tak bisa fokus sejak tadi?”
Jirin mengangguk pelan. “Jadi kenapa kau mengajakku
lagi ke sini?”
Jeongmin bangkit dan mengambil ranselnya yang ia
letakkan pada sebuah meja di ujung ruangan. Lantas ia kembali duduk di samping
Jirin dan membuka ransel merah kesayangannya. “Tadaaaa...” Jeongmin
mengeluarkan sebuah kotak makanan dari dalam ranselnya.
“Ige mwoya?”
tanya Jirin heran.
Jeongmin menjitak pelan kepala Jirin membuat gadis itu
meringis. “Bukannya kita mau sarapan huh?”
“Yak! Kenapa
kau memukulku bodoh? Aish, appo...”
Jeongmin menatap bersalah pada Jirin yang memegangi
kepalanya. “Gwaenchana? Tadi aku
hanya bercanda, mianhe,” Jeongmin
memegangi kepala Jirin berniat mengusap kepala gadis itu namun-
“Aww... kenapa kau menjitakku?” Jeongmin meringis
heboh ketika Jirin membalasnya.
“Memangnya aku tak bisa membalasmu huhh?” Jirin
memeletkan lidahnya menatap Jeongmin. Kemudian fokus Jirin beralih pada kotak
makanan yang Jeongmin bawa tanpa memperdulikan Jeongmin yang kesakitan karena
balasan dari Jirin yang cukup kuat. “Wah, kau membawa ddobokki. Pasti enak.” Jirin berkali-kali menelan ludahnya ketika
membuka tutup kotak makanan tersebut.
Jeongmin terkekeh melihat Jirin yang sepertinya sudah
kelaparan. “Heum, tentu saja ini enak. Ddobokki
ini buatan uri noona dengan resep
rahasia dari almarhum nenekku.”
Jirin menatap Jeongmin sedikit terkejut. “Noona? Kau punya kakak perempuan?”
“Heum. Sudah tak usah bertanya lagi makan saja.”
Jeongmin menyerahkan sepasang sumpit untuk Jirin.
Jirin mengambil satu potong ddobokki dan memasukkannya ke dalam mulut. Kedua bola mata gadis
itu langsung melebar setelah potongan ddobokki
tersebut melewati kerongkongannya.
“Eotokhae? Mashitta?” tanya Jeongmin melihat
ekspresi Jirin yang tak bisa ditebak.
“Whoa, daebak.
Noumu mashittayo, jeongmal.” Jirin mengacungkan jempol kanannya.
“Hahaa, baguslah kalau enak. Kita habiskan dulu ddobokki ini baru aku mengajakmu ke
sebuah tempat lagi yang tak pernah satu orangpun mengetahuinya kecuali aku
sendiri.”
“Arraseo...”
###
“Jadi bagaimana pekerjaanmu dihari kedua di tempat Kim
Ahjumma?” tanya Jirin setelah
membereskan piring beserta gelas untuk makan malam mereka tadi.
“Tidak terlalu buruk. Untung saja Kim Ahjumma itu ramah, dan ia tak pernah
mengomeliku jika aku salah meletakkan buku di rak,” jawab Gaein sembari
tangannya sibuk menggonta-ganti channel
tv dengan remote yang tak lepas dari
tangannya sejak tadi.
Jirin turut duduk di samping Gaein membawa sekotak
biskuit keju. “Sepertinya menyenangkan bisa bekerja part time,” Jirin mengunyah sekeping biskuit keju itu dan
meletakkan kotaknya di atas meja kecil di depan mereka.
Gaein meletakkan remote
tv di atas meja setelah menemukan channel
yang menayangkan sebuah variety show
dari boyband favoritnya, lantas ia
duduk menyamping menghadap Jirin di sampingnya dengan wajah berbinar. “Rin-ah, kau tahu tidak apa yang terjadi
kemarin di hari pertamaku bekerja?”
“Apa?”
“Aku bertemu Kyuhyun Sunbae dan aku berbicara dengannya!” seru Gaein sembari memorinya
menerawang kejadian kemarin di toko buku.
“Jinjja? Kau
berbicara dengan Kyuhyun Sunbae?”
tanya Jirin tak percaya.
“Awalnya aku pikir juga hanya mimpi. Tapi itu
sungguhan Rin-ah... Dan kau tahu apa
yang membuatku lebih excited lagi?”
“Mwo?”
“Kyuhyun Sunbae
memintaku jika bertemu dengannya lagi, aku bisa memanggil namanya tanpa harus
panggilan formal ‘sunbaenim’.
Bukankah aku cukup beruntung?”
Jirin mengangguk. “Daebak,”
Jirin mengacungkan jempolnya lantas kembali mengambil sekeping biskuit keju
dari kotaknya.
“Dan satu lagi...”
“Ada lagi?”
“Heum... Kyuhyun Sunbae
adalah salah satu dari pelanggan setia di toko buku Kim Ahjumma. Kau tahu apa artinya Rin-ah?” ucap Gaein dengan mempertahankan ekspresi berbinarnya.
“Kau bisa sering bertemu dengannya?” tebak Jirin.
Gaein menjentikkan jarinya. “Hyap, kau benar,” kekeh
Gaein lalu fokusnya beralih pada layar tv di depan mereka. “Oh ya Rin-ah...”
“Heum... waeyo?”
tanya Jirin sambil tangannya mengutak-atik layar ponsel.
“Kau serius besok akan menguntit Jongwoon Sunbae saat ia latihan lagi? Tidakkah
itu sedikit berlebihan?”
Fokus Jirin beralih dari layar ponsel dan menatap
Gaein di sampingnya. “Tentu saja aku serius Gaein-a. Aku kan tidak bisa seberuntung dirimu yang bisa langsung
berbicara dengan Kyuhyun Sunbae.
Setidaknya aku harus berusaha minimal tahu kebiasaan yang dilakukan Jongwoon Sunbae dan hal-hal yang ia sukai.”
Setelahnya Jirin kembali fokus pada layar ponselnya dan gadis itu tertawa pelan
saat membaca pesan dari Jeongmin.
“Tsk, terserah kau sajalah.” Gaein kembali menatap
layar tv namun ia tak bisa fokus karena Jirin yang tertawa sendiri seperti
orang gila di sampingnya. “Hey Nona Choi, wae
geurae?”
Jirin tak menghiraukan pertanyaan Gaein. Ia malah
semakin tenggelam pada ponselnya untuk berbalas pesan dengan Jeongmin di Line.
Gaein menatap Jirin dengan pandangan tak suka. Ia
kembali berusaha memfokuskan perhatiannya pada acara tv, namun nyatanya tak
bisa. Tidak, Jirin sama sekali tidak membuatnya terganggu meskipun gadis itu
tertawa nyaring sekalipun. Hanya saja sikap Jirin kali ini sedikit berlebihan.
Ayolah, biasanya ia dan Jirin akan dengan semangat tidur larut demi menonton
acara favorit mereka itu. Tapi sekarang, sejak Jeongmin masuk ke dalam hidup
Jirin, Gaein tak lagi menjadi orang pertama yang menjadi prioritas Jirin. Dan
itu amat-sangat-mengganggu.
“Rin-ah, ada
yang mau aku kat-“
“Chamkan,
nanti saja, ya,” Jirin berdiri setelah menempelkan ponsel pada telinganya dan
berjalan meninggalkan Gaein menuju kamarnya. “Yeoboseo Jeongmin-ah...”
Gaein mempoutkan bibirnya kesal. Ia sungguh tak tahan
dengan perubahan sahabatnya itu karena seorang pria. Jadi sekarang Jirin sedang
mencari sahabat baru begitu? Huh.
Tak ada
persahabatan antara pria dan wanita!
Gaein membatin menatap Jirin yang sudah menghilang ke
dalam kamarnya. Ia ingat dengan jelas kalimat yang Jirin katakan saat ia
membawa Jeongmin ke apartemen mereka kemarin. Gadis itu dengan semangat
mengatakan kalau ia dan Jeongmin adalah teman dekat, bahkan hampir dikatakan
sahabat.
Lalu apa artinya Gaein selama ini?
“Arrggghhh..” Gaein mengacak rambutnya pelan dan lebih
memilih kembali menatap layar tv di mana boyband
Infinite yang menjadi bintang tamu dalam acara variety show tersebut.
###
Pagi ini lagi-lagi Jirin hanya meninggalkan memo di
kulkas untuk Gaein. Yah setidaknya Jirin masih berbaik hati untuk membuatkan omelette untuknya mengingat Gaein pagi
ini bangun cukup kesiangan sehingga tak punya banyak waktu untuk membuat
sarapan.
Gaein tahu betul kalau Jirin saat ini pasti sedang
bersama Jeongmin. Siapa lagi yang bisa membuat sahabatnya itu bisa bangun pagi
bahkan dengan-sedikit-tak-berperasaan meninggalkan Gaein sendirian di
apartemen. Biasanya ia dan Jirin akan pergi bersama-sama ke kampus. Tapi saat
ini rasanya semua itu hanya seperti sebuah kenangan masa lalu.
Bukannya Gaein melebih-lebihkan dan membuat suasana
menjadi terlalu melankolis. Bukankah sudah jelas sikap Jirin sekarang seolah
sudah memblok Gaein dari hidupnya meskipun tanpa gadis itu sadari?
Selesai menyantap sarapan yang dibuat Jirin dan
membersihkan dirinya, Gaein bersiap menuju kampus. Gaein mengenakan blazer biru kesukaannya setelah berdiri
di depan pintu apartemen untuk beranjak menuju kampus. Namun kegiatannya
terhenti saat bunyi bell memenuhi
indra pendengarannya. Dengan cepat gadis itu membuka pintu dan... Kedua
netranya membelalak mendapati presensi seseorang yang tak pernah diduga akan
mengunjungi apartemennya dan Jirin.
“Ehm,” orang itu berdehem karena Gaein menatapnya
sekion sekon tanpa kedip.
Gaein turut berdehem menahan malu dan berusaha
bersikap sewajarnya. “S, Sunbae..
Jongwoon Sunbae?”
Kedua alis orang itu mengernyit dengan kepala yang
sedikit ia miringkan, membuatnya nampak terlihat lucu di mata Gaein. “Kau
mengenalku?” tunjuk pria itu pada dirinya sendiri.
Gaein menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Astaga! Jangan katakan ia dan Kyuhyun
sama-sama tak mengenali junior mereka di kampus.
“Ne, kau
seniorku di kampus,” jawab Gaein seramah mungkin.
Pria itu-Jongwoon-mengangguk pelan dengan bibirnya
yang membentuk ‘o’. “Sepertinya aku begitu populer,” kekeh Jongwoon dengan
percaya dirinya. “Oh ya, apa kau yang bernama Choi Jirin?”
Gaein mengerjapkan matanya. Untuk apa seorang pria
populer dan tampan seperti Jongwoon mencari Jirin? “Aniyo, naneun Park Gaein-imnida,”
jawab Gaein. “Keundae, Jirin itu
temanku. Kami tinggal di apartemen yang sama.”
“Oh baguslah kalau begitu. Bisa kau panggilkan temanmu
sebentar?”
Gaein sedikit kesusahan bernafas. Ayolah, ia rasanya
ingin melayang saja saat ini. Dua hari yang lalu ia berbicara dengan Kyuhyun,
dan sekarang ia berbicara dengan seorang Jongwoon yang begitu dielu-elukan
sahabatnya. Meskipun ia tak menyukai Jongwoon, tapi pria ini sungguh tampan
dengan mata sipitnya dan tubuh tegapnya. Bahkan aroma parfum maskulin Jongwoon
dapat tercium dengan jelas oleh indra penciuman Gaein.
“Hey, Gaein-ssi,
kau mendengarku?” Jongwoon mengibaskan tangan kirinya di depan wajah Gaein
membuat gadis itu kembali mengerjap.
“Huh? Oh, mianhabnida
Sunbaenim, Jirin sudah pergi ke kampus. Memangnya ada apa?”
Jongwoon menunjukkan sebuah buku catatan yang sangat
Gaein ketahui dengan jelas kalau buku itu milik Jirin. “Aku menemukan buku ini
di dekat lapangan sepak bola dua hari yang lalu. Kurasa buku ini terjatuh.
Sebenarnya aku cukup kesusahan mencari pemilik buku ini, bahkan aku bertanya
pada bagian administrasi kampus untuk mencari tahu gadis pemilik buku ini,
hehe,” terang Jongwoon.
Gaein terkekeh melihat buku itu. Untung saja Jongwoon
tak mengetahui kalau Jirin sedang menguntitnya saat sedang latihan di lapangan
sepak bola dua hari yang lalu. “Wah sunbaenim,
kau baik sekali. Padahal kan kau bisa menyerahkannya pada bagian informasi
kampus,” Gaein menerima buku yang diulurkan Jongwoon.
“Tidak masalah. Lagi pula aku juga tinggal di apartemen
sebelah, jadi aku sekalian ke sini. Dan kurasa buku itu sangat penting,” terang
Jongwoon lagi.
Gaein hanya mengangguk dan tersenyum berusaha terlihat
seramah mungkin. “Geomapsimnida Sunbae,”
Gaein sedikit membungkuk pada Jongwoon untuk berterima kasih yang turut dibalas
oleh Jongwoon. “Nanti akan kuserahkan pada Jirin.”
Jongwoon mengangguk pelan. “Oh ya, apa kau mau ke
kampus? Bagaimana kalau kita pergi bersama?” tawar Jongwoon.
Gaein sedikit gelagapan. Ya Tuhan, kenapa semuanya
terasa seperti dunia fiksi. “Tidak usah Sunbae,
terima kasih. Aku bisa pergi sendiri,” tolak Gaein berusaha dengan tetap
berusaha ramah.
“Ayolah, aku ingin sekali-sekali mengakrabkan diri
dengan juniorku di kampus,” ajak Jongwoon sedikit memaksa.
Kali ini Gaein tersenyum dipaksakan. Rasanya ia tak
mungkin bisa menolak permintaan pria di depannya ini. “Ne, Sunbae.”
“Bailah, kajja,”
Jongwoon berjalan lebih dulu dari Gaein.
Sedangkan Gaein di belakangnya menatap Jongwoon dengan
perasaan bersalah. Bukankah seharusnya yang mengalami hal ini adalah Jirin,
bukan dirinya. Gadis itu pasti akan sangat senang sekali.
###
Jirin dan Jeongmin sedang duduk di bawah pohon maple di pinggir lapangan sepak bola.
Dari tempat itu, Jirin bisa melihat dengan jelas orang-orang yang berada di lapangan
tersebut tanpa diketahui oleh orang-orang di sana. Tempat ini adalah tempat
persembunyian Jirin setiap gadis itu menguntit Jongwoon yang sedang latihan
sepak bola.
“Kupikir hanya aku yang mempunyai tempat persembunyian
yang tidak diketahui orang di kampus ini, ternyata kau juga,” kekeh Jeongmin
tanpa menatap Jirin. Pria itu tengah menikmati permainan orang-orang yang
sedang bermain sepak bola di tengah lapangan.
Jirin tersenyum bangga meskipun tanpa sepenglihatan
Jeongmin. “Tentu saja. Memangnya kau saja yang punya ruang rahasia di lantai
tiga dan sebuah taman kecil di belakang kampus, aku juga. Tempat ini sudah
seperti apartemen keduaku,” terang Jirin seraya mencari-cari sosok yang selama
ini menjadi idolanya.
“Oh ya, memangnya apa yang kau lakukan di sini?”
Jeongmin menatap Jirin penuh tanya. Memang tempat ini cukup bagus untuk
bersantai bahkan cukup sejuk jika musim semi atau musim gugur tiba, tapi tidak
untuk musim dingin seperti ini.
“Me-ngun-tit.”
Jeongmin hampir tersedak ludahnya sendiri. “Mwo? Kau, kau apa tadi? Menguntit??”
ucap Jeongmin heboh. “Apa kau seorang stalker?”
“Ne, bisa
dibilang begitu,” jawab Jirin bangga dengan sedikit malu-malu.
Jeongmin berdecak tak percaya dengan kelakuan teman
baiknya itu. “Memangnya kau menguntit siapa huh?”
“Kau tahu Jongwoon Sunbae
kan? Captain club sepak bola kampus
kita,” jawab Jirin dan kembali gadis itu mencari sosok utama yang biasanya ia
lihat di tengah lapangan. “Tapi ngomong-ngomong kemana hari ini Jongwoon Sunbae, biasanya ia yang paling pertama
datang.”
Jeongmin menggeleng pelan. “Kau itu bukan menguntit
namanya. Kalau kau hanya melihat ia berlatih sepak bola, itu namanya menonton.
Kalau yang namanya menguntit itu mengikutinya setiap saat kemanapun ia pergi.
Ckk.”
“Terserahlah apa katamu. Bagiku ini mengutit, karena
aku selalu melihatnya di sini diam-diam tanpa sepengetahuannya.”
Jeongmin hanya mengendikkan bahunya. “Hey , bukankah
itu Jongwoon Sunbae?” Jeongmin
mengacungkan telunjuk kanannya ke arah sisi lapangan sepak bola. “Loh, itu kan-“
“Gaein?” sela Jirin memotong ucapan Jeongmin.
“Bagaimana bisa Gaein bersama Jongwoon Sunbae?”
“Mungkin mereka tak sengaja bertemu di depan kampus
lalu masuk bersama-sama. Atau mereka memiliki urusan yang sama, seperti dengan
dosen killer Han Saem. Atau mereka memang kenal sejak lama, atau mereka baru saja
berkenalan dan-“
“Malddo andwe,”
sela Jirin lagi. Gadis itu terus menatap dua orang yang terlihat sangat akrab
dan bahkan tertawa bersama di pinggir lapangan. Jirin lantas bangkit berniat
menghampiri kedua orang itu yang serta merta membuat Jeongmin menahan
tangannya.
“Ya, eodiga?”
Jirin dengan cepat menepis tangan Jeongmin dan tanpa
menjawab pertanyaan pria itu, ia segera melesat pergi dari bawah pohon maple untuk menghampiri Gaein dan
Jongwoon. Hal itu tentu saja membuat Jeongmin mau tak mau mengikutinya karena
jujur saja sangat tak nyaman duduk di bawah pohon maple saat musim dingin seperti sekarang.
Jirin menatap heran pada Gaein saat ia sudah berdiri
di depan sahabatnya itu. Sayangnya saat Jirin belum sempat menghampiri Gaein
tadi, Jongwoon sudah beranjak pergi dari pinggir lapangan dan bergabung dengan
teman-teman klubnya di tengah lapangan.
“Oh, hey Rin-a,”
sapa Gaein ramah. “Tadi-“
“Kau kenal dengan Jongwoon Sunbae?” ketus Jirin cepat memotong ucapan Gaein.
Gaein menautkan kedua alisnya bingung. “Nde?”
“Jadi selama ini kau sudah mengenal Jongwoon Sunbae tanpa memberitahuku? Lalu selama
ini kau senang kan melihat penderitaanku demi menguntitnya? Kau bahagia kan
selama ini bisa dekat dengan namja
populer di kampus? Kemarin dengan Kyuhyun, sekarang Jongwoon. Wah, kau
benar-benar hebat Park Gaein,” Jirin mengatakan kalimat yang sama sekali tak
Gaein pahami. Lantas Jirin bersidekap dan tersenyum sinis menatap Gaein yang
masih kebingungan di depannya.
“Apa maksudmu Rin-ah?
Sungguh aku tak mengerti.”
“Wow, seorang Park Gaien yang selalu tanggap membaca
situasi tak mengerti apa yang kukatakan? Lalu kau akan bilang kalau semua yang
kukatakan salah paham begitu?”
“Jirin dengarkan aku, tadi aku-“
“Geumanhe.
Aku tak mau mendengar apapun darimu, kau sungguh tak berperasaan sebagai
sahabat Gaein-a,” Jirin segera
berbalik dan membawa tungkainya dengan cepat bahkan sedikit berlari
meninggalkan lapangan. Di belakangnya Jeongmin mengikutinya tanpa mengerti
situasi yang terjadi.
“Jirin-ah,
kau salah paham,” lirih Gaein. Gadis itu menatap buku catatan milik Jirin yang
rencananya akan ia serahkan pada sahabatnya itu. Tapi sedetik kemudian buku itu
langsung ia masukkan ke dalam tas selempangnya.
Gaein menatap Jirin yang semakin menjauh. “Seharusnya
aku yang marah dalam posisi ini. Kau bahkan tak mau mendengarkanku, kau sudah
memblokku dari hidupmu, Jirin.” Gaein bermonolog lantas meninggalkan area
lapangan setelah sebelumnya ia membungkuk memberi hormat pada Jongwoon yang
kebetulan melihatnya.
###
Gaein menata beberapa novel teenlit yang baru terbit dengan uring-uringan. Gadis itu tidak
seperti biasanya yang bekerja dengan ceria. Hari ini gadis itu terlihat lebih
murung dan bahkan ia tak menyapa pengunjung yang datang, hanya membungkuk untuk
memberi salam lantas ia kembali sibuk dengan buku-buku yang ia susun di rak.
Pintu toko terbuka. Gaein sedikit enggan menatap
pengunjung yang datang sehingga ia lebih memilih berkutat pada tumpukan novel teenlit yang baru datang tadi pagi dari
pada harus bersusah-susah memasang senyum pada pelanggan tersebut.
“Hey kau,” dengan jelas pendengaran Gaein menangkap
suara yang sudah setengah bulan ini tidak asing baginya.
Gaein menatap pemilik suara itu yang berdiri di
sampingnya yang tengah tersenyum lebar. Oh demi Dewa Neptunus yang Gaein
sendiri tak tahu seperti apa wujudnya, jantungnya hampir saja mencelos keluar
ketika kedua retinanya menangkap sosok tersebut dengan jelas berdiri tepat di
sampingnya. “Sunbae, oh maksudku Khyuhyun-ssi,” sapa Gaein berusaha terlihat
ramah.
Kyuhyun melirik meja kasir kemudian kembali menatap
Gaein yang sepertinya kelelahan karena harus menyusun tumpukan buku yang cukup
banyak. “Ini sudah kelima kalinya aku ke toko buku ini dalam setengah bulan
terakhir sejak kau pertama kali bekerja di sini. Dan setiap itu pula aku tak
pernah bertemu lagi dengan Kim Ahjumma,”
Kyuhyun terkekeh lantas melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang
ekspresi sedang berfikir dibuat-buat. “Aku jadi curiga,” Kyuhyun menyipitkan
kedua matanya seperti sedang menyelidik Gaein.
Kedua alis Gaein terangkat karena ia tak mengerti
maksud Kyuhyun. “Waeyo?”
“Aku curiga jangan-jangan Kim Ahjumma berniat mewarisi toko ini padamu,” canda Kyuhyun.
Gaein tanpa sadar terkekeh pelan. “Yang benar saja.
Hanya kebetulan setiap kau ke sini Ahjumma
ada keperluan di luar,” terang Gaein. “Oh ya, hari ini kau akan membeli buku
apa?”
“Oppa!”
teriak seorang gadis di ambang pintu lantas dengan sedikit berlari ia
menghampiri Kyuhyun. “Kenapa Oppa
meninggalkanku huh?” gadis itu bergelayut manja di lengan Kyuhyun.
Gaein menatap heran pada gadis itu yang dengan
seenaknya saja memeluk lengan Kyuhyun dengan cukup seduktif. Lantas Gaein
menatap Kyuhyun yang tampaknya tak keberatan karena kelakuan gadis itu.
“Mian, kau
terlalu lama mengobrol dengan temanmu jadi aku memutuskan untuk menunggu di
dalam toko ini,” Kyuhyun tersenyum begitu manis pada gadis itu dan membuat
Gaein semakin heran. “Oh ya,” Kyuhyun menatap Gaein seraya menggamit lengan
gadis di sampingnya. “Perkenalkan, dia yeojachingu-ku,
namanya Im Yoona.”
Langit serasa runtuh tiba-tiba bagi Gaein saat kalimat
itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Kyuhyun. Yeojachingu? Jadi Kyuhyun sudah memiliki seorang kekasih?
“Anyeonghaseyo,
na ireumi Im Yoona-imnida,” gadis itu memberi salam dengan
ramah pada Gaein.
Gaein bergeming menatap Kyuhyun tanpa kedip sekian
sekon. Sedangkah Kyuhyun dan gadisnya-Yoona-saling bertukar pandang karena
sikap Gaein tersebut.
“Hey, Gaein-ssi...
Neo gwaenchana?” Kyuhyun mengibaskan
tangannya di depan wajah Gaein membuat gadis itu mengerjapkan matanya
berkali-kali.
“Oh, ne, nan gwaenchanayo, hehe,” Gaein tertawa
hambar dan saat itu pula tenggorokannya terasa ada ribuan jarum yang menusuk.
Baru saja gadis itu berharap kalau ia bisa lebih dekat dengan Kyuhyun karena
ini pertemuan kelima mereka. Namun harapan itu runtuh dalam beberapa sekon saja
karena kekasih Kyuhyun yang selama ini tak pernah Gaein ketahui.
“Ya sudah, aku dan Yoona pergi dulu. Hari ini sedang
tidak ada buku yang kucari. Kau jaga toko baik-baik ya, anyeong,” Kyuhyun memberi salam disusul Yoona lantas kedunya pergi
begitu saja dari toko buku tanpa mengetahui keadaan Gaein.
Gaein menatap pintu toko di mana Kyuhyun dan gadisnya
baru saja menghilang di balik pintu tersebut. Ia menghela nafas berat. “Padahal
kukira Sunbae adalah mimpi indahku.
Nyatanya kau sama saja dengan Jirin,” keluh Gaein. Sejurus kemudian gadis itu
kembali berusaha memfokuskan dirinya menyusun novel yang masih belum tersusun
meskipun nyatanya di pikirannya malah menjadi bertambah kalut.
###
Jirin menatap jalanan di bawah sana melalui jendela
kamarnya. Apartemen mereka berada di lantai empat sehingga Jirin bisa dengan
mudah melihat lalu lintas di bawah sana. Gadis itu tak benar-benar menatap
ramainya lalu lintas, sejak berpuluh menit yang lalu pikiran gadis itu masih
kosong.
Ini sudah hampir dua minggu ia dan Gaein tak bertegur
sapa. Jujur Jirin sangat merindukan Gaein meskipun kamar Gaein ada di samping
kamarnya. Tapi nyatanya saat Jirin bangun di pagi hari ia mendapati apartemen
mereka kosong hanya menyisakan Jirin seorang diri. Gaein selalu pergi
meninggalkan apartemen pagi-pagi sekali dan ia baru akan pulang larut malam
saat Jirin sudah tertidur.
Hal itu Jirin ketahui ketika seminggu yang lalu ia
mendengar langkah kaki dan pintu kamar Gaein terbuka saat pukul 23.30. Gaein
sepertinya benar-benar menghindari bertemu dengannya.
Jirin berkali-kali menghela nafas dalam dan
menghembuskannya dengan teramat pelan. Dadanya begitu sesak seolah ada ribuan
ton beban yang menghimpit. Ia tak tahu siapa yang harus ia salahkan saat ini.
Baiklah mungkin Jirin memang bersalah karena ia dengan mudahnya mengambil
kesimpulan saat ia melihat Gaein bersama Jongwoon. Saat itu Jirin terlalu emosi
sehingga ia tak mau mendengarkan penjelasan Gaein. Jirin ingin sekali meminta
maaf pada sahabatnya itu, tapi ia tak tahu harus memulai dari mana.
Jirin beranjak dari samping jendela lantas duduk di
tepi ranjang. Ia mengambil ponselnya yang tergelatak di atas ranjang untuk
menghubungi seseorang. Saat nama kontak
yang akan ia tuju tertera pada layar ponsel, gadis itu kembali menghela
nafas dan mengurungkan niatnya untuk menghubungi orang itu.
“Jeongmin-ah,
bogoshipho,” lirihnya.
Setitik air mata meluncur tanpa komando ketika Jirin
kembali menatap ponselnya. Jirin membuka menu pesan dan ia melihat sebuah pesan
terakhir dari Jeongmin yang dikirimkan pria itu enam hari yang lalu.
Aku bersama Soeun sekarang. Ia pacarku yang baru. Kuharap kau mengerti
karena aku percaya kau adalah teman yang paling pengertian di dunia.
Jirin bersumpah dadanya terasa tertusuk jutaan duri.
Begitu sakit rasanya. Sungguh Jirin tak mengharapkan hubungan yang lebih dengan
pria itu, hanya saja Jeongmin sedikit keterlaluan. Jika memang mereka berteman,
lalu kenapa selama ini Jeongmin memperlakukan Jirin layaknya wanita yang begitu
dicintainya? Lantas jika memang mereka adalah teman, kenapa Jeongmin tak lagi
membalas semua pesan yang Jirin kirim? Bahkan sudah puluhan kali Jirin menelpon
pria itu, tapi nyatanya tak satupun yang ia angkat.
Di kampus-pun Jeongmin seolah tak menghiraukan
eksistensi Jirin. Begitu mudahnya kah pria itu melupakan Jirin yang sudah
hampir setengah tahun ini bersamanya?
Jirin melempar asal ponselnya di atas tempat tidur.
Lantas ia beranjak mengambil mantel hitam yang tergantung di balik pintu,
kemudian berjalan keluar meninggalkan apartemennya.
Hari ini Sabtu. Dan Jirin tidak ada jadwal kuliah
sehingga sejak tadi pagi ia hanya berdiam diri di dalam kamar. Bahkan ia belum
makan apapun sejak pagi ini. Ini sudah pukul lima sore dan Jirin juga sudah
melewatkan waktu makan siangnya.
Jalanan cukup ramai ketika langkah Jirin perlahan
menyusuri pusat kota. Hanya taman yang berada tak jauh dari toko buku tempat
Gaein bekerja yang menjadi satu-satunya tujuan Jirin saat ini. Ia merasa
benar-benar kesepian sekarang. Tak ada Jeongmin yang menemaninya lagi, juga tak
ada Gaein yang biasanya akan selalu bersama-sama dengannya jika sedang akhir
pekan. Di saat seperti ini, ia jadi merindukan kampung halamannya. Ibunya,
ayahnya, dan juga kakak serta adiknya di Mokpo.
Langkah Jirin terhenti saat netranya menangkap sosok
yang sejak tadi terus berada dalam pikirannya. Sama sepertinya, sosok itu
sepertinya begitu terkejut ketika mendapati Jirin berdiri tak jauh di
hadapannya. Keduanya terdiam puluhan sekon tanpa seorangpun diantara mereka
untuk beranjak dari geming. Jirin menatap sosok itu dengan perasaan bersalah,
sedangkan yang ditatap malah menyiratkan ekspresi kekecewaan yang bisa Jirin
tangkap dengan jelas.
“Gaein-ah,”
ucap Jirin pelan.
Gaein bisa dengan jelas mendengar apa yang baru saja
Jirin katakan mengingat jarak mereka berdua hanya sekitar dua meter. Gaein
hanya diam lantas tak lama ia berbalik berniat beranjak meninggalkan Jirin
karena ia benar-benar tak ingin bertemu dengan gadis itu sekarang.
“Gaein-ah, chankamman...” panggil Jirin seraya
menyusul langkah lebar Gaein. “Chankamman
jebal,” ucap Jirin lagi berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Gaein.
Langkah Gaein terhenti dan dengan cepat ia menatap
Jirin tajam seraya menahan emosinya. “Wae
geurae?”
“Aku, aku ingin bicara sebentar denganmu.”
“Denganku?” tunjuk Gaein tak percaya pada dirinya.
“Apa yang ingin kau bicarakan? Kau ingin mengungkit kejadian saat aku bersama
Jongwoon Sunbae lagi? Kau ingin
memakiku karena hal itu?” nada bicara Gaein meninggi.
Jirin tersentak karena ucapan Gaein barusan. “Bu,
bukan. Bukan begitu. Aku ingin... meminta maaf,” lirih Jirin dengan menunduk.
Ia sungguh tak berani menatap Gaein saat ini.
Gaein mendengus. “Wow. Meminta maaf? Setelah hampir
setengah bulan kau baru meminta maaf sekarang? Mana sosok Jirin yang egois huh?
Sudahlah, aku tak ingin-“
“Mianhe Gaein-ah, jeongmal mianhaeyo,” ucap Jirin
cepat.
Gaein tak menjawab. Gadis itu malah akan beranjak
pergi namun langkahnya tertahan karena Jirin yang tiba-tiba berucap, “Saat itu
aku terlalu emosi. Maaf,” lirihnya lagi berharap Gaein mau mengerti keadaannya.
Gaein kembali menatap tajam Jirin. “Semudah itukah kau
meminta maaf? Kau bahkan tak pernah mau mendengarkanku,” desis Gaein. Gadis itu
ingin sekali rasanya meluapkan emosinya, hanya saja ia tahan mengingat saat ini
mereka sedang berada di tengah keramaian kota.
“Maaf,” lagi-lagi hanya kata itu yang terucap dari
kedua bibir Jirin.
“Kau keterlaluan Jirin. Kau itu egois. Kau bahkan
terlalu sibuk dengan duniamu bersama pria bernama Lee Jeongmin itu
sampai-sampai kau tak sadar kalau sikapmu itu sudah memblokku dari
kehidupanmu,” Gaein membuang tatapannya ke arah lain. Ia sungguh muak jika
harus menatap wajah Jirin sekarang.
Jantung Jirin berpacu lebih cepat saat Gaein menyebut
nama pria yang sudah membuatnya menangis beberapa hari ini. “Maafkan aku
sungguh. Aku, aku menyesal Gaein-ah,
maafkan aku. Dan lagi, saat ini aku sudah tak bersama Jeongmin lagi.”
Gaein kembali menatap Jirin. Salah satu sudut bibirnya
tertarik sehingga membentuk senyum sinis seraya bersidekap. “Oh, pantas saja.
Seorang Jirin yang egois tiba-tiba meminta maaf. Ternyata karena ia sudah tak
bersama prianya lagi. Jadi disaat pria itu tak bersamamu lagi, kau baru ingat
padaku begitu? Wah, kau hebat.”
“Gaein-ah..”
“Sudahlah. Don’t
disturb me anymore.” Gaein meninggalkan Jirin dengan langkah cepat.
Jirin mematung melihat bagaimana kekecewaan Gaein
terhadapnya. Benar, Gaein pantas marah padanya dan pantas untuk tidak
memaafkannya. Jirin bahkan sudah sangat terlambat menyadari sikapnya yang
selama ini lebih mementingkan Jeongmin dibandingkan Gaein, sahabatnya sendiri.
Air mata yang sejak tadi ditahan Jirin akhirnya
meluncur dari pelupuk matanya. Ia sungguh tak pernah berpikir jika
persahabatannya dan Gaein akan menjadi seperti ini. Karena keegoisannya. Hati
Jirin terlalu dingin selama ini, seperti musim dingin sekarang.
Angin dingin berhembus dan menusuk kulit membuat Jirin
merapatkan mantel yang ia kenakan. Gadis itu membalik tubuhnya. Mengubah
niatnya yang tadi menuju taman kota, sekarang berbalik kembali ke apartemennya.
Karena tubuhnya sudah terlalu lemah ditambah ia tak ingin menangis di tengah
kota. Jirin terus merutuki dirinya sepanjang jalan karena keegoisannya. Ia
egois. Sangat egois.
###
Kampus itu sangat sepi. Hanya ada Jirin seorang diri
mengingat hari ini adalah hari Minggu sehingga tak ada kegiatan apapun di
kampus. Gadis itu membawa tungkainya perlahan menuju lantai tiga kampus. Ia
sendiri tidak tahu kenapa, tapi yang pasti ia benar-benar ingin melihat ruang
lukis milik Jeongmin untuk yang terakhir kalinya.
Kening Jirin berkerut karena pintu ruangan itu sedikit
terbuka. Seingat Jirin, Jeongmin selalu mengunci pintu itu jika sudah selesai
melukis. Karena Jeongmin tak pernah ingin orang lain mengetahui ruangan
pribadinya, ditambah semua lukisan hasil karyanya.
Kembali dengan perlahan Jirin membuka pintu itu lebih
lebar. Dengan perlahan pula Jirin memasuki ruangan itu seraya berjaga-jaga jika
ada orang lain di dalam. Dan benar saja, kedua retina matanya dengan jelas
menangkap sosok Jeongmin yang sedang duduk di balik sebuah kanvas. Pria itu
sedang fokus pada lukisannya sehingga tak menyadari presensi Jirin di dalam
ruangannya.
Jirin mendekati Jeongmin namun sepertinya pria itu
masih tak menyadari kehadirannya. Jirin menatap kanvas yang menjadi objek
lukisan Jeongmin. Seorang wanita? Jadi lukisan yang selama ini sangat sukar
Jeongmin selesaikan adalah lukisan seorang wanita?
“Maaf...” ucap Jirin pelan berharap tak mengejutkan
Jeongmin yang masih berkonsentrasi menyapu kuasnya pada kanvas.
“Aku tahu kau datang. Aku melihatmu tadi di pintu,
maaf berpura-pura tak menyadari kehadiranmu,” ucap Jeongmin dan terkesan dingin
pada nada bicaranya.
“Kau marah aku ke sini?”
Jeongmin meletakkan kuasnya dan menatap Jirin di
sampingnya yang sedang menatap lukisannya dengan ekspresi datar. “Aku tak
pantas marah. Yang seharusnya marah itu kau, aku tahu kau ingin memperjelas
semuanya kan?” Jeongmin bangkit berdiri. “Marahlah padaku sepuasmu, dan.. kau
bisa memukulku jika kau-“
-plakkk
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Jeongmin.
Nafas Jirin memburu dengan tangan kanannya yang baru saja memukul Jeongmin tadi
sedikit bergetar. “Apa maksudmu selama ini Jeong? Kau anggap aku apa selama
ini? Chingu? KALAU BEGITU PERLAKUKAN
AKU LAYAKNYA TEMAN! BUKAN WANITA YANG KAU BUTUHKAN UNTUK PELAMPIASAN!”
Jeongmin memegangi pipi kirinya yang terasa berdenyut.
Jeongmin dengan jelas melihat air mata yang tumpah di wajah Jirin, wanita yang
sudah setengah tahun terakhir bersamanya. Jeongmin sungguh tak pernah bermaksud
membuat wanita di hadapannya ini menangis.
“Jirin-ah mianhe, jeongmal mianhaeyo,” lirih
Jeongmin.
Jirin menatap lukisan Jeongmin yang sudah hampir
sempurna. “Apa itu gadis yang bernama Soeun? Sudah berapa lama kau mengenalnya?
Kau bahkan tak menceritakannya padaku,” Jirin berusaha mengatur nada bicaranya.
“Tahun lalu,” jawab Jeongmin terus terang. “Jujur aku
awalnya memang ingin melukisnya, namun saat aku mengenalmu setengah tahun yang
lalu, aku mulai tertarik denganmu karena Seoun yang menjauhiku. Aku ingin
mengganti lukisan itu menjadi dirimu, tapi-“
“Tapi kau tak bisa kan? Karena Soeun lah yang kau
pikirkan. Bukan aku. Lalu kenapa kau tak menjawab telponku beberapa hari yang
lalu? Atau paling tidak balas meskipun hanya satu dari puluhan pesan yang aku
kirim, WAE???”
“Itu karena... Karena Soeun-“
“Karena kau bersamanya kan? Karena kalian kembali
dekat dan kau mengabaikanku yang bukan siapa-siapamu ini. Benar kan? Kupikir
kau berbeda dengan kebanyakan pria lain karena aku nyaman bersamamu, aku bisa
menjadi diriku sendiri saat aku bersamamu. Aku merasa nyaman bersamamu melebihi
saat aku bersama sahabatku sendiri. Lalu, aku terlalu berlebihan begitu? Aku
yang terlalu dibutakan akan sikap baikmu yang ternyata ‘palsu’. Kau tak
menganggapku apa-apa sedikitpun. Teman? Gotjimal.
Semua itu bohong...” Jirin mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya
menahan agar emosinya tak semakin meluap.
“Jirin-ah“
“Terima kasih atas semua kebohonganmu. Ini adalah
terakhir kalinya aku berbicara padamu. Ini terkahir kalinya aku menganggap kau
sebagai teman baikku. Karena setelah ini aku tak sudi lagi bertemu denganmu,
atau bahkan mengingatmu. Anyeong
Jeongmin-ssi.”
Jirin dengan cepat meninggalkan ruang lukis Jeongmin
dengan langkah lebar. Ia tahu sekarang, dirinya terlalu egois dan dibutakan
akan segala kebenaran. Kebenaran akan kepura-puraan Jeongmin, dan dibutakan
akan kebenaran ketidakbersalahannya Gaein. Jirin merasa menjadi pecundang. Ia
benar-benar pecundang yang tak pantas memiliki teman baik.
###
Jirin duduk di tepi sungai Han. Udara sangat dingin
sekarang mengingat salju pertama turun tadi malam. Gadis itu mengenakan jaket
berbulu dengan warna kuning, jaket couple-nya
dengan Gaein saat ulang tahun Gaein. Milik Jirin warna kuning sedangkan milik
Gaein berwarna biru.
Tak banyak orang saat ini karena tak ada orang yang
mau mati konyol di tengah dinginnya udara seperti sekarang dengan berada di
luar rumah. Jirin menatap air sungai yang mengalir perlahan. Begitu tenang.
Sudah genap satu bulan Jirin tak bertegur sapa dengan
Gaein. Bahkan Gaein tanpa sepengetahuan Jirin memilih tidur di sebuah kamar di
toko buku tempat Gaein bekerja. Gaein tak pernah pulang kembali ke apartemen
mereka sejak pertemuan terakhir mereka di dekat taman di tengah kota kecuali sekali
untuk mengambil beberapa pakaiannya. Setelah itu hanya Jirin sendirian tanpa
teman. Di kampus juga Gaein menganggap Jirin seperti orang asing. Orang asing
yang sama sekali tak pernah mengenal sedikitpun.
Lagi-lagi Jirin menangis ketika ia benar-benar
merindukan Gaein. Jirin tak mudah menangis seperti sekarang ini sebelumnya
seumur hidup. Seandainya saja benar-benar ada sebuah alat yang bernama mesin
waktu itu, tentu Jirin akan memutar kembali waktunya saat sebelum bertemu
Jeongmin sehingga ia bisa mengendalikan dirinya saat itu untuk tidak
mengabaikan Gaein.
Ah, mengingat pria itu membuat dada Jirin kembali
teriris. Lagipula tak ada artinya lagi kata ‘seandainya’ yang Jirin harapkan.
Semua benar-benar sudah berlalu. Gaein sudah membencinya sekarang.
“Kupikir kau bersenang-senang sekarang. Nyatanya kau
malah terlihat sangat menyedihkan.”
Suara itu?
Jirin sontak menelengkan kepalanya ke arah sumber
suara. Kedua matanya membelalak mendapat presensi seseorang yang tak pernah ia
sangka akan datang menemuinya di tengah dinginnya udara saat ini.
“Gaein-ah.”
Gadis bernama Gaein
itu lantas memposisikan tubuhnya duduk di samping Jirin. Lantas hening
setelahnya. Bahkan nyaris tak ada suara selama bermenit-menit jika saja suara
perut Jirin tak berbunyi memecah keheningan yang melingkupi mereka.
Jirin menunduk malu lantas menggaruk tengkuknya yang
tak gatal. Oh, sial. Dia benar-benar sudah menjatuhkan harga dirinya karena
cacing-cacing di perutnya berdemo di saat yang tidak tepat.
“Mianhe,”
ucap Gaein pelan namun dapat didengar jelas oleh Jirin.
Jirin hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia
dengar. “Huh?”
Gaein menatap Jirin sendu lantas tersenyum tulus pada
gadis di depannya yang terlihat lebih kurus dibanding terakhir mereka bertemu.
“Maaf. Maaf meninggalkanmu saat itu. Maaf meninggalkanmu sendirian di
apartemen. Maaf tak memaafkanmu saat itu. Maaf sudah membuatmu jadi seperti
ini,” terang Gaein.
Rongga dada Jirin serasa berdesir mendengar ucapa
Gaein barusan. Ia tidak salah dengar kan?
Jirin menggeleng cepat dengan matanya yang sudah
memburam karena lagi-lagi air matanya mendesak untuk keluar. “Aniyo, aku yang seharusnya minta maaf.
Maaf Gaein-ah, sungguh aku minta
maaf, hiks, maaf mengabaikanmu karena Jeongmin. Maaf tak mendengarkan alasanmu
saat bersama Jongwoon Sunbae, hiks,
maaf aku terlalu egois,” Jirin berkali-kali menghapus kasar air mata yang
mengalir begitu saja di wajahnya meskipun ia dengan susah payah menahannya.
Gaein seketika memeluk Jirin yang tentu saja langsung
dibalas Jirin dengan turut memeluk erat sahabatnya itu. “Heum, aku sudah
memaafkanmu. Aku tahu manusia tak pernah lepas dari kesalahan. Saat itu aku
hanya sebal karena kau terlalu mementingkan Jeongmin dari pada aku. Ditambah
kau tidak mau mendengarkan penjelasanku saat bersama Jongwoon Sunbae.Tapi-“, Gaein menggantung
kalimatnya dan melepaskan pelukannya.
“Tapi apa?” tanya Jirin penasaran.
“Tapi aku jadi merasa bersalah karena membiarkanmu
tertipu oleh Jeongmin dan tidak ada bersamamu saat kau kesepian. Aku kasihan
padamu, lihat kau bahkan jadi kurus seperti ini,” kekeh Gaein berusaha membuat
suasana tak terlalu melankolis. Sungguh Gaein tak suka suasana melankolis
seperti ini.
Jirin hanya bisa tersenyum. “Aku tidak berselera makan
karena aku tak biasa makan sendiri. Eumm jadi...” Jirin menatap Gaein dengan
ragu. “Apa kau sungguh-sungguh sudah memaafkanku?”
Gaein mengangguk pasti. “Tentu saja.”
“Kita sudah berbaikan kan?” tanya Jirin lagi dengan
ragu.
Gaein tertawa renyah. Tanpa menjawab pertanyaan
retoris Jirin, Gaein malah mengambil sebuah kotak berbungkus kertas kado yang
entah sejak kapan berada di sampingnya dan juga sebuah buku catatan yang sudah
satu bulan ini dicari oleh Jirin.
Gaein menyerahkan kado berukuran cukup besar tersebut
pada Jirin membuat alis Jirin bertaut bingung. “Saengil chukkahamnida uri jirin. Dan ini bukumu yang saat itu
terjatuh di pinggir lapangan. Jongwoon Sunbae
yang mengantarkan langsung buku itu ke apartemen kita, karena kau tak ada
makanya ia serahkan padaku. Dan itu sebabnya aku bersama Jongwoon Sunbae saat itu.”
Dagu Jirin terjatuh dengan mulutnya hampir menganga
lebar. Astaga, ia bahkan lupa kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Dan ia tak
menyangka jika Jongwoon saat itu mengembalikan bukunya, ia benar-benar salah
paham pada Gaein. “Gaein-ah, gomawo,”
ucap Jirin tulus.
“Bukalah,” pinta Gaein.
Dengan cepat Jirin membuka kotak kado tersebut. Kado
itu berwarna kuning, hadiah khas setiap tahun dari Gaein karena Jirin begitu
menyukai warna kuning. “Gaein-ah, ige...”
ucapan Jirin tertahan saat netranya melihat isi kado itu. Ada sepuluh buah
novel dengan cover beraneka warna.
Kado ulang tahun yang tak pernah terpikirkan sedikitpun oleh Jirin.
“Eotokhae?
Kau suka?”
Jirin mengangguk dan mati-matian kembali menahan air
matanya. “Aku lebih dari suka. Ini luar biasa Gaein-ah, aku, aku bahkan kehabisan kata-kata. Gaein-ah bukankah ini-“
“Itu semua novel teenit
yang baru terbit dan ada beberapa yang best
seller,” ucap Gaein memotong ucapan Jirin.
Jirin tanpa aba-aba langsung memeluk Gaein membuat
Gaein terkekeh pelan. “Terima kasih Gaein, sungguh aku tak menyangka kau tak
melupakan hari ulang tahunku. Aku bahkan tak menyangka kau bisa memberikanku
kado luar biasa ini.” Jirin melepaskan pelukannya.
“Heum, sama-sama.”
“Tapi, novel ini pasti mahal,” Jirin menatap tak enak
pada kado di tangannya.
“Hey, kau tidak berfikir setelah ini aku tidak punya
uang untuk makan kan? Itu aku beli dengan gaji pertamaku bekerja di toko buku
Kim Ahjumma,” terang Gaein yang
sukses membuat Jirin kembali membelalakkan matanya.
“Hey, bukankah kau bilang kau ingin sekali ikut tour ke Macau? Lalu-“
“Aku patah hati.”
Jirin menatap Gaein menuntut penjelasan dari gadis
itu.
“Kau benar, aku ingin ikut tour itu karena ada Kyuhyun Sunbae.
Tapi beberapa minggu yang lalu aku tahu kalau dia sudah punya yeojachingu, jadi aku putuskan untuk
tidak ikut tour itu dari pada aku
harus merasa tidak nyaman saat melihat Kyuhyun Sunbae.”
“Neo gwaenchana?”
tanya Jirin khawatir.
Gaein mengangguk masih dengan mempertahankan senyum di
wajahnya. “Heum, tentu saja aku baik-baik saja. Aku bahkan tidak sampai kurus
sepertimu, haha. Oh ya, sekarang tinggal kau yang berjuang untuk merebut hati
Jongwoon Sunbae.”
Jirin mempotkan bibirnya. “Kurasa aku menyerah.
Jongwoon Sunbae itu seperti bintang
yang terlalu tinggi dan sangat mustahil untuk digapai,” terang Jirin lantas
menghapus sisa air mata di wajahnya.
“Haha, kau benar juga. Sepetinya kita harus
mengucapkan selamat tinggal pada cinta tak terbalaskan di masa kuliah kita Rin-ah.”
Jirin mendengus pelan lantas terkekeh. Namun sial
cacing-cacing di perutnya kembali berdemo karena sejak tadi pagi hingga pukul
empat sore ini Jirin belum memakan apapun. “Astaga, cacing-cacing sialan,” gerutu
Jirin.
Gaein tertawa mendengar bunyi perut Jirin yang cukup
nyaring. “Kajja ke restaurant di dekat sini. Aku tahu kau
pasti sudah sangat kelaparan. Dan kau harus mentraktirku makan, okey.”
Jirin tertawa pelan. “Baiklah-baiklah. Aku akan
mentraktirmu sepuasnya untuk merayakan ulang tahunku sekaligus merayakan
perdamaian kita. Dan juga, untuk mengobati patah hatimu, hahaa..” Jirin bangkit
dan berjalan mendahului Gaein sebelum temannya itu mengamuk.
“Mwo? Apa
kau bilang? Hey, aku tidak semenyedihkan itu Nona Choi. Lalu bagaimana denganmu
yang patah hati karena seorang Lee-“
“Hey hentikan. Kau jadi kutraktir atau tidak huh?”
Jirin memotong cepat ucapan Gaein karena ia tak ingin mendengar nama pria itu
lagi.
“Haha, baiklah Nona Choi.”
Mereka berdua terawa bersama seraya meninggalkan tepi
sungai Han menuju restaurant tak jauh
dari tempat mereka duduk tadi. Kehangatan persahabatan mereka mengalahkan
dinginnya cuaca musim dingin di Seoul. Persahabatan yang penuh warna.
Warna-warna yang akan terus membumbui persahabatan mereka sampai akhir kisah
hidup mereka.
.
.
FIN
Alhamdulillah selesai ^^
Nggak
nyangka banget kalo jadinya bakalan sepanjang ini. Pasti eneg bingit dah
bacanya, hehe...
Pokoknya
aku mau ucapin terima kasih banget deh buat Yuni atas kado yang SUPER AWESOME-nya. Berkat kado itu aku
jadi punya inspirasi bikin cerita ini ditambah beberapa kejadian sebelum
tanggal ulang tahun aku, yah konflik karena ‘seseorang’ yang nyatanya
menyakitkan sekali T_T
Makasih
masih memikirkan ulang tahun aku padahal aku sudah banyak mengecewakan kamu, mianhe Yuni-ya, jeongmal mianaheyo nae chingu...
Maaf ya
kalo ceritanya jelek banget. Aku juga nggak tau kenapa malah banyak pake
penggunaan bahasa Korea.
Makasih
buat yang bersedia membaca, gomawo :)
*bow