Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Selasa, 29 April 2014

(Fanfiction) An Ending

An Ending

.

.

Author:

Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast:

Super Junior’s Yesung a.k.a Kim Jongwoon

Kim Jongjin

Genre:

Angst, Brothership

Lenght:

Ficlet

Warning:

Typo bertebaran, bahasa tidak sesuai EYD, OOC

.

.

<3<3<3

“Mungkin inilah...”

.

“Hey pengemis! Pergi kau dari sekolah ini!!!”

“Pengemis sepertimu tak pantas berada di sekolah kami...”

“Lihatlah pria bodoh menyedihkan ini, kau tidak tahu dimana tempatmu huh?”

“Kalau aku jadi dia, sudah kubuang ke tempat sampah sepeda butut itu.. hahaa”

Umpatan-umpatan yang merusak indra pendengaran itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Jongwoon. Bahkan tak jarang ia mendapat lemparan buku kala ia melewati gerbang sekolah, atau lebih parahnya lemparan telur busuk yang mengenai seragam sekolah satu-satunya miliknya.

Mungkin jika tidak mengingat bagaimana kebaikan Han Ahjussi yang sudah mau berbaik hati membiayainya sekolah, ia akan berhenti dengan senang hati dari sekolah busuk ini. Bahkan tiap ia dibully oleh teman-temannya, tak ada keadilan yang ia dapatkan meskipun semua guru selama ini mengetahui keadaannya.

Jongwoon tak mengerti apa kesalahan yang selama ini ia buat.

Mungkin bukan benar-benar tidak mengerti. Ia tahu. Ia mengerti. Hanya saja ia tak habis pikir.

Apakah miskin adalah sebuah kesalahan? Apakah miskin adalah dosa besar?

Jongwoon bisa saja berhenti sekolah dan bekerja untuk membiayai hidupnya dan adiknya. Tapi ia bukan orang bodoh yang akan berhenti sekolah begitu saja hanya karena hinaan yang ia terima setiap hari. Jongwoon memerlukan ijazah SMA-nya agar ia bisa bekerja lebih baik nantinya. Meskipun ia mungkin tak bisa duduk di bangku kuliah setelahnya, paling tidak ia memiliki ijazah SMA.

Hanya sesederhana itu.

Tapi hal sederhana itu begitu rumit untuk Jongwoon dapatkan. Dunia memang kejam. Setidaknya cukup kejam bagi orang lemah sepertinya. Bagaimanapun juga dunia tak akan berpihak pada orang lemah sekalipun seorang pahlawan datang menuntut dan membela keadilan bagi mereka. Terlalu kejam dan terlalu rumit untuk dipahami.

Orang-orang itu tidak tahu bagaimana keadaan Jongwoon. Toh walaupun mereka mengetahuinya, mereka tak akan peduli. Mereka tak seperti Jongwoon yang hidupnya selalu was-was. Mereka mungkin masih bisa tertawa karena mereka tak perlu memikirkan apakah esok masih  bisa makan atau tidak. Apakah besok rumah mereka akan digusur atau tidak.

Yang Jongwoon dan adiknya butuhkan hanyalah dapat bertahan hidup. Minimal  ia tidak lagi memikirkan bagaimana caranya besok untuk makan.

Jongwoon menyeret sepeda tuanya keluar gerbang sekolah dengan amarah yang tertahan dirongga dadanya. Mungkin ia masih bisa menerima jika ia dihina atau dilempari telur busuk sekalipun. Tapi kali ini, satu-satunya sepeda yang menjadi alat transportasinya dan merupakan satu-satunya benda yang mengingatkannya pada orang tuanya, benda itu sudah tak bisa dipakai lagi.

Rantai sepeda itu putus dengan rem yang juga sudah dirusak. Sepeda itu memang sebenarnya tak layak pakai dengan karat yang sudah sangat terlihat jelas di hampir seluruh bagiannya. Tapi paling tidak Jongwoon bisa menghemat waktu untuk pergi ke sekolah dengan sepeda itu.

Dan kini sepeda itu benar-benar sudah tak bisa dipakai.

Jongwoon menghempaskan sepedanya di pinggir sungai yang ia lewati saat berjalan pulang ke rumah. Ia sudah merelakan untuk membuang sepeda yang menjadi penghubung kenangannya dengan orang tuanya.

“Apa kalian puas sekarang menghancurkanku?”, geramnya tertahan dengan kedua tangannya mengepal kuat. Nafasnya memburu dengan matanya yang mulai memerah.

Jongwoon memang pria, tapi ia juga punya hati. Ia tahu bagaimana rasanya sakit hati. Ia juga berhak untuk menangis. Namun alih-alih mengeluarkan amarahnya dengan tangisan, ia menendang-nendang sepeda tuanya yang sudah tergeletak di pinggir sungai yang sebagian dari tubuh sepeda itu sudah masuk ke dalam air.

“KALIAN PUAS HUHH??? APA SALAHKU PADA KALIAN??!!! APA AKU PERNAH MENYAKITI KALIAN?? APA AKU PERNAH MENGGANGGU KALIAN HAAHH??!! ATAU KALIAN HANYA AKAN PUAS SETELAH MELIHATKU BENAR-BENAR HANCUR??? AAAAAARGGGGGHHH”. Jongwoon mengerang hingga ia terduduk lemah di pinggir sungai di bawah teriknya matahari.

Pria itu mulai menumpahkan perasaannya dengan meraung sekuatnya. Mungkin hanya di sini ia bisa meluapkan segala relung nestapanya. Karena di sini tak ada yang mendengarnya, kecuali hewan-hewan yang ada di sekitar sungai ini. Itupun kalau hewan-hewan itu mengerti apa yang Jongwoon katakan.

<3<3<3

“Kau sudah pulang Hyung?”, sapa Jongjin ramah ketika melihat Jongwoon berdiri di ambang pintu rumah mereka.

Jongwoon tersenyum tipis membalas sapaan adik kesayangannya itu. “Kau sudah makan?”, tanya Jongwoon usai meletakkan ranselnya di dekat meja. Rumah mereka hanya ada satu ruangan yang menjadi ruang serba guna, dan satu kamar mandi.

Jongjin mengangguk.

Hanya dengan melihat Jongjin perasaan Jongwoon sedikit membaik. Setidaknya Jongwoon tidak sendirian. Ia memiliki adik laki-laki yang sangat ia sayangi. Meskipun Jongjin tidak sesempurna anak yang lain. Kaki kirinya patah karena kecelakaan 9 tahun yang lalu. Dan itulah kenapa Jongjin tidak bisa bersekolah.

“Hyung, hari ini tepat 9 tahun orang tua kita meninggal. Kau ingin pergi ke makam mereka Hyung?”

“Hmm...”, Jongwoon menjawab singkat sambil mengganti pakaiannya.

Jongjin kembali mengangguk lantas setelahnya ia bangkit dari duduknya dengan sedikit tertatih. “Baiklah, kalau begitu aku akan bersiap-siap juga”.

“Tidak usah...”, Jongwoon menghalangi Jongjin yang hendak berdiri.

Jongjin mengernyit heran. “Kenapa Hyung?”

“Hmm, tidak ada. Hanya saja... Emm, bisakah kita bicara sebentar?”, Jongwoon ikut duduk di samping Jongjin. “Apa kau merindukan Ayah dan Ibu?”

“Tentu saja Hyung, aku sangat merindukan mereka. Makanya ayo kita pergi ke makam mereka”

Jongwoon memandang nanar Jongjin, “Apa kau...ingin bertemu mereka?”

“Huh? Apa maksudmu Hyung? Kita tidak mungkin bisa bertemu orang yang sudah meninggal kan?”

Jongwoon menarik nafas dalam. Digenggamnya erat tangan adiknya itu. “Jongjin-ah...”, lirih Jongwoon. Bahkan ia sudah tak bisa menahan air matanya sekarang.

“Wae Hyung? Kau kenapa? Kenapa kau menangis? Apa anak-anak itu mengganggumu lagi?”. Jongjin begitu khawatir melihat Jongwoon yang tidak seperti biasanya. Pria itu biasanya selalu tegar meskipun ia sering dibully.

Jongwoon tak menyahut, ia malah memeluk adiknya yang kebingungan karena sikapnya. “Jongjin-ah, aku menyayangmu”, bisiknya disertai isakan kecil.

Jongjin malah tersenyum mendengar ucapan Jongwoon, “Nado Hyung... aku juga menyayangimu”, ia lantas membalas pelukan hangat Jongwoon. “Sebenarnya ada apa Hyung? Tidak biasanya kau seperti ini”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Jongwoon.

“Hyung, maafkan aku karena aku tak bisa melakukan apa-apa untukmu. Aku hanya menjadi bebanmu... maaf Hyung”, sedikit terisak Jongjin dalam dekapan Jongwoon. Ia yakin saat ini Jongwoon sudah sangat lelah. Dan ia tak bisa melakukan apapun untuk membantu Jongwoon yang menjadi tulang punggung sejak kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka 9 tahun lalu.

Jongwoon masih belum mengatakan apa-apa. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Jongjin. Hingga beberapa menit kemudian, Jongwoon bisa merasakan cairan hangat di tangan kanannya.

Bahkan cairan itu mengeluarkan bau anyir yang menyapa penciumannya.

Jongwoon melepaskan pelukannya pada Jongjin. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi kesakitan di wajah saudaranya itu. Jongjin berusaha memanggil Jongwoon sambil memegangi perutnya yang makin banyak mengeluarkan cairan berwarna merah pekat.

Jongwoon baru saja menusuknya.

Jongwoon baru saja menancapkan sebilah pisau tepat di ulu hati Jongjin saat memeluknya.

“H.. Hyung.. Hyung...”, panggil Jongjin sekuat tenaga. Hingga akhirnya Jongjin tersungkur di lantai dengan darah yang tak berhenti mengalir di perutnya.

Jongwoon hanya menatap datar pada Jongjin yang meregang nyawa. Lalu ia mengelus pelan wajah adiknya yang sudah tak bernyawa itu dengan tangannya yang dipenuhi bercak darah Jongjin.

“Maaf Jongjin-ah. Ini yang terbaik untukmu. Kau akan berbahagia dengan Ayah dan Ibu di Surga”, setitik air mata kembali mengalir di sudut mata Jongwoon. Ia tahu ini salah. Tapi ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia lelah. Ia muak.

“Dunia ini kejam Jongjin-ah... aku tidak ingin kau disakiti sepertiku. Aku berjanji akan pergi denganmu menemui Ayah dan Ibu di surga. Secepatnya”. Usai mengecup sekilas dahi Jongjin yang mulai terasa dingin, Jongwoon segera bangkit dan pergi meninggalkan tubuh kaku adiknya itu.

<3<3<3

Semilir angin sore menerpa surai hitam Jongwoon. Pria muda itu meletakkan sebuket bunga lily di depan makam orang tuanya. Setelahnya ia memberikan penghormatan di depan makam itu.

“Kalian orang tua terjahat didunia...”, ucapnya pelan sambil tersenyum getir. “Kalian meninggalkanku dan Jongjin yang saat itu masih anak-anak. Apa kalian tidak tahu betapa beratnya kami menjalani hidup kami selama ini??!!”

Jongwoon terduduk di depan makam dengan tangannya yang mengepal kuat. “Aku sakit Ibu. Aku lelah Ayah. Aku tidak sanggup lagi..”, isaknya sambil memukul-mukul dadanya.

Hingga beberapa menit berlalu yang terdengar di sekitar makam itu hanya isakan Jongwoon. Pria itu mencoba meremas-remas dadanya, bahkan ia sudah memukul-mukul dadanya lebih kuat dari sebelumnya. Ia ingin sekali menghentikan tangisan yang tak ada gunanya ini, namun hasilnya ia hanya bisa terisak semakin kencang.

“Sakit...”, ucapnya pelan. “Sakit Bu...”.

Sakit yang Jongwoon rasakan bukan karena dadanya yang ia pukul dengan keras, namun hatinya sudah terlalu sakit. Mungkin hati itu sudah tak berbentuk lagi. Hati dan persaannya sudah remuk. Hati dan perasaannya sudah hancur.

“Aku sudah mengirim Jongjin bersama kalian”, lirihnya usai ia mulai bisa mengendalikan isakannya. “Maafkan aku Ayah, Ibu... Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan”

Jongwoon lantas memejamkan matanya. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan. Ia merasa ini adalah senyuman terakhir yang ia tunjukkan pada dunia. “Ibu, aku tak pernah menyangka kalau udara yang aku hirup senikmat ini”, ia menghirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan teramat pelan.

“Kurasa ini waktunya...”, Jongwoon membuka matanya dan mengambil sebilah pisau kecil dari dalam sakunya. Pisau itu perlahan ia sayatkan ke urat nadi di pergelangan tangan kirinya. Jongwoon bisa merasakan perih luar biasa hingga seluruh tubuhnya menegang. Ia bisa merasakan yang Jongjin rasakan kala ia menusuknya.

Semilir angin berhembus ke arah barat. Menggoyangkan rerumputan hijau serta bunga dendelion di sekitar makam orang tua Jongwoon. Burung gereja mencicit bersahutan memenuhi suara di senja yang tenang, menghantarkan sang surya ke peraduannya. Sekaligus mengucapakan salam perpisahan untuk pria yang berada di ambang kematian.

Hingga tak lama darah segar berceceran di sekitar tubuh Jongwoon yang sudah tersungkur di atas tanah. Jongwoon meregang nyawa di depan makam orang tuanya. Pria malang itu memilih mengakhiri hidupnya dan menyusul kedua orang tuanya.

Karena dunia ini kejam.

.

“...sebuah akhir”

.

.

Fin

(Cerpen) Nona Picikan



“Nona Picikan”
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Cast:
Darwin and Umairoh
Genre:
Friendship
Rating:
Teen
Warning:
Typo, bahasa campur aduk, alur cerita bikin mual...
Ps: Ini cerita kedua buat temanku yang nyebelin bernama Darwin yang “Kepo” abis dan suka nyari-nyari kesalahanku -_-
Yesungdah... Happy reading ^^
.
.
***
Darwin’s POV
Aku mengenalnya sekitar delapan bulan yang lalu.

Ia bukan gadis terkenal, setidaknya tidak terkenal di lingkungan kampus. Bukan gadis peraih medali olimpiade, juga bukan mahasiswi pecinta alam. Ia hanya gadis biasa. Mahasiswi biasa dengan kemampuan yang biasa serta penampilan yang bisa dibilang biasa saja.

Meskipun aku sudah mengenalnya selama delapan bulan, namun sampai detik ini aku tak tahu namanya. Ia tak pernah memberitahuku siapa namanya. Ia bilang ia sangat suka dengan nama panggilanku untuknya, Nona Picikan. Oke, nama itu terdengar aneh dan sedikit... errr entahlah.

Mungkin kalian akan berpikir kenapa aku memanggilnya dengan Nona Picikan. Eumm, sederhana saja. Awalnya ia adalah pelanggan yang pertama kali datang ke café-ku persis delapan bulan yang lalu saat café-ku baru saja dibuka. Waktu itu ia duduk di pojok café sambil menangis meraung-raung. Aku sebagai pemilik café tentu saja kebingungan karena di hari pertama café-ku buka sudah ada pelanggan yang menggalau ria di dalam café.

Saat itu aku mengampirinya yang meraung-raung seperti orang kerasukan. Aku mencoba bertanya apa yang terjadi, namun ia tak menghiraukan sama sekali. Ia malah menangis semakin kencang. Lantas aku mencoba bertanya seseorang yang mungkin bisa ia hubungi agar menjemputnya. Ia masih tetap tak mengindahkan perkataanku.

Awalnya aku mulai terpancing emosi karena ia terus saja menangis dan membuat pelanggan lain merasa terganggu. Hingga akhirnya aku merebut ponselnya untuk mencari nomor ponsel keluarganya yang mungkin bisa aku hubungi. Saat aku mulai mencari-cari nomor di ponselnya, ia malah berteriak dan segera merebut ponselnya dari tanganku. Ia bilang “picikan” ponselnya bisa terlepas kalau aku “memiciknya” terlalu kuat.
Saat itu aku malah tertawa dengan apa yang ia katakan. Hey, ayolah... itu namanya bukan “picikan” tapi “keypad”. Karena aku menertawakannya ia malah melotot padaku dengan matanya yang bengkak dan merah. Setelahnya ia bangkit dan langsung keluar dari café dengan langkah tergesak-gesak. Sedangkan aku malah masih tak bisa menghentikan tawaku karena tingkah gadis itu benar-benar aneh.

Setelah kejadian itu, aku kembali betemu dengannya dua hari kemudian. Tepat di jam yang sama pukul 10 pagi di café-ku. Namun saat itu berbeda dengan dua hari sebelumnya. Ia tak lagi menangis meraung-raung. Yah, seperti kebanyakan gadis-gadis lain yang datang ke café, ia juga datang bersama teman-temannya lalu setelah itu mereka mulai mendiskusikan berbagai hal yang bisa kutebak salah satunya adalah membicarakan orang lain.

Seperti sebuah takdir, gadis itu malah menjadi pelanggan setia di café-ku. Dan yeah kau taulah akhirnya kami menjadi mulai akrab. Awalnya aku menanyakan namanya, namun ia bilang aku boleh memanggilnya sesukaku asal nama itu masih manusiawi. Tentu saja aku bingung. Lantas aku memanggilnya dengan “Nona Picikan” karena insiden dipertemuan pertama kami. Well, anehnya ia malah senang saja dengan nama panggilan itu. Hingga akhirnya sampai hari ini aku masih memanggilnya dengan “Nona Picikan”.

Kurasa cukup menceritakan pertemuan pertama kami.

Karena yang terpenting saat ini ialah gadis tak tahu diri itu tadi malam menyuruhku bertemu dengannya di taman dekat kampusnya sepulang ia kuliah. Bahkan sekarang sudah lewat tiga puluh tujuh menit dari waktu yang ia janjikan. Dan bodohnya aku malah masih menunggunya di sini.

Baiklah mungkin gadis itu akan datang beberapa menit lagi. Aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali namun ia sama sekali tak menjawab panggilan telponku. Tsk, setelah ini aku tidak mau lagi datang jika ia mengajakku bertemu. Hey, aku ini seorang pemilik café yang cukup sibuk. Dan aku sudah meluangkan waktuku yang sangat berharga untuk memenuhi permintaannya.

Mungkin Tuhan tak menigjinkanku untuk terus mengomel karena aku bisa melihat sosok gadis itu yang berjalan sedikit sempoyongan sekitar delapan meter dari tempat yang sekarang kududuki.

Aku segera bangkit dari duduk dan berdiri sambil melipat kedua tanganku di depan dada bersiap untuk mengomeli gadis itu. Belum saja sampai, gadis itu malah terjatuh sekitar tiga meter dari tempatku sekarang. Aku yang niatnya ingin memarahi gadis itu malah panik dan menghampirinya.

“Kau tak apa? Hey... Nona Picikan??!!! Apa yang terjadi... hey, bangunlah...”, aku menopang kepalanya di atas pangkuanku. Berusaha menyadarkan gadis itu karena sepertinya ia tak sadarkan diri.

“Nona, sadarlah... Kau kenapa?”, aku mengguncang-guncangkan bahunya berharap agar gadis ini membuka matanya. Namun ia benar-benar tak sadarkan diri. Kucoba meraba dahinya. Ya Tuhan badannya panas.

Aku mulai panik dan langsung mengangkatnya menuju rumahku yang berada di belakang café tak jauh dari sini. Aku sedikit kesusahan berjalan karena gadis ini ternyata cukup berat. Baiklah Darwin disaat seperti ini kau tidak boleh membahas berat badan orang lain. Tapi gadis ini benar-benar cukup berat dan tanganku mulai terasa kram.

***

Sudah tiga jam Nona Picikan ini tak sadarkan diri. Saat ini ia sedang berada di kamarku dan tiga jam yang lalu dokter mengatakan ia hanya kelelahan sehingga badannya demam dan asam lambungnya meningkat jadi ia perlu istirahat yang cukup.

Tapi, kalian tidak berpikiran yang tidak-tidak kan?

Hey... Rumahku ini hanya ada satu kamar karena aku tinggal seorang diri di rumahku yang minimalis di belakang café-ku. Aku mencoba berbisnis sendiri. Sedangkan orang tuaku mengurus bisnis mereka di luar kota.

Aku menghampirinya yang masih tak sadarkan diri. Aku duduk di tepi tempat tidur tepat di samping gadis itu berbaring. Kuraba dahinya, suhu badannya sekarang sudah tak sepanas tadi.

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu?”, lirihku khawatir sambil meletakkan handuk yang kubasahi dengan air dingin di dahinya. “Kau benar-benar pandai mengaduk-aduk perasaanku..”.

Gadis ini memang sering membuat perasaanku jadi tak menentu. Kadang kala ia membuatku khawatir, kadang ia benar-benar membuatku marah,terkadang membuatku sebal, bahkan kadang... aku merindukannya kala ia tak ada kabar beberapa hari.

Aku masih duduk di sampingnya menunggu ia membuka matanya. Wajahnya terlihat begitu tenang di saat tertidur seperti ini.

Tsskk, apa yang aku lakukan. Aku tak sadar kala tanganku mulai mengelus pelan kepalanya. Entah ada apa denganku karena aku sekarang mulai merasa tak bisa jauh dari gadis ini. Gadis cerewet yang tak pernah berhenti berbicara kecuali saat ia sedang makan atau tidur.

Bahkan disaat ia sakit seperti ini aku juga merasakan sakit di dadaku. Matanya yang biasa menatapku dengan iris caramelnya yang hangat, bibirnya yang biasanya akan selalu tersenyum padaku, dan ekspressi cemberutnya jika ia sedang merajuk. Tapi saat ini ia sedang sakit dan iris caramel itu sedang terpejam, bibir yang selalu tersenyum itu mengatup rapat, dan wajahnya benar-benar pucat sekarang.
“Nona Picikan... Cepatlah sembuh”
***
Umairoh’s POV
“Eungh..”
Perlahan kubuka mataku. Bias cahaya yang cukup menyilaukan membuatku mengerjap-ngerjapkan mataku untuk membiasakan cahaya yang masuk ke dalam retina mata. Kepalaku terasa berat dan perutku sedikit mual. Aku mencoba bangun dan berusaha memperjelas penglihatanku yang terasa kabur.
Aku di mana sekarang? Ini tidak seperti kamarku. Kamarku berwarna peach sedangkan di sini dominan berwarna biru laut.
Ini tidak mungkin rumah sakit kan?
Kupegangi kepalaku yang terasa berdenyut, bahkan rasanya sekarang untuk dudukpun tidak nyaman. Aku mencoba mengingat kejadian beberapa saat yang lalu.
Oh iya. Tadi seingatku aku menemui Tuan Kepo di taman. Dan setelahnya, aku tak ingat apa-apa lagi. Apa ini kamarnya? Aku mencoba turun dari ranjang berusaha mencari seseorang yang mungkin pemilik kamar ini.
Belum sempat kusampirkan selimut yang menutupi tubuhku, kudengar langkah seseorang memasuki kamar ini. Ternyata benar, ini kamarnya.
“Kau sudah bangun?”, tanyanya terkejut lantas tergesak-gesak menghampiriku.
Aku hanya menatap bingung padanya. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tenggorokanku rasanya kering dan cukup sakit untuk berbicara.
“Kurasa demammu sudah turun”. Ia meraba dahiku dengan lembut. “Hey... ada apa denganmu?”, ia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku karena aku hanya menatapnya tanpa berkedip sekian sekon.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat tersadar kalau aku sudah menatapnya terlalu lama. Aku lantas sedikit menjauhkan tubuhku darinya.
“Tsskk.. Kau ini. Tenang saja, aku tak melakukan sesuatu yang buruk padamu”, ujarnya seolah mengerti apa yang aku pikirkan. Ah benar... Dia tidak mungkin melakukan hal-hal yang aneh padaku. Aku sangat kenal pria ini. Ia bukan pria sembarangan.
“Kau tunggu di sini ya.. aku akan mengambilkan makanan untukmu”, ia lantas beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Aku masih menatap punggungnya yang mulai menjauh hingga ia menghilang di balik pintu.
Kurasakan perih di lambungku. Tssk.. maag-ku pasti kambuh lagi karena aku belum makan sejak tadi malam. Aku mencoba bangun untuk menemui Tuan Kepo itu, tapi kepalaku masih terasa berat. Akhirnya aku putuskan untuk menunggunya saja.
Kuperhatikan sekeliling kamar ini. Tidak terlalu buruk juga, cukup rapi untuk seorang pria. Yah meskipun beberapa buku berserakan di atas meja nakas serta beberapa pakaian yang bergantung sembarangan di daun pintu.
Aku masih memperhatikan seluk beluk kamar ini ketika pria itu datang membawakan nampan berisi makanan.
“Sudahlah, tidak perlu terlalu mengagumi keindahan kamarku. Sekarang kau cepat makan... Tadi dokter bilang kalau maag-mu kambuh. Ckk, kau ini benar-benar tidak bisa menjaga kesehatanmu ya... Kau seharusnya makan tepat waktu...”. Pria ini benar-benar menyebalkan. Kalau aku sedang tidak sakit sekarang pasti sudah kucakar-cakar wajahnya.
“Cepat makan... atau kau mau kusuapi?”, ia mulai mengambil sendok dan memasukkannya ke dalam mangkuk bubur. “Buka mulutmu”, perintahnya.
Aku tak mengindahkannya. Aku malah menatap sinis padanya yang menungguku membuka mulut.
“Kau ini meskipun sakit tetap keras kepala... Sudahlah, hanya buka mulutmu...ayo cepat”, ia menyodorkan mulut sendok tepat di depan mulutku.
“Hmmm”, aku menggeleng kuat. Jujur saja aku sedang tidak berselara makan saat ini.
“Kau harus makan meskipun hanya sedikit, lalu setelah itu kau minum obat”, ia masih belum menyerah dan masih menungguku membuka mulut. “Ayo...”
Akhirnya aku pasrah dan mulai menyuap bubur itu. Rasanya benar-benar tidak enak. Hingga aku menyerah di suapan kelima. Perutku terasa mual. Rasanya seperti ada yang mengiris-iris perutku. Kepalaku juga terasa pusing, penglihatanku sedikit buram.
“Kau baik-baik saja?”, tanyanya khawatir. Ia menyentuh pelan bahuku lantas menyodorkan obat untuk kuminum. “Minum dulu obat ini baru setelah itu kau istirahat lagi”.
Aku hanya mengikuti apa yang ia katakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Rasanya aku ingin berbaring karena kepalaku yang serasa berputar-putar.
Usai meminum obat, aku langsung berbaring dan memejamkan mataku. Aku ingin mengatakan sesuatu pada Tuan Kepo tapi rasanya terlalu sulit.
“Istirahatlah... Tidur saja lagi supaya badanmu terasa nyaman”. Ia mengelus pelan puncak kepalaku. Aku hanya bisa mengangguk dan setelahnya ia menutupi tubuhku dengan selimut berwarna biru dengan gambar kartun Car.
“Jangan pikirkan hal-hal yang tidak perlu saat ini... Kau perlu istirahat sekarang...”, itulah kalimat terakhir yang aku dengar darinya sebelum akhirnya aku tertidur dan entah  apa yang ia lakukan setelah ini.
***
Darwin’s POV
Nona Picikan.
Tidak ada yang spesial dengan nama itu. Nama yang aneh, tidak masuk akal, dan benar-benar tidak elit. Orang lain pasti akan mentah-mentah menolak nama itu. Tapi gadis aneh ini malah menyukainya. Sebenarnya aku juga sangat menyukai julukan yang aku berikan padanya karena hal itu selalu membuatku teringat bagaimana saat kami pertama kali bertemu.
Sekarang sudah pukul 9 malam dan ia masih tertidur. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter tadi. Aku tahu kalau gadis ini sedang ada masalah, karena aku mulai hapal kebiasaannya yang selalu melupakan waktu makan jika banyak masalah yang ia hadapi.
Aku duduk di samping ia tidur. Demamnya sudah turun namun keringat dingin membasahi keningnya. Kuambil tisu untuk menyapu keringatnya, cukup pelan agar tak membangunkannya. Aku sangat khawatir jika terjadi sesuatu padanya makanya aku tak bisa meninggalkannya sendirian di kamar. Untung saja aku memiliki banyak karyawan sehingga aku tak perlu mengkhawatirkan keadaan café-ku.
Sesekali ia bergumam dalam tidurnya. Dan aku cukup terkejut ketika ia menyebutkan sebuah nama saat mengigau. “Ye.. sung. Yesung Oppa..”, dan hal itu sontak membuatku menjauhkan tanganku yang masih mengelus puncak kepalanya.
Gadis ini benar-benar sasaeng fans. Disaat tidurpun ia masih mengingat nama Yesung menyebalkan itu. Kenapa dia tidak menyebut namaku saja huh? Tssk, aku bahkan sekarang cemburu dengan pria bernama Yesung yang jauh di Korea Selatan sana.
“Hey Nona Picikan... Kalau kau terus mengigau tentang Yesung, aku tak segan-segan menggendongmu keluar dari sini”, ucapku sambil terkekeh pelan. Dasar bodoh. Tentu saja ia tak mendengar apa yang aku katakan.
Sekarang aku sudah mulai menguap berkali-kali. Aku mencoba menahan kantuk yang mulai menyerangku karena seharian ini aku cukup lelah. Namun mataku seperti sudah diberi selotip hingga kepalaku jatuh tanpa sadar di samping kepala Nona Picikan ini. Mungkin aku perlu tidur sebentar untuk mengistirahatkan tubuhku.
***
Umairoh’s POV
Bunyi alarm membuatku langsung terbangun. Aku cukup terkejut mendapati Tuan Kepo tertidur disampingku dan tanpa aku sadari aku langsung beteriak sekencang-kencangnya.
“Aaaaaaaaaarrggghh....”
Ia lantas terbangung karena terkejut mendengar teriakanku. Bahkan secara refleks aku memukuli tubuhnya dengan bantal secara bertubi-tubi. “Hyaaa! Apa yang kau lakukan di sini??!!”, teriakku masih sambil memukulinya dengan bantal.
“Awwwh.. berhenti memukuliku”, ia berusaha menghindari seranganku dengan menggunakan tangannya sebagai tameng. “Kubilang hentikan Nona Picikan!”, teriaknya tak mau kalah.
“Bagaimana aku bisa berhenti huhh?? Apa yang kau lakukan padaku? Bagaimana kau bisa tidur di sampingku??!!!”, aku masih berusaha memukulnya.
“Ya ya yaaa.. Ini kamarku!”, bentaknya sambil merebut bantal yang aku gunakan untuk memukulnya. Aku lantas terdiam dan memandang bodoh wajahnya yang kusut dan rambutnya yang acak-acakan.
Sesaat aku langsung teringat kejadian semalam di mana ia menyuapiku karena aku sedang sakit. Dan yang lebih parahnya adalah... aku ingat kalau ini adalah kamarnya. Ah dasar bodoh bodoh bodoh. Aku malu sekali.
“Sepertinya kau sudah sembuh”, ia mulai meraba dahiku.
Aku tertunduk malu mengingat betapa memalukannya perbuatanku tadi. “Maaf...”, kataku sambil menunduk tak berani menatapnya.
Ia menatap datar kearahku. “Sudahlah lupakan saja...”. Ia turun dari ranjang dan berdiri untuk membuka tirai jendela. Aku bisa merasakan segarnya udara pagi hari yang menerpa kulitku. Kulihat ia meregangkan kedua tangannya untuk merilekskan otot tubuhnya.
“Tuan Kepo, terima kasih ya sudah merawatku selama aku sakit”, kataku tulus.
“Tak masalah... Santai saja. Kita kan teman”, ia tersenyum dan aku tahu itu adalah senyuman tulus darinya. Tuan Kepo lantas berdiri di depan jendela dengan posisi membelakangiku. “Nona Picikan...”
“Heumm?”, jawabku seadanya dan aku masih pada posisi duduk di ranjangnya.
“Aku hanya bertanya... Sampai berapa lama kau tidak memberitahku siapa nama aslimu? Maksudku, kita kan sudah lama berteman. Jadi...”, ia berbalik menatapku.
“Jadi apa?”
“Jadi tak ada salahnya kan kita saling terbuka satu sama lain... Teman macam apa kalau satu sama lain tidak saling terbuka”
Aku hanya mengangguk mendengar perkataannya. “Umairoh... Namaku U-M-A-I-R-O-H”, jawabku. Kurasa sekarang waktunya aku memberitahukan namaku padanya.
“Namamu Umairoh? Pantas saja pipimu sering sekali memerah, ternyata sesuai dengan namamu...”
“Bagaimana denganmu? Kau juga tak pernah memberitahuku siapa nama aslimu...”
“Darwin”
“Huh?”
“Darwin.. Memangnya ada yang salah dengan namaku?”
“Ti, tidak.. Namamu bagus kok”
“Kurasa dengan kita terbuka satu sama lain kita bisa menjadi lebih dekat, benar kan?”, ia berjalan menghampiriku. Aku kembali hanya mengangguk. “Oh iya, orang tuamu tidak khawatir kau tidak pulang? Apa perlu aku yang memberitahu mereka?”, tanyanya dengan ekspresi khawatir.
“Tidak... aku kabur dari rumah”, jawabku enteng.
Ia sontak melotot dengan bola matanya hampir mencuat keluar. “Eits, aku hanya bercanda... mereka sekarang ini sedang di luar kota. Jadi aku sendirian di rumah”. Kulirik ia menghembuskan nafas lega.
 “Sebenarnya ada apa semalam kau memintaku menemuimu? Padahal kau sedang sakit...”
“Justru karena aku sedang sakit aku menemuimu. Aku ingin kau menemaniku ke dokter.. tapi yeah, aku ambruk di tengah jalan, hee”, aku menunjukkan cengiran terbaikku.
“Tssk, kau ini... Yasudah kalau begitu mulai sekarang jangan panggil aku dengan ‘Tuan Kepo’ lagi okey”. Aku mengangkat jempolku tanda aku setuju dengan perkataannya. “Eh tapi aku tidak terbiasa memanggilmu Umairoh, jadi aku tetap memanggilmu dengan ‘Nona Picikan’ yaa”
Sekarang aku yang melotot kearahnya yang sedang menatapku dengan tampang sok tak berdosanya. “Dasar curang! Kalau begitu aku juga tidak mau memanggilmu Darwin...”
“Tidak boleh... Kau harus memanggilku Darwin, karena sebutan ‘Tuan Kepo’ itu sangat tidak elit”, jawabnya tak mau kalah.
“Dasar seenaknya saja... sebutan ‘Nona Picikan’ itu lebih tidak elit tau!”, aku mencoba memukulnya lagi dengan bantal.
“Salah sendiri dulu kau tidak protes dengan nama itu... weee, aku tidak mau”, ia berusaha menghindari pukulanku.
Akhirnya pagi ini berakhir dengan perang bantal antara aku dan Tuan Kepo sambil kejar-kejaran di dalam kamarnya.
 “Dasar Tuan Kepo!”
“Nona Picikan!!!!”
.
.
FIN
***
Huaaahhh... ini cerita macam apaan yaa, sumpah ini cerita jelek bin ancur abis, hiks /pelukYesung/
Aku juga nggak tau Dude kenapa malah begini jalan ceritanya soalnya inspirasi yang muncul malah mentok begini doank... jangan kecewa sama hasilnya yaaah...
Tapi intinya sekarang aku sudah ngelunasin utangku karena ‘Nona Picikan’ itu kan? Iya kan iya donk??? Jadi jangan di tagih okey... hahahaa
Dan sekarang waktunya aku yang nagihin ‘something’ ke kamu.. yah you-know-lah-maksudku ^^
Ini cerita jelek banget dah sumpah jadi jangan timpukin aku pake bantal yaa, timpukin pake duit dollar ane ikhlas lillahita’ala kok :D
Okey segini dulu cuap-cuap nggak penting dan nggak berharga inih...
Pai-pai *seret Yesung*