An Ending
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Cast:
Super Junior’s Yesung a.k.a Kim
Jongwoon
Kim Jongjin
Genre:
Angst, Brothership
Lenght:
Ficlet
Warning:
Typo bertebaran, bahasa tidak sesuai
EYD, OOC
.
.
<3<3<3
“Mungkin inilah...”
.
“Hey pengemis! Pergi kau dari sekolah ini!!!”
“Pengemis sepertimu tak pantas berada di sekolah kami...”
“Lihatlah pria bodoh menyedihkan ini, kau tidak tahu dimana
tempatmu huh?”
“Kalau aku jadi dia, sudah kubuang ke tempat sampah sepeda
butut itu.. hahaa”
Umpatan-umpatan yang merusak indra pendengaran itu sudah
menjadi makanan sehari-hari bagi Jongwoon. Bahkan tak jarang ia mendapat
lemparan buku kala ia melewati gerbang sekolah, atau lebih parahnya lemparan
telur busuk yang mengenai seragam sekolah satu-satunya miliknya.
Mungkin jika tidak mengingat bagaimana kebaikan Han Ahjussi
yang sudah mau berbaik hati membiayainya sekolah, ia akan berhenti dengan
senang hati dari sekolah busuk ini. Bahkan tiap ia dibully oleh teman-temannya,
tak ada keadilan yang ia dapatkan meskipun semua guru selama ini mengetahui
keadaannya.
Jongwoon tak mengerti apa kesalahan yang selama ini ia buat.
Mungkin bukan benar-benar tidak mengerti. Ia tahu. Ia
mengerti. Hanya saja ia tak habis pikir.
Apakah miskin adalah sebuah kesalahan? Apakah miskin adalah
dosa besar?
Jongwoon bisa saja berhenti sekolah dan bekerja untuk
membiayai hidupnya dan adiknya. Tapi ia bukan orang bodoh yang akan berhenti
sekolah begitu saja hanya karena hinaan yang ia terima setiap hari. Jongwoon memerlukan
ijazah SMA-nya agar ia bisa bekerja lebih baik nantinya. Meskipun ia mungkin
tak bisa duduk di bangku kuliah setelahnya, paling tidak ia memiliki ijazah
SMA.
Hanya sesederhana itu.
Tapi hal sederhana itu begitu rumit untuk Jongwoon dapatkan.
Dunia memang kejam. Setidaknya cukup kejam bagi orang lemah sepertinya.
Bagaimanapun juga dunia tak akan berpihak pada orang lemah sekalipun seorang
pahlawan datang menuntut dan membela keadilan bagi mereka. Terlalu kejam dan
terlalu rumit untuk dipahami.
Orang-orang itu tidak tahu bagaimana keadaan Jongwoon. Toh
walaupun mereka mengetahuinya, mereka tak akan peduli. Mereka tak seperti
Jongwoon yang hidupnya selalu was-was. Mereka mungkin masih bisa tertawa karena
mereka tak perlu memikirkan apakah esok masih
bisa makan atau tidak. Apakah besok rumah mereka akan digusur atau
tidak.
Yang Jongwoon dan adiknya butuhkan hanyalah dapat bertahan
hidup. Minimal ia tidak lagi memikirkan
bagaimana caranya besok untuk makan.
Jongwoon menyeret sepeda tuanya keluar gerbang sekolah dengan
amarah yang tertahan dirongga dadanya. Mungkin ia masih bisa menerima jika ia
dihina atau dilempari telur busuk sekalipun. Tapi kali ini, satu-satunya sepeda
yang menjadi alat transportasinya dan merupakan satu-satunya benda yang mengingatkannya
pada orang tuanya, benda itu sudah tak bisa dipakai lagi.
Rantai sepeda itu putus dengan rem yang juga sudah dirusak.
Sepeda itu memang sebenarnya tak layak pakai dengan karat yang sudah sangat
terlihat jelas di hampir seluruh bagiannya. Tapi paling tidak Jongwoon bisa
menghemat waktu untuk pergi ke sekolah dengan sepeda itu.
Dan kini sepeda itu benar-benar sudah tak bisa dipakai.
Jongwoon menghempaskan sepedanya di pinggir sungai yang ia
lewati saat berjalan pulang ke rumah. Ia sudah merelakan untuk membuang sepeda
yang menjadi penghubung kenangannya dengan orang tuanya.
“Apa kalian puas sekarang menghancurkanku?”, geramnya
tertahan dengan kedua tangannya mengepal kuat. Nafasnya memburu dengan matanya
yang mulai memerah.
Jongwoon memang pria, tapi ia juga punya hati. Ia tahu
bagaimana rasanya sakit hati. Ia juga berhak untuk menangis. Namun alih-alih
mengeluarkan amarahnya dengan tangisan, ia menendang-nendang sepeda tuanya yang
sudah tergeletak di pinggir sungai yang sebagian dari tubuh sepeda itu sudah
masuk ke dalam air.
“KALIAN PUAS HUHH??? APA SALAHKU PADA KALIAN??!!! APA AKU
PERNAH MENYAKITI KALIAN?? APA AKU PERNAH MENGGANGGU KALIAN HAAHH??!! ATAU
KALIAN HANYA AKAN PUAS SETELAH MELIHATKU BENAR-BENAR HANCUR???
AAAAAARGGGGGHHH”. Jongwoon mengerang hingga ia terduduk lemah di pinggir sungai
di bawah teriknya matahari.
Pria itu mulai menumpahkan perasaannya dengan meraung
sekuatnya. Mungkin hanya di sini ia bisa meluapkan segala relung nestapanya.
Karena di sini tak ada yang mendengarnya, kecuali hewan-hewan yang ada di
sekitar sungai ini. Itupun kalau hewan-hewan itu mengerti apa yang Jongwoon
katakan.
<3<3<3
“Kau sudah pulang Hyung?”, sapa Jongjin ramah ketika melihat
Jongwoon berdiri di ambang pintu rumah mereka.
Jongwoon tersenyum tipis membalas sapaan adik kesayangannya
itu. “Kau sudah makan?”, tanya Jongwoon usai meletakkan ranselnya di dekat
meja. Rumah mereka hanya ada satu ruangan yang menjadi ruang serba guna, dan
satu kamar mandi.
Jongjin mengangguk.
Hanya dengan melihat Jongjin perasaan Jongwoon sedikit
membaik. Setidaknya Jongwoon tidak sendirian. Ia memiliki adik laki-laki yang
sangat ia sayangi. Meskipun Jongjin tidak sesempurna anak yang lain. Kaki
kirinya patah karena kecelakaan 9 tahun yang lalu. Dan itulah kenapa Jongjin
tidak bisa bersekolah.
“Hyung, hari ini tepat 9 tahun orang tua kita meninggal. Kau
ingin pergi ke makam mereka Hyung?”
“Hmm...”, Jongwoon menjawab singkat sambil mengganti
pakaiannya.
Jongjin kembali mengangguk lantas setelahnya ia bangkit dari
duduknya dengan sedikit tertatih. “Baiklah, kalau begitu aku akan bersiap-siap
juga”.
“Tidak usah...”, Jongwoon menghalangi Jongjin yang hendak
berdiri.
Jongjin mengernyit heran. “Kenapa Hyung?”
“Hmm, tidak ada. Hanya saja... Emm, bisakah kita bicara sebentar?”,
Jongwoon ikut duduk di samping Jongjin. “Apa kau merindukan Ayah dan Ibu?”
“Tentu saja Hyung, aku sangat merindukan mereka. Makanya ayo
kita pergi ke makam mereka”
Jongwoon memandang nanar Jongjin, “Apa kau...ingin bertemu
mereka?”
“Huh? Apa maksudmu Hyung? Kita tidak mungkin bisa bertemu
orang yang sudah meninggal kan?”
Jongwoon menarik nafas dalam. Digenggamnya erat tangan
adiknya itu. “Jongjin-ah...”, lirih Jongwoon. Bahkan ia sudah tak bisa menahan
air matanya sekarang.
“Wae Hyung? Kau kenapa? Kenapa kau menangis? Apa anak-anak
itu mengganggumu lagi?”. Jongjin begitu khawatir melihat Jongwoon yang tidak
seperti biasanya. Pria itu biasanya selalu tegar meskipun ia sering dibully.
Jongwoon tak menyahut, ia malah memeluk adiknya yang kebingungan
karena sikapnya. “Jongjin-ah, aku menyayangmu”, bisiknya disertai isakan kecil.
Jongjin malah tersenyum mendengar ucapan Jongwoon, “Nado
Hyung... aku juga menyayangimu”, ia lantas membalas pelukan hangat Jongwoon.
“Sebenarnya ada apa Hyung? Tidak biasanya kau seperti ini”
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Jongwoon.
“Hyung, maafkan aku karena aku tak bisa melakukan apa-apa
untukmu. Aku hanya menjadi bebanmu... maaf Hyung”, sedikit terisak Jongjin
dalam dekapan Jongwoon. Ia yakin saat ini Jongwoon sudah sangat lelah. Dan ia
tak bisa melakukan apapun untuk membantu Jongwoon yang menjadi tulang punggung
sejak kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka 9 tahun lalu.
Jongwoon masih belum mengatakan apa-apa. Ia malah semakin
mengeratkan pelukannya pada Jongjin. Hingga beberapa menit kemudian, Jongwoon
bisa merasakan cairan hangat di tangan kanannya.
Bahkan cairan itu mengeluarkan bau anyir yang menyapa
penciumannya.
Jongwoon melepaskan pelukannya pada Jongjin. Ia bisa melihat
dengan jelas bagaimana ekspresi kesakitan di wajah saudaranya itu. Jongjin
berusaha memanggil Jongwoon sambil memegangi perutnya yang makin banyak
mengeluarkan cairan berwarna merah pekat.
Jongwoon baru saja menusuknya.
Jongwoon baru saja menancapkan sebilah pisau tepat di ulu
hati Jongjin saat memeluknya.
“H.. Hyung.. Hyung...”, panggil Jongjin sekuat tenaga. Hingga
akhirnya Jongjin tersungkur di lantai dengan darah yang tak berhenti mengalir
di perutnya.
Jongwoon hanya menatap datar pada Jongjin yang meregang nyawa.
Lalu ia mengelus pelan wajah adiknya yang sudah tak bernyawa itu dengan
tangannya yang dipenuhi bercak darah Jongjin.
“Maaf Jongjin-ah. Ini yang terbaik untukmu. Kau akan
berbahagia dengan Ayah dan Ibu di Surga”, setitik air mata kembali mengalir di
sudut mata Jongwoon. Ia tahu ini salah. Tapi ia tidak tahu lagi apa yang harus
ia lakukan. Ia lelah. Ia muak.
“Dunia ini kejam Jongjin-ah... aku tidak ingin kau disakiti
sepertiku. Aku berjanji akan pergi denganmu menemui Ayah dan Ibu di surga. Secepatnya”.
Usai mengecup sekilas dahi Jongjin yang mulai terasa dingin, Jongwoon segera
bangkit dan pergi meninggalkan tubuh kaku adiknya itu.
<3<3<3
Semilir angin sore menerpa surai hitam Jongwoon. Pria muda
itu meletakkan sebuket bunga lily di depan makam orang tuanya. Setelahnya ia
memberikan penghormatan di depan makam itu.
“Kalian orang tua terjahat didunia...”, ucapnya pelan sambil
tersenyum getir. “Kalian meninggalkanku dan Jongjin yang saat itu masih
anak-anak. Apa kalian tidak tahu betapa beratnya kami menjalani hidup kami
selama ini??!!”
Jongwoon terduduk di depan makam dengan tangannya yang
mengepal kuat. “Aku sakit Ibu. Aku lelah Ayah. Aku tidak sanggup lagi..”,
isaknya sambil memukul-mukul dadanya.
Hingga beberapa menit berlalu yang terdengar di sekitar makam
itu hanya isakan Jongwoon. Pria itu mencoba meremas-remas dadanya, bahkan ia
sudah memukul-mukul dadanya lebih kuat dari sebelumnya. Ia ingin sekali
menghentikan tangisan yang tak ada gunanya ini, namun hasilnya ia hanya bisa
terisak semakin kencang.
“Sakit...”, ucapnya pelan. “Sakit Bu...”.
Sakit yang Jongwoon rasakan bukan karena dadanya yang ia
pukul dengan keras, namun hatinya sudah terlalu sakit. Mungkin hati itu sudah
tak berbentuk lagi. Hati dan persaannya sudah remuk. Hati dan perasaannya sudah
hancur.
“Aku sudah mengirim Jongjin bersama kalian”, lirihnya usai ia
mulai bisa mengendalikan isakannya. “Maafkan aku Ayah, Ibu... Aku tak tahu lagi
apa yang harus aku lakukan”
Jongwoon lantas memejamkan matanya. Kedua sudut bibirnya
tertarik membentuk sebuah lengkungan. Ia merasa ini adalah senyuman terakhir
yang ia tunjukkan pada dunia. “Ibu, aku tak pernah menyangka kalau udara yang
aku hirup senikmat ini”, ia menghirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan
teramat pelan.
“Kurasa ini waktunya...”, Jongwoon membuka matanya dan
mengambil sebilah pisau kecil dari dalam sakunya. Pisau itu perlahan ia
sayatkan ke urat nadi di pergelangan tangan kirinya. Jongwoon bisa merasakan
perih luar biasa hingga seluruh tubuhnya menegang. Ia bisa merasakan yang
Jongjin rasakan kala ia menusuknya.
Semilir angin berhembus ke arah barat. Menggoyangkan
rerumputan hijau serta bunga dendelion di sekitar makam orang tua Jongwoon.
Burung gereja mencicit bersahutan memenuhi suara di senja yang tenang, menghantarkan
sang surya ke peraduannya. Sekaligus mengucapakan salam perpisahan untuk pria
yang berada di ambang kematian.
Hingga tak lama darah segar berceceran di sekitar tubuh
Jongwoon yang sudah tersungkur di atas tanah. Jongwoon meregang nyawa di depan
makam orang tuanya. Pria malang itu memilih mengakhiri hidupnya dan menyusul
kedua orang tuanya.
Karena dunia ini kejam.
.
“...sebuah akhir”
.
.
Fin