Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Rabu, 09 April 2014

(Fanfiction) BREAD



BREAD
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Disclaimer:
This story is belong to me, don’t claim it as yours, and No Bashing!!
Warning:
Typo, Out of Character, Alur ngebut, Bahasa tidak sesuai EYD, dll
.
There are five stories... about bread and love...
-----OD-----
Listen to My Heart
Cast:
Niall Horan
Mia

“Niall bodoh”
“Sudahlah Mia, kau tak perlu harus menggerutu begitu sepanjang hari kan?”
“Tapi tetap saja. Coba saja kau jadi aku, mungkin kau juga akan melakukan hal yang sama”, Mia masih saja mengerucutkan bibirnya sembari mengaduk-aduk bubble tea yang sebenarnya sama sekali tak diminumnya dari tadi. “Dia itu tidak peka Ema, Niall itu idiot. Tssk, pria bodoh, bodoh, bodoh..”
“Kalau kau terus mengetainya bodoh, itu artinya kau lebih bodoh dari pada Niall”, sontak saja kalimat yang meluncur dari mulut Ema berhasil mengalihkan perhatian Mia dari acara mengaduk-aduk bubble teanya. “Kau bilang dia bodoh, tapi kau masih saja menyukai pria bodoh itu. Lantas, yang bodoh di sini siapa? Kau kan? Gadis bodoh yang menyukai pria bodoh. Hahaa”.
Mia hanya mendengus sebal mendengar ucapan sahabatnya barusan. Tak berniat melawan sama sekali, pasalnya yang dikatakan Ema benar adanya. Masih saja ia menyukai pria yang ia anggap bodoh itu, dan itu berarti ia lebih bodoh kan? Hey, tapi kita tak tahu hati kita menjatuhkan pilihan kepada siapa, dan bahkan tanpa tahu alasannya.
“Eumm... psst, pujaan hatimu datang. Baiklah, aku pergi dulu kalau begitu. Selamat berjuang sahabatku, fighting!”, sedikit berbisik Ema berucap setelah akhirnya ia pergi meninggalkan sahabatnya itu dari kantin kampus.
“Hey, Mia.. Mau kemana Ema? Kulihat dia buru-buru sekali”. Yang ditanya hanya memutar bola matanya malas. “Ada apa denganmu hari ini, seperti orang patah hati saja”, gumam Niall sembari merebut bubble tea milik Mia dan menenggaknya sampai habis.
‘Aku memang patah hati, dan itu gara-gara kau bodoh’, ketus Mia dalam hati.
“Jadi, mana jatah makan siangku hari ini?”, Niall berkata dengan wajah polosnya tanpa mengetahui bagaimana suasana hati gadis yang duduk dihadapannya saat ini.
Tanpa suara Mia mengeluarkan kotak bekal yang berisi roti dengan selai kacang dari dalam ransel kuningnya. Memang ini menjadi kebiasaan Niall, makan siang di kantin dengan bekal roti yang dibawakan Mia. Niall tak pernah membeli makan siang di kantin. Ia tak memberi tahu alasannya, dan Mia tak pernah ingin tahu mengapa. Bagi Mia bisa memberikan makan siang untuk Niall sudah cukup baginya bisa dekat dengan pria itu.
“Kau tak bosan makan siang dengan roti setiap hari?”, Mia akhirnya mulai mengeluarkan suaranya sejak tadi ia hanya diam saat Niall mulai memasukkan roti ke dalam mulutnya.
Niall yang mulutnya penuh dengan roti hanya menggeleng. Ekspressinya benar-benar lucu. Dan inilah salah satu hal yang Mia sukai dari Niall, pria ini begitu polos.
Kembali mereka diam, membiarkan detik dan menit berlalu dalam keheningan. Memang tidak sepenuhnya hening, karena mereka sedang di kantin. Dan sekarang sedang jam makan siang, tentu saja banyak mahasiswa yang menyerbu tempat ini untuk mengisi bahan bakar.
“Mia...”, lirih Niall usai menyelesaikan potongan roti di mulutnya.
“Eumm”
“Mengapa kau tak pernah keberatan membawakan makan siang untukku?”
Mia hanya mengerjap-ngerjap, tak tahu jawaban apa yang akan ia berikan kepada Niall. Tak mungkin kan jika ia mengatakan kalau dia menyukai Niall kan? Memalukan.
“Hey, kau ini kenapa? Pertanyaanku tidak sesulit pertanyaan dosen Sastra kan?”, Niall mencubit hidung Mia gemas. Sebenarnya Niall tak pernah menyadari betapa jantung Mia selalu bekerja tidak normal jika ia sudah melakukan kontak fisik dengan gadis itu. Yah, tentu saja Niall tak tahu, dia terlalu polos.
“Hentikan... Kau ingin membuat hidungku terlepas huh?”, Mia melepas dengan kasar tangan Niall yang masih bertengger di hidungnya. Niall hanya terkekeh melihat kelakuan teman wanitanya itu. Teman wanita?
“Baiklah kalau begitu aku duluan. Masih ada yang harus aku kerjakan di perpustakaan. Oh iya, menu besok jangan lupa kau buatkan roti selai strawberry. Aku sudah lama tidak memakan roti selai strawberry. Okey..”, Niall hendak beranjak bangkit berdiri.
Mia masih bergeming diposisinya.
“Mia...”
Mia hanya menoleh pada Niall dengan ekspressi ‘ada-apa-lagi’?
“Tunggu aku. Jadi jangan mendekati pria lain selain aku, kau mengerti?”, Niall mengacak-acak rambut Mia sekilas sebelum benar-benar meninggalkan Mia sendiri.
Mia semakin mematung di tempatnya. Jantungnya semakin menggila. Hey, dia tidak salah dengar kan? Pendengarannya masih normal kan? Dan ini bukan mimpi di tengah hari kan?
Mia mencubut lengannya sendiri, “Aww, sakit”.
Wajahnya serasa memanas, dan harapannya agar Niall mendengar isi hatinya terkabulkan. “Tentu saja bodoh, aku sudah menunggumu tanpa kepastian. Dan kali ini aku tentu akan melakukannya untukmu, apa saja untukmu”.
-----OD-----
Marry U
Cast:
Louis Thomlison
Annabelle  Laurance

Seorang gadis dengan gaun biru malam selutut berjalan perlahan menuju salah satu meja di dalam restaurant yang hanya untuk tamu VIP di hotel tempat ia menginap. Gadis itu baru saja datang dari Roma sore tadi, dan seseorang memintanya untuk makan malam bersama. Tentu ia tak keberatan, karena ia sudah sangat lama ingin bertemu dengan orang yang mengajaknya makan malam itu.
Hingga sampailah ia di salah satu meja dimana seorang pria dengan kemeja biru malam, -tampak serasi dengan yang ia kenakan- sudah menunggunya. Pria itu segera berdiri dan menggeserkan kursi di hadapannya sebagai tanda agar gadis itu duduk. Sang gadis tentu saja duduk dengan senang hati. Tak lupa senyuman ramah ia sampirkan di wajah cantiknya.
“Apa kau sudah lama?”, sang gadis memulai pembicaraan.
“Sedikit. Aku menunggumu lebih dari dua puluh menit”, pria itu menjawab dengan senyum khasnya yang menurut gadis itu masih sama seperti enam tahun yang lalu. Tentu saja jawaban dari pria tersebut merubah ekspressi wajahnya, ekspressi bersalah.
“Maaf”, lirihnya. “Kupikir aku sudah tepat waktu”.
“Tak apa, kau sama sekali tidak salah. Aku yang terlalu cepat datang. Eumm, aku terlalu bersemangat karena sudah tidak sabar bertemu denganmu”, pria itu memperlebar senyumannya.
Sang gadis kembali merubah ekspressi bersalahnya dan kembali memasang senyuman terbaiknya, “Apa kau tak berniat menanyakan kabarku?”.
“Dilihat dari keadaanmu sekarang kurasa kau baik-baik saja. Jadi aku tidak perlu repot-repot berbasa-basi menanyakan kabarmu kan? Dan yeah, kau juga tak perlu bertanya karena aku selalu keren dan baik-baik saja”, canda pria itu.  Tak berselang lama, pelayan restaurant datang membawakan dua gelas minuman dan sepiring makanan dengan tudung saji menutupi piring tersebut, menyebabkan isinya tak dapat terlihat.
“Hey, kau bahkan tak bertanya padaku menu apa yang ingin aku pilih”, ucap si gadis usai pelayan restaurant itu pergi.
“Kurasa itu tak perlu, karena menurutku menu kesukaanmu masih sama seperti dulu”, sang pria menyodorkan segelas air putih yang dibawakan pelayan tadi ke arah gadis di hadapannya. Yang disodorkan minuman tersebut hanya sedikit terkekeh. Yang benar saja. Ini adalah restaurant VIP, dan pria itu hanya memesan air putih?
Sang gadis menyilangkan tangannya di depan dada, “Kau seperti stalker”.
“Benarkah? Wah, aku jadi malu kalau begitu. Jadi benar? Kau masih suka minum air putih?”
Hanya anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan pria itu barusan. “Tapi ini sungguh tidak elit. Kau mengajakku ke restaurant ini hanya untuk minum air putih? Kita kan bisa saja melakukannya di tempat lain kalau begitu. Dan lagi, apa tak ada hidangan pembuka di sini?”, gadis itu masih terkekeh pelan.
“Ayolah.. Bukankah ini keren? Aku hanya ingin memamerkan padamu kalau aku ini sudah mapan setelah lulus kuliah”, terang pria itu. “Sekarang kau bisa membuka tudung saji itu. Dan aku yakin itu masih menjadi makanan kesukaanmu”.
“Tapi kenapa hanya satu piring? Kau tak ingin makan? Aku jadi sangsi kalau kau itu sekarang sudah hidup mapan”, sedikit heran gadis itu berucap karena hanya ada satu piring di atas meja.
“Hey, sepiring bersama itu lebih romantis kan?”, kali ini giliran sang pria yang terkekeh.
“Kau sudah bisa menggombal rupanya”, gadis itu membuka tudung itu perlahan. Nampak keterkejutan di wajahnya melihat isi di dalam piring itu.
“Lo, Louis.. Kau-“
“Bagaimana? Aku tidak salah kan?”, pria itu, Louis, memandang lekat pada gadis di hadapannya.
“Sepertinya kau benar-benar seorang stalker”, gadis itu memicingkan matanya kearah Louis.
Louis memasang senyum kemenangannya, “Sudahlah, cepat kau makan sandwich itu. Bukankah kau baru tiba sore tadi? Jadi kurasa kau cukup kelaparan saat ini”.
Tanpa banyak kata lagi, sandwich itu sudah masuk ke mulut gadis di hadapannya. “Tssk, kau benar-benar kelaparan sepertinya”, gumam Louis ketika melihat gadis itu mengunyah sandwich tanpa belas kasihan. Benar-benar gadis yang tidak peduli dengan table manner pikirnya.
Tak ada jawaban dari gadis itu, selain karena mulutnya yang sudah penuh dengan sandwich –karena ia memasukan satu gigitan besar- dan juga ia benar-benar sangat kelaparan. Namun kunyahannya terhenti tatkala sebuah benda asing ia rasakan di dalam mulutnya. Sontak saja ia mengeluarkan benda asing  yang mengganggu itu.
“Cin..cin?”, gadis itu bergumam dengan keterkejutan teramat sangat. Pandangannya ia arahkan kepada Louis yang tampaknya tenang-tenang saja melihat benda itu. “Kau tidak berniat untuk... melamarku kan?”, sedikit ragu ia mengucapkan bagian akhir kalimatnya.
“Menurutmu?”, Louis malah balik bertanya.
Gadis di depannya hanya diam, sedikit harapan di hatinya agar Louis, -pria yang ia cintai selama ini- benar-benar melamarnya. Louis mengambil cincin yang dipegang gadis itu, kemudian ia berdiri dari duduknya lalu sesudahnya berjongkok di depan gadis itu. Menimbulkan tatapan heran dari beberapa pengunjung di sekitar mereka.
“Aku tahu caraku ini terlalu mainstream. Bahkan banyak adegan film romantis yang melamar gadisnya dengan cincin didalam makanannya”, Louis meraih telapak tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. “Aku hanya ingin kau terkesan denganku melalui sandwich kesukaanmu itu. Aku sebenarnya tak tahu mengapa kau begitu menyukai roti dengan isi sayuran itu. Bahkan aku tak tahu mengapa hatiku memilih gadis sepertimu, gadis yang tidak pernah memperhatikan penampilannya, tidak pernah memperhatikan table manner-nya, gadis yang sangat menyukai kesederhanaan, gadis yang bangga menjadi dirinya sendiri”.
Sedikit riuh dari beberapa pengunjung yang memperhatikan mereka berdua usai Louis mengucapkan kalimatnya barusan.
“Ann, aku merindukanmu. Kau pergi selama enam tahun setelah lulus SMA ke Roma, bahkan tak sedikitpun hal-hal tentangmu yang aku lupakan. Dulu aku sama sekali tak berani menyatakan perasaanku padamu. Sekarang kita sudah lulus kuliah, dan aku sudah bekerja”, Louis memandang lekat tepat di manik mata gadis yang sedang ia lamar, Annabelle. “Aku tahu aku bukan pria romantis, tapi... Aku berusaha sebaik mungkin agar kau tertarik denganku. Aku belajar sungguh-sungguh selama kuliah, dan sekarang aku sudah hidup mapan, tanpa menjadi beban orang tuaku lagi. Kurasa, gajiku cukup untuk membiayai kehidupan keluarga kecil kita nanti”.
Demi Tuhan, Demi Tuhan Louis, jantung Annabelle serasa terjatuh dari tempatnya mendengar pernyataannya tadi. Ia bahkan tak tahu caranya bernafas sekarang.
Louis terdiam, membiarkan Annabelle meresapi kalimatnya. Annabelle balas menatap manik mata Louis, berusaha mencari kejujuran dan ketulusan di dalam sana. Ya, dia mendapatkannya, kejujuran dan ketulusan.
“Will you marry me?”
Dan sekali lagi, tubuh Annabelle sudah seperti tersambar listrik seribu Volt. Tak menyangka ia akan dilamar seperti ini, oleh pria yang sangat ia rindukan. Pria yang selama SMA sudah mencuri perhatiannya. Pria yang selama enam tahun terakhir ini menjadi kekasih khayalannya, Louis Thomlison.
Annabelle memejamkan matanya, nampak ia mengatur nafasnya yang serasa begitu berat. Beberapa detik kemudian, mata indahnya terbuka disertai anggukan mantap serta sebuah senyum yang terukir indah dibibir tipisnya.
Bukan hanya Louis yang merasa senang, semua orang yang memperhatikan mereka bertepuk tangan dan mengucapkan selamat kepada calon pengantin baru itu. Segeralah cincin lamaran itu Louis pasang di jari manis Annabelle sebagai bukti gadis itu sudah menjadi miliknya.
Sembari Louis memasang cincin tersebut, Annabelle berbisik tepat di telinga Louis, “Untung saja tadi aku tidak menelan cincin itu bersama sandwich di dalam mulutku”.
-----OD-----
1 4 3, I Love You!
Cast:
Zayn Malik
Elizabeth

“Hey pemalas ayo cepat bangun!!!”, suara seorang gadis membahana ke seluruh ruangan kamar tempat dimana seorang pria masih syahdu dengan dengkuran halusnya. “Ayolah Zayn! Ini sudah pukul delapan lagi... Kita harus pergi ke tempat anak-anak itu hari ini”, dengan kasar gadis itu menarik selimut yang menjadi tameng tidur pria yang ia bangunkan, Zayn Malik.
“Eng,,”, hanya itu yang keluar dari mulut Zayn, matanya bahkan masih tertutup rapat.
“Kalau kau benar-benar tidak bangun, aku akan menyirammu sekarang!!!”, gadis itu berteriak tepat di telinga Zayn, yang tentu saja sontak membuat pria itu terbangun dari dunia kenikmatannya (?).
“Tsskk, aku masih mengantuk El. Biarkan aku tidur sebentar lagi ya”, Zayn kembali menarik selimut menutupi tubuhnya.
“Yasudah kalau kau tak mau bangun, biar aku sendiri saja yang pergi”, gadis itu hendak beranjak dengan suara kesal. Namun belum sempat benar-benar pergi, tangannya ditahan oleh tangan kekar Zayn. “Ya! Apa yang kau lakukan? Lepaskan!!”, Elizabeth meronta-ronta agar pegangan tangan Zayn terlepas. Tapi percuma, tangan Zayn sangat kuat.
“Ckk.. Salah sendiri kau berani masuk ke kamar pria, tidak sopan. Kau tidak takut aku akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak huh?”, ucap Zayn dengan suara serak, tentu dengan mata yang masih terpejam.
“Kalau aku tidak membangunkanmu, kau mungkin tak akan bangun-bangun sampai nanti siang. Jadi cepat lepaskan aku.. Kalau kau tidak mau bangun biar aku saja yang pergi ke panti asuhan”.
Zayn lantas bangun dan duduk dengan mata yang masih sulit terbuka. “Tssk, baiklah-baiklah. Dasar cerewet. Tunggu aku di luar, aku mandi dulu”.
Elizabeth menarik hidung mancung Zayn, “Anak pintaaar. Jadi cepatlah mandi, kalau tidak mau anak-anak itu menunggu lama”.
Saat Elizabeth menghilang dibalik pintu kamarnya, Zayn hanya terkekeh pelan. “Gadis itu benar-benar...”
Few minutes later...
“Baiklah Nona Eli, aku sudah siap sekarang”, Zayn menghampiri Elizabeth yang tengah duduk di teras rumah Zayn sambil mendengarkan musik melalui earphonenya.
“Kau akan pergi ke panti asuhan atau akan pergi ke resepsi pernikahan huh? Kenapa dandananmu terlalu formal seperti itu?”, Elizabeth memandang heran Zayn dari atas kepala sampai ujung kakinya. Zayn hanya menunjukkan cengirannya ditatap seperti itu.
“Hari ini adalah hari spesialku”, jawab Zayn dengan tenang sambil melangkah menuju pagar rumahnya. Elizabeth masih memandang Zayn dengan tatapan herannya. “Sampai kapan kau akan berdiam diri di sana? Bukankah tadi kau yang menyuruhku untuk segera bangun. Jadi, ayo cepatlah!”, seru Zayn setengah berteriak teriak dari depan pagar.
Yang diteriaki hanya memanyunkan bibirnya dan segera menghampiri Zayn di depan pagar. “Baiklah baiklah, Tuan Muda Zayn. Ayo kita berangkat sekarang”, serunya sambil menggamit lengan Zayn dan berjalan menjauh menuju panti asuahan yang tak jauh dari rumah mereka. Zayn memandang lekat lengannya yang sedang digamit oleh Elizabeth.
Mereka berdua berjalan perlahan menuju panti asuhan yang setiap akhir bulan selalu mereka datangi. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk berbagi dengan anak-anak di panti asuhan itu tiap akhir bulan.
“Wah, tak kusangka roti yang kita pesan lebih dulu sampai dari pada kita berdua”, Zayn melihat dengan sedikit kecewa ke arah mobil bak terbuka yang isinya sedang dikeluarkan oleh sang supir.
“Salah sendiri kau lambat bangun. Sudahlah, ayo cepat kita masuk. Anak-anak itu pasti sedang menunggu kita”. Elizabeth berlari ke dalam panti asuhan meninggalkan Zayn sendiri di luar.
“Gadis itu benar-benar, selalu saja aku tidak diperdulikan jika sudah bertemu dengan anak-anak itu”, Zayn bergumam kesal sambil masuk ke dalam dan berusaha memanggil Elizabeth yang sudah jauh masuk ke dalam dalam.
<3
Elizabeth duduk di taman samping panti asuhan. Hari sudah sore, benar-benar tidak terasa baginya waktu berjalan jika ia sudah bermain dengan anak-anak itu. Baginya, bisa berbagi tawa dan cerita bersama anak-anak panti asuhan adalah kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan apapun. Setidaknya dengan berbagi bersama anak-anak yatim itu ia bisa bersyukur karena masih memiliki orang tua yang menyayanginya selama ini.
“Ini, ambillah. Sejak tadi siang kau bahkan belum memakan sesuap rotipun, aku tidak ingin melihatmu sakit maag lagi”, Zayn datang tiba-tiba dan menyodorkan sepotong roti keju, lantas setelahnya mendudukkan diri tepat di samping Elizabeth. Elizabeth menerima roti itu dengan malas. “Kau kenapa? Tak biasanya kau murung seperti itu jika berada di sini. Apa jangan-jangan karena Calvin yang sudah diadopsi tadi?”.
Elizabeth mengalihkan perhatiannya dari anak-anak yang sedang bermain lompat tali tak jauh dari mereka duduk dan memandang Zayn dengan sedikit tersenyum. “Kau ingat dulu saat kita masih SMP, saat pertama kalinya kita mulai bermain dengan anak-anak di sini, Calvin masih berusia dua tahun”, ucapnya dengan mata yang menerawang ke masa lalu.
Zayn mengangguk mantap, “Aku ingat, dulu dia benar-benar lucu. Sekarang usianya sudah enam tahun, benar-benar tak terasa. Tapi kau seharusnya senang kan ia sudah memiliki orang tua baru yang akan merawatnya? Jadi kau jangan bersedih seperti itu. Sudahlah, ayo cepat makan rotimu”.
Elizabeth mengangguk pelan menuruti perintah Zayn. Disuapnya roti keju itu pelan-pelan. Zayn memperhatikan Elizabeth lekat-lekat, sambil sesekali tersenyum jika roti tersebut melumer disekitar mulut gadis itu. Sadar Zayn yang sedari tadi terus memperhatikannya, Elizabeth memicingkan matanya dan balas menatap Zayn.
“Apa yang sedang kau lihat, huh?”
Zayn menggeleng dan mengalihkan pandangannya dari Elizabeth ke arah anak-anak yang masih bermain lompat tali. “Tidak. Hanya saja-“, Zayn kembali memandang wajah Elizabeth. Gadis itu sudah mengahabiskan rotinya tanpa sisa. “Kau ingat pertama kali kita bertemu?”.
“Tentu saja aku ingat. Dulu, kau itu tetangga baru yang sangat menyebalkan. Kau sangat berisik, apalagi karena kamarmu yang tak jauh dari kamarku. Setiap hari aku berdoa agar salah satu dari kita cepat pindah dati tempat itu. Tssk, tapi sepertinya Tuhan tak pernah menjawab doa’aku. Yah, kau tahulah sampai kita SMA kau masih saja menjadi tetanggaku”.
Zayn terkekeh, “Benarkah? Apa kau dulu benar-benar tak suka memiliki tetangga sepertiku?”. Elizabeth mengangguk mantap mendengar pertanyaan Zayn barusan. Sedangkan Zayn hanya mendengus sebal melihat jawaban dari Elizabeth tersebut. “Tapi benar-benar tak terasa ya.. sama seperti  Calvin yang sekarang sudah diadopsi, dulu kita masih SD, sering bertengkar, bahkan tak jarang kau memukuliku sampai babak belur. Dulu kau juga-”
“Hey, stop! Apa maksudmu sampai babak belur? Ckk, aku tak pernah memukulmu sampai se-ekstreme itu Zayn”, potong Elizabeth cepat.
“Tapi itu benar kan? Kau sangat suka memukulku. Aku jadi sering menangis dan dikatai cengeng oleh teman-temanku. Padahal pukulanmu itu benar-benar sakit”
“Benarkah sesakit itu? Aku minta maaf kalau begitu.”, ucap Elizabeth sembari menyikut lengan Zayn. Zayn tersenyum tipis dan kembali melanjutkan kata-katanya.
“Tapi setelah kau membuatku menangis, kau datang meminta maaf dan memberikanku roti keju. Bagaimana bisa kau tahu dulu kalau aku suka roti keju?”, Zayn bertanya dengan penuh penasaran.
“Entahlah, hanya mengikuti feeling saja. Aku sangat suka roti keju, aku pikir kau akan berhenti menangis jika aku memberikanmu roti itu, dan, yeah ternyata berhasil. Tak kusangka tetanggaku yang menyebalkan memiliki kesamaan denganku”, Elizabeth kembali menyikut lengan Zayn.
“Kau benar, dan karena kesamaan itulah kita akhirnya bisa sedekat ini sekarang dan bermain bersama anak-anak disni. Dan tentunya dengan berbagi roti kesukaan kita itu pada mereka. Tapi yang aku benar-benar tidak menyangka adalah anak-anak itu ternyata sangat menyukai roti keju itu”.
“Itu karena roti itu sangat enak Zayn. Aku yakin orang yang tidak ingin mencicipinya akan menyesal seumur hidupnya, hahaa”, Elizabeth berdiri sambil merenggangkan otot-ototnya. “Sudah hampir senja, ayo kita pulang”, Elizabeth menarik tangan Zayn agar pria itu segera berdiri dari duduknya.
Namun usahanya gagal, Zayn malah menariknya hingga gadis itu terduduk tepat di atas pangkuan Zayn.
“Zayn, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku...”, Elizabeth bergerak-gerak tidak nyaman dipangkuan Zayn. Namun Zayn mengabaikannya.
“El, aku bilang kan tadi pagi kalau hari ini adalah hari spesialku?”, ucap Zayn seduktif ditelinga Elizabeth. Gadis itu terkikih geli karena hembusan nafas Zayn yang terasa di telinganya. “Hari ini aku akan mengatakan cinta pada gadis bodoh yang entah sejak kapan berani menguasai hatiku”.
Elizabeth terdiam memandang lekat pada manik mata Zayn. “Ma, mak, Maksud..mu?”
Zayn menurunkan Elizabeth dari pangkuannya. Kini mereka berdua sudah berdiri saling berhadap-hadapan.
“El, aku menyukai tetanggaku yang saaaaangat menyebalkan”, ucap Zayn sedikit pelan, hampir seperti berbisik.
Elizabeth mulai gelagapan, “Huh? Apa tadi kau bilang?”
“Berhentilah pura-pura tak megerti El, aku tau kau pasti mengerti maksudku”
“Zayn, sungguh aku tak mengerti apa yang-“
~chu
Zayn mengecup pipi kanan Elizabeth singkat. Gadis itu membeku dengan kelakuan Zayn yang mendadak tadi. Matanya seketika membulat sempurna. Zayn hanya memandang lembut gadis di hadapannya yang ia yakini jantung gadis itu bekerja secara tidak normal, sama seperti jantungnya sekarang.
“I LOVE YOU EL!!”, teriak Zayn lantang.
~chu
Sekali lagi Zayn mengecup pipi kiri Elizabeth dan setelahnya ia berlari meninggalkan Elizabeth yang masih membeku ditempatnya.
“Ya! Zayn Malik apa yang kau lakukan??! Kau sudah mencemari pipiku yang suci ini!! Hey.. kemari kau!! Akan kubuat perhitungan denganmu!!! Zayn kemari kau, tunggu aku...!!”.
-----OD-----

Forever
Cast:
Liam Payne
Lucy Barbara

“Kau tidak lelah sayang?”, bisik Liam di telinga istrinya sembari memeluk erat istrinya itu dari belakang.
Lucy hanya tersenyum geli melihat kelakuan pria yang kini sudah menjadi suaminya selama lima tahun itu. “Aku belum lelah. Kalau kau ingin tidur, tidur saja duluan, aku harus menyelesaikan ini dulu”. Tangan Lucy masih setia menggiling adonan tepung untuk bahan membuat roti besok pagi.
“Aku tidak mau tidur kalau kau juga belum tidur”, Liam semakin mempererat pelukan di pinggang Lucy. Pria itu membenamkan wajahnya di lekukan leher Lucy, menyebabkan istrinya itu terkikih geli.
Lucy bergerak-gerak tak nyaman karena pelukan Liam yang ia rasa semakin erat, bahkan ia kesulitan bernafas sekarang. “Liam lepaskan aku, aku tidak bisa fokus menyelesaikan adonan ini”, sedikit meronta Lucy dalam dekapan Liam. Namun Liam tak bergeming, masih saja ia mempertahankan posisi itu, “Sayang, aku tidak bisa bernafas”, kali ini suara Lucy mulai melunak, ia tahu kalau suaminya itu hanya bisa dibujuk dengan cara halus.
Sepertinya memang tak ada niat untuk melepaskan istrinya itu, karena  Liam hanya melonggarkan pelukannya tanpa melepaskannya sama sekali. “Bagaimana kalau seperti ini hum? Biarkan kita tetap begini, sepuluh menit saja ya”, bisiknya lirih di telinga Lucy. Mata pria itu terpejam dalam lekukan leher istrinya, merengkuh dalam aroma tubuh Lucy yang ia rindukan setiap saat.
“Tssk, kau ini manja sekali. Baiklah-baiklah, tapi jangan ganggu aku.. “, Lucy terkekeh geli melihat suaminya itu. Baginya, saat-saat Liam menjadi manja seperti inilah saat yang paling ia sukai. Liam memang tak pernah bisa menciptakan suasana romantis, tapi pria ini selalu bisa membuatnya nyaman, bisa membuatnya tersenyum, bahkan pria ini yang bisa memabukkannya meski hanya melalui sentuhan pria itu.
Detik dan menit mereka biarkan dalam keheningan, dan justru melalui keheningan inilah mereka bisa menikmati hembusan nafas yang teratur, bahkan dalam keheningan ini mereka bisa mendengar irama debaran jantung masing-masing. Begitu merdu. Liam selalu menyukai sensasi ini, sensasi aneh namun nyaman yang selalu ia rasakan jika bersama istrinya. Baginya, tak ada hal terindah di dunia ini selain bisa menghabiskan waktu bersama wanitanya itu, Lucy Barbara. Sedang Liam masih menikmati rengkuhannya, Lucy masih berkutat pada adonan roti dan meletakkan di loyang untuk didiamkan agar besok pagi dapat mengembang sempurna.
“Sayang...”, lirih Liam teramat sangat pelan, bahkan terdengar seperti bisikan.
“Eumm?”
“Kau ingat saat pertama kita bertemu?”, Liam mengubah posisi wajahnya, kali ini dagunya ia biarkan bersandar di pundak istrinya.
Lucy mengangguk cepat, “Tentu saja aku ingat, pertemuan tak terduga seperti kebanyakan drama romantis. Bertemu, mengenal, jatuh cinta, menjalin hubungan, akhirnya menikah”
“Ckk, kau ini kebanyakan menonton drama. Hmmm, tapi kau benar, persis seperti kebanyakan drama ataupun cerita-cerita cinta buatan anak remaja. Semuanya terjadi seperti urutan yang wajib ada pada setiap pasangan, kita bertemu tanpa sengaja di toko buku dan sama-sama membeli resep untuk membuat roti, aku meminta nomer ponselmu, kita saling mengenal, lalu tak lama menjalin hubungan, dan aku melamarmu lalu kita menikah, punya anak, dan menjalani hari-hari bersama dalam keluarga kecil kita”.
“Kau mengingat semuanya dengan jelas rupanya”, tangan Lucy masih sibuk dengan adonan tepung di hadapannya.
“Lucy...”, lirih Liam lagi. Pria itu tak bosan dalam posisinya, merengkuh istrinya dalam dekapan hangatnya. “Kau mau berjanji untukku?”
Kali ini pertanyaan Liam mampu menghentikan aktivitas Lucy dari adonan tepung. Wajahnya yang semula fokus pada adonan dihadapannya, kini ia tolehkan ke arah Liam dan tentu saja kini Liam sedang menatapnya. Tak ayal rona merah menjalar di seluruh wajahnya yang sudah terasa panas itu. Mata mereka saling bertemu pandang sekian sekon untuk menyelami keindahan dan kehangatan didalamnya, sebelum akhirnya bibir mereka saling bertautan lembut, menyalurkan perasaan masing-masing. Hanya kecupan-kecupan  ringan selama satu menit namun mampu menerbangkan ribuan kupu-kupu di dalam perut mereka.
“Kau ini seperti anak SMA yang baru jatuh cinta saja, tsskk.. Lihatlah, wajahmu sudah seperti tomat ceri”, canda Liam usai mereka melepaskan tautan singkat itu. Lucy mengerucutkan bibirnya dan mencubit gemas lengan Liam. Pria itu hanya tertawa melihat tingkah Lucy yang menurutnya sangat imut jika sedang sebal seperti sekarang.
“Sudahlah kau tidur cepat, aku akan membereskan ini semua dulu”, Lucy melepas paksa lengan Liam yang masih bertengger di pinggang rampingnya dan beranjak untuk membersihkan semua peralatannya.
“Tidak mau, kau harus berjanji dulu padaku”, pria itu kini kembali merengkuh Lucy, menariknya dan menenggelamkan wajah istrinya pada dada bidangnya. Liam bisa merasakan gerakan kepala Lucy yang mengangguk dalam dekapannya. “Berjanjilah kau tidak akan pergi dariku”.
“Hey, apa yang kau bicarakan? Bukankah dulu saat kita menikah aku sudah berjanji di atas altar? Dan tentu saja aku tak akan pergi darimu..ckk, apa kau meragukanku?”, Lucy mendongakkan wajahnya menatap wajah Liam, karena pria itu jauh lebih tinggi darinya.
“Bukan seperti itu, hanya saja tadi siang temanku di kantor mendapatkan surat cerai dari istrinya. Aku tidak mau seperti itu. Jadi... kau jangan pernah pergi yaa apapun yang terjadi”
“Pffftt...”
Alis Liam mengkerut melihat Lucy yang tengah menahan tawanya, “Hey, kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu?”
“Ckk. Dasar kekanak-kanakan. Jadi kau hanya takut aku meninggalkanmu gara-gara teman sekantormu yang akan bercerai?”. Liam mengangguk polos menjawab pertanyaan Lucy. “Baiklah Tuan tampan, aku tak akan seperti istri temanmu itu, jadi ayo kita istirahat saja sekarang okey”, Lucy mengecup pipi Liam sekilas lalu melepaskan dirinya dari rangkulan Liam.
“Selamanya?”
“Iya, selama lama lama lama laaaaamanyaa”, Lucy mulai beranjak membereskan semua peralatan yang sempat tertunda.
Sudut bibir Liam kembali terangkat, namun kali ini lebih seperti sebuah seringaian. “Sayang, besok kau tak perlu ke toko roti dulu ya. Biar pegawai kita saja yang mengurusnya!”, seru Liam di ambang pintu, membiarkan Lucy sendirian bekerja membereskan dapur.
“Memangnya besok kita mau kemana?”
“Eitss... Kau ini tak kasihan dengan Brian? Teman-teman di sekolahnya sudah punya adik, jadi...”, sengaja Liam menggantungkan kalimatnya.
“Jadi??”, tanya Lucy tak sabaran.
“Jadi apa kau tak berniat membuatkan adik untuknya?? Eung, aku tunggu di kamar yaa... se-ka-rang”, dan Liam segera menghilang di balik pintu dapur.
“Ya!! Liam! Apa yang barusan kau katakan? Dasar pervert!!...”.
-----OD-----
U and I
Cast:
Harry Styles
Emily

Satu menit...
Dua menit...
Tiga menit...
Sepuluh menit...
Sudah sepuluh menit pria ikal itu berdiri di dekat pintu masuk sebuah minimarket. Berkali-kali pula matanya mencari-cari sesuatu atau mungkin seseorang, di sekitar ataupun di dalam minimarket tersebut. Dan sudah berkali-kali pula ia melirik pergelangan tangannya, melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
“Kemana gadis itu? Biasanya ia akan datang sekarang”, gumamnya pada diri sendiri. Pria ikal itu, Harry, sedang menunggu seorang gadis. Tidak, mereka sama sekali tak ada janji untuk bertemu di minimarket ini, bahkan ia pun sama sekali tidak mengenal gadis itu. Pria itu hanya ingin melihat seorang gadis yang sudah seminggu terakhir ini ia lihat selalu datang ke minimarket ini sekitar pukul lima sore untuk membeli makanan yang sama dengannya, roti coklat.
Well, sepertinya Harry terlalu sibuk untuk memperhatikan arlojinya –lagi dan lagi- katika suara seseorang mengagetkannya. “Permisi Tuan...”, seorang gadis dengan rambut kecoklatan menghampiri Harry sambil menenteng sebuah paper bag.
Entah terlalu serius dengan arlojinya, Harry terlonjak saking kagetnya bahkan hampir terjungkal beberapa langkah ke belakang, “Oh My...”, pekiknya sambil mengelus dada. “K ka kau?”, mata Harry membulat sempurna dengan jari telunjuk yang ia acungkan tepat di hadapan gadis itu. Sedangkan gadis itu hanya mengerjap-ngerjap melihat Harry yang begitu terkejut melihatnya, ekspresi pria itu seperti orang yang baru bertemu Vampir.
“Maaf Tuan, apa aku... mengejutkanmu?”, gadis itu berucap sembari menunjuk dirinya sendiri.
Harry menghirup nafas dalam. Pria itu kemudian melirik gadis di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki kemudian kembali lagi menaikkan tatapannya ke wajah gadis itu. Sedang gadis di hadapannya berdiri tidak nyaman karena ditatap seperti itu, apalagi saat ini ia hanya memakai baju kaos lengan pendek dengan sweater tipis serta memakai hotpants hitam dan sepatu sneaker, gaya yang cukup simple sebenarnya.
“Kau sejak kapan berada di sini?”, akhirnya Harry membuka suaranya setelah cukup lama hanya menatap gadis itu.
“Aku? Aku baru saja berada di sini. Tapi sejak sepuluh menit yang lalu aku melihatmu dari dalam minimarket seperti sedang kebingungan mencari sesuatu, makanya aku menghampirimu usai dari kasir. Sebenarnya apa yang sedang kau cari Tuan?”, tanya gadis itu dengan alis terangkat menandakan ia begitu penasaran dengan apa yang terjadi pada pria di hadapannya.
Sedikit salah tingkah Harry ditanyai begitu, pasalnya gadis ini adalah orang yang ia tunggu sejak tadi. Tapi, hey.. bukankah Harry sudah berada di sini sejak sepuluh menit yang lalu? Ia bahkan tak melihat sama sekali gadis itu di dalam minimarket. “Eung.. Sebenarnya.. Oh ya, boleh kita,,, bicara sebentar?”, ucapnya dengan nada canggung sambil menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal dengan jari telunjuknya, ekspressi kebanyakan orang ketika salah tingkah.
“Kita? Aku dan Tuan?”, gadis itu kembali menunjuk dirinya.
“Heumm, kita.. kau dan aku”
“Baiklah, kurasa sekarang masih terlalu cepat untukku pulang ke rumah. Jadi, apa kita akan berbicara di sini?”, gadis itu memperhatikan sekelilingnya. Sungguh tak elit kan berbicara di dekat pintu minimarket di mana banyak orang berlalu-lalang.
Harry ikut memperhatikan sekitarnya, memang benar di sini banyak orang. Dan tidak sopan berbicara di dekat pintu masuk minimarket. “Bagaimana kalau di sana saja?”, tunjuknya pada sebuah halte bus tak jauh dari minimarket itu. Gadis itu hanya mengangguk menyetujui ucapan Harry.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku Tuan?”, ucap gadis itu ketika mereka telah sampai di halte dan duduk di kursi kosong yang ada di sana.
“Maaf Nona, bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan ‘Tuan’? Aku bahkan baru sembilan belas tahun.. Apakah wajahku setua itu?”
“Oh, maafkan aku. Kau baru sembilan belas tahun? Berarti kau sama denganku”, gadis itu terlihat sedikit antusias dengan pria yang beberapa menit lalu ia panggil ‘Tuan’ tersebut.
“Benarkah?”, sedikit keterkejutan di wajah Harry, namun ia tampak begitu senang dengan penuturan gadis itu. “Harry...”, ucapnya sambil mengulurkan tangan pada gadis itu untuk berjabatan.
“Emily”, gadis itu balas menjabat tangan Harry.
“Emily... Nama yang cantik. Eung, apa kau baru di sini? Mak.. maksudku apa kau baru pindah di daerah ini? Karena aku baru melihatmu, sepertinya kau orang baru”
Gadis itu, Emily, tersenyum mendengar pertanyaan Harry barusan, “Kau sepertinya hafal seluruh penduduk di sini sampai-sampai kau tahu mana orang yang baru di sini”, ucapnya sambil meletakkan paper bag yang sedari tadi digendongnya dan meletakkannya kekursi kosong di samping ia duduk. “Kau benar, aku baru seminggu di daerah ini. Tapi aku tak pindah, di sini aku tinggal di rumah kakekku karena sedang libur kuliah”, terangnya sambil menatap lekat pada Harry yang memandangnya dengan mata berbinar.
“Benarkah? Pantas saja selama seminggu ini aku melihatmu di minimarket itu”, tunjuknya pada minimarket tempat mereka bertemu tadi.
“Kau seorang penguntit?”, Emily memicingkan matanya ke arah Harry.
“Hey, aku tidak seperti yang kau bayangkan. Sebenarnya, saat pertama kali aku bertemu denganmu seminggu yang lalu, kau juga membeli roti coklat yang sama denganku di minimarket itu. Lalu esoknya, kau juga membeli roti yang sama di jam yang sama. Aku pikir itu hanya kebetulan, tapi esoknya aku bertemu lagi denganmu bahkan sampai seminggu ini, tapi tadi... aku kira kau tak datang lagi makanya-“
“Makanya kau berdiri di depan minimarket itu untuk menungguku?”, potong Emily cepat. Harry mengangguk pelan, sedikit malu baginya karena ketahuan dengan tindakan memalukannnya barusan.
“Awalnya aku tak peduli, namun di hari ketiga aku melihatmu, aku merasa ada sesuatu yang menarik darimu, yaah.. mungkin saja kita bisa saling mengenal, hee”, Harry hanya menunjukkan cengirannya ketika Emily menatapnya dengan ekspressi bingung. “Tapi, apakah selama seminggu ini kau tak pernah sadar bertemu denganku?”
“Oups, aku tak pernah memperhatikan orang-orang disekitarku. Apalagi orang yang tak aku kenal”, terangnya sambil menautkan jemarinya, menghilangkan canggung mungkin. “Jadi benar selama seminggu ini kau selalu melihatku di minimarket itu? Apa kau juga sering membeli roti coklat di sana?”
Harry mengangguk mantap, “Heum, begitulah. Sepertinya ini takdir.. Takdir antara kau dan aku...”, ucap Harry mencoba menggombal sambil menaik turunkan alisnya. Emily kembali hanya tersenyum menanggapi perkataan Harry barusan. “Ehmm...”, Harry berdehem seperti ingin mengucapkan sesuatu. Emily lantas menoleh menatap wajah Harry menunggu apa yang ingin pria itu katakan. “Apa kau punya seseorang yang spesial? Eum, maksudku... teman spesial, seperti-“
“Kekasih maksudmu?”, kembali Emily memotong ucapan Harry. Harry mengerjap-ngerjapkan matanya sambil kembali mengangguk pelan. “Kekasih ya.. Sepertinya aku belum punya”, Emily mengalihkan pandangannya dari Harry dan memandang jalanan yang ramai dengan lalu lintas yang tak pernah sepi di depannya.
“Sungguh?”, Harry memperlebar senyuman di wajahnya. “Kau tak keberatan kan jika memberikanku nomer yang bisa aku hubungi? Ponsel ataupun telpon rumah tak apa, yah kau tau maksudku kan.. Saat ini surat menyurat tak lagi populer, jadi...”
Tanpa menunggu Harry menyelesaikan kalimatnya lagi, Emily menyodorkan sebuah kertas yang berisi nomor ponselnya pada pria itu. “Ini nomor ponselku.. So call me maybe”, ucapnya sambil membentuk tangan kanannya seperti telpon.
Harry menyambut kertas itu dengan senang hati. “Jadi, apa malam ini aku bisa menelponmu? Yah, untuk bisa mengenal lebih dekat antara kita berdua”
“Tentu saja, kau dan aku, kita harus lebih mengenal satu sama lain”, tunjuk Emily kearah dada bidang Harry. “Hey, busku sudah datang...”, Emily bangkit berdiri, tak lupa ia membawa paper bagnya karena bus menuju rumah kakeknya sudah tiba. “Malam ini, okey”, sedikit berteriak Emily berkata kepada Harry saat ia berada di pintu bus.
“Kau dan aku... Kita berdua”, Harry membalas teriakan Emily sambil membentuk tangannya seperti telpon seperti yang Emily lakukan tadi.
Emily duduk di dalam bus tepat di pinggir jendela. Di luar sana, tepat di halte, pria tadi masih berdiri dengan posisi tangan yang masih sama sambil memandangnya di dalam bus. Emily lantas mengikuti Harry –membentuk tangannya seperti telpon- dan bergumam sambil memandang pria itu ketika bus sudah mulai berjalan, “Kau dan aku...”.
-----OD-----
.
FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar