MY MEMORIES
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Inspired By:
Super Junior – Memories
Warning:
Typo bertebaran, alur kecepetan,
ceritanya bikin ngantuk, de.el.el
.
(Ini cerita tanpa nama dan readers
bisa membayangkan sendiri siapa tokohnya, apakah itu readers sendiri atau
siapapun yang readers inginkan...)
Happy reading ^^
.
.
***
We used to love during the many days
we were together
We used to hurt together-making each
other’s pain our own
.
.
Aku menghela nafas –lagi. Paru-paruku seolah tak cukup untuk
terus meminta oksigen dan menukarkannya dengan karbondioksida. Aku melirik
padanya yang masih bergeming sejak dua puluh menit yang lalu.
“Tak bisakah jika kau tak pergi?”, kulirik dengan sudut
mataku padanya yang juga menghela nafas berat usai kusuarakan kalimat tadi.
Lantas setelah menunggu sekian sekon jawaban yang kutunggu keluar di antara
kedua bibirnya, ia hanya menggeleng pelan. Membuatku kembali menghela nafas.
Kali ini lebih panjang dan menghembuskannya teramat pelan.
Aku tahu hal ini pasti terjadi. Untuk puluhan sekon
berikutnya kami kembali diam tanpa seorangpun yang berniat menyuaran beberapa
kata. Hanya suara burung dan desiran ombak yang mendominasi, dan sedikit helaan
nafas kami yang cukup keras yang mampu ditangkap indra pendengaran.
Senja di ufuk barat sudah mulai jingga dengan langit yang
menggelap sebagai latarnya. Puluhan ekor burung beterbangan di sekitar pantai
dan menyuarakan puji-pujian pada Tuhan atas rahmat-Nya pada seluruh makhluk di
dunia hari ini. Kembali aku menoleh ke samping setelah ratusan sekon memandang
panorama di hadapanku, dan sosoknya mulai mengabur seiring gema adzan magrib
berkumandang. Menyadarkanku pada panggilan Tuhan dan membuatku kembali sadar
pada kenyataan bahwa ia hanyalah ilusi semu dari imajinasiku yang tak
henti-hentinya menggambarkan sosoknya yang begitu sempurna di mataku.
Setetes air mata lagi-lagi mengalir tanpa komando. Tanpa
berniat untuk membuat suasana kembali melankolis aku lantas bangkit dari atas
hamparan pasir yang kududuki sejak satu jam yang lalu sembari menghapus kasar
air mata yang entah kenapa begitu kubenci sekarang. Langkahku sedikit
kupercepat untuk segera sampai ke rumah dan segera menjalankan ibadah sholat
magrib, bersujud pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segela berkah-Nya hari ini dan
memohon ampunan dari segala dosa yang kuperbuat.
***
Where are you? Can’t you hear my
voice?
My pained heart is looking for you
Is calling out to you-crazily
.
.
Sentuhan lembut dari tangan yang tidak begitu halus lagi
permukaannya membuatku membuka perlahan mataku yang terasa lengket. Sentuhan
lembut yang akan selalu aku sukai seumur hidupku, dari seorang wanita yang
telah melahirkanku. Ibu tersenyum masih dengan terus membelai puncak kepalaku,
rasanya ingin kembali kupejamkan mataku merasakan lembutnya tangan beliau yang
begitu tulus dan penuh kasih sayang.
“Bangun sayang, sudah subuh... Sholat subuh dulu”
Suara yang begitu lembut. Masih sama seperti hari-hari
sebelumnya, selama dua puluh tahun aku hidup di dunia dan suara itu tak pernah
berubah. Beliau kembali tersenyum dan membuatku memaksakan diri segera bangkit
dari posisiku dan duduk di tepi ranjang di samping ibu. “Matamu bengkak, apa
kau menangis semalam hmm?”, ibu menyentuh pelan kantung mataku. Menangis?
Entahlah, aku sendiri tidak mengingat apa yang terjadi padaku semalam.
Aku lebih memilih menggelengkan kepalaku dari pada membuat
beliau khawatir. “Aku hanya masih mengantuk, bu”, suaraku sedikit parau.
Ibu kembali tersenyum lantas berdiri dan mengusap sekilas
puncak kepalaku, “Ya sudah kalau begitu sholat subuh dulu... Ibu akan ke dapur
memasak air”.
Aku mengangguk pelan lalu setelahnya ibu menghilang dari
balik pintu kamarku. Kuamati lamat-lamat wajahku yang terpantul di cermin rias
di samping lemari, cukup kacau kukatakan. Bibir kering dengan mata merah dan
terlihat bengkak di bagian kantung mataku. Aku tahu aku menangis semalam.
Bahkan aku tertidur usai jarum jam menunjuk angka satu.
Kumandang iqamah baru saja usai di masjid dan aku segera
menuju kamar mandi untuk berwudu dan segera melakasanakan sholat subuh.
Dinginnya udara pagi ini membuat saraf-saraf tubuhku mati rasa. Kurasakan
betapa dingin dan sejuk di saat yang bersamaan ketika aliran air wudu membasuh
wajahku, bahkan hingga usai aku membasuh kedua kakiku.
Kuhamparkan sajadah di samping ranjangku, bersiap untuk
memulai sholat. Betapa hatiku kembali tenang kala aku mengangkat kedua tanganku
untuk Takbiratul Ihram. Memfokuskan hati dan pikiranku dan tertuju pada Allah.
Tuhan yang telah menciptakanku, dan telah membuatku hidup dunia setelah
memenangkan pertandingan dengan jutaan sperma lainnya di dalam rahim ibuku.
Tuhan Penguasa alam. Tiada Tuhan selain Allah.
Usai sholat, aku berdoa pada Rabb memohon ampunan untukku,
untuk kedua orang tuaku, dan untuk seluruh saudara-saudaraku sesama muslim di
dunia. Dan tak lupa, sebuah doa tertulusku yang tak pernah lupa untuk
kuhaturkan setiap usai sholat untuknya, untuknya yang telah pergi
meninggalkanku entah ke mana.
“Ya Allah ya Robby, aku sungguh merindukannya. Meskipun
kerinduanku padanya tidaklah sebesar keriduanku bertemu dengan-Mu dan
Rasulullah, namun hati ini begitu penuh dengan memori tentangnya. Segala
tentangnya. Hamba merindukan sosoknya, hamba merindukan kehadirannya di sisi
hamba ya Allah. Setiap hari hamba menangis hanya karenanya, ampunilah hamba ya
Rabb karena air mata ini lebih banyak mengalir ketika mengingat sosoknya
dibandingkan saat hamba mengingat dosa-dosa hamba”, do’aku belum usai namun
lagi-lagi aku tak kuasa membendung air mata yang tak terasa sudah membuat basah
hampir seluruh permukaan wajahku. Kuhapus kembali air mataku dan kembali
kulanjutkan do’aku.
“Setiap malam hamba selalu menangisinya, merindukannya yang
menyebut nama hamba, berada di sisi hamba, mengisi hari-hari hamba. Ya Allah,
jika memang kau menakdirkan ia sebagai teman di hari-hari tua hamba, tolong
pertemukanlah kami kembali. Hati hamba sudah terlalu sakit ya Rabb.. Hamba
menyebut-nyebut namanya seperti orang gila, mencari-carinya namun tak ada
hasil. Ya Allah Yang Maha Pengasih, kasihi hamba-Mu ini, ampunilah dosa-dosa
hamba, hamba bukanlah ahli surga namun terlalu takut dengan neraka. Ya Rabb
hamba mohon sekali lagi, jika memang ia bukan takdir hamba, tolong hapuskanlah
segala kenangan tentangnya. Segala memori tentangnya dan agar hamba bisa berhenti
menghabiskan air mata hamba ketika mengingatnya.. Amin ya Robbal Alamiin”
***
My heart, my tears, my memories of
you
Drop by drop, they are falling
against my chest
Though I cry and I cry, the memories
won’t erase
And again today, I drench my empty
heart
.
.
Jika kukatakan kalau aku baik-baik saja, sudah pasti itu
hanya kebohongan semata. Aku tidak baik-baik saja. Aku kacau. Aku hancur.
Tetesan air mata yang kuharapkan bisa menghapus sedikit demi sedikit memori
tentangnya, malah tak ada hasilnya. Semakin mengalir air mataku, semakin
kuatlah kerinduanku akan sosoknya. Memori-memori tentangnya semakin berputar
liar di benakku.
Dan lagi, hari ini aku kembali duduk di tepi pantai –tempat
terakhir kami bertemu- yang entah sejak kapan menjadi tempat yang rutin aku
kunjungi selepas Ashar.
Matahari masih terik sore ini dan hanya beberapa burung yang
terbang di tengah luasnya langit biru dengan sedikit awan yang menaungi. Ombak
tak begitu deras menerpa bibir pantai. Pun hembusan angin cukup tenang dan membuat
darahku sedikit berdesir sembari menghirup oksigen cukup dalam untuk mengisi
paru-paruku. Betapa Maha Suci Allah atas segela keindahan alam dan oksigen yang
bisa dinikmati setiap detiknya.
Mataku menilik pada dua insan yang tengah berlarian di bibir
pantai sambil tertawa begitu lepasnya. Membuatku ikut tersenyum melihat
keduanya. Kedua orang itu masih terus berlarian hingga salah satu dari mereka
terjatuh dan ditimpa ombak yang tiba-tiba datang dan membuat seluruh tubuhnya
basah. Sedang salah satunya lagi tertawa terbahak-bahak melihat pasangannya
yang basah kuyup itu sambil memegangi perutnya. Aku pun ikut terkekeh pelan
melihat bagaimana tingkah salah satu yang terjatuh itu dengan menunjukkan
ekspresi cemberutnya.
“Kenapa kau tertawa huhh?? Dasar menyebalkan...”
“Hahaa... Salah sendiri kau bisa sampai terjatuh seperti itu.
Bagaimana rasanya basah kuyup?”
“Tssk.. Kemari kau. Aku akan membalasmu!!”
“Hahaha... Ayo kejar aku kalau kau bisa”
Aku masih tak bisa berhenti terkekeh melihat pasangan itu.
Hingga suara gagak di angkasa mengejutkanku, dan kedua orang tadi langsung
menghilang dari pandanganku. Membuatku menoleh ke sana kemari demi mencari
kedua sosok itu.
Bodoh.
Ilusiku terlalu nyata. Aku bahkan tak bisa membedakan
kenyataan dan imanjiner. Kedua sosok tadi hanya kenanganku yang tergambar
jelas, bahkan teramat sangat jelas. Sosoknya yang dulu begitu periang, yang
selalu membuatku tertawa, yang bisa membuatku merasakan betapa beruntungnya aku
dilahirkan ke dunia. Semuanya hanya bayangan. Semuanya hanya memori masa lalu
yang tak kunjung pergi dari otakku.
“Apa maksudmu kau akan pergi?”
Aku sontak menoleh pada dua orang yang duduk tak jauh dari
tempatku. Aku hanya terdiam melihat sepasang kekasih yang tampaknya sedang
dalam masalah.
“Kurasa seperti ini lebih baik untuk kita berdua”, lirih
salah satunya dengan terus menunduk menatap butiran pasir di bawahnya.
“APA MAKSUDMU?? JADI KAU TEGA PERGI MENINGGALKANKU..??!!!”
Yang ditanya semakin menundukkan wajahnya, “Maaf”
“Kau keterlaluan!!”
“Tapi aku pasti akan kembali suatu hari nanti. Aku
berjanji...”
Kulihat salah satu dari mereka yang sudah emosi sejak tadi
mengigit bibir bawahnya, kedua tangannya mengepal kuat. Kurasa ia sedang
menekan emosinya. “Berapa lama kau akan pergi?”
“Aku tak tahu. Tapi secepatnya. Secepatnya aku akan kembali”
Air mataku lagi-lagi mengalir. Segera aku membekap mulutku
dengan telapak tanganku sebelum aku benar-benar terisak kali ini. Lantas
kembali kuhapus dengan kasar air mataku, dan kedua sosok tadi lagi-lagi menghilang
yang membuatku kembali tersadar jika aku
masih terlalu menginginkan kembali sosoknya bersamaku.
Segala memori tentangnya tak kan bisa terhapuskan begitu
saja. Karena sesungguhnya aku tak ingin kehilangan memori-memori bersamanya,
aku masih menunggunya. Aku masih menunggu hingga ia kembali datang dan kembali
mengisi hari-hariku. Meskipun harus kubayar dengan luka dan perih selama
menantinya, tapi kuharap suatu saat ia akan menebus segala kesakitanku ini
dengan kehadirannya yang begitu kurindukan.
***
We used to like each other –you
laughed at my smile
We used to cry together – you were
pained by my tears
Where are you? Can’t you see my tired
body?
My pained heart is looking for you
Is calling out to you – crazily
.
.
Rangkaian aksara pada selembar kertas putih bertinta hitam
menarik perhatianku usai kuletakkan tugas kuliah di atas meja belajar. Selembar
surat darinya dua tahun yang lalu setelah tiga bulan ia pergi. Satu-satunya
surat yang ia kirimkan untukku setelah pergi, yang pertama dan tak pernah lagi
ada surat-surat yang lain.
“Kau sudah membaca suratku?”, ia berdiri di sampingku dan
suaranya mengalun begitu lembut.
Aku mengangguk pelan. Jangan tanyakan aku sudah membacanya
atau belum karena aku sudah membaca isinya ratusan kali. “Kenapa kau hanya
mengirimkan satu surat ini untukku?”, kutatap wajahnya lamat-lamat dengan
ekspresi keingintahuanku.
Ia hanya bungkam lantas menatap dedaunan yang gugur dari
dahannya dari balik jendela kamarku. Kuletakkan kembali surat itu lalu
mendudukkan diri di tepi ranjang.
“Kau hanya memintaku untuk menjaga diriku. Hanya itu? Kau
bahkan tak memberitahuku keberadaanmu”, aku menatap keramik putih yang kupijak
tanpa ingin menatap maniknya.
Kembali tak ada jawaban yang ia katakan. Lantas seiring
dengan hembusan angin yang menelusup masuk melalui jendela kamarku yang
terbuka, kucoba menatapnya dan... Yang kulihat hanyalah tirai jendela yang bergerak perlahan akibat terpaan
angin dari luar sana. Sosoknya kembali menghilang tanpa jejak, menyisakan
kekalutanku yang tiada akhir.
Memilih untuk mengabaikan bayangannya yang selalu muncul, aku
kembali bangkit dari tepi tempat tidur dan membuka lemari pakaian untuk
mengganti baju. Kupilih kaos berwarna biru tosca untuk kukenakan. Lantas saat
hendak kututup pintu lemari, perhatianku tertuju pada sebuah kotak kecil yang
terselip di antara beberapa kotak lainnya di bagian rak bawah lemari. Segera
kuambil kotak itu yang sedikit berdebu di bagian atasnya.
“Selamat ulang tahun”
Ia muncul dan berdiri di dekat pintu kamarku dengan menenteng
kotak yang sama. Itu kado ulang tahun darinya di hari ulang tahunku dua tahun
yang lalu. Kado terakhir sebelum ia pergi.
“Kau ingat hari ulang tahunku? Kupikir kau lupa”, aku
menatapnya dengan senyum haru.
“Hey ayolah, tadi malam aku hanya berpura-pura lupa tanggal
ulang tahunmu”, sebuah lengkungan di bibirnya membuatku tak tahan untuk juga
ikut tersenyum. “Selamat ulang tahun ya...”, katanya sekali lagi. “Aku selalu
berharap yang terbaik untukmu”
Aku mengangguk dengan membekap mulutku dengan kedua telapak
tanganku. Kotak kecil yang sedari tadi kupegang terjatuh. “Terima kasih”,
isakku.
Ia masih berdiri di sana, di dekat pintu dan tersenyum
padaku. Pandanganku tiba-tiba memburam seiring dengan air mata yang menumpuk di
pelupuk mataku, kulihat tubuhnya yang perlahan juga mulai memburam dan semakin
mengabur saat setetes air mata yang sudah mati-matian kutahan terjatuh dari
sudut mataku. Tidak, kumohon jangan pergi lagi.
Kuhapus dengan cepat air mataku dan saat penglihatanku
kembali jelas, sosoknya telah menghilang –lagi, yang terlihat hanyalah berbagai
benda mati di dalam kamarku. Tubuhku merosot di atas lantai, aku bahkan
kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri. Kembali tanpa sadar dan tanpa
kuinginkan, sebuah isakan keluar dari mulutku. Kutenggelamkan wajahku diantara
kedua kakiku yang kutekuk untuk meredam suara isakanku agar tak terdengar jelas
keluar kamar.
Hari ini hari ulang tahunku. Dan tak ada ucapan selamat ulang
tahun darinya, bahkan meski hanya sekedar kabar tentangnya pun tak ada.
Membuatku semakin merindukannya, membuatku semakin menjadikan bayangannya
begitu nyata. Membuatku semakin menginginkan eksistensinya di sekitarku.
***
Please come back to me
I call out your name every night
And in my exhausted waiting, I wander
arround and look for you
.
.
Aku sedang menunggu di bawah kanopi sebuah toko roti tak jauh
dari taman kota. Mununggunya yang memintaku menemaninya ke perpustakaan umum
untuk meminjam buku sastra. Ini sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya.
Awan kelabu mulai menutupi hampir sebagian besar langit disertai angin yang
cukup deras, membuatku merapatkan jaket yang kukenakan.
Sedikit menggerutu dalam hati atas sikapnya yang seenaknya
menyuruhku dan datang terlambat tak juga membuat batang hidungnya nampak dalam
pandanganku. Kulirik jam di pergelangan tanganku sudah yang menunjukkan pukul
14 lebih 25 menit. Masih cukup siang memang. Namun karena mendung membuatnya
seolah sudah jam enam sore.
Beberapa orang berlalu lalang di sekitarku, beberapa diantara
mereka mempercepat langkahnya namun tak sedikit juga yang masih berjalan
perlahan meskipun tak lama lagi hujan deras pasti akan segera mengguyur kota.
Dan benar saja. Tak lama hujan deras disertai petir mulai mendominasi kota dan
membuat semua orang bergegas kembali ke rumah mereka. Terkecuali aku. Aku masih
berdiri menunggunya, tak berniat beranjak sesentipun dari tempatku.
Pandangaku masih terus kuedarkan ke segala arah demi
menemukan sosoknya. Kuharap ia segera datang karena hujan benar-benar sangat
deras. Atau lebih baik ia menghubungiku saja dan membatalkan niatnya untuk ke
perpustakaan.
Baru saja aku akan mengambil ponselku di dalam saku ketika
aku melihat sekelebat bayangannya di seberang jalan sambil memegangi sebuah
payung dan melambai ke arahku sambil tersenyum riang. Tsk, menyebalkan sekali.
Wajahnya bahkan tak menunjukkan rasa bersalah karena telah membuatku lama
menunggu.
Tanpa kuduga, ia langsung menyeberang jalan dan menerobos
hujan dengan menggunakan payung untuk melindungi tubuhnya. Bunyi klakson mobil
cukup nyaring dari arah kanan membuat jantungku seakan terlepas dan membuatku
berteriak sekencang-kencangnya kala tubuhnya hampir bersinggungan dengan mobil
audi hitam yang melaju dari arah kanan.
“AWAASS!!”
Dan dunia seolah berhenti berputar ketika tubuhnya terpental
sekitar lima meter di tengah jalan. Aku bisa melihat dengan jelas darah segar
merembes di atas aspal yang diguyur air hujan.
.
.
“Aaaarrgh”
Peluh mengucur deras di pelipisku, nafasku tersengal-sengal
dan membuatku seketika terbangun dari tidurku. Mimpi buruk. Entah ada apa
denganku karena beberapa hari terakhir ini aku terus bermimpi yang tidak
mengenakkan tentangnya.
Aku terduduk dan mengucap istighfar berkali-kali. Lantas
mengambil air mineral di atas meja nakas lalu menenggak isinya sampai habis.
Aku masih berusaha mengatur nafasku yang
tak beraturan. Jantungku bahkan berdentam terlalu cepat dan rasanya
membuatku sedikit kesulitan bernafas.
Jarum pendek jam dinding di dekat pintu kamarku menunjuk angka
tiga dan jarum panjang di angka satu. Pukul tiga lewat lima menit. Kutarik
nafas dalam lalu menghembuskannya dengan cukup pelan. Kulangkahkan kakiku
menuju kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan sholat tahajud.
Usai sholat aku membaca dzikir dan istighfar. Aku berharap
mimpi burukku ini tak ada artinya apa-apa. Sambil terus mengucap istighfar air
mataku lagi dan lagi mengalir bahkan semakin deras seiring jiwaku yang merasuk
ke dalam lantunan kalimat “Ataghfirullah wa atubu ilaih”. Betapa banyaknya dosa
yang sudah kulakukan. Betapa banyaknya waktu yang kuhabiskan hanya untuk
mengenang memori dengannya ketimbang mengingat Tuhanku, betapa banyaknya waktu
yang kuhabiskan hanya untuk mengenang masa lalu, betapa banyaknya hari-hari
suramku yang terjadi karena kesalahanku sendiri.
Seharusnya aku tak seperti ini. Seharusnya aku lebih
menghargai hidupku. Seharusnya aku bisa berlaku positif dengan merubah diriku
menjadi lebih baik lagi sambil menunggunya.
Kami hanya terpisah jarak. Aku yakin ia akan kembali. Dan
jika ia tak kembali, aku yakin Tuhan akan mengirim yang lebih baik darinya
untukku meskipun tak bisa kupungkiri kalau sosoknya takkan bisa tergantikan
oleh siapapun.
Kembali sebuah do’a menjadi penutup sholat tahajudku malam
ini. Sebuah do’a yang aku khususkan untuknya di sana, di manapun ia berada.
“Ya Allah Ya Rabb, Tuhanku, Tuhan semesta alam. Laa ilaha
ilallah, Muahammadan Rasulullah. Astagfirullah, astagfirullah. Ya Allah,
ampunilah dosa-dosa hamba, dosa kedua orang tua hamba, dosa saudara-saudara
hamba, dosa sahabat-sahabat hamba, dosa para mujahid, dan seluruh umat muslim
di dunia. Ya Allah, hamba tahu hamba lemah, kepada siapa lagi hamba memohon
pertolongan selain pada-Mu ya Allah. Perasaan ini bukanlah sekedar rindu biasa.
Perasaan ini telah menggerogoti seluruh pikiran bahkan jiwa hamba, hamba
terlalu larut dalam eksistensi masa lalu.
Jika perasaan ini adalah salah, tolong hapuskanlah segala
rindu ini. Biarlah ia mengalir apa adanya tanpa harus membuat rasa sakit di
hari-hari hamba. Biarkan hamba bisa lebih sering mengingat-Mu dan beribadah
pada-Mu dengan lebih baik lagi. Mengenalnya adalah anugerah, dan mencintainya
adalah rahmat-Mu. Namun cinta hamba pada-Mu jauh lebih besar dari pada cinta
hamba padanya. Ya Allah, tolong jagalah ia di sana, sehatkanlah selalu dirinya,
jangan buat ia tersakiti. Lancarknalah segala urusannya, dan hamba mohon
pertemukanlah kami kembali jika Engkau menakdirkan kami bersama.
Ya Allah, bantu hamba menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Menjadi anak yang berguna untuk orang tua hamba, menjadi sosok yang bisa
menegakkan agama-Mu dan berjihad di jalan-Mu. Ya Allah hamba mohon sekali lagi,
hamba tak bisa menghapus bayang-bayangnya dari benak hamba, memori tentangnya
masih terlalu kuat di benak hamba. Hamba terlalu sakit setiap mengenangnya.
Hamba tidak ingin menghapusnya dari benak hamba, tapi hamba ingin tetap
mengenangnya namun dengan intensitas yang tak sesering dulu lagi.
Ya Allah, hamba hanya berharap yang terbaik untuknya. Jika
memang hamba adalah yang terbaik yang bisa mendampinginya, tolong buatlah ia
memang menjadi milik hamba. Namun jika hamba tidak cukup baik untuk berada di
sisinya tolong kirimkanlah seseorang yang lebih baik dari pada hamba untuknya.
Ya Allah ampunilah hamba, dosa-dosa hamba yang lalu, saat ini dan di masa yang
akan datang.
Wasalallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi
washahbihi wasallam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamiin”
Kuhapus air mataku. Kuharap setelah ini aku tak lagi
menjadikan masa lalu sebagai kehidupanku. Ia akan tetap terus di memoriku dan
takkan kulupakan. Ia akan menjadi motivasiku untuk menjadi pribadi yang lebih
baik lagi. Dan takkan membiarkan segala memori tentangnya merangsek masuk ke
dalam benakku dengan membabi buta.
Kutatap fotoku bersama dirinya di atas meja belajarku, foto
yang selalu menghubungkanku dengannya. Dan kali ini setitik air mata mengalir
dari sudut mataku. Kali ini bukan air mata karena kesedihan seperti biasa,
namun air mata bahagia karena aku pernah mengenalnya. Dan karena aku... akan
tetap menunggunya.
.
.
My love, my tears, our memories
Drop by drop, they are falling
against my chest
Though I cry and I cry, the memories
won’t erase
And again today, I drench my empty
heart
***
.
.
FIN
***
Terima kasih yang sudah membaca^^
Maaf kalo ceritanya jelek banget
karena ini semacam curahan hati saya dan sekitar 35% adalah kisah nyata saya,
hehe...
Saya masih belajar menulis, jadi jika
kalimat yang saya gunakan masih sederhana dan feel-nya belom dapet, saya akan
mencoba membuatnya jadi lebih baik lagi.
Sekali lagi terima kasih yang sudah
meluangkan waktu untuk membaca cerita iniJJ
Pai-pai /elap ingus/