Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Selasa, 24 Juni 2014

(Cerpen) My Memories



MY MEMORIES
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Inspired By:
Super Junior – Memories

Warning:
Typo bertebaran, alur kecepetan, ceritanya bikin ngantuk, de.el.el
.
(Ini cerita tanpa nama dan readers bisa membayangkan sendiri siapa tokohnya, apakah itu readers sendiri atau siapapun yang readers inginkan...)
Happy reading ^^

.
.

***
We used to love during the many days we were together
We used to hurt together-making each other’s pain our own

.
.

Aku menghela nafas –lagi. Paru-paruku seolah tak cukup untuk terus meminta oksigen dan menukarkannya dengan karbondioksida. Aku melirik padanya yang masih bergeming sejak dua puluh menit yang lalu.

“Tak bisakah jika kau tak pergi?”, kulirik dengan sudut mataku padanya yang juga menghela nafas berat usai kusuarakan kalimat tadi. Lantas setelah menunggu sekian sekon jawaban yang kutunggu keluar di antara kedua bibirnya, ia hanya menggeleng pelan. Membuatku kembali menghela nafas. Kali ini lebih panjang dan menghembuskannya teramat pelan.

Aku tahu hal ini pasti terjadi. Untuk puluhan sekon berikutnya kami kembali diam tanpa seorangpun yang berniat menyuaran beberapa kata. Hanya suara burung dan desiran ombak yang mendominasi, dan sedikit helaan nafas kami yang cukup keras yang mampu ditangkap indra pendengaran.

Senja di ufuk barat sudah mulai jingga dengan langit yang menggelap sebagai latarnya. Puluhan ekor burung beterbangan di sekitar pantai dan menyuarakan puji-pujian pada Tuhan atas rahmat-Nya pada seluruh makhluk di dunia hari ini. Kembali aku menoleh ke samping setelah ratusan sekon memandang panorama di hadapanku, dan sosoknya mulai mengabur seiring gema adzan magrib berkumandang. Menyadarkanku pada panggilan Tuhan dan membuatku kembali sadar pada kenyataan bahwa ia hanyalah ilusi semu dari imajinasiku yang tak henti-hentinya menggambarkan sosoknya yang begitu sempurna di mataku.

Setetes air mata lagi-lagi mengalir tanpa komando. Tanpa berniat untuk membuat suasana kembali melankolis aku lantas bangkit dari atas hamparan pasir yang kududuki sejak satu jam yang lalu sembari menghapus kasar air mata yang entah kenapa begitu kubenci sekarang. Langkahku sedikit kupercepat untuk segera sampai ke rumah dan segera menjalankan ibadah sholat magrib, bersujud pada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segela berkah-Nya hari ini dan memohon ampunan dari segala dosa yang kuperbuat.

***

Where are you? Can’t you hear my voice?
My pained heart is looking for you
Is calling out to you-crazily

.
.

Sentuhan lembut dari tangan yang tidak begitu halus lagi permukaannya membuatku membuka perlahan mataku yang terasa lengket. Sentuhan lembut yang akan selalu aku sukai seumur hidupku, dari seorang wanita yang telah melahirkanku. Ibu tersenyum masih dengan terus membelai puncak kepalaku, rasanya ingin kembali kupejamkan mataku merasakan lembutnya tangan beliau yang begitu tulus dan penuh kasih sayang.

“Bangun sayang, sudah subuh... Sholat subuh dulu”

Suara yang begitu lembut. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, selama dua puluh tahun aku hidup di dunia dan suara itu tak pernah berubah. Beliau kembali tersenyum dan membuatku memaksakan diri segera bangkit dari posisiku dan duduk di tepi ranjang di samping ibu. “Matamu bengkak, apa kau menangis semalam hmm?”, ibu menyentuh pelan kantung mataku. Menangis? Entahlah, aku sendiri tidak mengingat apa yang terjadi padaku semalam.

Aku lebih memilih menggelengkan kepalaku dari pada membuat beliau khawatir. “Aku hanya masih mengantuk, bu”, suaraku sedikit parau.

Ibu kembali tersenyum lantas berdiri dan mengusap sekilas puncak kepalaku, “Ya sudah kalau begitu sholat subuh dulu... Ibu akan ke dapur memasak air”.

Aku mengangguk pelan lalu setelahnya ibu menghilang dari balik pintu kamarku. Kuamati lamat-lamat wajahku yang terpantul di cermin rias di samping lemari, cukup kacau kukatakan. Bibir kering dengan mata merah dan terlihat bengkak di bagian kantung mataku. Aku tahu aku menangis semalam. Bahkan aku tertidur usai jarum jam menunjuk angka satu.

Kumandang iqamah baru saja usai di masjid dan aku segera menuju kamar mandi untuk berwudu dan segera melakasanakan sholat subuh. Dinginnya udara pagi ini membuat saraf-saraf tubuhku mati rasa. Kurasakan betapa dingin dan sejuk di saat yang bersamaan ketika aliran air wudu membasuh wajahku, bahkan hingga usai aku membasuh kedua kakiku.

Kuhamparkan sajadah di samping ranjangku, bersiap untuk memulai sholat. Betapa hatiku kembali tenang kala aku mengangkat kedua tanganku untuk Takbiratul Ihram. Memfokuskan hati dan pikiranku dan tertuju pada Allah. Tuhan yang telah menciptakanku, dan telah membuatku hidup dunia setelah memenangkan pertandingan dengan jutaan sperma lainnya di dalam rahim ibuku. Tuhan Penguasa alam. Tiada Tuhan selain Allah.

Usai sholat, aku berdoa pada Rabb memohon ampunan untukku, untuk kedua orang tuaku, dan untuk seluruh saudara-saudaraku sesama muslim di dunia. Dan tak lupa, sebuah doa tertulusku yang tak pernah lupa untuk kuhaturkan setiap usai sholat untuknya, untuknya yang telah pergi meninggalkanku entah ke mana.

“Ya Allah ya Robby, aku sungguh merindukannya. Meskipun kerinduanku padanya tidaklah sebesar keriduanku bertemu dengan-Mu dan Rasulullah, namun hati ini begitu penuh dengan memori tentangnya. Segala tentangnya. Hamba merindukan sosoknya, hamba merindukan kehadirannya di sisi hamba ya Allah. Setiap hari hamba menangis hanya karenanya, ampunilah hamba ya Rabb karena air mata ini lebih banyak mengalir ketika mengingat sosoknya dibandingkan saat hamba mengingat dosa-dosa hamba”, do’aku belum usai namun lagi-lagi aku tak kuasa membendung air mata yang tak terasa sudah membuat basah hampir seluruh permukaan wajahku. Kuhapus kembali air mataku dan kembali kulanjutkan do’aku.

“Setiap malam hamba selalu menangisinya, merindukannya yang menyebut nama hamba, berada di sisi hamba, mengisi hari-hari hamba. Ya Allah, jika memang kau menakdirkan ia sebagai teman di hari-hari tua hamba, tolong pertemukanlah kami kembali. Hati hamba sudah terlalu sakit ya Rabb.. Hamba menyebut-nyebut namanya seperti orang gila, mencari-carinya namun tak ada hasil. Ya Allah Yang Maha Pengasih, kasihi hamba-Mu ini, ampunilah dosa-dosa hamba, hamba bukanlah ahli surga namun terlalu takut dengan neraka. Ya Rabb hamba mohon sekali lagi, jika memang ia bukan takdir hamba, tolong hapuskanlah segala kenangan tentangnya. Segala memori tentangnya dan agar hamba bisa berhenti menghabiskan air mata hamba ketika mengingatnya.. Amin ya Robbal Alamiin”

***

My heart, my tears, my memories of you
Drop by drop, they are falling against my chest
Though I cry and I cry, the memories won’t erase
And again today, I drench my empty heart

.
.

Jika kukatakan kalau aku baik-baik saja, sudah pasti itu hanya kebohongan semata. Aku tidak baik-baik saja. Aku kacau. Aku hancur. Tetesan air mata yang kuharapkan bisa menghapus sedikit demi sedikit memori tentangnya, malah tak ada hasilnya. Semakin mengalir air mataku, semakin kuatlah kerinduanku akan sosoknya. Memori-memori tentangnya semakin berputar liar di benakku.

Dan lagi, hari ini aku kembali duduk di tepi pantai –tempat terakhir kami bertemu- yang entah sejak kapan menjadi tempat yang rutin aku kunjungi selepas Ashar.

Matahari masih terik sore ini dan hanya beberapa burung yang terbang di tengah luasnya langit biru dengan sedikit awan yang menaungi. Ombak tak begitu deras menerpa bibir pantai. Pun hembusan angin cukup tenang dan membuat darahku sedikit berdesir sembari menghirup oksigen cukup dalam untuk mengisi paru-paruku. Betapa Maha Suci Allah atas segela keindahan alam dan oksigen yang bisa dinikmati setiap detiknya.

Mataku menilik pada dua insan yang tengah berlarian di bibir pantai sambil tertawa begitu lepasnya. Membuatku ikut tersenyum melihat keduanya. Kedua orang itu masih terus berlarian hingga salah satu dari mereka terjatuh dan ditimpa ombak yang tiba-tiba datang dan membuat seluruh tubuhnya basah. Sedang salah satunya lagi tertawa terbahak-bahak melihat pasangannya yang basah kuyup itu sambil memegangi perutnya. Aku pun ikut terkekeh pelan melihat bagaimana tingkah salah satu yang terjatuh itu dengan menunjukkan ekspresi cemberutnya.

“Kenapa kau tertawa huhh?? Dasar menyebalkan...”

“Hahaa... Salah sendiri kau bisa sampai terjatuh seperti itu. Bagaimana rasanya basah kuyup?”

“Tssk.. Kemari kau. Aku akan membalasmu!!”

“Hahaha... Ayo kejar aku kalau kau bisa”

Aku masih tak bisa berhenti terkekeh melihat pasangan itu. Hingga suara gagak di angkasa mengejutkanku, dan kedua orang tadi langsung menghilang dari pandanganku. Membuatku menoleh ke sana kemari demi mencari kedua sosok itu.

Bodoh.

Ilusiku terlalu nyata. Aku bahkan tak bisa membedakan kenyataan dan imanjiner. Kedua sosok tadi hanya kenanganku yang tergambar jelas, bahkan teramat sangat jelas. Sosoknya yang dulu begitu periang, yang selalu membuatku tertawa, yang bisa membuatku merasakan betapa beruntungnya aku dilahirkan ke dunia. Semuanya hanya bayangan. Semuanya hanya memori masa lalu yang tak kunjung pergi dari otakku.

“Apa maksudmu kau akan pergi?”

Aku sontak menoleh pada dua orang yang duduk tak jauh dari tempatku. Aku hanya terdiam melihat sepasang kekasih yang tampaknya sedang dalam masalah.

“Kurasa seperti ini lebih baik untuk kita berdua”, lirih salah satunya dengan terus menunduk menatap butiran pasir di bawahnya.

“APA MAKSUDMU?? JADI KAU TEGA PERGI MENINGGALKANKU..??!!!”

Yang ditanya semakin menundukkan wajahnya, “Maaf”

“Kau keterlaluan!!”

“Tapi aku pasti akan kembali suatu hari nanti. Aku berjanji...”

Kulihat salah satu dari mereka yang sudah emosi sejak tadi mengigit bibir bawahnya, kedua tangannya mengepal kuat. Kurasa ia sedang menekan emosinya. “Berapa lama kau akan pergi?”

“Aku tak tahu. Tapi secepatnya. Secepatnya aku akan kembali”

Air mataku lagi-lagi mengalir. Segera aku membekap mulutku dengan telapak tanganku sebelum aku benar-benar terisak kali ini. Lantas kembali kuhapus dengan kasar air mataku, dan kedua sosok tadi lagi-lagi menghilang yang membuatku kembali tersadar  jika aku masih terlalu menginginkan kembali sosoknya bersamaku.

Segala memori tentangnya tak kan bisa terhapuskan begitu saja. Karena sesungguhnya aku tak ingin kehilangan memori-memori bersamanya, aku masih menunggunya. Aku masih menunggu hingga ia kembali datang dan kembali mengisi hari-hariku. Meskipun harus kubayar dengan luka dan perih selama menantinya, tapi kuharap suatu saat ia akan menebus segala kesakitanku ini dengan kehadirannya yang begitu kurindukan.

***

We used to like each other –you laughed at my smile
We used to cry together – you were pained by my tears
Where are you? Can’t you see my tired body?
My pained heart is looking for you
Is calling out to you – crazily

.
.

Rangkaian aksara pada selembar kertas putih bertinta hitam menarik perhatianku usai kuletakkan tugas kuliah di atas meja belajar. Selembar surat darinya dua tahun yang lalu setelah tiga bulan ia pergi. Satu-satunya surat yang ia kirimkan untukku setelah pergi, yang pertama dan tak pernah lagi ada surat-surat yang lain.

“Kau sudah membaca suratku?”, ia berdiri di sampingku dan suaranya mengalun begitu lembut.

Aku mengangguk pelan. Jangan tanyakan aku sudah membacanya atau belum karena aku sudah membaca isinya ratusan kali. “Kenapa kau hanya mengirimkan satu surat ini untukku?”, kutatap wajahnya lamat-lamat dengan ekspresi keingintahuanku.

Ia hanya bungkam lantas menatap dedaunan yang gugur dari dahannya dari balik jendela kamarku. Kuletakkan kembali surat itu lalu mendudukkan diri di tepi ranjang.

“Kau hanya memintaku untuk menjaga diriku. Hanya itu? Kau bahkan tak memberitahuku keberadaanmu”, aku menatap keramik putih yang kupijak tanpa ingin menatap maniknya.

Kembali tak ada jawaban yang ia katakan. Lantas seiring dengan hembusan angin yang menelusup masuk melalui jendela kamarku yang terbuka, kucoba menatapnya dan... Yang kulihat hanyalah tirai  jendela yang bergerak perlahan akibat terpaan angin dari luar sana. Sosoknya kembali menghilang tanpa jejak, menyisakan kekalutanku yang tiada akhir.

Memilih untuk mengabaikan bayangannya yang selalu muncul, aku kembali bangkit dari tepi tempat tidur dan membuka lemari pakaian untuk mengganti baju. Kupilih kaos berwarna biru tosca untuk kukenakan. Lantas saat hendak kututup pintu lemari, perhatianku tertuju pada sebuah kotak kecil yang terselip di antara beberapa kotak lainnya di bagian rak bawah lemari. Segera kuambil kotak itu yang sedikit berdebu di bagian atasnya.

“Selamat ulang tahun”

Ia muncul dan berdiri di dekat pintu kamarku dengan menenteng kotak yang sama. Itu kado ulang tahun darinya di hari ulang tahunku dua tahun yang lalu. Kado terakhir sebelum ia pergi.

“Kau ingat hari ulang tahunku? Kupikir kau lupa”, aku menatapnya dengan senyum haru.

“Hey ayolah, tadi malam aku hanya berpura-pura lupa tanggal ulang tahunmu”, sebuah lengkungan di bibirnya membuatku tak tahan untuk juga ikut tersenyum. “Selamat ulang tahun ya...”, katanya sekali lagi. “Aku selalu berharap yang terbaik untukmu”

Aku mengangguk dengan membekap mulutku dengan kedua telapak tanganku. Kotak kecil yang sedari tadi kupegang terjatuh. “Terima kasih”, isakku.

Ia masih berdiri di sana, di dekat pintu dan tersenyum padaku. Pandanganku tiba-tiba memburam seiring dengan air mata yang menumpuk di pelupuk mataku, kulihat tubuhnya yang perlahan juga mulai memburam dan semakin mengabur saat setetes air mata yang sudah mati-matian kutahan terjatuh dari sudut mataku. Tidak, kumohon jangan pergi lagi.

Kuhapus dengan cepat air mataku dan saat penglihatanku kembali jelas, sosoknya telah menghilang –lagi, yang terlihat hanyalah berbagai benda mati di dalam kamarku. Tubuhku merosot di atas lantai, aku bahkan kehilangan tenaga untuk sekedar berdiri. Kembali tanpa sadar dan tanpa kuinginkan, sebuah isakan keluar dari mulutku. Kutenggelamkan wajahku diantara kedua kakiku yang kutekuk untuk meredam suara isakanku agar tak terdengar jelas keluar kamar.

Hari ini hari ulang tahunku. Dan tak ada ucapan selamat ulang tahun darinya, bahkan meski hanya sekedar kabar tentangnya pun tak ada. Membuatku semakin merindukannya, membuatku semakin menjadikan bayangannya begitu nyata. Membuatku semakin menginginkan eksistensinya di sekitarku.

***

Please come back to me
I call out your name every night
And in my exhausted waiting, I wander arround and look for you

.
.

Aku sedang menunggu di bawah kanopi sebuah toko roti tak jauh dari taman kota. Mununggunya yang memintaku menemaninya ke perpustakaan umum untuk meminjam buku sastra. Ini sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya. Awan kelabu mulai menutupi hampir sebagian besar langit disertai angin yang cukup deras, membuatku merapatkan jaket yang kukenakan.

Sedikit menggerutu dalam hati atas sikapnya yang seenaknya menyuruhku dan datang terlambat tak juga membuat batang hidungnya nampak dalam pandanganku. Kulirik jam di pergelangan tanganku sudah yang menunjukkan pukul 14 lebih 25 menit. Masih cukup siang memang. Namun karena mendung membuatnya seolah sudah jam enam sore.

Beberapa orang berlalu lalang di sekitarku, beberapa diantara mereka mempercepat langkahnya namun tak sedikit juga yang masih berjalan perlahan meskipun tak lama lagi hujan deras pasti akan segera mengguyur kota. Dan benar saja. Tak lama hujan deras disertai petir mulai mendominasi kota dan membuat semua orang bergegas kembali ke rumah mereka. Terkecuali aku. Aku masih berdiri menunggunya, tak berniat beranjak sesentipun dari tempatku.

Pandangaku masih terus kuedarkan ke segala arah demi menemukan sosoknya. Kuharap ia segera datang karena hujan benar-benar sangat deras. Atau lebih baik ia menghubungiku saja dan membatalkan niatnya untuk ke perpustakaan.

Baru saja aku akan mengambil ponselku di dalam saku ketika aku melihat sekelebat bayangannya di seberang jalan sambil memegangi sebuah payung dan melambai ke arahku sambil tersenyum riang. Tsk, menyebalkan sekali. Wajahnya bahkan tak menunjukkan rasa bersalah karena telah membuatku lama menunggu.

Tanpa kuduga, ia langsung menyeberang jalan dan menerobos hujan dengan menggunakan payung untuk melindungi tubuhnya. Bunyi klakson mobil cukup nyaring dari arah kanan membuat jantungku seakan terlepas dan membuatku berteriak sekencang-kencangnya kala tubuhnya hampir bersinggungan dengan mobil audi hitam yang melaju dari arah kanan.

“AWAASS!!”

Dan dunia seolah berhenti berputar ketika tubuhnya terpental sekitar lima meter di tengah jalan. Aku bisa melihat dengan jelas darah segar merembes di atas aspal yang diguyur air hujan.

.
.

“Aaaarrgh”

Peluh mengucur deras di pelipisku, nafasku tersengal-sengal dan membuatku seketika terbangun dari tidurku. Mimpi buruk. Entah ada apa denganku karena beberapa hari terakhir ini aku terus bermimpi yang tidak mengenakkan tentangnya.

Aku terduduk dan mengucap istighfar berkali-kali. Lantas mengambil air mineral di atas meja nakas lalu menenggak isinya sampai habis. Aku masih berusaha mengatur nafasku yang  tak beraturan. Jantungku bahkan berdentam terlalu cepat dan rasanya membuatku sedikit kesulitan bernafas.

Jarum pendek jam dinding di dekat pintu kamarku menunjuk angka tiga dan jarum panjang di angka satu. Pukul tiga lewat lima menit. Kutarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan cukup pelan. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi untuk berwudu dan melaksanakan sholat tahajud.

Usai sholat aku membaca dzikir dan istighfar. Aku berharap mimpi burukku ini tak ada artinya apa-apa. Sambil terus mengucap istighfar air mataku lagi dan lagi mengalir bahkan semakin deras seiring jiwaku yang merasuk ke dalam lantunan kalimat “Ataghfirullah wa atubu ilaih”. Betapa banyaknya dosa yang sudah kulakukan. Betapa banyaknya waktu yang kuhabiskan hanya untuk mengenang memori dengannya ketimbang mengingat Tuhanku, betapa banyaknya waktu yang kuhabiskan hanya untuk mengenang masa lalu, betapa banyaknya hari-hari suramku yang terjadi karena kesalahanku sendiri.

Seharusnya aku tak seperti ini. Seharusnya aku lebih menghargai hidupku. Seharusnya aku bisa berlaku positif dengan merubah diriku menjadi lebih baik lagi sambil menunggunya.

Kami hanya terpisah jarak. Aku yakin ia akan kembali. Dan jika ia tak kembali, aku yakin Tuhan akan mengirim yang lebih baik darinya untukku meskipun tak bisa kupungkiri kalau sosoknya takkan bisa tergantikan oleh siapapun.

Kembali sebuah do’a menjadi penutup sholat tahajudku malam ini. Sebuah do’a yang aku khususkan untuknya di sana, di manapun ia berada.

“Ya Allah Ya Rabb, Tuhanku, Tuhan semesta alam. Laa ilaha ilallah, Muahammadan Rasulullah. Astagfirullah, astagfirullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba, dosa kedua orang tua hamba, dosa saudara-saudara hamba, dosa sahabat-sahabat hamba, dosa para mujahid, dan seluruh umat muslim di dunia. Ya Allah, hamba tahu hamba lemah, kepada siapa lagi hamba memohon pertolongan selain pada-Mu ya Allah. Perasaan ini bukanlah sekedar rindu biasa. Perasaan ini telah menggerogoti seluruh pikiran bahkan jiwa hamba, hamba terlalu larut dalam eksistensi masa lalu.

Jika perasaan ini adalah salah, tolong hapuskanlah segala rindu ini. Biarlah ia mengalir apa adanya tanpa harus membuat rasa sakit di hari-hari hamba. Biarkan hamba bisa lebih sering mengingat-Mu dan beribadah pada-Mu dengan lebih baik lagi. Mengenalnya adalah anugerah, dan mencintainya adalah rahmat-Mu. Namun cinta hamba pada-Mu jauh lebih besar dari pada cinta hamba padanya. Ya Allah, tolong jagalah ia di sana, sehatkanlah selalu dirinya, jangan buat ia tersakiti. Lancarknalah segala urusannya, dan hamba mohon pertemukanlah kami kembali jika Engkau menakdirkan kami bersama.

Ya Allah, bantu hamba menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi anak yang berguna untuk orang tua hamba, menjadi sosok yang bisa menegakkan agama-Mu dan berjihad di jalan-Mu. Ya Allah hamba mohon sekali lagi, hamba tak bisa menghapus bayang-bayangnya dari benak hamba, memori tentangnya masih terlalu kuat di benak hamba. Hamba terlalu sakit setiap mengenangnya. Hamba tidak ingin menghapusnya dari benak hamba, tapi hamba ingin tetap mengenangnya namun dengan intensitas yang tak sesering dulu lagi.

Ya Allah, hamba hanya berharap yang terbaik untuknya. Jika memang hamba adalah yang terbaik yang bisa mendampinginya, tolong buatlah ia memang menjadi milik hamba. Namun jika hamba tidak cukup baik untuk berada di sisinya tolong kirimkanlah seseorang yang lebih baik dari pada hamba untuknya. Ya Allah ampunilah hamba, dosa-dosa hamba yang lalu, saat ini dan di masa yang akan datang.

Wasalallahu ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi washahbihi wasallam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamiin”

Kuhapus air mataku. Kuharap setelah ini aku tak lagi menjadikan masa lalu sebagai kehidupanku. Ia akan tetap terus di memoriku dan takkan kulupakan. Ia akan menjadi motivasiku untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan takkan membiarkan segala memori tentangnya merangsek masuk ke dalam benakku dengan membabi buta.

Kutatap fotoku bersama dirinya di atas meja belajarku, foto yang selalu menghubungkanku dengannya. Dan kali ini setitik air mata mengalir dari sudut mataku. Kali ini bukan air mata karena kesedihan seperti biasa, namun air mata bahagia karena aku pernah mengenalnya. Dan karena aku... akan tetap menunggunya.

.
.

My love, my tears, our memories
Drop by drop, they are falling against my chest
Though I cry and I cry, the memories won’t erase
And again today, I drench my empty heart

***
.
.

FIN
***

Terima kasih yang sudah membaca^^
Maaf kalo ceritanya jelek banget karena ini semacam curahan hati saya dan sekitar 35% adalah kisah nyata saya, hehe...
Saya masih belajar menulis, jadi jika kalimat yang saya gunakan masih sederhana dan feel-nya belom dapet, saya akan mencoba membuatnya jadi lebih baik lagi.
Sekali lagi terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita iniJJ
Pai-pai /elap ingus/

(Fanfiction) No Other



No Other
.
.
.

Inspired By:
Super Junior – No Other

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast:
Yesung a.k.a Kim Jongwoon (Super Junior)
Choi Jirin (OC)

Genre: Sad Romance

Rating: PG-13

Lenght: Ficlet

Disclaimer:
This story is belong to me, don’t claim it as yours, and No Bashing!!

Warning:
Alur ngebut, jalan cerita aneh, typo, OOC, dll
.
(Ini ceritanya sudah saya bikin lamaaaa banget dan saya juga lupa pernah bikin cerita beginian setelah bongkar-bongkar folder draft, ternyata ada satu fanfiction yang lumayan untuk dibaca... Jadi aku posting aja deh dari pada mubazir :p jalan ceritanya juga masih standar dan masih ke-Korean-Korea-an... Happy reading ^^)

Summary:
“Kenapa mencintaimu begitu sesakit ini... Jongwoon-ah, jebal...” (Jirin)
“Aku namja paling bodoh di dunia. Kaulah tempatku seharusnya berada, bukan yang lain..”
(Jongwoon)

<3<3<3

Tempat itu cukup sepi untuk beberapa alasan. Pertama tentu saja ini sudah menjelang tengah malam. Kedua karna derasnya hujan yang mengguyur malam di pertengahan musim gugur ini. Ketiga, yah tempat ini memang merupakan gang kecil yang berada di ujung Distrik Gangnam, Seoul, Korea selatan.

Dengan langkah yang benar-benar dipaksakan pemuda itu menyeret tubuhnya menuju apartemen kecil yang berdiri kokoh di ujung gang. Tubuhnya linglung. Sesekali meringis menahan sakit di bahunya. Hujan yang turun tanpa ampun, membuat pemilik tubuh linglung itu mempercepat langkahnya.

<3<3<3

Sang penguasa cahaya mulai menyibakkan sinarnya. Membuat si penghuni kamar mengerjap-ngerjap untuk membiasakan cahaya yang masuk ke retina matanya.

“Eungh, jangan bergerak. Kumohon biarkan sebentar lagi seperti ini”, pemilik suara baritone di sampingnya menahan tubuhnya dengan tangannya yang melingkar erat di pinggang rampingnya dan mata yang masih terpejam erat.

Selalu seperti ini. Pria ini masuk ke kamarnya dan dengan seenak jidatnya tidur di sampingnya. Tidur? Ya, hanya tidur bersama di ranjang yang sama, tidak lebih.

“Jongwoon-ah, ireona palli. Aku akan terlambat ke kantor”, ucap gadis itu dengan sedikit berbisik. Dengan perlahan ia melepaskan tubuhnya dari dekapan pria di sampingnya.

Pria itu membuka matanya, “Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak?”, pria itu tersenyum begitu hangat, kemudian mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang di samping wanitanya. Wanitanya? Entahlah. Dia sendiri tidak mengerti hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua.

Gadis itu hanya tersenyum hambar, menatap lekat pada manik mata pria di sampingnya. Mata yang indah, tajam, dan teduh. Sungguh, ia begitu merindukan tatapan pria ini. Pria bernama Jongwoon. Pria yang sudah membawanya melayang tinggi, sangat tinggi. Kemudian menjatuhkannya hingga terhempas ke tempat terdalam, melebihi dalamnya Samudra Pasifik. Terdengar melankolis memang.

Gadis itu memperhatikan detail lekuk wajah Jongwoon, pahatan sempurna ciptaan Tuhan. “Kau berkelahi lagi?”, tanyanya sembari menyentuh pelan bekas luka yang terlihat jelas di wajah Jongwoon. Ekspresi gadis itu mengisyaratkan kekhawatiran yang sangat.

“Nan gwaenchana, setelah diobati juga sembuh. Kau cepatlah bersihkan dirimu, nanti terlambat”, Jongwoon kembali tersenyum. Gadis itu mengangguk lemah dan menit berikutnya ia sudah berada di kamar mandi besiap-siap menuju kantornya.

<3<3<3

Hari ini weekend. Tanpa dijelaskanpun kau tahulah ini hari di mana semua orang melepas penat di weekday mereka.

Seorang gadis bernama Choi Jirin berdiri dengan merentangkan tangannya di balkon apartemen sederhana yang sudah empat tahun terakhir ini ia tempati. Menikmati terpaan angin khas musim gugur yang menyapa permukaan kulitnya.

Pikirannya kembali ke masa lalu, di mana ia masih merasakan bagaimana itu hidup. Bagaimana ia masih bisa merasakan apa itu cinta, kepada pria bernama Jongwoon tentunya. Kim Jongwoon. Tidak adakah pria lain selain Jongwoon? Kenapa harus Jongwoon? Ya, pria itulah yang membuat Jirin menjejakkan kakinya pertama kali dalam dunia yang disebut cinta. Cinta pertama mungkin. 

Mereka berdua adalah sepasang sahabat sejak pertemuan pertama mereka di hari pertama orientasi kampus. Apa tidak salah dengan menyebut sepasang sahabat? Tentu tidak. Semua orang menyebut mereka ‘pasangan serasi’. Namun kata ‘SAHABAT’ tidak pernah terlepas dari ikatan di antara mereka. Jadi tidak salah kan dengan menyebut ‘pasangan sahabat’.

Aneh memang. Mereka tinggal di apartemen yang sama, namun berbeda kamar. Tapi mereka akan lebih sering terlihat tidur di tempat tidur yang sama. Oh ayolah, jangan pikirkan hal yang buruk. Jongwoon memang pria. Tapi siapa sangka di balik tubuh atletisnya tersimpan ketakutan-tidur-sendiri di kamarnya. Entahlah apakah itu hanya akal-akalan Jongwoon agar dapat terus bersama Jirin atau memang itu kenyataannya.

Jirin masih setia merentangkan tangannya, matanya belum ada tanda-tanda akan terbuka barang sedetik.

“Kau tidak masuk? Udaranya semakin dingin, aku tidak mau kau sakit  Rin-ah”, pria itu, Jongwoon. Memeluk erat tubuh Jirin dari belakang, menghirup dalam aroma tubuh Jirin –aroma yang selalu dirindukannya- tiap saat. Jirin tak menyahut. Posisi tubuhnya masih sama. “Rin-ah, maaf”, ucap Jongwoon lagi. Terdengar nada penyesalan yang sangat kentara di pendengaran Jirin.

Jongwoon mempererat pelukannya,  memberi kehangatan pada wanitanya. Cukup lama mereka mempertahankan posisi tersebut, tanpa suara. Hanya deburan nafas dan detak jantung mereka yang mendominasi situasi saat ini.

Jongwoon dan Jirin sadar betul mereka saling mencintai, mereka saling membutuhkan. Tidak ada seorangpun yang Jirin miliki selain Jongwoon. Begitupun Jongwoon. Mereka berdua terlahir yatim piatu. Yah, terdengar sungguh kebetulan bukan? Tapi bukankah tidak ada ‘kebetulan’ dalam hidup ini? Semuanya berjalan sesuai rencana Tuhan.

Tapi apakah Tuhan juga yang merencanakan mereka hidup bersama tanpa ikatan, hanya sahabat. Jirin tidak pernah melupakan saat itu. Saat ia tahu Jongwoon telah memiliki kekasih. Yah, sakit tentu saja. Apa kata sakit itu terlalu biasa? Kau tidak tahu dalamnya kata ‘sakit’ itu jika kau tidak merasakannya sendiri.

“Woon-ah, apa kau tidak lelah? Berhentilah pulang larut dan jangan berkelahi lagi, kumohon demi aku”, Jirin berbalik, menatap lekat wajah tampan Jongwoon. Jongwoon balas menatap Jirin. Ia pandangi  tiap sudut wajah Jirin. Jirin semakin cantik jika dibandingkan dengan saat di kampus dulu. Hanya saja pipinya lebih tirus sekarang, lingkaran hitam di bawah matanya sangat kontras dengan kulitnya yang putih.

Jongwoon memeluk pinggang Jirin, mempersempit jarak di antara mereka. Jongwoon ingat betul sat ia dengan bodohnya menyia-nyiakan cinta dari wanita di hadapannya, wanita yang juga sangat jelas ia cintai.

“Kenapa kau lakukan ini Woon-ah? Kau tahu hal ini hanya akan menyakiti kita berdua”. Sungguh, siapapun yang mendengar penuturan gadis ini akan merasakan perih yang gadis ini alami.

“Aku bodoh Rin-ah, aku bodoh. Namja pabbo, jeongmal paboya”, jawab Jongwoon tak kalah pilunya tepat di hadapan wajah Jirin. Jirin merasakan hangatnya nafas Jongwoon yang menerpa wajahnya.

Jongwoon menjadi pria bejat yang suka pulang larut, -juga berkelahi- saat wanita di hadapannya ini dengan gamblangnya menyatakan ingin pergi dari hidup Jongwoon. Jongwoon sadar ini karena ulahnya. Demi Tuhan Jongwoon tidak memiliki kekuatan walau sekedar bernafas tanpa Jirin. Jongwoon yang tahu Jirin juga mencintainya, namun dengan ego-nya yang tinggi ia mencari gadis lain dengan alasan mencari yang lebih pantas, yang lebih cocok, yang lebih baik, yang lebih dari segala lebih dari seorang Jirin. Namun ia tidak sadar tak akan ada siapapun gadis yang mampu menyamai Jirin, bahkan melebihi gadis itu.

“Jongwoon-ah, seharusnya sejak lulus kuliah aku tidak menerima ajakanmu membeli apartemen bersama. Seharusnya setelah lulus kuliah aku mencari pekerjaan jauh dari sini, mungkin di Apgujeong. Seharusnya aku sadar kita tidak ditakdirkan bersama, kita ber..hmmpt”, tidak ingin mendengar apapun dari wanita di hadapannya Jongwoon membungkam gadis itu dengan bibirnya. Bibir mereka hanya bersentuhan, tanpa nafsu. Jirin hanya diam tanpa perlawanan.

“Aku akan memperjelas semuanya...”, Jongwoon melepaskan tautan bibir mereka.

“Aku seorang pria yang berkelana seorang diri di dunia penuh fatamorgana ini. Saat aku benar-benar lelah, aku menemukan tempat beristirahat yang nyaman. Sangat nyaman malah. Namun setan mempengaruhiku agar mencari tempat yang lebih nyaman di luar sana. Aku memang menemukannya, tapi tempat itu tidaklah senyaman tempat awal. Aku terus mencari dan mencari tempat lain..”.

“Tak terasa sudah sangat lama aku pergi menelusuri berbagai tempat yang sekiranya dapat memberiku kenyamanan seperti tempat pertama aku beristirahat. Tapi aku tak kunjung menemukan kenyamanan itu. Aku benar-benar muak. Aku tidak tahu, apakah aku harus kembali ke tempat awal atau tidak. Aku yang sudah teramat lelah, tak dapat megendalikan diriku...”, Jongwoon berhenti demi mengisi kekosongan paru-parunya.

“...Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat awal. Tempat awal itu, tak kehilangan pesonanya. Aku bahkan semakin nyaman di sana”, Jongwoon menahan sakit di hatinya akibat perbuatannya sendiri. “Kau tahu, kenapa dulu aku memilih apartemen di ujung gang ini? Itu hanya karna aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu Rin-ah”, Jongwoon menggigit bibir bawahnya berusaha menahan agar cairan bening itu tidak lolos begitu saja dan meruntuhkan pertahanannya.

“Maafkan aku yang sudah mengecewakanmu. Aku, aku ingin memperjelas semuanya Rin-ah. Kaulah rumahku, tempat di mana aku merasa nyaman. Tempat di mana seharusnya aku berada. Tempat di mana aku berbagi suka dan duka, tempat aku menghabiskan sisa hidupku.. kemanapun aku mencari, tidak akan ada wanita sepertimu. Kau mungkin bukan wanita sempurna, tapi kau yang terbaik yang Tuhan berikan padaku, tidak ada yang lain”.

Tangan Jirin bergerak menyentuh wajah pria di hadapannya. Menghapus jejak air mata yang membentuk sungai kecil di wajah lelakinya. Lelakinya? Benarkah? Sudah seresmi itukah  hubungan mereka? Oh ayolah, jangan meperumit keadaan.

Jongwoon memeluk Jirin erat. Sangat erat. Seolah takut wanitanya akan pergi. Jirinpun hanya mampu membalas pelukan Jongwoon, mengusap pelan punggung pria itu. Jongwoon menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Jirin. Kini leher Jirin terasa basah. Ya, Jongwoon menangis. Pria yang terlihat tangguh itu ternyata begitu rapuh, pria itu juga perlu kekuatan.

<3<3<3

Jalan raya yang padat akan keramaian sungguh terdengar jelas di gang kecil ini. Tak mengusik kegiatan dua orang yang masih asik di balkon apartemen sederhana itu.

Musim gugur, musim yang difilosofikan gugurnya kesedihan dan kesengsaraan umat manusia yang akan segera berganti dengan kebahagiaan yang akan tumbuh perlahan di musim  semi mendatang.

“Woon-ah..”, ucap Jirin sekua tenaga.

“Ne Rin-ah, waeyo?”’

“A, ak ak aku, aku tidak bisa bernafas”.

Jongwoon segera melepas pelukannya, namun tak melepas tangannya dari pinggang Jirin. Jongwoon menatap lekat wajah wanitanya. Mata Jirin yang beberapa saat lalu redup itu kini kembali menampakkan binarnya.

<3<3<3

There’s no one like you
Even if I look around it’s just like that
Where else to look for?
A good person like you
A good person like you, with a good heart like you
A  gift as great as you...
Where else to look for?
(Super Junior -  No Other)

Sungguh Maha Suci Tuhan yang telah memberikan anugerah berupa ‘cinta’ kepada hamba-Nya. Cinta yang tulus tak perlu diucapkan dengan kata “SARANGHAE”, melainkan bagaimana kau menjaga tanpa menyakiti sang “cinta” yang telah Tuhan berikan padamu.

<3<3<3

Jantung merupakan organ vital. Ia akan terus berdetak hingga nafas terakhir, bahkan kadang ia akan berdetak tak terkendali. Itulah yang saat ini dirasakan Jongwoon dan Jirin.

Jongwoon makin menarik pinggang wanitanya, memangkas jarak di antara mereka. Tangannya menarik tengkuk Jirin dengan sangat pelan, menyatukan bibir mereka dengan lembut dan sangat hati-hati seolah Jirin akan hancur. Entah setan dari mana, tangan Jirin kini melingkar sempurna di leher Jongwoon dengan mata yang terpejam sempurna menikmati perlakuan Jongwoon di bibirnya. Ciuman manis yang mencurahkan segala rasa yang selama ini membuncah. Seakan ingin menjelaskan segala perasaan mereka melalui ciuman itu. Bibir yang terasa asin karna air mata keduanya kini terasa manis semanis cinta yang baru saja mereka bangun.

Terima kasih untuk Cupid yang telah menancapkan panahnya dengan sempurna pada sepasang insan di musim gugur ini. Sepasang insan yang memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama.

.
.
Fin

Yehet :D:D
Ternyata dulu aku sudah nulis-nulis beginian toh... Hahahaa....
Terima kasih yang sudah membaca J