Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Sabtu, 29 November 2014

(Fanfiction) Amnesia



AMNESIA

.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.

Inspired By:
5 Seconds Of Summer – Amnesia

.

Cast:
Super Junior’s Yesung a.k.a Kim Jongwoon
OC’s Jirin

.
.

---###---

Jongwoon tak pernah menyangka takdir akan berbalik dan memperoloknya seperti ini. Ia dan Jirin baik-baik saja. Yeah baik-baik saja sebelum Jirin memutuskan untuk pergi dari rumah mereka. Rumah tempat mereka bernaung setelah hampir tiga tahun pernikahan mereka.

Jalanan cukup lengang siang ini saat Jongwoon membawa mobilnya di sekitar taman di mana mereka dulu sering menghabiskan waktu bersama. Memang ini musim gugur dan udara terlalu dingin di luar, dan mungkin itu salah satu alasan mengapa tempat itu cukup lengang.

Usai memarkirkan mobilnya, Jongwoon berjalan perlahan menyusuri jalan kecil di samping taman yang dipenuhi dedaunan kering yang gugur dari dahannya. Dedaunan kering dan coklat yang menggambarkan bagaimana kondisi Jongwoon saat ini.

Rapuh.

Jongwoon lantas duduk di sebuah bangku panjang di pinggir taman di bawah pohon maple. Udara semakin dingin membuatnya mengeratkan mantel yang ia pakai. Memang saat ini belumlah memasuki musim dingin, namun entah mengapa musim gugur tahun ini bagi Jongwoon lebih dingin dibandingkan musim gugur tahun-tahun sebelumnya.

“Oppa, coba lihat kucing kecil ini. Lucu sekali kan? Kasihan sekali dia sendirian di tempat ini. Apa aku boleh membawanya pulang?” Jirin menunjukkan puppy eyes-nya pada Jongwoon berharap pria itu luluh dengan tatapannya.

Jongwoon tersenyum kecil seraya mengelus kucing orange yang berada di pangkuan Jirin. Istrinya itu memang sangat menyukai kucing namun elergi dengan bulunya. “Hey, kau kan alergi. Lagipula, kau tidak lihat kalung di lehernya itu? Sepertinya ini kucing peliharaan yang hilang, dan kurasa pemiliknya saat ini pasti sedang mencarinya.”

Jirin menggembungkan kedua pipinya, “Tapi Oppa-”

“Heebum! Akhirnya aku menemukanmu...!” seorang pria yang sepertinya masih SMA-terlihat dari seragamnya- berlari menghampiri Jirin dan segera memeluk kucing orange di pangkuan gadis itu.

“Kucingmu?” tanya Jongwoon.

“Iya. Ia menghilang tadi malam, tapi akhirnya aku menemukannya. Terima kasih ya Ahjussi dan Ahjumma sudah menemukannya. Aku pamit dulu...” pria pemilik kucing itu segera berbalik dengan menggendong kucingnya.

“Tunggu dulu,” seru Jirin membuat pria tadi menghentikan langkahnya dan kembali berbalik menatap mereka berdua. “Siapa namamu?”

“Aku? Namaku Heechul, dan kucingku ini namanya Heebum. Kenapa Ahjumma?”

“Oh, pantas saja dikalung kucing itu ada bandul dengan huruf H. Baiklah, hati-hati di jalan ya.. jaga kucingmu baik-baik,” Jirin melambaikan tangannya dengan riang pada anak SMA bernama Heechul itu. Heechul lantas berbalik setelah sebelumnya membungkuk memberi salam pada Jirin dan Jongwoon.

“Tssk, anak SMA tak tahu diri. Memangnya wajahku terlalu tua sampai-sampai ia memanggilku dengan sebutan ahjussi,” Jongwoon memanyunkan bibirnya dan kemudian bersandar di bahu Jirin dengan manja.

“Haha... Oppa kan memang sudah tua. Yah setidaknya lebih tua dari anak itu. Aku saja yang dipanggil ahjumma tak mempermasalahkannya,” ucap Jirin lembut seraya mengusap pelan rambut Jongwoon.

“Tapi kan dia bisa memanggil kita hyung dan noona...” rengek Jongwoon.

“Ckk, Oppa ini manja sekali,” Jirin terkekeh karena suaminya itu memang terkadang seperti anak kecil jika sedang bersamanya.

“Kkoming! Hey, jangan lari... Kkoming berhenti!” seru anak kecil yang sedang berlari mengejar anjingnya.

Jongwoon mengerjapkan matanya mendengar suara anak kecil itu, dan pandangannya ia edarkan ke segala arah karena tak lagi menemukan eksistensi Jirin di dekatnya. Lantas pria itu menghembuskan nafas dalam dan berdiri meninggalkan kursi taman itu. Tempat dimana ia dan Jirin sering menghabiskan waktu bersama.

.
Sometimes I start to wonder,
Was it just a lie?
If what we had was real,
How could you be fine?
‘Cause I’m not fine at all

---###---

Tak biasanya Jongwoon bangun sepagi ini. Biasanya ia akan bangun disaat matahari mulai menampakkan dirinya. Namun ini masih fajar saat netranya sudah terbuka dan maniknya pertama kali menangkap bayangan Jirin yang masih tertidur di sampingnya.

“Jirin, bangun...”

“Eung,” Jirin menggumam pelan dengan kelopaknya yang tak menampakkan tanda-tanda akan terbuka.

“Sayang, bangun... Hey, tak biasanya kau bangun lebih lambat dari suamimu ini,” Jongwoon menyenggol pelan lengan Jirin. Jirin tidur menyamping dengan tubuhnya yang menghadap Jongwoon.

Perlahan kedua kelopak Jirin terbuka meskipun terlihat jelas gadis itu enggan membuka matanya. “Oppa... Ini kan masih pagi, hoaahm,” Jirin bangkit dan duduk dengan rambutnya yang acak-acakan.

“Kau lupa kalau hari ini kita akan pergi ke Busan menjenguk orangtuamu hmm?” Jongwoon dengan lembut merapikan rambut Jirin yang berantakan seperti rambut singa.

Kedua mata Jirin seketika melebar. “Ah, iya Oppa aku lupa... Ayo kita cepat bersihkan diri supaya tidak terlalu siang sampai di Busan...” Jirin berniat turun dari ranjang sebelum akhirnya tangan Jongwoon menghentikannya dan membuatnya menatap heran pada suaminya. “Kenapa Oppa?”

“Morning kiss....” Jongwoon menunjukkan cengiran khasnya dan wajah innocent face yang selalu membuat Jirin gemas.

“Aigoo, Oppaku manja sekali,” Jirin mengelus puncak kepala Jongwoon seraya memberikan kecupan singkat pada bibir Jongwoon.

“Hmm.. Kenapa sebentar  sekali? Lagi...” rengek Jongwoon kemudian yang membuat Jirin memutar bola matanya malas.

“Sudah Oppa, nant- hmmmp,” tanpa aba-aba Jongwoon langsung menyambar bibir merah muda Jirin. Pria itu memberikan kecupan bertubi-tubi di bibir istrinya membuat istrinya itu berontak.

Namun tenaga Jirin tak cukup kuat untuk melawan lengan kekar Jongwoon yang menahan tubuhnya, hingga akhirnya Jirin hanya bisa pasrah pagi ini Jongwoon memciumi bibirnya habis-habisan.

Kriiiing.... kriiiing...

Alarm jam weker di atas nakas berdering nyaring membuat Jongwoon berusaha mati-matian menahan rasa terkejutnya. Netranya lantas mencari ke seluruh ruangan kamar sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Oh ayolah, Jongwoon ingin menangis lagi rasanya sekarang. Jirin tak ada, Jirin tak lagi tidur bersamanya. Jirin tak lagi memenuhi paginya seperti tiga tahun belakangan.

Jongwoon bangkit dari atas ranjang dan segera melesat menuju kamar mandi. Wajah pria itu sudah sangat kacau, bahkan melebihi tali layang-layang yang kusut.

.
I wish that I could wake up with amnesia
And forget about stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never escape

---###---

Cafe itu cukup lengang sehingga Jongwoon tak perlu berdesakan di dalamnya demi mengantri secangkir espresso. Pria itu kemudian memilih bangku di ujung cafe di dekat jendela kaca yang membuatnya dengan mudah melihat jalanan di luar cafe.

Jongwoon mengeluarkan cincin pernikahannya yang sudah tiga bulan terakhir ini tak lagi ia kenakan dari dalam saku celana sejak Jirin meninggalkannya tiga setengah bulan yang lalu. Sampai detik ini-pun Jongwoon masih belum bisa memahami alasan Jirin yang pergi begitu saja dari rumah mereka.

Saat itu Jirin bilang ia sudah muak dengan Jongwoon yang selalu sibuk bekerja sehingga mereka tak memiliki waktu yang banyak untuk bersama. Jirin juga bilang kalau ia merasa sudah tak ada lagi kecocokan antara dirinya dan Jongwoon.

Jongwoon sungguh tak mengerti. Ia memang sibuk bekerja dari Senin hingga Jum’at. Namun ia selalu memiliki waktu bersama Jirin di setiap akhir pekan. Tak jarang Jongwoon mengajak Jirin untuk pergi berlibur keluar kota saat akhir pekan tiba. Jongwoon tak mengerti, sungguh.

Jongwoon juga tak habis pikir saat Jirin mengatakan kalau mereka sudah tak ada lagi kecocokan. Demi apapun rasanya terlalu aneh dan terlalu janggal bagi otak Jongwoon. Memangnya apa yang membuat mereka tak lagi cocok? Apa selama ini Jongwoon membuat Jirin tak nyaman?

Jongwoon lagi-lagi menghela nafas dalam, setelah pelayan cafe membawakan secangkir espresso pesanan Jongwoon. Hingga  setelah pelayan cafe tersebut berlalu dari hadapannya, Jongwoon kembali memasukkan cincin yang ia pegang ke dalam saku celananya.

Hyung, sudah lama menungguku?” pria dengan kacamata berbingkai hitam menarik kursi di samping Jongwoon.

Jongwoon memaksakan sebuah senyum menyambut pria yang lebih muda tiga tahun darinya itu. Pria itu adalah teman semasa kuliah Jirin sekaligus tetangga Jirin saat Jirin masih tinggal bersama orangtuanya di Busan.

“Tidak, baru saja. Kau mau pesan apa?”

“Tidak usah Hyung, aku tak bisa lama-lama. Ada urusan yang harus aku selesaikan di Apgujeong...”

“Maaf, kalau sudah merepotkanmu datang kemari,” Jongwoon menatap tak enak pada pria itu.

“Haish, apa yang kau katakan Hyung, kau itu sudah aku anggap kakak kandungku. Jadi, katakan saja ada apa?”

“Begini, Ryewook-ah... Mengenai istriku Jirin, maksudku, mantan istriku... Apa kau tahu bagaimana keadaannya sekarang?”

Pria bernama Ryewook itu menatap sedikit iba pada Jongwoon. “Kau sama sekali tidak tahu bagaimana kabarnya Hyung?”

Jongwoon menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Ryewook barusan. “Ia mengganti nomor ponselnya setelah menandatangani surat perceraian, dan orangtuanya di Busan-pun tak mau memberitahukan mengenai keberadaan Jirin saat ini. Aku frustasi karena tak bisa menemukannya, karena ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya.”

Ryewook menghela nafas singkat, lantas menatap Jongwoon yang sepertinya sudah tak memiliki tenaga untuk hidup. “Hyung, kau jangan terkejut ya setelah mendengar apa yang kukatakan. Jirin... sebenarnya ia sudah memulai hidup baru di Mokpo. Di sana, ia menikah dengan pria pemilik toko souvenir. Ia baik-baik saja. Bahkan seminggu yang lalu saat aku berkunjung ke sana, ia tampaknya bahagia sekali bersama suaminya.”

Air muka Jongwoon berubah terkejut, bahkan pria itu tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. “Di, dia... Dia sudah menikah? Di Mokpo? Dengan pria Mokpo? Katakan Wookie, kau bohong kan?”

“Aku tak bohong Hyung. Aku bahkan datang ke pesta pernikahan mereka dua bulan yang lalu. Ia... sudah bahagia bersama suaminya di sana,” ucap Ryewook pelan karena tak enak hati dengan Jongwoon. Ryewook tahu, Jongwoon pasti sangat terpukul karena ia tahu Jongwoon sangat mencintai Jirin.

Hyung, gwanchana?”

Jongwoon kembali menggeleng. “Tidak. Aku tidak baik-baik saja Ryewook-ah... Rasanya aku ingin mati saja. Atau kalau aku hidup, lebih baik aku hilang ingatan agar aku bisa melupakan semuanya. Lebih baik aku amnesia sehingga tak mengingat satupun mengenai Jirin.”

Hyung...” panggil Ryewook pelan.

“Ryewook-ah, terima kasih atas infomu. Maaf sudah merepotkanmu datang kemari, aku pergi dulu. Oh ya, ini espresso yang tadi kupesan belum kuminum kau habiskan saja. Aku pergi dulu,” Jongwoon segera bangkit dan berjalan dengan terburu-buru keluar cafe.

Jongwoon berlari sekuat yang ia bisa. Pria itu tak bisa lagi menahan air mata yang sudah lama ia tahan, hingga air mata pria itupun tumpah seraya tungkainya terus berlari menuju Sungai Han. Karena di sana, Jongwoon bisa berteriak sekuat yang ia bisa demi meluapkan segela sesak di hatinya.

.
It hurts to know you’re happy
It hurts that you’ve moved on
It’s hard to hear your name when I haven’t seen you in so long
It’s like we never happened, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?
‘Cause I’m not fine at all

---###---

Sungai Han yang cukup sepi disenja hari, ditemani kicauan burung-burung yang berterbangan di sekitar sungai serta gemerlap lampu kota Seoul membuatnya terlihat begitu cantik. Di tepi sungai, Jongwoon duduk seraya melempari bebatuan kecil di sekitarnya ke dalam sungai.

Pria itu sudah duduk di sana sejak tadi siang ia bertemu Ryewook di cafe. Jongwoon sudah kehilangan suaranya karena sejak tadi ia terus berteriak menyerukan nama Jirin berharap wanita itu mendengar suaranya. Jongwoon terus berteriak seperti orang kesetanan di pinggir sungai, tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya dengan heran, karena toh orang-orang itu tak tahu apa yang terjadi pada hidup Jongwoon.

Jingga sudah bersilih dengan hitam kala malam sudah menyapa langit Seoul. Jongwoon tak juga bergerak sedikitpun dari duduknya sembari netranya menatap Sungai Han dengan pandangan kosong. Lantas setelah cukup lama pria itu diam dalam geming, Jongwoon mengeluarkan cincin pernikahannya dan menatap benda berbentuk lingkaran itu lamat-lamat.

“Jika memang ini yang terbaik, hiduplah dengan baik di sana. Aku juga akan hidup dengan baik di sini... Mulai detik ini, aku menganggap diriku amnesia. Aku tak lagi mengingat tentang kau, tentang pertemuan kita, tentang kebersamaan kita, tentang pernikahan kita, tentang kehidupan rumah tangga kita, dan apapun tentangmu. Anggap saja aku tak pernah mengenal wanita secantikmu, Jirin,” Jongwoon bermonolog seraya menatap lekat pada cincin yang terbuat dari emas putih dengan ukiran J&J di tengahnya.

Jongwoon mengecup sekilas cincin pernikahannya tersebut, kemudian ia bangkit berdiri seraya melempar cincin itu ke dalam sungai sekuat tenaga.

“Jirin! Mulai detik ini aku melupakanmu!!!! Jirin.....!” Jongwoon kembali berteriak meskipun tenggorokannya sudah sakit, seraya kembali menahan air matanya.

.
‘Cause I’m not fine at all
No, I’m really not fine at all
Tell me this is just a dream
‘Cause I’m not fine at all

.
.
FIN

---###---

Yesung Oppa.... Mianhe, aku bikin Oppa jadi orang menderita begitu, wkwkwkwkk...
Ini karena Oppa yang makin tua makin imut, aku jadi kebayang mulu muka Oppa..
Any way, Oppa.. Clouds still waiting for you... Oppa, masih beberapa bulan lagi sebelum Oppa selesai Wajib Militer dan balik lagi nyanyi bareng Super Junior...
Oppa fighting....
Buat readers-ddeul, gomawo udah baca ^^
Pai-pai JJ


Sabtu, 15 November 2014

(Cerpen) The Past - Future



The Past – Future
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.

Slight! Fluff, Friendship, Fantasy, Typo...

.
.

Warning: NC-17... Yang masih dibawah umur dilarang membacanya, dan yang sudah cukup umur jangan terlalu menghayatinya saat membaca :p And please use your high imagination ^^
P.s.: Kissing scene... don’t like, don’t read it.. and don’t bash me...

.
.

***

Percayakah kau jika kehidupan masa lalu dan masa depan semuanya saling berhubungan satu sama lain? Percayakah kau jika apa yang terjadi di masa lalu juga  terjadi di masa yang akan datang?

Percaya saja. Karena hal itu benar-benar terjadi. Yah, setidaknya benar-benar terjadi pada dua orang yang sudah saling mengenal selama lebih dari setengah usia mereka. Sepasang sahabat di masa lalu dan di masa depan yang memiliki takdir sama, serta kisah hidup yang hampir serupa pula.

Darwin dan Umairoh.

Kisah tahun 1704 dan tahun 2014.

Dengan jarak waktu tiga abad lamanya, serta suasana yang berbeda pula.

Kisah di mana masa lalu dan masa depan berjalan beriringan namun saling terkait satu sama lainnya.

Dan kisah mereka pun dimulai...

***

Aku mengenal Darwin sejak usiaku tujuh tahun, dan itu artinya aku sudah mengenalnya selama tiga belas tahun karena usiaku sekarang sudah menginjak dua puluh tahun. Ia pria luar biasa yang pernah aku kenal. Ia berbeda dari pria kebanyakan, dan aku sangat beruntung bisa menjadi sahabatnya ^^ (Umairoh, 1704)
.
.

Aku mengenal gadis itu saat usiaku masih tujuh tahun. Saat itu aku bertemu dengannya ketika ia bersama ayahnya memenangkan kompetisi memanah untuk memperingati Pesta Panen di desaku. Ia gadis yang berbeda dengan gadis kebanyakan, dan aku merasa sangat beruntung bisa menjadi sahabatnya J (Darwin, 1704)
.
.

Mengenal makhluk menyebalkan kurasa merupakan kutukan untukku. Aku tak pernah menyangka takdir akan membawaku bertemu dengan makhluk yang terlampau menyebalkan hingga membuatku terkadang ingin mencakar wajahnya, Darwin. Pria aneh nan menyebalkan itu anehnya adalah sahabatku.. Hahaa (Umairoh, 2014)
.
.

Gadis pendek, norak, cerewet, emosional, bahkan banyak pernyataan yang buruk keluar dari mulutku jika itu menyangkut wanita bernama Umairoh. Aku juga tak mengerti kenapa takdir harus mempertemukanku dengannya, gadis aneh bahkan kau akan menganggapnya gadis kurang waras jika kau baru pertama kali bertemu dengannya. Tapi meskipun begitu ia tetaplah sahabat terbaikku, hahaa (Darwin, 2014)
.
.

***

1704

Semilir angin senja menerpa surai Darwin. Pria itu tengah duduk di taman azalea bersama Umairoh sembari menselonjorkan kakinya, menatap jingga di ufuk barat yang bersiap kembali ke peraduannya. Sedang Umairoh yang duduk di sampingnya juga turut menselonjorkan kakinya dengan kepalanya yang ia sandarkan pada bahu Darwin.

Menatap sang penguasa siang yang terbenam seolah menjadi rutinitas mereka setiap hari. Karena hanya pada saat senja itulah mereka bisa memiliki waktu kebersamaan yang cukup lebih lama. Darwin yang sejak pagi sampai sore mengurus ladangnya, sedang Umairoh yang sejak pagi-pagi sekali harus membantu ibunya membereskan rumah lantas disiang hari gadis itu harus membantu orang tuanya di sawah. Sehingga hanya pada saat senja inilah mereka bisa menghabiskan waktu sebelum kegelapan menyapa.

“Sepertinya kau sangat antusias dengan Pesta Panen tahun ini. Kenapa?” Umairoh yang lebih dulu memulai pembicaraan karena sejak puluhan menit yang mereka lalui tak ada sepatah katapun yang mereka ucapkan.

“Karena aku ingin memenangkan kompetisi memanah tahun ini. Aku ingin mengalahkan ayahmu. Yah, aku tahu ayahmu sejak dulu selalu menang dan aku ingin sekali mengalahkannya. Aku sudah berusaha keras untuk itu..”

Umairoh terkekeh pelan mendengar pernyataan Darwin yang terdengar cukup menggebu itu, “Benarkah? Apa kau yakin bisa mengalahkan ayahku yang tak terkalahkan disetiap kompetisi memanah selama belasan tahun?”

“Hmm, tentu saja. Aku-sangat-yakin..” Darwin mengelus pelan puncak kepala Umairoh.

“Baiklah, aku menunggu buktinya nanti. Kau janji ya harus menang.”

“Lalu kau akan memberikanku hadiah apa jika aku berhasil memenangkan kompetisi memanah tahun ini?” kali ini Darwin menatap dalam iris Umairoh yang membuat Umairoh turut balas menatap manik kelam milik Darwin.

Umairoh mengangkat kepalanya yang sejak tadi bersandar pada bahu Darwin, “Kau menginginkah hadiah apa?”

“Aku ingin kau memelukku erat-erat sejak pagi sampai sore jika aku berhasil memenangkan kompetisi itu, bagaimana?” tawar Darwin dengan binar yang tercetak jelas pada maniknya.

Umairoh memutar bola matanya malas. “Kalau begitu aku doakan supaya kau kalah,” dengus Umairoh sembari melempar pandangan di hadapan mereka di mana jingga semakin pekat pertanda malam akan datang tak lama lagi.

“Hahaa.. Akan kupastikan aku menang jadi kau harus memelukku sehari penuh, mengerti?”

“Hey, aku bahkan tak menyetujuinya,” Umairoh mencubit pelan lengan Darwin membuat tawa Darwin semakin nyaring, menambah semarak bunyi-bunyian senja disamping suara burung-burung yang berkicauan.

Keduanya kembali terdiam puluhan detik, membiarkan sejuknya semilir angin menerpa kulit mereka. Suasana desa mulai sepi karena penduduknya sudah banyak yang meninggalkan aktivitas mereka di luar rumah dan bersiap beristirahat di dalam rumah untuk beristirahat bersama keluarga mereka.

“Sudah hampir malam Win, ayo kita pulang,” Umairoh bangkit dari duduknya dan diikuti oleh Darwin.

Keduanya berjalan perlahan meninggalkan taman azalea menuju rumah mereka yang jaraknya lebih dari seratus meter dari taman tersebut. Keduanya menyusuri jalanan setapak dengan di kiri-kanan jalan dipenuhi tanaman milik warga.

“Aku iri denganmu Win. Kau pernah merasakan duduk di bangku sekolah, sedangkan aku tak pernah sama sekali,” lirih Umairoh ditengah perjalanan mereka.

“Kenapa kau iri? Bukankah aku sudah mengajarimu cara membaca dan berhitung? Kau bahkan lebih cepat belajar dibangdingkan yang aku bayangkan. Dan sekarang kau sudah pandai membaca kan?” Darwin menatap jalanan lurus di depan mereka sambil terkadang menendang bebatuan kecil yang menyapa kakinya.

“Tapi tetap saja rasanya tidak adil. Kaum pria diperbolehkan bersekolah, sedangkan kami wanita hanya bekerja di rumah.. Ah, rasanya aku ingin menjadi laki-laki saja.”

“Hey, kau tak boleh berbicara seperti itu. Kau harus bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan takdirkan untukmu,” Darwin menghentikan langkahnya ketika mereka berdua sampai di depan rumah Umairoh. “Yasudah kau masuk dulu. Besok kita bertemu lagi ya,” Darwin melambaikan tangannya pada Umairoh.

Umairoh menatap dalam manik Darwin. “Kau serius akan pergi berperang bulan depan?”

Darwin tersenyum hambar dan mengangguk lemah menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku harus pergi. Aku tidak ingin kita dijajah oleh orang-orang berkulit pucat itu... Nanti aku janji akan kembali.”

Umairoh menatap Darwin dengan sedih. Selama belasan tahun ia tumbuh bersama Darwin, tak pernah terpikirkan olehnya akan berpisah dengan pria itu. Terutama perang. Umairoh takut Darwin tidak kembali setelah pergi berperang.

“Sudahlah tak perlu risau. Masih ada waktu satu bulan sebelum aku pergi. Dan, eum besok kita akan belajar bersama, bagaimana? Besok sore selepas tengah hari kita bertemu di tempat biasa... Sekarang masuklah” Darwin tersenyum hangat meyakinkan Umairoh bahwa semua akan baik-baik saja.

Umairoh hanya mengangguk pelan sembari tungkainya membawa tubuhnya mulai memasuki pekarangan rumah. Sampai gadis itu benar-benar memasuki rumahnya barulah Darwin melangkah menuju rumahnya yang berjarak beberapa buah rumah dari rumah Umairoh.

***

2014

Menutup hari dengan beristirahat di padang dandelion setelah rutinitas yang menjemukan menjadi kebiasaan Darwin dan Umairoh. Keduanya tengah duduk dengan menselonjorkan kaki mereka di atas bunga-bunga kuning itu sembari menatap panorama langit di hadapan mereka. Jingga yang akan bersilih dengan hitam, dimana matahari kembali ke peraduannya digantikan dengan milyaran bintang yang menghiasi permadani langit.

“Kenapa kau tak ingin mengikuti pertandingan futsal antar kampus nanti Win?” kali ini Umairoh mulai mengeluarkan ponsel kesayangannya dan mengambil gambar dengan ponselnya itu untuk mengabadikan momen luar biasa di hadapan mereka.

“Sudah kubilang kan, aku ini tak suka bermain futsal Mer,” Darwin menopang tubuhnya dengan tangannya yang ia letakkan di sisi kanan dan kiri tubuhnya. “Hey, Umairohku yang jelek. Kau tak bosan mengambil foto sunset setiap hari huh?”

Umairoh yang sudah selesai mengambil foto yang ia rasa bagus langsung memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. “Tidak. Aku tidak bosan. Sunset itu berbeda-beda setiap harinya, tergantung bagaimana kau mengambil sudut gambarnya.”

“Ckk, menurutku sama saja. Oh iya, bagaimana dengan rencana kita waktu itu? Apa kau diijinkan orang tuamu?” Darwin menatap antusias pada Umairoh.

Umairoh menghela nafas panjang dan raut wajahnya tergambar sekali sangat kontras dengan beberapa menit yang lalu saat ia mengambil foto melalui ponselnya. “Kau seperti tak mengenal ayahku saja. Kau pasti sudah tahu jawabannya.”

“Apa perlu aku yang meminta ijin pada ayahmu agar kau diijinkan? Ini kesempatan bagus yang tidak boleh kita sia-sia kan Mer. Ayolah...”

“Darwinku yang aneh, please... you know all about my father... Ia tak mungkin mengijinkanku melanjutkan S2 di luar negeri. Aku saja yang meminta ijin tak diperbolehkan, apalagi kau yang menyebalkan itu,” Umairoh mendengus sebal.

“Yeah, aku tahu itu, it’s ok... tapi semoga saja ayahmu berubah pikiran.”

“Hmm, aku harap seperti itu. Oh ya, bagaimana dengan rencana kita esok hari?”

“Ah, kau benar... Hampir saja aku melupakannya. Tentu saja jadi. Film apa yang ingin kita tonton besok? Evil dead? Final destination? Drag Me to The Hell?”

“Kenapa kau merekomendasikan film horror semua? Tidak ada film comedy-romance begitu?”

“Tsk, ayolah Umairoh... Film itu tidak horror,  tapi thriller. Film itu keren sekali, kau tidak akan menyesal menontonnya. Eum, bagiamana jika kita besok menonton film Drag Me to The Hell saja? Yaya...”

“Tapi bagaimana jika dalam film itu akan muncul makhluk astral yang menyeramkan, dengan wajah penuh darah, rambut berantakan, dan... akh, aku bahkan tak berani membayangkannya.”

“Kau ini terlalu berlebihan. Kalau muncul makhluk-makhluk aneh seperti itu kau kan bisa langsung memelukku. Itulah fungsinya kita menonton bersama... Oke?” Darwin menaik turunkan alisnya membuat Umairoh menatapnya jengah.

“Tapi...”                                                                                                 

“Sudahlah tak ada tapi-tapian. Besok kita menonton film Drag Me to The Hell di rumahku jam tiga sore,” Darwin mengucapkannya seolah memerintah dan tidak menerima penolakan.

Umairoh lagi-lagi hanya mendengus sebal lantas gadis itu bangkit dari duduknya sembari meregangkan otot-ototnya. “Kau selalu seenaknya sendiri. Ya sudah kalau begitu lebih baik kita pulang, sudah hampir malam nanti orang tua kita khawatir...”

“Baiklah. Aku tak sabar menunggu esok.” Darwin lebih dulu berjalan mendahului Umairoh menuju motornya yang terparkir di samping padang dandelion, lantas pria itu menyerahkan helm untuk dikenakan Umairoh. “Ayo cepat naik...”

Umairoh lantas duduk di atas motor Darwin, dengan kedua tangannya yang berpegangan pada pinggang sahabatnya itu. “Film yang akan kita tonton besok tidak seram kan?” ucap Umairoh ketika motor Darwin sudah melaju menyusuri jalan raya yang tak pernah sepi.

“Iya, kau cerewet sekali. Kalau tiba-tiba muncul makhluk astral kau tinggal memelukku, gampang kan?”

“Ugh, kau memang menyebalkan.”

“Hahahaa...”

***

(1704)

Ini memang bukan waktu dimana Darwin dan Umairoh menghabiskan waktu mereka bersama. Biasanya mereka akan bertemu kala burung-burung mulai bersahutan dengan latar jingga di ufuk barat. Namun hari masih siang ketika Darwin mengendap-ngendap di belakang Umairoh sembari tangan kanannya menenteng sebuah buku, di mana gadis itu sedang duduk dengan tenang menatap hamparan birunya permadani langit yang tak berujung.

“Tadaaaa,” seru Darwin seraya menunjukkan buku yang ia bawa tepat di depan wajah sahabatnya.

“Ya Tuhan, Darwin kau mengejutkanku!” Umairoh mengelus pelan dadanya dan bibirnya ia poutkan kesal.

“Hahaa.. Kau terkejut?” Darwin mendudukkan diri di samping Umairoh. Seperti biasa, tempat mereka bertemu selalu sama, taman azalea.

Umairoh mendengus sebal dengan kedua pipinya yang ia kembungkan. “Tentu saja aku terkejut...” gadis itu melempar pandangannya ke arah lain. “Ohya, kau dari mana saja? Aku menunggumu sejak tadi.”

“Maaf sudah membuatmu menunggu. Tadi aku masih harus membersihkan rumput liar di ladangku. Jadi, kau sudah siap belajar hari ini?”

Umairoh mengangguk pasti. Kali ini gadis itu menatap Darwin dengan binar yang tercetak jelas pada iris caramel-nya. “Hari ini kita akan belajar apa?” tanyanya antusias.

“Tsk, ekspresimu itu seperti anak kecil saja. Kau sepertinya bersemangat sekali...” Darwin tersenyum menatap Umairoh, lantas ia membuka buku bersampul coklat usang yang tadi dibawanya.

“Tentu saja. Saat-saat belajar seperti ini selalu kutunggu-tunggu. Jadi, ayo cepat kita belajar Pak Guru Darwin,” Umairoh menahan suaranya agar tidak tertawa.

“Hey, kenapa? Apanya yang lucu?”

“Tidak. Hanya aneh saja menyebutku ‘Pak Guru’, hahaa.”

“Hmm, makanya tak usah memanggilku seperti itu. Nah, ini dia buku pelajaran berhitung yang aku katakan waktu itu,” Darwin menyerahkan bukunya pada Umairoh yang langsung disambut oleh gadis itu.

Ekspresi Umairoh sama sekali tak menggambarkan wajah ceria manakala buku itu sudah berada di pangkuannya. Ia hanya membolak-balik lembaran buku tersebut dengan wajah cemberut.

“Ada apa dengan wajahmu itu? Kau tidak suka bukunya? Kan sudah kukatakan kemarin kalau hari ini kita akan belajar berhitung yang dinamakan perkalian...”

“Aku pikir kau akan membawakanku buku bacaan. Coba lihat, di dalam buku ini hanya terdapat angka... Apa yang menarik untuk dipelajari?” Umairoh merengut kesal.

Darwin menghela nafasnya. “Umairoh, bukankah kau sudah pandai membaca? Kenapa masih ingin buku bacaan? Lagipula semua buku bacaan yang kumiliki sudah kupinjamkan padamu semua. Aku tak punya lagi buku bacaan yang lain. Ya sudah lebih baik kita belajar saja.”

“Kau lihat tanda seperti huruf ‘x’ ini kan?” Darwin menunjuk is bukunya. Sedang Umairoh hanya mengangguk tak bersemangat. “Nah, ini namanya tanda perkalian”

“Lalu apa fungsinya perkalian itu?”

“Fungsinya untuk mengalikan angka. Semacam menggandakan angka... Misalnya dua dikali dua hasilnya empat. Kenapa? Karena duanya dihitung dua kali...”

Umairoh menatap wajah Darwin yang sedang memberikan penjelasan dengan wajah datar. “Aku tak mengerti,” ucap Umairoh.

Darwin kini balas menatap wajah Umairoh yang datar itu, lantas ia menutup kasar bukunya. “Kurasa tak ada gunanya aku menjelaskannya. Kau sepertinya tak berminat sama sekali untuk belajar,” Darwin meletakkan bukunya di samping tubuhnya. “Kurasa kita tak usah belajar hari ini.”

Kedua alis Umairoh bertaut, “Kenapa? Aku pasti akan belajar dengan baik.”

“Tapi ekspresimu saja sudah menggambarkan kau tak suka mempelajari perkalian. Sudah, lain kali saja kita belajar...” jawab Darwin sarkastik.

“Darwin.. Kau marah?”

Alih-alih menjawab, Darwin malah merebahkan tubuhnya di atas rerumputan hijau yang mereka duduki. Pria itu lantas memejamkan matanya seraya membiarkan angin sore ini menerpa wajahnya.

“Darwin, maafkan aku. Jangan marah ya... Aku saat ini hanya sedang ingin membaca, aku tidak berselera mempelajari angka-angka,” rengek Umairoh.

“Hmmm.”

“Darwin...” Umairoh menyenggol bahu Darwin dengan jari telunjuknya.

“Hmmm?” Darwin bahkan tak membuka matanya sedikitpun.

“Darwin... Buka matamu”

Kelopak mata Darwin perlahan terbuka, hingga membuat pandangannya dan Umairoh saling bersirobok. Aliran waktu seolah terhenti seketika, bahkan hembusan angin yang sejak tadi terus menerus menerpa kulit mereka ikut terhenti.

Kini kedua mata Umairoh melebar, bahkan terlalu lebar membuat kedua bola matanya seperti hendak mencuat keluar.

Ayolah, rasanya bumi berhenti berputar. Aliran nafas Umairoh bahkan terhenti dan menelan salivapun rasanya begitu sulit ketika Darwin tiba-tiba menariknya hingga membuat posisi tubuhnya kini menindih tubuh Darwin.

Keduanya saling menatap tanpa kedip. Darwin bersumpah ia juga ingin berteriak karena tindakan yang baru saja ia lakukan. Darwin sendiri kesulitan bernafas. Tidak, bukan karena tubuh Umairoh yang berat, ia bahkan menyukai posisi ini.

Eh? Apa tadi yang baru saja ia pikirkan?

Darwin tahu mereka berdua sudah dewasa. Dan ah, ia bahkan sudah berkhayal yang tidak-tidak sekarang. Dengan jarak Umairoh yang sedekat ini Darwin bisa merasakan aroma tubuh Umairoh, serta buah dada Umairoh yang empuk bisa ia rasakan di atas tubuhnya.

Umairoh hanya bisa diam karena tubuh gadis itu seperti beku mendadak. Tidak hanya aliran nafasnya, aliran darah dan denyut nadi gadis itu bagaikan terhenti. Umairoh bisa merasakan rongga dadanya yang mendidih dan mungkin wajahnya sudah semerah tomat sekarang.

Dalam jarak sedekat ini ia bisa mencium aroma perofon Darwin serta detak jantung Darwin yang terasa seirama dengan detak jantungnya. Ia sendiri tak bisa membohongi dirinya kalau ia menyukai saat mereka dalam posisi seperti ini.

Tangan kiri Darwin menggenggam erat tangan kanan Umairoh yang berada di atasnya, sedangkan tangan kanannya yang bebas berada di tengkuk Umairoh dan mulai menarik tengkuk gadis itu untuk semakin mendekat. Ia sengaja membiarkan pergerakan lambat itu membuat sensasi aneh tersendiri di dalam dadanya hingga menimbulkan gejolak serta desiran yang membuat darahnya terasa panas.

Umairoh bisa merasakan tegangan di dalam tubuhnya. Ia hanya bisa mengikuti tangan Darwin yang menarik tengkuknya agar terus mendekat dengan wajah Darwin. Umairoh mulai bisa merasakan hembusan nafas Darwin yang hangat dan tatapan lembut Darwin yang terus menghujami irisnya membuatnya tak bisa mengalihkan pandangannya dari manik kelam nan lembut milik Darwin.

Bibir mereka hanya berjarak kurang lima sentimeter lagi ketika Umairoh berhenti dan menatap bibir penuh Darwin. Darwin tersenyum lembut seraya memegang dagu Umairoh, membuat pandangan gadis itu kembali beralih pada maniknya. Wajah mereka semakin mendekat dan hidung mereka saling bersentuhan. Umairoh dengan refleks menutup kedua matanya ketika bibir mereka saling bersentuhan lembut. Sedangkan Darwin menatap lembut pada kelopak Umairoh yang terpejam merasakan sensasi hangat pada bibir mereka.

Hingga kelopak mata Darwin juga turut terpejam seraya membiarkan bibir mereka bersentuhan lembut dan membuat jantungnya terus menerus berpacu dengan frekuensi cepat. Cukup lama bibir mereka hanya bersentuhan lembut tanpa ada pergerakan. Darwin yang terlebih dulu menggerakkan bibirnya untuk menyesap bibir atas Umairoh, dan demi Yupiter ia bisa merasakan rasa manis dari bibir gadis itu.

Ciuman pertama yang mereka lakukan dengan sahabat sendiri. Ada sensasi aneh yang menggelitik Umairoh dan membuatnya juga turut menggerakkan bibirnya membalas perlakuan Darwin. Bibir mereka saling menyesap satu sama lain. Bergerak dengan lembut saling menyapu bibir atas dan bawah bergantian.

Gerakan yang begitu lembut tanpa nafsu itu membuat mereka melakukannya cukup lama. Keduanya saling menyalurkan perasaan kasih sayang satu sama lain dalam ciuman itu. Bibir mereka saling memagut dan menghisap dengan sangat lembut. Darwin bahkan tak henti-hentinya menyesapi seluruh bibir Umairoh tanpa terlewati satu bagianpun. Ciuman basah yang bercampur saliva masing-masing. Umairoh menghisap saliva Darwin yang keluar melalui celah bibir pria itu, begitu pula Darwin. Mereka saling bertukar saliva dalam ciuman itu.

Umairoh bahkan tanpa sadar melenguh pelan karena manisnya ciuman mereka yang membuat seluruh sarafnya bagaikan tersengat jutaan jarum. Ciuman itu berlangsung cukup lama, bahkan sangat lama.

Hari semakin sore ketika burung-burung berterbangan di angkasa bersiap menyambut sang surya yang kembali ke peraduannya. Sedang di tengah taman azalea Darwin dan Umairoh masih terus melakukan kegiatan mereka, berciuman. Kelopak mata mereka terlalu enggan untuk sekedar terbuka meski sekejap karena keduanya tak ingin terlewatkan momen satu detikpun dari tiap inchi ciuman mereka.

Ciuman lembut nan manis menghantarkan mereka untuk menutup hari di tengan taman azalea tak memperdulikan kicauan burung yang seolah meminta mereka untuk segera menghentikan ciuman itu. Tak juga memperdulikan jingga yang sebentar lagi akan menampakkan dirinya di ufuk barat. Karena yang Darwin dan Umairoh tahu ciuman lembut dan basah itu akan menjadi kenangan mereka saat mereka berpisah nanti.

***

2014

Darwin bahkan baru menyalakan DVD, tapi Umairoh sudah duduk di atas sofa di depan layar tv dengan memeluk erat sebuah boneka Nemo berukuran besar. Gadis itu meringkuk seolah tahanan yang akan dihukum mati.

“Ayolah Umairoh santai saja. Tidak usah berlebihan seperti itu,” Darwin hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu. “Jadilah wanita pemberani.”

“Bagaimana aku tidak takut bodoh. Kau menutup pintu kamarmu, kau menutup jendela kamarmu, bahkan cahaya matahari tak ada yang bisa masuk. Dan yang lebih parah kau tak menyalakan lampu di dalam kamar yang gelap ini. Kau sengaja ingin membuatku mati ketakutan huh?” seru Umairoh heboh. Gadis itu tetap begeming di tempatnya bahkan wajahnya saja sudah seperti orang migrain.

“Hey, hey... santai sedikit Nona. Justru aku ingin membuat efek luar biasa saat kita menonton film. Kau kan tidak pernah menonton film di bioskop, jadi yah anggap saja saat ini kita sedang di bioskop.”

Umairoh semakin memeluk erat boneka Nemo dipelukannya. Saat film yang diputar mulai menampakkan gambarnya, gadis itu hanya menunduk tanpa memandang sedikitpun pada layar tv.

“Kau penakut,” sinis Darwin yang mulai fokus pada layar tv.

“Aku bukan penakut,” sela Umairoh cepat.

“Lalu kalau bukan penakut apa namanya? Kau bahkan tak menatap sedikitpun pada layar tv. Padahal tak ada gambar yang menakutkan sama sekali.”

“Aku hanya mengantisipasi...” ucap Umairoh pelan.

Darwin menghembuskan nafas berat. Pria itu lantas bangkit dari sofa dan mematikn DVD dengan kasar membuat Umairoh terkejut dan menatap heran pada Darwin yang kembali duduk di sampingnya.

“Kenapa dimatikan?”

“Lalu apa gunanya menyalakan DVD tapi kau tak menontonnya? Buang-buang energi listrik saja,” Darwin mengucapkan kalimatnya dengan sinis. “Kau keterlaluan Umairoh. Tidak bisakah kau hilangkan rasa takutmu itu?”

Umairoh hanya menunduk. Umairoh tahu Darwin pasti saat ini sedang marah dengannya. “Maaf.”

Darwin kembali menghembuskan nafasnya. Ia tak mengucapkan sepatah katapun dan lebih memilih menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Pria itu bersidekap kemudian memejamkan kedua matanya, tak menghiraukan rengekan Umairoh di sampingnya.

“Darwin jangan begitu. Ya sudah, ayo kita tonton bersama. Aku janji setelah ini akan menontonnya... Darwin,” Umairoh menyenggol bahu pria itu berusaha membuat Darwin membuka matanya. “Darwin...” rengek Umairoh lagi karena sepertinya Darwin benar-benar tak menghiraukan eksistensinya.

“Win... Wiwin, buka matamu...” ucap Umairoh tepat di telinga Darwin.

Pandangan mereka saling bersirobok ketika wajah Umairoh masih berada tepat di samping telinga Darwin saat pria itu membuka matanya. Umairoh menelan salivanya dengan gugup. Bahkan gadis itu berkali-kali mengerjapkan matanya untuk mengurangi dentaman jantungnya yang entah sejak kapan rasanya bertalu-talu dengan cepat.

Di dalam kamar Darwin yang gelap itu Umairoh bisa dengan jelas menilik manik Darwin yang menghujami irisnya membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jemari tangan kanan Darwin membelai pipi kiri Umairoh dengan lembut, membuat Umairoh kesulitan bernafas. Sedang tangan kiri Darwin menarik tengkuk Umairoh. Tidak, Darwin tidak menarik tengkuk Umairoh melainkan mendorong gadis itu hingga berbaring di atas sofa, lantas Darwin berada di atas tubuh Umairoh. Darwin menahan tubuhnya dengan kedua lututnya berada di kedua sisi tubuh Umairoh serta tangan kanannya yang menyangga berat tubuhnya agar Umairoh tak tertindih oleh berat tubuhnya.

Tubuh Umairoh mematung, gadis itu bahkan sudah berkeringat dingin dengan jantungnya yang semakin menggila. Gadis itu mulai berpikiran yang bukan-bukan. Oh ayolah, seharusnya ia memberontak sekarang.

Darwin menahan tubuh Umairoh di bawah tubuhnya. Sungguh, jantung Darwin rasanya ingin meloncat dari tempatnya. Ia tak tahu kenapa melakukan ini pada Umairoh.

Hingga sunyi melingkupi keduanya. Yang terdengar hanya detak jam yang terus bergerak mendominasi kamar Darwin yang gelap sepenuhnya. Darwin mendekatkan wajahnya, menuju satu titik yakni bibir Umairoh. Umairoh bersumpah jantungnya ingin meledak rasanya.

“Pfft, kenapa wajahmu tegang sekali huh?” Darwin segera memperbaiki posisi tubuhnya dan langsung kembali duduk dengan bersandar. Pria itu terkekeh pelan melihat Umairoh yang terus menerus berdehem karena salah tingkah.

“Kau menyebalkan...” Umairoh memukul lengan Darwin setelah ia juga bangkit dari posisinya tadi.

“Kenapa menyebalkan? Karena aku tak jadi menciummu?”

Dada Umairoh kembali bergemuruh ketika mendengar kata ‘mencium’ dari mulut Darwin. “Sudahlah, aku mau mengambil es krim dulu di kulkasmu. Terlalu panas di sini,” Umairoh segera melesat pergi meninggalkan kamar Darwin dengan terburu-buru.

Ketika tubuh Umairoh sudah menghilang di balik pintu kamarnya, Darwin memegangi dada kirinya yang terasa sesak. Pria itu menghembuskan nafas berat. Entah kenapa ia merasa ada sengatan listrik di dalam tubuhnya saat maniknya dengan telak menilik bibir merah muda Umairoh.

“Darwin, kenapa hanya ada satu es krim? Di mana kau menyimpan es krimmu yang banyak biasanya?”

Darwin terlonjak kaget karena presensi Umairoh yang tiba-tiba di kamarnya. “Kenapa kau cepat sekali kembali?” tanya Darwin seraya bangkit dari duduknya dan kembali menutup pintu kamar yang tadi di buka Umairoh.

Umairoh duduk di atas sofa, “Memangnya untuk apa aku lama-lama huh?”

“Yah, maksudku kau mengejutkanku. Dan es krimku sudah habis, mungkin itu satu-satunya yang tersisa di kulkas..” Darwin kembali duduk di samping Umairoh.

“Oh, ya sudah kalau begitu kau cepat nyalakan DVD-nya. Kali ini aku tidak akan takut, aku janji,” ucap Umairoh seraya membuka bungkus es krim Cornetto rasa vanilla.

Darwin mengangguk-angguk pelan seraya bangkit dan kembali menyalakan DVD yang tadi sempat ia matikan, lantas setelahnya pria itu kembali duduk.

Layar tv mulai menampakkan gambar dari film yang sedang diputar. Sedang Umairoh mulai fokus pada layar tv sembari mulutnya memasukkan es krim secara perlahan. Hell, sejujurnya Umairoh terlalu takut untuk sesuatu yang berbau ‘horror’ dan ia hanya bisa menekan rasa takutnya tersebut demi menjaga harga dirinya di hadapan Darwin. Ia tak mau pria itu merendahkannya karena menganggapnya sebagai penakut.

Fokus Darwin kini bukan pada layar tv melainkan Umairoh yang terus menerus memasukkan es krim dengan santainya. Pria itu berkali-kali mengerjapkan matanya karena sejak tadi yang ia lihat hanya bibir Umairoh yang terlihat dengan jelas karena pantulan cahaya layar tv. Bibir Umairoh yang belepotan dengan es krim dan merembes di sekitar bibirnya.

Lagi-lagi pandangan mereka saling bersirobok kala Umairoh menolehkan wajahnya dan menatap Darwin yang sejak tadi memperhatikannya.

“Kau kenapa? Kau ingin es krim juga?” tanya Umairoh bingung.

Tanpa menjawab pertanyaan Umairoh, Darwin dengan cepat menyambar es krim yang dipegang Umairoh membuat gadis itu terlonjak kaget. Darwin memasukkan es krim itu dengan tidak sabaran ke dalam mulutnya. Umairoh hanya menatap sahabatnya itu yang bertingkah aneh.

Kini bibir Darwin juga dipenuhi es krim karena ia memasukan es krim tersebut dengan terburu-buru. Darwin lantas menatap Umairoh yang mengisyaratkan agar gadis itu juga melakukan hal yang sama dengannya, memakan es krim tersebut bersama-sama. Seolah mengerti arti tatapan Darwin, Umairoh segera memasukkan es krim tersebut ke dalam mulutnya bergantian dengan Darwin.

Keduanya terus melakukannya bergantian, dan tanpa tergesak-gesak. Keduanya seolah menikmati kegiatan memakan es krim mereka hingga tak menghiraukan layar tv yang tengah memutar film Drag Me to The Hell. Usai Darwin menyesap es krim tersebut, lantas setelahnya Umairoh yang melakukannya, dan begitu seterusnya secara bergantian.

Hingga saat giliran Umairoh yang menyesap es krim itu, Darwin juga turut melakukannya membuat bibir mereka saling bertemu. Kedua mata Umairoh melebar saat irisnya melihat dengan jelas kelopak Darwin yang menutup seraya bibir mereka saling bertautan. Darwin nampaknya begitu menikmati kecupan bertubi-tubi yang ia berikan di bibir Umairoh.

Demi Saturnus, Umairoh bisa merasakan rasa manis luar biasa melebihi manisnya es krim Cornetto vanilla yang tadi mereka makan. Bibir Darwin juga dipenuhi es krim membuatnya bisa merasakan dingin dan manis sekaligus di bibirnya.

Kedua mata Umairoh masih belum terpejam karena gadis itu masih belum bisa berpikir jernih. Lantas setelah puluhan detik Darwin mengecup bibirnya, kedua mata gadis itu mengerjap ketika kelopak Darwin terbuka dengan bibir mereka yang masih bertautan. Manik Darwin menohok iris Umairoh membuat gadis itu tak bisa mengalihkan perhatiannya dari manik Darwin.

Lantas Darwin segera melepaskan tautan bibir mereka seraya tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya pada telinga Umairoh. “Kau harus menutup matamu saat kita berciuman,” bisiknya seduktif membuat pembuluh darah Umairoh mendidih seketika.

Kedua mata Umairoh lagi-lagi mengerjap dan tubuhnya bagaikan tersengat listrik. Hey, ayolah kenapa ia jadi tiba-tiba seperti ini?

Darwin kembali menyambar es krim yang masih dipegang Umairoh dan ia memasukkan es krim itu dalam jumlah banyak ke dalam mulutnya, lantas kembali tanpa aba-aba ia mendekatkan bibirnya pada bibir Umairoh dan kembali memagut bibir gadis itu. Umairoh yang sudah tak bisa berpikir jernih dengan serta merta menutup kelopak matanya dan ia bersumpah tubuhnya merasakan sensasi luar biasa ketika bibir mereka saling bersentuhan.

Ini ciuman pertama bagi Umairoh dan Darwin. Keduanya saling menyesap dan menghisap bibir bawah dan atas satu sama lain bergantian. Dan kini Umairoh kembali merasakan sensasi aneh di sekujur tubuhnya ketika Darwin memasukkan es krim melalui mulutnya. Es krim yang tadi Darwin masukkan dalam jumlah banyak ke dalam mulutnya, lantas ia salurkan ke dalam mulut Umairoh.

Bagi Umairoh rasa es krim dari mulut Darwin lebih manis dibandingkan es krim di tangannya. Bahkan tanpa sadar es krim yang tadi ia pegang terjatuh karena kedua tangan gadis itu kini melingkar erat pada leher Darwin. Sedangkan tangan kiri Darwin kini menahan tengkuk Umairoh untuk memperdalam ciuman mereka serta untuk mempermudahkannya memasukkan es krim ke dalam mulut Umairoh, dan tangan kanannya melingkar di pinggang Umairoh untuk memangkas jarak diantara mereka.

Keduanya begitu menikmati ciuman manis dan dingin itu. Bahkan saat es krim di dalam mulut Darwin sudah habis, mereka bukan lagi saling berbagi es krim melainkan berbagi air liur. Darwin memagut, menghisap dengan lembut namun sedikit kuat seolah bibir Umairoh adalah permen lollipop. Umairoh-pun tak kalah, gadis itu turut membalas ciuman Darwin dengan turut menyesapi bibir atas dan bawah Darwin bergantian.

“Eungh...” tanpa sadar Umairoh melenguh pelan karena ia tak bisa menahan gejolak di dalam tubuhnya karena sensasi luar biasa dari ciuman mereka.

Darwin menggerakkan kepalanya ke kiri, terkadang ke kanan demi mempermudahkannya mencari posisi yang nyaman untuk menciumi Umairoh, serta untuk membantu gadis itu bernafas sembari berciuman. Waktu belasan menit lamanya bibir mereka masih bertahan hingga Darwin yang lebih dulu melepaskan pagutan bibir mereka.

Umairoh segera menarik nafas panjang dan meraup oksigen sebanyak mungkin karena ia benar-benar kehabisan nafas setelah ciuman mereka tadi. Darwin berkali-kali menghela nafas panjang demi mengisi kekosongan pada paru-parunya. Dahi mereka masih saling bersentuhan, dan kini Umairoh menatap pada dua belah bibir Darwin yang terbuka seolah memintanya untuk melakukannya lagi.

Darwin mengangguk pelan seolah mengerti arti tatapan Umairoh dan membiarkan gadis itu yang kini lebih dulu mendekatkan bibir mereka. Hingga akhirnya ciuman manis itu kembali berlanjut dan kali ini lebih pelan dan lembut dari sebelumnya. Kelopak mata keduanya sama-sama terpejam menikmati sensasi pada bibir mereka.

Keduanya terus melakukan ciuman itu tanpa menghiraukan film yang masih terus berputar, tak juga menghiraukan gelap yang melingkupi kamar Darwin, serta tak menghiraukan detik jam yang terus berputar. Tak menghiraukan seberapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk berciuman. Ciuman yang terlalu manis untuk dihentikan, dan ciuman yang terlalu manis untuk dilupakan suatu saat nanti.

Yang Umairoh dan Darwin tahu saat ini adalah melalui ciuman itu mereka menyalurkan perasaan masing-masing. Dan melalui ciuman itu mereka bisa merasakan arti memiliki satu sama lain.

***

Ini sudah pukul setengah dua belas malam ketika Darwin masih berusaha membawa dirinya ke alam mimpi. Kejadian tadi sore terus menerus membayanginya membuatnya kesulitan tidur. Bahkan ia masih bisa merasakan hangatnya bibir Umairoh di bibirnya. Ia bahkan tak rela saat Umairoh dengan paksa melepaskan pagutan bibir mereka karena hari sudah sore dan gadis itu harus kembali ke rumahnya.

Darwin segera bangkit duduk dan mengerang frustasi. Ia memegangi bibirnya. Darwin tersenyum sendiri mengingat bagaimana ciuman pertamanya tadi yang begitu memabukkannya.

Tsk, ayolah kenapa otaknya masih terus memikirkan hal itu?

Pria itu menghela nafas panjang. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan besok jika bertemu Umairoh di kampus. Apa ia harus tersenyum seperti biasanya? Oh, memalukan. Ia pasti akan gugup sekali jika gadis itu berada di dekatnya besok.

“Akh, seharusnya ciuman tadi tak terjadi. Aaargh...” erang Darwin seraya bermonolog. “Tapi, aku sangat menyukai ciuman itu...” Darwin mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan dari tadi. “Aku bisa gila.”

Darwin hendak kembali membaringkan tubuhnya saat tiba-tiba seluruh ruangan kamarnya berganti dengan suasana pedesaan, dan saat ini sepertinya masih senja. Kedua matanya melebar karena saat ini ia sedang berada di tengah taman azalea. “Kurasa aku memang sudah gila,” ucapnya seraya berjalan perlahan menyusuri taman itu.

Darwin melihat seorang pria yang tengah duduk sendirian menatap hamparan permadani langit yang tak berujung. Tak ada siapapun di tempat itu selain ia dan pria yang tengah duduk sambil membelakangi Darwin. Karena rasa penasaran yang tak terbendung lagi, Darwin memilih membawa tungkainya untuk mendekati pria itu.

“Per..misi,” ucapnya pelan.

Pria di hadapannya seketika berbalik dan membuat jantung Darwin hampir mencelos dari tempatnya. Pria itu memiliki wajah yang mirip dengannya. Oh bukan, melainkan sama persis. Wajah pria itu seperti refleksi wajah Darwin.

Pria itu juga menatap Darwin heran dan ia lantas berdiri seraya mengacungkan telunjuknya. “Siapa kau?” tanya pria itu seraya netranya menilik Darwin dari kepala sampai kaki. Pria itu menatap Darwin heran karena Darwin mengenakan pakaian aneh yang berbeda dengannya.

“Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau siapa? Apa yang kau lakukan di tempat ini seorang diri? Dan... dan kenapa, kenapa kau memiliki wajah yang sama denganku?” tanya Darwin beruntun dan sedikit heboh. Darwin menatap pria itu yang mengenakan pakaian kuno, dan rambut belah tengah yang jauh dari mode masa kini.

“Aku Darwin. Kau siapa? Aku belum pernah melihat penduduk desa ini sepertimu... dan, seharusnya aku juga bertanya kenapa wajah kita sama?”

“Namaku juga Darwin. Tunggu, dulu... sekarang ini tahun berapa?” tanya Darwin sembari netranya menerawang ke segala arah. Hanya banyak pepohonan dan rumah kayu yang jaraknya berjauhan dengan jumlah yang bisa dihitung dengan jari.

“Tahun 1704. Kau ini aneh sekali, kenapa bertanya seperti itu?”

“Tahun 1704??!!” seru Darwin tak percaya. “Jadi saat ini aku datang ke masa lalu?”

Pria di hadapan Darwin yang juga memiliki nama yang sama dengannya hanya menatap heran padanya. “Apa maksudmu masa lalu? Jadi kau datang dari masa depan begitu?”

Darwin menggeleng pelan. Kalau ia benar-benar berada di masa lalu, ini sebuah keajaiban. Tapi, lututnya lemas seketika mengingat bagaimana cara agar ia bisa kembali ke masa tahun 2014. Darwin lantas terduduk diikuti oleh pria di hadapannya.

“Kau bilang namamu Darwin kan? Ini sebuah kebetulan sekali. Nama kita sama, bahkan wajah kita sama persis. Yang membedakan hanya pakaian kita. Tapi, kenapa kau bisa datang ke masa ini?” Darwin masa lalu menatap penuh tanya pada Darwin di hadapannya.

“Aku juga tak tahu. Tadi saat aku hendak tidur, tiba-tiba saja aku langsung berada di tempat ini.”

Darwin masa lalu hanya mengangguk pelan. “Sepertinya banyak sekali kesamaan diantara kita. Oh ya, mungkin saja takdir membawamu ke sini karena ada suatu hal.”

Darwin menatap heran Darwin masa lalu yang berbicara dengannya. Mengenai tahun 1704, itu artinya negara mereka belum merdeka. Darwin menghela nafas panjang. “Tadi sore aku berciuman dengan sahabatku sendiri. Dan yeah, akhirnya aku tak bisa tidur.”

Darwin masa lalu terbatuk seperti tersedak sesuatu. “Ap, apa? Apa tadi yang aku bilang? Kau berciuman dengan sahabatmu??? Apa itu ciuman pertamamu? Dan, apa... apa tadi kalian melakukannya cukup lama?” tanyanya beruntun dan nadanya sedikit memelan di akhir kalimatnya.

Darwin mengangguk dengan ekspresi keheranan luar biasa yang tercetak jelas di wajahnya. “Apa kau juga melakukan hal yang sama?” tanyanya pelan.

Hanya anggukan pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Darwin barusan. Darwin berusaha memutar otaknya untuk mengaitkan hubungan antara kejadian yang terjadi diantara mereka. “Siapa nama sahabatmu itu?”

“Umairoh,” jawab Darwin masa lalu dengan cepat. “Ia gadis hebat. Bagaimana dengan sahabatmu? Siapa namanya?”

“Ini sebuah kebetulan yang luar biasa. Namanya juga Umairoh, hanya saja ia bukan gadis hebat. Tapi gadis menyebalkan dan cerewet,” jawab Darwin sambil terkekeh pelan. “Kau kenapa?” tanya Darwin bingung karena ekspresi pria bernama sama dengannya itu berubah.

“Aku berbohong pada Umairoh kalau aku akan pergi berperang bulan depan. Padahal aku akan pergi esok hari. Aku takut, aku takut tak bisa kembali untuknya. Tapi aku tak ingin membuatnya menungguku, kalau-kalau aku tak bisa pulang dengan selamat. Aku tak berani mengatakan padanya...” Darwin masa lalu menunduk. Darwin bisa mendengar dengan jelas suara pria itu yang bergetar menahan tangis.

Mendengar kata ‘berperang’ itu seketika membuat bulu romaanya berdiri. Darwin bergidik ngeri ketika membayangkan situasi perang. Yah wajar saja, saat ini kan masih jaman penjajahan. “Jadi kau belum mengatakannya pada Umairohmu?”

Lagi-lagi Darwin masa lalu hanya menjawabnya dengan anggukan. “Makanya tadi aku menciumnya, mungkin itu akan jadi ciuman pertama dan terakhir kami.”

“Sejujurnya aku takut sekali mendengar kata perang. Tapi kau tenang saja, setiap tetes keringat dan darah semua pahlawan yang berperang akan terbayar karena pada tahun 1945 negara kita merdeka dari penjajah. Aku salah satu anak bangsa yang lahir usai kemerdekaan,” Darwin menepuk pelan pundak Darwin masa lalu.

“Tahun 1945? Berarti masih sangat lama negara kita dijajah. Hanya saja yang aku takutkan aku tak bisa menjaga Umairoh lagi...” lirih Darwin masa lalu.

“Kurasa aku tahu kenapa aku dipanggil kemari,” Darwin tersenyum tulus menatap Darwin masa lalu yang merupakan refleksi dirinya itu. “Kau ingin aku menjaga Umairoh di masa depan kan? Kau tidak ingin aku berpisah darinya kan seperti yang akan kau lakukan esok?”

“Yah, kurasa kau benar. Kuharap kau menjaga Umairohmu di masa depan. Jangan biarkan ia kesepian seperti Umairohku.”

“Tsk, kau mengatakannya seperti kau akan pergi selama-lamanya saja.”

Darwin masa lalu kembali menghela nafasnya, “Aku merasa memang waktuku tak banyak lagi. Dan kurasa aku tak bisa lagi bertemu dengan Umairoh dan tak bisa lagi menjaganya... Aku juga tak ingin mengucapkan salam perpisahan untuknya, jadi kurasa biarkan ia tak tahu aku pergi. Dan kuharap ciuman itu bisa menjadi kenangan indah kami setelah aku pergi...”

Darwin mengangguk pelan. Sejujurnya ia juga tak mengerti apa hubungannya ini semua dengannya. “Aku juga akan pergi meninggalkan Umairoh.”

Darwin masa lalu menatap terkejut padanya. “Maksudmu?”

“Aku akan melanjutkan kuliah S2 di luar negeri. Dan kurasa, Umairoh tidak bisa ikut denganku. Tapi, aku pasti akan kembali untuknya. Aku akan menjaganya setelah aku pulang kembali,” Darwin kembali tersenyum.

“Yah, setidaknya kau beruntung masih memiliki waktu yang cukup lama bersamanya dibandingkan denganku yang sudah tak memiliki waktu lagi. Jadi kuharap kau manfaatkan waktu kebersamaan kalian sebaik-baiknya,” kali ini Darwin masa lalu tak lagi menunjukkan ekspresi sedihnya. “Dan kurasa aku tak akan mati sia-sia demi negeri ini. Berkatmu yang datang dari masa depan dan menunjukkan padaku bahwa negara kita pasti akan merdeka di masa depan. Aku jadi tak takut lagi untuk pergi berperang esok, dan kurasa sebelum pergi aku harus memberitahukan kepergianku dulu pada Umairoh.”

Darwin mengangguk pelan. Seketika itu pula suasana kembali berubah dengan dirinya yang kembali berada di dalam kamarnya dan Darwin masa lalu telah menghilang bersamaan dengan hembusan angin malam yang menerpa kulitnya.

“Kurasa aku mengerti sekarang. Aku tak perlu malu bertemu dengan Umairoh besok, karena ciuman kami tadi akan menjadi kenangan kami selama aku pergi kuliah ke luar negeri. Hmm, rasanya aku lelah sekali... Lebih baik aku tidur karena besok pagi harus kuliah,” Darwin bermonolog seraya menarik selimutnya.

“Selamat malam Darwin masa lalu, semoga kau selamat dalam peperangan dan menjaga Umairoh masa lalu,” ucapnya pelan sembari kedua matanya mulai menutup dan dengkuran halusnya mulai mendominasi seluruh ruangan kamarnya.

***

3 years later...

1707

Umairoh duduk di samping batu nisan seraya membawa seikat mawar merah yang masih segar. Gadis itu tersenyum usai meletakkan bunga mawar tersebut di samping batu nisan. Ia mengelus gundukan tanah itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

“Sudah tiga tahun sejak kau pergi Win... Tak ada yang berubah, masih sama. Aku masih Umairoh yang kenal, dan aku masih Umairoh yang suka membaca. Aku masih membantu orang tuaku di sawah.”

“Kau tahu tidak, seminggu setelah aku mendengar kabar kau gugur, aku ingin mati rasanya... Aku tak ingin hidup lagi karena kau sudah tiada,” senyum di wajah Umairoh memudar. Kini air mata mulai membanjiri wajah gadis itu. “Sebelum kau berangkat perang, kau menciumku di depan rumahku. Itu ciuman kedua kita, kau ingat kan?” Umairoh kini mengelus Nisan bertuliskan nama Darwin di sana. “Aku pikir setelah itu akan ada ciuman ketiga kita dan ciuman-ciuman berikutnya. Tapi nyatanya, itu ciuman terakhir kita. Sakit Win... di sini...” Umairoh memukul-mukul dadanya.

Gadis itu mulai terisak dan tetap berbicara sendiri di depan makam salah satu pahlawan bangsa yang gugur demi menjaga kehormatan negaranya. “Meskipun sudah tiga tahun berlalu, tapi aku masih bisa merasakan hangat bibirmu di bibirku. Aku masih bisa merasakan sentuhan hangatmu di tanganku. Bahkan dekapanmu yang dulu sering kurasakan, aku masih bisa merasakannya Win.”

“Darwin... Aku mencintaimu. Semoga kau tenang di sana...” Umairoh kembali terisak seraya memeluk nisan di makam Darwin. “Hiks, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan Win... Aku tak bisa hidup tanpamu.”

“Win... Merdeka... Aku yakin suatu saat perjuanganmu tidak akan sia-sia, bersama pahlawan-pahlawan lain yang gugur,” kini Umairoh mencium batu nisan itu tepat di mana nama Darwin tertulis di sana.

“Aku mencintaimu...”

***

2017

Umairoh tengah duduk di balkon rumahnya usai pulang dari TK tempat ia mengajar. Gadis itu sedang menggenggam ponselnya menunggu sebuah pesan yang masuk. Benar saja, tak lama voice message dari aplikasi Line masuk.

Sebuah pesan suara dari Darwin.

“Halo gadis jelek... Apa kabar? Kau pasti merindukan suaraku yang merdu ini kan? Ayo mengaku saja... Maaf yah akhir-akhir ini aku tidak sempat mengirimimu pesan, aku terlalu sibuk dengan tugas kuliahku. Bagaimana Indonesia? Aku jadi merindukan saat-saat kebersamaan kita setahun yang lalu... Hey, jangan lambat membalas pesanku... Oke Umairoh...”

Umairoh hanya tertawa mendengar suara sahabatnya yang aneh itu. Tanpa waktu lama gadis itu segera membalas pesan suara dari Darwin yang saat ini sedang berada di Birmingham.

“Hey pria aneh. Aku sama sekali tak merindukanmu bodoh... aku malah bahagia di sini tanpamu. Indonesia baik-baik saja dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kau terlambat makan? Apa kau tidur larut? Atau di sana kau berkencan dengan banyak gadis... ? Tsk, tak usah tebar pesona di sana. Ingat, kau hanya belajar di negeri orang Darwinku yang menyebalkan.”

 Kembali tak berselang lama kembali balasan pesan suara Darwin masuk.

“Kau masih cerewet meskipun sudah jadi guru. Aku tidak telat makan dan juga tidak tidur larut malam. Kalau soal berkencan dengan gadis-gadis di sini, entahlah. Memangnya kenapa? Kau cemburu ya? Haha.. mengaku saja. Aku tanpa perlu tebar pesona juga banyak gadis-gadis yang mengejarku, hahaa.. Kau di sana tak boleh berkencan dengan pria manapun mengerti? Umairoh hanya milik Darwin...”

Umairoh dengan cepat kembali membalas pesan dari Darwin.

“Aku tak peduli jika kau berkencan dengan sepuluh gadis di sana sekaligus. Hey, memangnya siapa kau yang seenaknya saja melarangku berkencan dengan pria-pria di sini? Asal kau tahu, banyak lelaki yang mengejarku... Gara-gara kau yang mencap Umairoh milik Darwin jadi tak ada pria yang berani mendekatiku. Kau menyebalkan.”

“Hahaa... Kau memang milikku. Kau tidak ingat ciuman kita waktu itu? Ciuman pertama kita yang berlangsung lama di kamarku sekitar tiga tahu yang lalu, dan ciuman kedua kita setahun yang lalu saat di bandara sebelum aku pergi. Itu menandakan kau adalam milikku Umairoh.. Tidak usah mengelak lagi.”

Wajah Umairoh seketika memanas mendengar Darwin mengingatkannya tentang ciuman mereka saat itu. Tsk, memalukan saja.

“Bodoh. Kau tidak usah mengingat-ingat tentang ciuman itu lagi. Sudah, aku sibuk... banyak yang harus aku kerjakan... Kau kabari lagi aku lain waktu.”

“Haha... Baiklah. Tapi akui saja, ciuman itu kenangan terindah kita bukan? Ya sudah kalau kau sibuk. Nanti kapan-kapan kalau aku tak sibuk aku hubungi lagi. Bye Umairoh cerewet...”

Umairoh hanya bisa tersenyum setelah pesan suara itu berakhir. Sekarang yang bisa Umairoh lakukan hanya menunggu. Menunggu Darwin pulang, dan setelah itu urusan Darwin memang jodohnya atau bukan tak masalah. Karena yang terpenting baginya adalah bisa bersahabat dengan Darwin adalah keberuntungan dalam hidupnya, meskipun pria itu menyebalkan.

“Darwin, cepatlah pulang...”

.
.

FIN

***

/lempar bom molotop/
*duaaarrrrrrr.....
Bagaimana ceritanya? Jelek? Bagus? Gaje? Terlalu mesum? Terlalu lebay?
Jujur aja ini bikinnya juga lagi dalam keadaan nggak waras. Keinspirasi gara-gara smsan gakje pada suatu malam yang dingin, dan akhirnya jadilah cerpen awkward begini... nyahahahahh...
Semoga puas dengan cerita ini, dan ini pertama kalinya aku bikin cerita adegan full kiss begini, hohoo... salahkan orang yang sudah menebar virus mesum di otakku (ketahuan author mesum, hahaakh)
Sudah ah, sekian bacotanku... terima kasih yang sudah mau baca cerita gaje ini yah... ^^
Pai-pai... I love you my readers JJ