The Past – Future
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
.
Slight!
Fluff, Friendship, Fantasy, Typo...
.
.
Warning: NC-17... Yang masih dibawah umur dilarang membacanya,
dan yang sudah cukup umur jangan terlalu menghayatinya saat membaca :p And
please use your high imagination ^^
P.s.: Kissing scene... don’t like, don’t read it.. and don’t bash me...
.
.
***
Percayakah kau jika kehidupan masa
lalu dan masa depan semuanya saling berhubungan satu sama lain? Percayakah kau
jika apa yang terjadi di masa lalu juga
terjadi di masa yang akan datang?
Percaya saja. Karena hal itu
benar-benar terjadi. Yah, setidaknya benar-benar terjadi pada dua orang yang
sudah saling mengenal selama lebih dari setengah usia mereka. Sepasang sahabat
di masa lalu dan di masa depan yang memiliki takdir sama, serta kisah hidup
yang hampir serupa pula.
Darwin dan Umairoh.
Kisah tahun 1704 dan tahun 2014.
Dengan jarak waktu tiga abad
lamanya, serta suasana yang berbeda pula.
Kisah di mana masa lalu dan masa
depan berjalan beriringan namun saling terkait satu sama lainnya.
Dan kisah mereka pun dimulai...
***
Aku mengenal Darwin sejak usiaku tujuh tahun, dan itu artinya
aku sudah mengenalnya selama tiga belas tahun karena usiaku sekarang sudah
menginjak dua puluh tahun. Ia pria luar biasa yang pernah aku kenal. Ia berbeda
dari pria kebanyakan, dan aku sangat beruntung bisa menjadi sahabatnya ^^
(Umairoh, 1704)
.
.
Aku mengenal gadis itu saat usiaku masih tujuh tahun. Saat
itu aku bertemu dengannya ketika ia bersama ayahnya memenangkan kompetisi
memanah untuk memperingati Pesta Panen di desaku. Ia gadis yang berbeda dengan
gadis kebanyakan, dan aku merasa sangat beruntung bisa menjadi sahabatnya J (Darwin, 1704)
.
.
Mengenal makhluk menyebalkan
kurasa merupakan kutukan untukku. Aku tak pernah menyangka takdir akan
membawaku bertemu dengan makhluk yang terlampau menyebalkan hingga membuatku terkadang ingin mencakar wajahnya,
Darwin. Pria aneh nan menyebalkan itu anehnya adalah sahabatku.. Hahaa
(Umairoh, 2014)
.
.
Gadis pendek, norak,
cerewet, emosional, bahkan banyak pernyataan yang buruk keluar dari mulutku
jika itu menyangkut wanita bernama Umairoh.
Aku juga tak mengerti kenapa takdir harus mempertemukanku dengannya, gadis aneh
bahkan kau akan menganggapnya gadis kurang waras jika kau baru pertama kali
bertemu dengannya. Tapi meskipun begitu ia tetaplah sahabat terbaikku, hahaa
(Darwin, 2014)
.
.
***
1704
Semilir angin senja menerpa surai
Darwin. Pria itu tengah duduk di taman azalea
bersama Umairoh sembari menselonjorkan kakinya, menatap jingga di ufuk barat
yang bersiap kembali ke peraduannya. Sedang Umairoh yang duduk di sampingnya
juga turut menselonjorkan kakinya dengan kepalanya yang ia sandarkan pada bahu
Darwin.
Menatap sang penguasa siang yang
terbenam seolah menjadi rutinitas mereka setiap hari. Karena hanya pada saat
senja itulah mereka bisa memiliki waktu kebersamaan yang cukup lebih lama.
Darwin yang sejak pagi sampai sore mengurus ladangnya, sedang Umairoh yang
sejak pagi-pagi sekali harus membantu ibunya membereskan rumah lantas disiang
hari gadis itu harus membantu orang tuanya di sawah. Sehingga hanya pada saat
senja inilah mereka bisa menghabiskan waktu sebelum kegelapan menyapa.
“Sepertinya kau sangat antusias
dengan Pesta Panen tahun ini. Kenapa?” Umairoh yang lebih dulu memulai
pembicaraan karena sejak puluhan menit yang mereka lalui tak ada sepatah
katapun yang mereka ucapkan.
“Karena aku ingin memenangkan
kompetisi memanah tahun ini. Aku ingin mengalahkan ayahmu. Yah, aku tahu ayahmu
sejak dulu selalu menang dan aku ingin sekali mengalahkannya. Aku sudah
berusaha keras untuk itu..”
Umairoh terkekeh pelan mendengar
pernyataan Darwin yang terdengar cukup menggebu itu, “Benarkah? Apa kau yakin
bisa mengalahkan ayahku yang tak terkalahkan disetiap kompetisi memanah selama
belasan tahun?”
“Hmm, tentu saja.
Aku-sangat-yakin..” Darwin mengelus pelan puncak kepala Umairoh.
“Baiklah, aku menunggu buktinya
nanti. Kau janji ya harus menang.”
“Lalu kau akan memberikanku hadiah
apa jika aku berhasil memenangkan kompetisi memanah tahun ini?” kali ini Darwin
menatap dalam iris Umairoh yang membuat Umairoh turut balas menatap manik kelam
milik Darwin.
Umairoh mengangkat kepalanya yang
sejak tadi bersandar pada bahu Darwin, “Kau menginginkah hadiah apa?”
“Aku ingin kau memelukku erat-erat
sejak pagi sampai sore jika aku berhasil memenangkan kompetisi itu, bagaimana?”
tawar Darwin dengan binar yang tercetak jelas pada maniknya.
Umairoh memutar bola matanya malas.
“Kalau begitu aku doakan supaya kau kalah,” dengus Umairoh sembari melempar
pandangan di hadapan mereka di mana jingga semakin pekat pertanda malam akan
datang tak lama lagi.
“Hahaa.. Akan kupastikan aku menang
jadi kau harus memelukku sehari penuh, mengerti?”
“Hey, aku bahkan tak
menyetujuinya,” Umairoh mencubit pelan lengan Darwin membuat tawa Darwin
semakin nyaring, menambah semarak bunyi-bunyian senja disamping suara
burung-burung yang berkicauan.
Keduanya kembali terdiam puluhan
detik, membiarkan sejuknya semilir angin menerpa kulit mereka. Suasana desa
mulai sepi karena penduduknya sudah banyak yang meninggalkan aktivitas mereka
di luar rumah dan bersiap beristirahat di dalam rumah untuk beristirahat
bersama keluarga mereka.
“Sudah hampir malam Win, ayo kita
pulang,” Umairoh bangkit dari duduknya dan diikuti oleh Darwin.
Keduanya berjalan perlahan
meninggalkan taman azalea menuju
rumah mereka yang jaraknya lebih dari seratus meter dari taman tersebut. Keduanya menyusuri jalanan setapak
dengan di kiri-kanan jalan dipenuhi tanaman milik warga.
“Aku iri denganmu Win. Kau pernah
merasakan duduk di bangku sekolah, sedangkan aku tak pernah sama sekali,” lirih
Umairoh ditengah perjalanan mereka.
“Kenapa kau iri? Bukankah aku sudah
mengajarimu cara membaca dan berhitung? Kau bahkan lebih cepat belajar
dibangdingkan yang aku bayangkan. Dan sekarang kau sudah pandai membaca kan?”
Darwin menatap jalanan lurus di depan mereka sambil terkadang menendang
bebatuan kecil yang menyapa kakinya.
“Tapi tetap saja rasanya tidak adil.
Kaum pria diperbolehkan bersekolah, sedangkan kami wanita hanya bekerja di
rumah.. Ah, rasanya aku ingin menjadi laki-laki saja.”
“Hey, kau tak boleh berbicara
seperti itu. Kau harus bersyukur dengan apa yang sudah Tuhan takdirkan
untukmu,” Darwin menghentikan langkahnya ketika mereka berdua sampai di depan
rumah Umairoh. “Yasudah kau masuk dulu. Besok kita bertemu lagi ya,” Darwin
melambaikan tangannya pada Umairoh.
Umairoh menatap dalam manik Darwin.
“Kau serius akan pergi berperang bulan depan?”
Darwin tersenyum hambar dan
mengangguk lemah menjawab pertanyaan sahabatnya. “Aku harus pergi. Aku tidak
ingin kita dijajah oleh orang-orang berkulit pucat itu... Nanti aku janji akan
kembali.”
Umairoh menatap Darwin dengan
sedih. Selama belasan tahun ia tumbuh bersama Darwin, tak pernah terpikirkan
olehnya akan berpisah dengan pria itu. Terutama perang. Umairoh takut Darwin
tidak kembali setelah pergi berperang.
“Sudahlah tak perlu risau. Masih
ada waktu satu bulan sebelum aku pergi. Dan, eum besok kita akan belajar
bersama, bagaimana? Besok sore selepas tengah hari kita bertemu di tempat
biasa... Sekarang masuklah” Darwin tersenyum hangat meyakinkan Umairoh bahwa
semua akan baik-baik saja.
Umairoh hanya mengangguk pelan
sembari tungkainya membawa tubuhnya mulai memasuki pekarangan rumah. Sampai
gadis itu benar-benar memasuki rumahnya barulah Darwin melangkah menuju
rumahnya yang berjarak beberapa buah rumah dari rumah Umairoh.
***
2014
Menutup hari dengan beristirahat di
padang dandelion setelah rutinitas
yang menjemukan menjadi kebiasaan Darwin dan Umairoh. Keduanya tengah duduk
dengan menselonjorkan kaki mereka di atas bunga-bunga kuning itu sembari
menatap panorama langit di hadapan mereka. Jingga yang akan bersilih dengan
hitam, dimana matahari kembali ke peraduannya digantikan dengan milyaran
bintang yang menghiasi permadani langit.
“Kenapa kau tak ingin mengikuti
pertandingan futsal antar kampus nanti Win?” kali ini Umairoh mulai
mengeluarkan ponsel kesayangannya dan mengambil gambar dengan ponselnya itu
untuk mengabadikan momen luar biasa di hadapan mereka.
“Sudah kubilang kan, aku ini tak
suka bermain futsal Mer,” Darwin menopang tubuhnya dengan tangannya yang ia
letakkan di sisi kanan dan kiri tubuhnya. “Hey, Umairohku yang jelek. Kau tak
bosan mengambil foto sunset setiap
hari huh?”
Umairoh yang sudah selesai
mengambil foto yang ia rasa bagus langsung memasukkan kembali ponselnya ke
dalam saku celananya. “Tidak. Aku tidak bosan. Sunset itu berbeda-beda setiap harinya, tergantung bagaimana kau
mengambil sudut gambarnya.”
“Ckk, menurutku sama saja. Oh iya,
bagaimana dengan rencana kita waktu itu? Apa kau diijinkan orang tuamu?” Darwin
menatap antusias pada Umairoh.
Umairoh menghela nafas panjang dan
raut wajahnya tergambar sekali sangat kontras dengan beberapa menit yang lalu
saat ia mengambil foto melalui ponselnya. “Kau seperti tak mengenal ayahku
saja. Kau pasti sudah tahu jawabannya.”
“Apa perlu aku yang meminta ijin
pada ayahmu agar kau diijinkan? Ini kesempatan bagus yang tidak boleh kita
sia-sia kan Mer. Ayolah...”
“Darwinku yang aneh, please... you know all about my father... Ia tak mungkin mengijinkanku
melanjutkan S2 di luar negeri. Aku saja yang meminta ijin tak diperbolehkan,
apalagi kau yang menyebalkan itu,” Umairoh mendengus sebal.
“Yeah, aku tahu itu, it’s ok... tapi semoga saja ayahmu
berubah pikiran.”
“Hmm, aku harap seperti itu. Oh ya,
bagaimana dengan rencana kita esok hari?”
“Ah, kau benar... Hampir saja aku
melupakannya. Tentu saja jadi. Film apa yang ingin kita tonton besok? Evil dead? Final destination? Drag Me to The
Hell?”
“Kenapa kau merekomendasikan film horror semua? Tidak ada film comedy-romance begitu?”
“Tsk, ayolah Umairoh... Film itu
tidak horror, tapi thriller.
Film itu keren sekali, kau tidak akan menyesal menontonnya. Eum, bagiamana jika
kita besok menonton film Drag Me to The
Hell saja? Yaya...”
“Tapi bagaimana jika dalam film itu
akan muncul makhluk astral yang menyeramkan, dengan wajah penuh darah, rambut
berantakan, dan... akh, aku bahkan tak berani membayangkannya.”
“Kau ini terlalu berlebihan. Kalau
muncul makhluk-makhluk aneh seperti itu kau kan bisa langsung memelukku. Itulah
fungsinya kita menonton bersama... Oke?” Darwin menaik turunkan alisnya membuat
Umairoh menatapnya jengah.
“Tapi...”
“Sudahlah tak ada tapi-tapian.
Besok kita menonton film Drag Me to The
Hell di rumahku jam tiga sore,” Darwin mengucapkannya seolah memerintah dan
tidak menerima penolakan.
Umairoh lagi-lagi hanya mendengus
sebal lantas gadis itu bangkit dari duduknya sembari meregangkan otot-ototnya.
“Kau selalu seenaknya sendiri. Ya sudah kalau begitu lebih baik kita pulang,
sudah hampir malam nanti orang tua kita khawatir...”
“Baiklah. Aku tak sabar menunggu
esok.” Darwin lebih dulu berjalan mendahului Umairoh menuju motornya yang
terparkir di samping padang dandelion,
lantas pria itu menyerahkan helm untuk dikenakan Umairoh. “Ayo cepat naik...”
Umairoh lantas duduk di atas motor
Darwin, dengan kedua tangannya yang berpegangan pada pinggang sahabatnya itu.
“Film yang akan kita tonton besok tidak seram kan?” ucap Umairoh ketika motor
Darwin sudah melaju menyusuri jalan raya yang tak pernah sepi.
“Iya, kau cerewet sekali. Kalau
tiba-tiba muncul makhluk astral kau tinggal memelukku, gampang kan?”
“Ugh, kau memang menyebalkan.”
“Hahahaa...”
***
(1704)
Ini memang bukan waktu dimana
Darwin dan Umairoh menghabiskan waktu mereka bersama. Biasanya mereka akan
bertemu kala burung-burung mulai bersahutan dengan latar jingga di ufuk barat.
Namun hari masih siang ketika Darwin mengendap-ngendap di belakang Umairoh
sembari tangan kanannya menenteng sebuah buku, di mana gadis itu sedang duduk
dengan tenang menatap hamparan birunya permadani langit yang tak berujung.
“Tadaaaa,” seru Darwin seraya
menunjukkan buku yang ia bawa tepat di depan wajah sahabatnya.
“Ya Tuhan, Darwin kau
mengejutkanku!” Umairoh mengelus pelan dadanya dan bibirnya ia poutkan kesal.
“Hahaa.. Kau terkejut?” Darwin
mendudukkan diri di samping Umairoh. Seperti biasa, tempat mereka bertemu
selalu sama, taman azalea.
Umairoh mendengus sebal dengan
kedua pipinya yang ia kembungkan. “Tentu saja aku terkejut...” gadis itu
melempar pandangannya ke arah lain. “Ohya, kau dari mana saja? Aku menunggumu
sejak tadi.”
“Maaf sudah membuatmu menunggu.
Tadi aku masih harus membersihkan rumput liar di ladangku. Jadi, kau sudah siap
belajar hari ini?”
Umairoh mengangguk pasti. Kali ini
gadis itu menatap Darwin dengan binar yang tercetak jelas pada iris caramel-nya. “Hari ini kita akan belajar
apa?” tanyanya antusias.
“Tsk, ekspresimu itu seperti anak
kecil saja. Kau sepertinya bersemangat sekali...” Darwin tersenyum menatap
Umairoh, lantas ia membuka buku bersampul coklat usang yang tadi dibawanya.
“Tentu saja. Saat-saat belajar seperti
ini selalu kutunggu-tunggu. Jadi, ayo cepat kita belajar Pak Guru Darwin,”
Umairoh menahan suaranya agar tidak tertawa.
“Hey, kenapa? Apanya yang lucu?”
“Tidak. Hanya aneh saja menyebutku
‘Pak Guru’, hahaa.”
“Hmm, makanya tak usah memanggilku
seperti itu. Nah, ini dia buku pelajaran berhitung yang aku katakan waktu itu,”
Darwin menyerahkan bukunya pada Umairoh yang langsung disambut oleh gadis itu.
Ekspresi Umairoh sama sekali tak
menggambarkan wajah ceria manakala buku itu sudah berada di pangkuannya. Ia
hanya membolak-balik lembaran buku tersebut dengan wajah cemberut.
“Ada apa dengan wajahmu itu? Kau
tidak suka bukunya? Kan sudah kukatakan kemarin kalau hari ini kita akan
belajar berhitung yang dinamakan perkalian...”
“Aku pikir kau akan membawakanku
buku bacaan. Coba lihat, di dalam buku ini hanya terdapat angka... Apa yang
menarik untuk dipelajari?” Umairoh merengut kesal.
Darwin menghela nafasnya. “Umairoh,
bukankah kau sudah pandai membaca? Kenapa masih ingin buku bacaan? Lagipula semua
buku bacaan yang kumiliki sudah kupinjamkan padamu semua. Aku tak punya lagi
buku bacaan yang lain. Ya sudah lebih baik kita belajar saja.”
“Kau lihat tanda seperti huruf ‘x’
ini kan?” Darwin menunjuk is bukunya. Sedang Umairoh hanya mengangguk tak bersemangat.
“Nah, ini namanya tanda perkalian”
“Lalu apa fungsinya perkalian itu?”
“Fungsinya untuk mengalikan angka.
Semacam menggandakan angka... Misalnya dua dikali dua hasilnya empat. Kenapa?
Karena duanya dihitung dua kali...”
Umairoh menatap wajah Darwin yang
sedang memberikan penjelasan dengan wajah datar. “Aku tak mengerti,” ucap
Umairoh.
Darwin kini balas menatap wajah
Umairoh yang datar itu, lantas ia menutup kasar bukunya. “Kurasa tak ada
gunanya aku menjelaskannya. Kau sepertinya tak berminat sama sekali untuk
belajar,” Darwin meletakkan bukunya di samping tubuhnya. “Kurasa kita tak usah
belajar hari ini.”
Kedua alis Umairoh bertaut,
“Kenapa? Aku pasti akan belajar dengan baik.”
“Tapi ekspresimu saja sudah
menggambarkan kau tak suka mempelajari perkalian. Sudah, lain kali saja kita
belajar...” jawab Darwin sarkastik.
“Darwin.. Kau marah?”
Alih-alih menjawab, Darwin malah
merebahkan tubuhnya di atas rerumputan hijau yang mereka duduki. Pria itu
lantas memejamkan matanya seraya membiarkan angin sore ini menerpa wajahnya.
“Darwin, maafkan aku. Jangan marah
ya... Aku saat ini hanya sedang ingin membaca, aku tidak berselera mempelajari
angka-angka,” rengek Umairoh.
“Hmmm.”
“Darwin...” Umairoh menyenggol bahu
Darwin dengan jari telunjuknya.
“Hmmm?” Darwin bahkan tak membuka
matanya sedikitpun.
“Darwin... Buka matamu”
Kelopak mata Darwin perlahan
terbuka, hingga membuat pandangannya dan Umairoh saling bersirobok. Aliran
waktu seolah terhenti seketika, bahkan hembusan angin yang sejak tadi terus
menerus menerpa kulit mereka ikut terhenti.
Kini kedua mata Umairoh melebar,
bahkan terlalu lebar membuat kedua bola matanya seperti hendak mencuat keluar.
Ayolah, rasanya bumi berhenti
berputar. Aliran nafas Umairoh bahkan terhenti dan menelan salivapun rasanya
begitu sulit ketika Darwin tiba-tiba menariknya hingga membuat posisi tubuhnya
kini menindih tubuh Darwin.
Keduanya saling menatap tanpa
kedip. Darwin bersumpah ia juga ingin berteriak karena tindakan yang baru saja
ia lakukan. Darwin sendiri kesulitan bernafas. Tidak, bukan karena tubuh
Umairoh yang berat, ia bahkan menyukai posisi ini.
Eh? Apa tadi yang baru saja ia
pikirkan?
Darwin tahu mereka berdua sudah
dewasa. Dan ah, ia bahkan sudah berkhayal yang tidak-tidak sekarang. Dengan
jarak Umairoh yang sedekat ini Darwin bisa merasakan aroma tubuh Umairoh, serta
buah dada Umairoh yang empuk bisa ia rasakan di atas tubuhnya.
Umairoh hanya bisa diam karena
tubuh gadis itu seperti beku mendadak. Tidak hanya aliran nafasnya, aliran
darah dan denyut nadi gadis itu bagaikan terhenti. Umairoh bisa merasakan
rongga dadanya yang mendidih dan mungkin wajahnya sudah semerah tomat sekarang.
Dalam jarak sedekat ini ia bisa
mencium aroma perofon Darwin serta detak jantung Darwin yang terasa seirama
dengan detak jantungnya. Ia sendiri tak bisa membohongi dirinya kalau ia
menyukai saat mereka dalam posisi seperti ini.
Tangan kiri Darwin menggenggam erat
tangan kanan Umairoh yang berada di atasnya, sedangkan tangan kanannya yang
bebas berada di tengkuk Umairoh dan mulai menarik tengkuk gadis itu untuk
semakin mendekat. Ia sengaja membiarkan pergerakan lambat itu membuat sensasi
aneh tersendiri di dalam dadanya hingga menimbulkan gejolak serta desiran yang
membuat darahnya terasa panas.
Umairoh bisa merasakan tegangan di
dalam tubuhnya. Ia hanya bisa mengikuti tangan Darwin yang menarik tengkuknya
agar terus mendekat dengan wajah Darwin. Umairoh mulai bisa merasakan hembusan
nafas Darwin yang hangat dan tatapan lembut Darwin yang terus menghujami
irisnya membuatnya tak bisa mengalihkan pandangannya dari manik kelam nan
lembut milik Darwin.
Bibir mereka hanya berjarak kurang
lima sentimeter lagi ketika Umairoh berhenti dan menatap bibir penuh Darwin.
Darwin tersenyum lembut seraya memegang dagu Umairoh, membuat pandangan gadis
itu kembali beralih pada maniknya. Wajah mereka semakin mendekat dan hidung
mereka saling bersentuhan. Umairoh dengan refleks menutup kedua matanya ketika
bibir mereka saling bersentuhan lembut. Sedangkan Darwin menatap lembut pada
kelopak Umairoh yang terpejam merasakan sensasi hangat pada bibir mereka.
Hingga kelopak mata Darwin juga
turut terpejam seraya membiarkan bibir mereka bersentuhan lembut dan membuat
jantungnya terus menerus berpacu dengan frekuensi cepat. Cukup lama bibir mereka
hanya bersentuhan lembut tanpa ada pergerakan. Darwin yang terlebih dulu
menggerakkan bibirnya untuk menyesap bibir atas Umairoh, dan demi Yupiter ia
bisa merasakan rasa manis dari bibir gadis itu.
Ciuman pertama yang mereka lakukan
dengan sahabat sendiri. Ada sensasi aneh yang menggelitik Umairoh dan
membuatnya juga turut menggerakkan bibirnya membalas perlakuan Darwin. Bibir
mereka saling menyesap satu sama lain. Bergerak dengan lembut saling menyapu
bibir atas dan bawah bergantian.
Gerakan yang begitu lembut tanpa
nafsu itu membuat mereka melakukannya cukup lama. Keduanya saling menyalurkan
perasaan kasih sayang satu sama lain dalam ciuman itu. Bibir mereka saling
memagut dan menghisap dengan sangat lembut. Darwin bahkan tak henti-hentinya
menyesapi seluruh bibir Umairoh tanpa terlewati satu bagianpun. Ciuman basah
yang bercampur saliva masing-masing. Umairoh menghisap saliva Darwin yang
keluar melalui celah bibir pria itu, begitu pula Darwin. Mereka saling bertukar
saliva dalam ciuman itu.
Umairoh bahkan tanpa sadar melenguh
pelan karena manisnya ciuman mereka yang membuat seluruh sarafnya bagaikan
tersengat jutaan jarum. Ciuman itu berlangsung cukup lama, bahkan sangat lama.
Hari semakin sore ketika
burung-burung berterbangan di angkasa bersiap menyambut sang surya yang kembali
ke peraduannya. Sedang di tengah taman azalea
Darwin dan Umairoh masih terus melakukan kegiatan mereka, berciuman. Kelopak
mata mereka terlalu enggan untuk sekedar terbuka meski sekejap karena keduanya
tak ingin terlewatkan momen satu detikpun dari tiap inchi ciuman mereka.
Ciuman lembut nan manis
menghantarkan mereka untuk menutup hari di tengan taman azalea tak memperdulikan kicauan burung yang seolah meminta mereka
untuk segera menghentikan ciuman itu. Tak juga memperdulikan jingga yang
sebentar lagi akan menampakkan dirinya di ufuk barat. Karena yang Darwin dan
Umairoh tahu ciuman lembut dan basah itu akan menjadi kenangan mereka saat
mereka berpisah nanti.
***
2014
Darwin bahkan baru menyalakan DVD,
tapi Umairoh sudah duduk di atas sofa di depan layar tv dengan memeluk erat
sebuah boneka Nemo berukuran besar. Gadis itu meringkuk seolah tahanan yang
akan dihukum mati.
“Ayolah Umairoh santai saja. Tidak
usah berlebihan seperti itu,” Darwin hanya geleng-geleng kepala melihat
kelakuan sahabatnya itu. “Jadilah wanita pemberani.”
“Bagaimana aku tidak takut bodoh.
Kau menutup pintu kamarmu, kau menutup jendela kamarmu, bahkan cahaya matahari
tak ada yang bisa masuk. Dan yang lebih parah kau tak menyalakan lampu di dalam
kamar yang gelap ini. Kau sengaja ingin membuatku mati ketakutan huh?” seru
Umairoh heboh. Gadis itu tetap begeming di tempatnya bahkan wajahnya saja sudah
seperti orang migrain.
“Hey, hey... santai sedikit Nona.
Justru aku ingin membuat efek luar biasa saat kita menonton film. Kau kan tidak
pernah menonton film di bioskop, jadi yah anggap saja saat ini kita sedang di
bioskop.”
Umairoh semakin memeluk erat boneka
Nemo dipelukannya. Saat film yang diputar mulai menampakkan gambarnya, gadis
itu hanya menunduk tanpa memandang sedikitpun pada layar tv.
“Kau penakut,” sinis Darwin yang
mulai fokus pada layar tv.
“Aku bukan penakut,” sela Umairoh
cepat.
“Lalu kalau bukan penakut apa
namanya? Kau bahkan tak menatap sedikitpun pada layar tv. Padahal tak ada gambar
yang menakutkan sama sekali.”
“Aku hanya mengantisipasi...” ucap
Umairoh pelan.
Darwin menghembuskan nafas berat.
Pria itu lantas bangkit dari sofa dan mematikn DVD dengan kasar membuat Umairoh
terkejut dan menatap heran pada Darwin yang kembali duduk di sampingnya.
“Kenapa dimatikan?”
“Lalu apa gunanya menyalakan DVD
tapi kau tak menontonnya? Buang-buang energi listrik saja,” Darwin mengucapkan
kalimatnya dengan sinis. “Kau keterlaluan Umairoh. Tidak bisakah kau hilangkan
rasa takutmu itu?”
Umairoh hanya menunduk. Umairoh
tahu Darwin pasti saat ini sedang marah dengannya. “Maaf.”
Darwin kembali menghembuskan
nafasnya. Ia tak mengucapkan sepatah katapun dan lebih memilih menyandarkan
punggungnya pada sandaran sofa. Pria itu bersidekap kemudian memejamkan kedua
matanya, tak menghiraukan rengekan Umairoh di sampingnya.
“Darwin jangan begitu. Ya sudah,
ayo kita tonton bersama. Aku janji setelah ini akan menontonnya... Darwin,”
Umairoh menyenggol bahu pria itu berusaha membuat Darwin membuka matanya.
“Darwin...” rengek Umairoh lagi karena sepertinya Darwin benar-benar tak
menghiraukan eksistensinya.
“Win... Wiwin, buka matamu...” ucap
Umairoh tepat di telinga Darwin.
Pandangan mereka saling bersirobok
ketika wajah Umairoh masih berada tepat di samping telinga Darwin saat pria itu
membuka matanya. Umairoh menelan salivanya dengan gugup. Bahkan gadis itu
berkali-kali mengerjapkan matanya untuk mengurangi dentaman jantungnya yang
entah sejak kapan rasanya bertalu-talu dengan cepat.
Di dalam kamar Darwin yang gelap
itu Umairoh bisa dengan jelas menilik manik Darwin yang menghujami irisnya
membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jemari tangan
kanan Darwin membelai pipi kiri Umairoh dengan lembut, membuat Umairoh
kesulitan bernafas. Sedang tangan kiri Darwin menarik tengkuk Umairoh. Tidak,
Darwin tidak menarik tengkuk Umairoh melainkan mendorong gadis itu hingga
berbaring di atas sofa, lantas Darwin berada di atas tubuh Umairoh. Darwin
menahan tubuhnya dengan kedua lututnya berada di kedua sisi tubuh Umairoh serta
tangan kanannya yang menyangga berat tubuhnya agar Umairoh tak tertindih oleh
berat tubuhnya.
Tubuh Umairoh mematung, gadis itu
bahkan sudah berkeringat dingin dengan jantungnya yang semakin menggila. Gadis
itu mulai berpikiran yang bukan-bukan. Oh ayolah, seharusnya ia memberontak
sekarang.
Darwin menahan tubuh Umairoh di
bawah tubuhnya. Sungguh, jantung Darwin rasanya ingin meloncat dari tempatnya.
Ia tak tahu kenapa melakukan ini pada Umairoh.
Hingga sunyi melingkupi keduanya.
Yang terdengar hanya detak jam yang terus bergerak mendominasi kamar Darwin
yang gelap sepenuhnya. Darwin mendekatkan wajahnya, menuju satu titik yakni
bibir Umairoh. Umairoh bersumpah jantungnya ingin meledak rasanya.
“Pfft, kenapa wajahmu tegang sekali
huh?” Darwin segera memperbaiki posisi tubuhnya dan langsung kembali duduk
dengan bersandar. Pria itu terkekeh pelan melihat Umairoh yang terus menerus
berdehem karena salah tingkah.
“Kau menyebalkan...” Umairoh
memukul lengan Darwin setelah ia juga bangkit dari posisinya tadi.
“Kenapa menyebalkan? Karena aku tak
jadi menciummu?”
Dada Umairoh kembali bergemuruh
ketika mendengar kata ‘mencium’ dari mulut Darwin. “Sudahlah, aku mau mengambil
es krim dulu di kulkasmu. Terlalu panas di sini,” Umairoh segera melesat pergi
meninggalkan kamar Darwin dengan terburu-buru.
Ketika tubuh Umairoh sudah
menghilang di balik pintu kamarnya, Darwin memegangi dada kirinya yang terasa
sesak. Pria itu menghembuskan nafas berat. Entah kenapa ia merasa ada sengatan listrik
di dalam tubuhnya saat maniknya dengan telak menilik bibir merah muda Umairoh.
“Darwin, kenapa hanya ada satu es
krim? Di mana kau menyimpan es krimmu yang banyak biasanya?”
Darwin terlonjak kaget karena
presensi Umairoh yang tiba-tiba di kamarnya. “Kenapa kau cepat sekali kembali?”
tanya Darwin seraya bangkit dari duduknya dan kembali menutup pintu kamar yang
tadi di buka Umairoh.
Umairoh duduk di atas sofa,
“Memangnya untuk apa aku lama-lama huh?”
“Yah, maksudku kau mengejutkanku.
Dan es krimku sudah habis, mungkin itu satu-satunya yang tersisa di kulkas..”
Darwin kembali duduk di samping Umairoh.
“Oh, ya sudah kalau begitu kau
cepat nyalakan DVD-nya. Kali ini aku tidak akan takut, aku janji,” ucap Umairoh
seraya membuka bungkus es krim Cornetto rasa vanilla.
Darwin mengangguk-angguk pelan
seraya bangkit dan kembali menyalakan DVD yang tadi sempat ia matikan, lantas
setelahnya pria itu kembali duduk.
Layar tv mulai menampakkan gambar
dari film yang sedang diputar. Sedang Umairoh mulai fokus pada layar tv sembari
mulutnya memasukkan es krim secara perlahan. Hell, sejujurnya Umairoh terlalu takut untuk sesuatu yang berbau ‘horror’ dan ia hanya bisa menekan rasa
takutnya tersebut demi menjaga harga dirinya di hadapan Darwin. Ia tak mau pria
itu merendahkannya karena menganggapnya sebagai penakut.
Fokus Darwin kini bukan pada layar
tv melainkan Umairoh yang terus menerus memasukkan es krim dengan santainya.
Pria itu berkali-kali mengerjapkan matanya karena sejak tadi yang ia lihat
hanya bibir Umairoh yang terlihat dengan jelas karena pantulan cahaya layar tv.
Bibir Umairoh yang belepotan dengan
es krim dan merembes di sekitar bibirnya.
Lagi-lagi pandangan mereka saling
bersirobok kala Umairoh menolehkan wajahnya dan menatap Darwin yang sejak tadi memperhatikannya.
“Kau kenapa? Kau ingin es krim
juga?” tanya Umairoh bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan Umairoh,
Darwin dengan cepat menyambar es krim yang dipegang Umairoh membuat gadis itu
terlonjak kaget. Darwin memasukkan es krim itu dengan tidak sabaran ke dalam
mulutnya. Umairoh hanya menatap sahabatnya itu yang bertingkah aneh.
Kini bibir Darwin juga dipenuhi es
krim karena ia memasukan es krim tersebut dengan terburu-buru. Darwin lantas
menatap Umairoh yang mengisyaratkan agar gadis itu juga melakukan hal yang sama
dengannya, memakan es krim tersebut bersama-sama. Seolah mengerti arti tatapan
Darwin, Umairoh segera memasukkan es krim tersebut ke dalam mulutnya bergantian
dengan Darwin.
Keduanya terus melakukannya
bergantian, dan tanpa tergesak-gesak. Keduanya seolah menikmati kegiatan
memakan es krim mereka hingga tak menghiraukan layar tv yang tengah memutar
film Drag Me to The Hell. Usai Darwin
menyesap es krim tersebut, lantas setelahnya Umairoh yang melakukannya, dan
begitu seterusnya secara bergantian.
Hingga saat giliran Umairoh yang
menyesap es krim itu, Darwin juga turut melakukannya membuat bibir mereka
saling bertemu. Kedua mata Umairoh melebar saat irisnya melihat dengan jelas
kelopak Darwin yang menutup seraya bibir mereka saling bertautan. Darwin
nampaknya begitu menikmati kecupan bertubi-tubi yang ia berikan di bibir
Umairoh.
Demi Saturnus, Umairoh bisa
merasakan rasa manis luar biasa melebihi manisnya es krim Cornetto vanilla yang tadi mereka makan. Bibir Darwin juga dipenuhi
es krim membuatnya bisa merasakan dingin dan manis sekaligus di bibirnya.
Kedua mata Umairoh masih belum
terpejam karena gadis itu masih belum bisa berpikir jernih. Lantas setelah
puluhan detik Darwin mengecup bibirnya, kedua mata gadis itu mengerjap ketika
kelopak Darwin terbuka dengan bibir mereka yang masih bertautan. Manik Darwin
menohok iris Umairoh membuat gadis itu tak bisa mengalihkan perhatiannya dari
manik Darwin.
Lantas Darwin segera melepaskan
tautan bibir mereka seraya tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya pada
telinga Umairoh. “Kau harus menutup matamu saat kita berciuman,” bisiknya
seduktif membuat pembuluh darah Umairoh mendidih seketika.
Kedua mata Umairoh lagi-lagi
mengerjap dan tubuhnya bagaikan tersengat listrik. Hey, ayolah kenapa ia jadi
tiba-tiba seperti ini?
Darwin kembali menyambar es krim
yang masih dipegang Umairoh dan ia memasukkan es krim itu dalam jumlah banyak
ke dalam mulutnya, lantas kembali tanpa aba-aba ia mendekatkan bibirnya pada
bibir Umairoh dan kembali memagut bibir gadis itu. Umairoh yang sudah tak bisa
berpikir jernih dengan serta merta menutup kelopak matanya dan ia bersumpah
tubuhnya merasakan sensasi luar biasa ketika bibir mereka saling bersentuhan.
Ini ciuman pertama bagi Umairoh dan
Darwin. Keduanya saling menyesap dan menghisap bibir bawah dan atas satu sama
lain bergantian. Dan kini Umairoh kembali merasakan sensasi aneh di sekujur
tubuhnya ketika Darwin memasukkan es krim melalui mulutnya. Es krim yang tadi
Darwin masukkan dalam jumlah banyak ke dalam mulutnya, lantas ia salurkan ke
dalam mulut Umairoh.
Bagi Umairoh rasa es krim dari
mulut Darwin lebih manis dibandingkan es krim di tangannya. Bahkan tanpa sadar
es krim yang tadi ia pegang terjatuh karena kedua tangan gadis itu kini
melingkar erat pada leher Darwin. Sedangkan tangan kiri Darwin kini menahan
tengkuk Umairoh untuk memperdalam ciuman mereka serta untuk mempermudahkannya
memasukkan es krim ke dalam mulut Umairoh, dan tangan kanannya melingkar di
pinggang Umairoh untuk memangkas jarak diantara mereka.
Keduanya begitu menikmati ciuman
manis dan dingin itu. Bahkan saat es krim di dalam mulut Darwin sudah habis,
mereka bukan lagi saling berbagi es krim melainkan berbagi air liur. Darwin
memagut, menghisap dengan lembut namun sedikit kuat seolah bibir Umairoh adalah
permen lollipop. Umairoh-pun tak
kalah, gadis itu turut membalas ciuman Darwin dengan turut menyesapi bibir atas
dan bawah Darwin bergantian.
“Eungh...” tanpa sadar Umairoh
melenguh pelan karena ia tak bisa menahan gejolak di dalam tubuhnya karena
sensasi luar biasa dari ciuman mereka.
Darwin menggerakkan kepalanya ke
kiri, terkadang ke kanan demi mempermudahkannya mencari posisi yang nyaman
untuk menciumi Umairoh, serta untuk membantu gadis itu bernafas sembari
berciuman. Waktu belasan menit lamanya bibir mereka masih bertahan hingga
Darwin yang lebih dulu melepaskan pagutan bibir mereka.
Umairoh segera menarik nafas
panjang dan meraup oksigen sebanyak mungkin karena ia benar-benar kehabisan
nafas setelah ciuman mereka tadi. Darwin berkali-kali menghela nafas panjang
demi mengisi kekosongan pada paru-parunya. Dahi mereka masih saling
bersentuhan, dan kini Umairoh menatap pada dua belah bibir Darwin yang terbuka
seolah memintanya untuk melakukannya lagi.
Darwin mengangguk pelan seolah
mengerti arti tatapan Umairoh dan membiarkan gadis itu yang kini lebih dulu
mendekatkan bibir mereka. Hingga akhirnya ciuman manis itu kembali berlanjut
dan kali ini lebih pelan dan lembut dari sebelumnya. Kelopak mata keduanya
sama-sama terpejam menikmati sensasi pada bibir mereka.
Keduanya terus melakukan ciuman itu
tanpa menghiraukan film yang masih terus berputar, tak juga menghiraukan gelap
yang melingkupi kamar Darwin, serta tak menghiraukan detik jam yang terus
berputar. Tak menghiraukan seberapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk
berciuman. Ciuman yang terlalu manis untuk dihentikan, dan ciuman yang terlalu
manis untuk dilupakan suatu saat nanti.
Yang Umairoh dan Darwin tahu saat
ini adalah melalui ciuman itu mereka menyalurkan perasaan masing-masing. Dan
melalui ciuman itu mereka bisa merasakan arti memiliki satu sama lain.
***
Ini sudah pukul setengah dua belas
malam ketika Darwin masih berusaha membawa dirinya ke alam mimpi. Kejadian tadi
sore terus menerus membayanginya membuatnya kesulitan tidur. Bahkan ia masih
bisa merasakan hangatnya bibir Umairoh di bibirnya. Ia bahkan tak rela saat
Umairoh dengan paksa melepaskan pagutan bibir mereka karena hari sudah sore dan
gadis itu harus kembali ke rumahnya.
Darwin segera bangkit duduk dan mengerang
frustasi. Ia memegangi bibirnya. Darwin tersenyum sendiri mengingat bagaimana
ciuman pertamanya tadi yang begitu memabukkannya.
Tsk, ayolah kenapa otaknya masih
terus memikirkan hal itu?
Pria itu menghela nafas panjang. Ia
tak tahu apa yang harus ia lakukan besok jika bertemu Umairoh di kampus. Apa ia
harus tersenyum seperti biasanya? Oh, memalukan. Ia pasti akan gugup sekali
jika gadis itu berada di dekatnya besok.
“Akh, seharusnya ciuman tadi tak
terjadi. Aaargh...” erang Darwin seraya bermonolog. “Tapi, aku sangat menyukai
ciuman itu...” Darwin mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan dari
tadi. “Aku bisa gila.”
Darwin hendak kembali membaringkan
tubuhnya saat tiba-tiba seluruh ruangan kamarnya berganti dengan suasana
pedesaan, dan saat ini sepertinya masih senja. Kedua matanya melebar karena
saat ini ia sedang berada di tengah taman azalea.
“Kurasa aku memang sudah gila,” ucapnya seraya berjalan perlahan menyusuri
taman itu.
Darwin melihat seorang pria yang
tengah duduk sendirian menatap hamparan permadani langit yang tak berujung. Tak
ada siapapun di tempat itu selain ia dan pria yang tengah duduk sambil
membelakangi Darwin. Karena rasa penasaran yang tak terbendung lagi, Darwin
memilih membawa tungkainya untuk mendekati pria itu.
“Per..misi,” ucapnya pelan.
Pria di hadapannya seketika
berbalik dan membuat jantung Darwin hampir mencelos dari tempatnya. Pria itu
memiliki wajah yang mirip dengannya. Oh bukan, melainkan sama persis. Wajah
pria itu seperti refleksi wajah Darwin.
Pria itu juga menatap Darwin heran
dan ia lantas berdiri seraya mengacungkan telunjuknya. “Siapa kau?” tanya pria
itu seraya netranya menilik Darwin dari kepala sampai kaki. Pria itu menatap
Darwin heran karena Darwin mengenakan pakaian aneh yang berbeda dengannya.
“Seharusnya aku yang bertanya
padamu. Kau siapa? Apa yang kau lakukan di tempat ini seorang diri? Dan... dan
kenapa, kenapa kau memiliki wajah yang sama denganku?” tanya Darwin beruntun
dan sedikit heboh. Darwin menatap pria itu yang mengenakan pakaian kuno, dan
rambut belah tengah yang jauh dari mode masa kini.
“Aku Darwin. Kau siapa? Aku belum
pernah melihat penduduk desa ini sepertimu... dan, seharusnya aku juga bertanya
kenapa wajah kita sama?”
“Namaku juga Darwin. Tunggu,
dulu... sekarang ini tahun berapa?” tanya Darwin sembari netranya menerawang ke
segala arah. Hanya banyak pepohonan dan rumah kayu yang jaraknya berjauhan
dengan jumlah yang bisa dihitung dengan jari.
“Tahun 1704. Kau ini aneh sekali,
kenapa bertanya seperti itu?”
“Tahun 1704??!!” seru Darwin tak
percaya. “Jadi saat ini aku datang ke masa lalu?”
Pria di hadapan Darwin yang juga
memiliki nama yang sama dengannya hanya menatap heran padanya. “Apa maksudmu
masa lalu? Jadi kau datang dari masa depan begitu?”
Darwin menggeleng pelan. Kalau ia
benar-benar berada di masa lalu, ini sebuah keajaiban. Tapi, lututnya lemas
seketika mengingat bagaimana cara agar ia bisa kembali ke masa tahun 2014.
Darwin lantas terduduk diikuti oleh pria di hadapannya.
“Kau bilang namamu Darwin kan? Ini
sebuah kebetulan sekali. Nama kita sama, bahkan wajah kita sama persis. Yang
membedakan hanya pakaian kita. Tapi, kenapa kau bisa datang ke masa ini?”
Darwin masa lalu menatap penuh tanya pada Darwin di hadapannya.
“Aku juga tak tahu. Tadi saat aku
hendak tidur, tiba-tiba saja aku langsung berada di tempat ini.”
Darwin masa lalu hanya mengangguk
pelan. “Sepertinya banyak sekali kesamaan diantara kita. Oh ya, mungkin saja
takdir membawamu ke sini karena ada suatu hal.”
Darwin menatap heran Darwin masa lalu
yang berbicara dengannya. Mengenai tahun 1704, itu artinya negara mereka belum
merdeka. Darwin menghela nafas panjang. “Tadi sore aku berciuman dengan
sahabatku sendiri. Dan yeah, akhirnya aku tak bisa tidur.”
Darwin masa lalu terbatuk seperti
tersedak sesuatu. “Ap, apa? Apa tadi yang aku bilang? Kau berciuman dengan
sahabatmu??? Apa itu ciuman pertamamu? Dan, apa... apa tadi kalian melakukannya
cukup lama?” tanyanya beruntun dan nadanya sedikit memelan di akhir kalimatnya.
Darwin mengangguk dengan ekspresi
keheranan luar biasa yang tercetak jelas di wajahnya. “Apa kau juga melakukan
hal yang sama?” tanyanya pelan.
Hanya anggukan pelan sebagai
jawaban atas pertanyaan Darwin barusan. Darwin berusaha memutar otaknya untuk
mengaitkan hubungan antara kejadian yang terjadi diantara mereka. “Siapa nama
sahabatmu itu?”
“Umairoh,” jawab Darwin masa lalu
dengan cepat. “Ia gadis hebat. Bagaimana dengan sahabatmu? Siapa namanya?”
“Ini sebuah kebetulan yang luar
biasa. Namanya juga Umairoh, hanya saja ia bukan gadis hebat. Tapi gadis
menyebalkan dan cerewet,” jawab Darwin sambil terkekeh pelan. “Kau kenapa?”
tanya Darwin bingung karena ekspresi pria bernama sama dengannya itu berubah.
“Aku berbohong pada Umairoh kalau
aku akan pergi berperang bulan depan. Padahal aku akan pergi esok hari. Aku
takut, aku takut tak bisa kembali untuknya. Tapi aku tak ingin membuatnya
menungguku, kalau-kalau aku tak bisa pulang dengan selamat. Aku tak berani
mengatakan padanya...” Darwin masa lalu menunduk. Darwin bisa mendengar dengan
jelas suara pria itu yang bergetar menahan tangis.
Mendengar kata ‘berperang’ itu
seketika membuat bulu romaanya berdiri. Darwin bergidik ngeri ketika
membayangkan situasi perang. Yah wajar saja, saat ini kan masih jaman
penjajahan. “Jadi kau belum mengatakannya pada Umairohmu?”
Lagi-lagi Darwin masa lalu hanya
menjawabnya dengan anggukan. “Makanya tadi aku menciumnya, mungkin itu akan
jadi ciuman pertama dan terakhir kami.”
“Sejujurnya aku takut sekali
mendengar kata perang. Tapi kau tenang saja, setiap tetes keringat dan darah
semua pahlawan yang berperang akan terbayar karena pada tahun 1945 negara kita
merdeka dari penjajah. Aku salah satu anak bangsa yang lahir usai kemerdekaan,”
Darwin menepuk pelan pundak Darwin masa lalu.
“Tahun 1945? Berarti masih sangat
lama negara kita dijajah. Hanya saja yang aku takutkan aku tak bisa menjaga
Umairoh lagi...” lirih Darwin masa lalu.
“Kurasa aku tahu kenapa aku
dipanggil kemari,” Darwin tersenyum tulus menatap Darwin masa lalu yang
merupakan refleksi dirinya itu. “Kau ingin aku menjaga Umairoh di masa depan
kan? Kau tidak ingin aku berpisah darinya kan seperti yang akan kau lakukan
esok?”
“Yah, kurasa kau benar. Kuharap kau
menjaga Umairohmu di masa depan. Jangan biarkan ia kesepian seperti Umairohku.”
“Tsk, kau mengatakannya seperti kau
akan pergi selama-lamanya saja.”
Darwin masa lalu kembali menghela
nafasnya, “Aku merasa memang waktuku tak banyak lagi. Dan kurasa aku tak bisa
lagi bertemu dengan Umairoh dan tak bisa lagi menjaganya... Aku juga tak ingin
mengucapkan salam perpisahan untuknya, jadi kurasa biarkan ia tak tahu aku
pergi. Dan kuharap ciuman itu bisa menjadi kenangan indah kami setelah aku
pergi...”
Darwin mengangguk pelan. Sejujurnya
ia juga tak mengerti apa hubungannya ini semua dengannya. “Aku juga akan pergi
meninggalkan Umairoh.”
Darwin masa lalu menatap terkejut
padanya. “Maksudmu?”
“Aku akan melanjutkan kuliah S2 di
luar negeri. Dan kurasa, Umairoh tidak bisa ikut denganku. Tapi, aku pasti akan
kembali untuknya. Aku akan menjaganya setelah aku pulang kembali,” Darwin
kembali tersenyum.
“Yah, setidaknya kau beruntung
masih memiliki waktu yang cukup lama bersamanya dibandingkan denganku yang
sudah tak memiliki waktu lagi. Jadi kuharap kau manfaatkan waktu kebersamaan
kalian sebaik-baiknya,” kali ini Darwin masa lalu tak lagi menunjukkan ekspresi
sedihnya. “Dan kurasa aku tak akan mati sia-sia demi negeri ini. Berkatmu yang
datang dari masa depan dan menunjukkan padaku bahwa negara kita pasti akan
merdeka di masa depan. Aku jadi tak takut lagi untuk pergi berperang esok, dan
kurasa sebelum pergi aku harus memberitahukan kepergianku dulu pada Umairoh.”
Darwin mengangguk pelan. Seketika
itu pula suasana kembali berubah dengan dirinya yang kembali berada di dalam
kamarnya dan Darwin masa lalu telah menghilang bersamaan dengan hembusan angin
malam yang menerpa kulitnya.
“Kurasa aku mengerti sekarang. Aku
tak perlu malu bertemu dengan Umairoh besok, karena ciuman kami tadi akan
menjadi kenangan kami selama aku pergi kuliah ke luar negeri. Hmm, rasanya aku
lelah sekali... Lebih baik aku tidur karena besok pagi harus kuliah,” Darwin
bermonolog seraya menarik selimutnya.
“Selamat malam Darwin masa lalu,
semoga kau selamat dalam peperangan dan menjaga Umairoh masa lalu,” ucapnya
pelan sembari kedua matanya mulai menutup dan dengkuran halusnya mulai
mendominasi seluruh ruangan kamarnya.
***
3 years later...
1707
Umairoh duduk di samping batu nisan
seraya membawa seikat mawar merah yang masih segar. Gadis itu tersenyum usai
meletakkan bunga mawar tersebut di samping batu nisan. Ia mengelus gundukan
tanah itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
“Sudah tiga tahun sejak kau pergi
Win... Tak ada yang berubah, masih sama. Aku masih Umairoh yang kenal, dan aku
masih Umairoh yang suka membaca. Aku masih membantu orang tuaku di sawah.”
“Kau tahu tidak, seminggu setelah
aku mendengar kabar kau gugur, aku ingin mati rasanya... Aku tak ingin hidup
lagi karena kau sudah tiada,” senyum di wajah Umairoh memudar. Kini air mata
mulai membanjiri wajah gadis itu. “Sebelum kau berangkat perang, kau menciumku
di depan rumahku. Itu ciuman kedua kita, kau ingat kan?” Umairoh kini mengelus
Nisan bertuliskan nama Darwin di sana. “Aku pikir setelah itu akan ada ciuman
ketiga kita dan ciuman-ciuman berikutnya. Tapi nyatanya, itu ciuman terakhir
kita. Sakit Win... di sini...” Umairoh memukul-mukul dadanya.
Gadis itu mulai terisak dan tetap
berbicara sendiri di depan makam salah satu pahlawan bangsa yang gugur demi
menjaga kehormatan negaranya. “Meskipun sudah tiga tahun berlalu, tapi aku
masih bisa merasakan hangat bibirmu di bibirku. Aku masih bisa merasakan
sentuhan hangatmu di tanganku. Bahkan dekapanmu yang dulu sering kurasakan, aku
masih bisa merasakannya Win.”
“Darwin... Aku mencintaimu. Semoga
kau tenang di sana...” Umairoh kembali terisak seraya memeluk nisan di makam
Darwin. “Hiks, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan Win... Aku tak bisa
hidup tanpamu.”
“Win... Merdeka... Aku yakin suatu
saat perjuanganmu tidak akan sia-sia, bersama pahlawan-pahlawan lain yang
gugur,” kini Umairoh mencium batu nisan itu tepat di mana nama Darwin tertulis
di sana.
“Aku mencintaimu...”
***
2017
Umairoh tengah duduk di balkon
rumahnya usai pulang dari TK tempat ia mengajar. Gadis itu sedang menggenggam
ponselnya menunggu sebuah pesan yang masuk. Benar saja, tak lama voice message dari aplikasi Line masuk.
Sebuah pesan suara dari Darwin.
“Halo gadis jelek... Apa kabar? Kau pasti merindukan suaraku yang merdu
ini kan? Ayo mengaku saja... Maaf yah akhir-akhir ini aku tidak sempat
mengirimimu pesan, aku terlalu sibuk dengan tugas kuliahku. Bagaimana
Indonesia? Aku jadi merindukan saat-saat kebersamaan kita setahun yang lalu...
Hey, jangan lambat membalas pesanku... Oke Umairoh...”
Umairoh hanya tertawa mendengar
suara sahabatnya yang aneh itu. Tanpa waktu lama gadis itu segera membalas
pesan suara dari Darwin yang saat ini sedang berada di Birmingham.
“Hey pria aneh. Aku sama sekali tak
merindukanmu bodoh... aku malah bahagia di sini tanpamu. Indonesia baik-baik
saja dari Sabang sampai Merauke. Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kau terlambat
makan? Apa kau tidur larut? Atau di sana kau berkencan dengan banyak gadis... ?
Tsk, tak usah tebar pesona di sana. Ingat, kau hanya belajar di negeri orang
Darwinku yang menyebalkan.”
Kembali tak berselang lama kembali balasan
pesan suara Darwin masuk.
“Kau masih cerewet meskipun sudah jadi guru. Aku tidak telat makan dan
juga tidak tidur larut malam. Kalau soal berkencan dengan gadis-gadis di sini,
entahlah. Memangnya kenapa? Kau cemburu ya? Haha.. mengaku saja. Aku tanpa
perlu tebar pesona juga banyak gadis-gadis yang mengejarku, hahaa.. Kau di sana
tak boleh berkencan dengan pria manapun mengerti? Umairoh hanya milik
Darwin...”
Umairoh dengan cepat kembali
membalas pesan dari Darwin.
“Aku tak peduli jika kau berkencan
dengan sepuluh gadis di sana sekaligus. Hey, memangnya siapa kau yang seenaknya
saja melarangku berkencan dengan pria-pria di sini? Asal kau tahu, banyak
lelaki yang mengejarku... Gara-gara kau yang mencap Umairoh milik Darwin jadi
tak ada pria yang berani mendekatiku. Kau menyebalkan.”
“Hahaa... Kau memang milikku. Kau tidak ingat ciuman kita waktu itu?
Ciuman pertama kita yang berlangsung lama di kamarku sekitar tiga tahu yang
lalu, dan ciuman kedua kita setahun yang lalu saat di bandara sebelum aku
pergi. Itu menandakan kau adalam milikku Umairoh.. Tidak usah mengelak lagi.”
Wajah Umairoh seketika memanas
mendengar Darwin mengingatkannya tentang ciuman mereka saat itu. Tsk, memalukan
saja.
“Bodoh. Kau tidak usah
mengingat-ingat tentang ciuman itu lagi. Sudah, aku sibuk... banyak yang harus
aku kerjakan... Kau kabari lagi aku lain waktu.”
“Haha... Baiklah. Tapi akui saja, ciuman itu kenangan terindah kita
bukan? Ya sudah kalau kau sibuk. Nanti kapan-kapan kalau aku tak sibuk aku
hubungi lagi. Bye Umairoh cerewet...”
Umairoh hanya bisa tersenyum
setelah pesan suara itu berakhir. Sekarang yang bisa Umairoh lakukan hanya
menunggu. Menunggu Darwin pulang, dan setelah itu urusan Darwin memang jodohnya
atau bukan tak masalah. Karena yang terpenting baginya adalah bisa bersahabat
dengan Darwin adalah keberuntungan dalam hidupnya, meskipun pria itu
menyebalkan.
“Darwin, cepatlah pulang...”
.
.
FIN
***
/lempar bom molotop/
*duaaarrrrrrr.....
Bagaimana ceritanya? Jelek? Bagus? Gaje? Terlalu mesum? Terlalu lebay?
Jujur aja ini bikinnya juga lagi dalam keadaan nggak waras. Keinspirasi
gara-gara smsan gakje pada suatu malam yang dingin, dan akhirnya jadilah cerpen
awkward begini... nyahahahahh...
Semoga puas dengan cerita ini, dan ini pertama kalinya aku bikin cerita
adegan full kiss begini, hohoo... salahkan orang yang sudah menebar virus mesum
di otakku (ketahuan author mesum, hahaakh)
Sudah ah, sekian bacotanku... terima kasih yang sudah mau baca cerita gaje
ini yah... ^^
Pai-pai... I love you my readers JJ