Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Selasa, 29 September 2015

(Fanfiction) At Gwanghwamun



At Gwanghwamun
(This is special for Yuni’s Birthday)

.
.

Author:
Aisyah (@cloudisah)

.
.

Cast:
Yuni as Park Gaein
Super Junior’s Cho Kyuhyun

Lenght:
Drabble

.
ÿÿÿ

Gwanghwamun.

Salah satu distrik yang ada di Seoul itu menyimpan memori sekitar tujuh belas tahun yang lalu bagi gadis yang kini tengah berjalan sendirian di area khusus pedestrian itu. Tujuh belas tahun yang lalu ia tinggal di daerah ini bersama keluarganya sebelum ayahnya yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran SJ Corp dipindahtugaskan oleh Presdir SJ Corp  untuk menjadi Direktur Utama pada salah satu cabang perusahaan mereka di Busan.

Dengan membawa payung berwarna biru langit, serta headphone yang ia biarkan bertengger di lehernya, gadis bergaun peach yang senada dengan flat shoes di kedua kakinya itu terus menyusuri jalanan yang di kiri dan kanannya berjejer pepohonan yang dedaunannya mulai memerah dan ada sebagian yang sudah mulai berjatuhan menyentuh tanah.

Sekarang memang sudah mulai memasuki musim gugur. Gadis itu datang dari Busan tadi malam ke Gwanghwamun karena pesta pindah rumah samchon­-nya.

“Shileo. Aku tidak suka yang walna melah... kubilang aku mau yang walna biluuu...”

Kedua tungkainya berhenti. Suara seorang bocah perempuan memenuhi indra pendengarannya. Lantas gadis itu menelengkan kepalanya ke segala arah mencari sumber suara, namun yang ia temukan hanya beberapa lansia yang tengah berjalan beberapa meter dari posisinya sekarang.

Kedua alisnya mengernyit lantas kembali dengan perlahan kedua tungkainya membawa tubuhnya merajut langkah sebelum akhirnya suara bocah lelaki kembali menyapa pendengarannya. Mau tak mau gadis itu kembali berhenti dan membiarkan suara-suara itu memenuhi indra pendengarannya lagi.

“Tapi kamu janji akan membeli aku balon bilu kalau aku belhasil memecahkan pinata itu!”

“Mwo? Ya! Sejak kapan aku beljanji padamu huh? Cepat kembalikan balon bilu itu... Kalau tidak, maka akan aku adukan pada Eomma-ku...”

“Shileo. Tangkap aku kalau kamu bisa, weeee”


Sejenak, geming mengambil alih. Entah kenapa suara-suara itu membuatnya merasa de javu. Rasanya ia mengenal suara itu. Mengingatkannya pada kejadian sekitar tujuh belas tahun silam, usai pesta perayaan ulang tahunnya yang keempat. Dan kejadian itu persisnya di tempat ini. Di tempat yang ia susuri sekarang. Bersama... seorang bocah lelaki. Bocah lelaki yang tak pernah ia temui lagi selama tujuh belas tahun.

“Hey, Kyunnie, kembalikan balonnya palli!”

“Sudah kubilang tidak mauuu. Dan sudah kubilang belkali-kali padamu Gaein-ah. Na ileumi Kyuhyun-imnida. Bukan Kyunnie.”

“Tidak mau. Kalau Kyuhyun telkesan dewasa. Kamu kan masih kecil, jadi Kyunnie saja. Sudhalah, cepat kembalikan balonnya...”

“Shileoooo.”

Kedua sudut bibir gadis itu tertarik. Bayangan saat ia masih kecil itu sekarang berputar bagaikan roda film dalam otaknya.

Bocah itu. Kyuhyun. Apa kabar dia sekarang? Bagaimana bentuk tubuhnya sekarang? Ia bahkan mungkin tidak bisa mengenali bocah itu jika mereka bertemu saat ini.

 “Ehm, Nona.”

Suara bass seorang pria menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Kedua netra gadis itu mengerjap ketika mendapati seorang pria berkulit putih pucat dengan postur tubuh tinggi tegap berdiri di hadapannya.

Ne?” jawabnya pelan.

Pria itu tersenyum lebar membuat alis gadis itu berjungkat naik. “Gaein-ah. Park Gaein, benar kan?”

Gadis itu—Gaein—menunjuk tak yakin pada dirinya sendiri. “Ak, aku? Ya, kau benar. Aku Park Gaein. Keundae... neo, nuguseyo?”

Pria itu masih mempertahankan lengkungan bibirnya menatap gadis yang bertubuh lebih pendek di hadapannya. “Na ireumi, Cho Kyuhyun-imnida.”

Kedua netra gadis itu membulat sempurna. Layaknya dalam drama yang sering ia tonton, ratusan mahkota bunga mawar bagaikan berjatuhan menghujani mereka berdua. Dengan jantungnya yang bertalu cepat, gadis itu berusaha menarik kedua sudut bibirnya.

“Lama tidak bertemu, Kyunnie...”

.
.
FIN

Yeay... Akhirnya aku bisa bikin drabble juga buat ulang tahun Yuni yang jumlah katanya hanya mencapai 500 kata :D
Yuniiiii... tjieeeh yang 21 taon XD harusnya bentar lagi tebar undangan tuhh /Aamiin/
Saengil chukkahamnida... saengil chukkahamnida... saranghanda Sri Wahyuni, saengil chukkahamnidaaa ^^ *tebar mawar* *tebar konfetti* lempar telor* *lempar Kyuhyun(?)*
Cuman kenapa aku merasa sedih ya, soalnya kamu muda sekaliiii >_< aku dan Ridha nggak lama lagi malah 22 T_T kamu, Diah, dan Dije malah “...”  -___-
Oh iya, drabble ini keinspirasi tiba-tiba waktu kita lagi nonton MV Super Junior di tokoku sore itu, hihi... gegara kamu bilang nggak bisa move on dari Kyu Oppa, padahal nyata-nyata suara Yesung Oppa lebih dahsyat, hahaa, tapi yang pertama itu emang nggak bisa lepas yaa Yun XD Semoga feel drabble ini dapet ya, soalnya ini pertama kalinya aku bikin edisi ulang tahun dalam bentuk drabble yang notabene-nya emang singkat tapi harus ngena feel-nya...
Sekian bacotan aku...
Buat Yuni, Barakallahu fii umrik ya ukhty ^_^
WYATB lah pokoknya ;) ;)
And last, DITUNGGU TRAKTIRANNYA yeheeet :D:D

Cinta dari Sang Pemilik Cinta



Oleh: Aisyah

Sekali lagi lubang itu membuatku jatuh. Terlalu dalam dan kali ini bahkan semakin dalam. Aku tak sepenuhnya menyalahkan lubang itu yang membuatku kini hidup dalam keterasingan dan kesepian yang semakin menggerogotiku tiap perputaran waktu yang terus berjalan tanpa bisa dihentikan dan tanpa bisa kembali lagi.

Seharusnya aku tak jatuh untuk yang kedua kalinya mengingat betapa sakit rasanya jatuh ke dalam lubang itu. Tapi apalah daya hawa nafsu yang dituruti semakin menjadi-jadi. Semua terasa semakin menggiurkan setelah aku berhasil keluar dari lubang itu, awalnya. Namun setan tak berhenti sampai di situ saja. Para setan itu bahkan membuatku semakin buta dengan delusi yang tak tergambarkan bagaimana keindahannya.

Dan disinilah aku.

Di dalam lubang pengap, gelap, sepi, dan kehampaan yang tiada akhir. Tak gelap sepenuhnya memang. Setitik cahaya masih bisa kulihat. Hanya setitik. Dan cahaya itu terlalu jauh untuk bisa kujangkau. Terlalu jauh, dan hanya kemustahilan yang kudapati jika aku berusaha mencapainya.

Aku tak mungkin menyalahkan takdir. Dan tak bisa menyalahkan takdir. Sang takdir yang seolah memperolokku dan seolah terus mempersakitku ditiap tarikan oksigen yang dilakukan sistem pernafasanku. Karena pada dasarnya aku sendirilah yang memperburuk sang takdir itu. Memperburuk takdir dengan menjadi budak dari sesuatu yang bernama hawa nafsu. Hingga yang bisa kulakukan hanyalah mencari jalan keluar dari lubang ini meskipun tertatih hingga berdarah di sekujur tubuhku.

Aku ingin berteriak, “Dimanakah Tuhan??! Kenapa Dia selalu menghadirkan segala kegelapan ini untukku? Kenapa harus aku? Kenapa??!”

Dan aku tahu aku salah.

Bukan Tuhan yang menghadirkan kegelapan itu untukku. Tapi akulah yang memilih kegelapan itu yang dipenuhi jerat setan beserta segala tipu daya dan muslihatnya yang tampak seperti fatamorgana dalam sahara. Aku sendiri yang menyerahkan diriku untuk diperbudak nafsu dan terlalu apatis dengan seruan-seruan dari jalan cinta-Nya.

Hingga jalan cinta-Nya yang begitu terang terasa semakin melindap dan aku harus menanggung sakitnya terjatuh dalam kubangan lubang gelap untuk kedua kalinya. Tanpa arah. Membuatku semakin tersesat dan jatuh semakin dalam. Kurasa mati adalah pilihan terbaik. Namun Malaikat Maut sepertinya enggan menghampiriku dalam lubang ini.

Dalam keputusasaan seraya terus merangkak tertatih kudapati alunan bisikan yang senantiasa beresonansi dalam hati kecil ini. Namun kuhanya memilih berpretensi akan hal itu. Toh segala bisikan itu tak bisa menyelamatkanku dalam kepekatan gelap lubang yang aku tak tahu seberapa dalamnya.

Namun semakin ku berpretensi dan bersikap abai akan segala bisikan yang semakin meraung dalam hati kecilku, semakin sakit yang kudapat. Bahkan semakin sulit keluar dari lubang ini yang kurasa kedalamannya semakin bertambah di tiap langkah yang kujajaki agar bisa keluar. Dan kudapati kepekatan gelap semakin melingkupi sekujur tubuhku.

Berhenti adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan. Dalam kelimpungan kubiarkan segala bisikan itu memenuhi hati kecilku hingga menjalar ke seluruh organ dalam tubuhku. Seketika kurasakan sejuk yang tak pernah kurasakan bahkan sebelum aku terjatuh dalam lubang ini. Sejuk dan damai di saat yang bersamaan. Sejuk dan damai yang tanpa kusadari menghadirkan cahaya putih yang sedikit mampu menerangi gelepan yang terus melingkupiku dalam lubang gelap ini.

Hingga tanpa kusadari wajahku sudah basah sepenuhnya dengan air mata yang menganak sungai dan terus mengalir tanpa bisa kuhentikan. Kedua tungkaiku tak mampu lagi menahan berat tubuhku, membuatku tersungkur dengan kedua lututku yang bertumpu untuk menahan tubuh ini.

Berbagai memori masa lalu seketika berputar bagaikan roda film. Aku bergeming dengan menahan sesak kala memori itu menampilkan gambar tokoh “aku” yang tengah menjadi budak hawa nafsu dunia. Segalanya terasa indah namun penuh kepalsuan, dunia ciptaan setan.

Aku meringis. Terisak.

Lubang ini, aku putuskan harus keluar dari tempat ini. Secepat yang aku bisa. Agar bisa segera kembali ke jalan cinta-Nya. Kutemukan cara agar aku tak tertatih dan kesakitan pun berdarah di sekujur tubuhku.

Aku beringsut, bersimpuh, dan bersujud. Kusebut nama yang sering kuabaikan selama ini.

Allah. Allah. Allah.

Lelehan air mata terus tumpah tak terbendung. Hadirkan getar hebat kala tak lagi kudapati diri ini dalam lubang gelap. Tak lagi kudapati diri ini dalam pengap, sepi, dan keterasingan.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Laa ilaaha illallah...

Astaghfirullah wa atubu ilaih...

Apatah artinya hidup yang selama ini kujalani tanpa Dia bersamaku. Apatah artinya jiwa kosong ini tanpa pemiliknya yang Hakiki.

Kegelapan ini, hadir kala kuabaikan Rabb-ku. Terus menerus menikmati ilusi dan delusi yang kesegalanya bersumber dari iblis laknatullah.

Kubiarkan diri ini terus bersujud. Semakin terang segalanya hingga gelap itu sirna sepenuhnya. Kembali kucoba raih genggaman Illahi. Yang tak pernah meninggalkanku. Yang tak pernah membiarkanku dalam keterasingan, karena aku memiliki-Nya yang cinta-Nya tak pernah habis untuk kuhirup.

Dan kucoba berjanji, takkan lagi terjatuh dalam lubang itu untuk yang ketiga kalinya. Kupegang erat cinta-Nya agar senantiasa menuntunku dan agar aku tak kembali terseret derasnya arus nafsu syahwat yang sulit terbendung jika aku tak memiliki-Nya di setiap helaan nafas ini.

Semakin kucoba hirup cinta-Nya, semakin terang yang kudapati. Lubang itu menghilang sepenuhnya dan hadirkan serbuk bahagia tak tertara saat nama-Nya terus diucapkan kedua belah bibir ini. Cinta-Nya yang hakiki. Cinta-Nya yang suci. Cinta dari Sang Pemilik Cinta.

Cinta dari Allah. Rabb manusia, Rabb semesta alam, Rabb sekalian makhluk, Rabb Yang Maha Esa.

Allah.

Jangan biarkan diri ini kembali lagi dalam lubang gelap. Jangan singkirkan rahmat, cinta, dan kasih sayang-Mu. Jangan biarkan terlepas genggaman hamba dalam perjalanan menuju dunia abadi, akhirat-Mu.

Subahanallah.

Cintai Allah yang selalu mencintaimu, Cintai Allah yang tak pernah meninggalkanmu.

Karena cinta-Nya, begitu luas melebihi samudra. Ia takkan membiarkanmu sekalipun kau dalam kubangan kenistaan. Cintailah Dia, niscaya bahagia milikmu, dunia dan akhirat.

Insya Allah...

Proses Hijrahku



Proses Hijrahku

Oleh: Aisyah

Assalamualaikum wr.wb

Untuk ukhti yang sedang dalam proses hijrah...

Nggak pernah terpikir kalau aku akan pakai kerudung lebar. Nggak pernah terpikir akhirnya aku menanggalkan celana jeans ketatku dengan rok dan juga gamis.

Aku wanita ahli maksiat-awalnya. Aku memang pakai kerudung kemana-mana. Ke kampus, ke pasar, jalan sama teman, pokoknya tiap keluar rumah aku memang pakai kerudung. Tapi, yah kerudungku hanya menutupi rambutku. Baju kaos ketat dan celana jeans ketat adalah pakaianku sehari-hari.

Aku memang tahu, wanita tidak boleh berpakaian seperti itu. Sama saja dengan berpakaian tapi telanjang. Tapi apalah artinya tahu, jika aku malah melanggar dengan sangat-tidak-tahu-dirinya.

SD dan SMP aku di sekolah agama. Aku masih taat saat itu, tanpa pacaran dan tanpa memakai celana jeans. SMA-ku di sekolah umum. Dan di sinilah awal mulanya aku berpakaian–yang sekarang kusebut pakaian jahiliyah—super ketat. Saat masuk kuliah kelakuanku malah bertambah parah.

Kegiatan pacaran jadi rutinitasku. Meskipun saat itu status kami bukanlah sebagai pacar. Berangkat dan pulang kuliah boncengan dengan lelaki tanpa malu, sering ber-khalwat di pojokan taman, dan serangkaian aktivitas maksiat lain adalah makananku sehari-hari. Bagiku itu bukanlah sebuah kesalahan. Saat itu aku benar-benar berada dalam jerat setan.

Seperti ukhti lain yang proses berhijrahnya karena awalnya disakiti pria, begitu pula denganku. Aku heran kenapa harus disakiti pria dulu, baru aku bisa berubah dan dekat dengan Allah. Dan seperti ukhti lain pula aku mulai belajar Islam lebih dalam setelah mengalami gegana a.k.a gelisah, galau, merana yang tak kunjung terobati. Bahkan yang lebih ekstreme adalah berat badanku turun sampai 8 kg saat itu hanya karena sakit hati.

Kalian tahu rasanya setelah aku belajar Islam? Sakit. Rasanya tercabik-cabik hati ini. Sakit karena aku sering mengabaikan Allah. Sakit karena aku tak pernah menghadirkan Allah dalam sholatku. Sakit karena waktuku selama 20 tahun di dunia terbuang percuma. Mungkin itu sebabnya sholatku tak pernah khusuk, karena maksiat yang senantiasa aku jalani.

Melihat wanita berjilbab, berkerudung lebar, berkaus kaki, aku menganggap mereka terlalu kolot. Mereka hanya wanita yang anti sosial dan terlalu berlebihan berpakaian. Ternyata aku salah T_T betapa memalukannya aku dulu di depan wanita-wanita yang berpakaian syar’i L

Aku malu. Aku malu sebagai mahasiswi di kampus tapi otakku tak pernah kupakai untuk mengingat Allah. Tak ada artinya gelar sarjana nanti yang akan kudapat jika Allah tak ridha padaku. Tak ada artinya IP cumlaude karena IP-ku tak bisa menuntunku ke surga. Bahkan karena kelakuanku, aku bisa menjerumuskan orangtuaku ke dalam neraka, naudzubillah...

Ya Allah, hamba salah L L ampuni hamba-Mu ini ya Allah ;( Astaghfirullah...

Proses hijrahku cukup panjang ukhti...

Awalnya aku hanya mendekat pada Allah karena “dia” menyakitiku. Setelah “dia” kembali baik, aku kembali lagi seperti dulu. Niat untuk berkerudung lebar tak jadi kurealisasikan. Niat untuk mendekat pada Allah tak juga kulakukan. Aku kembali lagi bermaksiat seperti sebelum “dia” menyakitiku. Tapi, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Allah yang Maha Membolak-balikan hati. Ada yang berbicara dan berbisik di hati, “Berubahlah karena Allah, Allah nggak mau kamu terus bermaksiat. Umur kamu semakin berkurang setiap hari...”

Aku teringat kalimat pada sebuah artikel yang pernah kubaca: “Jika hidayah itu datang, tangkap dan jangan lepaskan lagi. Karena bisa jadi tak kau dapati lagi hidayah itu di lain waktu.”

Subhanallah... pelan-pelan aku mengganti celana jeans dengan rok. Aku menabung, menyisihkan uang gajiku untuk membeli rok dan gamis—sisanya untuk membayar SPP kuliah—dari hasil kerja sambilanku di toko tas milik Pamanku. Aku tak bisa meminta uang pada orang tuaku karena penghasilan ayah hanya cukup untuk keperluan di rumah sehari-hari. Lalu mengganti kerudung tipisku dengan kerudung tebal dan lebar. Kadang aku juga bergamis, tapi gamisku masih belum banyak. Aku hanya punya tiga gamis. Lantas beberapa minggu setelah aku benar-benar tak bercelana jeans, aku mulai memakai kaos kaki.

Rasanya indah ukhti. Aku nggak bohong rasanya benar-benar damai J

Aku juga mulai suka membaca kisah hijrah para saudari yang karena cintanya pada Allah, pun mempelajari agama Islam lebih dalam. Ternyata pengetahuanku akan Islam benar-benar dangkal. Aku hanya tahu sebatas sholat, puasa, zakat, membaca Al-Qur’an. Banyak hal yang tak aku tahu tentang agamaku sendiri. Komunikasi tak penting dengan ikhwan-pun mulai aku kurangi.

Justru tanpa pacaran, hati ini damai. Seriusan deh, nggak ada gunanya pacaran kalau tiap waktu yang didapat malah dosa. Kebanyakan yang pastinya adalah dosa zina, zina mata karena sering memandangnya, zina hati yang selalu mengingatnya, zina—ah ... yang jelas lebih banyak mudharatnya.

Meskipun awalnya sungguh berat menjauh darinya yang telah mengisi hari-hariku, tapi aku mencoba melawan perasaan itu. Jika memang benar kami berjodoh, nanti kami pasti akan dipertemukan dalam keadaan halal. Tapi tidak untuk kadaan sekarang. Itulah yang menguatkanku untuk terus berubah. Ber-khalwat itu nggak ada gunanya, dan belum tentu dia jodoh kita.

Dan tentu ukhti tahu banyak sekali cibiran di sana-sini. Terutama dari teman-teman di kampus, dan yang lebih menyakitkan cibiran dari saudara sendiri.

“Nggak usah sok alim tapi kelakuan bejat”

 “Kamu berkerudung lebar kayak emak-emak tau nggak”

“Kamu kelihatan gendut pake gamis”

“Apa nggak panas tuh kerudung lebar? Pake kaus kaki pula”

“Ah, ngapain sih pake gamis segala, ntar aja habis nikah”

Dan bla bla bla ucapa-ucapan lain yang bikin goyah. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk tak terpancing perkataan-perkataan seperti itu.

Aku masih dalam proses hijrah ukhti...

Bantu do’a-kan aku untuk tetap istiqomah dalam berhijrah. Hijrah itu benar-benar indah setelah aku mengalaminya sendiri. Untuk ukhti yang juga masih dalam proses hijrah sepertiku, yuk kita mantapkan hati Lillahita’ala ^^

Wassalam.