ITB VS DTB (3rd Part)
(See You Later, Goodbye)
.
.
(A/N: Darwin nggak bisa mengabulkan permintaan aku untuk
bikin ITB VS DTB Part 3, jadi cerita ini aku buat sendiri dengan inspirasi
seadanya. Happy reading ^^)
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
Inspired By:
Sistar’s
Hyorin – Hello-Goodbye
.
.
Warning: Typo.......!!
.
***
Love has come
But you say you're going
I'm waiting for you
But you're saying I can not see you anymore
Always like a fool
This story flows like tears
See you later , goodbye
.
.
Rasanya
sudah sangat lama aku tak memanggil sahabatku dengan panggilan DTB, Darwin
Tukang Bully. Mungkin sudah lebih dari setengah tahun. Aku tak tahu kenapa tapi
yang pasti akhir-akhir ini kami tak lagi saling memanggil satu sama lain dengan
nama-nama aneh yang biasanya kami ciptakan seperti panggilanku untuknya; Makes,
Cinta Permai, Mas Pregant, Mr. Marketing, dan termasuk DTB itu.
Mungkin
karena kesibukan kuliah jadi kami tak memiliki waktu untuk saling mengolok satu
sama lain seperti dulu. Tapi jujur saja aku sangat merindukan masa-masa di mana
kami saling bertengkar seperti dulu. Bahkan anehnya aku merindukan saat-saat di
mana Darwin membullyku dan sampai
menjatuhkah harga diriku kadang. Sekarang semuanya terasa berubah. Entahlah itu
hanya karena perasaanku saja atau memang Darwin sudah berubah, aku tak tahu.
Yang pasti sekarang tak ada lagi ITB dan DTB yang sering bertengkar seperti
dulu. Tak ada lagi Isah yang sering dibohongi oleh Darwin. Dan juga tak ada
lagi Darwin dan Isah yang bermain kejar-kejaran. Semua terasa hambar sekarang.
Aku
merindukan Darwin yang dulu.
.
.
Aku tak
lagi memanggil sahabatku dengan sebutan ITB, Isah Tempat Bully. Bahkan termasuk
nama-nama aneh yang biasanya kami ciptakan karena ada suatu moment seperti
beberapa panggilanku untuknya; Nona Picikan, Cinta Damai, Mrs. Accounting,
Kantong Semar, dan termasuk ITB itu.
Mungkin
karena sekarang kami sibuk kuliah dan terlalu sibuk dengan tugas-tugas kuliah
sampai-sampai saat ini kami mulai jarang bertengkar seperti dulu. Semua terasa
serius layaknya dunia perkuliahan. Tak ada lagi Isah yang dulu sering
kubohongi. Tak ada lagi Darwin yang sibuk berdebat dengan Isah tiap malam. Tak
ada lagi smsan rusuh setiap malam sebelum kami tidur. Bahkan sekarang aku
merasa ada sebuah jarak antara aku dan sahabatku Isah. Semua terasa hambar
sekarang. Tapi aku tak tahu apakah itu hanya perasaanku saja. Semoga ini hanya
perasaanku saja.
Aku
merindukan Isahku yang dulu.
.
.
Isah’s POV
Dengan
langkah lebar aku berjalan terburu-buru meninggalkan rumah dan berusaha menahan
air mata yang hampir menyeruak di sudut mataku. Aku tak ingin berada di rumah
saat ini. Aku benar-benar benci ayahku. Tadi pagi aku baru saja membeli gitar
yang sudah lama aku idam-idamkan. Harganya memang tak seberapa, tapi baru hari
ini aku memiliki kesempatan untuk membelinya.
Aku
menghempaskan tubuhku duduk di bawah pohon mangga di kebun Pak RT, tempat yang
biasa aku kunjungi bersama Darwin jika sedang bosan berada di rumah. Aku
sungguh tak habis pikir kenapa ayahku begitu marah saat aku membeli sebuah
gitar. Toh aku tak juga memiliki niatan untuk menjadi pemain band. Aku hanya ingin belajar bermain
gitar, itu saja. Dan aku juga tak akan bermain gitar sampai mengganggu
tetangga. Huh... menyebalkan!
Aku menatap
rerumputan di sekitarku. Ah, rasanya aku ingin jadi rumput itu saja. Hidup
damai, bisa merasakan semilir angin sesering mungkin, dan tentu saja rerumputan
itu tak perlu mendengar omelan dari ayah.
Kualihkan
tatapanku pada benda putih di atas yang bergerak perlahan terbawa angin.
Melihat awan putih di atas sana rasanya aku ingin jadi awan saja. Begitu tinggi
dan tak ada yang bisa mengusiknya. Bahkan awan bisa menaungi makhluk bumi dari
sengatan matahari. Ckkk.. Ini karena ayah, aku jadi membayangkan hal yang
tidak-tidak.
“Kamu
kenapa lagi Sah?” aku hampir saja terlonjak kaget karena presensi Darwin yang
tiba-tiba berada di sebelahku.
“Hyaa! Darwin menyebalkan. Kenapa kamu
nggak bilang kalau kamu ada disini, bikin kaget aja,” sungutku sebal dan
sedikit mempoutkan bibirku.
“Kamu
kebanyakan melamun sampai-sampai nggak sadar kalau sejak tadi aku sudah berdiri
di sini,” tukas Darwin seraya ikut memposisikan tubuhnya untuk duduk di
sampingku.
“Kenapa
kamu tahu aku ada di sini?” tanyaku sambil menatapnya yang kelihatannya cukup
lelah.
“Tadi aku
lihat kamu jalan buru-buru meninggalkan rumah waktu aku mau menyiram tanaman
ibuku di samping rumah,” terangnya tanpa menatapku sedikitpun.
Aku hanya
mengangguk mendengar jawabannya. Kali ini aku kembali menatap rerumputan di
sekitarku duduk. Aku ingin berteriak saat ini, tapi aku tak berani mengganggu
tetangga yang tinggal di samping kebun Pak RT. Jadi aku hanya bisa menghela
nafas berat karena aku tak tahu harus melakukan apa disaat marah seperti ini.
“Dimarahi
ayah lagi?”
“Hmmm,
begitulah.”
“Kenapa?”
Aku menatap
Darwin dengan pandangan yang hampir memburam karena air mata yang tiba-tiba
mulai menggenang di pelupuk mataku. “Ayah marah aku beli gitar Win,” lirihku.
Kudengar
Darwin menghembuskan nafas berat dan tiba-tiba saja ia memelukku begitu erat
sampai-sampai aku hampir tak bisa bernafas. “Maaf nggak bisa bantu kali ini
Isah...”
“Iya Win,
nggak apa-apa. Kamu ada di sini dan nemanin aku sudah cukup kok,” aku balas memeluknya dan mencari
posisi yang nyaman untuk menyandarkan kepalaku di dadanya.
Cukup lama
Darwin memelukku bahkan mungkin lebih dari lima menit kami berpelukan dalam
geming. Baik Darwin maupun aku sama-sama tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku
sendiri tak tahu harus mengatakan apa karena aku benar-benar merasakan nyaman
setiap Darwin memelukku seperti ini. Bahkan air mata yang tadi kutahan sudah
menghilang tanpa aku sadari.
Aku tak
pernah tahu jika berpelukan bisa memberikan rasa nyaman seperti ini. Rasanya
nyaman sekali sampai-sampai aku lupa kalau tadi ayah memarahiku habis-habisan
di rumah. Darwin selalu bisa menenangkanku meskipun tidak dengan kata-kata. Ia
selalu saja memelukku tiba-tiba jika aku mulai tertekan. Namun ditiap
pelukannya seolah mengatakan padaku bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jangan
nangis ya, dan habis ini kamu harus pulang. Jangan pernah berpikir untuk kabur
dari rumah cuma karena gitar itu. Kamu bisa bermain gitar sama aku di taman
kampus atau di tempat lain tanpa sepengetahuan ayahmu,” ucap Darwin dengan nada
rendah setelah ia melepaskan pelukannya.
Aku
mengangguk patuh. “Makasih Win kamu selalu ada buat aku,” ucapku tulus
menatapnya.
Darwin
tersenyum tipis seraya bangkit dari duduknya. “Ya sudah aku pulang dulu.” Tanpa
mengucapkan kalimat lainnya Darwin melangkah perlahan meninggalkanku.
Aku menatap
punggung Darwin yang berjalan semakin menjauh. Tanganku tanpa sadar memegangi
dadaku. Rasanya ada yang aneh sekarang. Entah kenapa. Aku merasa Darwin mulai
berubah sekarang. Air mata yang tadi sudah menghilang tiba-tiba saja mengalir
dari sudut mataku. Dan hal itu sukses membuatku terisak seorang diri. Tak tahu
kenapa tapi yang pasti rasanya benar-benar sesak di dadaku.
.
.
Darwin’s POV
Kutatap
jendela kamar Isah yang tertutup pagi ini. Hari ini hari Minggu seharusnya
gadis itu sudah membuka jendelanya pukul enam pagi. Namun ini sudah pukul tujuh
pagi namun tak ada tanda-tanda jendelanya terbuka sedikitpun. Dengan sedikit
khawatir aku mengambil ponselku dan mengetik pesan untuknya.
Km gk sakit kan? Kenapa jendela
kamar km tertutup?
Setelah
mengirimkan pesan itu untuknya, aku kembali menatap jendela kamarnya. Biasanya
pagi-pagi seperti ini aku dan Isah selalu mengucapkan selamat pagi bahkan tak
jarang berteriak hanya untuk perdebatan kecil tak penting dari jendela kamar
kami masing-masing. Aku tertawa sendiri mengingat kejadian itu. Rasanya sudah
cukup lama kami tak melakukannya. Sepertinya Isah tak lagi menyukai hal-hal
seperti itu.
Sebuah
pesan masuk di ponselku dan dengan cepat aku membukanya.
Aku nggak sakit... Aku cuma lupa
membuka jendela kamarku ^^
Tak lama
setelahnya aku melihat Isah yang berdiri di depan jendelanya dan menatapku
dengan senyuman khasnya. Lantas gadis itu melambaikan tangannya ke arahku
sambil menempelkan ponselnya pada telinganya.
Ponselku
bergetar tanda ada sebuah panggilan masuk. Kulirik layar ponsel dan tertera
nama Isah di sana. Dengan cepat aku menggeser tombol hijau pada layar ponsel
dan menempelkan ponselku di telinga lantas aku turut menatap Isah dari jendelaku.
“Halo Isah”
“Pagi
Iwin...” suara Isah terdengar sedikit serak.
“Baru
bangun tidur?”
“Nggak. Aku
cuma sedikit batuk, uhuk-uhuk,” aku mendengarnya batuk dibuat-buat.
“Nggak usah
berlebihan begitu. Oh ya, apa kamu punya rencana hari ini?”
Isah tak
langsung menjawabnya. Aku bisa melihatnya yang sepertinya sedang berpikir dari
jendelanya. “Sepertinya aku cukup sibuk hari ini. Aku harus promosi album
baruku, aku juga ada jadwal pemotretan hari ini. Ditambah lagi-“
“Hentikan
omong kosongmu itu. Kalau gitu kamu harus siap-siap, jam delapan aku akan
berada di depan pintu rumah kamu dan menculikmu ke sebuah tempat.”
“Hey, sejak
kapan ada penculikan yang memberitahukan lebih dulu pada calon korbannya, huh.”
“Haha...
Yasudah kalau begitu aku tutup dulu telponnya karena aku juga harus
bersiap-siap untuk menculik gadis yang sedang berbicara denganku ini.”
“Tunggu-“
ucap Isah cepat sebelum aku mematikan sambungan telpon kami. “Memangnya kita
mau kemana pagi ini?”
“Ke tempat
yang aku janjikan waktu itu. Sudahlah aku tutup dulu ya.”
Setelah aku
mematikan sambungan telpon, Isah sudah menghilang di balik jendela kamarnya.
Kuhela nafas dalam karena akhir-akhir ini Isah sepertinya mulai menjauh dariku.
Tak jarang saat di kampus ia berjalan mendahuluiku. Biasanya kami akan berjalan
bersama-sama untuk masuk ke dalam kelas. Entahlah mungkin ini hanya perasaanku
saja Isah yang mulai berubah.
Kutatap
fotoku di atas nakas yang berbingkai merah. Fotoku dan Isah saat kami merayakan
ulang tahunku beberapa bulan yang lalu. Aku tersenyum kecut mengingat bagaimana
saat itu kami sempat bertengkar hebat karena kesalahpahaman. Setelah ulang
tahunku itu, aku merasa hubungan kami mulai merenggang. Aku tak tahu kenapa
tapi yang pasti aku merasa kalau sekarang hubungan persahabatan kami terkesan
dipaksakan. Dan itu cukup membuatku merinding karena aku tak ingin hubungan
persahabatan kami hancur tanpa penyebab yang jelas.
.
.
Tak jarang
kami berjalan membelakangi ataupun berpapasan tanpa kata. Tak jarang kami hanya
menatap satu sama lain saat masing-masing dari kami membutuhkan sebuah pelukan.
Tak jarang kami mengucapkan sampai jumpa di saat kami baru saja bertemu.
Berjalan berjauhan dan kemudian saling memunggungi seolah mengatakan “Selamat
tinggal”.
Isah masih
duduk di sana selama sepuluh menit setelah dua puluh menit yang lalu kami
datang ke tempat ini. Tempat yang sudah lama ingin Isah kunjungi. Danau di
pinggir kota yang jaraknya cukup jauh dari rumah kami, sekitar satu jam
menggunakan motor. Tadi saat kami datang, ia cukup senang bahkan memelukku
begitu erat. Namun beberapa menit kemudian senyum di wajahnya memudar dan ia
berjalan meninggalkanku yang tengah duduk di bawah pohon akasia. Isah duduk
tepat di pinggir danau tanpa mengucapkan sepatah katapun atau melakukan apapun.
Aku menatap
punggung Isah yang duduk cukup jauh dariku. Isah pernah mengatakan agar aku tak
berjalan di depannya atau di belakangnya. Ia ingin aku berjalan di sisinya
karena kami adalah sahabat. Nyatanya ia sekarang berada di depanku dan aku
seperti orang bodoh duduk di belakangnya seperti ini.
Kulangkahkan
kakiku perlahan mendekati Isah yang sedang melempari bebatuan kecil ke dalam
danau. Ia cukup terkejut dengan kehadiranku di sampingnya dan aku bisa melihat
dengan jelas ia dengan cepat mengusap kasar air matanya. Apa ia tadi baru saja
mengangis?
Aku berpura-pura
tak menyadarinya dan memilih ikut duduk di sampingnya. “Kamu suka tempat ini?”
tanyaku seraya melayangkan pandanganku ke tengah danau yang airnya sangat
jernih di hadapan kami.
“Heum.
Tempat ini sejuk banget Win, dan juga tenang...” ucapnya pelan namun masih bisa
kudengar dengan jelas.
Tak ada
lagi percakapan setelahnya. Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Isah...”
“Hmm?”
Aku tak langsung menyahut. Kutatap lekat iris caramel Isah membuat kedua alis gadis
itu bertaut. “Nggak apa-apa. Aku pikir kamu tertidur,” jawabku bohong.
Sejujurnya aku ingin sekali menanyakan tentang perihal hubungan kami yang
rasanya sangat dingin.
“Oh ya
Win-“
Ucapan Isah
terpotong seiring nada nering ponselku yang memenuhi indra pendengaran. Dengan
cepat segera kurogoh ponselku dan dengan cepat mengangkat panggilan masuk
setelah kulihat nama yang tertera pada layar ponsel. Aku berdiri menjauh dari
Isah dan memilih duduk di bawah pohon akasia tempat yang sebelumnya kududuki
saat pertama kali datang ke sini.
Setelahnya
aku tenggelam dalam pembicaraan bersama gadis yang sedang menelponku. Aku masih
bisa melihat Isah duduk di sana kembali melempari bebatuan di dekatnya ke dalam
danau. Lantas aku tak terlalu menyadari lagi apa yang ia lakukan karena
pembicaraanku semakin asyik dengan gadis yang menelponku.
.
.
Isah’s POV
Ia
melakukannya lagi. Ia menjauhiku lagi karena gadis itu. Aku sempat melihat nama
gadis itu tertera dengan jelas pada layar ponselnya. Eksistensiku bahkan tak ia
hiraukan. Aku sungguh tak cemburu. Aku hanya merasa tak suka dengan gadis itu
yang selalu saja menghubungi Darwin saat aku sedang bersama Darwin. Gadis itu
hampir setengah tahun terakhir semakin akrab dengan Darwin sejak perkenalan
pertama mereka di jejaring sosial facebook.
Dan selama setengah tahun terakhir ini pula Darwin mulai jarang mengirimiku
pesan singkat yang biasa ia kirim sebelum tidur.
Bahkan tak
jarang ia mengabaikanku saat di kelas karena sibuk dengan jejaring sosialnya.
Asumsiku ia sedang ber-chatting ria
bersama gadis itu ataupun gadis-gadis lain. Aku tak heran dengan hal itu karena
memang sahabatku satu itu memang cukup populer di kalangan wanita.
Hanya
saja...
Kulirik
Darwin yang duduk bersandar pada pohon akasia yang batangnya cukup besar. Ia
masih berkutat dengan ponsel di telinganya dan tak menatapku sedikitpun.
Membuatku menghela nafas berat dan memilih untuk tak menatapnya terlalu lama.
Mungkin aku yang terlalu berlebihan di sini. Dan mungkin aku yang membuat
suasana menjadi terlalu melankolis. Tapi feeling-ku
mengatakan memang ada sesuatu yang salah antara aku dan Darwin saat ini.
Perlahan
aku bangkit setelah berpuluh menit duduk di tepi danau. Dengan perlahan pula
tungkaiku bergerak meninggalkan tempat ini tanpa sepengetahuan Darwin. Aku tak
ingin mengganggunya yang sepertinya begitu menikmati percakapannya. Lagipula ia
juga tak menyadari eksistensiku. Dan jika nanti ia marah mengetahui kalau aku
pulang diam-diam, aku bisa membuat alasan yang logis tentang hal itu.
Mungkin aku sudah gila memutuskan berjalan
kaki untuk pulang ke rumah. Yah, setidaknya aku tak ingin benar-benar gila
ketika aku mendapati stand ojek
sekitar lima puluh meter di ujung jalan. Memilih naik ojek untuk sampai di
rumah dan dengan begitu aku tak cukup malu di hadapan Darwin nanti karena
melakukan aksi konyol kabur diam-diam dan berjalan kaki berpuluh kilometer.
Saat aku
sudah hampir mencapai stand ojek,
langkahku terhenti saat sebuah motor berhenti tepat di sampingku. Kedua alisku
bertaut saat mendapati seorang pria yang mengendarai motor itu berucap yang
tidak begitu jelas karena ia sedang menutup mulutnya dengan masker. Aku hanya
memandang dengan ekspresi bingung saat pria itu tengah sibuk membuka kaca
helmnya lantas ia melepas helm tersebut dari kepalanya, kemudian membuka masker
yang menutupi mulutnya.
“Asir!”
pekikku heboh.
Pria itu
tersenyum riang ke arahku menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Apa
yang kamu lakukan di sini sendirian Nona?” tanyanya dengan suara khasnya.
“Aku
melarikan diri,” jawabku cepat.
Kulihat ia
kebingungan mendengar jawabanku. “Kamu kabur dari rumah?”
Aku
menggeleng seperti anak kecil seraya mempoutkan bibirku. “Aku kabur dari
Darwin.”
“Darwin?”
setelahnya Asir terkekeh yang membuatku kali ini kebingungan. “Darwin si
‘TTM-an-mu’ itu?” ia masih terkekeh.
Aku semakin
mempoutkan bibirku dan kali ini sedikit kesal karenya. “Dia sahabatku, bukan
TTM-anku tahu.” Ketusku dan melipat kedua tanganku di depan dada.
Asir
berusaha menahan tawanya dan turut melipat kedua tangannya di depan dada. Pria
itu masih duduk di atas motornya sementara aku berdiri di sampingnya. “Setahuku
nggak ada persahabatan yang abadi antara cowok dan cewek. Kalian berdua itu
bukan sahabat, cuma terjebak dalam friendzone...”
“Kamu
selalu aja nasehatin aku. Yaya, aku tahu yang bentar lagi bakalan nikah,”
cibirku seraya berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa
kamu tiba-tiba bilang begitu? Kamu cemburu aku bentar lagi nikah hmm?”
Aku
mendengus. “Ya enggak lah. Aku justru bahagia banget, tahu,” jawabku jujur.
“Haha, ya
terserah deh apa yang kamu bilang. Lalu kemana Nona manis ini melarikan diri?
Apa aku perlu nemanin kamu buat kabur?”
Aku
menyipitkan kedua mataku seraya menyelidik penampilan Asir dari atas sampai
bawah membuat Asir sedikit risih karena aku berkali-kali menatapnya dari kepala
sampai kaki lalu beralih lagi ke kepala dan begitu seterusnya sampai tiga kali.
“Aku mencium bau uang,” ucapku sambil berpura-pura mengendus seperti seekor
anjing. “Sepertinya ada yang baru gajian.”
Kudengar
Asir berdecak sebal. “Ckk, kamu ini sama sekali nggak berubah. Baiklah, aku
tahu maksudmu. Tapi, dari mana kamu tahu kalau aku baru aja gajian?”
“Hey, tentu
saja aku tahu. Ini kan tanggal muda. Lagi pula kamu nggak mungkin berkeliaran
kalau masih ada shift kerja.”
“Haha, kamu
ini hebat banget. Baiklah, ayo naik kalau gitu. Aku akan mentraktir kamu makan
es krim kesukaanmu seeeeeepuasnya,” Asir menepuk jok di belangnya agar aku
duduk.
Dengan
cepat aku duduk di belakangnya dan memegang erat ransel hitam yang tersampir di
punggung Asir. Aku tak mungkin memeluk pinggang Asir karena selama ini satu-satunya
pria selain ayah dan adikku yang kupeluk hanyalah Darwin. Lagipula akan
terkesan konyol saat aku memeluk calon suami orang, hihi.
“Ayo kita
berangkat,” Asir melajukan motornya saat ia sudah mengenakan helmnya.
Bersama
Asir aku bahkan lupa kalau aku tadi sedang berniat untuk melarikan diri dari
Darwin. Asir adalah temanku saat masih di Mts, jauh sebelum aku mengenal
Darwin. Dan dulu aku sempat akrab dengan Asir sebelum kami terpisah saat SMA.
Asir sekolah di SMK Daya Taka dan mengambil jurusan Teknik Mesin, sedangkan aku
di SMKN 1 dan mengambil jurusan Akuntansi. Jurusan yang sama sekali tidak
sesuai dengan passion-ku.
Dan
sekarang Asir bekerja di sebuah perusahaan batu bara sebagai mekanik, sedangkan
aku masih terjebak dalam bangku kuliah yang ‘cukup menjemukan’ karena lagi-lagi
aku kuliah di jurusan yang bukan passion-ku
sama sekali. Tapi setidaknya tak terlalu menjemukan karena ada Darwin yang
selalu menemaniku sebelum semua terasa berubah. Ya, berubah.
.
.
Darwin’s POV
Dengan
cepat aku berlari mengitari jalanan tak jauh dari danau usai mengakhiri
sambungan telponku. Sungguh aku tak menyadari lagi eksistensi Isah saat aku
sedang mengobrol bersama temanku. Yang kudapati hanyalah tepi danau yang sepi
tanpa Isah yang sedari tadi duduk di sana.
Berkali-kali
aku menghubungi Isah namun anehnya nomornya tidak aktif. Tadi aku sempat
mendengar nada sambung telpon, namun Isah tak mengangkatnya. Dan setelah aku
melakukan panggilan berikutnya, nomor ponselnya sudah tidak aktif. Ckk, kemana
anak itu perginya. Ia tak biasanya seperti ini.
Aku bahkan
sudah sampai di tepi jalan raya seraya kedua netraku terus mencari-cari sosok
Isah. Dan hasilnya benar-benar nihil. Aku tak menemukan siluetnya. Yang
kudapati hanya jalan raya besar dengan mobil-mobil besar seperti truk yang
melintas. Dengan nafas memburu dan rasa khawatir yang memuncak aku kembali
berlari ke tepi danau berharap gadis itu hanya mengerjaiku. Namun tungkaiku
serasa lemas ketika kembali hanya tepi danau yang kosong dan tenang tanpa sosok
Isah. Isah benar-benar menghilang? Tidak mungkin.
Bunyi
klakson mobil truk di jalan raya bisa ditangkap dengan jelas oleh indra
pendengaranku dari pinggir danau ini. Pikiran buruk tiba-tiba menggelayutiku.
Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk terjadi pada Isah? Bagaimana jika
tadi ia ke tepi jalan raya lalu ada truk besar yang... akh. Kedua kakiku
langsung lemas dan aku terduduk seorang diri di pinggir danau. Sebenarnya apa
yang aku lakukan tadi? Kenapa aku malah tak mengawasi Isah dan malah
membiarkannya sendirian.
Pikiran
buruk masih saja menghantuiku. Aku takut. Aku takut jika Isah mengalami hal
yang sama seperti saat aku tertabrak truk dulu ketika hujan untuk menjemput
Isah yang ternyata ia hanya mengerjaiku. Yah itu memang sudah sangat lama.
Tanganku bahkan sudah bergetar sekarang. Kemana aku harus mencari Isah? Ia
tidak membawa motor ke sini. Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Tidak. Tidak
ada Isah. Isah menghilang.
“Isah, kamu
di mana?” lirihku pada diriku sendiri.
Aku
teringat tadi saat aku berlari ke pinggir jalan raya, ada sebuah stand ojek di ujung jalan. Dengan kaki
yang masih terasa lemas aku paksakan tubuhku untuk mengambil motorku yang
terparkir tak jauh dari pohon akasia. Lantas dengan cepat aku membawa motorku
segera ke jalan raya dan menuju stand
ojek yang tadi sempat kulihat berharap mereka melihat Isah. Syukur jika Isah
pergi dengan salah seorang tukang ojek di sana.
“Permisi
Om,” sapaku pada beberapa tukang ojek yang sedang berbincang-bincang. Ada
sekitar empat orang tukang ojek di stand
ini.
“Ada apa
Mas?” tanya salah seorang tukang ojek berjaket kulit warna hitam dan
kelihatannya ia yang paling ramah diantara yang lainnya.
“Apa tadi
ada gadis berbaju ungu naik ojek di sini?” tanyaku penuh harap. “Tubuhnya lebih
pendek dari saya,” kuperjelas spesifikasi Isah berharap mereka menjawab
pertanyaanku dengan jawaban yang kuharapkan.
Sebelum
menjawab pertanyaanku, tukang ojek yang menyapaku tadi menoleh dulu kepada
tukang ojek yang lain. Kulihat mereka saling bertukar pandang dan menggeleng
satu sama lain. “Rasanya nggak ada Mas.”
Jantungku
tiba-tiba saja mau mencelos mendengar jawaban yang tidak kuharapkan sama
sekali. Bahkan nafasku kembali memburu ketika membayangkan hal yang tidak-tidak
terjadi pada Isah.
“Om yakin?
Dia masih muda, umur dua puluh tahun. Berbaju ungu dan celana jeans hitam. Coba Om ingat-ingat lagi,”
desakku masih berharap mereka melihat Isah.
“Benar Mas
memang nggak ada gadis yang lewat sini. Kalaunpun ada, maaf kami nggak lihat
karena kami sibuk ngobrol,” terang Om itu lagi.
Aku
menghela nafas berat. Dengan tatapan kecewa aku berterima kasih pada om tukang
ojek itu lalu membawa motorku entah kemana. Aku tak mungkin kembali lagi ke
danau itu karena menurut feelingku
Isah benar-benar sudah tak ada di sana.
Bagaimana
jika Isah diculik? Bagaimana jika tadi saat aku sibuk dengan telponku ada
seorang pria jahat dan membawa Isah kabur diam-diam? Atau yang lebih buruk,
bagaimana jika ada mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi di jalan dan...
Oh Tuhan.
Tolong aku untuk menemukan Isah.
Pikiranku
benar-benar kalut ketika membawa motor sehingga aku tak menyadari banyak mobil
yang melintas berlawanan arah denganku dan aku berkali-kali hampir menabrak
beberapa mobil. Aku merutuki diriku sendiri. Aku sudah berjanji untuk menjaga
Isah. Lalu, bagaimana jika orang tua Isah marah padaku kalau aku tak menjaga
Isah dengan baik.
Bagaimana
ini? Isah... Kau di mana?
.
.
Isah’s POV
Aku sungguh
tak menyangka jika Asir benar-benar membelikanku tiga mangkuk besar es krim
dengan tiga rasa yang berbeda saat kami tiba di food court ini. Rasa choco
oreo, rasa vanilla, dan rasa dark chocolate. Dan akhirnya kami berdua
sakit perut dan masih terududuk di salah satu kursi panjang di food court ini.
“Asir kamu
benar-benar-gila,” candaku.
Asir
terkekeh sambil memegangi perutnya. “Aku juga nggak tahu kenapa tadi bernafsu
banget beli es krim itu. Ugh, perutku sakit. Rasanya buat berdiri aja susah
banget.”
Aku turut
memegangi perutku. “Lain kali jangan ngajak aku buat makan semua es krim itu
lagi.”
Asir
menyipitkan kedua matanya dan menatapku skeptis. “Kamu yakin? Bukannya tadi
kamu yang paling bersemangat melahap es krim itu huh? Bahkan jatahku kamu yang
menghabiskan.”
Aku hanya
bisa terkekeh. Asir benar. Mungkin karena aku sebal dengan Darwin aku jadi
ingin melahap apa saja yang bisa kumakan sebagai pelampiasan. Ah, mengingat
nama pria itu membuat perutku bertambah sakit saja.
“Oh ya,
Asir, bagaimana kabar tunanganmu?” sebuah pertanyaan yang tadi tidak sempat
kutanyakan karena aku terlalu fokus pada es krim di hadapanku.
Belum
sempat Asir menjawab, sebuah lengan yang
lebih besar dari ukuran lenganku tiba-tiba saja mencengkram dengan kuat
pergelangan tangan kananku membuatku mau tak mau menatap pemilik lengan itu.
Kedua bola mataku hampir keluar saat aku menatap pemilik lengan itu yang tengah
menatapku dengan penuh kebencian.
“Darwin??!”
tanyaku tak percaya.
“Iya aku
Darwin. Memangnya kamu pikir aku siapa huh? Mantan pacarmu? Kenapa? Kamu nggak
suka lihat aku di sini? Apa aku ganggu acara kencanmu?” ucapnya dengan cepat
dan nada mengejek serta aku bisa mendengar amarah yang tertahan dari suaranya.
“Kamu, kamu
ngapain di sini?” aku masih belum mempercayai apa yang kulihat. Sungguh
mustahil jika Darwin tahu kalau aku pergi ke tempat ini bersama Asir.
Kulihat
Darwin melirik sekilas pada Asir yang duduk di sisi kiriku. Tanpa menjawab
pertanyaanku dan tanpa membiarkanku mengucapkan sepatah kata pada Asir, Darwin
langsung menarik tanganku dengan paksa. Bahkan cengkramannya pada pergelangan
tanganku semakin kuat hingga rasanya sakit dan berdenyut.
Darwin
menarikku menuju parkiran di mana kulihat motornya terparkir di sana. Setelah
sampai di sisi motornya, Darwin langsung menyerahkan sebuah helm untuk
kukenakan dan ia langsung naik ke atas motornya. Aku hanya terdiam melihat
sikap Darwin yang dengan jelas bisa kulihat raut wajahnya menahan marah.
“Cepat
naik!” ucapnya memerintahku dan nada suaranya membuat bulu romaku merinding.
Dengan
cepat aku langsung mengenakan helm dan duduk di belakangnya. Hampir saja aku
terjungkal ketika aku belum pada posisi siap duduk saat Darwin langsung membawa
motornya meninggalkan area food court
dan membuatku langsung memeluk erat pinggangnya. Perasaanku tidak enak ketika
Darwin melajukan motornya dengan kecepatan melebihi kecepatan ia biasanya
mengendarai motor. Aku semakin erat memeluk pinggangnya karena Darwin seperti
orang kalap membawa motor. Bahkan aku berkali-kali mendengar pengendara
kendaraan bermotor lain membunyikana klakson karena Darwin mengendarai motornya
dengan menyelip-nyelip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi.
Kedua
alisku bertaut ketika Darwin membawa motornya bukan menuju arah rumah kami.
Tapi ia membawaku ke daerah sunyi yang masih banyak pohon besar di pinggir
jalan. Lantas Darwin menghentikan motornya di halaman sebuah gedung kosong yang
kuperkirakan baru beberapa minggu atau beberapa bulan saja tak dihuni karena
bangunannya masih sangat bagus.
Darwin
kembali menarik lenganku setelah turun dari motor dan setelah melepaskan helm
kami masing-masing. Dengan sedikit terburu-buru ia membawaku memasuki gedung
itu. Lebih tepatnya ke samping gedung itu di mana ada sebuah tangga spiral yang
menuju atap gedung. Aku tak tahu dari mana Darwin tahu tentang gedung ini.
Lantas setelah sampai, Darwin melepaskan cengkraman tangannya dan rasa perih
seketika menggelayut pergelangan tangan kananku. Bahkan pergelangan tanganku
sudah merah kebiruan karena cengkramannya terlalu kuat.
Belum
hilang rasa perih di pergelangan tanganku, seketika Darwin mendorong tubuhku
dan membuat tubuhku terhuyung jatuh di atas lantai atap gedung. Aku menatap
heran pada Darwin namun anehnya tenggorokanku terasa tercekat, aku tak bisa
mengucapkan sepatah katapun. Kedua mataku semakin melebar saat Darwin perlahan
mendekati tubuhku dengan seringaian mengerikan yang selama ini tak pernah
kulihat darinya. Seringaian itu membuatku harus menelan ludahku gugup. Nafasku
terasa tertahan ketika mata teduh Darwin menatapku dengan liar.
“Dar..win,”
ucapku susah payah.
Aku tak
bisa bergerak. Tubuhku rasanya terkunci. Aku masih terduduk di atas dinginnya
lantai atap gedung ini dengan Darwin yang kini memposisikan tubuhnya berjongkok
di depanku dan...
“Hmm?
Kenapa sayang? Kamu nggak sabar dengan permainan inti kita?” ucap Darwin dengan
nada rendah dan cukup seduktif. Kalimatnya sukses membuat oksigen bagaikan duri
di dalam paru-paruku.
“Ap, apa,
apa maksudd...ka,,mu?” ucapku ketakutan. Aku tak pernah melihat Darwin seperti
ini. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa Darwin jadi seperti ini?
Darwin
semakin seduktif menatapku. Kini tangan kanannya menyentuh pelan pipiku
membuatku semakin merinding. Namun tubuhku tak bisa diajak berkompromi. Aku
kesulitan bergerak. Tubuhku rasanya lemas.
“Darwin,”
ucapku lagi ketika menatap Darwin yang kini fokusnya beralih pada bibirku.
Tidak. Ini bukan Darwin. Darwin yang kukenal tak akan melakukan hal ini padaku.
“Dar..win.. hen, tikaan..”
Tangan kiri
Darwin menarik pingganggku hingga tubuhku sudah menempel kuat pada tubuhnya.
Sedangkan tangan kanan Darwin beralih menarik tengkukku dengan kuat namun aku
sekuat tenaga berusaha untuk memberontak. Aku menggelengkan kepalaku ke kanan
dan ke kiri menghindari bibirnya. Darwin kalap. Ada apa dengannya? Tidak. Dia
bukan Darwin. Bahkan sekarang tubuhku semakin memberontak agar terlepas dari
tangan Darwin yang melingkar erat pada pinggangku.
Sialnya
tenagaku kalah jauh dari Darwin. Ia masih terus berusaha menciumku namun aku
tak akan membiarkan hal itu terjadi. Darwin terus berusaha meraup bibirku dan
dengan cepat aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Ia dengan tenaganya
yang lebih kuat dariku melepas paksa tanganku hingga kedua tanganku terlepas
dari mulutku. Aku terisak melihat Darwin seperti kesetanan di depanku.
Darwin
hampir saja menciumku kembali ketika air mata seketika menyeruak dan membanjiri
wajahku. Aku terisak seraya menatap tak percaya pada apa yang kulihat. Sakit.
Rasanya sakit sekali melihat Darwin melakukan ini padaku.
Darwin
melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku dan bisa kulihat ia menarik
nafas dalam seraya menatap kecewa padaku. “Kenapa nangis?” ucapnya datar. Tidak
ada lagi nada kekhawatiran seperti biasanya jika ia melihatku menangis.
“Apa, apa
yang kamu lakukan Win? Hiks... Kenapa.. Kenapa kamu begini, hiks.”
Darwin
menarik salah satu sudut bibirnya dan menatapku dengan senyum sinis. “Kenapa?
Kenapa katamu?” Darwin bangkit dan kini ia berdiri memunggungiku yang masih
terduduk di atas lantai. “Sebenarnya sudah berapa banyak cowok yang kamu ajak
kencan?” ucapnya dingin masih dengan memunggungiku.
Air mataku
terhenti seketika saat kalimat tanya itu terlontar dari mulutnya. “Berkencan?
Kamu bilang apa tadi? Sudah berapa banyak cowok katamu? Apa maksudmu Darwin?”
tanyaku tak percaya.
Darwin
membalik tubuhnya dan kini ia menatapku dengan senyum mengejek. “Aku nggak tahu
sebenarnya berapa banyak cowok yang kencan sama kamu. Tapi satu yang aku tahu
pasti, dia adalah Asir. Pria yang bentar lagi akan menikah. Aku nggak nyangka,
serendah itukah harga dirimu sebagai cewek,” Darwin terkekeh dan mengejekku
membuatku kembali menatap tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
Kutarik
nafas dalam berusaha sekuat tenaga bangkit berdiri. Setelah berdiri tepat di
hadapannya, aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Oh jadi maksud kamu
selama ini aku berkencan dengan banyak cowok gitu? Hanya karena kamu lihat aku
sama Asir kamu langsung menarik kesimpulan kalau aku kencan sama dia?”
“Kenyataannya
memang begitu kan? Lalu apa yang kalian lakukan di sana berdua.. HAH!” Darwin
membentakku yang membuat jantungku kembali berpacu teramat cepat.
Aku
berusaha mengatur deru nafasku dan menahan agar aku tak tersulut emosi. “Kamu
bisa nanya baik-baik. Kenapa kamu harus membentakku??? Lalu apa yang sebenarnya
tadi mau kamu lakukan ke aku?”
“Kamu nggak
ngerti? Bukankah apa yang bakal aku lakukan tadi sama rendahnya dengan sikapmu
selama ini? Dulu kamu mengabaikan telponku karena bersama Alfi, dan tadi kamu
pergi diam-diam dari danau tanpa sepengetahuanku dan berkencan dengan Asir.
Lalu kalau aku nggak salah ingat di ponselmu juga banyak sms dari cowok-cowok
yang mungkin mulutku bisa kram menyebutnya satu persatu. Jadi kenapa kamu tadi
nangis kalau aku cuman melakukan itu ke kamu? Bukankah-“
-plakkkkk
Aku
langsung menampar pipi kiri Darwin. Demi Tuhan hatiku sakit ia mengatakan aku
wanita rendahan. Dan apa katanya tadi? Semua itu benar-benar tidak masuk akal.
“Oh begitu.
Jadi kamu menyimpulkan kalau aku adalah cewek murahan yang meladeni semua cowok
yang mau kenalan sama aku begitu?? LALU KAMU ITU APA HAH??!!! KAMU PIKIR KAMU
NGGAK MELAKUKANNYA? LALU KAMU ANGGAP AKU APA SELAMA INI? MAINANMU BEGITU?”
Air mataku
semakin tumpah setelah berteriak semampu yang aku bisa di depannya. Kulihat ia
memegangi pipi kirinya yang baru aku tampar. Bertahun-tahun menjadi sahabat Darwin,
baru kali ini kami bertengkar sedemikian hebat seperti ini. Dan ini membuatku
hancur. Apalagi karena kalimat yang ia lontarkan tadi padaku.
.
.
Darwin’s POV
“Oh begitu.
Jadi kau menyimpulkan kalau aku adalah cewek murahan yang meladeni semua cowok
yang mau kenalan sama aku begitu?? LALU KAMU ITU APA HAH??!!! KAMU PIKIR KAMU
NGGAK MELAKUKANNYA? LALU KAMU ANGGAP AKU APA SELAMA INI? MAINANMU BEGITU?”
Kulihat
dengan jelas air mata Isah tumpah. Sementara aku sendiri memegangi pipiku yang
terasa berdenyut akibat tamparan dari gadis di hadapanku ini. Aku sendiri tidak
tahu kenapa mulutku bisa dengan mudahnya mengatakan hal yang demikian.
“Memang apa
yang aku lakukan huh?” nada suaraku kurendahkan namun masih dengan menahan
emosi.
“Kamu masih
nanya? Nggak kah kamu sadar kalau selama ini kamu juga selalu meladi
gadis-gadis yang entah dari mana asalnya itu. Bahkan nggak jarang kamu
mengabaikan aku. Nggak cuman itu, setengah tahun terakhir ini kamu berubah.
Kamu terlampau sering mengabaikan aku karena teman-teman cewekmu itu. Bahkan
tadi, kamu lebih memilih bertelpon ria dengan cewek yang mungkin pacarmu itu
dan sama sekali nggak menyadari kepergianku. Lalu kamu bilang aku berkencan
dengan Asir?”
Isah
menahan air matanya dan aku sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan
retorisnya. Aku lebih memilih diam mendengarkan lanjutan kalimat yang akan ia
katakan.
“Aku
bertemu Asir di jalan waktu aku mau melakukan aksi konyol kabur darimu dari
pada harus mati bosan menunggumu selesai bertelpon ria. Setidaknya Asir mau
memberiku tumpangan untuk pulang. Dan kalau kamu mengatakan aku berkencan
dengan Asir yang notabene-nya ia bentar lagi nikah, kamu salah besar! Lagipula
aku mengenalnya jauh sebelum aku kenal kamu. Dan kamu nggak berhak mengataiku
begitu!!”
Bisa kulihat
dengan jelas Isah menahan emosi dari suaranya. Aku masih belum bisa menerima
semua penjelasannya. Karena bagiku, sama saja ia tak menghargai usahaku yang
mengajaknya pergi ke danau itu.
“Tidakkah
kamu sadar kalau kamu itu cewek? KAMU ITU CEWEK! TAPI KENAPA KAMU SEENAKNYA
PERGI SAMA COWOK LAIN HAH??! Kamu juga menerima telpon dan membalas pesan dari
para cowok yang kamu sendiri belum tentu tahu apakah mereka cowok baik-baik
atau bukan. KENAPA KAMU BERTINGKAH SERENDAH ITU!”
Sesungguhnya
aku sendiri tak pernah menginginkan pertengkaran ini terjadi. Aku hanya lelah.
Lelah dengan sikap Isah yang labil dan sulit dikendalikan, bahkan terkadang
kekanak-kanakkan.
Air mata
Isah semakin membanjiri wajahnya. “Jadi di matamu aku sudah jadi wanita murahan
begitu?” Isah terisak dan menggigit bibir bawahnya menahan agar ia tak semakin
terisak. “Lalu kamu sama saja denganku Win,” lirih Isah yang membuat kedua
alisku bertaut.
“Jangan
menangis,” ucapku cepat. “Aku capek selalu mengalah buatmu selama ini.”
Isah
menatapku nanar. “Seharusnya yang pantas marah di sini aku Win. Kamu yang
seringkali mengabaikan aku. Kamu nggak pernah menyadari kalau beberapa bulan
ini kamu berubah. Aku seolah nggak berarti lagi bagimu. Aku seolah bukan yang
utama lagi buatmu. Aku juga capek Win
sama sikapmu itu. Kalau kamu mau main-main dengan banyak cewek, jangan libatkan
aku dalam hidupmu. Karena.. KAMU NGGAK PANTAS NASEHATIN AKU KARENA KAMU JUGA
SAMA RENDAHNYA DENGANKU!!” teriak Isah lantas ia berlari meninggalkanku yang
masih termanggu atas ucapannya tadi.
Aku masih
bergeming selama belasan menit di tempat ini tanpa kutahu kenapa seluruh
sendi-sendiku serasa kaku digerakkan. Ucapan Isah tadi terus berputar dalam
memoriku. Aku hanya kecewa padanya karena aku sudah dilanda kekhawatiran namun
nyatanya ia malah tertawa bersama laki-laki lain. Mungkin ini agak aneh
bagaimana aku bisa menemukan Isah di food
court itu. Aku hanya tak sengaja melihat motor Asir, dan mengikuti
instingku untuk masuk ke dalam. Dan benar saja, aku melihat Isah di sana. Hanya
sesederhana itu. Namun ada rasa sakit di sudut hatiku, entah apa penyebabnya.
Sakit sekali melihatnya bersama laki-laki lain.
Dan aku
juga tak bisa berpikir lagi bagaimana Isah bisa pulang ke rumahnya. Sampai
suara adzan Maghrib menyadarkanku dari geming selama belasan menit dan
membuatku segera berlari meninggalkan gedung kosong ini untuk segera pulang ke
rumah.
.
.
Isah’s POV
Nyatanya
sebanyak apapun aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku membenci Darwin, hatiku
tak pernah mengabulkannya. Ini hari kedua sejak pertengkaran hebat kami yang
aku tak tahu apa penyebabnya di gedung kosong saat itu. Dan di hari kedua ini
batinku sudah tak sanggup lagi menahan teriakan di dalam hati kecilku yang
begitu merindukan sosok Darwin. Darwin seperti candu bagiku. Hanya dengan
melihatnya saja, aku seperti mendapatkan kembali kekuatanku.
Aku
menangis hebat setelah dari gedung itu. Aku pulang dengan berlari-lari di
pinggir jalan sambil menangis seperti anak kecil yang tidak diijinkan orang tuanya
untuk ikut darmawisata sekolah. Gila memang. Padahal saat itu jarak dari area
gedung itu dan rumahku sangat jauh. Tapi hebatnya aku tak merasakan lelah sama
sekali. Bagaimana mungkin aku tak lelah, kalau di tengah jalan aku bertemu Asir
untuk yang kedua kalinya dan ia masih mau berbaik hati mengajakku pulang. Asir
memang pengertian. Ia tak menanyaiku macam-macam jika aku tak menceritakannya.
Lagipula ia tahu aku tak mungkin akan menceritakan apa yang terjadi.
Aku sendiri
heran pada diriku. Aku selalu bisa memaafkan dengan mudah apapun kesalahan
Darwin. Apapun. Termasuk jika ia mengecewakanku berkali-kali. Dan aku tak bisa
marah padanya berhari-hari. Dan sama seperti hari ini. Setelah dua hari
berturut-turut aku menangis dan tak keluar kamar, hari ini aku kembali lagi
seperti biasanya. Seolah-olah pertengkaran kami saat itu tak pernah terjadi.
Yah meskipun aku sudah melewatkan kuliah selama dua hari. Tapi toh biasanya aku
selalu bisa mengejar ketertinggalan mata kuliah yang tak kuikuti.
Kutatap
pantulan tubuhku pada cermin besar di samping meja belajar. Aku memaksakan
sebuah senyum yang selama dua hari ini hilang. Lagipula hari ini hari ulang
tahunku, dan aku tak ingin menghancurkan kebahagiaan di hari ulang tahun
bersejarahku.
Setelah
yakin dengan penampilanku, kulirik ponselku yang tergeletak di atas meja
belajar. Sepuluh menit yang lalu aku mengirim sms untuk Darwin, namun sampai
saat ini belum ada pertanda ia akan membalas pesanku. Kuhela nafas dalam.
Keputusanku
sudah bulat. Semuanya tergantung dari Darwin. Jika ia masih ingin melanjutkan
persahabatan kami yang sudah akan terputus ini, maka sebaiknya ia memenuhi
permintaanku untuk merayakan ulang tahunku di lapangan sepak bola di dekat
rumah lama Darwin yang beberapa bulan lalu sebagai saksi bisu perayaan ulang
tahun Darwin. Dan... Jika Darwin tak datang, maka Isah dan Darwin hanya tinggal
sejarah.
Setelah
melajukan motorku menuju kediaman rumah lama Darwin yang sampai saat ini masih
belum ada yang menempati, aku sampai di menit kesepuluh. Memang hanya perlu
waktu sepuluh menit untuk sampai ke tempat ini. Kuparkirkan motorku di halaman
rumah yang sudah ditumbuhi semak belukar yang cukup tinggi. Lantas dengan
langkah yakin, aku melewati jalan setapak menuju lapangan sepak bola.
Hari masih
sore. Sekitar pukul setengah lima. Namun langit sudah tampak gelap. Aku
mempercepat langkahku agar segera sampai di lapangan sepak bola. Entah kenapa
perasaanku jadi berdebar seperti ini. Segera setelah aku mencapai lapangan, aku
duduk sendirian di tepi lapangan di atas rerumputan hijau. Lantas setelahnya
aku mengeluarkan ponselku untuk mengirimkan pesan pada Darwin.
Kamu di mana? Aku nunggu kamu...
Belasan
menit sudah berlalu. Dan aku masih duduk di sini dengan perasaan yang tak bisa
tergambarkan. Kupikir semuanya akan semudah bayanganku. Darwin yang datang ke
sini, lalu kami berbaikan dan melupakan pertengkaran hebat saat itu. Karena
jujur saja, mudah bagiku memaafkan apa yang ia lakukan padaku dan apa yang ia
katakan. Tapi hanya memaafkan, tidak melupakan.
Namun apa
yang kubayangkan nyatanya tak terjadi. Jangankan untuk membalas pesanku untuk
datang ke tempat ini, sekedar ucapan ulang tahun darinya pun sama sekali tak
ada. Lagi-lagi dengan susah payah aku menahan air mata yang tiba-tiba
menyeruak. Kupikir air mataku sudah habis, namun nyatanya setitik air mata yang
tak dapat kutahan meluncur dengan bebas dari sudut mataku.
Kuputuskan
menghubungi nomornya. Dan yang kudengar hanya nada sambung tanpa ada jawaban di
seberang sana. Kuulangi lagi panggilanku sampai empat kali. Dan hasilnya tetap
sama.
Kedua
tanganku bergetar. Begitu bencinya kah Darwin padaku hingga ia melakukan ini
padaku? Jadi ia sudah benar-benar menganggapku sebagai wanita murahan yang
sudah tak pantas menjadi teman baiknya? Dan... Jadi ia memilih memutuskan
persahabatan kami yang sudah terjalin selama beberapa tahun ini dengan cara
seperti ini?
Seketika
petir menggelegar di langit yang sudah sepenuhnya kelabu. Menambah suasana
melankolis yang melingkupiku. Angin kencang berhembus dan seketika rintik air
berjatuhan tanpa ampun. Tak membiarkanku untuk berlari demi mencari tempat
berteduh hingga membuat sekujur tubuhku basah dalam hitungan semenit. Biar.
Biarlah aku kehujanan. Dengan begini aku bisa sepuasnya kembali menangis.
Darwin...
Aku sakit.
Tak bisakah kita memperbaiki piring yang sudah retak itu?
.
.
Darwin’s POV
Aku mungkin
akan gila dan akan menambah jumlah orang dengan kelainan jiwa di Indonesia.
Bagaimana
mungkin aku bisa melupakan ulang tahun Isah dan meninggalkan ponselku di rumah
Romi? Kulirik dari jendelaku hujan turun dengan sangat deras. Sekarang sudah
pukul lima lewat dan sekitar lima menit yang lalu Romi datang ke rumahku
mengantarkan ponselku yang tertinggal di rumahnya. Anak itu menembus derasnya
hujan dari rumahnya menuju rumahku dengan mengenakan mantel hujan. Untung saja
rumahnya tak terlalu jauh dari rumahku.
Awalnya aku
ingin memakinya karena ia bisa saja mengantar ponselku setelah hujan reda.
Namun kalimat makian yang sudah tertahan di ujung lidah harus kutelan
bulat-bulat saat Romi menunjukkan sms dari Isah yang seketika membuat kedua
bola mataku ingin melompat dari tempatnya.
“Dia bahkan
sudah nelpon sampai empat kali. Dan menurutku dia masih ada di sana, Win,”
suara Romi menyadarkanku dari lamunanku.
Aku
mengerjapkan mataku dan mengalihkan perhatianku dari mengobservasi hujan dari
balik jendela –meskipun sebenarnya melamun- dan menatap Romi yang tengah duduk
di tepi tempat tidurku. Rasanya aku ingin memukul-mukul kepalaku sendiri pada
tembok.
“Aku juga
nggak tahu kalau dia nelpon karena ponselmu dalam keadaan silent. Jadi gimana Win? Kamu mau nemuin dia sekarang? Aku yakin
dia pasti kehujanan.”
Ucapan Romi
semakin membuatku ingin membenturkan kepalaku ke tembok. Kembali kulirik hujan
di luar sana yang turun tanpa ampun. Dengan tekad bulat dan tanpa menghiraukan
ucapan Romi, aku mengambil kunci motor dan mantel hujan untuk menemui Isah di
lapangan dekat rumah lamaku. Aku berharap ia sudah pergi dari tempat itu
meskipun hati kecilku yakin ia masih ada di sana.
Seluruh
sarafku seakan mati rasa saat melihat motor Isah yang masih terparikir di
halaman rumah lamaku. Motor itu sudah basah sepenuhnya. Dengan terburu-buru aku
melepas mantel yang kupakai dan membiarkan air hujan membasahi tubuhku.
Kupaksakan kakiku untuk berlari secepat yang kubisa melewati jalan setapak yang
licin agar segera sampai ke lapangan.
Demi Pluto
yang sudah keluar dari garis edarnya, dadaku mendesir dengan jantung yang
bertalu tak terkendali melihat Isah yang basah kuyup di bawah hujan yang masih
turun dan kuantitas yang sangat banyak. Gadis itu terduduk di pinggir lapangan
dengan memeluk kedua lututnya. Kembali dengan berlari aku menghampiri tubuhnya
yang sepertinya tak menyadari presensiku.
“Isah!”
seruku setelah berhasil mencapai tubuhnya.
Isah
mengangkat wajahnya. Wajah merahnya semakin memerah mungkin karena kedinginan
dan menatapku sendu. “Dar...win... kamu, kamu datt tang?” ucapnya lemah.
“Bodoh. Apa
yang kamu lakukan? Kenapa kamu membiarkan tubuh kamu kehujanan begini? Kamu kan
nggak tahan sama hujan? Kenapa kamu bertindak sejauh ini? Lalu kenapa-“
Belum
selesai segala pertanyaanku, tubuh Isah ambruk. Untung aku bisa menangkapnya
denga cepat. Dengan tangan yang bergetar dan kepanikan yang luar biasa, aku
mengguncang-guncangkan tubuh Isah yang tak sadarkan diri dalam rengkuhanku.
“Isah... Isah... Bangun, Isaaaaaah!”
“Isah
Banguun.. Isaah!!!”
Aku
berteriak seperti kesetanan. Tubuhku gemetar dan sekuat tenaga aku menggendong
tubuh Isah dan membawanya ke rumah lamaku.
Rumah
lamaku terkunci. Dan aku akhirnya hanya bisa membaringkan tubuh Isah di teras
rumah dengan kepalanya yang kuletakkan di atas pahaku. Air mataku berkali-kali
mengalir. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa aku kembali seperti ini?
Bukankah aku sudah berjanji untuk tak mengabaikan Isah lagi? Tapi lihatlah apa
yang sudah aku lakukan pada Isah.
Hujan masih
mempertahankan keegoisannya untuk tetap membasahi tanah. Udara dingin semakin
menyeruak. Tak ada kain untuk mengeringkan tubuh Isah dan tubuhku yang basah
kuyup. Bisa kurasakan tubuh Isah yang sudah kedinginan karena tubuhnya begitu
dingin. Kuelus puncak kepala Isah. Kedua matanya tertutup rapat. Apa yang harus
kulakukan agar ia bisa sadar?
.
.
Kugenggam
kedua tangan Isah dan kutiup tangan dinginnya berharap memberinya sedikit
kehangatan. Bohong jika aku tak merindukan Isahku. Aku merindukannya sampai aku
sulit bernafas. Aku bahkan merindukannya sejak ia menghilang setelah
pertengkaran hebat kami di gedung kosong itu. Dan mungkin aku memang akan gila
tak lama lagi.
“Eungh...”
Isah
melenguh pelan membuatku sedikit lega dan mengelus pipinya. “Isah, sadarlah
kumohon...”
Kedua
kelopak mata isah perlahan terbuka membuatku tak tahan untuk menarik kedua sudut
bibirku. Mata itu menatapku sendu dan... terpancar kekecawaan dibalik tatapan
sendunya padaku.
“Isah,
sayang, kamu sudah sadar?” tanyaku khawatir.
Isah
berusaha bangkit dan aku membantunya untuk duduk. Belum sepenuhnya Isah duduk,
aku langsung memenjarakan tubuh mungilnya dalam rengkuhanku. Kupeluk Isah
begitu erat. Namun kurasakan Isah
memberontak dari pelukanku membuatku menautkan kedua alisku bingung. Dan dengan
ragu kulepaskan pelukanku dan menatap Isah khawatir.
“Isah-“
“Kenapa
kamu datang?” ucap Isah cepat meskipun pelan dan terdengar lemah.
“Isah,
jangan bahas itu dulu. Kamu baik-baik aja? Apa kamu pusing?” aku benar-benar
khawatir dengan kondisinya.
“Kutanya
kenapa kamu datang? Karena merasa bersalah?”
“Isah...”
“Cepat
jawab Win!” nada suara Isah meninggi. Dan bisa kulihat ia menatapku dengan
tatapan kecewa yang bisa kutangkap jelas.
“Maaf.
Ponselku ketinggalan di rumah Romi. Dan tadi Romi mengantarkan ponselku ke
rumah, dan aku baru membaca sms kamu. Maaf...” lirihku.
Isah
membuang tatapannya dan tak berniat menatapku sedikitpun. “Lebih baik kamu
nggak usah datang dan nggak liat aku dalam keadaan menyedihkan begini.”
“Isah
jangan begitu. Baiklah, aku minta maaf. Aku minta maaf sudah melupakan hari
ulang tahunmu. Maaf baru baca smsmu. Maaf nggak ngangkat panggilan telponmu.
Maaf dua hari yang lalu aku membentakmu dan hampir melakukan sesuatu yang nggak
pantas ke kamu. Maaf, maaf sering mengabaikan kamu. Maaf.... untuk semuanya,”
kataku tulus. Tapi entah apakah Isah bisa menangkap ketulusan dari permintaan
maafku atau tidak.
Isah
kembali menatapku setelah permintaan maafku tadi. “Kenapa kamu minta maaf? Kamu
sadar kalau kamu salah?” ucapannya terdengar sinis.
“Maaf,”
lagi-lagi hanya kata itu yang bisa kukatakan.
“Lalu apa
kamu bisa jelaskan kenapa kamu seperti itu dua hari yang lalu dan jelaskan
maksudmu yang mulai menjauhiku beberapa bulan belakangan ini?” nada suaranya
memelan di akhir kalimatnya. “Kumohon. Sebagai permintaan terakhirku.”
Kedua
alisku terangkat. “Permintaan terkahir?”
“Kamu jawab
aja.”
Kutarik
nafas dalam. “Isah, maafkan aku. Maafkan aku yang melanggar prinsip
persahabatan kita. Aku nggak tahu tapi perasaanku padamu semakin hari melebihi
perasaan seorang sahabat. Karena itu, aku mencari gadis lain untuk
menghilangkan perasaan terlarang ini padamu. Dan, aku terbawa emosi waktu liat
kamu sama Asir waktu itu. Kamu tahu, aku khawatir banget waktu kehilangan kamu
di pinggir danau. Mungkin aku dibutakan rasa cemburu sampai-sampai aku
mengatakan hal-hal yang nggak pantas padamu. Maaf,” kataku seraya menunduk.
Isah hanya
diam. Aku tahu ia membiarkanku menyelesaikan kalimatku.
“Aku
terlalu cemburu waktu itu. Aku cemburu kamu punya banyak teman cowok dan tampak
sangat akrab sama mereka. Aku cuman takut kamu bakal ngelupain aku. Dan untuk
apa yang sudah aku lakukan padamu.. saat aku, eumm,” aku melirik Isah sedikit
ragu. “Saat aku mau melakukan sesuatu yang nggak pantas, aku juga nggak tahu.
Semua terjadi begitu aja tanpa kuinginkan. Tapi...”
Isah
menatapku dengan ekspresi kuriositas yang tergambar jelas di wajah merahnya
yang kini mulai memucat dan membuatku semakin khawatir.
“Tapi kamu
juga berubah. Kamu seperti ngejauhin aku beberapa bulan ini.” Inilah kalimat
yang ingin sekali kukatakan padanya. “Kenapa kamu seperti ingin menjauhiku?”
“Karena aku
lelah Win,” jawaban Isah semakin membuat alisku bertaut bingung.
“Kamu
lelah?”
Isah
mengangguk pelan. “Aku lelah karena aku juga harus berpura-pura seolah semua
tampak biasa aja dan baik-baik aja padahal hatiku selalu memberontak
menginginkan kamu melebihi sahabat. Aku juga cemburu, dan aku iri dengan
gadis-gadis itu yang nampaknya akrab sekali sama kamu. Aku menjauhimu karena
kamu yang memulainya. Kamu mungkin benar, aku terlalu rendah sebagai cewek yang
begitu mudahnya akrab dengan teman-teman cowokku. Tapi itu semua aku lakukan
karenamu. Karena kamu melakukannya pada teman-teman cewekmu yang lain.”
Dadaku
kembali berdesir. Ada bagian dari ucapan Isah tadi yang membuat hatiku sedikit
bergejolak. “Jadi, maksudmu kamu juga memiliki perasaan itu padaku?” tanyaku
meyakinkan akan ucapannya.
Isah
kembali mengangguk. “Tapi, aku sudah hampir mengubur perasaan itu. Karena aku
nggak pantas memiliki perasaan itu padamu.” Isah menatapku nanar. “Terima kasih
untuk semuanya Win. Terima kasih sudah membuat hari-hariku jadi berwarna. Dan
maaf kalo kamu sering kerepotan karena aku, maaf bikin kamu sering mengalah
karena aku. Maaf buat semua yang sudah aku lakukan ke kamu.”
Aku
menggeleng kuat. “Apa yang kamu katakan? Kamu mengatakannya seperti ini adalah
pertemuan terakhir kita..” ucapku dengan nafas memburu.
Isah
memaksakan sebuah senyum. Meskipun aku sangat mengenali itu hanyalah senyum
keterpaksaanya. “Kamu benar. Ini pertemuan terakhir kita sebagai sahabat.”
“Maksud,,,
maksud kamu???”
“Kalau kamu
masih mau berteman sama aku, kita bisa mulai lagi dari awal.”
Aku kembali
menggeleng kuat. Tidak, apa yang dikatakannya tidak benar. Aku tak pernah
menginginkan semuanya berakhir. Dengan cepat aku kembali memeluk Isah meskipun
ia sama sekali tak berniat membalas pelukanku.
“Isah,
selamat ulang tahun. Maaf kalau hari ini aku malah membuatnya jadi hari ulang
tahun terburukmu,” bisikku di telinganya bermaksud mengalihkan pembicaraan dan
menganggap ucapannya barusan tak pernah ada. “Kamu mau kado apa?”
Sekuat
tenaga Isah melepaskan pelukanku. “Kumohon jangan begini Win,” Isah kembali
menatapku sendu. “Jika kita tetap memaksakan, itu cuman nyakitin kita berdua.”
“Isah...”
rengekku menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
“Kado yang
kuminta adalah penjelasan dari kamu tadi. Bukankah sudah kukatakan itu sebagai
permintaan terakhirku? Hanya itu yang aku minta sebagai sahabatmu. Setidaknya
sekarang aku sudah tahu alasannya.”
“Tapi kita
bisa kembali seperti dulu Isah. Kita bisa menyimpan perasaan kita dalam-dalam
dan dengan begitu kita bisa kembali leluasa berteman,” pintaku. Memohon
berharap agar ia mau merubah keputusannya.
Isah
berusaha bangkit berdiri namun tubuhnya kembali linglung dan hampir terjatuh,
tapi aku kembali dengan sigap menangkap tubuh lemahnya. Kurasakan tangan Isah
yang berusaha mendorong tubuhku. Hatiku teriris melihat mata sembab Isah.
Sepertinya ia sedang menahan tangisnya.
“Isah, kamu
sakit. Biar aku antar pulang, ya,” ucapku khawatir melihatnya yang semakin
pucat.
Isah sekuat
tenaga menegakkan tubuhnya untuk berdiri meskipun aku masih bisa melihat kalau
kakinya terlalu lemah untuk menahan berat tubuhnya. Ia berdiri menatapku yang
masih saja menatapnya dengan khawatir. “Sampai jumpa, DTB,” Isah tersenyum.
Manis. Sangat manis. Berbanding terbalik dengan kata perpisahan yang ia
ucapkan. Begitu pahit untuk didengar.
Hujan masih
turun meskipun tak terlalu deras seperti beberapa menit yang lalu. Namun Isah
malah nekat mengambil motornya. Dengan cepat aku kembali menarik Isah dan
memeluknya. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Aku seperti tak ingin
melepaskannya lagi.
“Isah, aku
kangen kamu,” bisikku di telinganya.
Isah sama
sekali tak membalas pelukanku. Ia hanya diam. Selama bermenit-menit lamanya aku
memeluk Isah, sepertinya gadis itu masih tak ingin memelukku. Setelah cukup
kurasa melepaskan segala hasrat rinduku pada Isah, aku berniat melepaskan
pelukanku tapi Isah dengan cepat membalas pelukanku. Kedua mataku membelalak
ketika mendapat sebuah kecupan singkat di pipiku. Ya Tuhan, aku tidak bermimpi
kan? Isah menciumku!
“Kita nggak
bisa terus begini. Setidaknya sampai aku benar-benar bisa menata hati dan
perasaan aku ke kamu. Selamat tinggal, dan... Sampai jumpa.”
Dan pelukan
kami terlepas. Dan tubuhku bergetar mendengar ucapannya yang seperti sebuah
granat dalam dadaku. Dan aku bergeming. Dan tubuh Isah menjauh ditelan gerimis
hujan yang hampir reda. Dan pandanganku mengabur. Dan sarafku mati rasa.
Dan aku
hancur.
Dan Isah
tak terlihat lagi dalam jarak pandangku. Dan tubuhku ambruk.
Beginikah
akhirnya? Setelah pertengkaran hebat dua hari yang lalu, aku bisa melihatnya
lagi. Dan sekarang ia mengucapkan selamat tinggal setelah pertemuan yang begitu
kurindukan ini?
ITB dan
DTB. Apa itu semua hanya tinggal sejarah?
.
Love has come
But you say you're going
I'm waiting for you
But you're saying I can not see you anymore
Always like a fool
This story flows like tears
See you later , goodbye
.
.
FIN
Ulalaaaa...
/elap keringat, elap ingus/
Demi
apa coba ceritanya jadi melankolis begini??? Lagu Hyorin emang bikin mewek
sampe tumveh-tumveh... sumveh dah...
Ini
kayaknya jauh banget dari ekspektasiku. Dan aku nggak tau apa bakal ada lagi
inspirasi untuk ITV vs DTB part berikutnya. Bikin cerita ini sambil nahan aer
mata dan nahan degupan jantungku tau gak sih. Aduh, aku ngomong apa coba.
Oke
sekian bacotan aku, semoga ini masih layak dibaca dan buat yang mau baca
makasih banget dan semoga matanya nggak sakit baca cerpen awkward dan absurd ini..
And last, danke... *bow