Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Minggu, 19 April 2015

(Fanfiction) Because of Cheesecake


Because of Cheesecake
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.

Cast:
B.A.P’s Jung Daehyun
OC’s Choi Jirin

Lenght:
Ficlet

.

Be ware... Typo......!

.

<3<3<3

Siapa bilang menjadi kekasih seorang Jung Daehyun itu menyenangkan. Aku akan menyangkal habis-habisan jika ada pernyataan kalau seorang Daehyun itu tipe pria romantis dan bisa membuat gadisnya senang.

Kuberitahu kalau itu tidak-benar-sama-sekali!

Tiga tahun menjadi kekasihnya dan selama tiga tahun pria berlogat Satori itu jarang memperlakukanku secara romantis seperti kebanyakan pria lain. Ia sama sekali jauh dari kata romantis asal kau tahu.

Mau tahu apa penyebabnya?

Yah, kau bisa lihat sekarang kekasihku ini lebih memiih bercumbu dengan sepotong kue di atas piring ketimbang menatapku yang jauh-jauh datang ke rumahnya membawakan kue ulang tahun untuknya. Dan jangan lupakan usahaku yang berdandan semaksimal mungkin sekitar satu jam di depan cermin hanya untuk terlihat cantik di depannya. Tapi lihat sekarang. Ia benar-benar mengabaikanku!

Sejak tadi aku terus menatapnya dengan tampang kesal, meskipun sejak tadi Daehyun tak melihatnya karena ia terlalu sibuk mengagumi kecantikan sepotong kue di atas piring yang tak lepas dari netranya sejak lima belas menit yang lalu. Berkali-kali aku menghela nafas nyaring berharap agar ia mendengarnya. Namun sepotong kue keju itu telah mengalihkan seluruh dunia Jung Daehyun.

“Jirin, boleh aku memakannya sesuap lagi?” tanyanya retoris tanpa menatapku. Dasar bodoh. Untuk apa ia bertanya. Aku membawakan kue itu untuknya yah tentu saja ia harus menghabiskannya.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. Daehyun yang duduk di kursi seberang masih sama sekali tak menatapku dan tentu saja kecantikan sepiring kue keju yang tergeletak manis di atas meja makan telah memukaunya. “Yah yah. Cepatlah kau habiskan kue-mu itu,” jawabku lebih kepada memerintah.

Demi Tuhan ingin kulempar saja kue itu ke jendela. Bahkan aku menyesal semalaman membuat kue keju itu sebagai hadiah ulang tahunnya. Jadi Daehyun berniat berselingkuh dengan kue keju itu begitu?

Gerakan Daehyun terhenti saat akan menyuap kue keju itu dengan sendok. Lantas untuk pertama kalinya setelah lima belas menit berlalu Jung Daehyun menatapku dengan senyuman manisnya yang sialnya selalu bisa meredam rasa marahku. Ckk... Ayolah Jirin kau harus kuat. Tidak boleh tersihir hanya karena senyum kekasihmu yang menyebalkan itu. Ingat, dia sudah berselingkuh dengan kue keju itu!

Daehyun bangkit dari duduknya dan sejurus kemudian ia sudah memposisikan tubuhnya untuk duduk di sampingku. Membuat kedua alisku mengernyit dengan ekspresi kuriositas saat menatapnya yang tengah menatapku dengan seringaian yang membuatku berfikir yang tidak-tidak.

“Ada apa?” tanyaku bingung.

Kulihat Daehyun menghela nafas lantas berdehem. “Kau tidak cantik lagi kalau merengut seperti itu. Hey, hari ini kan hari ulang tahun kekasihmu yang tampan ini. Jadi kau juga harus bahagia, oke.”

Aku memutar kedua bola mataku. Tentu saja aku tidak bahagia sekarang. Bagaimana mungkin ia benar-benar mengabaikanku sejak tadi padahal lima belas menit yang lalu aku datang dengan senyum manis dan aura kebahagiaan yang menguar namun semuanya runtuh begitu saja saat Daehyun menerima kue keju yang tentu saja membuatku menjadi seperti orang asing.

Belum sempat aku mengeluarkan suara, bibir Daehyun sudah menyapu bibirku. Sial. Daehyun selalu bisa mengaduk-aduk perasaanku.

“Kau cantik sekali hari ini,” bisiknya seduktif setelah melepaskan kecupan ringannya di atas bibirku.

Aku bergeming. Dengan sedikit susah payah aku menelan ludahku. Dan kali ini, belum sempat aku sedikit berhafas Daehyun kembali tiba-tiba menempelkan bibir penuhnya pada bibirku setelah sebelumnya aku sempat melihatnya memasukkan sesuap kue keju ke dalam mulutnya.

Kedua mataku refleks terpejam dengan jantungku yang berdentam tak normal. Oh Demi Saturnus aku kehilangan rasa marahku karena perselingkuhan singkat Daehyun dengan kue keju buatanku sendiri. Jantungku semakin menggila saat Daehyun menyalurkan kue keju di dalam mulutnya melalui bibir kami yang bertautan dan perlahan memasukkannya ke dalam mulutku.

Aku merasakan sensasi aneh yang menggelitik seluruh sistem saraf tubuhku. Baiklah, mungkin aku sempat membenci kue keju buatanku namun sekarang aku bersumpah aku tak menyesal membuatkan kue keju untuk ulang tahun Jung Daehyun. Aku benar-benar bisa gila sekarang karena kelakuan kekasihku ini.

Aku semakin tenggelam dalam ciuman Daehyun yang memabukkan. Bahkan dengan sadar aku mengalungkan kedua lenganku pada lehernya. Daehyun benar-benar pandai membuatku marah dan dengan sekejap ia selalu mampu meredamkan kemarahanku.

Oh Jirin sadarlah...

.
.
FIN


Bhahahahahaaa... /evil laugh/
Hey hey... Jung Daehyun kau memilih siapa sebenarnya? Jirin atau cheesecake tak berdosa yang menjadi objek perselingkuhanmu huh? Haha...
Baiklah, FF ini aku buat sebelum berangkat ke kampus. Tiba-tiba aja aku dapat inspirasi dalam sekejep, wkwkk....
Terima kasih buat kamu-kamu yang mampir dan membaca FF jelek ini ^^ *bow*


(Cerpen) ITB VS DTB (3rd Part)


ITB VS DTB (3rd Part)
(See You Later, Goodbye)

.
.

(A/N: Darwin nggak bisa mengabulkan permintaan aku untuk bikin ITB VS DTB Part 3, jadi cerita ini aku buat sendiri dengan inspirasi seadanya. Happy reading ^^)

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.

Inspired By:
Sistar’s Hyorin – Hello-Goodbye
.
.

Warning: Typo.......!!
.

***

Love has come
But you say you're going
I'm waiting for you
But you're saying I can not see you anymore
Always like a fool
This story flows like tears
See you later , goodbye

.
.

Rasanya sudah sangat lama aku tak memanggil sahabatku dengan panggilan DTB, Darwin Tukang Bully. Mungkin sudah lebih dari setengah tahun. Aku tak tahu kenapa tapi yang pasti akhir-akhir ini kami tak lagi saling memanggil satu sama lain dengan nama-nama aneh yang biasanya kami ciptakan seperti panggilanku untuknya; Makes, Cinta Permai, Mas Pregant, Mr. Marketing, dan termasuk DTB itu.
Mungkin karena kesibukan kuliah jadi kami tak memiliki waktu untuk saling mengolok satu sama lain seperti dulu. Tapi jujur saja aku sangat merindukan masa-masa di mana kami saling bertengkar seperti dulu. Bahkan anehnya aku merindukan saat-saat di mana Darwin membullyku dan sampai menjatuhkah harga diriku kadang. Sekarang semuanya terasa berubah. Entahlah itu hanya karena perasaanku saja atau memang Darwin sudah berubah, aku tak tahu. Yang pasti sekarang tak ada lagi ITB dan DTB yang sering bertengkar seperti dulu. Tak ada lagi Isah yang sering dibohongi oleh Darwin. Dan juga tak ada lagi Darwin dan Isah yang bermain kejar-kejaran. Semua terasa hambar sekarang.
Aku merindukan Darwin yang dulu.

.
.

Aku tak lagi memanggil sahabatku dengan sebutan ITB, Isah Tempat Bully. Bahkan termasuk nama-nama aneh yang biasanya kami ciptakan karena ada suatu moment seperti beberapa panggilanku untuknya; Nona Picikan, Cinta Damai, Mrs. Accounting, Kantong Semar, dan termasuk ITB itu.
Mungkin karena sekarang kami sibuk kuliah dan terlalu sibuk dengan tugas-tugas kuliah sampai-sampai saat ini kami mulai jarang bertengkar seperti dulu. Semua terasa serius layaknya dunia perkuliahan. Tak ada lagi Isah yang dulu sering kubohongi. Tak ada lagi Darwin yang sibuk berdebat dengan Isah tiap malam. Tak ada lagi smsan rusuh setiap malam sebelum kami tidur. Bahkan sekarang aku merasa ada sebuah jarak antara aku dan sahabatku Isah. Semua terasa hambar sekarang. Tapi aku tak tahu apakah itu hanya perasaanku saja. Semoga ini hanya perasaanku saja.
Aku merindukan Isahku yang dulu.

.
.

Isah’s POV

Dengan langkah lebar aku berjalan terburu-buru meninggalkan rumah dan berusaha menahan air mata yang hampir menyeruak di sudut mataku. Aku tak ingin berada di rumah saat ini. Aku benar-benar benci ayahku. Tadi pagi aku baru saja membeli gitar yang sudah lama aku idam-idamkan. Harganya memang tak seberapa, tapi baru hari ini aku memiliki kesempatan untuk membelinya.
Aku menghempaskan tubuhku duduk di bawah pohon mangga di kebun Pak RT, tempat yang biasa aku kunjungi bersama Darwin jika sedang bosan berada di rumah. Aku sungguh tak habis pikir kenapa ayahku begitu marah saat aku membeli sebuah gitar. Toh aku tak juga memiliki niatan untuk menjadi pemain band. Aku hanya ingin belajar bermain gitar, itu saja. Dan aku juga tak akan bermain gitar sampai mengganggu tetangga. Huh... menyebalkan!
Aku menatap rerumputan di sekitarku. Ah, rasanya aku ingin jadi rumput itu saja. Hidup damai, bisa merasakan semilir angin sesering mungkin, dan tentu saja rerumputan itu tak perlu mendengar omelan dari ayah.
Kualihkan tatapanku pada benda putih di atas yang bergerak perlahan terbawa angin. Melihat awan putih di atas sana rasanya aku ingin jadi awan saja. Begitu tinggi dan tak ada yang bisa mengusiknya. Bahkan awan bisa menaungi makhluk bumi dari sengatan matahari. Ckkk.. Ini karena ayah, aku jadi membayangkan hal yang tidak-tidak.
“Kamu kenapa lagi Sah?” aku hampir saja terlonjak kaget karena presensi Darwin yang tiba-tiba berada di sebelahku.
Hyaa! Darwin menyebalkan. Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ada disini, bikin kaget aja,” sungutku sebal dan sedikit mempoutkan bibirku.
“Kamu kebanyakan melamun sampai-sampai nggak sadar kalau sejak tadi aku sudah berdiri di sini,” tukas Darwin seraya ikut memposisikan tubuhnya untuk duduk di sampingku.
“Kenapa kamu tahu aku ada di sini?” tanyaku sambil menatapnya yang kelihatannya cukup lelah.
“Tadi aku lihat kamu jalan buru-buru meninggalkan rumah waktu aku mau menyiram tanaman ibuku di samping rumah,” terangnya tanpa menatapku sedikitpun.
Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Kali ini aku kembali menatap rerumputan di sekitarku duduk. Aku ingin berteriak saat ini, tapi aku tak berani mengganggu tetangga yang tinggal di samping kebun Pak RT. Jadi aku hanya bisa menghela nafas berat karena aku tak tahu harus melakukan apa disaat marah seperti ini.
“Dimarahi ayah lagi?”
“Hmmm, begitulah.”
“Kenapa?”
Aku menatap Darwin dengan pandangan yang hampir memburam karena air mata yang tiba-tiba mulai menggenang di pelupuk mataku. “Ayah marah aku beli gitar Win,” lirihku.
Kudengar Darwin menghembuskan nafas berat dan tiba-tiba saja ia memelukku begitu erat sampai-sampai aku hampir tak bisa bernafas. “Maaf nggak bisa bantu kali ini Isah...”
“Iya Win, nggak apa-apa. Kamu ada di sini dan nemanin aku sudah cukup kok,” aku balas memeluknya dan mencari posisi yang nyaman untuk menyandarkan kepalaku di dadanya.
Cukup lama Darwin memelukku bahkan mungkin lebih dari lima menit kami berpelukan dalam geming. Baik Darwin maupun aku sama-sama tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku sendiri tak tahu harus mengatakan apa karena aku benar-benar merasakan nyaman setiap Darwin memelukku seperti ini. Bahkan air mata yang tadi kutahan sudah menghilang tanpa aku sadari.
Aku tak pernah tahu jika berpelukan bisa memberikan rasa nyaman seperti ini. Rasanya nyaman sekali sampai-sampai aku lupa kalau tadi ayah memarahiku habis-habisan di rumah. Darwin selalu bisa menenangkanku meskipun tidak dengan kata-kata. Ia selalu saja memelukku tiba-tiba jika aku mulai tertekan. Namun ditiap pelukannya seolah mengatakan padaku bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jangan nangis ya, dan habis ini kamu harus pulang. Jangan pernah berpikir untuk kabur dari rumah cuma karena gitar itu. Kamu bisa bermain gitar sama aku di taman kampus atau di tempat lain tanpa sepengetahuan ayahmu,” ucap Darwin dengan nada rendah setelah ia melepaskan pelukannya.
Aku mengangguk patuh. “Makasih Win kamu selalu ada buat aku,” ucapku tulus menatapnya.
Darwin tersenyum tipis seraya bangkit dari duduknya. “Ya sudah aku pulang dulu.” Tanpa mengucapkan kalimat lainnya Darwin melangkah perlahan meninggalkanku.
Aku menatap punggung Darwin yang berjalan semakin menjauh. Tanganku tanpa sadar memegangi dadaku. Rasanya ada yang aneh sekarang. Entah kenapa. Aku merasa Darwin mulai berubah sekarang. Air mata yang tadi sudah menghilang tiba-tiba saja mengalir dari sudut mataku. Dan hal itu sukses membuatku terisak seorang diri. Tak tahu kenapa tapi yang pasti rasanya benar-benar sesak di dadaku.

.
.

Darwin’s POV

Kutatap jendela kamar Isah yang tertutup pagi ini. Hari ini hari Minggu seharusnya gadis itu sudah membuka jendelanya pukul enam pagi. Namun ini sudah pukul tujuh pagi namun tak ada tanda-tanda jendelanya terbuka sedikitpun. Dengan sedikit khawatir aku mengambil ponselku dan mengetik pesan untuknya.

Km gk sakit kan? Kenapa jendela kamar km tertutup?

Setelah mengirimkan pesan itu untuknya, aku kembali menatap jendela kamarnya. Biasanya pagi-pagi seperti ini aku dan Isah selalu mengucapkan selamat pagi bahkan tak jarang berteriak hanya untuk perdebatan kecil tak penting dari jendela kamar kami masing-masing. Aku tertawa sendiri mengingat kejadian itu. Rasanya sudah cukup lama kami tak melakukannya. Sepertinya Isah tak lagi menyukai hal-hal seperti itu.
Sebuah pesan masuk di ponselku dan dengan cepat aku membukanya.

Aku nggak sakit... Aku cuma lupa membuka jendela kamarku ^^

Tak lama setelahnya aku melihat Isah yang berdiri di depan jendelanya dan menatapku dengan senyuman khasnya. Lantas gadis itu melambaikan tangannya ke arahku sambil menempelkan ponselnya pada telinganya.
Ponselku bergetar tanda ada sebuah panggilan masuk. Kulirik layar ponsel dan tertera nama Isah di sana. Dengan cepat aku menggeser tombol hijau pada layar ponsel dan menempelkan ponselku di telinga lantas aku turut menatap Isah  dari jendelaku.
“Halo Isah”
“Pagi Iwin...” suara Isah terdengar sedikit serak.
“Baru bangun tidur?”
“Nggak. Aku cuma sedikit batuk, uhuk-uhuk,” aku mendengarnya batuk dibuat-buat.
“Nggak usah berlebihan begitu. Oh ya, apa kamu punya rencana hari ini?”
Isah tak langsung menjawabnya. Aku bisa melihatnya yang sepertinya sedang berpikir dari jendelanya. “Sepertinya aku cukup sibuk hari ini. Aku harus promosi album baruku, aku juga ada jadwal pemotretan hari ini. Ditambah lagi-“
“Hentikan omong kosongmu itu. Kalau gitu kamu harus siap-siap, jam delapan aku akan berada di depan pintu rumah kamu dan menculikmu ke sebuah tempat.”
“Hey, sejak kapan ada penculikan yang memberitahukan lebih dulu pada calon korbannya, huh.”
“Haha... Yasudah kalau begitu aku tutup dulu telponnya karena aku juga harus bersiap-siap untuk menculik gadis yang sedang berbicara denganku ini.”
“Tunggu-“ ucap Isah cepat sebelum aku mematikan sambungan telpon kami. “Memangnya kita mau kemana pagi ini?”
“Ke tempat yang aku janjikan waktu itu. Sudahlah aku tutup dulu ya.”
Setelah aku mematikan sambungan telpon, Isah sudah menghilang di balik jendela kamarnya. Kuhela nafas dalam karena akhir-akhir ini Isah sepertinya mulai menjauh dariku. Tak jarang saat di kampus ia berjalan mendahuluiku. Biasanya kami akan berjalan bersama-sama untuk masuk ke dalam kelas. Entahlah mungkin ini hanya perasaanku saja Isah yang mulai berubah.
Kutatap fotoku di atas nakas yang berbingkai merah. Fotoku dan Isah saat kami merayakan ulang tahunku beberapa bulan yang lalu. Aku tersenyum kecut mengingat bagaimana saat itu kami sempat bertengkar hebat karena kesalahpahaman. Setelah ulang tahunku itu, aku merasa hubungan kami mulai merenggang. Aku tak tahu kenapa tapi yang pasti aku merasa kalau sekarang hubungan persahabatan kami terkesan dipaksakan. Dan itu cukup membuatku merinding karena aku tak ingin hubungan persahabatan kami hancur tanpa penyebab yang jelas.

.
.

Tak jarang kami berjalan membelakangi ataupun berpapasan tanpa kata. Tak jarang kami hanya menatap satu sama lain saat masing-masing dari kami membutuhkan sebuah pelukan. Tak jarang kami mengucapkan sampai jumpa di saat kami baru saja bertemu. Berjalan berjauhan dan kemudian saling memunggungi seolah mengatakan “Selamat tinggal”.
Isah masih duduk di sana selama sepuluh menit setelah dua puluh menit yang lalu kami datang ke tempat ini. Tempat yang sudah lama ingin Isah kunjungi. Danau di pinggir kota yang jaraknya cukup jauh dari rumah kami, sekitar satu jam menggunakan motor. Tadi saat kami datang, ia cukup senang bahkan memelukku begitu erat. Namun beberapa menit kemudian senyum di wajahnya memudar dan ia berjalan meninggalkanku yang tengah duduk di bawah pohon akasia. Isah duduk tepat di pinggir danau tanpa mengucapkan sepatah katapun atau melakukan apapun.
Aku menatap punggung Isah yang duduk cukup jauh dariku. Isah pernah mengatakan agar aku tak berjalan di depannya atau di belakangnya. Ia ingin aku berjalan di sisinya karena kami adalah sahabat. Nyatanya ia sekarang berada di depanku dan aku seperti orang bodoh duduk di belakangnya seperti ini.
Kulangkahkan kakiku perlahan mendekati Isah yang sedang melempari bebatuan kecil ke dalam danau. Ia cukup terkejut dengan kehadiranku di sampingnya dan aku bisa melihat dengan jelas ia dengan cepat mengusap kasar air matanya. Apa ia tadi baru saja mengangis?
Aku berpura-pura tak menyadarinya dan memilih ikut duduk di sampingnya. “Kamu suka tempat ini?” tanyaku seraya melayangkan pandanganku ke tengah danau yang airnya sangat jernih di hadapan kami.
“Heum. Tempat ini sejuk banget Win, dan juga tenang...” ucapnya pelan namun masih bisa kudengar dengan jelas.
Tak ada lagi percakapan setelahnya. Kami berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Isah...”
“Hmm?”
Aku tak langsung menyahut. Kutatap lekat iris caramel Isah membuat kedua alis gadis itu bertaut. “Nggak apa-apa. Aku pikir kamu tertidur,” jawabku bohong. Sejujurnya aku ingin sekali menanyakan tentang perihal hubungan kami yang rasanya sangat dingin.
“Oh ya Win-“
Ucapan Isah terpotong seiring nada nering ponselku yang memenuhi indra pendengaran. Dengan cepat segera kurogoh ponselku dan dengan cepat mengangkat panggilan masuk setelah kulihat nama yang tertera pada layar ponsel. Aku berdiri menjauh dari Isah dan memilih duduk di bawah pohon akasia tempat yang sebelumnya kududuki saat pertama kali datang ke sini.
Setelahnya aku tenggelam dalam pembicaraan bersama gadis yang sedang menelponku. Aku masih bisa melihat Isah duduk di sana kembali melempari bebatuan di dekatnya ke dalam danau. Lantas aku tak terlalu menyadari lagi apa yang ia lakukan karena pembicaraanku semakin asyik dengan gadis yang menelponku.

.
.

Isah’s POV

Ia melakukannya lagi. Ia menjauhiku lagi karena gadis itu. Aku sempat melihat nama gadis itu tertera dengan jelas pada layar ponselnya. Eksistensiku bahkan tak ia hiraukan. Aku sungguh tak cemburu. Aku hanya merasa tak suka dengan gadis itu yang selalu saja menghubungi Darwin saat aku sedang bersama Darwin. Gadis itu hampir setengah tahun terakhir semakin akrab dengan Darwin sejak perkenalan pertama mereka di jejaring sosial facebook. Dan selama setengah tahun terakhir ini pula Darwin mulai jarang mengirimiku pesan singkat yang biasa ia kirim sebelum tidur.
Bahkan tak jarang ia mengabaikanku saat di kelas karena sibuk dengan jejaring sosialnya. Asumsiku ia sedang ber-chatting ria bersama gadis itu ataupun gadis-gadis lain. Aku tak heran dengan hal itu karena memang sahabatku satu itu memang cukup populer di kalangan wanita.
Hanya saja...
Kulirik Darwin yang duduk bersandar pada pohon akasia yang batangnya cukup besar. Ia masih berkutat dengan ponsel di telinganya dan tak menatapku sedikitpun. Membuatku menghela nafas berat dan memilih untuk tak menatapnya terlalu lama. Mungkin aku yang terlalu berlebihan di sini. Dan mungkin aku yang membuat suasana menjadi terlalu melankolis. Tapi feeling­-ku mengatakan memang ada sesuatu yang salah antara aku dan Darwin saat ini.
Perlahan aku bangkit setelah berpuluh menit duduk di tepi danau. Dengan perlahan pula tungkaiku bergerak meninggalkan tempat ini tanpa sepengetahuan Darwin. Aku tak ingin mengganggunya yang sepertinya begitu menikmati percakapannya. Lagipula ia juga tak menyadari eksistensiku. Dan jika nanti ia marah mengetahui kalau aku pulang diam-diam, aku bisa membuat alasan yang logis tentang hal itu.
 Mungkin aku sudah gila memutuskan berjalan kaki untuk pulang ke rumah. Yah, setidaknya aku tak ingin benar-benar gila ketika aku mendapati stand ojek sekitar lima puluh meter di ujung jalan. Memilih naik ojek untuk sampai di rumah dan dengan begitu aku tak cukup malu di hadapan Darwin nanti karena melakukan aksi konyol kabur diam-diam dan berjalan kaki berpuluh kilometer.
Saat aku sudah hampir mencapai stand ojek, langkahku terhenti saat sebuah motor berhenti tepat di sampingku. Kedua alisku bertaut saat mendapati seorang pria yang mengendarai motor itu berucap yang tidak begitu jelas karena ia sedang menutup mulutnya dengan masker. Aku hanya memandang dengan ekspresi bingung saat pria itu tengah sibuk membuka kaca helmnya lantas ia melepas helm tersebut dari kepalanya, kemudian membuka masker yang menutupi mulutnya.
“Asir!” pekikku heboh.
Pria itu tersenyum riang ke arahku menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Apa yang kamu lakukan di sini sendirian Nona?” tanyanya dengan suara khasnya.
“Aku melarikan diri,” jawabku cepat.
Kulihat ia kebingungan mendengar jawabanku. “Kamu kabur dari rumah?”
Aku menggeleng seperti anak kecil seraya mempoutkan bibirku. “Aku kabur dari Darwin.”
“Darwin?” setelahnya Asir terkekeh yang membuatku kali ini kebingungan. “Darwin si ‘TTM-an-mu’ itu?” ia masih terkekeh.
Aku semakin mempoutkan bibirku dan kali ini sedikit kesal karenya. “Dia sahabatku, bukan TTM-anku tahu.” Ketusku dan melipat kedua tanganku di depan dada.
Asir berusaha menahan tawanya dan turut melipat kedua tangannya di depan dada. Pria itu masih duduk di atas motornya sementara aku berdiri di sampingnya. “Setahuku nggak ada persahabatan yang abadi antara cowok dan cewek. Kalian berdua itu bukan sahabat, cuma terjebak dalam  friendzone...”
“Kamu selalu aja nasehatin aku. Yaya, aku tahu yang bentar lagi bakalan nikah,” cibirku seraya berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa kamu tiba-tiba bilang begitu? Kamu cemburu aku bentar lagi nikah hmm?”
Aku mendengus. “Ya enggak lah. Aku justru bahagia banget, tahu,” jawabku jujur.
“Haha, ya terserah deh apa yang kamu bilang. Lalu kemana Nona manis ini melarikan diri? Apa aku perlu nemanin kamu buat kabur?”
Aku menyipitkan kedua mataku seraya menyelidik penampilan Asir dari atas sampai bawah membuat Asir sedikit risih karena aku berkali-kali menatapnya dari kepala sampai kaki lalu beralih lagi ke kepala dan begitu seterusnya sampai tiga kali. “Aku mencium bau uang,” ucapku sambil berpura-pura mengendus seperti seekor anjing. “Sepertinya ada yang baru gajian.”
Kudengar Asir berdecak sebal. “Ckk, kamu ini sama sekali nggak berubah. Baiklah, aku tahu maksudmu. Tapi, dari mana kamu tahu kalau aku baru aja gajian?”
“Hey, tentu saja aku tahu. Ini kan tanggal muda. Lagi pula kamu nggak mungkin berkeliaran kalau masih ada shift kerja.”
“Haha, kamu ini hebat banget. Baiklah, ayo naik kalau gitu. Aku akan mentraktir kamu makan es krim kesukaanmu seeeeeepuasnya,” Asir menepuk jok di belangnya agar aku duduk.
Dengan cepat aku duduk di belakangnya dan memegang erat ransel hitam yang tersampir di punggung Asir. Aku tak mungkin memeluk pinggang Asir karena selama ini satu-satunya pria selain ayah dan adikku yang kupeluk hanyalah Darwin. Lagipula akan terkesan konyol saat aku memeluk calon suami orang, hihi.
“Ayo kita berangkat,” Asir melajukan motornya saat ia sudah mengenakan helmnya.
Bersama Asir aku bahkan lupa kalau aku tadi sedang berniat untuk melarikan diri dari Darwin. Asir adalah temanku saat masih di Mts, jauh sebelum aku mengenal Darwin. Dan dulu aku sempat akrab dengan Asir sebelum kami terpisah saat SMA. Asir sekolah di SMK Daya Taka dan mengambil jurusan Teknik Mesin, sedangkan aku di SMKN 1 dan mengambil jurusan Akuntansi. Jurusan yang sama sekali tidak sesuai dengan passion­-ku.
Dan sekarang Asir bekerja di sebuah perusahaan batu bara sebagai mekanik, sedangkan aku masih terjebak dalam bangku kuliah yang ‘cukup menjemukan’ karena lagi-lagi aku kuliah di jurusan yang bukan passion-ku sama sekali. Tapi setidaknya tak terlalu menjemukan karena ada Darwin yang selalu menemaniku sebelum semua terasa berubah. Ya, berubah.

.
.

Darwin’s POV

Dengan cepat aku berlari mengitari jalanan tak jauh dari danau usai mengakhiri sambungan telponku. Sungguh aku tak menyadari lagi eksistensi Isah saat aku sedang mengobrol bersama temanku. Yang kudapati hanyalah tepi danau yang sepi tanpa Isah yang sedari tadi duduk di sana.
Berkali-kali aku menghubungi Isah namun anehnya nomornya tidak aktif. Tadi aku sempat mendengar nada sambung telpon, namun Isah tak mengangkatnya. Dan setelah aku melakukan panggilan berikutnya, nomor ponselnya sudah tidak aktif. Ckk, kemana anak itu perginya. Ia tak biasanya seperti ini.
Aku bahkan sudah sampai di tepi jalan raya seraya kedua netraku terus mencari-cari sosok Isah. Dan hasilnya benar-benar nihil. Aku tak menemukan siluetnya. Yang kudapati hanya jalan raya besar dengan mobil-mobil besar seperti truk yang melintas. Dengan nafas memburu dan rasa khawatir yang memuncak aku kembali berlari ke tepi danau berharap gadis itu hanya mengerjaiku. Namun tungkaiku serasa lemas ketika kembali hanya tepi danau yang kosong dan tenang tanpa sosok Isah. Isah benar-benar menghilang? Tidak mungkin.
Bunyi klakson mobil truk di jalan raya bisa ditangkap dengan jelas oleh indra pendengaranku dari pinggir danau ini. Pikiran buruk tiba-tiba menggelayutiku. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk terjadi pada Isah? Bagaimana jika tadi ia ke tepi jalan raya lalu ada truk besar yang... akh. Kedua kakiku langsung lemas dan aku terduduk seorang diri di pinggir danau. Sebenarnya apa yang aku lakukan tadi? Kenapa aku malah tak mengawasi Isah dan malah membiarkannya sendirian.
Pikiran buruk masih saja menghantuiku. Aku takut. Aku takut jika Isah mengalami hal yang sama seperti saat aku tertabrak truk dulu ketika hujan untuk menjemput Isah yang ternyata ia hanya mengerjaiku. Yah itu memang sudah sangat lama. Tanganku bahkan sudah bergetar sekarang. Kemana aku harus mencari Isah? Ia tidak membawa motor ke sini. Kuedarkan pandanganku ke segala arah. Tidak. Tidak ada Isah. Isah menghilang.
“Isah, kamu di mana?” lirihku pada diriku sendiri.
Aku teringat tadi saat aku berlari ke pinggir jalan raya, ada sebuah stand ojek di ujung jalan. Dengan kaki yang masih terasa lemas aku paksakan tubuhku untuk mengambil motorku yang terparkir tak jauh dari pohon akasia. Lantas dengan cepat aku membawa motorku segera ke jalan raya dan menuju stand ojek yang tadi sempat kulihat berharap mereka melihat Isah. Syukur jika Isah pergi dengan salah seorang tukang ojek di sana.
“Permisi Om,” sapaku pada beberapa tukang ojek yang sedang berbincang-bincang. Ada sekitar empat orang tukang ojek di stand ini.
“Ada apa Mas?” tanya salah seorang tukang ojek berjaket kulit warna hitam dan kelihatannya ia yang paling ramah diantara yang lainnya.
“Apa tadi ada gadis berbaju ungu naik ojek di sini?” tanyaku penuh harap. “Tubuhnya lebih pendek dari saya,” kuperjelas spesifikasi Isah berharap mereka menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang kuharapkan.
Sebelum menjawab pertanyaanku, tukang ojek yang menyapaku tadi menoleh dulu kepada tukang ojek yang lain. Kulihat mereka saling bertukar pandang dan menggeleng satu sama lain. “Rasanya nggak ada Mas.”
Jantungku tiba-tiba saja mau mencelos mendengar jawaban yang tidak kuharapkan sama sekali. Bahkan nafasku kembali memburu ketika membayangkan hal yang tidak-tidak terjadi pada Isah.
“Om yakin? Dia masih muda, umur dua puluh tahun. Berbaju ungu dan celana jeans hitam. Coba Om ingat-ingat lagi,” desakku masih berharap mereka melihat Isah.
“Benar Mas memang nggak ada gadis yang lewat sini. Kalaunpun ada, maaf kami nggak lihat karena kami sibuk ngobrol,” terang Om itu lagi.
Aku menghela nafas berat. Dengan tatapan kecewa aku berterima kasih pada om tukang ojek itu lalu membawa motorku entah kemana. Aku tak mungkin kembali lagi ke danau itu karena menurut feelingku Isah benar-benar sudah tak ada di sana.
Bagaimana jika Isah diculik? Bagaimana jika tadi saat aku sibuk dengan telponku ada seorang pria jahat dan membawa Isah kabur diam-diam? Atau yang lebih buruk, bagaimana jika ada mobil yang melintas dengan kecepatan tinggi di jalan dan...
Oh Tuhan. Tolong aku untuk menemukan Isah.
Pikiranku benar-benar kalut ketika membawa motor sehingga aku tak menyadari banyak mobil yang melintas berlawanan arah denganku dan aku berkali-kali hampir menabrak beberapa mobil. Aku merutuki diriku sendiri. Aku sudah berjanji untuk menjaga Isah. Lalu, bagaimana jika orang tua Isah marah padaku kalau aku tak menjaga Isah dengan baik.
Bagaimana ini? Isah... Kau di mana?

.
.


Isah’s POV

Aku sungguh tak menyangka jika Asir benar-benar membelikanku tiga mangkuk besar es krim dengan tiga rasa yang berbeda saat kami tiba di food court ini. Rasa choco oreo, rasa vanilla, dan rasa dark chocolate. Dan akhirnya kami berdua sakit perut dan masih terududuk di salah satu kursi panjang di food court ini.
“Asir kamu benar-benar-gila,” candaku.
Asir terkekeh sambil memegangi perutnya. “Aku juga nggak tahu kenapa tadi bernafsu banget beli es krim itu. Ugh, perutku sakit. Rasanya buat berdiri aja susah banget.”
Aku turut memegangi perutku. “Lain kali jangan ngajak aku buat makan semua es krim itu lagi.”
Asir menyipitkan kedua matanya dan menatapku skeptis. “Kamu yakin? Bukannya tadi kamu yang paling bersemangat melahap es krim itu huh? Bahkan jatahku kamu yang menghabiskan.”
Aku hanya bisa terkekeh. Asir benar. Mungkin karena aku sebal dengan Darwin aku jadi ingin melahap apa saja yang bisa kumakan sebagai pelampiasan. Ah, mengingat nama pria itu membuat perutku bertambah sakit saja.
“Oh ya, Asir, bagaimana kabar tunanganmu?” sebuah pertanyaan yang tadi tidak sempat kutanyakan karena aku terlalu fokus pada es krim di hadapanku.
Belum sempat Asir menjawab, sebuah lengan yang  lebih besar dari ukuran lenganku tiba-tiba saja mencengkram dengan kuat pergelangan tangan kananku membuatku mau tak mau menatap pemilik lengan itu. Kedua bola mataku hampir keluar saat aku menatap pemilik lengan itu yang tengah menatapku dengan penuh kebencian.
“Darwin??!” tanyaku tak percaya.
“Iya aku Darwin. Memangnya kamu pikir aku siapa huh? Mantan pacarmu? Kenapa? Kamu nggak suka lihat aku di sini? Apa aku ganggu acara kencanmu?” ucapnya dengan cepat dan nada mengejek serta aku bisa mendengar amarah yang tertahan dari suaranya.
“Kamu, kamu ngapain di sini?” aku masih belum mempercayai apa yang kulihat. Sungguh mustahil jika Darwin tahu kalau aku pergi ke tempat ini bersama Asir.
Kulihat Darwin melirik sekilas pada Asir yang duduk di sisi kiriku. Tanpa menjawab pertanyaanku dan tanpa membiarkanku mengucapkan sepatah kata pada Asir, Darwin langsung menarik tanganku dengan paksa. Bahkan cengkramannya pada pergelangan tanganku semakin kuat hingga rasanya sakit dan berdenyut.
Darwin menarikku menuju parkiran di mana kulihat motornya terparkir di sana. Setelah sampai di sisi motornya, Darwin langsung menyerahkan sebuah helm untuk kukenakan dan ia langsung naik ke atas motornya. Aku hanya terdiam melihat sikap Darwin yang dengan jelas bisa kulihat raut wajahnya menahan marah.
“Cepat naik!” ucapnya memerintahku dan nada suaranya membuat bulu romaku merinding.
Dengan cepat aku langsung mengenakan helm dan duduk di belakangnya. Hampir saja aku terjungkal ketika aku belum pada posisi siap duduk saat Darwin langsung membawa motornya meninggalkan area food court dan membuatku langsung memeluk erat pinggangnya. Perasaanku tidak enak ketika Darwin melajukan motornya dengan kecepatan melebihi kecepatan ia biasanya mengendarai motor. Aku semakin erat memeluk pinggangnya karena Darwin seperti orang kalap membawa motor. Bahkan aku berkali-kali mendengar pengendara kendaraan bermotor lain membunyikana klakson karena Darwin mengendarai motornya dengan menyelip-nyelip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi.
Kedua alisku bertaut ketika Darwin membawa motornya bukan menuju arah rumah kami. Tapi ia membawaku ke daerah sunyi yang masih banyak pohon besar di pinggir jalan. Lantas Darwin menghentikan motornya di halaman sebuah gedung kosong yang kuperkirakan baru beberapa minggu atau beberapa bulan saja tak dihuni karena bangunannya masih sangat bagus.
Darwin kembali menarik lenganku setelah turun dari motor dan setelah melepaskan helm kami masing-masing. Dengan sedikit terburu-buru ia membawaku memasuki gedung itu. Lebih tepatnya ke samping gedung itu di mana ada sebuah tangga spiral yang menuju atap gedung. Aku tak tahu dari mana Darwin tahu tentang gedung ini. Lantas setelah sampai, Darwin melepaskan cengkraman tangannya dan rasa perih seketika menggelayut pergelangan tangan kananku. Bahkan pergelangan tanganku sudah merah kebiruan karena cengkramannya terlalu kuat.
Belum hilang rasa perih di pergelangan tanganku, seketika Darwin mendorong tubuhku dan membuat tubuhku terhuyung jatuh di atas lantai atap gedung. Aku menatap heran pada Darwin namun anehnya tenggorokanku terasa tercekat, aku tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Kedua mataku semakin melebar saat Darwin perlahan mendekati tubuhku dengan seringaian mengerikan yang selama ini tak pernah kulihat darinya. Seringaian itu membuatku harus menelan ludahku gugup. Nafasku terasa tertahan ketika mata teduh Darwin menatapku dengan liar.
“Dar..win,” ucapku susah payah.
Aku tak bisa bergerak. Tubuhku rasanya terkunci. Aku masih terduduk di atas dinginnya lantai atap gedung ini dengan Darwin yang kini memposisikan tubuhnya berjongkok di depanku dan...
“Hmm? Kenapa sayang? Kamu nggak sabar dengan permainan inti kita?” ucap Darwin dengan nada rendah dan cukup seduktif. Kalimatnya sukses membuat oksigen bagaikan duri di dalam paru-paruku.
“Ap, apa, apa maksudd...ka,,mu?” ucapku ketakutan. Aku tak pernah melihat Darwin seperti ini. Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kenapa Darwin jadi seperti ini?
Darwin semakin seduktif menatapku. Kini tangan kanannya menyentuh pelan pipiku membuatku semakin merinding. Namun tubuhku tak bisa diajak berkompromi. Aku kesulitan bergerak. Tubuhku rasanya lemas.
“Darwin,” ucapku lagi ketika menatap Darwin yang kini fokusnya beralih pada bibirku. Tidak. Ini bukan Darwin. Darwin yang kukenal tak akan melakukan hal ini padaku. “Dar..win.. hen, tikaan..”
Tangan kiri Darwin menarik pingganggku hingga tubuhku sudah menempel kuat pada tubuhnya. Sedangkan tangan kanan Darwin beralih menarik tengkukku dengan kuat namun aku sekuat tenaga berusaha untuk memberontak. Aku menggelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menghindari bibirnya. Darwin kalap. Ada apa dengannya? Tidak. Dia bukan Darwin. Bahkan sekarang tubuhku semakin memberontak agar terlepas dari tangan Darwin yang melingkar erat pada pinggangku.
Sialnya tenagaku kalah jauh dari Darwin. Ia masih terus berusaha menciumku namun aku tak akan membiarkan hal itu terjadi. Darwin terus berusaha meraup bibirku dan dengan cepat aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Ia dengan tenaganya yang lebih kuat dariku melepas paksa tanganku hingga kedua tanganku terlepas dari mulutku. Aku terisak melihat Darwin seperti kesetanan di depanku.
Darwin hampir saja menciumku kembali ketika air mata seketika menyeruak dan membanjiri wajahku. Aku terisak seraya menatap tak percaya pada apa yang kulihat. Sakit. Rasanya sakit sekali melihat Darwin melakukan ini padaku.
Darwin melepaskan tangannya yang melingkar di pinggangku dan bisa kulihat ia menarik nafas dalam seraya menatap kecewa padaku. “Kenapa nangis?” ucapnya datar. Tidak ada lagi nada kekhawatiran seperti biasanya jika ia melihatku menangis.
“Apa, apa yang kamu lakukan Win? Hiks... Kenapa.. Kenapa kamu begini, hiks.”
Darwin menarik salah satu sudut bibirnya dan menatapku dengan senyum sinis. “Kenapa? Kenapa katamu?” Darwin bangkit dan kini ia berdiri memunggungiku yang masih terduduk di atas lantai. “Sebenarnya sudah berapa banyak cowok yang kamu ajak kencan?” ucapnya dingin masih dengan memunggungiku.
Air mataku terhenti seketika saat kalimat tanya itu terlontar dari mulutnya. “Berkencan? Kamu bilang apa tadi? Sudah berapa banyak cowok katamu? Apa maksudmu Darwin?” tanyaku tak percaya.
Darwin membalik tubuhnya dan kini ia menatapku dengan senyum mengejek. “Aku nggak tahu sebenarnya berapa banyak cowok yang kencan sama kamu. Tapi satu yang aku tahu pasti, dia adalah Asir. Pria yang bentar lagi akan menikah. Aku nggak nyangka, serendah itukah harga dirimu sebagai cewek,” Darwin terkekeh dan mengejekku membuatku kembali menatap tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
Kutarik nafas dalam berusaha sekuat tenaga bangkit berdiri. Setelah berdiri tepat di hadapannya, aku melipat kedua tanganku di depan dada. “Oh jadi maksud kamu selama ini aku berkencan dengan banyak cowok gitu? Hanya karena kamu lihat aku sama Asir kamu langsung menarik kesimpulan kalau aku kencan sama dia?”
“Kenyataannya memang begitu kan? Lalu apa yang kalian lakukan di sana berdua.. HAH!” Darwin membentakku yang membuat jantungku kembali berpacu teramat cepat.
Aku berusaha mengatur deru nafasku dan menahan agar aku tak tersulut emosi. “Kamu bisa nanya baik-baik. Kenapa kamu harus membentakku??? Lalu apa yang sebenarnya tadi mau kamu lakukan ke aku?”
“Kamu nggak ngerti? Bukankah apa yang bakal aku lakukan tadi sama rendahnya dengan sikapmu selama ini? Dulu kamu mengabaikan telponku karena bersama Alfi, dan tadi kamu pergi diam-diam dari danau tanpa sepengetahuanku dan berkencan dengan Asir. Lalu kalau aku nggak salah ingat di ponselmu juga banyak sms dari cowok-cowok yang mungkin mulutku bisa kram menyebutnya satu persatu. Jadi kenapa kamu tadi nangis kalau aku cuman melakukan itu ke kamu? Bukankah-“
-plakkkkk
Aku langsung menampar pipi kiri Darwin. Demi Tuhan hatiku sakit ia mengatakan aku wanita rendahan. Dan apa katanya tadi? Semua itu benar-benar tidak masuk akal.
“Oh begitu. Jadi kamu menyimpulkan kalau aku adalah cewek murahan yang meladeni semua cowok yang mau kenalan sama aku begitu?? LALU KAMU ITU APA HAH??!!! KAMU PIKIR KAMU NGGAK MELAKUKANNYA? LALU KAMU ANGGAP AKU APA SELAMA INI? MAINANMU BEGITU?”
Air mataku semakin tumpah setelah berteriak semampu yang aku bisa di depannya. Kulihat ia memegangi pipi kirinya yang baru aku tampar. Bertahun-tahun menjadi sahabat Darwin, baru kali ini kami bertengkar sedemikian hebat seperti ini. Dan ini membuatku hancur. Apalagi karena kalimat yang ia lontarkan tadi padaku.

.
.

Darwin’s POV

“Oh begitu. Jadi kau menyimpulkan kalau aku adalah cewek murahan yang meladeni semua cowok yang mau kenalan sama aku begitu?? LALU KAMU ITU APA HAH??!!! KAMU PIKIR KAMU NGGAK MELAKUKANNYA? LALU KAMU ANGGAP AKU APA SELAMA INI? MAINANMU BEGITU?”
Kulihat dengan jelas air mata Isah tumpah. Sementara aku sendiri memegangi pipiku yang terasa berdenyut akibat tamparan dari gadis di hadapanku ini. Aku sendiri tidak tahu kenapa mulutku bisa dengan mudahnya mengatakan hal yang demikian.
“Memang apa yang aku lakukan huh?” nada suaraku kurendahkan namun masih dengan menahan emosi.
“Kamu masih nanya? Nggak kah kamu sadar kalau selama ini kamu juga selalu meladi gadis-gadis yang entah dari mana asalnya itu. Bahkan nggak jarang kamu mengabaikan aku. Nggak cuman itu, setengah tahun terakhir ini kamu berubah. Kamu terlampau sering mengabaikan aku karena teman-teman cewekmu itu. Bahkan tadi, kamu lebih memilih bertelpon ria dengan cewek yang mungkin pacarmu itu dan sama sekali nggak menyadari kepergianku. Lalu kamu bilang aku berkencan dengan Asir?”
Isah menahan air matanya dan aku sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan retorisnya. Aku lebih memilih diam mendengarkan lanjutan kalimat yang akan ia katakan.
“Aku bertemu Asir di jalan waktu aku mau melakukan aksi konyol kabur darimu dari pada harus mati bosan menunggumu selesai bertelpon ria. Setidaknya Asir mau memberiku tumpangan untuk pulang. Dan kalau kamu mengatakan aku berkencan dengan Asir yang notabene-nya ia bentar lagi nikah, kamu salah besar! Lagipula aku mengenalnya jauh sebelum aku kenal kamu. Dan kamu nggak berhak mengataiku begitu!!”
Bisa kulihat dengan jelas Isah menahan emosi dari suaranya. Aku masih belum bisa menerima semua penjelasannya. Karena bagiku, sama saja ia tak menghargai usahaku yang mengajaknya pergi ke danau itu.
“Tidakkah kamu sadar kalau kamu itu cewek? KAMU ITU CEWEK! TAPI KENAPA KAMU SEENAKNYA PERGI SAMA COWOK LAIN HAH??! Kamu juga menerima telpon dan membalas pesan dari para cowok yang kamu sendiri belum tentu tahu apakah mereka cowok baik-baik atau bukan. KENAPA KAMU BERTINGKAH SERENDAH ITU!”
Sesungguhnya aku sendiri tak pernah menginginkan pertengkaran ini terjadi. Aku hanya lelah. Lelah dengan sikap Isah yang labil dan sulit dikendalikan, bahkan terkadang kekanak-kanakkan.
Air mata Isah semakin membanjiri wajahnya. “Jadi di matamu aku sudah jadi wanita murahan begitu?” Isah terisak dan menggigit bibir bawahnya menahan agar ia tak semakin terisak. “Lalu kamu sama saja denganku Win,” lirih Isah yang membuat kedua alisku bertaut.
“Jangan menangis,” ucapku cepat. “Aku capek selalu mengalah buatmu selama ini.”
Isah menatapku nanar. “Seharusnya yang pantas marah di sini aku Win. Kamu yang seringkali mengabaikan aku. Kamu nggak pernah menyadari kalau beberapa bulan ini kamu berubah. Aku seolah nggak berarti lagi bagimu. Aku seolah bukan yang utama lagi buatmu. Aku juga capek  Win sama sikapmu itu. Kalau kamu mau main-main dengan banyak cewek, jangan libatkan aku dalam hidupmu. Karena.. KAMU NGGAK PANTAS NASEHATIN AKU KARENA KAMU JUGA SAMA RENDAHNYA DENGANKU!!” teriak Isah lantas ia berlari meninggalkanku yang masih termanggu atas ucapannya tadi.
Aku masih bergeming selama belasan menit di tempat ini tanpa kutahu kenapa seluruh sendi-sendiku serasa kaku digerakkan. Ucapan Isah tadi terus berputar dalam memoriku. Aku hanya kecewa padanya karena aku sudah dilanda kekhawatiran namun nyatanya ia malah tertawa bersama laki-laki lain. Mungkin ini agak aneh bagaimana aku bisa menemukan Isah di food court itu. Aku hanya tak sengaja melihat motor Asir, dan mengikuti instingku untuk masuk ke dalam. Dan benar saja, aku melihat Isah di sana. Hanya sesederhana itu. Namun ada rasa sakit di sudut hatiku, entah apa penyebabnya. Sakit sekali melihatnya bersama laki-laki lain.
Dan aku juga tak bisa berpikir lagi bagaimana Isah bisa pulang ke rumahnya. Sampai suara adzan Maghrib menyadarkanku dari geming selama belasan menit dan membuatku segera berlari meninggalkan gedung kosong ini untuk segera pulang ke rumah.

.
.

Isah’s POV

Nyatanya sebanyak apapun aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku membenci Darwin, hatiku tak pernah mengabulkannya. Ini hari kedua sejak pertengkaran hebat kami yang aku tak tahu apa penyebabnya di gedung kosong saat itu. Dan di hari kedua ini batinku sudah tak sanggup lagi menahan teriakan di dalam hati kecilku yang begitu merindukan sosok Darwin. Darwin seperti candu bagiku. Hanya dengan melihatnya saja, aku seperti mendapatkan kembali kekuatanku.
Aku menangis hebat setelah dari gedung itu. Aku pulang dengan berlari-lari di pinggir jalan sambil menangis seperti anak kecil yang tidak diijinkan orang tuanya untuk ikut darmawisata sekolah. Gila memang. Padahal saat itu jarak dari area gedung itu dan rumahku sangat jauh. Tapi hebatnya aku tak merasakan lelah sama sekali. Bagaimana mungkin aku tak lelah, kalau di tengah jalan aku bertemu Asir untuk yang kedua kalinya dan ia masih mau berbaik hati mengajakku pulang. Asir memang pengertian. Ia tak menanyaiku macam-macam jika aku tak menceritakannya. Lagipula ia tahu aku tak mungkin akan menceritakan apa yang terjadi.
Aku sendiri heran pada diriku. Aku selalu bisa memaafkan dengan mudah apapun kesalahan Darwin. Apapun. Termasuk jika ia mengecewakanku berkali-kali. Dan aku tak bisa marah padanya berhari-hari. Dan sama seperti hari ini. Setelah dua hari berturut-turut aku menangis dan tak keluar kamar, hari ini aku kembali lagi seperti biasanya. Seolah-olah pertengkaran kami saat itu tak pernah terjadi. Yah meskipun aku sudah melewatkan kuliah selama dua hari. Tapi toh biasanya aku selalu bisa mengejar ketertinggalan mata kuliah yang tak kuikuti.
Kutatap pantulan tubuhku pada cermin besar di samping meja belajar. Aku memaksakan sebuah senyum yang selama dua hari ini hilang. Lagipula hari ini hari ulang tahunku, dan aku tak ingin menghancurkan kebahagiaan di hari ulang tahun bersejarahku.
Setelah yakin dengan penampilanku, kulirik ponselku yang tergeletak di atas meja belajar. Sepuluh menit yang lalu aku mengirim sms untuk Darwin, namun sampai saat ini belum ada pertanda ia akan membalas pesanku. Kuhela nafas dalam.
Keputusanku sudah bulat. Semuanya tergantung dari Darwin. Jika ia masih ingin melanjutkan persahabatan kami yang sudah akan terputus ini, maka sebaiknya ia memenuhi permintaanku untuk merayakan ulang tahunku di lapangan sepak bola di dekat rumah lama Darwin yang beberapa bulan lalu sebagai saksi bisu perayaan ulang tahun Darwin. Dan... Jika Darwin tak datang, maka Isah dan Darwin hanya tinggal sejarah.
Setelah melajukan motorku menuju kediaman rumah lama Darwin yang sampai saat ini masih belum ada yang menempati, aku sampai di menit kesepuluh. Memang hanya perlu waktu sepuluh menit untuk sampai ke tempat ini. Kuparkirkan motorku di halaman rumah yang sudah ditumbuhi semak belukar yang cukup tinggi. Lantas dengan langkah yakin, aku melewati jalan setapak menuju lapangan sepak bola.
Hari masih sore. Sekitar pukul setengah lima. Namun langit sudah tampak gelap. Aku mempercepat langkahku agar segera sampai di lapangan sepak bola. Entah kenapa perasaanku jadi berdebar seperti ini. Segera setelah aku mencapai lapangan, aku duduk sendirian di tepi lapangan di atas rerumputan hijau. Lantas setelahnya aku mengeluarkan ponselku untuk mengirimkan pesan pada Darwin.

Kamu di mana? Aku nunggu kamu...

Belasan menit sudah berlalu. Dan aku masih duduk di sini dengan perasaan yang tak bisa tergambarkan. Kupikir semuanya akan semudah bayanganku. Darwin yang datang ke sini, lalu kami berbaikan dan melupakan pertengkaran hebat saat itu. Karena jujur saja, mudah bagiku memaafkan apa yang ia lakukan padaku dan apa yang ia katakan. Tapi hanya memaafkan, tidak melupakan.
Namun apa yang kubayangkan nyatanya tak terjadi. Jangankan untuk membalas pesanku untuk datang ke tempat ini, sekedar ucapan ulang tahun darinya pun sama sekali tak ada. Lagi-lagi dengan susah payah aku menahan air mata yang tiba-tiba menyeruak. Kupikir air mataku sudah habis, namun nyatanya setitik air mata yang tak dapat kutahan meluncur dengan bebas dari sudut mataku.
Kuputuskan menghubungi nomornya. Dan yang kudengar hanya nada sambung tanpa ada jawaban di seberang sana. Kuulangi lagi panggilanku sampai empat kali. Dan hasilnya tetap sama.
Kedua tanganku bergetar. Begitu bencinya kah Darwin padaku hingga ia melakukan ini padaku? Jadi ia sudah benar-benar menganggapku sebagai wanita murahan yang sudah tak pantas menjadi teman baiknya? Dan... Jadi ia memilih memutuskan persahabatan kami yang sudah terjalin selama beberapa tahun ini dengan cara seperti ini?
Seketika petir menggelegar di langit yang sudah sepenuhnya kelabu. Menambah suasana melankolis yang melingkupiku. Angin kencang berhembus dan seketika rintik air berjatuhan tanpa ampun. Tak membiarkanku untuk berlari demi mencari tempat berteduh hingga membuat sekujur tubuhku basah dalam hitungan semenit. Biar. Biarlah aku kehujanan. Dengan begini aku bisa sepuasnya kembali menangis.
Darwin...
Aku sakit. Tak bisakah kita memperbaiki piring yang sudah retak itu?

.
.

Darwin’s POV

Aku mungkin akan gila dan akan menambah jumlah orang dengan kelainan jiwa di Indonesia.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan ulang tahun Isah dan meninggalkan ponselku di rumah Romi? Kulirik dari jendelaku hujan turun dengan sangat deras. Sekarang sudah pukul lima lewat dan sekitar lima menit yang lalu Romi datang ke rumahku mengantarkan ponselku yang tertinggal di rumahnya. Anak itu menembus derasnya hujan dari rumahnya menuju rumahku dengan mengenakan mantel hujan. Untung saja rumahnya tak terlalu jauh dari rumahku.
Awalnya aku ingin memakinya karena ia bisa saja mengantar ponselku setelah hujan reda. Namun kalimat makian yang sudah tertahan di ujung lidah harus kutelan bulat-bulat saat Romi menunjukkan sms dari Isah yang seketika membuat kedua bola mataku ingin melompat dari tempatnya.
“Dia bahkan sudah nelpon sampai empat kali. Dan menurutku dia masih ada di sana, Win,” suara Romi menyadarkanku dari lamunanku.
Aku mengerjapkan mataku dan mengalihkan perhatianku dari mengobservasi hujan dari balik jendela –meskipun sebenarnya melamun- dan menatap Romi yang tengah duduk di tepi tempat tidurku. Rasanya aku ingin memukul-mukul kepalaku sendiri pada tembok.
“Aku juga nggak tahu kalau dia nelpon karena ponselmu dalam keadaan silent. Jadi gimana Win? Kamu mau nemuin dia sekarang? Aku yakin dia pasti kehujanan.”
Ucapan Romi semakin membuatku ingin membenturkan kepalaku ke tembok. Kembali kulirik hujan di luar sana yang turun tanpa ampun. Dengan tekad bulat dan tanpa menghiraukan ucapan Romi, aku mengambil kunci motor dan mantel hujan untuk menemui Isah di lapangan dekat rumah lamaku. Aku berharap ia sudah pergi dari tempat itu meskipun hati kecilku yakin ia masih ada di sana.
Seluruh sarafku seakan mati rasa saat melihat motor Isah yang masih terparikir di halaman rumah lamaku. Motor itu sudah basah sepenuhnya. Dengan terburu-buru aku melepas mantel yang kupakai dan membiarkan air hujan membasahi tubuhku. Kupaksakan kakiku untuk berlari secepat yang kubisa melewati jalan setapak yang licin agar segera sampai ke lapangan.
Demi Pluto yang sudah keluar dari garis edarnya, dadaku mendesir dengan jantung yang bertalu tak terkendali melihat Isah yang basah kuyup di bawah hujan yang masih turun dan kuantitas yang sangat banyak. Gadis itu terduduk di pinggir lapangan dengan memeluk kedua lututnya. Kembali dengan berlari aku menghampiri tubuhnya yang sepertinya tak menyadari presensiku.
“Isah!” seruku setelah berhasil mencapai tubuhnya.
Isah mengangkat wajahnya. Wajah merahnya semakin memerah mungkin karena kedinginan dan menatapku sendu. “Dar...win... kamu, kamu datt tang?” ucapnya lemah.
“Bodoh. Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu membiarkan tubuh kamu kehujanan begini? Kamu kan nggak tahan sama hujan? Kenapa kamu bertindak sejauh ini? Lalu kenapa-“
Belum selesai segala pertanyaanku, tubuh Isah ambruk. Untung aku bisa menangkapnya denga cepat. Dengan tangan yang bergetar dan kepanikan yang luar biasa, aku mengguncang-guncangkan tubuh Isah yang tak sadarkan diri dalam rengkuhanku. “Isah... Isah... Bangun, Isaaaaaah!”
“Isah Banguun.. Isaah!!!”
Aku berteriak seperti kesetanan. Tubuhku gemetar dan sekuat tenaga aku menggendong tubuh Isah dan membawanya ke rumah lamaku.
Rumah lamaku terkunci. Dan aku akhirnya hanya bisa membaringkan tubuh Isah di teras rumah dengan kepalanya yang kuletakkan di atas pahaku. Air mataku berkali-kali mengalir. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa aku kembali seperti ini? Bukankah aku sudah berjanji untuk tak mengabaikan Isah lagi? Tapi lihatlah apa yang sudah aku lakukan pada Isah.
Hujan masih mempertahankan keegoisannya untuk tetap membasahi tanah. Udara dingin semakin menyeruak. Tak ada kain untuk mengeringkan tubuh Isah dan tubuhku yang basah kuyup. Bisa kurasakan tubuh Isah yang sudah kedinginan karena tubuhnya begitu dingin. Kuelus puncak kepala Isah. Kedua matanya tertutup rapat. Apa yang harus kulakukan agar ia bisa sadar?

.
.

Kugenggam kedua tangan Isah dan kutiup tangan dinginnya berharap memberinya sedikit kehangatan. Bohong jika aku tak merindukan Isahku. Aku merindukannya sampai aku sulit bernafas. Aku bahkan merindukannya sejak ia menghilang setelah pertengkaran hebat kami di gedung kosong itu. Dan mungkin aku memang akan gila tak lama lagi.
“Eungh...”
Isah melenguh pelan membuatku sedikit lega dan mengelus pipinya. “Isah, sadarlah kumohon...”
Kedua kelopak mata isah perlahan terbuka membuatku tak tahan untuk menarik kedua sudut bibirku. Mata itu menatapku sendu dan... terpancar kekecawaan dibalik tatapan sendunya padaku.
“Isah, sayang, kamu sudah sadar?” tanyaku khawatir.
Isah berusaha bangkit dan aku membantunya untuk duduk. Belum sepenuhnya Isah duduk, aku langsung memenjarakan tubuh mungilnya dalam rengkuhanku. Kupeluk Isah begitu erat.  Namun kurasakan Isah memberontak dari pelukanku membuatku menautkan kedua alisku bingung. Dan dengan ragu kulepaskan pelukanku dan menatap Isah khawatir.
“Isah-“
“Kenapa kamu datang?” ucap Isah cepat meskipun pelan dan terdengar lemah.
“Isah, jangan bahas itu dulu. Kamu baik-baik aja? Apa kamu pusing?” aku benar-benar khawatir dengan kondisinya.
“Kutanya kenapa kamu datang? Karena merasa bersalah?”
“Isah...”
“Cepat jawab Win!” nada suara Isah meninggi. Dan bisa kulihat ia menatapku dengan tatapan kecewa yang bisa kutangkap jelas.
“Maaf. Ponselku ketinggalan di rumah Romi. Dan tadi Romi mengantarkan ponselku ke rumah, dan aku baru membaca sms kamu. Maaf...” lirihku.
Isah membuang tatapannya dan tak berniat menatapku sedikitpun. “Lebih baik kamu nggak usah datang dan nggak liat aku dalam keadaan menyedihkan begini.”
“Isah jangan begitu. Baiklah, aku minta maaf. Aku minta maaf sudah melupakan hari ulang tahunmu. Maaf baru baca smsmu. Maaf nggak ngangkat panggilan telponmu. Maaf dua hari yang lalu aku membentakmu dan hampir melakukan sesuatu yang nggak pantas ke kamu. Maaf, maaf sering mengabaikan kamu. Maaf.... untuk semuanya,” kataku tulus. Tapi entah apakah Isah bisa menangkap ketulusan dari permintaan maafku atau tidak.
Isah kembali menatapku setelah permintaan maafku tadi. “Kenapa kamu minta maaf? Kamu sadar kalau kamu salah?” ucapannya terdengar sinis.
“Maaf,” lagi-lagi hanya kata itu yang bisa kukatakan.
“Lalu apa kamu bisa jelaskan kenapa kamu seperti itu dua hari yang lalu dan jelaskan maksudmu yang mulai menjauhiku beberapa bulan belakangan ini?” nada suaranya memelan di akhir kalimatnya. “Kumohon. Sebagai permintaan terakhirku.”
Kedua alisku terangkat. “Permintaan terkahir?”
“Kamu jawab aja.”
Kutarik nafas dalam. “Isah, maafkan aku. Maafkan aku yang melanggar prinsip persahabatan kita. Aku nggak tahu tapi perasaanku padamu semakin hari melebihi perasaan seorang sahabat. Karena itu, aku mencari gadis lain untuk menghilangkan perasaan terlarang ini padamu. Dan, aku terbawa emosi waktu liat kamu sama Asir waktu itu. Kamu tahu, aku khawatir banget waktu kehilangan kamu di pinggir danau. Mungkin aku dibutakan rasa cemburu sampai-sampai aku mengatakan hal-hal yang nggak pantas padamu. Maaf,” kataku seraya menunduk.
Isah hanya diam. Aku tahu ia membiarkanku menyelesaikan kalimatku.
“Aku terlalu cemburu waktu itu. Aku cemburu kamu punya banyak teman cowok dan tampak sangat akrab sama mereka. Aku cuman takut kamu bakal ngelupain aku. Dan untuk apa yang sudah aku lakukan padamu.. saat aku, eumm,” aku melirik Isah sedikit ragu. “Saat aku mau melakukan sesuatu yang nggak pantas, aku juga nggak tahu. Semua terjadi begitu aja tanpa kuinginkan. Tapi...”
Isah menatapku dengan ekspresi kuriositas yang tergambar jelas di wajah merahnya yang kini mulai memucat dan membuatku semakin khawatir.
“Tapi kamu juga berubah. Kamu seperti ngejauhin aku beberapa bulan ini.” Inilah kalimat yang ingin sekali kukatakan padanya. “Kenapa kamu seperti ingin menjauhiku?”
“Karena aku lelah Win,” jawaban Isah semakin membuat alisku bertaut bingung.
“Kamu lelah?”
Isah mengangguk pelan. “Aku lelah karena aku juga harus berpura-pura seolah semua tampak biasa aja dan baik-baik aja padahal hatiku selalu memberontak menginginkan kamu melebihi sahabat. Aku juga cemburu, dan aku iri dengan gadis-gadis itu yang nampaknya akrab sekali sama kamu. Aku menjauhimu karena kamu yang memulainya. Kamu mungkin benar, aku terlalu rendah sebagai cewek yang begitu mudahnya akrab dengan teman-teman cowokku. Tapi itu semua aku lakukan karenamu. Karena kamu melakukannya pada teman-teman cewekmu yang lain.”
Dadaku kembali berdesir. Ada bagian dari ucapan Isah tadi yang membuat hatiku sedikit bergejolak. “Jadi, maksudmu kamu juga memiliki perasaan itu padaku?” tanyaku meyakinkan akan ucapannya.
Isah kembali mengangguk. “Tapi, aku sudah hampir mengubur perasaan itu. Karena aku nggak pantas memiliki perasaan itu padamu.” Isah menatapku nanar. “Terima kasih untuk semuanya Win. Terima kasih sudah membuat hari-hariku jadi berwarna. Dan maaf kalo kamu sering kerepotan karena aku, maaf bikin kamu sering mengalah karena aku. Maaf buat semua yang sudah aku lakukan ke kamu.”
Aku menggeleng kuat. “Apa yang kamu katakan? Kamu mengatakannya seperti ini adalah pertemuan terakhir kita..” ucapku dengan nafas memburu.
Isah memaksakan sebuah senyum. Meskipun aku sangat mengenali itu hanyalah senyum keterpaksaanya. “Kamu benar. Ini pertemuan terakhir kita sebagai sahabat.”
“Maksud,,, maksud kamu???”
“Kalau kamu masih mau berteman sama aku, kita bisa mulai lagi dari awal.”
Aku kembali menggeleng kuat. Tidak, apa yang dikatakannya tidak benar. Aku tak pernah menginginkan semuanya berakhir. Dengan cepat aku kembali memeluk Isah meskipun ia sama sekali tak berniat membalas pelukanku.
“Isah, selamat ulang tahun. Maaf kalau hari ini aku malah membuatnya jadi hari ulang tahun terburukmu,” bisikku di telinganya bermaksud mengalihkan pembicaraan dan menganggap ucapannya barusan tak pernah ada. “Kamu mau kado apa?”
Sekuat tenaga Isah melepaskan pelukanku. “Kumohon jangan begini Win,” Isah kembali menatapku sendu. “Jika kita tetap memaksakan, itu cuman nyakitin kita berdua.”
“Isah...” rengekku menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
“Kado yang kuminta adalah penjelasan dari kamu tadi. Bukankah sudah kukatakan itu sebagai permintaan terakhirku? Hanya itu yang aku minta sebagai sahabatmu. Setidaknya sekarang aku sudah tahu alasannya.”
“Tapi kita bisa kembali seperti dulu Isah. Kita bisa menyimpan perasaan kita dalam-dalam dan dengan begitu kita bisa kembali leluasa berteman,” pintaku. Memohon berharap agar ia mau merubah keputusannya.
Isah berusaha bangkit berdiri namun tubuhnya kembali linglung dan hampir terjatuh, tapi aku kembali dengan sigap menangkap tubuh lemahnya. Kurasakan tangan Isah yang berusaha mendorong tubuhku. Hatiku teriris melihat mata sembab Isah. Sepertinya ia sedang menahan tangisnya.
“Isah, kamu sakit. Biar aku antar pulang, ya,” ucapku khawatir melihatnya yang semakin pucat.
Isah sekuat tenaga menegakkan tubuhnya untuk berdiri meskipun aku masih bisa melihat kalau kakinya terlalu lemah untuk menahan berat tubuhnya. Ia berdiri menatapku yang masih saja menatapnya dengan khawatir. “Sampai jumpa, DTB,” Isah tersenyum. Manis. Sangat manis. Berbanding terbalik dengan kata perpisahan yang ia ucapkan. Begitu pahit untuk didengar.
Hujan masih turun meskipun tak terlalu deras seperti beberapa menit yang lalu. Namun Isah malah nekat mengambil motornya. Dengan cepat aku kembali menarik Isah dan memeluknya. Kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Aku seperti tak ingin melepaskannya lagi.
“Isah, aku kangen kamu,” bisikku di telinganya.
Isah sama sekali tak membalas pelukanku. Ia hanya diam. Selama bermenit-menit lamanya aku memeluk Isah, sepertinya gadis itu masih tak ingin memelukku. Setelah cukup kurasa melepaskan segala hasrat rinduku pada Isah, aku berniat melepaskan pelukanku tapi Isah dengan cepat membalas pelukanku. Kedua mataku membelalak ketika mendapat sebuah kecupan singkat di pipiku. Ya Tuhan, aku tidak bermimpi kan? Isah menciumku!
“Kita nggak bisa terus begini. Setidaknya sampai aku benar-benar bisa menata hati dan perasaan aku ke kamu. Selamat tinggal, dan... Sampai jumpa.”
Dan pelukan kami terlepas. Dan tubuhku bergetar mendengar ucapannya yang seperti sebuah granat dalam dadaku. Dan aku bergeming. Dan tubuh Isah menjauh ditelan gerimis hujan yang hampir reda. Dan pandanganku mengabur. Dan sarafku mati rasa.
Dan aku hancur.
Dan Isah tak terlihat lagi dalam jarak pandangku. Dan tubuhku ambruk.
Beginikah akhirnya? Setelah pertengkaran hebat dua hari yang lalu, aku bisa melihatnya lagi. Dan sekarang ia mengucapkan selamat tinggal setelah pertemuan yang begitu kurindukan ini?
ITB dan DTB. Apa itu semua hanya tinggal sejarah?

.
Love has come
But you say you're going
I'm waiting for you
But you're saying I can not see you anymore
Always like a fool
This story flows like tears
See you later , goodbye

.
.
FIN

Ulalaaaa... /elap keringat, elap ingus/
Demi apa coba ceritanya jadi melankolis begini??? Lagu Hyorin emang bikin mewek sampe tumveh-tumveh... sumveh dah...
Ini kayaknya jauh banget dari ekspektasiku. Dan aku nggak tau apa bakal ada lagi inspirasi untuk ITV vs DTB part berikutnya. Bikin cerita ini sambil nahan aer mata dan nahan degupan jantungku tau gak sih. Aduh, aku ngomong apa coba.
Oke sekian bacotan aku, semoga ini masih layak dibaca dan buat yang mau baca makasih banget dan semoga matanya nggak sakit baca cerpen awkward dan absurd ini..
And last, danke... *bow