The Sixth
Sense
.
.
Author:
Aisyah a.k.a
Cloudisah
Casts:
One
Direction’s Zayn Malik
One
Direction’s Niall Horan
One
Direction’s Liam Payne
One
Direction’s Louis Thomlison
One
Direction’s Harry Styles
Warning:
Typo, Alur
ngebut, Out of Character, dll
Disclaimer:
Ide cerita ini
murni milik author, casts yang main dalem cerita ini asli milik Tuhan YME dan
milik orang tua mereka serta pacar mereka masing-masing. Para tokoh cuman
author pinjem namanya doank tanpa ada niat apapun, bahkan tidak berniat menistakan
para cowok ganteng mantan-mantan author ini... Happy reading ^^
.
.
Summary:
Menjadi
berbeda bukanlah keinginan seorang Zayn Malik
-----OD-----
Jika kau memiliki kemampuan untuk
melihat masa depan, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan menghabiskan
waktumu saat ini untuk bersenang-senang? Atau kau akan dengan serta merta
memperbaiki dirimu agar masa depanmu lebih baik lagi?
Jika masa depanmu baik, apa akau saat
ini hanya akan berfoya-foya saja? Dan jika kau melihat masa depanmu suram, apakah
kau akan segera bertobat dan menjadi seseorang yang berguna dan mengubah takdir
agar masa depanmu berubah tak sesuram yang kau lihat?
Tapi...
Bagaimana jika yang kau lihat
bukanlah masa depan? Melainkan sesuatu yang tak seorang pun mengetahuinya. Sesuatu
yang orang-orang hindari, sesuatu yang sangat orang-orang takuti... Seperti
kematian mungkin?
-----OD-----
“Zayn, kau baik-baik saja?”, Niall
menyikut lengan Zayn ketika dilihatnya pria itu berjalan dengan pandangan
kosong. “Apa kau kurang tidur semalam?”
Zayn tersenyum simpul dan hanya
gelengan pelan yang ia lakukan sebagai jawaban atas pertanyaan Niall. Niall
lantas mengangguk dan kini mereka sudah berjalan memasuki gerbang sekolah.
“Apa kau belajar tadi malam Liam?”,
Niall menoleh pada Liam yang berjalan di sisi kanannya.
“Hmm... Tentu saja. Aku harus mendapatkan nilai seratus dalam ulangan
Matematika kali ini, aku tidak ingin dimarahi ibuku lagi”, suara Liam tak
begitu jelas didengar Niall karena mulutnya penuh dengan sandwich.
“Kau habiskan dulu makanan di dalam
mulutmu itu, baru kau berbicara. Ugh,
menjijikan”, Niall menjauh beberapa milimeter dari Liam, menjauh ke sisi kiri
dan hampir saja membuat Zayn terjatuh.
“Oh Zayn maafkan aku, aku tak
sengaja”, Niall berusaha menahan lengan Zayn agar pria keturunan Pakistan itu
tidak terjatuh. Zayn hanya diam dan kembali pandangannya mengarah pada satu
titik di depan sana yang Niall sendiri tidak tahu apa itu. “Zayn.. Halo.. Apa
yang kau lihat?”, Niall melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajah Zayn
namun Zayn malah tak berkedip bahkan pandangannya kali ini benar-benar kosong.
“Hahaha... Lihatlah para idiot di
sekolah kita sudah datang”, kekeh seorang siswa dengan kemeja sekolah yang tak
ia masukan dengan rapi yang memiliki name
tag Louis Thomlison. Sedang pria di sampingnya juga ikut-ikutan terkekeh
dengan melipat kedua tangannya di depan dada, bahkan terkesan angkuh.
“Apa masalah kalian dengan kami huhh?”, Liam yang sudah selesai
mengunyah gigitan terakhir dari sandwich-nya
mengeluarkan suara dengan sedikit emosi.
“Apa? Kau berbicara padaku? Aku kan
tidak berbicara dengan kalian. Aku hanya mengatakan para idot di sekolah sudah
datang. Kenapa kau emosi? Haha... Apa jangan-jangan kalian sadar kalau kalian
itu memang idiot?”, Louis memandang sinis tiga siswa yang berdiri sekitar tiga
meter di hadapannya.
“Kau-”
“Sudahlah Liam, biarkan saja mereka
berdua. Lebih baik kita segera masuk ke dalam kelas”, Niall segera menarik
tangan Liam yang bersiap untuk melayangkan tinju ke arah Louis dan menyeret
sahabatnya itu menuju ruang kelas sepuluh. “Ayo Zayn”, Niall juga menarik
lengan Zayn untuk bersama-sama masuk ke dalam kelas mereka.
Fokus Zayn sejak tadi hanya satu
titik, Harry yang berdiri angkuh di samping Louis. Harry balas menatap tajam
pada Zayn yang terus menatapnya bahkan tanpa berkedip.
“Ada apa dengan idiot itu? Kenapa
sejak tadi ia terus menatapku?”, Harry terus menatap Zayn yang berjalan menuju
kelas yang masih juga tetap menatapnya.
Louis mengendikkan bahunya acuh, “Kau
terlalu tampan, mungkin”
“Huh?
Dia... Gay?”, Harry menunjuk tak
percaya pada dirinya sendiri.
“Sudahlah tak perlu kau pikirkan
indigo itu dude, ayo kita ke kantin
sebelum bell berbunyi”, Louis menepuk
pundak Harry dan membuat Harry melepaskan pandangannya dari Zayn. Dan kedua
siswa pembuat masalah itu berjalan meninggalkan lapangan sekolah menuju kantin.
Zayn berdiri mematung ketika berada
di depan pintu kelas. Pria itu menghela nafas panjang, bahkan wajahnya terlihat
pucat. Pria itu baru masuk ke dalam kelas ketika sosok Harry menghilang dari
jarak pandangnya.
“Ia ada di dekatmu Harry...”,
lirihnya.
-----OD-----
Sampai jam pelajaran pertama
berlangsung Zayn terlihat tetap tak fokus. Pasalnya sejak tadi ia hanya terus
menatap Harry, memperhatikan pria berlesung pipi itu agar tak terjadi sesuatu
padanya.
Zayn memiliki indra ke-enam sejak
kecil. Ia menyadari kemampuannya sejak menginjak kelas satu Sekolah Dasar.
Namun kemampuan Zayn tidaklah membuatnya bangga karena berbeda dari teman-teman
lainnya. Justru karena berbeda itulah, ia merasa tersisih dari pergaulan. Bukan
karena teman-temannya yang tidak mau berteman dengannya, hanya saja Zayn
terlampau takut jika ia tiba-tiba melihat kematian temannya.
Selama lima belas tahun Zayn hidup di
dunia, sudah puluhan kali ia melihat bagaimana kematian itu. Zayn memang hanya
bisa melihat kematian orang-orang yang ia kenal dan itulah hal yang membuatnya
semakin tersiksa.
Kematian yang paling ia ingat adalah
ketika usianya menginjak sebelas tahun. Saat itu Ayahnya yang sedang berada di
luar kota menelponnya bahwa akan segera pulang dan membawakan buah tangan untuk
Zayn. Namun ketika gendang telinganya menangkap suara sang Ayah, gambaran
kematian tiba-tiba merangsek ke dalam benaknya membuatnya mau tak mau harus
menahan tangis.
Zayn saat itu meminta Ayahnya untuk
tak pulang dulu karena ia takut terjadi sesuatu pada Ayahnya. Namun sang Ayah
meminta Zayn untuk tak usah mengkhawatirkan hal itu. Dan dalam waktu kurang
dari dua puluh empat jam setelah sambungan telpon mereka terputus, apa yang
Zayn lihat dalam netra tak kasatnya menjadi kenyataan. Sang Ayah tewas karena
kapal yang ditumpanginya diterjang ombak.
Zayn tak pernah ingin memiliki
kemampuan itu. Menjadi berbeda bukanlah keinginannya. Karena pada kenyataannya
ia hanya bisa melihat dan tak bisa menghentikan kematian yang dilihatnya.
“Hsst...
Zayn, kau kenapa?,” bisik Liam yang sebangku dengan Zayn karena ia
memperhatikan dari tadi temannya itu hanya menatap kosong buku tulisnya.
Zayn menggeleng pelan atas pertanyaan
Liam dan sesekali mencuri pandang pada Harry yang duduk di barisan paling
belakang kelas bersama Louis.
-----OD-----
Jam istirahat adalah waktu yang
paling ditunggu seluruh siswa. Tak terkecuali tiga orang yang saat ini tengah
bersiap menikmati makan siang mereka, Liam, Niall dan juga Zayn.
Niall memasukkan makanan ke dalam
mulutnya dengan terburu-buru membuat Liam menatap tak suka padanya. “Kau tidak
makan dua hari huh?,” Liam geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu
jika sudah berhadapan dengan makanan.
“Bukan urusanmu. Kau makan saja
punyamu, atau kau mau aku suapi dengan sendok?,” terbersit ide di kepala Niall
untuk menakuti Liam karena sahabatnya itu phobia
dengan sendok.
“Ckk, kau mau membunuhku dengan
sendok itu?,” Liam merengut. Kali ini Niall tertawa pelan dan kembali
melanjutkan makan siangnya. “Eum, kau tidak makan Zayn?,” lanjut Liam karena
sejak tadi ia melihat Zayn hanya diam saja menatap piring di hadapannya.
“Iya Zayn kalau kau tidak mau makan
biar aku yang menghabiskan makananmu itu,” Niall bahkan sudah mengincar kentang
goreng yang tergeletak dengan cantik di dalam piring Zayn.
Tak ada reaksi dari Zayn karena ia
masih saja terus menatap kosong piringnya.
“Zayn, sejak tadi pagi kulihat kau
diam saja. Sebenarnya ada apa? Kau sakit? Mau aku temani ke UKS?,” Liam menatap
khawatir Zayn.
Kali ini Zayn menatap bergantian
kedua sahabatnya dengan ekspresi... entahlah Niall bahkan tak bisa mengartikan
tatapan Zayn itu. “Kenapa Zayn?,” Niall tak bisa menyembunyikan rasa
penasarannya karena kini Zayn seolah mencari-cari sosok seseorang di seluruh
area kantin. Liam bahkan ikut menolehkan kepalanya mengikuti Zayn yang
mengedarkan pandangannya ke segala arah.
“Siapa yang kau cari?”
“Harry... Apa kalian melihatnya?”
Niall hampir tersedak mendengar Zayn yang mencari Harry, siswa yang suka
mencari masalah dengan mereka.
Tiba-tiba seluruh kantin dibuat heboh
karena David tiba-tiba datang ke kantin membawa kabar yang sejak tadi
mengganggu pikiran Zayn. “Teman-teman! Ada mayat di toilet pria!,” teriaknya
dan setelah itu ia berlari meninggalkan kantin disusul beberapa siswa yang
penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Niall dan Liam saling bertukar
pandang dengan ekspresi terkejut dan tak percaya. Mereka semakin terkejut
karena tiba-tiba saja Zayn bangkit dan berlari meninggalkan kantin membuat
mereka berdua mau tak mau ikut mengejar Zayn.
Toilet pria penuh dengan siswa yang
ingin melihat mayat di dalam toilet tersebut. Tidak hanya para siswa, guru-guru
bahkan pihak kepolisian datang ke toilet itu untuk memeriksa keadaan korban.
Zayn sampai di toilet dan dengan buru-buru pria itu menerobos kerumunan di
sekitar toilet untuk sampai ke dalam dan memastikan mayat di dalam sana
bukanlah orang yang sejak tadi mengganggu pikirannya.
Niall dan Liam mengikuti Zayn
menerobos kerumunan siswa yang berdesakan untuk melihat dengan jelas mayat di
dalam toilet. Setelah berhasil masuk dengan susah payah akhirnya mereka bisa
berdiri di barisan paling depan dan betapa terkejutnya mereka melihat mayat
yang saat ini sudah digotong pihak kepolisian keluar dari toilet.
Liam sontak menatap Zayn yang berdiri
sambil berpegangan pada dinding dengan wajah ketakutan. Segera ia menghampiri
sahabatnya itu dan memeluk Zayn berusaha mengurangi ketakutannya. “Tak apa-apa
Zayn, ini hanya kecelakaan,” ucap Liam pelan sambil menepuk-nepuk bahu Zayn.
“Harry... Harry...” Niall sama sekali
tidak mempercayai apa saja yang baru saja ia lihat. Tadi pagi jelas-jelas Harry
baik-baik saja dan tetap angkuh seperti biasanya. Dan sekarang... pria itu
tewas. Harry tewas karena terpeleset pada lantai toilet yang licin dan
kepalanya membentur lantai dengan keras, begitulah keterangan yang ia dengar
dari salah seorang Polisi. Jadi Harry tewas murni karena kecelakaan.
Seluruh siswa sudah bubar, beberapa
diantara mereka ada yang mengikuti polisi membawa mayat Harry ke dalam mobil Ambulance. Louis sebagai orang yang
bersama Harry saat itu di bawa Polisi untuk dimintai keterangannya sebagai
saksi. Sedangkan Liam, Niall, dan Zayn masih di toilet apalagi kondisi Zayn
saat ini terlihat begitu shock.
Liam dan Niall sebagai sahabat Zayn
yang mengetahui kemampuan Zayn mengerti keadaan sahabat mereka itu yang pasti
sangat terpukul. Niall mendekati Liam dan ikut memeluk Zayn.
“Tidak apa-apa Zayn, ini bukan
salahmu. Kita do’a-kan Harry tenang di alam sana,” Niall tidak hanya memeluk
Zayn, tapi ia juga memeluk Liam. Kalau boleh jujur, Niall bisa bernafas lega
karena salah satu siswa yang sering mengganggu mereka sudah tidak ada lagi.
Tapi, bukankah itu artinya Niall tidak memiliki hati nurani?
“Seharusnya aku tadi memperingatkan
Harry untuk berhati-hati. Seharusnya tadi aku terus mengawasi Harry, seharusnya
aku-“
“Sudahlah Zayn. Ini semua sudah
kehendak Tuhan,” Liam memotong kalimat Zayn. Ia tidak tega melihat sahabatnya
itu terlihat menderita. Karena biar bagaimanapun Zayn hanya bisa melihat
kematian itu tapi tidak bisa mengehentikannya.
Karena kematian adalah rahasia Tuhan
dan tak bisa dihindari oleh makhluk-Nya. Tidak ada seorangpun yang bisa mengelak
dan melarikan diri darinya. Sekalipun pemilik indra keenam seperti Zayn.
.
.
FIN
The worst story -_-
Kenapa ini ceritanya nggak jelas begini yaaak, huaaah... tapi masih bisa
dan layak dibaca kan yah?
Ceritanya terlalu ringan, padahal pengen banyak konflik dulu tapi
Yesung-dahlah biarin jadi ficlet aja... padahal pengennya sih Oneshot...
Maapkan daku Directioners L aku tak bermaksud menistakan mereka sungguh...
Dan seperti biasa makasih yang berniat membaca JJ
Bye.. /nyanyi Happily bareng Liam/