Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Minggu, 18 November 2018

(Fanfiction) Gerbong Terakhir



(Gambar: pixabay.com)

.

“Gerbong Terakhir”

.
.

Cast:
Yongguk
Jirin

.
(Special FF untuk Kak Ulfah)

.
.

***

.

Kereta terakhir itu melaju membelah senja. Pada langit berlatar jingga, burung gereja mulai berkeliling pada tiap-tiap dahan Pinus untuk mengambil dedaunan kering, sebagai bahan dasar pembuatan sarang.

Pada sisi kiri dari rel kereta, berhampar luas padang rumput yang mulai menguning. Pertanda musim gugur tengah berlangsung dibarengi dengan menurunnya suhu udara.

Sementara pada sisi kanan rel kereta, ada sebuah desa kecil yang lebih dari delapan puluh persen penduduknya adalah pria dan wanita berumur. Anak-anak dan cucu mereka lebih memilih merantau ke kota, untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Walau sebenarnya kebahagiaan hidup di desa dengan segala kesederhanaannya tak bisa diperoleh di kota, meski mereka bekerja sejak pagi hingga malam hari.

Di dalam gerbong terakhir kereta, seorang pria bermantel hitam tengah menatap kosong ke luar jendela. Sembari menggenggam sebuah gelang cokelat yang bahan dasarnya terbuat dari kayu pohon ek. Ia duduk sendirian pada kursi paling belakang gerbong.


Tatapannya memang menuju ke luar jendela kereta, dimana sejak belasan menit lalu hanya rerumputan kuning yang bisa ditangkap oleh retina matanya. Namun jelas pikirannya sedang tidak di sana. Di dalam kepalanya dipenuhi oleh kilasan-kilasan kejadian dua jam lalu. Saat dimana ia sama sekali tak menyangka akan berada di situasi itu. Situasi yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya.

.
***
.

Bagian terbaik bagi lelaki itu saat menjalin hubungan adalah ia tak perlu merasa kesepian di akhir pekan. Saat teman-teman sekantornya memilih berlibur bersama keluarga, sementara ia tak memiliki sesiapa di kota itu untuk menghabiskan akhir pekan, maka ia bisa melakukan banyak kegiatan dengan sang kekasih.

Pada hari Sabtu yang mulai dingin, kekasihnya mengajak pergi ke danau. Tentu ia sangat bersemangat karena sudah hampir dua minggu ia tak berjumpa dengan gadisnya itu, lantaran divisinya sedang mengejar target sehingga hampir dua minggu para staff harus lembur tanpa sempat pulang.

“Menunggu lama?”

Alunan merdu suara gadis yang amat ia rindukan, mengalun lembut merambat melalui udara. Sontak saja ia menoleh dengan menunjukkan senyum terbaik yang ia miliki.

“Tidak. Aku yang terlalu cepat datang,” senyum di wajahnya semakin lebar. “Mau pesan minum dulu atau langsung berangkat? Aku sudah memesan dua tiket kereta untuk pergi nanti siang.”

Sang gadis tersenyum membalas ucapan kekasihnya, lantas memosisikan dirinya duduk di bangku panjang stasiun. Gelang cokelat yang tak pernah ia lepaskan selama dua tahun ini, menghiasi pergelangan tangannya.

Sesuatu yang tidak mengenakkan menghampiri perasaan pria itu. Meskipun terkadang intuisinya salah, namun tetap saja ia merasa ada yang tidak beres dengan sang kekasih.

“Jirin, kau baik-baik saja?”

Dengan sedikit terkejut, yang ditanya menoleh dengan cepat. “Ti, tidak. Aku baik-baik saja. Memang ada apa? Apa aku terlihat aneh?”

Sang pria hanya menggeleng kecil, tanpa melunturkan senyum di wajahnya. Tak lama setelah itu, hanya terdengar suara hilir mudik orang-orang yang berada di stasiun. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Usai bermenit-menit menunggu kereta mereka tiba, keduanya memasuki gerbong terakhir, sesuai tiket yang dibeli sang pria. Duduk bersisian di kursi paling belakang gerbong, mereka masih saling diam hingga kereta perlahan melaju di atas rel. Meninggalkan segala hal di belakang, dan terus maju tanpa bisa berbalik arah.

“Kau rindu aku?” si wanita—Jirin, mulai membuka konversasi.

Yang ditanya terkekeh pelan tanpa menoleh pada yang bertanya. “Pertanyaan retoris, huh? Tentu saja aku rindu. Kau lebih tahu bagaimana perasaanku lebih dari diriku sendiri.”

“Orangtuamu? Bagaimana dengan mereka? Kau tidak rindu?”

Alis si pria mengernyit. Kenapa wanita itu malah bertanya mengenai orangtuanya?

“Kenapa kau tiba-tiba malah menanyakan mereka?”

Jemarinya saling bertautan, menatap sang lelaki dengan raut serius. “Hanya ingin tahu. Setahuku sudah dua tahun kau tidak pulang. Katamu mereka tinggal di desa. Aku hanya penasaran, seorang anak yang merantau sendirian di kota lain, yang tidak memiliki siapapun di sana, malah tidak pernah pulang menjenguk orangtuanya.”

“Kau sedang mengejekku?”

“Kau merasa sedang diejek? Kalau kau tidak nyaman dengan pertanyaanku barusan, ya sudah abaikan saja. Ah iya, Yongguk. Bagaimana dengan pekerjaan di kantormu? Kau masih sibuk dengan target divisimu?”

“Aku tidak mengerti kemana arah pembicaraanmu, Rin.”

Yongguk menatap lama pada wajah kekasihnya. Ini tidak seperti biasanya. Saat mereka bertemu di akhir pekan, mereka memang seringkali membahas kegiatan satu sama lain selama seminggu yang terlewati. Namun tak pernah Jirin memasang wajah seserius itu.

Menggenggam tangan Yongguk, Jirin menatap lurus pada kedua mata pria itu. Pemandangan di luar jendela bergerak dengan cepat, seperti roda kehidupan yang terus berputar dan meninggalkan tiap detik ke masa lalu.

“Aku lelah, Yongguk.”

Menelan ludah, Yongguk mencoba mencari arti kata-kata Jirin barusan melalui tatapan matanya. Yang Yongguk lihat di mata gadis itu, adalah, entahlah Yongguk tak yakin. Seperti rasa kecewa?

“Sudah dua tahun lebih kita menjalani hubungan ini, Yongguk. Aku—”

“Oh, tidak. Jangan dilanjutkan. Kurasa aku tahu arah pembicaraanmu. Tidak, Jirin. Kumohon jangan katakan. Baiklah, maafkan aku. Aku tahu dua minggu ini terlalu sibuk sehingga tidak sempat bertemu denganmu. Maafkan aku, ya. Aku janji lain kali tidak—”

“Yongguk dengarkan aku dulu. Please?”

Kali ini giliran Yongguk yang menggenggam tangan Jirin. Ia tak ingin melepaskan tangan gadis itu. Rasanya seperti sebentar lagi Jirin akan terlepas selamanya dari genggaman. Dan ia bersumpah tak bisa hidup jika hal itu terjadi.

“Dua tahun. Dua tahun tentu cukup lama bagi kita untuk mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi, apa yang kita lakukan selama ini? Kau hanya terus bersamaku setiap akhir pekan. Pernah tidak sekali saja kau berniat memperkenalkan dirimu pada orang tuaku? Aku tidak mengharapkan yang lebih. Aku hanya ingin orang vtuaku tahu kalau aku memiliki kekasih.”

Jirin mengembuskan napas beberapa kali saat jeda. “Hanya saja, kau sepertinya tak berniat melakukannya. Kita sudah dewasa, Yongguk. Bukan anak SMA yang pacaran diam-diam. Aku butuh kejelasan darimu. Sudah sering aku memintamu melakukannya, tapi kau selalu bilang nanti. Nanti dan tidak terasa lebih dari dua tahun berlalu. Aku juga memintamu untuk mengajakku bertemu orang tuamu. Sesulit itukah?”

Napas Yongguk tercekat. “Ma, maaf. Baiklah aku akan segera melakukannya, ya? Kumohon jangan marah padaku. Aku janji akan segera melakukannya.”

“Aku tidak marah. Hanya saja... Aku terlalu kecewa.”

Melepaskan tangannya yang digenggam oleh Yongguk, Jirin dengan cepat melepas gelang cokelat di pergelangan tangannya. Yongguk yang melihat itu dengan segera menghentikan Jirin.

“Apa yang kau lakukan???”

“Aku tidak bisa lagi menjalani hubungan dengan pria egois sepertimu. Kau hanya menginginkan diriku untukmu sendiri. Kau tidak pernah memikirkan perasaanku. Selama ini kau hanya terus sibuk bekerja, dan tak pernah berniat memikirkan masa depan denganku. Kau hanya ingin terus bersamaku, untuk bersenang-senang, untuk melepas lelahmu setelah seminggu bekerja. Aku bukan mainan, Yongguk. Aku wanita dewasa yang ingin memiliki kehidupan seperti orang lain bersama kekasihnya.”

“Jirin...”

“Gelang ini aku kembalikan. Silakan kau pilih wanita lain yang ingin bersenang-senang denganmu. Bukan wanita yang sangat ingin menjalani hubungan serius yang direstui orang tua. Kita berakhir sampai di sini, Yongguk.”

Untuk sekian sekon, otak Yongguk terlalu lama merespon perkataan Jirin. Ini terlalu mendadak. Semua yang baru saja Jirin katakan masih begitu tak masuk akal untuk Yongguk.

“Kau bercanda, kan?”

“Bukankah kau yang selama ini bercanda dengan hubungan kita? Aku hanya butuh lelaki yang bertanggungjawab dengan menjalin hubungan di bawah restu orang tua. Tidak seperti selama ini denganmu.”

“Jirin...”

“Terima kasih untuk segala waktu dan perhatianmu selama masa ini padaku, Yongguk. Kuharap di masa depan, kau bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Bukan mengejar uang hingga terus bekerja dan lupa pada orang tua. Dan kuharap juga jika nanti kau memiliki kekasih, jangan lakukan seperti yang pernah kau lakukan padaku. Perkenalkanlah dirimu pada orang tuanya, bukan menjalin hubungan seperti anak SMA.”

“Oh, tidak. Aku tak bisa hidup tanpamu, Rin. Please, maafkan aku.”

“Sampai di sini saja Yongguk. Cukup sudah.”

.
***
.

Gerbong terakhir kereta itu masih melaju, di bawah jingga yang membentang di langit. Yongguk masih diam di sana, seorang diri di atas kursi penumpang paling belakang. Di stasiun pemberhentian sebelumnya, Jirin memilih turun, meninggalkan Yongguk bersama segala kenangan yang tak akan bisa dengan mudahnya ia lupakan.

Yongguk sadar ia telah salah. Terlalu egois dan memikirkan diri sendiri memang tidak pernah berakhir baik.

Seharusnya ia tak perlu membabi buta mengumpulkan uang. Lantas lupa bahwa orang tuanya di desa pasti sangat merindukannya. Ia seharusnya tak perlu berpikir untuk sukses dulu lalu berkenalan dengan orang tua Jirin. Ia berpikir, materi akan membuat keadaan jadi lebih baik.

Namun nyatanya, mengumpulkan materi justru tak membuatnya bahagia, malahan hal itu menyakitinya, karena harus mati-matian menahan rindu pada orang tua di desa, dan kini ia justru harus merasakan kesendirian saat Jirin telah meninggalkannya.

Dan gerbong terakhir kereta itu masih melaju, menuju danau yang menjadi destinasi ia dan Jirin seharusnya. Danau di desa dimana tinggal orang tuanya di sana. Dan tahulah Yongguk, kalau Jirin ingin membuat Yongguk pulang dan menjenguk kedua orang tuanya.

Pada senja yang kian pekat, Yongguk pulang. Menggenggam gelang dari kayu ek, gelang pasangan miliknya dan Jirin. Setelah turun dari gerbong kereta, Yongguk berjanji pada dirinya sendiri.

Ia akan pulang. Tinggal di desa dan memperbaiki sikapnya. Uang yang ia kumpulkan selama dua tahun lebih ini sudah cukup membantu memperbaiki rumah orangtuanya, dan membangun usaha di desa. Lalu jika memang Tuhan mengijinkan, ia akan segera menemui Jirin lagi. Menemui orang tua Jirin.

Berharap wanita itu mau menerima lamaran pernikahan darinya.

.
.
End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar