Hold the Rain
.
.
.
Author:
Aisyah
(@cloudisah_)
.
.
Cast:
Jongup B.A.P
Youngjae B.A.P
Jirin (OC)
.
.
Genre:
Romance; Angst
:::
Barangkali masih banyak manusia naif di muka bumi
ini yang beranggapan jika cinta tak lain adalah perasaan tulus dan suci dari
dalam hati. Cinta seringkali diagung-agungkan, dielu-elukkan oleh para
pemujanya. Cinta dianggap perlambang dari kemurnian rasa. Penguat dari ikatan
batin antar insan.
Aku tidak lagi termasuk golongan manusia naif itu.
Bagiku cinta sama dengan obsesi. Sebuah senjata mematikan. Atau tidak bisa
dikatakan ‘sebuah’. Sesuatu, mungkin? Suatu senjata mematikan.
Kau tahu seberapa mematikannya senjata bernama cinta
itu? Teramat-sangat-mematikan.
Jika kau tidak ingin mati, maka berhati-hatilah
dengan yang namanya cinta. Atau jika itu tidak membuatmu mati, maka cinta bisa
membunuh orang lain. Orang yang kau cintai.
Begitulah yang terjadi padaku. Obsesi berlabel cinta
dan berujung pada kematian.
Oh, tidak. Aku tidak mati. Aku masih hidup. Bukan
aku yang mati. Tapi—
“Berhentilah membuat dirimu menjadi depresi, Dude. Kau terlalu sehat dan normal untuk
mengalami depresi.”
—jiwaku yang mati. Walau memang ada sih seseorang yang telah ‘mati’.
Youngjae Hyung
menepuk pelan pundakku setelah memposisikan dirinya duduk bersisian
denganku. Aku tak bergeming dari kedua netra yang berfokus pada bentangan awan
kelabu di atas sana. Tak berniat menoleh barang sejenak padanya.
Sehat katanya? Apa yang sehat? Fisikku? Tidak
tahukah ia kalau cinta telah secara perlahan membunuhku? Membunuh batinku?
“Apa yang kau lihat di langit? Menunggu hujan
datang? Ayolah, Bung. Berhenti menatap kosong seperti itu. Kau membuatku
takut,” suaranya berubah lembut. “Kumohon. Terimalah kenyataan. Hiduplah normal
seperti sebelumnya.”
“Aku menunggu Jirin datang, Hyung. Saat hujan turun dia akan menemuiku,” ucapku tanpa merespon
yang ia katakan barusan. Aku yakin suaraku lebih terdengar seperti bisikan.
“Tunggulah bersamaku. Kau sudah lama tak bertemu dengannya, kan?”
Youngjae Hyung
mengembuskan napas dengan kasar. “Jongup, dengar. Jirin-sudah-mati. Kau tidak bisa seperti ini terus. Tidak ada
hujan. Tidak ada Jirin. Ayo, kuantar kau kembali ke kamar.”
Awan semakin kelabu pertanda hujan akan turun
sebentar lagi. Dan aku sudah tidak sabar saat rintik pertama menyentuh kulitku.
“Ya Tuhan, kau membuatku kehilangan kesabaran.” Youngjae
Hyung bangkit berdiri lalu mecengkram
kedua pundakku, memaksaku untuk menatap kedua matanya yang menyiratkan
keprihatinan. Untuk apa ia prihatin?
“Sadarlah Jongup, please. Aku yakin Jirin tidak ingin melihatmu seperti ini. Semakin
hari kau tampak seperti… err, pria gila.”
Kutampik dengan kasar tangannya hingga terlepas dari
bahuku. “Pergilah, jika Hyung hanya
ingin mengomel. Aku di sini menunggu Jirin. Dia akan datang,” kesalku.
Menghela napas dalam satu tarikan pendek, Youngjae Hyung membuang wajah. “Kau membuatku
gila,” ia berucap tanpa menatapku lantas berlalu ke dalam rumah. Meninggalkanku
seorang diri di bangku panjang di halaman rumah.
Bukankah tadi aku sudah bilang? Cinta adalah senjata
mematikan. Dan aku sudah terbunuh oleh senjata itu. Secara perlahan. Terbunuh
dari dalam. Dari jiwaku. Membunuh kewarasanku. Dan barangkali tak lama lagi aku
memang benar-benar akan mati.
:::
Aku masih ingat pada hujan di Desember tahun lalu. Petir.
Angin deras. Dan kematian.
Melajukan motor dengan kegilaan dibawah guyur hujan
bukanlah ide bagus. Jalanan licin, truk-truk besar saling beradu menyuarakan
klakson, ditambah rengekan Jirin yang memintaku menghentikan laju motor. Siapa
peduli dengan rengekan gadis itu? Bertemu dengan mantan kekasihnya tanpa
sepengetahuanku—aku sudah tiga tahun menjalin hubungan dengannya—tanpa
memikirkan bagaimana perasaanku. Walau Jirin sudah menjelaskan jika pertemuan
itu tidak disengaja dan sang ‘mantan’ sedang membutuhkan tempat curhat untuk
masalah yang dialaminya. Sulit bagiku untuk mempercayainya.
Tak seorang pria-pun yang boleh mengambil Jirin
dariku. Apalagi mantan kekasihnya. Jirin milikku. Ia hanya boleh bersamaku atau
bersama sahabat-sahabat wanitanya. Titik. Tidak ada perdebatan.
“Jongup, kumohon berhentilah. Kau bisa membunuh kita
berdua,” Jirin semakin erat memeluk pinggangku.
Hujan semakin deras dan aku tidak peduli. Yang aku
inginkan adalah membawa Jirin jauh dari pusat kota. Tempat dimana aku bisa
leluasa menatap Jirin dan membuatnya melupakan mantannya. Si brengsek sialan.
Jirin menenggelamkan wajahnya pada lekukan leherku.
“Jongup…” lirihnya. “Aku berjanji tidak akan menemuinya lagi meskipun itu tidak
disengaja.”
Mataku terpejam sejenak. Aku hampir akan berhenti
dan goyah akan suaranya.
“Aku hanya mencintaimu, Jongup. Percayalah.”
Dadaku bergetar. Ini terasa seperti pertama kalinya
aku menyadari betapa besar rasa cintaku pada Jirin. Kuturunkan perlahan kecepatan
motor dan merasakan sensasi atas getaran yang mendadak hadir di seluruh urat
sarafku. Aku mencintai Jirin. Begitu mencintainya hingga seringnya aku lupa
bagaimana bernapas dengan benar saat bersamanya.
“Jangan tinggalkan aku, Rin. Aku lebih mencintaimu
dari yang kau tahu,” aku berusaha mengalahkan suara hujan yang masih bertahan
dengan keegoisannya.
“Aku janji, Sayang.”
Petir saling menyambar di langit kelam. Belum pernah
cuaca seburuk ini selama beberapa bulan terakhir. Angin deras membuat tubuhku
kedinginan disamping air hujan yang terasa menggigit. Kami sudah berada cukup
jauh dari pusat kota. Namun sayangnya tidak ada tempat yang bisa disinggahi untuk
berteduh. Sepanjang mata memandang hanyalah hutan pinus di sisi kiri dan kanan
jalan. Aku masih masih harus melajukan motor beberapa kilometer lagi sebelum
mencapai pemukiman penduduk.
“Apa masih jauh?” Suara Jirin kian lirih.
“Di-dingin…”
Rasa bersalah
menghantamku secara tiba-tiba. Seandainya tadi aku tidak berpikiran pendek dan
membawa Jirin meninggalkan pusat kota, tentu kami berdua tidak akan terjebak
hujan dan berjuang melawan dingin seperti ini.
“Sebentar lagi, Sayang. Bertahanlah.”
Bertahanlah. Yah, itu kata terakhir yang aku ucapkan
untuk Jirin. Sebelum petir membelah langit bersamaan dengan motorku yang oleng
dan… Sesuatu yang besar menghantam kami berdua. Tanpa kujabarkan-pun kau tentu
tahu apa yang terjadi kemudian. Jirin menatapku dengan tubuh terbaring di
sisiku di atas aspal dingin, diserbu barisan air langit yang berbondong-bondong
menerpa tubuh kami. Ia tersenyum manis. Sangat manis. Sebelum kedua kelopak
matanya terpejam.
Saat itu sadarlah aku. Cintaku pada Jirin telah berubah
menjadi obsesi mengerikan. Obsesi berujung maut.
:::
Seperginya Youngjae Hyung, barisan air langit dengan serta merta menyerbu permukaan.
Tubuhku basah kuyup dalam hitungan kurang dari sepuluh detik. Dan pada ribuan
baris air langit tersebut, Jirin berdiri di hadapanku dengan senyum yang sama
dengan senyum ketika kami kecelakaan motor tahun lalu. Hanya pakaiannya telah
berganti dengan gaun putih menjuntai.
“Rin…” Hanya itu yang bisa kuucapkan.
Aku bangkit berdiri untuk menyambutnya. Biasanya saat
hujan Jirin hanya berdiri dengan jarak tiga meter di hadapanku. Ia tak
melakukan apa-apa, pun mengatakan sesuatu. Ia hanya berdiri—menatapku.
Tubuhnya seolah tak terpengaruh derasnya hujan. Ia tampak
seperti waterproof. Jirin tidak
basah. Dan terkadang itu membuatku sedikit takut melihatnya.
“Rin,” ulangku lagi.
Jirin mengulurkan tangannya padaku untuk pertama
kali setelah selama setahun terakhi ini kami hanya saling menatap selama hujan
berlangsung. Beberapa sekon aku menatap uluran tangannya dengan kening
berkerut. Apa yang Jirin inginkan? Haruskah aku menyambutnya dan mengulurkan
tanganku?
Kuulurkan tangan kananku meskipun ragu. Deras hujan
disertai angin sama sekali tidak menggangguku untuk tetap berada di sini
bersamanya. Jirin mendekat. Tangannya terasa dingin, seperti tetes-tetes hujan
yang menyentuh kulitku. Aku tak dapat menahan senyumku ketika kutahu apa yang Jirin
inginkan.
“Baik, Rin. Aku akan ikut denganmu,” senyumku
melebar.
Aku mencintai Jirin. Walau rasa cintaku tak bisa
kubedakan dengan obsesiku padanya. Tapi aku tahu, ini tetaplah cinta. Maka
ketika Jirin menyentuh tanganku, kedua kelopak mataku terpejam dan air hujan
seolah mengelilingiku seorang diri. Layaknya dipeluk oleh sesuatu yang dingin,
tubuhku menggigil dan aku bisa merasakan Jirin berbisik padaku sebelum
kesadaranku perlahan menghilang.
“Ayo kita pergi dari dunia ini, Jongup. Sekarang.”
**End**
Eaaakk…
Mas Moon kau
telah mengalihkan duniaku~ mumumu :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar