Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Senin, 29 Januari 2018

(Fanfiction) Hold the Rain



Hold the Rain





.
.
.

Author:
Aisyah (@cloudisah_)

.
.

Cast:
Jongup B.A.P
Youngjae B.A.P
Jirin (OC)

.
.

Genre:
Romance; Angst

:::

Barangkali masih banyak manusia naif di muka bumi ini yang beranggapan jika cinta tak lain adalah perasaan tulus dan suci dari dalam hati. Cinta seringkali diagung-agungkan, dielu-elukkan oleh para pemujanya. Cinta dianggap perlambang dari kemurnian rasa. Penguat dari ikatan batin antar insan.

Aku tidak lagi termasuk golongan manusia naif itu. Bagiku cinta sama dengan obsesi. Sebuah senjata mematikan. Atau tidak bisa dikatakan ‘sebuah’. Sesuatu, mungkin? Suatu senjata mematikan.

Kau tahu seberapa mematikannya senjata bernama cinta itu? Teramat-sangat-mematikan.

Jika kau tidak ingin mati, maka berhati-hatilah dengan yang namanya cinta. Atau jika itu tidak membuatmu mati, maka cinta bisa membunuh orang lain. Orang yang kau cintai.

Begitulah yang terjadi padaku. Obsesi berlabel cinta dan berujung pada kematian.

Oh, tidak. Aku tidak mati. Aku masih hidup. Bukan aku yang mati. Tapi—


“Berhentilah membuat dirimu menjadi depresi, Dude. Kau terlalu sehat dan normal untuk mengalami depresi.”

—jiwaku yang mati. Walau memang ada sih seseorang yang telah ‘mati’.

Youngjae Hyung menepuk pelan pundakku setelah memposisikan dirinya duduk bersisian denganku. Aku tak bergeming dari kedua netra yang berfokus pada bentangan awan kelabu di atas sana. Tak berniat menoleh barang sejenak padanya.

Sehat katanya? Apa yang sehat? Fisikku? Tidak tahukah ia kalau cinta telah secara perlahan membunuhku? Membunuh batinku?

“Apa yang kau lihat di langit? Menunggu hujan datang? Ayolah, Bung. Berhenti menatap kosong seperti itu. Kau membuatku takut,” suaranya berubah lembut. “Kumohon. Terimalah kenyataan. Hiduplah normal seperti sebelumnya.”

“Aku menunggu Jirin datang, Hyung. Saat hujan turun dia akan menemuiku,” ucapku tanpa merespon yang ia katakan barusan. Aku yakin suaraku lebih terdengar seperti bisikan. “Tunggulah bersamaku. Kau sudah lama tak bertemu dengannya, kan?”

Youngjae Hyung mengembuskan napas dengan kasar. “Jongup, dengar. Jirin-sudah-mati. Kau tidak bisa seperti ini terus. Tidak ada hujan. Tidak ada Jirin. Ayo, kuantar kau kembali ke kamar.”

Awan semakin kelabu pertanda hujan akan turun sebentar lagi. Dan aku sudah tidak sabar saat rintik pertama menyentuh kulitku.

“Ya Tuhan, kau membuatku kehilangan kesabaran.” Youngjae Hyung bangkit berdiri lalu mecengkram kedua pundakku, memaksaku untuk menatap kedua matanya yang menyiratkan keprihatinan. Untuk apa ia prihatin?

“Sadarlah Jongup, please. Aku yakin Jirin tidak ingin melihatmu seperti ini. Semakin hari kau tampak seperti… err, pria gila.”

Kutampik dengan kasar tangannya hingga terlepas dari bahuku. “Pergilah, jika Hyung hanya ingin mengomel. Aku di sini menunggu Jirin. Dia akan datang,” kesalku.

Menghela napas dalam satu tarikan pendek, Youngjae Hyung membuang wajah. “Kau membuatku gila,” ia berucap tanpa menatapku lantas berlalu ke dalam rumah. Meninggalkanku seorang diri di bangku panjang di halaman rumah.

Bukankah tadi aku sudah bilang? Cinta adalah senjata mematikan. Dan aku sudah terbunuh oleh senjata itu. Secara perlahan. Terbunuh dari dalam. Dari jiwaku. Membunuh kewarasanku. Dan barangkali tak lama lagi aku memang benar-benar akan mati.

:::

Aku masih ingat pada hujan di Desember tahun lalu. Petir. Angin deras. Dan kematian.

Melajukan motor dengan kegilaan dibawah guyur hujan bukanlah ide bagus. Jalanan licin, truk-truk besar saling beradu menyuarakan klakson, ditambah rengekan Jirin yang memintaku menghentikan laju motor. Siapa peduli dengan rengekan gadis itu? Bertemu dengan mantan kekasihnya tanpa sepengetahuanku—aku sudah tiga tahun menjalin hubungan dengannya—tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Walau Jirin sudah menjelaskan jika pertemuan itu tidak disengaja dan sang ‘mantan’ sedang membutuhkan tempat curhat untuk masalah yang dialaminya. Sulit bagiku untuk mempercayainya.

Tak seorang pria-pun yang boleh mengambil Jirin dariku. Apalagi mantan kekasihnya. Jirin milikku. Ia hanya boleh bersamaku atau bersama sahabat-sahabat wanitanya. Titik. Tidak ada perdebatan.

“Jongup, kumohon berhentilah. Kau bisa membunuh kita berdua,” Jirin semakin erat memeluk pinggangku.

Hujan semakin deras dan aku tidak peduli. Yang aku inginkan adalah membawa Jirin jauh dari pusat kota. Tempat dimana aku bisa leluasa menatap Jirin dan membuatnya melupakan mantannya. Si brengsek sialan.

Jirin menenggelamkan wajahnya pada lekukan leherku. “Jongup…” lirihnya. “Aku berjanji tidak akan menemuinya lagi meskipun itu tidak disengaja.”

Mataku terpejam sejenak. Aku hampir akan berhenti dan goyah akan suaranya.

“Aku hanya mencintaimu, Jongup. Percayalah.”

Dadaku bergetar. Ini terasa seperti pertama kalinya aku menyadari betapa besar rasa cintaku pada Jirin. Kuturunkan perlahan kecepatan motor dan merasakan sensasi atas getaran yang mendadak hadir di seluruh urat sarafku. Aku mencintai Jirin. Begitu mencintainya hingga seringnya aku lupa bagaimana bernapas dengan benar saat bersamanya.

“Jangan tinggalkan aku, Rin. Aku lebih mencintaimu dari yang kau tahu,” aku berusaha mengalahkan suara hujan yang masih bertahan dengan keegoisannya.

“Aku janji, Sayang.”

Petir saling menyambar di langit kelam. Belum pernah cuaca seburuk ini selama beberapa bulan terakhir. Angin deras membuat tubuhku kedinginan disamping air hujan yang terasa menggigit. Kami sudah berada cukup jauh dari pusat kota. Namun sayangnya tidak ada tempat yang bisa disinggahi untuk berteduh. Sepanjang mata memandang hanyalah hutan pinus di sisi kiri dan kanan jalan. Aku masih masih harus melajukan motor beberapa kilometer lagi sebelum mencapai pemukiman penduduk.

“Apa masih jauh?” Suara Jirin kian lirih. “Di-dingin…”

 Rasa bersalah menghantamku secara tiba-tiba. Seandainya tadi aku tidak berpikiran pendek dan membawa Jirin meninggalkan pusat kota, tentu kami berdua tidak akan terjebak hujan dan berjuang melawan dingin seperti ini.

“Sebentar lagi, Sayang. Bertahanlah.”

Bertahanlah. Yah, itu kata terakhir yang aku ucapkan untuk Jirin. Sebelum petir membelah langit bersamaan dengan motorku yang oleng dan… Sesuatu yang besar menghantam kami berdua. Tanpa kujabarkan-pun kau tentu tahu apa yang terjadi kemudian. Jirin menatapku dengan tubuh terbaring di sisiku di atas aspal dingin, diserbu barisan air langit yang berbondong-bondong menerpa tubuh kami. Ia tersenyum manis. Sangat manis. Sebelum kedua kelopak matanya terpejam.

Saat itu sadarlah aku. Cintaku pada Jirin telah berubah menjadi obsesi mengerikan. Obsesi berujung maut.

:::

Seperginya Youngjae Hyung, barisan air langit dengan serta merta menyerbu permukaan. Tubuhku basah kuyup dalam hitungan kurang dari sepuluh detik. Dan pada ribuan baris air langit tersebut, Jirin berdiri di hadapanku dengan senyum yang sama dengan senyum ketika kami kecelakaan motor tahun lalu. Hanya pakaiannya telah berganti dengan gaun putih menjuntai.

“Rin…” Hanya itu yang bisa kuucapkan.

Aku bangkit berdiri untuk menyambutnya. Biasanya saat hujan Jirin hanya berdiri dengan jarak tiga meter di hadapanku. Ia tak melakukan apa-apa, pun mengatakan sesuatu. Ia hanya berdiri—menatapku.

Tubuhnya seolah tak terpengaruh derasnya hujan. Ia tampak seperti waterproof. Jirin tidak basah. Dan terkadang itu membuatku sedikit takut melihatnya.

“Rin,” ulangku lagi.

Jirin mengulurkan tangannya padaku untuk pertama kali setelah selama setahun terakhi ini kami hanya saling menatap selama hujan berlangsung. Beberapa sekon aku menatap uluran tangannya dengan kening berkerut. Apa yang Jirin inginkan? Haruskah aku menyambutnya dan mengulurkan tanganku?

Kuulurkan tangan kananku meskipun ragu. Deras hujan disertai angin sama sekali tidak menggangguku untuk tetap berada di sini bersamanya. Jirin mendekat. Tangannya terasa dingin, seperti tetes-tetes hujan yang menyentuh kulitku. Aku tak dapat menahan senyumku ketika kutahu apa yang Jirin inginkan.

“Baik, Rin. Aku akan ikut denganmu,” senyumku melebar.

Aku mencintai Jirin. Walau rasa cintaku tak bisa kubedakan dengan obsesiku padanya. Tapi aku tahu, ini tetaplah cinta. Maka ketika Jirin menyentuh tanganku, kedua kelopak mataku terpejam dan air hujan seolah mengelilingiku seorang diri. Layaknya dipeluk oleh sesuatu yang dingin, tubuhku menggigil dan aku bisa merasakan Jirin berbisik padaku sebelum kesadaranku perlahan menghilang.

“Ayo kita pergi dari dunia ini, Jongup. Sekarang.”

**End**

Eaaakk…
Mas Moon kau telah mengalihkan duniaku~ mumumu :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar