Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Sabtu, 27 Desember 2014

(Cerpen) NIGHTMARE



NIGHTMARE
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.

Warning:
Fantasy, failed thriller, NC 17, Typo!!!

.

***

Nyatanya aku tidaklah tuli.

Nyatanya aku tidaklah buta.

Aku bisa mendengar dengan jelas, pun bisa melihat dengan teramat jelas melalui kedua bola mataku apa yang pria itu lakukan di dalam kamarku bersama seorang gadis. Melakukan sesuatu yang erotis ditambah suara-suara menjijikan –dari desahan keduanya- yang membuatku hampir gila.

Baiklah, mungkin aku memang sudah gila.

Seharusnya aku tak berada di sini. Berdiri di ambang pintu kamar menyaksikan kedua makhluk itu melakukan sesuatu yang menurutku sangat menjijikan. Hanya saja kedua betisku terlalu kaku untuk sekedar kugerakan satu senti, terlebih untuk menjauh dari kamarku lantas berlari sejauh mungkin bahkan keluar rumah jika bisa.

Namun saat pria di atas kasur itu menatapku dengan manik kelamnya, tubuhku terasa semakin membeku. Pria yang saat ini posisinya sedang ditindih oleh gadis yang aku tak tahu dari mana asalnya itu, menatapku seolah memintaku tetap berdiri di sini dan menyaksikan apa yang ia lakukan hingga ia selesai melakukan urusannya.

Tubuhku semakin mematung, terlebih saat aku menyaksikan sesuatu yang tak pantas kulihat. Sontak aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Demi apapun rasanya begitu sesak melihat pria itu melakukan hal itu kepada wanita lain. Lalu, apa artinya aku selama ini baginya? Kenapa ia tak pernah mau melakukan hal itu kepadaku? Kenapa ia selalu mencari wanita lain untuk memuaskan hasratnya? Tidakkah ia sedikit saja pernah menganggapku sebagai seorang wanita?

Ini kali ke empat aku melihatnya melakukan ‘itu’ kepada wanita lain di dalam kamarku dan dengan empat wanita yang berbeda. Aku tak tahu selama ini apa yang terjadi padanya karena aku hanya bertemu pria itu saat matahari terbenam.

Aku masih tak sanggup melihat apa yang mereka lakukan karena netraku saat ini hanya tertuju pada langit-langit rumahku yang bercat biru cream, namun telingaku dapat menangkap dengan jelas suara menjijikan dari mereka berdua. Aku ingin pergi, sungguh. Tapi tungkaiku tak bisa kugerakan sama sekali. Tubuhku membatu di ambang pintu tanpa aku tahu penyebabnya.

“Aaaaaakkkh.”

Tidak. Itu bukan suara desahan yang bermenit-menit lalu aku dengar. Tapi itu suara teriakan kesakitan dan itu adalah-

“Aaaaarrgh.”

Lagi aku mendengar suara teriakan kesakitan itu. Sontak aku menoleh pada sumber suara dan mataku seketika membelalak lebar saat melihat wanita yang bersama pria itu berteriak dan mengerang kesakitan. Kali ini tubuh polosnya yang tanpa sehelai kain itu menggeliat kesakitan di atas kasurku membuatku merinding namun tak juga aku bisa menggerakkan tubuhku sedikitpun.

“Aaaakkkh... aaaaakkkkhhh.”

Wanita itu berteriak seperti kesetanan. Aku menatap pria di samping wanita itu yang kini menatap wanita yang kesakitan itu dengan tatapan puas dan netraku dengan jelas melihat ia sedang menyeka sudut bibirnya karena cairan merah yang merembes.

Tunggu.

 Bukankah itu darah?

Jantungku serasa mencelos dan nafasku tercekat ketika wanita itu tak bergerak lagi di atas tempat tidur. Dari sini indra penciumanku dengan jelas menangkap aroma amis darah yang membuat perutku mual. Bahkan noda darah yang memercik memenuhi lantai kamarku membuat tubuhku serasa lemas seketika.

Kali ini aku menatap penuh tanya dan ketakutan pada pria itu yang menatapku dengan tatapan sendu. Kenapa ia memintaku untuk melihat semuanya? Kenapa pria itu melakukan hal ini padaku? Kenapa? Ini bahkan sudah keempat kalinya aku menyaksikan pria itu menghisap darah wanita dari lehernya. Seketika tubuhku terkulai lemas ketika pandangan kami saling bersorobok hingga setelahnya gelap dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada tubuhku.

***

Kicau burung dari luar jendelaku membuatku terbangun dan seketika cahaya matahari yang menelusup melalui tirai jendela menghujam retinaku saat kelopak mataku perlahan terbuka membuatku berusaha keras menyesuaikan retinaku dengan cahaya yang masuk ke dalam netraku. Perlahan aku bangkit untuk duduk seraya mengamati keadaan di sekitarku. Aroma khas pria yang sudah satu tahun ini tinggal bersamaku seketika menyapa indra penciumanku saat pria itu masuk ke kamar dengan masih mengenakan handuk mandi yang ia lilitkan di pinggangnya serta rambutnya yang masih basah.

“Kau sudah bangun?” tanyanya sedikit khawatir lantas mendudukkan diri di samping ranjang tempat di sampingku.

Aku hanya mengangguk pelan. Lantas kulirik sprey tempat tidurku sudah berganti dengan yang baru, tak ada bercak darah dan lantai kamar-pun bersih tanpa ada sedikitpun noda darah yang kulihat tadi malam. Jujur saja aku masih bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi tadi malam, namun kuurungkan niatku untuk bertanya karena pria di sampingku ini bertindak seolah tak pernah terjadi apapun. Begitupun dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Aku enggan bertanya karena aku hanya menunggu ia menceritakannya sendiri tanpa harus aku bertanya lebih dulu. Bahkan tak jarang aku berharap kejadian-kejadian itu hanyalah mimpi burukku.

“Kau sepertinya kelelahan, jadi aku tak enak membangunkanmu. Lihatlah, matahari sudah tinggi dan kau baru bangun,” ucapnya seraya bangkit dari sisi ranjang dan berjalan ke samping jendela untuk menyibak tirai itu dan membiarkan cahaya matahari semakin leluasa masuk ke dalam kamar.

Aku tersenyum kecut. Aku hanya mengamati tubuh topless-nya yang hanya mengenakan handuk dan menatap langit dari balik jendela. Demi Tuhan aku tak pernah menjamah tubuh indah pria itu. Meskipun kami sudah satu tahun tinggal bersama, tapi kami tidak pernah melakukan sex sedikitpun. Hanya sekedar berciuman. Itupun tak berlangsung lama, hanya kecupan singkat di bibir.

“Aku akan membuatkanmu sarapan. Kau tunggu di sini, aku akan mengantarkannya kalau sudah siap,” ujarnya lagi seraya mengelus pelan puncak kepalaku lantas setelahnya ia menghilang di balik pintu kamar.

Kutarik nafas dalam.

Aku dan pria itu bukanlah sepasang suami istri yang tinggal bersama atas dasar pernikahan. Aku bertemu pria itu satu tahun yang lalu saat pulang ke rumah usai aku mengajar les di tempat kerjaku. Pria itu tergeletak tak berdaya di halaman rumahku dengan bersimbah darah. Aku tak tahu dari mana ia datang karena saat itu ia tak sadarkan diri. Entah jiwa malaikat dari mana yang membuatku mau menolongnya yang sama sekali tak kukenal. Aku membasuh darah di tubuhnya serta mengobati luka-luka di beberapa bagian tubuhnya. Ia bahkan saat itu tak sadarkan diri selama dua hari.

Saat ia sadar, tubuhku seakan bergetar saat menatap manik kelamnya. Tubuhku seolah terhipnotis akan indahnya manik kelam itu, bahkan jantungku berdentam-dentam tak terkendali.

Tak ada perjanjian apapun, tak ada syarat apapun, saat itu aku dengan mudahnya mengizinkannya untuk tinggal di rumahku saat ia bilang ia tak memiliki tempat tinggal. Ia bilang ia memiliki suatu tujuan, hanya saja tak ada tempat untuknya tinggal sampai tujuannya itu terwujud.

Bodohnya aku mengizinkan orang asing sepertinya menghuni rumahku yang memang hanya kutempati seorang diri ini. Karena kedua orang tuaku tinggal di desa bersama saudariku yang lebih muda lima tahun dariku. Dan bodohnya aku membiarkan hatiku untuk terus tenggelam pada pria yang bahkan saat ini aku tak mengetahui identitasnya selain namanya yang satu-satunya aku ketahui tentangnya.

Darwin. Pria itu mengaku bernama Darwin. Ia tak memberitahuku apa pekerjaannya, dari daerah mana ia berasal, apakah pria itu memiliki orang tua atau tidak. Dan aku semakin bodoh karena tak pernah menanyakan hal itu padanya, karena aku terlalu merasa nyaman saat eksistensinya di dekatku.

“Kau melamun?”

Mataku mengerjap saat suara pria itu menyapa indra pendengaranku, membuatku seketika menoleh padanya yang saat ini sudah duduk di sampingku dan kini ia sudah mengenakan kaos lengan pendek serta celana jeans panjang berwarna abu-abu pekat. Aku masih duduk di atas ranjang, tubuhku terasa sakit seluruhnya membuatku sulit untuk bergerak.

Aku memaksakan sebuah senyum saat ia menatapku dengan begitu lembut. Aku berani bersumpah bahwa darahku berdesir dan membuat seluruh sistem organku terasa panas saat mata elangnya menghujam irisku dengan begitu lembut.

“Ini makanlah..” Darwin menyodorkan sepiring sandwich untuk kumakan.

Aku kembali menghela nafas dalam. Aku saat ini sungguh tak berselera makan. Aku menjauhkan piring itu dari tubuhku membuat kedua alisnya bertaut bingung.

“Kenapa? Kau tak ingin makan? Tssk, kau harus makan. Atau kau mau aku suapi? Ayo buka mulutmu.. aaaa,” ia menuntunku untuk memakan sandwich itu. Dengan terpaksa aku menggigit pelan sandwich darinya meskipun aku benar-benar tak berselera saat ini.

“Anak pintar. Kau harus habiskan ini semua, mengerti?”

Aku kembali hanya mengangguk pelan, membiarkannya menyuapiku perlahan. Setelahnya tak ada satupun diantara kami yang mengucapkan sepatah kata, karena Darwin bukanlah tipikal pria yang suka berbicara. Begitupun denganku.

Aku membiarkan hening melingkupi kami berdua, karena aku begitu menikmat momen seperti ini. Hanya saja, akan lebih baik jika Darwin memberitahuku sebenarnya apa yang terjadi selama ini, dan siapa dirinya sebenarnya.

***

Malam ini hujan turun begitu deras saat hanya aku sendirian di dalam rumah. Petir menyambar serta guntur yang terus menerus saling bersahutan memakakkan telinga. Ini sudah pukul sebelas malam namun Darwin belum juga pulang ke rumah. Biasanya ia sudah kembali ke rumah saat matahari terbenam.

Entah kenapa aku merasa sesuatu yang buruk akan terjadi sebentar lagi. Aku menggelengkan kepalaku berusaha mengusir pikiran buruk itu jauh-jauh. Tapi tetap saja rasanya aku sangat khawatir dengan Darwin saat ini.

Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas lebih lima belas menit. Mataku tak kunjung terpejam karena aku tak biasa tidur sendiri. Setahun terakhir ini aku sudah biasa tidur dengan Darwin yang memelukku dari samping. Aku terus berusaha memejamkan kedua mataku namun tak juga berhasil.

̴ting tong...

Bunyi bell seketika membuat tubuhku terbangun dan berlari keluar untuk membuka pintu. Nafasku memburu karena aku membuka pintu dengan terburu-buru berharap itu Darwin. Dan benar saja. Setelah daun pintu terbuka lebar, aku mendapati Darwin dengan tubuh basah kuyup dan pria itu terlihat lemah.

Mataku melebar karena Darwin yang langsung memelukku dengan tubuh basahnya membuatku keheranan.

“Darwin...” lirihku.

Ia semakin mempererat pelukannya dan menyandarkan kepalanya pada bahu kananku. “Sebentar saja. Kumohon,” ucapnya serak.

Aku membiarkan tubuh basahnya memeluk tubuhku. Kubalas pelukannya dengan melingkarkan kedua tanganku pada pinggangnya. Ini kali pertama Darwin seperti ini. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat saat memelukku, membuatku semakin kebingungan dan ingin sekali bertanya apa yang terjadi padanya.

Usai beberapa menit Darwin mendekapku, ia lantas menutup pintu dan menuntunku untuk masuk ke dalam kamar. Ia menyuruhku duduk di sampingnya di tepi ranjang. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku. Aku bisa merasakan tangannya yang begitu dingin dan sedikit bergetar.

Tubuhnya masih basah membuat tepi ranjang yang ia duduki menjadi basah. Dan bisa kulihat bibir Darwin yang bergetar, mungkin kedinginan.

“Kau ingin membersihkan dirimu dulu?” tanyaku pelan.

Darwin menggeleng. Ia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tanganku membuatku semakin keheranan. Darwin menatapku sendu, lantas ia mencondongkan tubuhnya dan dalam sekejap langsung meraup bibirku untuk dilumatnya.

Bibirnya terus bergerak menyapu bibirku, membuatku tak tahan untuk membalas perlakuannya pada bibirku. Dengan serta merta aku langsung melingkarkan kedua tanganku pada lehernya dan turut memagut bibir penuhnya.

Untuk sepersekian menit bibir kami masih terus saling berpagutan hingga akhirnya Darwin yang terlebih dahulu melepaskan kotak bibir kami. Darwin memegangi pipi kananku dan tangan satunya lagi memegang daguku dengan lembut, berusaha membuat tatapan kami saling beradu. Entah kenapa tatapannya kali ini lebih sendu dari yang pernah aku lihat selama ini. Meskipun ia memiliki mata setajam elang, namun ia selalu menatapku sendu dan hangat.

Aku bergeming. Menimati dalamnya manik kelam miliknya yang selalu kurindukan. Aku tahu perasaan ini hanya perasaan sepihak karena Darwin tak mungkin memiliki perasaan yang sama denganku.

Darwin kembali mencondongkan tubuhnya dan berbisik tepat di telingaku. “Would you be mine tonight?” bisiknya seduktif yang seketika membuat bulu romaku meremang.

Aku tak langsung mengiyakan ataupun menolaknya. Aku menatap tak yakin padanya karena selama ini Darwin tak pernah menyentuhku lebih jauh. Kutatap lekat manik matanya mencari ketulusan di dalamnya.

Darwin tersenyum hangat lantas setelahnya aku langsung mengangguk pasti menerima tawarannya. Tentu saja aku ingin. Karena aku mencintainya. Aku tak tahu apakah ia hanya menginginkan tubuhku atau ia juga memiliki perasaan yang sama denganku, yang pasti aku sungguh-sungguh ingin membuatku menjadi miliknya malam ini.

Darwin mendorong tubuhku hingga saat ini posisinya menindih tubuhku. Ia langsung melumat bibirku dengan sedikit terburu-buru namun aku bisa merasakan kelembutannya. Mataku terpejam menikmati ciuman Darwin dan turut membalas ciumannya. Hingga aku benar-benar mabuk karena sentuhannya dan membiarkannya menjamah seluruh tubuhku.

***

Aku memeluk erat kedua kakiku yang kutekuk dan meringkuk di sudut ranjang. Nafasku tercekat dan pandanganku buram karena air mata yang terus saja membanjiri wajahku. Aku benar-benar tak mengerti apa yang Darwin katakan. Ini benar-benar tak masuk akal, sungguh. Otakku sama sekali tak bisa memahami apa maksud dari perkataannya.

Saat ini aku sama sekali tidak telanjang. Pakaianku masih utuh membalut tubuhku hanya saja piyama tidurku yang sudah terbuka di bagian dada serta menampakkan bra merah yang tengah kupakai. Aku tak memperdulikan lagi pakaianku karena aku benar-benar hampir gila. Kuharap ini mimpi. Oh Tuhan bangunkan aku dari mimpi burukku ini. Aku benar-benar tak ingin mengetahui fakta yang terjadi. Lebih baik aku tak mengetahui siapa Darwin sebenarnya. Aku hanya ingin bersamanya, tidak lebih dari itu.

“Maafkan aku. Itulah sebabnya selama ini aku tak pernah menyentuh tubuhmu. Karena jika aku melakukannya, maka aku harus menghisap darahmu. Aku tak ingin kehilanganmu,” suaranya jelas terdengar bergetar dan itu membuatku merasa serba salah.

Aku menelan salivaku susah payah. Aku berusaha keras untuk menghentikan air mata yang terus saja mengalir, karena semua ini terasa tidak benar bagiku.

“La, lalu.. Lalu kenapa tadi kau ingin bercinta denganku?” lirihku. Tidak, kami tidak bercinta. Darwin menghentikan kegiatannya saat membuka kancing piyamaku dan aku bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang bergetar saat maniknya menangkap buah dadaku yang masih berbalut bra.

Darwin tertunduk. Ia kembali menatapku dengan pandangan bersalah, “Maaf... Sungguh aku minta maaf karena-“

“Karena apa?” selaku cepat karena aku sungguh ingin tahu alasannya.

“Karena malam ini kau yang menjadi korban berikutnya,” ucapnya dan kini kembali menunduk menatap keramik putih di bawah sana.

Daguku terjatuh dan mulutku sudah terbuka lebar. “Mak, maksudddmu.. Ja jadi aku-“

“Maaf. Aku tak bisa memberitahumu selama ini. Itulah sebabnya aku membuatmu menyaksikan semua yang terjadi dengan para gadis yang bercinta denganku. Karena aku ingin kau tahu, jika kita melakukannya maka kau-“

“Hentikan!” seruku cepat. Aku tak ingin mendengar apapun lagi darinya. “Chupacabra? Aku bahkan tak pernah tahu ada makhluk seperti itu. Lalu aku sudah terdaftar sebagai calon korbanmu begitu? Dan... Apa artinya aku selama ini?” aku sungguh tak mempercayai apa yang aku dengar darinya beberapa menit yang lalu.

“Bukankah sudah kukatakan? Aku makhluk Chupacabra setengah manusia. Kami makhluk Chupacabra harus menghisap darah manusia yang sudah ditakdirkan menjadi korban kami agar kami bisa bertahan hidup di dunia manusia. Awalnya semua berjalan baik-baik saja dan aku tak pernah berpikir akan seperti ini jadinya. Hingga aku merasa kalau aku sudah jatuh hati padamu, dan aku tak tega melakukannya padamu. Maaf...”

Aku masih tak mempercayainya. Semua ini sungguh di luar nalarku. “Darwin kau bohong kan? Katakan kalau yang kau ucapkan itu semua hanya bohongkan??!!”

“Maaf,” kali ini ia berusaha mendekat padaku namun tubuhku refleks menjauh darinya. “Aku tak bisa menyakitimu karena aku mencintaimu,” lirihnya lagi yang seketika membuat aliran darahku memanas.

“Darwin...” ucapku pelan. “Lalu, apa yang terjadi jika kau tak menghisap darahku?” tanyaku hati-hati.

“Maka aku...” ia menatapku dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. “Maka aku akan menghilang dari dunia manusia.”

Kedua mataku membelalak tak percaya. “Kau, kau akan menghilang?”

Ia mengangguk pelan lantas menatapku dengan tulus dan aku bisa melihat kedua sudut bibirnya yang tertarik hingga membentuk sebuah senyuman yang begitu aku sukai selama satu tahun terakhir ini. “Tak apa. Itu lebih baik dibandingkan kau mati karenaku. Karena jika kau mati, maka aku tak akan bisa hidup dengan tenang.”

Darwin kembali berusaha mendekati tubuhku dan kali ini aku membiarkan kedua lengannya merengkuh tubuhku dalam dekapannya. “Maaf dan terima kasih,” bisiknya serak di telingaku.

Aku tak bisa bergerak karena ia merengkuhku begitu erat. “Aku ingin kau mendengarnya dengan baik karena aku tak akan mengatakannya dua kali. Aku-mencintaimu-sangat-sangat-mencintaimu.”

Tubuhku membeku. Aku tak salah dengar bukan?

Darwin melepaskan rengkuhannya dari tubuhku dan ia menghujamiku dengan tatapan teduhnya. Lantas Darwin memperbaiki piyamaku dan memasang kancingku yang terbuka. “Setelah ini carilah pria yang baik untuk mendampingi hidupmu. Jangan bangun kesiangan lagi, jangan lupa sarapan, dan jangan tidur larut malam. Kau juga tidak boleh hujan-hujanan, tidak boleh kelelahan, dan tidak boleh pergi ke klub malam, mengerti?”

Aku menggenggam erat tangannya. “Hentikan. Aku tak ingin mendengarnya. Kau mengatakan itu seperti kau akan pergi..”

Darwin mengelus pelan puncak kepalaku. “Terima kasih atas semuanya selama satu tahun terakhir ini.” Darwin mengecup sekilas bibirku.

Air mataku kembali tumpah. Kali ini aku membuka kembali kancing piyamaku dan kulepaskan hingga tubuhku hanya mengenakan bra.

“Ap, apa yang akan kau lakukan?” Darwin menatapku tak percaya.

“Lakukan apa yang harus kau lakukan. Kalau ada yang harus meninggalkan dunia ini, biarkan itu aku. Jadi, lakukanlah...”

Darwin berusaha memasangkan kembali piyamaku namun segera kutepis. “AKU TAK BISA KEHILANGANMU! KAU PIKIR AKU AKAN HIDUP DENGAN BAIK JIKA KAU PERGI??? JADI LAKUKANLAH APA YANG SEHARUSNYA KAU LAKUKAN PADAKU MALAM INI.”

Air mataku benar-benar tumpah dan memukul-mukul dadanya. “Kau jahat! Aku membencimu!!! Hiks...”

“Maaf, aku memang makhluk jahat. Kau tak pantas mencintaiku. Tapi aku sungguh tak bisa menghisap darahmu... Biarkan aku yang menghilang dari dunia ini,” Darwin kembali merengkuhku.

“Aku mencintaimu bodoh, hatiku sudah jatuh terlalu dalam padamu. Lalu kau tega membiarkanku sendiri? Hiks, hisap darahku sekarang... Kumohon.”

“Tidak, aku tak bis- aaaaakh.”

Seketika jantung Darwin berpendar dan aku bisa melihat cahaya jingga pekat memancar hingga Darwin melepas rengkuhannya dari tubuhku.

“Darwin!!!!” seruku heboh.

“Aaaaakkh, aaaaakh,” Darwin terus berteriak kesakitan.

“Darwin ada apa denganmu???? Darwiiin!”

Udara dingin tiba-tiba menelusup masuk dan menyapa tubuhku. Seketika angin kencang berputar mengelilingi tubuh Darwin hingga cahaya jingga pekat itu semakin terang dan membuatku refleks menutup mataku karena cahaya itu begitu silau. Tubuhku menggigil karena udara semakin dingin, ditambah saat ini aku dalam keadaan hanya memakai bra.

“Aaaaakh,” sayup-sayup suara Darwin bisa kudengar namun mataku masih terpejam karena cahaya itu belum menghilang. “Aaaaakh, aaaakkkhhh,” suara kesakitan itu terus menghujam pendengaranku membuatku kembali menangis karena tak tahan mendengar pria yang kucintai kesakitan seperti itu.

“Aaaaaargh,” suara itu seperti semakin menjauh diiringi dengan angin yang mulai menghilang dan cahaya jingga itu mulai berkurang.

Aku memberanikan diri membuka kedua kelopak mataku dan kedua mataku melebar karena tak lagi menemukan eksistensi Darwin di dekatku.

“Darwiin! Darwin kau di mana? Hiks... Darwin jangan pergi kumohon...”

Udara dingin kembali menyapa kulitku. Tubuhku lemas dan merosot di samping ranjang. Tidak. Ini tidak benar. Ini hanya mimpi. Darwin masih di sini. Dia tak mungkin pergi meninggalkanku.

“Hiks, Darwin...”

Aku memeluk kedua lututku dan meraung sejadi-jadinya di malam ini. Kuharap ini semua benar-benar hanyalah mimpi. Sebuah mimpi buruk yang kuharap aku bisa terbangun darinya.

Menghadapi kenyataan bahwa Darwin bukanlah manusia, ia adalah Chupacabra. Hal tergila yang tidak pernah aku bayangkan selama ini dalam hidupku.

“Hiks, Darwin kumohon kembalilah...”

.
.
FIN

***

Gua gilaaak... cerpen dalam rangka menghadapi Final Test hari Senin nanti... huaaa...
Jelek yah ceritanya? Uhuhuhhh... Ini otak aku emang lagi kacau, hahaaa...
Thanks yang rela ngebaca cerita gaje ini ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar