SOLEDAD
(Sequel of
Coagulation)
.
Author:
Aisyah a.k.a
Cloudisah
Inspired
By:
Westlife –
Soledad
Cast:
Darwin,
Umairoh, Windy, Romi
Lenght:
Oneshoot
Warning:
Bahasa tidak
sesuai EYD, typo, alur cerita kecepetan, cerita nggak sesuai judul, dll
.
.
<3<3<3
If only you
could see the tears
In the world
you left behind
If only you
could heal my heart
Just one more
time, Even when I close my eyes
There’s an
image of your face
And once again
I come to realise
You’re a loss
I can’t replace
.
<3<3<3
Hari ini seharusnya menjadi hari yang
menyenangkan untukku karna hari ini adalah hari Minggu. Hari yang sangat
kutunggu-tunggu karna hanya pada hari ini aku bisa bersantai di rumah. Tapi
karna manusia tak tahu diri ini datang ke rumahku dan dengan seenaknya menyeretku
secara paksa untuk menemaninya memancing. Dan yeah... Beginilah aku sekarang.
Sedang berada di tepi sungai di bawah terik matahari meskipun saat ini masih
pukul sepuluh pagi.
Sebenarnya bukan aku benar-benar
tidak senang di sini, hanya saja hari ini aku sedang ingin bersantai di rumah.
“Berhentilah melamun... Ini masih
pagi dan aku tidak ingin malu di hadapan orang-orang karna temanku yang
kerasukan tiba-tiba”.
Tssk, anak ini. Sontak saja aku
langsung mencipratkan air ke wajahnya. “Tidak usah mengurusiku. Kau urus saja
pancinganmu”
Kulihat ia terkekeh pelan sambil
menggelengkan kepalanya. “Kau tidak ingin memancing?”
Aku hanya menggeleng. Aku sedang
tidak dalam mood yang baik hari ini untuk memancing, jadi aku lebih memilih
melihat teman-aneh-ku ini saja mengadu peruntungan dengan mata kailnya.
“Darwin...”
“Hmm?”
“Gadis itu, eumm maksudku Umairoh...”
Aku lantas menolehkan wajahku pada
Romi, “Apa?”
“Yeah, kau tahulah... Eung, aku tahu
kau mengetahuinya lebih dari siapapun,, jadi... maksudku.. hmmm yah
maksudku...”
“Berhentilah bertele-tele Rom,
sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”
“Heum, baiklah... Tapi kau harus
menjawab dengan jujur”, Romi masih memegangi pancingannya dan ia menatapku
dengan ekspresi seriusnya. Sedangkan aku kembali mengangguk menjawab
perkataannya. “Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Umairoh?”
Aku menautkan kedua alisku, bingung.
“Memangnya ada apa? Aku dan dia baik-baik saja...”, sejujurnya aku juga sangsi
dengan apa yang baru aku ucapkan.
“Benarkah? Tapi kulihat kalian tidak
lagi dekat seperti dulu.. Yah kau tahulah, siapapun bisa melihat kedekatan
kalian. Kalian sering jalan bersama, pulang bersama, makan siang di kantin
bersama-“
“Oke stop sampai di situ”, aku
memotong kalimatnya dengan cepat. Kulihat Romi mempoutkan bibirnya seperti anak
kecil. “Tidak usah mengatakan hal-hal tidak penting. Kalau kau masih akan terus
membicarakan hal itu, lebih baik aku pulang sekarang”.
Romi memutar bola matanya jengah.
“Aku tidak mengerti kenapa kau sekarang jadi menyebalkan seperti ini. Setiap
aku membicarakan Umairoh, kau seolah tidak ingin mendengarnya. Kau selalu
menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan gadis itu, kau ini aneh”
Aku menarik nafas dalam. Aku sudah
kehilangan mood-ku gara-gara anak ini memaksaku menemaninya memancing, dan
sekarang dia membicarakan gadis itu. Aku benar-benar kehilangan seluruh energi
positifku sekarang.
Untuk sekian menit tak ada
pembicaraan yang terjadi antara aku dan Romi. Anak itu terlalu sibuk dengan
pancingannya yang sejak tadi umpannya selalu gagal, sedangkan aku hanya menatap
sungai di depanku dengan pandangan kosong.
“Romi...”, panggilku dengan nada
rendah. Romi adalah sepupuku sekaligus sahabatku sejak kami masih kecil dan aku
selalu menceritakan apapun padanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan pribadiku.
Ia menatapku dengan ekspressi
apa-yang-ingin-kau-katakan?
“Eung, entahlah. Aku bingung akan
mulai dari mana”, aku melempar beberapa kerikil di sekitarku ke dalam sungai.
“Ckk, sekarang kau yang bertele-tele.
Katakan saja...”. Sebenarnya aku ragu untuk mengatakannya atau tidak.
“Hey, Darwin... Cepat katakan ada
apa?”, Romi mulai bosan karena sejak tadi aku tak mengatakan apapun.
Baiklah, kurasa aku tak perlu
mengatakannya kali ini. “Tidak ada”
“Huh?? Kau membuatku menunggu sejak
tadi tapi ternyata tidak ada yang kau katakan... Ckk”, Romi bangkit berdiri dan
membereskan peralatan pancingnya.
Aku menatapnya heran. Hey, ini bahkan
belum sampai satu jam. “Kau sudah mau pulang?”, tanyaku sambil memperhatikannya
yang masih sibuk dengan peralatan pancingnya.
“Heum begitulah. Kurasa hari ini
bukan keberuntunganku. Ikan-ikan itu terlalu sombong hari ini, jadi mereka
tidak ada yang mau memakan umpanku”
Aku terkekeh pelan. Anak ini mudah
sekali menyerah. Tapi baiklah, kurasa lebih baik kami pulang dari pada
berjam-jam berada di sini dan belum tentu mendapatkan ikan.
Aku membantu Romi membawa ember kecil
yang seharusnya dijadikan wadah untuk menaruh ikan hasil pancingan. Tapi karena
mungkin hari ini adalah hari sial Romi, jadi sekarang kami pulang dengan
membawa ember kosong. Kami berdua berjalan pulang sambil membicarakan banyak
hal. Hingga kami berdua berpisah di persimpangan jalan, Romi berbelok ke
sebelah kanan sedangkan aku ke sebelah kiri.
<3<3<3
Aku melangkah pelan menuju rumahku.
Matahari cukup terik saat ini, namun udara yang berhembus cukup segar. Kurasa
tak ada salahnya tadi menemani Romi memancing meskipun tak mendapatkan satu
ekor ikan pun.
“Windy?”, aku terkejut ketika
mendapati gadis itu berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada pagar tinggi di
depan rumahku dengan melipat kedua tangannya di depan dada. “Apa yang kau
lakukan di sini?”, tanyaku bingung sambil menghampirinya.
Kulihat ia langsung memperbaiki
posisi berdirinya dan menatapku tajam. Sedang aku hanya menatap bingung
padanya. “Ada ap-”
~plakk
Sebuah tamparan keras mendarat di
pipi kananku. Sekarang giliranku yang menatapnya tajam. Gadis ini berani
memukulku? Tsk... sontak aku memegangi pipiku yang berdenyut.
“Apa yang kau lakukah huh??!!”,
umpatku kesal.
“KAU TANYA APA YANG AKU LAKUKAN?
TANYAKAN SAJA PADA DIRIMU SENDIRI APA YANG TELAH KAU LAKUKAN, BODOH!”, ia
berteriak dengan suaranya yang melengking. Membuat telingaku terasa berdengung.
“KAU ITU PRIA PALING BODOH YANG
PERNAH KUKENAL”, teriaknya lagi masih dengan matanya yang menatap tajam padaku.
Sungguh aku benar-benar tidak
mengerti apa yang ia katakan. “Sebenarnya ada apa? Tolong katakan padaku agar
aku mengerti situasinya”
Kulihat ia tersenyum sinis padaku dan
menghentakkan kaki kanannya lantas pergi menjauh dari rumahku tanpa mengatakan
sepatah katapun. Menyisakan aku yang kebingungan dan rasa sakit di pipiku
akibat tamparannya tadi. Untunglah saat ini sedang tidak ada siapapun di
sekitar rumahku, jadi aku tidak perlu memasang muka tembok karena ditampar
seorang gadis.
Kuperhatikan wajahku lamat-lamat di
depan cermin saat aku sudah masuk ke dalam kamar. Ada sedikit warna kemerahan,
tapi untunglan tidak terlalu nampak. Tsk, gadis itu benar-benar.
“Aaargh”, erangku frsutasi lantas
menghempaskan tubuhku di atas spring bed. Hari ini rasanya benar-benar
menyebalkan. Tadi Romi memaksaku menemaninya memancing, dan sekarang aku
ditampar tanpa sebab. Ckkk.
Aku membalik tubuhku ke sebelah
kanan. Ada sebuah foto berbingkai merah di atas meja nakas, fotoku dan gadis
itu, errr maksudku Umairoh. Memang tak ada hubungan yang spesial di antara
kami, hanya sekedar teman dekat. Entahlah, aku sendiri tidak mengerti ada apa
dengan diriku. Tapi yang pasti perasaanku selalu campur aduk mengingat gadis
itu.
Aku merindukannya. Rasanya sudah
hampir sebulan ini aku mengacuhkannya. Kurasa aku mulai gila sekarang. Aku
merindukannya saat ia tak ada bersamaku, namun perasaan kesal menyelimutiku
jika ia berada dalam jarak pandangku.
Drtt drttt..
Ponselku berbunyi. Ya Tuhan, aku lupa
membawa ponselku tadi. Aku langsung menyambar ponselku di atas meja belajar,
ada panggilan masuk dari kakak laki-lakiku.
“Halo kak..”
“Darwin kau kemana saja? Aku sudah
menelpon berkali-kali tadi”, kudengar nada bicaranya cukup kesal.
“Tadi aku menemani Romi memancing dan
aku lupa membawa ponselku. Ada apa?”
“Hari ini aku dan Ibu akan pulang
malam, sekarang ini kami masih di rumah nenek. Jadi tolong katakan pada Ayah
ya... Tadi aku menelpon Ayah tapi tapi tidak ada jawaban...”
“Lantas aku dan Ayah makan apa kalau
Ibu belum pulang?”
“Ckk, kau kan bisa beli makanan siap
saji di luar”
“Hm, baiklah”
“Kalau begitu aku tutup telponnya”
Biip. Sambungan telpon terputus.
Kulihat ada sebuah pesan singkat yang
masuk. Hatiku sedikit bergetar ketika membaca nama pengirim pesan singkat ini.
From: Umairoh
Aku minta maaf jika selama ini sudah
merepotkanmu. Terima kasih sudah menjadi temanku selama ini, dan terima kasih
kau sudah membuatku merasakan bagaimana rasanya menyukai seorang pria.
Aku dan keluargaku pindah keluar
kota...
Semoga kita bertemu lagi suatu saat
nanti ^^
Deg!
Rasanya jantungku terjatuh dari
tempatnya. Apa maksudnya? Dia pindah? Dia pindah ke luar kota? Tapi kenapa?
Oke baiklah, aku masih bisa menerima
jika tadi Romi memaksaku menemaninya memancing, lalu Windy yang menamparku
tanpa sebab. Tapi ini... Dia akan pindah? Kenapa? Rasanya tubuhku mendadak
beku. Kulempar ponselku sembarangan ke atas meja belajar. Pesan tadi pasti ia
kirim saat aku sedang bersama Romi. Apa ini sebabnya Windy menamparku? Apa
Umairoh pindah karenaku?
Aku
menghela nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Aku tidak bisa berfikir saat
ini. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Bahkan aku tak tahu apakah aku
harus membalas pesan singkatnya atau tidak, dan meskipun aku membalasnya apa
yang harus aku katakan padanya? Terlalu banyak pertanyaan di benakku.
Kutarik
kursi belajarku dan mendudukkan diriku di atasnya. Kutenggelamkan wajahku pada
kedua tanganku yang dilipat di atas meja belajar. Jika ia memang akan pindah
kenapa dia tidak mengatakannya padaku? Kenapa ia baru mengatakannya sekarang?
Aku
tak tahu apa yang terjadi denganku karena tiba-tiba saja kakiku melangkah
keluar kamar dengan tergesak-gesak. Saat ini tujuanku adalah ke rumahnya.
Benar. Mungkin ia masih belum pergi dan masih ada waktu untuk mengatakan
beberapa hal yang selama ini ingin kukatakan padanya.
“Darwin
kau mau kemana??!” teriak Ayahku saat melihatku berlari ke luar rumah.
“Aku
akan ke rumah Umairoh sebentar!”, jawabku juga dengan setengah berteriak sambil
membuka pagar rumah.
Aku
tak tahu lagi apa yang ayahku katakan ketika aku sudah berlari cukup jauh dari
rumah. Saat ini aku bisa saja dikatakan orang bodoh. Padahal aku tidak perlu
bersusah payah berlari seperti ini karena aku bisa menggunakan motorku. Tapi
aku tidak punya waktu untuk mengeluarkan motorku dari garasi, saat ini aku
harus segera sampai ke rumahnya.
<3<3<3
Nafasku
tersengal-sengal ketika aku sampai di depan rumah Umairoh. Aku menahan tubuhku
dengan menumpu kedua tanganku pada lututku. Aku masih berusaha mengatur nafasku
saat aku menatap halaman rumahnya.
Kosong.
Halaman
rumah itu begitu kosong. Biasanya ada motor Umairoh yang terparkir sembarangan
di tengah halaman rumahnya. Kuperhatikan juga rumahnya, semua jendela tertutup
rapat dan tampak gelap di dalamnya.
Kulangkahkan
pelan kakiku memasuki halaman rumahnya. Lantas mendudukkan diriku pada sebuah
bangku panjang di dekat pohon mangga yang berada di pojok kanan. Tak tahu
bagaimana mendeskripsikan keadaanku saat ini. Terlalu melankolis memang jika
kukatakan duniaku mendadak kosong. Aku tahu aku salah. Selama hampir satu bulan
ini aku sudah mengabaikannya. Seharusnya aku tak pantas bersedih karna ia
pergi.
Aku
menatap langit siang yang berwarna biru. Hanya sedikit awan yang menghiasi.
Setetes air mata tanpa kusadari jatuh dengan sendirinya di sudut mataku. Aku
berharap, andai aku bisa kembali di waktu sebelum aku mulai menjauhinya. Ada
banyak hal yang ingin kukatakan padanya. Andai aku tahu ia akan pergi, aku tak
akan begini. Tssk. Sepertinya jiwaku memang sudah mulai terbawa suasana
melankolis.
Benar.
Lebih baik aku menghubunginya. Aku tahu aku harus membalas pesannya. Kembali
dengan sedikit berlari aku meninggalkan halaman rumah Umairoh untuk kembali ke
rumah mengambil ponselku yang tertinggal di kamar. Aku harus segera membalas
pesannya.
<3<3<3
Soledad
It’s a keeping for the lonely
Since the day that you were gone
Why did you leave me
Soledad
In my heart you were the only
And your memory lives on
Why did you leave me
Soledad
<3<3<3
Ini
sudah tiga minggu sejak Umairoh pergi. Puluhan pesan singkat sudah kukirim
untuknya namun tak ada satupun balasan darinya. Kini beragam pertanyaan muncul
di benakku. Apa dia membenciku sekarang? Apa dia tidak ingin bertemu denganku
lagi?
Biasanya
ia akan dengan hebohnya menemaniku di perpustakaan. Aku ingat bagaimana ia
sering menemaniku di perpustakaan ini meskipun kami lebih sering tertidur dan
berakhir dengan terbangun saat kampus sudah sepi. Aku bisa bayangkan bagaimana
perasaannya yang selama satu bulan terakhir sebelum ia pergi aku acuhkan.
Lagi-lagi aku merasa menjadi pria paling bodoh dan paling bersalah. Memang
benar kalau aku bersalah. Aku salah sudah mengabaikannya. Aku salah sudah
menjadi teman yang buruk untuknya.
Lamunanku
buyar seketika ketika seseorang menarik kursi di sampingku dan menghempaskan
sebuah buku di atas meja dengan cukup keras. Aku cukup terkejut ketika
mendapati siapa orang di sampingku.
“Kau
puas sekarang?”, ucapnya dengan sinis. Matanya menatapku tajam seperti dua
minggu lalu saat ia menamparku.
“Maksudmu?”,
tanyaku heran. Jujur aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan.
Kulirik
ia memutar matanya lantas kembali menatapku dengan sengit. “Bukankah ini yang
kau inginkan? Kau ingin Umairoh pergi kan? Kau ingin ia pergi agar tak ada lagi
yang ‘mengganggumu’.. aku benar kan? Oh atau aku salah? Bukan mengganggu, tapi
lebih tepatnya ‘merepotkanmu’. Cih, selamat kau sudah berhasil membuatnya pergi”.
Aku
menatap tak percaya pada Windy yang masih menatapku dengan tatapan sinisnya.
Apa yang ia katakan? Aku yang menginginkan Umairoh pergi katanya? “Win
dengarkan aku...”
“Apa?
Apa yang ingin kau katakan huh?? Kau ingin mengatakan kalau Umairoh pergi bukan
karenamu begitu?”, potong Windy sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku
menghirup nafas dalam dan menatap sendu pada Windy yang tampaknya begitu
membenciku. “Aku tak pernah menginginkan dia pergi Win...”
“Lalu
apa? Kenapa kau mengabaikannya??”
“Aku..”,
aku seolah kehabisan kata-kata. Aku bahkan bingung apa yang akan kukatakan.
Windy
menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi lantas melipat kedua tangannya di
depan dada. “Ia menyukaimu bodoh”
Mataku
terbelalak mendengar perkataan Windy barusan. “Mak, maksud... Maksudmu?”
Windy
menghembuskan nafasnya kasar. “Sebenarnya aku tidak ingin memberitahukan hal
ini padamu. Tapi sebagai sahabatnya, aku tak tega melihat sahabatku menjadi
terlihat menyedihkan gara-gara pria sepertimu. Aku tahu kau juga menyukainya
kan? Tapi kenapa kau lakukan itu pada Umairoh? Apa ia pernah berbuat salah
padamu hingga kau mengacuhkannya seolah ia orang asing bagimu?”
“Aku
tak tahu Win... Aku juga tak mengerti kenapa aku melakukan itu padanya”, aku
menatap kosong buku yang sejak tadi tidak kubaca sedikitpun. “Kau benar, aku
memang menyukainya. Tapi aku tak tahu kenapa setiap melihatnya perasaanku
sakit. Jujur aku takut perasaan ini aku menghancurkan pertemanan kami selama
ini. Dan aku pikir ini hanya perasaan sepihak, kupikir Umairoh tidak mungkin
menyukaiku. Oleh karena itu aku lebih memilih menjauh darinya sehingga-“
“Sehingga
perasaanmu padanya akan menghilang dengan seiring berjalannya waktu begitu?”,
lagi-lagi Windy memotong pembicaraanku. “Dasar egois”
Aku
kembali menatap bingung padanya.
“Kau
lebih mementingkan perasaanmu. Tapi kau tidak memikirkan bagaimana perasaan
Umairoh saat kau mengacuhkannya. Kau tak tahu kan hampir setiap malam gadis itu
menangis seperti orang bodoh? Kau itu bukan hanya pria bodoh ternyata, tapi
juga egois”, Windy memberi penekanan pada akhir kalimatnya.
Aku
tertunduk dalam mendengar ucapannya barusan. Windy benar. Aku egois. Aku bahkan
sudah membuat Umairoh menangis karena keegoisanku. “Lantas, apa yang harus aku
lakukan?”, lirihku.
Windy
membenarkan posisi duduknya, “Kau sudah menghubunginya?”
“Aku
sudah mengiriminya puluhan sms, tapi tak ada balasan satupun”
“Apa?
Hanya sms? Jadi kau tak pernah mencoba menelponnya?”, Windy menaikkan nada
suaranya. Aku hanya bisa kembali tertunduk. Jujur aku ingin sekali menelponnya,
tapi aku tak berani. Aku takut mendengar suaranya jika ia marah padaku. “Tapi
percuma saja”, Windy kembali menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
“Maksudmu?”
“Ponselnya
tidak bisa dihubungi. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya tapi ponselnya
tidak aktif”
Aku
kembali terkejut kali ini. Ponselnya tidak aktif? Buru-buru aku mengambil
ponsel di saku celanaku dan menghubungi nomor Umairoh. Dan benar saja. Yang aku
dengar hanya suara operator telpon selular. Pantas saja tak ada satupun pesanku
yang ia balas.
“Aku
merindukan Umairoh Darwin...”, ucap Windy begitu pelan.
“Maafkan
aku Windy. Aku sudah membuatnya pergi... Aku juga merasa kesepian tanpanya.
Seharusnya saat itu aku tak menjauhinya”, kataku juga tak kalah pelan. Jujur
aku semakin menyesal mengingat bagaimana sikapku padanya saat itu.
“Sudahlah
Darwin... Yang penting sekarang aku sudah mengatakan yang sebenarnya kalau
Umairoh juga menyukaimu. Tolong kabari aku kalau mendapat kabar darinya”, Windy
bangkit dari kursinya dan menepuk pelan pundakku sebelum ia berjalan menjauh
keluar perpustakaan.
Aku
kembali menatap kosong pada buku di atas meja yang isinya kubiarkan terbuka.
Aku baru mengerti sekarang bagaimana rasanya merasa kesepian di saat seseorang
pergi. Apalagi seseorang itu pergi karena kesalahanku.
Umairoh,
aku merindukanmu.
<3<3<3
Walking down the streets of Nothingville
Where our love was young and free
Can’t believe just what an empty place
It has come to be
I would give my life away
If it could only be the same
‘Cause I can still hear the voice inside of me
That is calling your name
<3<3<3
“Kau
tak membawa motormu Darwin?”, tanya Romi saat kami berjalan beriringan keluar
kelas usai mata kuliah Statistik.
“Aku
sedang malas membawa motor Rom..”
“Mau
pulang denganku?”, tawarnya.
Aku
menggeleng pelan, “Tidak usah terima kasih. Aku sedang ingin berjalan kaki hari
ini”
“Hmm
baiklah kalau begitu. Aku duluan ya Dude...”, Romi lantas berjalan lebih cepat
mendahuluiku menuju parkiran kampus.
Hari
ini aku tak langsung pulang ke rumah. Aku melangkahkan kakiku ke sebuah taman
tak jauh dari kampus. Aku duduk di atas rumput di bawah pohon pinus yang tidak
terlalu tinggi. Tempat ini cukup teduh, dan yang pasti... Tempat ini biasa aku
datangi bersama Umairoh jika kami sedang ingin melepas penat saat pulang
kuliah.
Berbagai
memori berkelebat di benakku mengingat betapa banyaknya waktu yang kami
habiskan di tempat ini.
Flashback
“Ugh,
rasanya punggungku mau patah”, Umairoh melempar tasnya sembarangan di atas
rumput lalu duduk di bawah pohon pinus sambil bersandar pada batang pohon.
Aku
terkekeh pelan melihatnya, lantas ikut duduk di sampingnya. “Salah sendiri kau
mengerjakan soal akuntansi terlalu bersemangat”
Kulihat
ia mepoutkan bibirnya kesal. Terlihat benar-benar seperti anak kecil yang tidak
dibelikan mainan oleh ibunya. “Tapi aku suka akuntansi okey”
“Iya
aku tau. Tapi kan kalau soalnya sebanyak itu kau masih bisa mengerjakannya
besok, toh minggu depan tugas itu baru diserahkan kepada dosen”, aku mengambil
dua kaleng soft drink dari dalam ranselku dan kuberikan salah satu padanya.
“Tapi
aku kan hanya ingin menyelesaikan semuanya...”
“Hmm,
iya terserah kau saja. Tapi lihatkan, kau sendiri yang pegal gara-gara terlalu
serisus mengerjakan soal sebanyak itu”
Ia
menenggak air di dalam soft drink sampai isinya habis. Sepertinya gadis ini
benar-benar kehausan. “Ahhh.. segarnya...”, ucapnya dengan nada bicaranya yang
ia buat seimut mungkin.
“Aku
lapar”, kataku sambil merebahkan tubuhku dengan tasku yang kujadikan bantal.
Umairoh
meregangkan tangannya untuk merilekskan ototnya. “Nanti saja kita makan, aku
masih ingin duduk di sini. Biar aku yang traktir”
“Benarkah?
Baiklah kalau begitu... Eum, aku ingin tidur sebentar, nanti bangunkan aku”,
aku mencoba memejamkan mataku.
“Hey
tidak boleh!”, ia lantas mengguncang-guncangkan bahuku membuatku terpaksa
membuka mataku yang rasanya sudah diberi selotip.
“Eung.. Kenapa? Aku ngantuk...”, ucapku serak.
“Kalau
kau tidur nanti aku juga ketiduran... Bagaimana kalau kita baru bangun senja
nanti? Orangtuaku pasti marah kalau aku pulang senja”
“Jadi
kita hanya akan menatap orang-orang yang berlalu lalang di sekitar sini
begitu?”
Umairoh
menggaruk tengkuknya sambil memasang ekspresi berpikir, “Hmmm... Kau benar.
Kira-kira kita akan melakukan apa ya yang menyenangkan?? Ah, bagaimana jika
kita bermain gombalan saja?”
“Bermain
gombalan? Permainan macam apa itu?”, aku langsung bangkit dan duduk bersila.
“Hanya
gombal-gombalan... Ayolah, pasti seru”, bujuknya sambil menarik-narik tanganku.
“Baiklah
kalau begitu, karena kau yang punya ide jadi kau yang mulai duluan... Yang
bagus ya gombalannya, awas kalau gombalannya garing”
Ia
mengangguk semangat. “Darwin...”
“Hm?”
“Tahu
tidak perbedaannya antara kau dan Laporan Arus Kas?”
“Laporan
Arus Kas? Aku bahkan bak tahu Laporan Arus Kas itu seperti apa... Haha... Jadi
apa perbedaannya aku dengan laporan itu?”
“Tsk
kau tak tahu Laporan Arus Kas? Baiklah aku beritahu. Kalau Laporan Arus Kas itu
untuk menghitung aliran dana kas yang terjadi selama satu periode akuntansi,
tapi kau membuatku tak bisa menghitung berapa banyak aliran waktu yang berlalu
untuk memikirkanmu”, ujarnya sedikit heboh.
Sebenarnya
aku speechless mendengar gombalannya. Tapi aku tidak mau mengakui kalau
gombalannya cukup baik juga, haha. “Lumayan. Sekarang giliranku..”
“Kau
tidak tersentuh dengan gombalanku?”, ia sedikit cemberut karena aku memasang
ekspresi datar.
“Hmm
begitulah... Oh iya, kau lihat kan sepatuku ini?”, aku menunjuk sepatuku, lantas
ia mengangguk bersemangat.
“Sepatuku
ini sudah lama dan belum pernah aku ganti. Aku ingin kita berdua seperti
sepasang sepatuku ini, selalu bersama dalam waktu yang lama.. Bahkan kalau
perlu selamanyaaaa..”
“Tapi
aku tidak ingin seperti sepatumu”, Umairoh memasang ekspressi cemberut -lagi.
Aku
menautkan kedua alisku dan menatap bingung padanya, “Memangnya kenapa? Bukankah
itu cukup romantis?”
“Karena
sepatumu itu bau... Hahahaaa”, ia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi
perutnya.
Sekarang
aku menatapnya dengan deat-glare terbaikku. “Ckkk kau ini. Baiklah sekarang
giliranmu lagi”
“Apa
perbedaan seorang Darwin dengan Rekonsiliasi Bank?”, kedua sudut bibirnya
tertarik membentuk sebuah lengkungan yang sangat aku sukai.
“Entahlah,
aku malas berpikir. Jadi apa bedanya?”
Ia
menyipitkan matanya menatapku, “Kau malas berpikir atau memang kau tidak tahu
apa itu Rekonsiliasi Bank? Baiklah.. Kuberitahu. Kalau Rekonsiliasi Bank itu
berfungsi untuk menyamakan jumlah kas di perusahaan dengan rekening koran,
sedangkan kau membuatku berusaha menyamakan takdir yang terjadi diantara
kita... haha..”, ucapnya dengan bangga.
Tanpa
sadar aku juga ikut tersenyum. Gadis ini benar-benar pandai menggombal.
“Baiklah, aku cukup tersentuh dengan gombalanmu. Sekarang, apa perbedaan kau
dan srigala?”
Ia
tampak berpikir, “Kalau srigala menyeramkan, sedangkan aku membuatmu selalu
merindukanku”
“Cih,
kau ini percaya diri sekali”, aku mencibirnya. “Kau mau tahu perbedaannya?
Kalau srigala itu jauh di hutan, sedangkan kau.... dekat di ketiakku...
hahaha”, aku segera bangkit berdiri karena aku tahu setelah ini ia pasti akan
murka.
“Apa
kau bilang Darwin??? Hey jangan pergi!!! Kemari kau... Aku akan mencubitmu...
Hey Darwin jangan lari!!!”, ia berteriak sambil mengejarku.
Sedangkan
aku terus berusaha berlari menghindarinya sambil tertawa melihat bagaimana
lucunya ekspresinya ketika kesal. “Ayo kejar aku kalau bisa, hahaa.. Kakimu itu
terlalu pendek untuk bisa mengejarku.. weee”, aku memeletkan lidahku
mengoloknya.
“Awas
kau Darwin!”
Flashback
end
Aku
bisa mengingat dengan jelas kajadian waktu itu di taman ini. Bahkan tiap
seminggu sekali kami akan menghabiskan waktu di sini. Sekarang rasanya
benar-benar sepi tanpanya. Rasanya lebih sepi dibanding saat aku
mengacuhkannya. Saat itu aku masih bisa melihatnya dalam jarak pandangku. Tapi
sekarang, aku bahkan tak tahu ia di mana. Bagaimana keadaannya, apa yang ia
lakukan sekarang.
Kurasakan
ponselku berdering di saku celanaku. Sebuah panggilan masuk dari Romi.
“Halo
Rom...”
“Hey
Dude kau di mana?”
“Di
taman dekat kampus. Ada apa?”
“Tidak
ada. Aku hanya khawatir denganmu. Jangan sering-sering melamun, aku tidak ingin
kau seperti orang gila karena merindukan pujaan hatimu itu”
Tsk
anak ini, awas saja dia berani mengataiku orang gila lagi. “Kalau kau hanya
ingin mengatkan hal itu aku tutp telponnya”
“Ah,
kau ini kenapa sensitif sekali sekarang? Aku hanya ingin menghiburmu sepupu. Iya aku tahu bagaimana
perasaanmu sekarang, kau pasti sangat merindukannya. Tapi kau harus tetap
semangat Bung... Emm, oh iya apa kau sudah makan?”
“Belum.
Tapi tumben sekali kau perhatian padaku... Pasti ada sesuatu”
“Hehee..
Kau tahu saja. Ah kalau begitu jangan lupa makan ya, dan jangan sering melamun.
Kalau kau dan Umairoh berjodoh kalian pasti akan bertemu lagi kok. Dan satu
lagi, nanti malam
aku ke rumahmu ya, aku ingin mencontek tugas matematika, haha. Sampai bertemu
nanti malam sepupu”
Bip.
Sambungan telpon diputuskan sepihak oleh Romi. Dan yeah aku benar kan? Dia akan
baik padaku kalau ada maunya saja. Ckk. Tapi perkataan Romi tadi ada benarnya
juga.
Umairoh...
Aku semakin merindukannya.
<3<3<3
Sudah
tiga bulan lebih bulan sejak Umairoh pergi. Tidak ada yang berubah, aku tetap
menjalani aktivitasku seperti biasa sebagai mahasiswa di kampus. Hanya saja,
aku tak lagi bersemangat seperti dulu saat ia masih ada bersamaku.
Biasanya
tiap pagi sebelum berangkat kuliah ia selalu menelponku, atau aku yang
menelponnya duluan. Begitupun malam hari. Kini semuanya begitu sepi. Aku hanya
berharap ia menghubungiku. Aku sudah mencoba berkali-kali menghubunginya dan
sudah tak terhitung lagi berapa banyak pesan singkat yang aku kirim.
Kadang
aku terkejut jika ada sebuah pesan yang masuk atau bunyi panggilan telpon
berdering. Aku sangat berharap itu Umairoh. Tapi aku harus menelan harapan itu.
Bahkan tak jarang aku tak membalas pesan-pesan yang masuk dalam inbox-ku.
“Lagi-lagi
kau melamun...”, suara Romi kembali membawaku ke dunia nyata. Sekarang Romi
sedang di kamarku.
Aku
hanya tersenyum simpul menatapnya. Saat ini kami sedang libur semester dan Romi
berniat untuk mengajakku menemaninya memancing. Anak ini benar-benar hobby
memancing, tapi ia selalu memintaku menemaninya. Kadang aku kesal dengannya
karena ia suka sekali memaksaku. Tapi hari ini aku tidak ingin kemana-mana, aku
hanya ingin beristirahat.
“Foto
ini masih kau simpan?”, Romi mengambil foto berbingkai merah di meja nakas.
“Ayolah Darwin.. Move on”
“Tidak
semudah itu Romi...”
Romi
kembali meletakkan foto itu ke tempat asalnya, lalu duduk di tepi ranjang.
Sedangkan aku masih berdiri di samping jendela memandangi jalanan yang sunyi
karena beberapa menit yang lalu hujan turun cukup deras.
“Kau
merindukannya?”
“Aku
tidak hanya merindukannya, tapi semakin merindukannya..”, lirihku. Entahlah apakah
Romi mendengar suaraku atau tidak karena bunyi hujan yang cukup nyaring karena
hujan di luar semakin deras.
Hujan
seperti ini mengingatkanku pada Umairoh yang begitu membenci hujan. Sebenarnya
bukan karena ia benar-benar membenci hujan, tapi daya tahan tubuhnya yang lemah
membuatnya kerap kali diserang flu meskipun hanya terkena sedikit air hujan.
Flashback
“Aargh,
kenapa hujan tiba-tiba turun di saat seperti ini??”, Umairoh terus saja
mengomel sejak delapan menit yang lalu saat tetesan hujan pertama kali
menyentuh tanah. Sekarang kami sedang terjebak hujan ketika sedang
berjalan-jalan untuk melihat festival tahunan dan terpaksa berteduh di bawah
kanopi salah satu toko boneka.
“Berhentilah
menggerutu seperti itu. Hujan ini kan Rahmat Tuhan”, aku mencoba
menenangkannya.
“Tapi
hujan ini,, Hatsyuuuu....”
Aku
terkekeh melihatnya yang mulai bersin-bersin, gadis ini memang alergi terhadap
hujan. Kuperhatikan sejak tadi ia menggosok kedua telapak tangannya mengusir
dingin. Kulepaskan jaket hitamku dan kusampirkan ke bahunya berharap ia bisa
merasa sedikit hangat. “Bagaimana? Tidak terlalu dingin lagi kan?”, tanyaku
sambil memperbaiki posisi jaketku di bahunya.
Ia menatapku
cukup lama yang membuatku juga ikut menatapnya dengan posisi tanganku masih
berada di bahunya. “Ehmm..”, aku berdehem untuk mengusir aura canggung yang
tiba-tiba melingkupi kami. Sontak Umairoh membuang tatapannya ke arah lain dan
aku juga lantas menolehkan wajahku ke jalanan di hadapan kami dan tanpa sadar
menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal untuk menghilangkan grogi.
Flashback
end
“Hey
Darwin, helo.. Kau masih di situ? Ckk... Lagi-lagi kau melamun”, suara Romi
kembali menyadarkanku. Aku menatap Romi yang menghela nafas. “Aku tahu kau
pasti merasa bersalah. Tidak hanya itu, kau pasti juga menyesal...”
“Tidak
hanya itu Rom, aku bahkan tak bisa tidur setiap aku teringat dengan kesalahanku
padanya..”
“Kau
tidak berusaha mencarinya?”, Romi mengambil sebuah komik yang tergeletak di
samping bantal.
“Bagaimana
aku bisa mencarinya? Ia bahkan tidak lagi menggunakan akun social media-nya”,
aku berjalan menghampiri Romi dan duduk di sampingnya. “Aku merindukannya, aku
mencemaskannya, aku mengkhawatirkannya..”, sambungku lagi.
Romi
menatapku sekilas dengan iba. Lalu ia kembali beralih pada komik yang ia
pegang. “Apa kau tidak bertanya dengan teman-temannya yang lain?”
“Siapa?
Windy? Windy juga tak tahu...”
“Selain
Windy tidak ada?”
“Umairoh
itu tidak terlalu pandai bergaul Rom... Teman-temannya tidak begitu banyak”,
aku menghela nafas panjang.
“Kasihan
sekali kau sobat...”, Romi kembali memasang ekspressi iba-nya. “Apa kau tidak
ingin membuat brosur untuk mencari Umairoh? Kau pasang di penjuru kota, siapa
tahu ada yang melihatnya...”, sambungnya dengan memasang wajah tanpa dosa.
Aku
meninju pelan lengannya, “Kau pikir Umairoh itu hewan peliharaan yang hilang?
Lagipula dia sekarang ada di luar kota”
Romi
tertawa pelan, “Aku tahu.. Aku hanya bercanda. Aku hanya tidak suka suasana
yang melankolis”. Ia meletakkan komik yang sedari tadi hanya ia bolak balik ke
tempatnya semula. “Jadi bagaimana?”
“Apanya?”
“Apa
kau ingin move on?”
“Bagaimana
caranya?”
Romi
tersenyum lalu menaik turunkan kedua alisnya, “Aku akan membawamu ke acara
kencan buta”
Lagi-lagi
kutinju lengannya namun kali ini lebih keras hingga ia meringis, “Kau pikir aku
sedang mencari jodoh? Lagi pula aku tidak bisa semudah itu melupakannya”
“Kau
sudah cinta mati dengan gadis itu rupanya”, Romi menggeleng pelan. “Kenapa sih
saat itu kau tidak nyatakan saja perasaanmu? Kau lihatkan sekarang akhirnya
kau yang tersiksa..”
“Aku
tidak berani melakukannya Rom, aku takut perasaanku merusak hugungan baik yang
selama ini terjalin antara aku dan Umairoh”, terangku.
Romi
menepuk pelan pundakku lantas berdiri, “Maaf sobat, aku tidak bisa membantumu
meringankan bebanmu... Yah kau tahu lah, aku tidak begitu pandai mengenai
urusan perasaan seperti ini, tapi kuharap kau segera menemukan Umairoh”, ia
berjalan menuju pintu kamar.
“Kau
mau kemana?”
“Membantu
Ibumu di dapur... Aku sudah kelaparan dari tadi...”, dan ia pun berlalu
berjalan keluar kamarku.
Aku
memperhatikan punggungnya hingga menghilang di balik pintu. Romi benar, mungkin
tak ada yang bisa membantuku dalam hal ini. Mungkin hanya kehadiran gadis itu
yang aku butuhkan. Aku terlalu merindukannya sampai-sampai dadaku rasanya sesak
setiap mengingatnya.
<3<3<3
Hari
ini hari ulang tahunku. Tak ada yang spesial, hanya beberapa temanku yang
mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Tak ada yang mengucapkan selamat ulang
tahun tepat jam 12 malam seperti dulu. Biasanya Umairoh akan menghubungiku
tengah malam dan berteriak melalui ponselnya mengatakan selamat ulang tahun.
Aku
terkekeh pelan mengingatnya. Sepertinya aku sudah hampir gila karena merindukan
gadis itu. Aku kesepian tanpanya.
Hari
ini aku duduk di bangku halaman rumah Umairoh yang masih belum ada penghuninya.
Aku masih berharap ia akan pulang kembali ke rumahnya ini. Terlihat bodoh
memang. Dulu, di bangku ini aku sering menunggunya untuk berangkat ke kampus
bersama, di bangku ini juga kami sering mengobrol usai aku mengantarnya pulang.
Terlalu banyak kenanganku bersama gadis itu yang tak bisa kulupakan.
Sebuah
pesan singkat masuk dari nomor yang tidak kukenal.
From:
085xxx
Darwin,
Selamat
ulang tahun ^^ Maaf tidak bisa mengucapkannya tadi malam. Aku berharap kau
bahagia tahun ini dan seterusnya...
Sekali
lagi selamat ulang tahun J
Aku
bingung menatap layar ponsel. Bagaimana orang ini tahu kalau hari ini ulang
tahunku? Apa dia salah satu temanku di kampus?
Belum
selesai kebingunganku dengan nomor tidak dikenal ini, sebuah panggilan masuk
berdering dari nomor yang mengirim pesan singkat tadi. Cukup ragu aku untuk
mengangkatnya, hingga beberapa detik kemudian kutekan tombol hijau di ponselku.
“Halo”,
jawabku malas. Aku pikir ini hanya temanku di kampus yang mengganti nomor.
“Halo”, suara seorang gadis mengalun lembut
dari penelpon di seberang sana. Suara ini... membuat seluruh sistem kerja
tubuhku berhenti mendadak. Bahkan jantungku seakan terlepas saking terkejutnya,
dan untuk bernafaspun aku tiba-tiba lupa bagaimana caranya. Sekian sekon aku
menahan nafas dan tubuhku membeku seketika.
Kurasa
aku memang sudah gila sekarang.
“Halo
Darwin... Kau masih di sana?”, suara pelan gadis itu menyadarkanku. Dan meyakinkanku kalau
pendengaranku tidak salah. Tenggorokanku rasanya terkecat meskipun untuk
mengucapkan sepatah kata. Hingga lagi-lagi suara gadis itu membuatku berusaha mati-matian
menahan isakan yang tiba-tiba membuncah di dadaku.
“Darwin...”
“Um..
Umairoh... Umairoh...”, akhirnya aku berhasil mengeluarkan suaraku, mungkin
sekarang terdengar bergetar. Sungguh ingin sekali menangis rasanya saat ini.
“Iya
Darwin.. ini aku...”
“Umairoh,
kau kemana saja? Kau di mana sekarang? Apa kau baik-baik saja di sana? Kenapa
kau tidak pernah menghubungiku? Kenapa nomormu yang dulu tidak aktif? Kau tidak
tahu betapa aku mengkhawatirkanmu??”, aku tak tahu kenapa aku tiba-tiba
mengatakan segalanya yang selama ini mengganggu pikiranku.
Kudengar
ia tertawa pelan di seberang sana. “Hey, aku serius”
“Iya
aku tahu. Tapi pertanyaanmu banyak sekali”, jawabnya masil sambil tertawa.
“Mer...”
“Hm?”
Aku
tak tahu kenapa tiba-tiba saja aku ingin menangis sekarang. Mungkin tak apa
jika Umairoh di sana menganggapku cengeng. “Maafkan aku”, kataku tulus. Dan air
mata mulai mengalir saat kukatakan kalimat yang selama ini selalu ingin kukatakan
padanya.
Tidak
ada jawaban darinya. Hingga seratus dua puluh detik berikutnya kami hanya
terdiam, aku bahkan takut sekarang kalau ia tidak memaafkanku. “Umairoh...”,
lirihku akhirnya setelah hampir tiga menit tak ada suara di seberang sana.
Aku bisa
mendengar ia menghela nafas, “Tak apa Darwin, Windy sudah mengatakan
semuanya. Aku tidak marah padamu...”
Kedua
sudut bibirku terangkat, aku bahkan cukup malu sekarang jika Windy mengatakan
padanya kalau aku menyukainya. Seharusnya biar aku yang mengatakannya sendiri.
“Terima kasih Mer... Tapi, selama ini kau kemana saja? Kenapa nomormu yang dulu
tidak aktif?”
“Oh,
ponselku yang dulu hilang, tidak tahu di mana. Tapi maaf baru sekarang aku baru
sempat menghubungimu, aku juga baru sempat menghubungi Windy semalam...Oh iya,
selamat ulang tahun yaa. Maaf aku tidak bersamamu sekarang, aku masih belum
bisa ke sana dalam waktu dekat ini karena aku sedang membantu bisnis orang
tuaku di sini”
Aku
semakin memperlebar senyumku. Aku merindukannya. Aku merindukan suaranya. Aku
merindukan celotehan dari mulutnya. Aku merindukan saat ia menyebut namaku. Ah,
mungkin kalau ada orang lain yang melihatku saat ini pasti aku sudah dikatai
seperti orang tidak waras. “Iya Mer tak apa, kau menelponku sekarang saja
bagiku adalah kado terindah”.
Hingga
kami kembali terdiam. Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, terlalu
banyak hal yang ingin kukatakan padanya sehingga aku bingung apa yang pertama
akan kukatakan.
“Umairoh..”
“Ya?”
“Aku...
Merindukanmu...”
<3<3<3
Time will never change the things you told me
After all we’re meant to be
Love will bring us back to you and me
If only you could see
<3<3<3
.
.
Fin
.
Ehmm,
test test..
Okey
aku nggak tau kenapa ceritanya jadi sok melankolis beginian huaah... ini
kayaknya nggak nyambung banget sama judulnya, tapi Yesungdah yang penting
sequelnya udah jadi. Dan ini inspirasinya muncul karena temanku-yang-nyebelin
yang tergila-gila sama lagu Soledad-nya Westlife.
Semoga
ceritanya ini tidak mengecewakan yah ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar