Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Sabtu, 10 Mei 2014

(Cerpen) SOLEDAD



SOLEDAD
(Sequel of Coagulation)
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Inspired By:
Westlife – Soledad

Cast:
Darwin, Umairoh, Windy, Romi

Lenght:
Oneshoot

Warning:
Bahasa tidak sesuai EYD, typo, alur cerita kecepetan, cerita nggak sesuai judul, dll

.
.

<3<3<3

If only you could see the tears
In the world you left behind
If only you could heal my heart
Just one more time, Even when I close my eyes
There’s an image of your face
And once again I come to realise
You’re a loss I can’t replace
.

<3<3<3

Hari ini seharusnya menjadi hari yang menyenangkan untukku karna hari ini adalah hari Minggu. Hari yang sangat kutunggu-tunggu karna hanya pada hari ini aku bisa bersantai di rumah. Tapi karna manusia tak tahu diri ini datang ke rumahku dan dengan seenaknya menyeretku secara paksa untuk menemaninya memancing. Dan yeah... Beginilah aku sekarang. Sedang berada di tepi sungai di bawah terik matahari meskipun saat ini masih pukul sepuluh pagi.

Sebenarnya bukan aku benar-benar tidak senang di sini, hanya saja hari ini aku sedang ingin bersantai di rumah.

“Berhentilah melamun... Ini masih pagi dan aku tidak ingin malu di hadapan orang-orang karna temanku yang kerasukan tiba-tiba”.

Tssk, anak ini. Sontak saja aku langsung mencipratkan air ke wajahnya. “Tidak usah mengurusiku. Kau urus saja pancinganmu”

Kulihat ia terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. “Kau tidak ingin memancing?”

Aku hanya menggeleng. Aku sedang tidak dalam mood yang baik hari ini untuk memancing, jadi aku lebih memilih melihat teman-aneh-ku ini saja mengadu peruntungan dengan mata kailnya.

“Darwin...”

“Hmm?”

“Gadis itu, eumm maksudku Umairoh...”

Aku lantas menolehkan wajahku pada Romi, “Apa?”

“Yeah, kau tahulah... Eung, aku tahu kau mengetahuinya lebih dari siapapun,, jadi... maksudku.. hmmm yah maksudku...”

“Berhentilah bertele-tele Rom, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”

“Heum, baiklah... Tapi kau harus menjawab dengan jujur”, Romi masih memegangi pancingannya dan ia menatapku dengan ekspresi seriusnya. Sedangkan aku kembali mengangguk menjawab perkataannya. “Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Umairoh?”

Aku menautkan kedua alisku, bingung. “Memangnya ada apa? Aku dan dia baik-baik saja...”, sejujurnya aku juga sangsi dengan apa yang baru aku ucapkan.

“Benarkah? Tapi kulihat kalian tidak lagi dekat seperti dulu.. Yah kau tahulah, siapapun bisa melihat kedekatan kalian. Kalian sering jalan bersama, pulang bersama, makan siang di kantin bersama-“

“Oke stop sampai di situ”, aku memotong kalimatnya dengan cepat. Kulihat Romi mempoutkan bibirnya seperti anak kecil. “Tidak usah mengatakan hal-hal tidak penting. Kalau kau masih akan terus membicarakan hal itu, lebih baik aku pulang sekarang”.

Romi memutar bola matanya jengah. “Aku tidak mengerti kenapa kau sekarang jadi menyebalkan seperti ini. Setiap aku membicarakan Umairoh, kau seolah tidak ingin mendengarnya. Kau selalu menghindari pembicaraan yang berkaitan dengan gadis itu, kau ini aneh”

Aku menarik nafas dalam. Aku sudah kehilangan mood-ku gara-gara anak ini memaksaku menemaninya memancing, dan sekarang dia membicarakan gadis itu. Aku benar-benar kehilangan seluruh energi positifku sekarang.

Untuk sekian menit tak ada pembicaraan yang terjadi antara aku dan Romi. Anak itu terlalu sibuk dengan pancingannya yang sejak tadi umpannya selalu gagal, sedangkan aku hanya menatap sungai di depanku dengan pandangan kosong.

“Romi...”, panggilku dengan nada rendah. Romi adalah sepupuku sekaligus sahabatku sejak kami masih kecil dan aku selalu menceritakan apapun padanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadiku.

Ia menatapku dengan ekspressi apa-yang-ingin-kau-katakan?

“Eung, entahlah. Aku bingung akan mulai dari mana”, aku melempar beberapa kerikil di sekitarku ke dalam sungai.

“Ckk, sekarang kau yang bertele-tele. Katakan saja...”. Sebenarnya aku ragu untuk mengatakannya atau tidak.

“Hey, Darwin... Cepat katakan ada apa?”, Romi mulai bosan karena sejak tadi aku tak mengatakan apapun.

Baiklah, kurasa aku tak perlu mengatakannya kali ini. “Tidak ada”

“Huh?? Kau membuatku menunggu sejak tadi tapi ternyata tidak ada yang kau katakan... Ckk”, Romi bangkit berdiri dan membereskan peralatan pancingnya.

Aku menatapnya heran. Hey, ini bahkan belum sampai satu jam. “Kau sudah mau pulang?”, tanyaku sambil memperhatikannya yang masih sibuk dengan peralatan pancingnya.

“Heum begitulah. Kurasa hari ini bukan keberuntunganku. Ikan-ikan itu terlalu sombong hari ini, jadi mereka tidak ada yang mau memakan umpanku”

Aku terkekeh pelan. Anak ini mudah sekali menyerah. Tapi baiklah, kurasa lebih baik kami pulang dari pada berjam-jam berada di sini dan belum tentu mendapatkan ikan.

Aku membantu Romi membawa ember kecil yang seharusnya dijadikan wadah untuk menaruh ikan hasil pancingan. Tapi karena mungkin hari ini adalah hari sial Romi, jadi sekarang kami pulang dengan membawa ember kosong. Kami berdua berjalan pulang sambil membicarakan banyak hal. Hingga kami berdua berpisah di persimpangan jalan, Romi berbelok ke sebelah kanan sedangkan aku ke sebelah kiri.

<3<3<3

Aku melangkah pelan menuju rumahku. Matahari cukup terik saat ini, namun udara yang berhembus cukup segar. Kurasa tak ada salahnya tadi menemani Romi memancing meskipun tak mendapatkan satu ekor ikan pun.

“Windy?”, aku terkejut ketika mendapati gadis itu berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada pagar tinggi di depan rumahku dengan melipat kedua tangannya di depan dada. “Apa yang kau lakukan di sini?”, tanyaku bingung sambil menghampirinya.

Kulihat ia langsung memperbaiki posisi berdirinya dan menatapku tajam. Sedang aku hanya menatap bingung padanya. “Ada ap-”

~plakk

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kananku. Sekarang giliranku yang menatapnya tajam. Gadis ini berani memukulku? Tsk... sontak aku memegangi pipiku yang berdenyut.

“Apa yang kau lakukah huh??!!”, umpatku kesal.

“KAU TANYA APA YANG AKU LAKUKAN? TANYAKAN SAJA PADA DIRIMU SENDIRI APA YANG TELAH KAU LAKUKAN, BODOH!”, ia berteriak dengan suaranya yang melengking. Membuat telingaku terasa berdengung.

“KAU ITU PRIA PALING BODOH YANG PERNAH KUKENAL”, teriaknya lagi masih dengan matanya yang menatap tajam padaku.

Sungguh aku benar-benar tidak mengerti apa yang ia katakan. “Sebenarnya ada apa? Tolong katakan padaku agar aku mengerti situasinya”

Kulihat ia tersenyum sinis padaku dan menghentakkan kaki kanannya lantas pergi menjauh dari rumahku tanpa mengatakan sepatah katapun. Menyisakan aku yang kebingungan dan rasa sakit di pipiku akibat tamparannya tadi. Untunglah saat ini sedang tidak ada siapapun di sekitar rumahku, jadi aku tidak perlu memasang muka tembok karena ditampar seorang gadis.

Kuperhatikan wajahku lamat-lamat di depan cermin saat aku sudah masuk ke dalam kamar. Ada sedikit warna kemerahan, tapi untunglan tidak terlalu nampak. Tsk, gadis itu benar-benar.

“Aaargh”, erangku frsutasi lantas menghempaskan tubuhku di atas spring bed. Hari ini rasanya benar-benar menyebalkan. Tadi Romi memaksaku menemaninya memancing, dan sekarang aku ditampar tanpa sebab. Ckkk.

Aku membalik tubuhku ke sebelah kanan. Ada sebuah foto berbingkai merah di atas meja nakas, fotoku dan gadis itu, errr maksudku Umairoh. Memang tak ada hubungan yang spesial di antara kami, hanya sekedar teman dekat. Entahlah, aku sendiri tidak mengerti ada apa dengan diriku. Tapi yang pasti perasaanku selalu campur aduk mengingat gadis itu.

Aku merindukannya. Rasanya sudah hampir sebulan ini aku mengacuhkannya. Kurasa aku mulai gila sekarang. Aku merindukannya saat ia tak ada bersamaku, namun perasaan kesal menyelimutiku jika ia berada dalam jarak pandangku.

Drtt drttt..

Ponselku berbunyi. Ya Tuhan, aku lupa membawa ponselku tadi. Aku langsung menyambar ponselku di atas meja belajar, ada panggilan masuk dari kakak laki-lakiku.

“Halo kak..”

Darwin kau kemana saja? Aku sudah menelpon berkali-kali tadi”, kudengar nada bicaranya cukup kesal.

“Tadi aku menemani Romi memancing dan aku lupa membawa ponselku. Ada apa?”

“Hari ini aku dan Ibu akan pulang malam, sekarang ini kami masih di rumah nenek. Jadi tolong katakan pada Ayah ya... Tadi aku menelpon Ayah tapi tapi tidak ada jawaban...”

“Lantas aku dan Ayah makan apa kalau Ibu belum pulang?”

“Ckk, kau kan bisa beli makanan siap saji di luar”

“Hm, baiklah”

“Kalau begitu aku tutup telponnya”

Biip. Sambungan telpon terputus.

Kulihat ada sebuah pesan singkat yang masuk. Hatiku sedikit bergetar ketika membaca nama pengirim pesan singkat ini.

 From: Umairoh

Aku minta maaf jika selama ini sudah merepotkanmu. Terima kasih sudah menjadi temanku selama ini, dan terima kasih kau sudah membuatku merasakan bagaimana rasanya menyukai seorang pria.
Aku dan keluargaku pindah keluar kota...
Semoga kita bertemu lagi suatu saat nanti ^^

Deg!

Rasanya jantungku terjatuh dari tempatnya. Apa maksudnya? Dia pindah? Dia pindah ke luar kota? Tapi kenapa?

Oke baiklah, aku masih bisa menerima jika tadi Romi memaksaku menemaninya memancing, lalu Windy yang menamparku tanpa sebab. Tapi ini... Dia akan pindah? Kenapa? Rasanya tubuhku mendadak beku. Kulempar ponselku sembarangan ke atas meja belajar. Pesan tadi pasti ia kirim saat aku sedang bersama Romi. Apa ini sebabnya Windy menamparku? Apa Umairoh pindah karenaku?

Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya kasar. Aku tidak bisa berfikir saat ini. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Bahkan aku tak tahu apakah aku harus membalas pesan singkatnya atau tidak, dan meskipun aku membalasnya apa yang harus aku katakan padanya? Terlalu banyak pertanyaan di benakku.

Kutarik kursi belajarku dan mendudukkan diriku di atasnya. Kutenggelamkan wajahku pada kedua tanganku yang dilipat di atas meja belajar. Jika ia memang akan pindah kenapa dia tidak mengatakannya padaku? Kenapa ia baru mengatakannya sekarang?

Aku tak tahu apa yang terjadi denganku karena tiba-tiba saja kakiku melangkah keluar kamar dengan tergesak-gesak. Saat ini tujuanku adalah ke rumahnya. Benar. Mungkin ia masih belum pergi dan masih ada waktu untuk mengatakan beberapa hal yang selama ini ingin kukatakan padanya.

“Darwin kau mau kemana??!” teriak Ayahku saat melihatku berlari ke luar rumah.

“Aku akan ke rumah Umairoh sebentar!”, jawabku juga dengan setengah berteriak sambil membuka pagar rumah.

Aku tak tahu lagi apa yang ayahku katakan ketika aku sudah berlari cukup jauh dari rumah. Saat ini aku bisa saja dikatakan orang bodoh. Padahal aku tidak perlu bersusah payah berlari seperti ini karena aku bisa menggunakan motorku. Tapi aku tidak punya waktu untuk mengeluarkan motorku dari garasi, saat ini aku harus segera sampai ke rumahnya.

<3<3<3

Nafasku tersengal-sengal ketika aku sampai di depan rumah Umairoh. Aku menahan tubuhku dengan menumpu kedua tanganku pada lututku. Aku masih berusaha mengatur nafasku saat aku menatap halaman rumahnya.

Kosong.

Halaman rumah itu begitu kosong. Biasanya ada motor Umairoh yang terparkir sembarangan di tengah halaman rumahnya. Kuperhatikan juga rumahnya, semua jendela tertutup rapat dan tampak gelap di dalamnya.

Kulangkahkan pelan kakiku memasuki halaman rumahnya. Lantas mendudukkan diriku pada sebuah bangku panjang di dekat pohon mangga yang berada di pojok kanan. Tak tahu bagaimana mendeskripsikan keadaanku saat ini. Terlalu melankolis memang jika kukatakan duniaku mendadak kosong. Aku tahu aku salah. Selama hampir satu bulan ini aku sudah mengabaikannya. Seharusnya aku tak pantas bersedih karna ia pergi.

Aku menatap langit siang yang berwarna biru. Hanya sedikit awan yang menghiasi. Setetes air mata tanpa kusadari jatuh dengan sendirinya di sudut mataku. Aku berharap, andai aku bisa kembali di waktu sebelum aku mulai menjauhinya. Ada banyak hal yang ingin kukatakan padanya. Andai aku tahu ia akan pergi, aku tak akan begini. Tssk. Sepertinya jiwaku memang sudah mulai terbawa suasana melankolis.

Benar. Lebih baik aku menghubunginya. Aku tahu aku harus membalas pesannya. Kembali dengan sedikit berlari aku meninggalkan halaman rumah Umairoh untuk kembali ke rumah mengambil ponselku yang tertinggal di kamar. Aku harus segera membalas pesannya.

<3<3<3

Soledad
It’s a keeping for the lonely
Since the day that you were gone
Why did you leave me
Soledad
In my heart you were the only
And your memory lives on
Why did you leave me
Soledad

<3<3<3

Ini sudah tiga minggu sejak Umairoh pergi. Puluhan pesan singkat sudah kukirim untuknya namun tak ada satupun balasan darinya. Kini beragam pertanyaan muncul di benakku. Apa dia membenciku sekarang? Apa dia tidak ingin bertemu denganku lagi?

Biasanya ia akan dengan hebohnya menemaniku di perpustakaan. Aku ingat bagaimana ia sering menemaniku di perpustakaan ini meskipun kami lebih sering tertidur dan berakhir dengan terbangun saat kampus sudah sepi. Aku bisa bayangkan bagaimana perasaannya yang selama satu bulan terakhir sebelum ia pergi aku acuhkan. Lagi-lagi aku merasa menjadi pria paling bodoh dan paling bersalah. Memang benar kalau aku bersalah. Aku salah sudah mengabaikannya. Aku salah sudah menjadi teman yang buruk untuknya.

Lamunanku buyar seketika ketika seseorang menarik kursi di sampingku dan menghempaskan sebuah buku di atas meja dengan cukup keras. Aku cukup terkejut ketika mendapati siapa orang di sampingku.

“Kau puas sekarang?”, ucapnya dengan sinis. Matanya menatapku tajam seperti dua minggu lalu saat ia menamparku.

“Maksudmu?”, tanyaku heran. Jujur aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan.

Kulirik ia memutar matanya lantas kembali menatapku dengan sengit. “Bukankah ini yang kau inginkan? Kau ingin Umairoh pergi kan? Kau ingin ia pergi agar tak ada lagi yang ‘mengganggumu’.. aku benar kan? Oh atau aku salah? Bukan mengganggu, tapi lebih tepatnya ‘merepotkanmu’. Cih, selamat kau sudah berhasil membuatnya pergi”.

Aku menatap tak percaya pada Windy yang masih menatapku dengan tatapan sinisnya. Apa yang ia katakan? Aku yang menginginkan Umairoh pergi katanya? “Win dengarkan aku...”

“Apa? Apa yang ingin kau katakan huh?? Kau ingin mengatakan kalau Umairoh pergi bukan karenamu begitu?”, potong Windy sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

Aku menghirup nafas dalam dan menatap sendu pada Windy yang tampaknya begitu membenciku. “Aku tak pernah menginginkan dia pergi Win...”

“Lalu apa? Kenapa kau mengabaikannya??”

“Aku..”, aku seolah kehabisan kata-kata. Aku bahkan bingung apa yang akan kukatakan.

Windy menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi lantas melipat kedua tangannya di depan dada. “Ia menyukaimu bodoh”

Mataku terbelalak mendengar perkataan Windy barusan. “Mak, maksud... Maksudmu?”

Windy menghembuskan nafasnya kasar. “Sebenarnya aku tidak ingin memberitahukan hal ini padamu. Tapi sebagai sahabatnya, aku tak tega melihat sahabatku menjadi terlihat menyedihkan gara-gara pria sepertimu. Aku tahu kau juga menyukainya kan? Tapi kenapa kau lakukan itu pada Umairoh? Apa ia pernah berbuat salah padamu hingga kau mengacuhkannya seolah ia orang asing bagimu?”

“Aku tak tahu Win... Aku juga tak mengerti kenapa aku melakukan itu padanya”, aku menatap kosong buku yang sejak tadi tidak kubaca sedikitpun. “Kau benar, aku memang menyukainya. Tapi aku tak tahu kenapa setiap melihatnya perasaanku sakit. Jujur aku takut perasaan ini aku menghancurkan pertemanan kami selama ini. Dan aku pikir ini hanya perasaan sepihak, kupikir Umairoh tidak mungkin menyukaiku. Oleh karena itu aku lebih memilih menjauh darinya sehingga-“

“Sehingga perasaanmu padanya akan menghilang dengan seiring berjalannya waktu begitu?”, lagi-lagi Windy memotong pembicaraanku. “Dasar egois”

Aku kembali menatap bingung padanya.

“Kau lebih mementingkan perasaanmu. Tapi kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Umairoh saat kau mengacuhkannya. Kau tak tahu kan hampir setiap malam gadis itu menangis seperti orang bodoh? Kau itu bukan hanya pria bodoh ternyata, tapi juga egois”, Windy memberi penekanan pada akhir kalimatnya.

Aku tertunduk dalam mendengar ucapannya barusan. Windy benar. Aku egois. Aku bahkan sudah membuat Umairoh menangis karena keegoisanku. “Lantas, apa yang harus aku lakukan?”, lirihku.

Windy membenarkan posisi duduknya, “Kau sudah menghubunginya?”

“Aku sudah mengiriminya puluhan sms, tapi tak ada balasan satupun”

“Apa? Hanya sms? Jadi kau tak pernah mencoba menelponnya?”, Windy menaikkan nada suaranya. Aku hanya bisa kembali tertunduk. Jujur aku ingin sekali menelponnya, tapi aku tak berani. Aku takut mendengar suaranya jika ia marah padaku. “Tapi percuma saja”, Windy kembali menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.

“Maksudmu?”

“Ponselnya tidak bisa dihubungi. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya tapi ponselnya tidak aktif”

Aku kembali terkejut kali ini. Ponselnya tidak aktif? Buru-buru aku mengambil ponsel di saku celanaku dan menghubungi nomor Umairoh. Dan benar saja. Yang aku dengar hanya suara operator telpon selular. Pantas saja tak ada satupun pesanku yang ia balas.

“Aku merindukan Umairoh Darwin...”, ucap Windy begitu pelan.

“Maafkan aku Windy. Aku sudah membuatnya pergi... Aku juga merasa kesepian tanpanya. Seharusnya saat itu aku tak menjauhinya”, kataku juga tak kalah pelan. Jujur aku semakin menyesal mengingat bagaimana sikapku padanya saat itu.

“Sudahlah Darwin... Yang penting sekarang aku sudah mengatakan yang sebenarnya kalau Umairoh juga menyukaimu. Tolong kabari aku kalau mendapat kabar darinya”, Windy bangkit dari kursinya dan menepuk pelan pundakku sebelum ia berjalan menjauh keluar perpustakaan.

Aku kembali menatap kosong pada buku di atas meja yang isinya kubiarkan terbuka. Aku baru mengerti sekarang bagaimana rasanya merasa kesepian di saat seseorang pergi. Apalagi seseorang itu pergi karena kesalahanku.

Umairoh, aku merindukanmu.

<3<3<3

Walking down the streets of Nothingville
Where our love was young and free
Can’t believe just what an empty place
It has come to be
I would give my life away
If it could only be the same
‘Cause I can still hear the voice inside of me
That is calling your name

<3<3<3

“Kau tak membawa motormu Darwin?”, tanya Romi saat kami berjalan beriringan keluar kelas usai mata kuliah Statistik.

“Aku sedang malas membawa motor Rom..”

“Mau pulang denganku?”, tawarnya.

Aku menggeleng pelan, “Tidak usah terima kasih. Aku sedang ingin berjalan kaki hari ini”

“Hmm baiklah kalau begitu. Aku duluan ya Dude...”, Romi lantas berjalan lebih cepat mendahuluiku menuju parkiran kampus.

Hari ini aku tak langsung pulang ke rumah. Aku melangkahkan kakiku ke sebuah taman tak jauh dari kampus. Aku duduk di atas rumput di bawah pohon pinus yang tidak terlalu tinggi. Tempat ini cukup teduh, dan yang pasti... Tempat ini biasa aku datangi bersama Umairoh jika kami sedang ingin melepas penat saat pulang kuliah.

Berbagai memori berkelebat di benakku mengingat betapa banyaknya waktu yang kami habiskan di tempat ini.

Flashback

“Ugh, rasanya punggungku mau patah”, Umairoh melempar tasnya sembarangan di atas rumput lalu duduk di bawah pohon pinus sambil bersandar pada batang pohon.

Aku terkekeh pelan melihatnya, lantas ikut duduk di sampingnya. “Salah sendiri kau mengerjakan soal akuntansi terlalu bersemangat”

Kulihat ia mepoutkan bibirnya kesal. Terlihat benar-benar seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan oleh ibunya. “Tapi aku suka akuntansi okey”

“Iya aku tau. Tapi kan kalau soalnya sebanyak itu kau masih bisa mengerjakannya besok, toh minggu depan tugas itu baru diserahkan kepada dosen”, aku mengambil dua kaleng soft drink dari dalam ranselku dan kuberikan salah satu padanya.

“Tapi aku kan hanya ingin menyelesaikan semuanya...”

“Hmm, iya terserah kau saja. Tapi lihatkan, kau sendiri yang pegal gara-gara terlalu serisus mengerjakan soal sebanyak itu”

Ia menenggak air di dalam soft drink sampai isinya habis. Sepertinya gadis ini benar-benar kehausan. “Ahhh.. segarnya...”, ucapnya dengan nada bicaranya yang ia buat seimut mungkin.

“Aku lapar”, kataku sambil merebahkan tubuhku dengan tasku yang kujadikan bantal.

Umairoh meregangkan tangannya untuk merilekskan ototnya. “Nanti saja kita makan, aku masih ingin duduk di sini. Biar aku yang traktir”

“Benarkah? Baiklah kalau begitu... Eum, aku ingin tidur sebentar, nanti bangunkan aku”, aku mencoba memejamkan mataku.

“Hey tidak boleh!”, ia lantas mengguncang-guncangkan bahuku membuatku terpaksa membuka mataku yang rasanya sudah diberi selotip.

 “Eung.. Kenapa? Aku ngantuk...”, ucapku serak.

“Kalau kau tidur nanti aku juga ketiduran... Bagaimana kalau kita baru bangun senja nanti? Orangtuaku pasti marah kalau aku pulang senja”

“Jadi kita hanya akan menatap orang-orang yang berlalu lalang di sekitar sini begitu?”

Umairoh menggaruk tengkuknya sambil memasang ekspresi berpikir, “Hmmm... Kau benar. Kira-kira kita akan melakukan apa ya yang menyenangkan?? Ah, bagaimana jika kita bermain gombalan saja?”

“Bermain gombalan? Permainan macam apa itu?”, aku langsung bangkit dan duduk bersila.

“Hanya gombal-gombalan... Ayolah, pasti seru”, bujuknya sambil menarik-narik tanganku.

“Baiklah kalau begitu, karena kau yang punya ide jadi kau yang mulai duluan... Yang bagus ya gombalannya, awas kalau gombalannya garing”

Ia mengangguk semangat. “Darwin...”

“Hm?”

“Tahu tidak perbedaannya antara kau dan Laporan Arus Kas?”

“Laporan Arus Kas? Aku bahkan bak tahu Laporan Arus Kas itu seperti apa... Haha... Jadi apa perbedaannya aku dengan laporan itu?”

“Tsk kau tak tahu Laporan Arus Kas? Baiklah aku beritahu. Kalau Laporan Arus Kas itu untuk menghitung aliran dana kas yang terjadi selama satu periode akuntansi, tapi kau membuatku tak bisa menghitung berapa banyak aliran waktu yang berlalu untuk memikirkanmu”, ujarnya sedikit heboh.

Sebenarnya aku speechless mendengar gombalannya. Tapi aku tidak mau mengakui kalau gombalannya cukup baik juga, haha. “Lumayan. Sekarang giliranku..”

“Kau tidak tersentuh dengan gombalanku?”, ia sedikit cemberut karena aku memasang ekspresi datar.

“Hmm begitulah... Oh iya, kau lihat kan sepatuku ini?”, aku menunjuk sepatuku, lantas ia mengangguk bersemangat.

“Sepatuku ini sudah lama dan belum pernah aku ganti. Aku ingin kita berdua seperti sepasang sepatuku ini, selalu bersama dalam waktu yang lama.. Bahkan kalau perlu selamanyaaaa..”

“Tapi aku tidak ingin seperti sepatumu”, Umairoh memasang ekspressi cemberut -lagi.
Aku menautkan kedua alisku dan menatap bingung padanya, “Memangnya kenapa? Bukankah itu cukup romantis?”

“Karena sepatumu itu bau... Hahahaaa”, ia tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

Sekarang aku menatapnya dengan deat-glare terbaikku. “Ckkk kau ini. Baiklah sekarang giliranmu lagi”

“Apa perbedaan seorang Darwin dengan Rekonsiliasi Bank?”, kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan yang sangat aku sukai.

“Entahlah, aku malas berpikir. Jadi apa bedanya?”

Ia menyipitkan matanya menatapku, “Kau malas berpikir atau memang kau tidak tahu apa itu Rekonsiliasi Bank? Baiklah.. Kuberitahu. Kalau Rekonsiliasi Bank itu berfungsi untuk menyamakan jumlah kas di perusahaan dengan rekening koran, sedangkan kau membuatku berusaha menyamakan takdir yang terjadi diantara kita... haha..”, ucapnya dengan bangga.

Tanpa sadar aku juga ikut tersenyum. Gadis ini benar-benar pandai menggombal. “Baiklah, aku cukup tersentuh dengan gombalanmu. Sekarang, apa perbedaan kau dan srigala?”

Ia tampak berpikir, “Kalau srigala menyeramkan, sedangkan aku membuatmu selalu merindukanku”

“Cih, kau ini percaya diri sekali”, aku mencibirnya. “Kau mau tahu perbedaannya? Kalau srigala itu jauh di hutan, sedangkan kau.... dekat di ketiakku... hahaha”, aku segera bangkit berdiri karena aku tahu setelah ini ia pasti akan murka.

“Apa kau bilang Darwin??? Hey jangan pergi!!! Kemari kau... Aku akan mencubitmu... Hey Darwin jangan lari!!!”, ia berteriak sambil mengejarku.

Sedangkan aku terus berusaha berlari menghindarinya sambil tertawa melihat bagaimana lucunya ekspresinya ketika kesal. “Ayo kejar aku kalau bisa, hahaa.. Kakimu itu terlalu pendek untuk bisa mengejarku.. weee”, aku memeletkan lidahku mengoloknya.

“Awas kau Darwin!”

Flashback end

Aku bisa mengingat dengan jelas kajadian waktu itu di taman ini. Bahkan tiap seminggu sekali kami akan menghabiskan waktu di sini. Sekarang rasanya benar-benar sepi tanpanya. Rasanya lebih sepi dibanding saat aku mengacuhkannya. Saat itu aku masih bisa melihatnya dalam jarak pandangku. Tapi sekarang, aku bahkan tak tahu ia di mana. Bagaimana keadaannya, apa yang ia lakukan sekarang.

Kurasakan ponselku berdering di saku celanaku. Sebuah panggilan masuk dari Romi.

“Halo Rom...”

“Hey Dude kau di mana?”

“Di taman dekat kampus. Ada apa?”

“Tidak ada. Aku hanya khawatir denganmu. Jangan sering-sering melamun, aku tidak ingin kau seperti orang gila karena merindukan pujaan hatimu itu”

Tsk anak ini, awas saja dia berani mengataiku orang gila lagi. “Kalau kau hanya ingin mengatkan hal itu aku tutp telponnya”

“Ah, kau ini kenapa sensitif sekali sekarang? Aku hanya ingin  menghiburmu sepupu. Iya aku tahu bagaimana perasaanmu sekarang, kau pasti sangat merindukannya. Tapi kau harus tetap semangat Bung... Emm, oh iya apa kau sudah makan?”

“Belum. Tapi tumben sekali kau perhatian padaku... Pasti ada sesuatu”

“Hehee.. Kau tahu saja. Ah kalau begitu jangan lupa makan ya, dan jangan sering melamun. Kalau kau dan Umairoh berjodoh kalian pasti akan bertemu lagi kok. Dan satu lagi, nanti malam aku ke rumahmu ya, aku ingin mencontek tugas matematika, haha. Sampai bertemu nanti malam sepupu”

Bip. Sambungan telpon diputuskan sepihak oleh Romi. Dan yeah aku benar kan? Dia akan baik padaku kalau ada maunya saja. Ckk. Tapi perkataan Romi tadi ada benarnya juga.

Umairoh... Aku semakin merindukannya.

<3<3<3

Sudah tiga bulan lebih bulan sejak Umairoh pergi. Tidak ada yang berubah, aku tetap menjalani aktivitasku seperti biasa sebagai mahasiswa di kampus. Hanya saja, aku tak lagi bersemangat seperti dulu saat ia masih ada bersamaku.

Biasanya tiap pagi sebelum berangkat kuliah ia selalu menelponku, atau aku yang menelponnya duluan. Begitupun malam hari. Kini semuanya begitu sepi. Aku hanya berharap ia menghubungiku. Aku sudah mencoba berkali-kali menghubunginya dan sudah tak terhitung lagi berapa banyak pesan singkat yang aku kirim.

Kadang aku terkejut jika ada sebuah pesan yang masuk atau bunyi panggilan telpon berdering. Aku sangat berharap itu Umairoh. Tapi aku harus menelan harapan itu. Bahkan tak jarang aku tak membalas pesan-pesan yang masuk dalam inbox-ku.

“Lagi-lagi kau melamun...”, suara Romi kembali membawaku ke dunia nyata. Sekarang Romi sedang di kamarku.

Aku hanya tersenyum simpul menatapnya. Saat ini kami sedang libur semester dan Romi berniat untuk mengajakku menemaninya memancing. Anak ini benar-benar hobby memancing, tapi ia selalu memintaku menemaninya. Kadang aku kesal dengannya karena ia suka sekali memaksaku. Tapi hari ini aku tidak ingin kemana-mana, aku hanya ingin beristirahat.

“Foto ini masih kau simpan?”, Romi mengambil foto berbingkai merah di meja nakas. “Ayolah Darwin.. Move on”

“Tidak semudah itu Romi...”

Romi kembali meletakkan foto itu ke tempat asalnya, lalu duduk di tepi ranjang. Sedangkan aku masih berdiri di samping jendela memandangi jalanan yang sunyi karena beberapa menit yang lalu hujan turun cukup deras.

“Kau merindukannya?”

“Aku tidak hanya merindukannya, tapi semakin merindukannya..”, lirihku. Entahlah apakah Romi mendengar suaraku atau tidak karena bunyi hujan yang cukup nyaring karena hujan di luar semakin deras.

Hujan seperti ini mengingatkanku pada Umairoh yang begitu membenci hujan. Sebenarnya bukan karena ia benar-benar membenci hujan, tapi daya tahan tubuhnya yang lemah membuatnya kerap kali diserang flu meskipun hanya terkena sedikit air hujan.

Flashback

“Aargh, kenapa hujan tiba-tiba turun di saat seperti ini??”, Umairoh terus saja mengomel sejak delapan menit yang lalu saat tetesan hujan pertama kali menyentuh tanah. Sekarang kami sedang terjebak hujan ketika sedang berjalan-jalan untuk melihat festival tahunan dan terpaksa berteduh di bawah kanopi salah satu toko boneka.

“Berhentilah menggerutu seperti itu. Hujan ini kan Rahmat Tuhan”, aku mencoba menenangkannya.

“Tapi hujan ini,, Hatsyuuuu....”

Aku terkekeh melihatnya yang mulai bersin-bersin, gadis ini memang alergi terhadap hujan. Kuperhatikan sejak tadi ia menggosok kedua telapak tangannya mengusir dingin. Kulepaskan jaket hitamku dan kusampirkan ke bahunya berharap ia bisa merasa sedikit hangat. “Bagaimana? Tidak terlalu dingin lagi kan?”, tanyaku sambil memperbaiki posisi jaketku di bahunya.

Ia menatapku cukup lama yang membuatku juga ikut menatapnya dengan posisi tanganku masih berada di bahunya. “Ehmm..”, aku berdehem untuk mengusir aura canggung yang tiba-tiba melingkupi kami. Sontak Umairoh membuang tatapannya ke arah lain dan aku juga lantas menolehkan wajahku ke jalanan di hadapan kami dan tanpa sadar menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal untuk menghilangkan grogi.

Flashback end

“Hey Darwin, helo.. Kau masih di situ? Ckk... Lagi-lagi kau melamun”, suara Romi kembali menyadarkanku. Aku menatap Romi yang menghela nafas. “Aku tahu kau pasti merasa bersalah. Tidak hanya itu, kau pasti juga menyesal...”

“Tidak hanya itu Rom, aku bahkan tak bisa tidur setiap aku teringat dengan kesalahanku padanya..”

“Kau tidak berusaha mencarinya?”, Romi mengambil sebuah komik yang tergeletak di samping bantal.

“Bagaimana aku bisa mencarinya? Ia bahkan tidak lagi menggunakan akun social media-nya”, aku berjalan menghampiri Romi dan duduk di sampingnya. “Aku merindukannya, aku mencemaskannya, aku mengkhawatirkannya..”, sambungku lagi.

Romi menatapku sekilas dengan iba. Lalu ia kembali beralih pada komik yang ia pegang. “Apa kau tidak bertanya dengan teman-temannya yang lain?”

“Siapa? Windy? Windy juga tak tahu...”

“Selain Windy tidak ada?”

“Umairoh itu tidak terlalu pandai bergaul Rom... Teman-temannya tidak begitu banyak”, aku menghela nafas panjang.

“Kasihan sekali kau sobat...”, Romi kembali memasang ekspressi iba-nya. “Apa kau tidak ingin membuat brosur untuk mencari Umairoh? Kau pasang di penjuru kota, siapa tahu ada yang melihatnya...”, sambungnya dengan memasang wajah tanpa dosa.

Aku meninju pelan lengannya, “Kau pikir Umairoh itu hewan peliharaan yang hilang? Lagipula dia sekarang ada di luar kota”

Romi tertawa pelan, “Aku tahu.. Aku hanya bercanda. Aku hanya tidak suka suasana yang melankolis”. Ia meletakkan komik yang sedari tadi hanya ia bolak balik ke tempatnya semula. “Jadi bagaimana?”

“Apanya?”

“Apa kau ingin move on?”

“Bagaimana caranya?”

Romi tersenyum lalu menaik turunkan kedua alisnya, “Aku akan membawamu ke acara kencan buta”

Lagi-lagi kutinju lengannya namun kali ini lebih keras hingga ia meringis, “Kau pikir aku sedang mencari jodoh? Lagi pula aku tidak bisa semudah itu melupakannya”

“Kau sudah cinta mati dengan gadis itu rupanya”, Romi menggeleng pelan. “Kenapa sih saat itu kau tidak nyatakan saja perasaanmu? Kau lihatkan sekarang akhirnya kau yang tersiksa..”

“Aku tidak berani melakukannya Rom, aku takut perasaanku merusak hugungan baik yang selama ini terjalin antara aku dan Umairoh”, terangku.

Romi menepuk pelan pundakku lantas berdiri, “Maaf sobat, aku tidak bisa membantumu meringankan bebanmu... Yah kau tahu lah, aku tidak begitu pandai mengenai urusan perasaan seperti ini, tapi kuharap kau segera menemukan Umairoh”, ia berjalan menuju pintu kamar.

“Kau mau kemana?”

“Membantu Ibumu di dapur... Aku sudah kelaparan dari tadi...”, dan ia pun berlalu berjalan keluar kamarku.

Aku memperhatikan punggungnya hingga menghilang di balik pintu. Romi benar, mungkin tak ada yang bisa membantuku dalam hal ini. Mungkin hanya kehadiran gadis itu yang aku butuhkan. Aku terlalu merindukannya sampai-sampai dadaku rasanya sesak setiap mengingatnya.

<3<3<3

Hari ini hari ulang tahunku. Tak ada yang spesial, hanya beberapa temanku yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Tak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun tepat jam 12 malam seperti dulu. Biasanya Umairoh akan menghubungiku tengah malam dan berteriak melalui ponselnya mengatakan selamat ulang tahun.

Aku terkekeh pelan mengingatnya. Sepertinya aku sudah hampir gila karena merindukan gadis itu. Aku kesepian tanpanya.

Hari ini aku duduk di bangku halaman rumah Umairoh yang masih belum ada penghuninya. Aku masih berharap ia akan pulang kembali ke rumahnya ini. Terlihat bodoh memang. Dulu, di bangku ini aku sering menunggunya untuk berangkat ke kampus bersama, di bangku ini juga kami sering mengobrol usai aku mengantarnya pulang. Terlalu banyak kenanganku bersama gadis itu yang tak bisa kulupakan.

Sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tidak kukenal.

From: 085xxx

Darwin,
Selamat ulang tahun ^^ Maaf tidak bisa mengucapkannya tadi malam. Aku berharap kau bahagia tahun ini dan seterusnya...
Sekali lagi selamat ulang tahun J

Aku bingung menatap layar ponsel. Bagaimana orang ini tahu kalau hari ini ulang tahunku? Apa dia salah satu temanku di kampus?

Belum selesai kebingunganku dengan nomor tidak dikenal ini, sebuah panggilan masuk berdering dari nomor yang mengirim pesan singkat tadi. Cukup ragu aku untuk mengangkatnya, hingga beberapa detik kemudian kutekan tombol hijau di ponselku.

“Halo”, jawabku malas. Aku pikir ini hanya temanku di kampus yang mengganti nomor.

“Halo”, suara seorang gadis mengalun lembut dari penelpon di seberang sana. Suara ini... membuat seluruh sistem kerja tubuhku berhenti mendadak. Bahkan jantungku seakan terlepas saking terkejutnya, dan untuk bernafaspun aku tiba-tiba lupa bagaimana caranya. Sekian sekon aku menahan nafas dan tubuhku membeku seketika.

Kurasa aku memang sudah gila sekarang.

“Halo Darwin... Kau masih di sana?”, suara pelan gadis itu menyadarkanku. Dan meyakinkanku kalau pendengaranku tidak salah. Tenggorokanku rasanya terkecat meskipun untuk mengucapkan sepatah kata. Hingga lagi-lagi suara gadis itu membuatku berusaha mati-matian menahan isakan yang tiba-tiba membuncah di dadaku.

“Darwin...”

“Um.. Umairoh... Umairoh...”, akhirnya aku berhasil mengeluarkan suaraku, mungkin sekarang terdengar bergetar. Sungguh ingin sekali menangis rasanya saat ini.

“Iya Darwin.. ini aku...”

“Umairoh, kau kemana saja? Kau di mana sekarang? Apa kau baik-baik saja di sana? Kenapa kau tidak pernah menghubungiku? Kenapa nomormu yang dulu tidak aktif? Kau tidak tahu betapa aku mengkhawatirkanmu??”, aku tak tahu kenapa aku tiba-tiba mengatakan segalanya yang selama ini mengganggu pikiranku.

Kudengar ia tertawa pelan di seberang sana. “Hey, aku serius”

“Iya aku tahu. Tapi pertanyaanmu banyak sekali”, jawabnya masil sambil tertawa.

“Mer...”

“Hm?”

Aku tak tahu kenapa tiba-tiba saja aku ingin menangis sekarang. Mungkin tak apa jika Umairoh di sana menganggapku cengeng. “Maafkan aku”, kataku tulus. Dan air mata mulai mengalir saat kukatakan kalimat yang selama ini selalu ingin kukatakan padanya.

Tidak ada jawaban darinya. Hingga seratus dua puluh detik berikutnya kami hanya terdiam, aku bahkan takut sekarang kalau ia tidak memaafkanku. “Umairoh...”, lirihku akhirnya setelah hampir tiga menit tak ada suara di seberang sana.

Aku bisa mendengar ia menghela nafas, “Tak apa Darwin, Windy sudah mengatakan semuanya. Aku tidak marah padamu...”

Kedua sudut bibirku terangkat, aku bahkan cukup malu sekarang jika Windy mengatakan padanya kalau aku menyukainya. Seharusnya biar aku yang mengatakannya sendiri. “Terima kasih Mer... Tapi, selama ini kau kemana saja? Kenapa nomormu yang dulu tidak aktif?”

“Oh, ponselku yang dulu hilang, tidak tahu di mana. Tapi maaf baru sekarang aku baru sempat menghubungimu, aku juga baru sempat menghubungi Windy semalam...Oh iya, selamat ulang tahun yaa. Maaf aku tidak bersamamu sekarang, aku masih belum bisa ke sana dalam waktu dekat ini karena aku sedang membantu bisnis orang tuaku di sini”

Aku semakin memperlebar senyumku. Aku merindukannya. Aku merindukan suaranya. Aku merindukan celotehan dari mulutnya. Aku merindukan saat ia menyebut namaku. Ah, mungkin kalau ada orang lain yang melihatku saat ini pasti aku sudah dikatai seperti orang tidak waras. “Iya Mer tak apa, kau menelponku sekarang saja bagiku adalah kado terindah”.


Hingga kami kembali terdiam. Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana, terlalu banyak hal yang ingin kukatakan padanya sehingga aku bingung apa yang pertama akan kukatakan.

“Umairoh..”

“Ya?”

“Aku... Merindukanmu...”

<3<3<3

Time will never change the things you told me
After all we’re meant to be
Love will bring us back to you and me
If only you could see

<3<3<3
.
.
Fin
.

Ehmm, test test..
Okey aku nggak tau kenapa ceritanya jadi sok melankolis beginian huaah... ini kayaknya nggak nyambung banget sama judulnya, tapi Yesungdah yang penting sequelnya udah jadi. Dan ini inspirasinya muncul karena temanku-yang-nyebelin yang tergila-gila sama lagu Soledad-nya Westlife.
Semoga ceritanya ini tidak mengecewakan yah ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar