No Other
.
.
.
Inspired By:
Super Junior – No Other
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Cast:
Yesung a.k.a Kim Jongwoon (Super
Junior)
Choi Jirin (OC)
Genre: Sad Romance
Rating: PG-13
Lenght: Ficlet
Disclaimer:
This story is belong to me, don’t
claim it as yours, and No Bashing!!
Warning:
Alur ngebut, jalan cerita aneh, typo,
OOC, dll
.
(Ini ceritanya sudah saya bikin
lamaaaa banget dan saya juga lupa pernah bikin cerita beginian setelah
bongkar-bongkar folder draft, ternyata ada satu fanfiction yang lumayan untuk
dibaca... Jadi aku posting aja deh dari pada mubazir :p jalan ceritanya juga
masih standar dan masih ke-Korean-Korea-an... Happy reading ^^)
Summary:
“Kenapa mencintaimu begitu sesakit
ini... Jongwoon-ah, jebal...” (Jirin)
“Aku namja paling bodoh
di dunia. Kaulah tempatku seharusnya berada, bukan yang lain..”
(Jongwoon)
<3<3<3
Tempat itu cukup sepi untuk beberapa alasan. Pertama tentu
saja ini sudah menjelang tengah malam. Kedua karna derasnya hujan yang
mengguyur malam di pertengahan musim gugur ini. Ketiga, yah tempat ini memang
merupakan gang kecil yang berada di ujung Distrik Gangnam, Seoul, Korea
selatan.
Dengan langkah yang benar-benar dipaksakan pemuda itu
menyeret tubuhnya menuju apartemen kecil yang berdiri kokoh di ujung gang.
Tubuhnya linglung. Sesekali meringis menahan sakit di bahunya. Hujan yang turun
tanpa ampun, membuat pemilik tubuh linglung itu mempercepat langkahnya.
<3<3<3
Sang penguasa cahaya mulai menyibakkan sinarnya. Membuat si
penghuni kamar mengerjap-ngerjap untuk membiasakan cahaya yang masuk ke retina
matanya.
“Eungh, jangan bergerak. Kumohon biarkan sebentar lagi
seperti ini”, pemilik suara baritone di sampingnya menahan tubuhnya dengan
tangannya yang melingkar erat di pinggang rampingnya dan mata yang masih
terpejam erat.
Selalu seperti ini. Pria ini masuk ke kamarnya dan dengan
seenak jidatnya tidur di sampingnya. Tidur? Ya, hanya tidur bersama di ranjang
yang sama, tidak lebih.
“Jongwoon-ah, ireona palli. Aku akan terlambat ke kantor”, ucap
gadis itu dengan sedikit berbisik. Dengan perlahan ia melepaskan tubuhnya dari
dekapan pria di sampingnya.
Pria itu membuka matanya, “Selamat pagi, apa tidurmu
nyenyak?”, pria itu tersenyum begitu hangat, kemudian mendudukkan tubuhnya di
pinggir ranjang di samping wanitanya. Wanitanya? Entahlah. Dia sendiri tidak
mengerti hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua.
Gadis itu hanya tersenyum hambar, menatap lekat pada manik
mata pria di sampingnya. Mata yang indah, tajam, dan teduh. Sungguh, ia begitu
merindukan tatapan pria ini. Pria bernama Jongwoon. Pria yang sudah membawanya
melayang tinggi, sangat tinggi. Kemudian menjatuhkannya hingga terhempas ke
tempat terdalam, melebihi dalamnya Samudra Pasifik. Terdengar melankolis
memang.
Gadis itu memperhatikan detail lekuk wajah Jongwoon, pahatan
sempurna ciptaan Tuhan. “Kau berkelahi lagi?”, tanyanya sembari menyentuh pelan
bekas luka yang terlihat jelas di wajah Jongwoon. Ekspresi gadis itu
mengisyaratkan kekhawatiran yang sangat.
“Nan gwaenchana, setelah diobati juga sembuh. Kau cepatlah
bersihkan dirimu, nanti terlambat”, Jongwoon kembali tersenyum. Gadis itu
mengangguk lemah dan menit berikutnya ia sudah berada di kamar mandi
besiap-siap menuju kantornya.
<3<3<3
Hari ini weekend. Tanpa dijelaskanpun kau tahulah ini hari di
mana semua orang melepas penat di weekday mereka.
Seorang gadis bernama Choi Jirin berdiri dengan merentangkan
tangannya di balkon apartemen sederhana yang sudah empat tahun terakhir ini ia
tempati. Menikmati terpaan angin khas musim gugur yang menyapa permukaan
kulitnya.
Pikirannya kembali ke masa lalu, di mana ia masih merasakan
bagaimana itu hidup. Bagaimana ia masih bisa merasakan apa itu cinta, kepada
pria bernama Jongwoon tentunya. Kim Jongwoon. Tidak adakah pria lain selain
Jongwoon? Kenapa harus Jongwoon? Ya, pria itulah yang membuat Jirin menjejakkan
kakinya pertama kali dalam dunia yang disebut cinta. Cinta pertama
mungkin.
Mereka berdua adalah sepasang sahabat sejak pertemuan pertama
mereka di hari pertama orientasi kampus. Apa tidak salah dengan menyebut
sepasang sahabat? Tentu tidak. Semua orang menyebut mereka ‘pasangan serasi’.
Namun kata ‘SAHABAT’ tidak pernah terlepas dari ikatan di antara mereka. Jadi
tidak salah kan dengan menyebut ‘pasangan sahabat’.
Aneh memang. Mereka tinggal di apartemen yang sama, namun
berbeda kamar. Tapi mereka akan lebih sering terlihat tidur di tempat tidur
yang sama. Oh ayolah, jangan pikirkan hal yang buruk. Jongwoon memang pria.
Tapi siapa sangka di balik tubuh atletisnya tersimpan ketakutan-tidur-sendiri
di kamarnya. Entahlah apakah itu hanya akal-akalan Jongwoon agar dapat terus
bersama Jirin atau memang itu kenyataannya.
Jirin masih setia merentangkan tangannya, matanya belum ada
tanda-tanda akan terbuka barang sedetik.
“Kau tidak masuk? Udaranya semakin dingin, aku tidak mau kau
sakit Rin-ah”, pria itu, Jongwoon.
Memeluk erat tubuh Jirin dari belakang, menghirup dalam aroma tubuh Jirin
–aroma yang selalu dirindukannya- tiap saat. Jirin tak menyahut. Posisi
tubuhnya masih sama. “Rin-ah, maaf”, ucap Jongwoon lagi. Terdengar nada
penyesalan yang sangat kentara di pendengaran Jirin.
Jongwoon mempererat pelukannya, memberi kehangatan pada wanitanya. Cukup lama
mereka mempertahankan posisi tersebut, tanpa suara. Hanya deburan nafas dan
detak jantung mereka yang mendominasi situasi saat ini.
Jongwoon dan Jirin sadar betul mereka saling mencintai,
mereka saling membutuhkan. Tidak ada seorangpun yang Jirin miliki selain
Jongwoon. Begitupun Jongwoon. Mereka berdua terlahir yatim piatu. Yah,
terdengar sungguh kebetulan bukan? Tapi bukankah tidak ada ‘kebetulan’ dalam
hidup ini? Semuanya berjalan sesuai rencana Tuhan.
Tapi apakah Tuhan juga yang merencanakan mereka hidup bersama
tanpa ikatan, hanya sahabat. Jirin tidak pernah melupakan saat itu. Saat ia
tahu Jongwoon telah memiliki kekasih. Yah, sakit tentu saja. Apa kata sakit itu
terlalu biasa? Kau tidak tahu dalamnya kata ‘sakit’ itu jika kau tidak
merasakannya sendiri.
“Woon-ah, apa kau tidak lelah? Berhentilah pulang larut dan
jangan berkelahi lagi, kumohon demi aku”, Jirin berbalik, menatap lekat wajah
tampan Jongwoon. Jongwoon balas menatap Jirin. Ia pandangi tiap sudut wajah Jirin. Jirin semakin cantik
jika dibandingkan dengan saat di kampus dulu. Hanya saja pipinya lebih tirus
sekarang, lingkaran hitam di bawah matanya sangat kontras dengan kulitnya yang
putih.
Jongwoon memeluk pinggang Jirin, mempersempit jarak di antara
mereka. Jongwoon ingat betul sat ia dengan bodohnya menyia-nyiakan cinta dari
wanita di hadapannya, wanita yang juga sangat jelas ia cintai.
“Kenapa kau lakukan ini Woon-ah? Kau tahu hal ini hanya akan
menyakiti kita berdua”. Sungguh, siapapun yang mendengar penuturan gadis ini
akan merasakan perih yang gadis ini alami.
“Aku bodoh Rin-ah, aku bodoh. Namja pabbo, jeongmal paboya”,
jawab Jongwoon tak kalah pilunya tepat di hadapan wajah Jirin. Jirin merasakan
hangatnya nafas Jongwoon yang menerpa wajahnya.
Jongwoon menjadi pria bejat yang suka pulang larut, -juga
berkelahi- saat wanita di hadapannya ini dengan gamblangnya menyatakan ingin
pergi dari hidup Jongwoon. Jongwoon sadar ini karena ulahnya. Demi Tuhan
Jongwoon tidak memiliki kekuatan walau sekedar bernafas tanpa Jirin. Jongwoon
yang tahu Jirin juga mencintainya, namun dengan ego-nya yang tinggi ia mencari
gadis lain dengan alasan mencari yang lebih pantas, yang lebih cocok, yang
lebih baik, yang lebih dari segala lebih dari seorang Jirin. Namun ia tidak
sadar tak akan ada siapapun gadis yang mampu menyamai Jirin, bahkan melebihi
gadis itu.
“Jongwoon-ah, seharusnya sejak lulus kuliah aku tidak
menerima ajakanmu membeli apartemen bersama. Seharusnya setelah lulus kuliah
aku mencari pekerjaan jauh dari sini, mungkin di Apgujeong. Seharusnya aku
sadar kita tidak ditakdirkan bersama, kita ber..hmmpt”, tidak ingin mendengar
apapun dari wanita di hadapannya Jongwoon membungkam gadis itu dengan bibirnya.
Bibir mereka hanya bersentuhan, tanpa nafsu. Jirin hanya diam tanpa perlawanan.
“Aku akan memperjelas semuanya...”, Jongwoon melepaskan tautan
bibir mereka.
“Aku seorang pria yang berkelana seorang diri di dunia penuh
fatamorgana ini. Saat aku benar-benar lelah, aku menemukan tempat beristirahat
yang nyaman. Sangat nyaman malah. Namun setan mempengaruhiku agar mencari
tempat yang lebih nyaman di luar sana. Aku memang menemukannya, tapi tempat itu
tidaklah senyaman tempat awal. Aku terus mencari dan mencari tempat lain..”.
“Tak terasa sudah sangat lama aku pergi menelusuri berbagai
tempat yang sekiranya dapat memberiku kenyamanan seperti tempat pertama aku
beristirahat. Tapi aku tak kunjung menemukan kenyamanan itu. Aku benar-benar
muak. Aku tidak tahu, apakah aku harus kembali ke tempat awal atau tidak. Aku
yang sudah teramat lelah, tak dapat megendalikan diriku...”, Jongwoon berhenti
demi mengisi kekosongan paru-parunya.
“...Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat awal.
Tempat awal itu, tak kehilangan pesonanya. Aku bahkan semakin nyaman di sana”,
Jongwoon menahan sakit di hatinya akibat perbuatannya sendiri. “Kau tahu,
kenapa dulu aku memilih apartemen di ujung gang ini? Itu hanya karna aku ingin
menghabiskan sisa hidupku bersamamu Rin-ah”, Jongwoon menggigit bibir bawahnya
berusaha menahan agar cairan bening itu tidak lolos begitu saja dan meruntuhkan
pertahanannya.
“Maafkan aku yang sudah mengecewakanmu. Aku, aku ingin
memperjelas semuanya Rin-ah. Kaulah rumahku, tempat di mana aku merasa nyaman.
Tempat di mana seharusnya aku berada. Tempat di mana aku berbagi suka dan duka,
tempat aku menghabiskan sisa hidupku.. kemanapun aku mencari, tidak akan ada
wanita sepertimu. Kau mungkin bukan wanita sempurna, tapi kau yang terbaik yang
Tuhan berikan padaku, tidak ada yang lain”.
Tangan Jirin bergerak menyentuh wajah pria di hadapannya.
Menghapus jejak air mata yang membentuk sungai kecil di wajah lelakinya.
Lelakinya? Benarkah? Sudah seresmi itukah
hubungan mereka? Oh ayolah, jangan meperumit keadaan.
Jongwoon memeluk Jirin erat. Sangat erat. Seolah takut
wanitanya akan pergi. Jirinpun hanya mampu membalas pelukan Jongwoon, mengusap
pelan punggung pria itu. Jongwoon menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher
Jirin. Kini leher Jirin terasa basah. Ya, Jongwoon menangis. Pria yang terlihat
tangguh itu ternyata begitu rapuh, pria itu juga perlu kekuatan.
<3<3<3
Jalan raya yang padat akan keramaian sungguh terdengar jelas
di gang kecil ini. Tak mengusik kegiatan dua orang yang masih asik di balkon
apartemen sederhana itu.
Musim gugur, musim yang difilosofikan gugurnya kesedihan dan
kesengsaraan umat manusia yang akan segera berganti dengan kebahagiaan yang
akan tumbuh perlahan di musim semi
mendatang.
“Woon-ah..”, ucap Jirin sekua tenaga.
“Ne Rin-ah, waeyo?”’
“A, ak ak aku, aku tidak bisa bernafas”.
Jongwoon segera melepas pelukannya, namun tak melepas
tangannya dari pinggang Jirin. Jongwoon menatap lekat wajah wanitanya. Mata
Jirin yang beberapa saat lalu redup itu kini kembali menampakkan binarnya.
<3<3<3
There’s no one like you
Even if I look around it’s just like
that
Where else to look for?
A good person like you
A good person like you, with a good
heart like you
A
gift as great as you...
Where else to look for?
(Super Junior - No Other)
Sungguh Maha Suci Tuhan yang telah memberikan anugerah berupa
‘cinta’ kepada hamba-Nya. Cinta yang tulus tak perlu diucapkan dengan kata
“SARANGHAE”, melainkan bagaimana kau menjaga tanpa menyakiti sang “cinta” yang
telah Tuhan berikan padamu.
<3<3<3
Jantung merupakan organ vital. Ia akan terus berdetak hingga
nafas terakhir, bahkan kadang ia akan berdetak tak terkendali. Itulah yang saat
ini dirasakan Jongwoon dan Jirin.
Jongwoon makin menarik pinggang wanitanya, memangkas jarak di
antara mereka. Tangannya menarik tengkuk Jirin dengan sangat pelan, menyatukan
bibir mereka dengan lembut dan sangat hati-hati seolah Jirin akan hancur. Entah
setan dari mana, tangan Jirin kini melingkar sempurna di leher Jongwoon dengan
mata yang terpejam sempurna menikmati perlakuan Jongwoon di bibirnya. Ciuman
manis yang mencurahkan segala rasa yang selama ini membuncah. Seakan ingin
menjelaskan segala perasaan mereka melalui ciuman itu. Bibir yang terasa asin
karna air mata keduanya kini terasa manis semanis cinta yang baru saja mereka
bangun.
Terima kasih untuk Cupid yang telah menancapkan panahnya
dengan sempurna pada sepasang insan di musim gugur ini. Sepasang insan yang
memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama.
.
.
Fin
Yehet :D:D
Ternyata
dulu aku sudah nulis-nulis beginian toh... Hahahaa....
Terima kasih
yang sudah membaca J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar