Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Selasa, 24 Juni 2014

(Fanfiction) No Other



No Other
.
.
.

Inspired By:
Super Junior – No Other

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast:
Yesung a.k.a Kim Jongwoon (Super Junior)
Choi Jirin (OC)

Genre: Sad Romance

Rating: PG-13

Lenght: Ficlet

Disclaimer:
This story is belong to me, don’t claim it as yours, and No Bashing!!

Warning:
Alur ngebut, jalan cerita aneh, typo, OOC, dll
.
(Ini ceritanya sudah saya bikin lamaaaa banget dan saya juga lupa pernah bikin cerita beginian setelah bongkar-bongkar folder draft, ternyata ada satu fanfiction yang lumayan untuk dibaca... Jadi aku posting aja deh dari pada mubazir :p jalan ceritanya juga masih standar dan masih ke-Korean-Korea-an... Happy reading ^^)

Summary:
“Kenapa mencintaimu begitu sesakit ini... Jongwoon-ah, jebal...” (Jirin)
“Aku namja paling bodoh di dunia. Kaulah tempatku seharusnya berada, bukan yang lain..”
(Jongwoon)

<3<3<3

Tempat itu cukup sepi untuk beberapa alasan. Pertama tentu saja ini sudah menjelang tengah malam. Kedua karna derasnya hujan yang mengguyur malam di pertengahan musim gugur ini. Ketiga, yah tempat ini memang merupakan gang kecil yang berada di ujung Distrik Gangnam, Seoul, Korea selatan.

Dengan langkah yang benar-benar dipaksakan pemuda itu menyeret tubuhnya menuju apartemen kecil yang berdiri kokoh di ujung gang. Tubuhnya linglung. Sesekali meringis menahan sakit di bahunya. Hujan yang turun tanpa ampun, membuat pemilik tubuh linglung itu mempercepat langkahnya.

<3<3<3

Sang penguasa cahaya mulai menyibakkan sinarnya. Membuat si penghuni kamar mengerjap-ngerjap untuk membiasakan cahaya yang masuk ke retina matanya.

“Eungh, jangan bergerak. Kumohon biarkan sebentar lagi seperti ini”, pemilik suara baritone di sampingnya menahan tubuhnya dengan tangannya yang melingkar erat di pinggang rampingnya dan mata yang masih terpejam erat.

Selalu seperti ini. Pria ini masuk ke kamarnya dan dengan seenak jidatnya tidur di sampingnya. Tidur? Ya, hanya tidur bersama di ranjang yang sama, tidak lebih.

“Jongwoon-ah, ireona palli. Aku akan terlambat ke kantor”, ucap gadis itu dengan sedikit berbisik. Dengan perlahan ia melepaskan tubuhnya dari dekapan pria di sampingnya.

Pria itu membuka matanya, “Selamat pagi, apa tidurmu nyenyak?”, pria itu tersenyum begitu hangat, kemudian mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang di samping wanitanya. Wanitanya? Entahlah. Dia sendiri tidak mengerti hubungan apa yang terjalin di antara mereka berdua.

Gadis itu hanya tersenyum hambar, menatap lekat pada manik mata pria di sampingnya. Mata yang indah, tajam, dan teduh. Sungguh, ia begitu merindukan tatapan pria ini. Pria bernama Jongwoon. Pria yang sudah membawanya melayang tinggi, sangat tinggi. Kemudian menjatuhkannya hingga terhempas ke tempat terdalam, melebihi dalamnya Samudra Pasifik. Terdengar melankolis memang.

Gadis itu memperhatikan detail lekuk wajah Jongwoon, pahatan sempurna ciptaan Tuhan. “Kau berkelahi lagi?”, tanyanya sembari menyentuh pelan bekas luka yang terlihat jelas di wajah Jongwoon. Ekspresi gadis itu mengisyaratkan kekhawatiran yang sangat.

“Nan gwaenchana, setelah diobati juga sembuh. Kau cepatlah bersihkan dirimu, nanti terlambat”, Jongwoon kembali tersenyum. Gadis itu mengangguk lemah dan menit berikutnya ia sudah berada di kamar mandi besiap-siap menuju kantornya.

<3<3<3

Hari ini weekend. Tanpa dijelaskanpun kau tahulah ini hari di mana semua orang melepas penat di weekday mereka.

Seorang gadis bernama Choi Jirin berdiri dengan merentangkan tangannya di balkon apartemen sederhana yang sudah empat tahun terakhir ini ia tempati. Menikmati terpaan angin khas musim gugur yang menyapa permukaan kulitnya.

Pikirannya kembali ke masa lalu, di mana ia masih merasakan bagaimana itu hidup. Bagaimana ia masih bisa merasakan apa itu cinta, kepada pria bernama Jongwoon tentunya. Kim Jongwoon. Tidak adakah pria lain selain Jongwoon? Kenapa harus Jongwoon? Ya, pria itulah yang membuat Jirin menjejakkan kakinya pertama kali dalam dunia yang disebut cinta. Cinta pertama mungkin. 

Mereka berdua adalah sepasang sahabat sejak pertemuan pertama mereka di hari pertama orientasi kampus. Apa tidak salah dengan menyebut sepasang sahabat? Tentu tidak. Semua orang menyebut mereka ‘pasangan serasi’. Namun kata ‘SAHABAT’ tidak pernah terlepas dari ikatan di antara mereka. Jadi tidak salah kan dengan menyebut ‘pasangan sahabat’.

Aneh memang. Mereka tinggal di apartemen yang sama, namun berbeda kamar. Tapi mereka akan lebih sering terlihat tidur di tempat tidur yang sama. Oh ayolah, jangan pikirkan hal yang buruk. Jongwoon memang pria. Tapi siapa sangka di balik tubuh atletisnya tersimpan ketakutan-tidur-sendiri di kamarnya. Entahlah apakah itu hanya akal-akalan Jongwoon agar dapat terus bersama Jirin atau memang itu kenyataannya.

Jirin masih setia merentangkan tangannya, matanya belum ada tanda-tanda akan terbuka barang sedetik.

“Kau tidak masuk? Udaranya semakin dingin, aku tidak mau kau sakit  Rin-ah”, pria itu, Jongwoon. Memeluk erat tubuh Jirin dari belakang, menghirup dalam aroma tubuh Jirin –aroma yang selalu dirindukannya- tiap saat. Jirin tak menyahut. Posisi tubuhnya masih sama. “Rin-ah, maaf”, ucap Jongwoon lagi. Terdengar nada penyesalan yang sangat kentara di pendengaran Jirin.

Jongwoon mempererat pelukannya,  memberi kehangatan pada wanitanya. Cukup lama mereka mempertahankan posisi tersebut, tanpa suara. Hanya deburan nafas dan detak jantung mereka yang mendominasi situasi saat ini.

Jongwoon dan Jirin sadar betul mereka saling mencintai, mereka saling membutuhkan. Tidak ada seorangpun yang Jirin miliki selain Jongwoon. Begitupun Jongwoon. Mereka berdua terlahir yatim piatu. Yah, terdengar sungguh kebetulan bukan? Tapi bukankah tidak ada ‘kebetulan’ dalam hidup ini? Semuanya berjalan sesuai rencana Tuhan.

Tapi apakah Tuhan juga yang merencanakan mereka hidup bersama tanpa ikatan, hanya sahabat. Jirin tidak pernah melupakan saat itu. Saat ia tahu Jongwoon telah memiliki kekasih. Yah, sakit tentu saja. Apa kata sakit itu terlalu biasa? Kau tidak tahu dalamnya kata ‘sakit’ itu jika kau tidak merasakannya sendiri.

“Woon-ah, apa kau tidak lelah? Berhentilah pulang larut dan jangan berkelahi lagi, kumohon demi aku”, Jirin berbalik, menatap lekat wajah tampan Jongwoon. Jongwoon balas menatap Jirin. Ia pandangi  tiap sudut wajah Jirin. Jirin semakin cantik jika dibandingkan dengan saat di kampus dulu. Hanya saja pipinya lebih tirus sekarang, lingkaran hitam di bawah matanya sangat kontras dengan kulitnya yang putih.

Jongwoon memeluk pinggang Jirin, mempersempit jarak di antara mereka. Jongwoon ingat betul sat ia dengan bodohnya menyia-nyiakan cinta dari wanita di hadapannya, wanita yang juga sangat jelas ia cintai.

“Kenapa kau lakukan ini Woon-ah? Kau tahu hal ini hanya akan menyakiti kita berdua”. Sungguh, siapapun yang mendengar penuturan gadis ini akan merasakan perih yang gadis ini alami.

“Aku bodoh Rin-ah, aku bodoh. Namja pabbo, jeongmal paboya”, jawab Jongwoon tak kalah pilunya tepat di hadapan wajah Jirin. Jirin merasakan hangatnya nafas Jongwoon yang menerpa wajahnya.

Jongwoon menjadi pria bejat yang suka pulang larut, -juga berkelahi- saat wanita di hadapannya ini dengan gamblangnya menyatakan ingin pergi dari hidup Jongwoon. Jongwoon sadar ini karena ulahnya. Demi Tuhan Jongwoon tidak memiliki kekuatan walau sekedar bernafas tanpa Jirin. Jongwoon yang tahu Jirin juga mencintainya, namun dengan ego-nya yang tinggi ia mencari gadis lain dengan alasan mencari yang lebih pantas, yang lebih cocok, yang lebih baik, yang lebih dari segala lebih dari seorang Jirin. Namun ia tidak sadar tak akan ada siapapun gadis yang mampu menyamai Jirin, bahkan melebihi gadis itu.

“Jongwoon-ah, seharusnya sejak lulus kuliah aku tidak menerima ajakanmu membeli apartemen bersama. Seharusnya setelah lulus kuliah aku mencari pekerjaan jauh dari sini, mungkin di Apgujeong. Seharusnya aku sadar kita tidak ditakdirkan bersama, kita ber..hmmpt”, tidak ingin mendengar apapun dari wanita di hadapannya Jongwoon membungkam gadis itu dengan bibirnya. Bibir mereka hanya bersentuhan, tanpa nafsu. Jirin hanya diam tanpa perlawanan.

“Aku akan memperjelas semuanya...”, Jongwoon melepaskan tautan bibir mereka.

“Aku seorang pria yang berkelana seorang diri di dunia penuh fatamorgana ini. Saat aku benar-benar lelah, aku menemukan tempat beristirahat yang nyaman. Sangat nyaman malah. Namun setan mempengaruhiku agar mencari tempat yang lebih nyaman di luar sana. Aku memang menemukannya, tapi tempat itu tidaklah senyaman tempat awal. Aku terus mencari dan mencari tempat lain..”.

“Tak terasa sudah sangat lama aku pergi menelusuri berbagai tempat yang sekiranya dapat memberiku kenyamanan seperti tempat pertama aku beristirahat. Tapi aku tak kunjung menemukan kenyamanan itu. Aku benar-benar muak. Aku tidak tahu, apakah aku harus kembali ke tempat awal atau tidak. Aku yang sudah teramat lelah, tak dapat megendalikan diriku...”, Jongwoon berhenti demi mengisi kekosongan paru-parunya.

“...Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke tempat awal. Tempat awal itu, tak kehilangan pesonanya. Aku bahkan semakin nyaman di sana”, Jongwoon menahan sakit di hatinya akibat perbuatannya sendiri. “Kau tahu, kenapa dulu aku memilih apartemen di ujung gang ini? Itu hanya karna aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu Rin-ah”, Jongwoon menggigit bibir bawahnya berusaha menahan agar cairan bening itu tidak lolos begitu saja dan meruntuhkan pertahanannya.

“Maafkan aku yang sudah mengecewakanmu. Aku, aku ingin memperjelas semuanya Rin-ah. Kaulah rumahku, tempat di mana aku merasa nyaman. Tempat di mana seharusnya aku berada. Tempat di mana aku berbagi suka dan duka, tempat aku menghabiskan sisa hidupku.. kemanapun aku mencari, tidak akan ada wanita sepertimu. Kau mungkin bukan wanita sempurna, tapi kau yang terbaik yang Tuhan berikan padaku, tidak ada yang lain”.

Tangan Jirin bergerak menyentuh wajah pria di hadapannya. Menghapus jejak air mata yang membentuk sungai kecil di wajah lelakinya. Lelakinya? Benarkah? Sudah seresmi itukah  hubungan mereka? Oh ayolah, jangan meperumit keadaan.

Jongwoon memeluk Jirin erat. Sangat erat. Seolah takut wanitanya akan pergi. Jirinpun hanya mampu membalas pelukan Jongwoon, mengusap pelan punggung pria itu. Jongwoon menenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Jirin. Kini leher Jirin terasa basah. Ya, Jongwoon menangis. Pria yang terlihat tangguh itu ternyata begitu rapuh, pria itu juga perlu kekuatan.

<3<3<3

Jalan raya yang padat akan keramaian sungguh terdengar jelas di gang kecil ini. Tak mengusik kegiatan dua orang yang masih asik di balkon apartemen sederhana itu.

Musim gugur, musim yang difilosofikan gugurnya kesedihan dan kesengsaraan umat manusia yang akan segera berganti dengan kebahagiaan yang akan tumbuh perlahan di musim  semi mendatang.

“Woon-ah..”, ucap Jirin sekua tenaga.

“Ne Rin-ah, waeyo?”’

“A, ak ak aku, aku tidak bisa bernafas”.

Jongwoon segera melepas pelukannya, namun tak melepas tangannya dari pinggang Jirin. Jongwoon menatap lekat wajah wanitanya. Mata Jirin yang beberapa saat lalu redup itu kini kembali menampakkan binarnya.

<3<3<3

There’s no one like you
Even if I look around it’s just like that
Where else to look for?
A good person like you
A good person like you, with a good heart like you
A  gift as great as you...
Where else to look for?
(Super Junior -  No Other)

Sungguh Maha Suci Tuhan yang telah memberikan anugerah berupa ‘cinta’ kepada hamba-Nya. Cinta yang tulus tak perlu diucapkan dengan kata “SARANGHAE”, melainkan bagaimana kau menjaga tanpa menyakiti sang “cinta” yang telah Tuhan berikan padamu.

<3<3<3

Jantung merupakan organ vital. Ia akan terus berdetak hingga nafas terakhir, bahkan kadang ia akan berdetak tak terkendali. Itulah yang saat ini dirasakan Jongwoon dan Jirin.

Jongwoon makin menarik pinggang wanitanya, memangkas jarak di antara mereka. Tangannya menarik tengkuk Jirin dengan sangat pelan, menyatukan bibir mereka dengan lembut dan sangat hati-hati seolah Jirin akan hancur. Entah setan dari mana, tangan Jirin kini melingkar sempurna di leher Jongwoon dengan mata yang terpejam sempurna menikmati perlakuan Jongwoon di bibirnya. Ciuman manis yang mencurahkan segala rasa yang selama ini membuncah. Seakan ingin menjelaskan segala perasaan mereka melalui ciuman itu. Bibir yang terasa asin karna air mata keduanya kini terasa manis semanis cinta yang baru saja mereka bangun.

Terima kasih untuk Cupid yang telah menancapkan panahnya dengan sempurna pada sepasang insan di musim gugur ini. Sepasang insan yang memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama.

.
.
Fin

Yehet :D:D
Ternyata dulu aku sudah nulis-nulis beginian toh... Hahahaa....
Terima kasih yang sudah membaca J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar