08.08 p.m.
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Lenght:
OneShot (More than 9.000 words)
Genre:
Surrealism, Family, Friendship,
Fantasy, Failed Thriller T_T
Warning:
Typo betebaran, alur ngebut, jalan
cerita gaje, ceritanya kepanjangan bikin mata perih, de.el.el
.
.
###
Pukul 08.08 malam... Ia datang,
berhati-hatilah...
.
Langkahnya semakin tergesak-gesak menuruni anak tangga
kampus, bahkan nafasnya sudah tak beraturan. Sedangkan pria di belakangnya
berjalan dengan tenang, namun matanya menatap tajam pada pria di depannya yang
semakin mempercepat langkahnya itu. Ketika sampai di anak tangga terakhir, ia
menoleh ke belakang memastikan kalau pria yang berada di belakangnya sudah
cukup jauh tertinggal darinya.
Ia bisa sedikit bernafas lega karena tak melihat pria itu,
hingga ia kembali berlari menyusuri lorong kampus yang sepi berharap segera
sampai ke gerbang kampus dan terlepas dari maut. Langkahnya terhenti seketika
saat pria yang mengejarnya berada tiga meter di hadapannya, sontak ia mundur
beberapa langkah ke belakang. Ekspresi ketakutan tergambar jelas di wajahnya
melihat bagaimana pria di hadapannya menyeringai kearahnya dan semakin mendekat
padanya.
Ingin sekali ia berteriak namun mulutnya seolah terkunci
seribu gembok, bahkan untuk berlari ia tak bisa. Gerakan tubuhnya seperti
terkunci seluruhnya, membuatnya hanya bisa menatap pada pria itu dengan tatapan
memohon. Hingga jarak mereka tinggal 75 cm lagi, ia hanya bisa pasrah dan
memejamkan matanya saat pria itu berdiri tegak di hadapannya dan mengacungkan
sebilah belati berukiran angka 8 di bagian tengahnya. Dan tak lama, ia
merasakan benda tajam menusuk jantungnya membuatnya merasakan perih tak
tertahankan. Sontak ia membuka matanya dan menunjukkan ekspresi kesakitan luar
biasa, dan hingga nyawanya meregang, ia masih bisa melihat pria di hadapannya
itu dengan seringaiannya yang menyeramkan.
###
“Tumben sekali pagi-pagi kau membaca koran? Whoaa, sepertinya
dunia sedang terbalik sekarang”, ucap gadis itu sedikit heboh lantas merebut
sebotol susu di atas meja belajar temannya tadi. Yang ditanya hanya mengendikan
bahunya lantas kembali fokus pada rentetan huruf di atas kertas buram bernama
koran. “Hey Darwin... Tidak perlu terlalu seserius itu”
“Ckk... Kau ini menganggu saja. Diamlah”, pria bernama Darwin
itu kembali mengacuhkan temannya yang mulai membongkar koleksi komiknya di rak
buku.
“Kau seperti ayahku saja, terlalu serius membaca koran.
Memangnya ada berita menarik apa sih?”
“Itulah anak muda zaman sekarang, kau terlalu sibuk membaca
fanfiction sampai tidak tahu ada berita yang ramai dibicarakan orang-orang”
“Memangnya ada apa?”
Darwin menghampiri temannya itu lantas menunjukkan bagian
yang menjadi Headline News surat kabar yang tadi dibacanya. “Seorang Mahasiswa
meninggal di depan gerbang kampus dengan sebuah tusukan di jantungnya...”,
Darwin mencoba menjelaskan. “Tapi yang aneh adalah, kejadian ini persis dengan
beberapa kasus sebelumnya. Di kampus yang sama tiap tanggal di akhir bulan,
selalu terjadi kasus serupa”
“Maksudmu kasus yang terjadi di kampus kita?”
Darwin mengangguk pasti.
“Wow, itu menyeramkan”
“Tssk, ekspresimu bahkan tidak menunjukkan kalau berita itu
menyeramkan”, Darwin mencibir temannya itu lalu meletakkan korannya ke atas
meja nakas. “Sudahlah, ayo kita pergi.. Kakakmu pasti sudah menunggu”
“Heumm... Ayo...”, ekspresi temannya kini menjadi lebih
berbinar dan berjalan mendahului Darwin keluar kamar.
###
“Kenapa lama sekali?”
“Tadi Darwin membaca koran dulu, jadi aku menunggunya sampai
ia selesai. Hey Darwin cepatlah,, kau ini lambat sekali jalannya...”
Darwin mencoba mempercepat langkahnya, beberapa barang yang
ia bawa membuatnya kesusahan berjalan dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Hingga tiba di dekat mobil, ia segera meletakkan semua barang-barang itu ke
dalam bagasi. “Kau curang, kenapa aku yang membawa semuanya”, Darwin menggerutu
lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di jok penumpang di samping kemudi.
“Kau kan laki-laki, jadi harus kuat”
Darwin memanyunkan bibirnya, lantas bersandar dengan nyaman,
tak berniat kembali melawan gadis yang duduk di kursi belakang. Sedangkan pria
yang duduk di balik kemudi hanya terkekeh melihat kelakuan dua orang itu.
“Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang. Nanti keburu tengah
hari...”
“Ayo kita berangkat... Let’s go!”, gadis itu berteriak
semangat. “Hey Darwin jangan tidur, bukannya kau yang mengusulkan untuk piknik
hari ini huh?”
“Aku tidak tidur Mer, kau tidak lihat dari tadi mataku bahkan
tak berkedip?”
“Kau berlebihan sekali. Mana mungkin matamu tak berkedip”,
gadis itu juga mulai menyandarkan punggungnya dengan nyaman lantas mengalihkan
perhatiannya keluar mobil.
Pria di balik kemudi mulai menjalankan mobilnya perlahan.
Hari ini hari Minggu dan mereka bertiga berencana piknik untuk menyegarkan
pikiran mereka karena tugas-tugas kuliah yang seolah tak ada habisnya.
“Ka’, nyanyikan sebuah lagu...”, pinta Umairoh ketika mobil
mereka sudah menjauh dari rumah Darwin.
“Kenapa kau tidak memintaku saja yang menyanyi? Ka’ Darwis
tidak mungkin akan melakukannya...”
“Kalau kau yang menyanyi, kami berdua pasti akan tertidur..
Aku sudah bisa menebak lagu yang akan kau nyanyikan pasti Soledad-nya
Westlife...”
“Hey, lagu itu tidak membuat mengantuk”
“Tapi cara kau menyanyikannya yang membuat mengantuk”
Darwis menggeleng pelan sambil tetap berkonsentrasi pada
jalanan di depannya. “Sudahlah, kalian selalu saja berdebat. Apa tidak bosan?”
“Tidak”, jawab kedua orang itu hampir bersamaan.
“Berhentilah mengikutiku Mer”
“Aku tidak mengikutimu”
“Kau bohong”
“Hello Tuan Darwin... Anda terlalu percaya diri, aku bahkan
tidak pernah ada niatan untuk mengucapkan satu kata bersamaan denganmu”
“Jujur saja tidak usah sungkan...”
“Apa katamu???”, Umairoh mulai menyalak di kursi belakang
membuat Darwis menghela nafas melihat kedua bocah yang jarang akur itu.
“Lebih baik tidak usah ada yang menyanyi dan kalian berdua
lebih baik tidur saja dan nikmati perjalanan ini oke”, Darwis berusaha
mengakhiri perdebatan yang tidak penting Umairoh dan Darwin, jika tidak segera
dilerai maka sampai mereka di tempat tujuanpun tidak akan selesai.
Umairoh melipat kedua tangannya di depan dada dan terlihat
kesal, “Tapi aku tidak mengantuk ka’, suruh Darwin saja yang tidur”
“Tanpa kau suruh pun aku akan tidur”, Darwin mulai memasang
headset dan bersiap memejamkan matanya.
“Kau kan juga bisa mendengarkan lagu-lagu balad supaya
mengantuk Mer”
“Tidak mau, kepalaku sakit kalau masih pagi seperti ini tidur
ka’..”
Darwis tersenyum menanggapi perkataan adik perempuannya itu,
“Baiklah kalau begitu temani kaka’ menyetir saja...”
“Oke baiklah”
###
Sekarang mobil mereka masih melaju dengan kecepatan sedang.
Cuaca di hari Minggu ini cukup cerah, matahari yang bersinar tidak begitu terik
sehingga cocok sekali untuk bersantai di luar rumah. Umairoh masih saja tidak
berhenti bicara di sepanjang jalan membuat Darwis kewalahan menjadi lawan
bicara adiknya, sedangkan Darwin, pria itu tetap syahdu dengan dengkuran
halusnya tanpa menghiraukan keadaan di sekitarnya.
“Apa masih lama ka’?”, Umairoh mengamati pemandangan dari
balik kaca mobil.
“Sebentar lagi..”
Umairoh mengangguk kecil, “Oh ya, kaka’ sudah dengar tidak
mengenai mahasiswa yang meninggal di depan gerbang kampus kita? Bahkan tadi
pagi jadi Headline News di koran. Darwin bilang kejadiannya sama persis dengan
beberapa kasus sebelumnya, sama-sama terjadi di tanggal akhir bulan. Ckk,
pembunuhnya benar-benar biadab. Bukan hanya itu, aku bahkan jadi takut melewati
gerbang kampus. Tempat itu pasti mendadak angker karena arwah para korban yang
dibunuh itu gentayangan karena ingin balas dendam atas kematian mereka”
Senyum yang sejak tadi menghiasi wajah Darwis seketika pudar
mendengar perkataan Umairoh. Jemarinya yang sedang memegang setir bergerak tak
nyaman, bahkan konsentrasinya sedikit buyar. Hampir saja mobil mereka menabrak
truk pengangkut pasir yang berada di depan kalau saja Darwis tidak buru-buru
menginjak rem mobilnya.
Karena Darwis menginjak rem mobil cukup kuat, sehingga mobil
otomatis berhenti mendadak dan membuat Darwin yang terlelap langsung sadar
seketika. “Ada apa? Ada kecelakaan???”
Darwis tak menjawab, ia hanya diam dan terlihat
tersengal-sengal. Sepertinya ia juga cukup terkejut karena hampir saja nyawa mereka
melayang jika ia tidak segera mengembalikan konsentrasinya.
Darwin menoleh ke belakang dan menatap Umairoh yang juga
sepertinya sangat terkejut. Darwis tak memberikan reaksi ataupun mengatakan
apapun, dan mobil mereka terdiam beberapa saat di tengah jalan. Hingga bunyi
klakson dari kendaraan di belakang mobil mereka saling bersahutan, barulah
Darwis tersadar dan menjalankan mobilnya dengan cukup pelan.
“Kakak.. Kakak baik-baik saja kan?”, ragu-ragu Umairoh
mengeluarkan suaranya. Sedang Darwin hanya menatap heran pada Darwis yang
menunjukkan ekspresi yang tak bisa ia mengerti.
“Ka’...”, lagi-lagi Umairoh memanggil kakaknya.
“Oh? I, iya.. Iya kakak baik-baik saja. Ma maaf tadi kakak
tidak konsentrasi”
Umairoh menghembuskan nafas panjang. “Untunglah kakak tidak
apa-apa. Ckk, ini gara-gara kau Darwin. Kenapa kau menyuruh kakakku yang
menyetir? Kita kan bisa saja menggunakan supir”
Darwin kembali menoleh ke belakang dan menunjukkan ekspresi
protesnya pada Umairoh, “Kenapa menyalahkanku? Kan lebih hemat dari pada
menyewa seorang supir, lagi pula-“
“Sudahlah, jangan berdebat terus. Sebentar lagi kita sampai”,
Darwis kembali menengahi mereka meskipun ekspresinya wajahnya masih tidak bisa
dijelaskan.
Kedua bocah itu lantas terdiam dan selama mobil mereka melaju
menuju tempat piknik, tak ada seorangpun diantara mereka yang berniat
mengeluarkan suaranya.
###
Ketiga orang itu kini tengah menyantap bekal yang tadi mereka
bawa. Ide Darwin tidaklah buruk, setidaknya saat ini mereka bisa melepas penat
dengan menikmat pemandangan di sekitar danau yang masih asri. Air danau yang
tenang dan hanya beberapa orang di sekitar danau ini selain mereka bertiga,
membuat suasana terlihat begitu damai.
“Hmmm... Aku benar-benar menyukai tempat ini”, Umairoh
menselonjorkan kakinya sambil merentangkan kedua tangannya. Gadis itu terlalu
menyukai udara sejuk di tempat ini, yang jarang sekali bisa ia rasakan.
“Tentu saja... Siapa dulu donk yang punya ide”, Darwin
memanggakan dirinya. “Iya kan ka’?”
Umairoh juga lantas menoleh pada Darwis. Pria itu tidak
banyak bicara sejak mereka turun dari mobil tadi. “Kak Darwis, apa ada
masalah?”, lanjut Darwin karena Darwis tidak menunjukkan reaksi apapun untuk
mejawab pertanyaannya.
“Kakak sakit?”, sambung Umairoh.
Darwis tersenyum sedikit dipaksakan, dan menghela nafas.
“Kakak tidak apa-apa”
Darwin mengangguk-angguk diikuti Umairoh. “Oh ya, apa angka
kesukaan kalian?”, tanya Darwin sambil mengunyah kepingan terakhir biskuit
kenari yang tadi ia bawa. Sebenarnya ia tidak benar-benar berniat menanyakan
hal itu, ia hanya tidak suka jika tidak ada pembicaraan di antara mereka. Ia
benci sekali suasana sepi.
“Aku angka satu”, jawab Umairoh cepat.
Alis Darwin terangkat, “Satu? Kenapa?”
“Karena angka satu adalah angka yang istimewa. Ada yang bilang
juga kalau angka satu itu angka keberuntungan. Bukankah angka satu itu spesial?
Setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi yang nomer satu. Bukankah itu berarti
angka satu spesial?”
“Apanya yang spesial? Angkanya hanya berupa garis lurus.
Tidak kreatif”
“Kau menyebalkan sekali Darwin. Kau tidak pernah setuju
dengan pendapatku sekalipun aku benar”, Umairoh memutar matanya malas. “Lantas
kau sendiri suka angka berapa?”
“Eumm, kalau aku suka angka sembilan. Tidak usah tanya kenapa
karena aku akan langsung memberitahukan kalau angka sembilan itu adalah angka
yang menunjukkan keberuntungan di masa depan”
“Tapi angka sembilan itu tidak konsisten”
“Kenapa?”
“Karena kalau di balik angka sembilan akan menjadi angka
enam. Coba bandingkan dengan angka satu, meskipun dilihat dari sisi manapun
akan tetap sama bentuknya”
“Tsk, tidak mau kalah”, Darwin lantas menenggak sekaleng soft
drink.
“Memangnya kita sedang mencari siapa yang menang siapa yang
kalah? Bukankah tadi kau hanya bertanya angka yang paling disukai? Eumm,
bagaimana dengan kakak?”, fokus Umairoh beralih pada Darwis. Darwin-pun ikut
menatap Darwis menunggu jawaban yang keluar dari mulut pria yang setahuh lebih
tua dari dirinya dan Umairoh itu.
“Delapan”
“Kenapa?/Delapan?”, Umairoh menatap tajam Darwin karena
mereka kembali mengucapkan kata bersamaan.
“Hmm, kenapa ya. Karena angka delapan itu unik?”, Darwis
mengangkat bahunya lalu kembali berfikir. “Ada yang mengatakan kalau angka
delapan selalu membawa keberuntungan ekstra dimanapun angka ini muncul. Angka
delapan juga dianggap lambang infinity atau angka yang tak pernah berakhir,
keberuntungan tiada akhir. Dalam tradisi Tionghoa, angka delapan merupakan
pertanda rejeki nomplok, sedangkan di Jepang angka delapan merupakan pertanda
keberuntungan”
Umairoh mengangguk-angguk, Darwin juga melakukan hal yang
sama. “Lantas apa yang unik dari angka delapan?”, tanya Darwin yang kembali
membuat Umairoh mengangguk-angguk karena ia juga penasaran tentang keunikan
angka delapan itu.
“Secara tipografi, angka delapan terlihat indah. Angka
delapan terbentuk dari sebuah tarikan garis yang tak terputus-”
“Bukankah angka nol juga sama ka’?”, potong Umairoh cepat
sebelum Darwis menyelesaikan kalimatnya.
“Memang benar, tapi angka delapan begitu estetis membentuk
rangkaian lengkung yang begitu anggun dan tidak se-membosankan angka nol yang
hanya berbentuk lingkaran saja”
Darwin mengangguk setuju, “Benar kak, apalagi angka satu yang
hanya berupa sebuah garis lurus. Benar-benar angka yang tidak kreatif”. Umairoh
hanya memutar matanya jengah karena Darwin kembali mempermasalahkan bentuk
angka satu.
Darwis melanjutkan penjelasannya, “Bandingkan dengan
angka-angka lainnya, mereka terbentuk dari satu garis putus dan bahkan dua
garis waktu kita tulis. Bentuk angka delapan juga sangat konsisten, bentuknya
akan terlihat sama dilihat dari sudut manapun. Meskipun angka nol juga sama,
tapi angka nol itu membosankan”
Umairoh dengan serta merta tertawa terbahak-bahak. “Hahaa..
Sepertinya kakak tidak suka dengan angka nol, karena sejak tadi menyebut angka
nol itu membosankan”
“Memang benar membosanakan. Apalagi angka satu, sudah hanya
berupa garis lurus, benar-benar tidak kreatif seperti angka sembilan yang
memiliki lengkungan. Sudah begitu angka satu itu terlalu kurus, bandingkan dengan
tubuhmu yang errr”, Darwin segera bangkit dari duduknya dan berlari sejauh yang
ia bisa karena Umairoh sudah pasti murka dan bersiap menjitak kepalanya tanpa
ampun.
“Hyaa! Berhentilah menghina angka satu Darwin... Angka
sembilan itu tidak konsisten kau tahu!!”, Umairoh berteriak kesal lantas
berusaha mengejar Darwin yang sudah cukup jauh berlari.
Darwis hanya menatap mereka berdua yang berlari kejar-kejaran
di pinggir danau seperti anak kecil. Sudut bibirnya tertarik meskipun sedikit
dipaksakan. Perasaan bersalah tiba-tiba menjalar di pikirannya.
###
Lorong lantai satu yang sangat sepi bahkan minimnya
penerangan membuat langkah pria bertubuh pendek itu semakin cepat, pasalnya
aura mencekam semakin terasa mengingat saat ini adalah akhir bulan dan menurut
rumor yang beredar akan ada korban lagi yang terbunuh malam ini. Sebenarnya ia
sama sekali tak berniat kembali ke kampus pada malam hari kalau saja ia ingat
untuk tidak meninggalkan buku Pengantar Manajemennya tadi siang.
Setelah mendapatkan bukunya, ia segera berlari keluar
berharap segera sampai ke gerbang kampus. Waktu masih menunjukkan pukul 08.05
malam namun suasana di dalam kampus terasa seperti sudah tengah malam
membuatnya kembali berlari menyusuri koridor kampus. Kakinya yang tidak begitu panjang
membuatnya sedikit kesulitan berlari.
Setidaknya ia bisa bernafas lega karena gerbang kampus sudah
berada dalam jarak pandangnya dan tinggal beberapa meter lagi ia mencapai
gerbang itu. Kembali ia memacu langkahnya untuk menuju gerbang kampus sampai
sebuah sentuhan di pundaknya membuat langkahnya terhenti bahkan ia terlonjak
saking kagetnya. Ia bisa saja mengabaikan seseorang atau makhluk atau apapun
yang menyentuh pundaknya kalau saja rasa penasarannya tidak mencuat untuk
melihat siapa yang menyentuh bahunya. Lamat-lamat pria itu berbalik,
dipikirannya sudah tergambar makhluk menyeramkan seperti apa yang ia jumpai di
balik punggungnya.
Matanya melebar seketika mendapati seseorang yang menyentuh
bahunya tersebut. Pria itu terlihat menghembuskan nafasnya karena setidaknya
bukan makhluk halus dengan wajah buruk rupa yang ia temui. “Kau si sia pa?”
Yang ditanya tak menjawab, ia hanya menunjukkan sebuah
seringaian yang membuat pria bertubuh pendek di hadapannya sontak memundurkan
beberapa langkah kakinya. “K kau, kau... Apa yang akan kau lakukan?”, pria
bertubuh pendek itu semakin memundurkan langkahnya, ia bahkan kesusahan menelan
salivanya. Nafasnya sudah tak beraturan, jantungnya berdebar terlalu kencang..
dan keringat mengucur deras di pelipisnya. Ia ingin sekali meyakinkan kalau
penglihatannya salah, namun dalam jarak pandang sedekat ini membuatnya yakin
kalau orang di hadapannya ini adalah-
“Aaaaaargh...”, benda tajam seketika menghujam jantungnya
tanpa rasa ampun. Matanya bahkan semakin melebar dan mulutnya yang menganga
menahan perih luar biasa, buku yang dibawanya terjatuh dan tak lama tubuhnya
merosot di atas tanah.
Ia bisa merasakan cairan hangat mengalir dari jantungnya dan
mulutnya, bahkan bau cairan itu menguar menyapa indra penciumannya. Sebelum
nyawanya benar-benar meregang ia sempat melihat pria itu menjilati darahnya
dengan rakus.
“K ka kau kauh pe pem bun nuhh...”
Kalimat terakhir dari pria itu membuat senyum di wajah
pembunuh itu mengembang, lantas mengusap bibirnya membersihkan darah yang
merembes disekitar mulutnya. “Kau benar...”, ucapnya pelan lalu memungut buku
pria yang terjatuh itu dan kembali ke koridor kampus menyisakan pria bertumbuh
pendek yang bersimbah darah yang sudah tak bernyawa lagi itu di halaman kampus.
###
“Kau yakin Darwin?”
“Tentu saja yakin. Kau takut huh?”, Darwin mulai menaiki
motor sportnya.
“Tapi aku tidak mau mati konyol di kampus”
“Kita tidak akan mati tenanglah. Ayo cepat naik”. Umairoh
dengan sedikit ragu duduk di atas motor. Pasalnya ia juga penasaran mengenai
kasus pembunuhan di kampusnya itu. Tapi mengingat ia yang hanya memiliki satu
nyawa –tidak seperti Gumiho- ia jadi ragu untuk menyelidiki kejadian itu.
Ini pukul delapan malam dan tadi siang Darwin memaksa Umairoh
untuk menemaninya ke kampus malam ini demi menyelidiki kasus pembunuhan yang
menurut hipotesis Darwin selalu terjadi di setiap akhir bulan. Dan pada tanggal
akhir bulan ini, ia akan memastikan kalau hipotesisnya itu benar. “Bagaimana
kalau itu hanya kebetulan saja? Maksudku, siapa tahu pembunuh itu juga tidak
sadar kalau ia melakukan aksinya di tiap akhir bulan?”, tanya Umairoh saat
motor Darwin melaju dengan kecepatan sedang.
“Kurasa tidak mungkin. Kalau itu hanya kebetulan, kenapa lima
kasus berturut-turut selalu terjadi di waktu yang sama?”
“Tapi... kalau memang benar begitu, bagaimana kalau saat
sampai di kampus nanti kita yang menjadi incaran pembunuh itu?”
“Maka kau yang aku korbankan dan aku akan kabur secepatnya”
“Dasar menyebalkan”. Darwin mempercepat laju motornya membuat
Umairoh mau tak mau makin memepererat pegangannya pada pinggang Darwin.
Darwin memakirkan motornya di depan kedai kopi tak jauh dari
kampus dengan alasan agar tidak menimbulkan suara yang membuat pembunuh
–yang-mungkin-sedang-berada-di-kampus- curiga. Umairoh hanya pasrah saja
mengikuti temannya itu berjalan menuju kampus mereka, sesekali merengek pada
Darwin untuk membatalkan saja rencana konyolnya. Toh mereka kan bukan detektif
dari bagian kepolisian yang berkewajiban untuk menangani kasus pembunuhan itu.
“Kita pulang saja yuk, perasaanku mulai tidak enak”, Umairoh
menggamit lengan Darwin namun pria itu bukannya berpikir ulang untuk
membatalkan rencananya malah semakin mempercepat langkahnya menuju gerbang
kampus.
“Tidak usah takut. Ada Mr. Darwin bersamamu jadi kau tenang
saja okey...”, pria itu sama sekali tak mengindahkan rengekan Umairoh yang
sudah sangat ketakutan.
Suasana kampus yang sepi dan minimnya pencahayaan menyambut
mereka saat mereka memasuki gerbang kampus. “Kenapa sepi sekali? Apa tidak ada
orang di kampus?”
“Ini kan malam Mer... Kampus kita hanya menjalankan
aktivitasnya pada siang hari”, Darwin mengedarkan senter yang ia pegang ke
segala arah. “Bersiaplah memacu adrenalinmu malam ini Mer”, Darwin menarik
lengan Umairoh untuk mengikutinya masuk ke dalam kampus. Pria itu terlalu
bersemangat, dalam hatinya sedikit ada niat jahil untuk menakuti gadis itu
karena ia tahu Umairoh sangat takut dengan kegelapan.
“Kyaaaaaaa!”, Umairoh menjerit histeris karna ia merasa telah
menginjak sesuatu, dan benar saja saat ia menoleh ke bawah ia semakin histeris
karena samar-samar ia melihat tangan seseorang. Umairoh tak bisa bergerak
karena kakinya seolah kehilangan tenaga dan menatap Darwin dengan ekspresi
ketakutan yang luar biasa. Darwin yang terkejut lantas mengarahkan senternya ke
arah kaki Umairoh dan keterkejutan mereka semakin bertambah karena ada mayat
yang sudah bersimbah darah di dekat kaki mereka.
Darwin menarik Umairoh
menjauh dari mayat itu hingga beberapa meter, ia langsung memeluk Umairoh
menenangkan gadis itu. “Tidak apa-apa, tenanglah....”
Tak ada reaksi apapun dari Umairoh, ia terlalu terkejut dan
ketakutan di waktu yang bersamaan. Ia bahkan sudah menangis sekarang, tidak
menyangka kalau malam ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang
korban pembunuhan di kampusnya. Memperkuat dugaan Darwin kalau pembunuh itu
memang melakukan aksinya di tiap akhir bulan.
“Lebih baik sekarang kita temui penjaga kampus”, Darwin
melepaskan pelukannya dan menatap temannya yang ketakutan. “Hssyt, jangan
menangis yaa...”, Darwin tersenyum meyakinkan Umairoh dan menghapus air mata
gadis itu. Umairoh masih tak menunjukkan reaksi apapun, ia hanya bisa mengikuti
langkah Darwin menuju ruang penjaga kampus yang berada di ujung kanan lantai
pertama dan menggenggam erat tangan Darwin. Sesekali ia menoleh ke belakang
memastikan mayat itu masih berada di tempat yang sama.
###
Halaman kampus dipenuhi oleh pihak kepolisian serta
masyarakat sekitar yang ingin melihat mayat yang menjadi korban ke-enam dalam
enam bulan terakhir setelah lima kasus sebelumnya terjadi di tempat yang sama
dan pada waktu yang sama. Kepolisian masih berusaha mencari pelaku dan motif
pembunuhan yang dilakukan oleh pembunuh tersebut.
Darwin dan Umairoh saat ini sedang diinterogerasi oleh dua
orang detektif kepolisian karena mereka berdua yang pertama kali melihat mayat
tersebut. Sejak tadi yang menjawab semua pertanyaan detektif itu hanya Darwin,
sedangkan Umairoh hanya diam saja. Ia benar-benar masih belum bisa meredakan
ketakutannya.
“Saya juga tidak melihat siapa pembunuhnya karena saat kami
baru tiba di halaman, mayat itu sudah tergeletak di tengah halaman”
“Apa kalian mengenal korban?”, Darwin dan Umairoh sama-sama
menggeleng.
“Tapi untuk apa Anda berdua datang ke kampus pada malam hari
seperti ini? Bukankah kampus Anda tidak ada perkuliahan malam?”, tanya detektif
yang bertubuh agak tambun.
Darwin menatap Umairoh sekilas, lalu kembali menjawab,
“Memang tidak ada perkuliahan malam hari, hanya saja kami berdua...”, Darwin menggantungkan
kalimatnya dan kembali saling bertukar pandang dengan Umairoh.
Detektif itu menunggu kalimat yang akan dikatakan Darwin,
detektif satunya –yang bertubuh lebih kurus dan berkumis tebal- masih terus
menuliskan sesuatu dalam buku catatannya. “Sebenarnya kami berdua penasaran
mengenai kasus pembunuhan di kampus kami”
Detektif yang sejak tadi terus menulis itu berhenti lalu
mengalihkan fokusnya pada Darwin, “Kenapa?”
“Entahlah, seperti yang kalian tahu kalau pembunuhan serupa
juga dialami oleh kelima korban sebelumnya.. sama-sama terjadi pada akhir bulan
dan juga waktunya pada malam hari”
“Jadi kalian ingin tahu pembunuhnya begitu?”
Darwin mengangguk. Umairoh yang bosan karena sejak tadi
pertanyaan detektif itu hanya itu-itu saja bahkan ada beberapa pertanyaan yang
sudah diulang mencoba mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman kampus
yang sekarang sudah tidak sepenuh tadi. Sudah banyak masyarakat yang kembali ke
rumahnya, dan mayat korban tadipun sudah dibawa ke kantor polisi untuk diotopsi.
Sekilas ia melihat sekelebat bayangan seseorang yang tak asing baginya berjalan tergesak-gesak keluar melewati
gerbang kampus.
“Kak Darwis?”, ucapnya pelan. Kening gadis itu mengkerut,
sejenak ia berpikir kalau kakaknya tidak mungkin datang ke kampus karena pria
itu saat sini sedang bersama teman-temannya studi banding ke luar kota.
“Jadi apa kami sudah boleh pulang sekarang?”
“Oh ya tentu, terima kasih atas waktu kalian dan kami harap
jika kalian menemukan tanda-tanda si pembunuh segera melaporkannya pada kami”,
detektif yang berkumis tebal berdiri dan mempersilakan Umairoh dan Darwin untuk
beranjak pergi.
“Kau baik-baik saja Mer?”, Darwin menyentuh pelan bahu
Umairoh, ia tahu kalau gadis itu masih terkejut melihat mayat tadi. Umairoh
menatap Darwin, ia ingin mengatakan sesuatu namun ia urungkan karena menurutnya
yang ia lihat tadi bisa saja salah. “Sudahlah Mer tak apa, untungnya kita tidak
jadi korban malam ini dan tidak masuk Headline News di koran besok pagi”,
Darwin mencoba bergurau berharap gadis itu tidak tegang lagi. Tapi sepertinya
usahanya gagal karena Umairoh masih menunjukkan ekspresi seperti tadi.
“Ya sudah ayo naik...”
Darwin melajukan motor sportnya meninggalkan kampus, saat ini
sudah pukul sembilan malam dan mereka harus segera beristirahat karena besok
pagi mereka harus kuliah.
###
“Sudah kubilang jangan memaksaku melakukannya lagi!!!”
Temaramnya cahaya membuat ekspresi berontak dari pria yang
berteriak sejak tadi itu tidak begitu terlihat. Sedang yang ia ajak bicara
hanya menyeringai lalu menyentuh dagu pria di hadapannya. “Hanya lakukan dua
kali lagi maka kau akan kulepaskan”, suaranya terdengar sangat datar namun
entah mengapa bagi pria di hadapannya suara itu begitu mengerikan bahkan
membuat otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih.
“KUBILANG HENTIKAN SEMUANYA!!”, suara pria itu meninggi
membuat ekspresi lawan bicaranya berubah dan seketika seringaiannya hilang
diganti dengan ekspresi menghakimi.
~Buggh..
Sebuah tinjuan keras mendarat di pipi kanan pria itu
membuatnya meringis dan terhuyung beberapa langkah ke belakang. Dengan serta
merta ia memegangi pipinya yang terasa berdenyut bahkan sudut bibirnya sudah
mengeluarkan darah.
Lawan bicaranya itu kembali mendekat ke arahnya dan menyentuh
pelan bahunya, ekspresinya melunak dan berbisik pada pria di hadapannya itu.
“Sudah kukatakan jangan pernah melawanku dan lakukan apa yang kukatakan. Kau
yang berjanji melakukan apapun untukku.. Sobat...”
Nafas pria di hadapannya itu tertahan. Suara itu... Panggilan
itu... Ia merindukan suara itu, ia merindukan panggilan itu. Ditatapnya lawan
bicaranya itu dengan pandangan memohon, berharap untuk melepaskannya kali ini.
Ia benar-benar sudah tak sanggup melakukannya.
Lawan bicara pria itu menghapus darah yang ada sidut bibirnya
dengan ibu jarinya dan menjilat darah itu tanpa rasa jijik. “Beristirahatlah...
Kau pasti lelah. Temui aku lagi di waktu yang sama”, kedua sudut bibirnya
tertarik lantas berbalik dan meninggalakan pria itu yang langsung terduduk
dengan menekuk lututnya.
###
Darwin saat ini sedang berada di kamar Umairoh untuk
mengerjakan tugas Akuntansi. Dan beberapa hari ini pria itu tidak bisa berhenti
membicarakan mengenai pembunuhan yang terjadi di kampusnya membuat Umairoh
bosan bahkan sekarang ia terlihat enggan meladeni tiap ucapan Darwin kalau
sudah mulai membicarakan pembunuhan itu.
“Apa sebaiknya kita periksa CCTV di kampus saja?”, Darwin
memainkan bolpoin di tangannya.
“Berhentilah memusingkan dirimu karena hal itu. Pihak
kepolisian pasti sudah menyelidik CCTV di kampus.. Lebih baik kau cepat
selesaikan tugasmu dan jadilah mahasiswa yang baik agar kau tidak menjadi
target pembunuhan selanjutnya”
“Tapi Mer-“, Umairoh langsung menutup telinganya tak berniat
sama sekali mendengar ucapan Darwin. Untuk apa pria itu memikirkan siapa
pembunuh ke-enam korban itu, ia bukan seorang detektif. Darwin berusaha
melepaskan tangan Umairoh yang menutupi telinganya, “Hey ayolah dengarkan aku
dulu...”
“Tidak mauuu... “, Umairoh menggeleng kuat dengan tetap
mempertahankan posisi tangannya yang menutupi telinganya.
“Ckk... Kau ini menyebalkan sekali”, Darwin mendengus lalu
menutup bukunya.
Umairoh menautkan alisnya bingung, “Kau sudah selesai?”
Darwin langsung berdiri dan menuju pintu kamar, “Aku mau ke
tolilet dulu”
Umairoh hanya mengangguk-angguk lalu kembali fokus pada
tugasnya yang sempat tertunda karena Darwin yang mulai membicarakan tentang
pembunuhan itu. Baru saja ia akan menuliskan Jurnal Penjualan Obligasi pada
lembar jawabannya saat ia mendengar pintu kamarnya terbuka.
“Cepat sek-“, ucapannya terhenti saat melihat siapa yang
membuka pintu itu. “Kakak? Sudah pulang?”, Umairoh langsung berdiri dan
menyambut kakak laki-lakinya yang berdiri di ambang pintu kamarnya masih dengan
memegangi gagang pintu. Pria itu tersenyum lalu membuka daun pintu lebih lebar
untuk masuk ke dalam kamar adiknya itu.
“Hmm... Begitulah. Ugh, kakak lelah sekali”, ia langsung
melempar tas ranselnya di samping ranjang dan menghempaskan tubuhnya di kasur
empuk adiknya. Umairoh duduk di samping kakaknya, mengamati lamat-lamat wajah
kakaknya yang sedang terpejam dan terlihat cukup lelah.
“Kalau kakak lelah cepatlah mandi. Biar aku yang bawakan
ransel kakak ke kamar kakak”, Umairoh bangkit dari duduknya lalu mengambil
ransel hitam milik Darwis dan bersiap melangkah keluar kamarnya menujur kamar
kakaknya di sebelah kamarnya.
“Mer...”, panggil Darwis saat Umairoh sudah berada di ambang
pintu. Pria itu langsung bangkit dari posisinya dan menatap adiknya yang sedang
menunjukkan ekspresi ada-apa-kakakku-tersayang?
“Um.. Tidak apa-apa, kakak hanya merindukan adik kakak yang
cantik”, Darwis menunjukkan cengirannya yang membuat Umairoh lantas memutar
bola matanya malas lalu berjalan keluar kamarnya tanpa berniat membalas ucapan
kakaknya itu. Darwis menghela nafas panjang dan kembali merebahkan tubuhnya di
atas tempat tidur Umairoh.
“Taraaa... Dua gelas es kelapa siap untuk-“, Darwin hampir
saja menumpahkan isi gelas yang ia bawa karena terkejut melihat pria berkaki
panjang yang sedang berbaring telentang di tempat tidur Umairoh. Dan untung
saja ia langsung mengenali pria itu, kalau tidak bisa saja isi kedua gelas itu
ia tumpahkan tepat ke wajah pria itu. Lupakan konsekuensi jika kasur Umairoh
basah dan kotor karena tumpahan es kelapa, asalkan ia bisa menyelamatkan Umairoh
dari pria asing yang tiba-tiba masuk ke kamar temannya itu.
“Kak Darwis?? Kapan datang??”, tanyanya heboh lalu meletakkan
dua gelas es kelapa itu di dekat buku tugasnya, dan setelahnya menghampiri
Darwis yang membuat pria itu langsung terbangun karena Darwin
mengguncang-guncang tubuhnya dengan beringas. “Mana oleh-olehnya kak?”
“Kau pikir aku keluar kota bersenang-senang huh?”
Darwin memanyunkan bibirnya, “Yah, siapa tahu saja kan kalian
studi banding sambil berjalan-jalan begitu”
“Kak, cepat mandi.. Tas kakak sudah aku taruh di kamar kakak
dan isinya juga sudah aku bereskan”, suara Umairoh menginterupsi perbincangan
Darwin dan Darwis.
Darwin mengabaikan kehadiran Umairoh dan kembali mengalihkan
perhatiannya pada pria di sampingnya, “Jadi kakak benar-benar tidak membawa
oleh-oleh? Aissh...”
“Kau ini kenapa sih Darwin? Kakakku sedang capek dan jangan
mengganggunya, sudahlah kak tidak usah dengarkan rengekan anak kecil ini..
Lebih baik kakak mandi sekarang”
Darwin mendengus sebal lalu kembali duduk di dekat tumpukan
buku di lantai sambil menyeruput isi gelas yang tadi ia bawa. Darwis tersenyum
tipis melihat kelakuan teman adiknya itu. “Mer... Kalian hanya mengerjakan
tugas kan? Kalian tidak melakukan hal-hal aneh kan?”
Umairoh menatap bingung kakaknya yang masih belum beranjak
dari atas tempat tidurnya, “Maksud kakak apa?”
“Yah, kalian kan berbeda jenis. Siapa tahu saja makhluk di
sampingmu itu melakukan hal-hal yang tidak-tidak padamu”
Darwin hampir saja tersedak mendengar ucapan Darwis barusan.
Sedangkan Umairoh dan Darwis hanya terkekeh melihat Darwin yang menunjukkan
ekspresi protesnya. “Kak Darwis, sepertinya kakak tidak suka denganku kalau aku
dekat dengan Umairoh... Sudah kubilangkan aku ini bukan pria seperti itu”
“Kau benar. Aku tidak
suka denganmu karena namamu hampir sama denganku”
“Yaah... Apa urusannya dengan nama kita yang hampir mirip?”
“Tskk.. Kalian ini para pria tidak boleh berdebat di dalam
kamar seorang gadis. Lebih baik kakak
cepat mandi sana, dan kau Darwin segera selesaikan tugasmu itu...”
Darwin tak mengindahkan perintah Umairoh, ia lebih memilih
menghabiskan isi gelasnya. Sedang Darwis kembali merebahkan tubuhnya tanpa
berniat beranjak melakukan intruksi adiknya untuk mandi.
“Oh ya kak, saat kakak sedang studi banding aku dan Umairoh
ke kampus untuk menyelidiki kasus pembunuhan di kampus kita. Dan kakak tahu
tidak kalau kami berdua malah melihat dengan mata kepala kami sendiri korban
pembunuhan itu di halaman kampus... Tapi sayang sekali kami tidak melihat pembunuhnya...”,
Darwin mendesah kecewa. Belum sempat Darwin mengucapkan kalimatnya lagi Darwis
lantas bangkit dan bersiap melangkah keluar kamar. “Loh, kakak mau kemana?”
“Aku mau mandi”, samar-samar Darwin dan Umairoh mendengar
suara Darwis saat pria itu menghilang dibalik pintu kamar. Umairoh dan Darwin
saling bertukar pandang dalam diam. Seketika Umairoh teringat sekelebat
bayangan yang ia lihat di kampus saat malam pembunuhan korban ke enam di kampus
beberapa hari yang lalu.
“Kak Darwis kenapa?”
Umairoh hanya mengendikkan bahunya dan memilih fokus pada
tugas akuntansinya, sedang Darwin kembali menghabiskan isi gelas es kelapanya
tanpa harus berpusing-pusing memikirkan keanehan pada Darwis setiap mereka
membicarakan mengenai pembunuhan di kampus mereka.
###
Satu minggu menjelang akhir bulan. Desas-desus mengenai
korban ke tujuh menjadi topik yang hangat di kampus Umairoh. Umairoh sendiri
tidak yakin apakah masih akan ada korban ketujuh dan korban-korban berikutnya,
ia hanya berharap tak ada lagi kasus serupa yang terjadi. Bahkan ia sendiri
cukup khawatir pada kenyataannya pihak kepolisian belum menemukan sama sekali
siapa tersangka dibalik ke enam kasus pembunuhan beruntun itu.
Pukul sepuluh malam dan gadis itu masih belum beranjak dari
meja belajarnya sejak setengah jam yang lalu ia hanya membolak balik kertas
berwarna merah yang ia dapatkan di rak buku milik Darwis saat ia meminjam buku
Statistik milik kakaknya itu. Pikirannya benar-benar kalut ketika membaca
rentetan huruf yang terdapat di dalam kertas merah itu. Sekali lagi ia membaca
tulisannya memastikan kalau kertas itu hanyalah kertas biasa.
Pukul 08.08 malam
Tanggal 31 Mei – Korban ke tujuh
Keabadian, Keberuntungan tiada akhir
Begitulah isi dari kertas merah itu. Berbagai spekulasi
bermunculan di otaknya, mencoba menyimpulkan beberapa kejadian selama enam
bulan terakhir, terutama yang berkaitan dengan kakaknya. Ia ingat tiap akhir
bulan kakaknya selalu tidak ada di rumah.
Tidak. Umairoh mengggeleng kuat. Bukan kakaknya, pasti bukan
Darwis. Darwis tidak mungkin membunuh orang. Namun bagaimanapun usahanya untuk
meyakinkan dirinya kalau Darwis tidak terlibat dalam hal ini, tetap saja
keyakinan itu luntur saat ia teringat sekelebat bayangan Darwis yang ia lihat
akhir bulan lalu saat terjadi pembunuhan korban ke enam.
Umairoh kembali mengingat tingkah aneh yang terjadi pada
kakaknya setiap ada yang membicarakan mengenai kasus pembunuhan itu. Darwis
terlihat enggan bahkan seringkali menghindar dan pergi, tidak pernah ia
membicarakan kasus itu. Dengan Umairoh sekalipun.
“Kakak... Apa yang sebenarnya terjadi?”, lirihnya sambil
menatap foto berbingkai kuning di atas meja belajarnya, fotonya dan Darwis.
Kertas itu masih ia pegang. Ingin sekali ia membuang kertas
itu atau kalau perlu membakarnya dan menganggap bahwa yang ia baca tadi tidak
pernah ada. Kembali sekelebat memori muncul di otaknya. Ia teringat ucapan
Darwis saat mereka piknik, saat itu Darwis bilang ia menyukai angka delapan
karena angka itu dianggap lambang infinity atau angka yang tak pernah berakhir,
keberuntungan tiada akhir. Umairoh mencoba menyangkut pautkan angka delapan
dengan waktu 08.08 yang tertera pada kertas merah itu.
Umairoh kembali berusaha memutar otaknya, ia mencoba
membandingkan angka ‘0’ dan angka ‘8’. Kedua angka itu sama-sama terbentuk dari
satu garis yang tak terputus. Hanya saja angka ‘8’ memang terlihat lebih
estetis dibandingkan angka ‘0’. Mata Umairoh seketika terbelalak dan memcoba
membaca sekali lagi isi kertas merah itu, “Keabadian, keberuntungan tiada akhir”,
ia mencoba mengeja perlahan kalimat itu berkali-kali.
Angka nol. Umairoh ingat dulu Darwin pernah mengatakan
menurut zaman Mesir kuno, lingkaran merupakan simbol keabadian karena tidak ada
awal dan tidak ada akhir. Saat itu Darwin mengaitkannya dengan konteks cinta
dalam sebuah lagu Korea “0330” milik boyband U-Kiss yang berarti cinta yang
abadi.
“Lantas maksud 08.08 dalam kertas ini apa? Waktu untuk
membunuh korban?”, Umairoh bermonolog masih dengan memikirkan kaitan angka 0
dan 8 itu, lalu mengaitkannya dengan kasus pembunuhan -yang-ia-duga- bisa saja kakaknya sendiri
yang melakukannya. “08.08, keabadian, keberuntungan tiada akhir.
Jangan-jangan...”
###
Langit mendung disertai angin yang cukup kencang sejak
setengah jam yang lalu membuat orang-orang yang berada di luar rumah
menyegerakan diri mereka untuk kembali pulang, mengingat saat ini sudah malam.
Namun hal itu tak berlaku bagi pria bertubuh tinggi yang terus saja meneyeret
langkahnya berjalan melewati gang sempit di sela-sela gedung tinggi pencakar
langit, tumpukan barang tidak terpakai menjadi pemandangan yang disuguhkan di
sepanjang jalannya.
Berkali-kali ponselnya berdering tanda ada sebuah panggilan
masuk tak ia hiraukan. Fokusnya saat ini hanya pada satu titik yakni bangunan
tua di ujung gang. Kembali ia mempercepat langkahnya agar sampai pada tujuan,
dinginnya udara malam ini memang sangat terasa bahkan membuat persendiannya
terasa ngilu. Namun ia tak ada waktu untuk itu. Mengabaikan rasa dinginnya
-karena ia hanya mengenakan baju kaos lengan panjang berwarna biru gelap-
kembali ia menyeret langkahnya.
Derap sepatu beradu dengan jalanan di sepanjang gang yang
seluruhnya sudah disemen itu terdengar jelas. Hingga langkah itu terhenti tepat
di depan bangunan yang sudah terlihat tua namun masih berdiri kokoh diujung
gang. Tanpa perlu mengetuk pintu berpelitur coklat yang sudah termakan rayap di
beberapa bagiannya itu, seseorang di dalamnya sudah langsung membuka daun pintu
itu cukup lebar dan menyambutnya dengan... senyuman iblisnya.
“Kau datang?
Masuklah”, seseorang yang berada di dalam itu membuka pintu lebih lebar
lagi memberi tanda agar tamunya itu segera masuk. Sedang yang disuruh masuk
hanya diam tak bergeming, ekspresinya menunjukkan keputusasaan yang sangat
jelas. Seseorang yang berada di samping pintu itu tersenyum mengejek menatap
pria di depannya yang masih berdiri tanpa berniat beranjak masuk. “Jadi kau
hanya akan berdiri di situ?”
Pria berkaos biru gelap itu menarik nafas frustasi, ia
berniat mengakhiri semuanya malam ini. Mengkahiri semua dosa yang sudah mereka
buat selama ini. “Kumohon hentikan sekarang juga”, lirihnya.
Yang menjadi lawan bicaranya memutar bola matanya jengah.
“Kalau kau hanya ingin mengatakan itu lebih baik kau pulang sekarang”, ia
lantas berniat menutup daun pintu dan meninggalkan tamunya itu.
Sebelum daun pintu itu benar-benar tertutup, pria berkaos
biru gelap itu berteriak dengan sedikit bergetar dalam suaranya, “Kau boleh
membunuhku asal kau hentikan semuanya!!”
Gerakan tangan pemilik bangunan tua itu terhenti untuk
menutup pintu lantas membukanya kembali dan pandangannya bersibobrok dengan
manik kelam milik pria berkaos biru gelap itu. Senyuman mengejek kembali
terpasang di wajahnya. “Kau terlambat mengatakannya sekarang. Kau yang
membuatku menjadi seperti ini... Lantas apa aku harus berhenti di saat semuanya
akan tercapai?”, ia berjalan menghampiri pria di hadapannya lantas mencengkram
kerah baju pria itu dengan emosi. “Dan jangan pasang tampang memelas seperti
itu. Aku muak melihatnya”, ia lantas melepas dengan kasar cengkramannya pada
kerah baju pria di hadapannya yang lebih tinggi beberapa centi darinya.
“Bagaimana kalau aku tidak mau melakukannya lagi?”
“Maka keluargamu yang akan menjadi korban berikutnya...”,
seringaian iblis kembali muncul di wajahnya.
Pria berkaos biru gelap itu kembali menghela nafas berat.
“Kau berjanji tinggal dua kali lagi kan? Maka setelah itu kumohon pergilah dari
sini”
“Darwis...”, seringaian di wajahnya menghilang digantikan
dengan ekspresi hangat yang begitu dirindukan oleh pria berkaos biru gelap
bernama Darwis itu, ia lantas menepuk pelan pundak Darwis, “Bukankah kita
adalah sahabat? Maka sebagai sahabat kita harus melakukannya bersama-sama, kau
yang berjanji padaku akan melakukan apapun untukku. Karena itu kau tidak boleh
mengecewakanku”
“Ta, tapi... tapi semua ini salah”, Darwis berontak dan
menyingkirkan tangan lawan bicaranya yang masih menepuk pundaknya.
“Bukankah kita berdua sama-sama tahu kalau itu memang salah?
Kenapa kau mau melakukannya dulu? Kau tidak lihat ragaku sudah hampir sempurna
menyerupai manusia? Karena itu-“, ia menyentuh pelan dagu Darwis membuat pria
itu menatap mata merahnya, “Jangan membuatku menjadi manusia setengah iblis”.
Ia lantas berbalik meninggalkan Darwis dan bersiap menutup kembali pintu,
setelah sebelumnya kembali merubah ekspresinya menjadi hangat –lagi-.
“Pulanglah. Sudah malam, kau pasti lelah. Kita betemu minggu
depan di tempat biasa...”
Pintu itu tertutup rapat, menyisakan Darwis yang masih
mematung di depan bangunan tua itu dengan ekspresi kosong. Ia tak tahu lagi
harus bagaimana. Memilih mengabaikan rasa bersalahnya, ia berbalik dan pergi
meninggalkan bangunan tua itu. Langkahnya teramat pelan, bahkan tak
mengindahkan tetesan hujan yang perlahan mulai turun dan semakin deras
mengguyur tanah. Tak ada pilihan lain baginya selain melakukan apa yang memang
sudah menjadi janjinya pada sahabatnya itu. Hanya dua kali lagi. Ia hanya perlu
melakukannya dua kali lagi.
###
Flashback
8 months ago...
“Hey Darwis, angka apa yang paling kau sukai?”
“Angka yang paling kusuka? Emmh.. delapan. Kau?”
“Aku angka nol”, pria di samping Darwis itu mengedarkan
pandangannya pada hamparan bunga dendelion di hadapan mereka.
“Bukankah angka nol itu berupa lingkaran yang artinya adalah keabadian?”
“Yap. Kau benar sobat... Bukankah aku makhluk abadi? Makanya
aku menyuaki angka nol itu. Bagaimana denganmu sendiri? Bukankah angka delapan
itu juga merupakan simbol tiada akhir?”
Darwis tersenyum lalu merangkul sahabatnya itu, “Kau benar.
Angka delapan, angka infinity. Selain itu angka delapan juga diartikan sebagai
keberuntungan tiada akhir. Aku hanya berharap bisa memiliki keberuntungan tiada
akhir itu”. Pria disampingnya hanya mengangguk. “Dio...”, panggilnya pada pria
di sampingnya yang bernama Dio itu.
“Hmm?”
Darwis sedikit ragu mengucapkan kalimat yang akan ia katakan,
“Apa kau... Bisa menjadi manusia?”
Alis pria disampingnya saling bertaut, “Menjadi manusia?
Kenapa? Apa karena hanya kau yang selama ini bisa melihatku, kau takut orang-orang
menganggapmu gila begitu?”, tak ada nada kecewa atau marah dalam suaranya.
Darwis yang tak tahu harus mengatakan apa hanya menggaruk
tengkuknya yang tak gatal. Ia hanya memasang senyum bersalah pada sahabatnya
yang sudah ia kenal selama lima tahun itu. Sebenarnya bukan ia takut
orang-orang menganggapnya gila –meskipun itu juga termasuk alasannya- tapi
menurutnya akan lebih baik jika mereka berdua adalah makhluk yang sama,
manusia. Tapi tentu saja itu tidak mungkin. Tuhan sudah menciptakan mereka sebagai
makhluk yang berbeda, dan mereka pasti tidak mungkin mengubah takdir yang sudah
ditetapkan.
“Tentu saja bisa”
Darwis lantas menoleh cepat mendengar kalimat yang meluncur
dari mulut sahabatnya itu, pandangan matanya bertemu dengan iris milik Dio dan seolah
enggan melepaskan tatapan itu untuk menunggu kalimat berikutnya yang akan
diucapakan Dio.
Dio kembali melanjutkan kalimatnya tanpa menunggu kalimat
tanya yang akan dilontarkan Darwis. “Tapi aku harus meminum darah manusia yang
berasal dari jantungnya. Dan itu berarti aku harus membunuh manusia lebih
dulu... Aku bisa saja melakukannya, tapi aku tidak tahu dimana mencari korban
untuk kubunuh”, Dio terkekeh di akhir kalimatnya. Ia tidak benar-benar serius
dengan ucapannya itu.
Darwis melebarkan matanya, entah seperti mendapatkan sebuah
bisikan pria itu langsung mengatakan kalimat tanpa dicerna dulu di dalam
otaknya. “Kalau begitu biar aku yang mencari korbannya untukmu”, ucapnya cepat.
Kini giliran mata Dio yang melebar, sungguh tadi ia hanya
bercanda dan tidak bermaksud merubah dirinya menjadi manusia dan membunuh
manusia untuk meminum darah mereka. “Tapi...”
“Bukankah kita sahabat? Aku akan melakukan apapun
untukmu...”, Darwis tersenyum meyakinkan sahabatnya itu mengenai rencana
gilanya.
Dan entah ada apa dengan Dio karena ia langsung tertarik
dengan usul Darwis, tak ada salahnya ia mencoba menjadi manusia. Selama ada
jalan untuk melakukannya, itu artinya ia boleh menentang kodratnya. Dan jiwa
iblisnya yang selama ini ia tutupi entah kenapa perlahan menjalar di dalam
tubuhnya, berusaha menyesakkan seluruh jiwanya. “Tapi tidak semudah itu. Aku
harus meminum darah manusia di tiap akhir bulan, dengan begitu aku juga akan
tetap abadi sebagai manusia. Selain itu... Waktunya juga harus tepat”
Darwis mencoba mencerna kalimat Dio itu, baginya ini seperti
sebuah tantangan. “Memangnya kapan waktunya yang tepat?”
“Lakukan di malam akhir bulan pukul 08.08, maka keabadian dan
keberuntungan tiada akhir tidak hanya menjadi milikku, tapi milik kita berdua.
Selain itu, aku juga harus melakukannya delapan kali. Jadi, apa kau sanggup
melakukannya?”
Darwis sedikit ragu, namun kepalanya tetap saja menganggup
menjawab pertanyaan Dio. Delapan kali, itu artinya setelah delapan kali maka
sahabatnya akan menjadi manusia? “Baiklah aku akan melakukan apapun untukmu
sobat”
Kedua sahabat itu saling tersenyum di bawah langit sore di
depan hamparan bunga dendelion yang menjadi saksi bisu awal mula rencana gila
Darwis dan Dio.
Flashback end
###
Hujan sejak tadi sore tidak terlalu deras namun cukup
membasahi perkarangan rumah Umairoh, dan udara dingin menyeruak membuat gadis
yang sejak sepuluh menit lalu duduk di teras rumahnya merapatkan sweater yang
ia kenakan. Malam ini adalah malam terakhir di bulan Mei, dan itu artinyanya akan
ada korban lagi –korban-ke-tujuh. Sejak seminggu yang lalu gadis itu
mendapatkan kertas merah di rak buku Darwis, terjadi perubahan pada sikapnya.
Ia lebih sering terlihat murung, bahkan sering hanya duduk dengan pandangan
kosong.
Hingga tadi siang ia mencoba menceritakan semua yang ia tahu
kepada sahabatnya, Darwin. Cukup sulit membuat pria itu mempercayai kalimatnya
karena Darwin yang notabene-nya sudah menganggap Darwis sebagai kakaknya
sendiri membuatnya terlalu sulit mencerna kesimpulan yang dikatakan Umairoh.
Umairoh beranggapan bisa saja maksud 08.08 itu adalah sebuah
keabadian. Dan mungkin saja kakaknya itu membunuh orang untuk mendapatkan
keabadian sesuai dengan filosofi angka ‘nol’ dan ‘delapan’ itu.
“Ah apa yang kau katakan? Bisa saja itu hanya kertas tulisan
Kak Darwis tanpa maksud apapun... Iseng mungkin. Lagi pula untuk apa dia
membunuh orang? Dan lagi, bisa saja itu semua hanya kebetulan setiap akhir
bulan kak Darwis tidak ada di rumah”. Begitulah kata-kata Darwin tadi siang.
Umairoh ingin sekali mengiyakan ucapan Darwin itu dan meyakinkan dirinya kalau
dugaannya salah.
Tapi fakta yang ia dapatkan membuat dugaannya semakin kuat.
Tadi pagi sebelum mereka sarapan, Umairoh sempat bertanya pada Darwis mengenai
keberadaan Darwis di tiap akhir bulan karena kakaknya itu tak pernah berada di
rumah tiap akhir bulan dalam beberapa bulan terakhir ini. Yang membuatnya
terkejut adalah jawaban Darwis berbeda dengan kenyataannya. Memang bulan lalu
Darwis studi banding, namun dua bulan sebelumnya pria itu bilang sedang ada
tugas kelompok dan bermalam di rumah temannya. Umairoh ingat saat itu kakaknya
mengatakan ada kegiatan organisasi, lalu tiga bulan lalu juga Darwis bilang ia
juga ada tugas kelompok, padahal saat itu ia meminta ijin pada orang tua mereka
untuk menjenguk temannya di rumah sakit.
Bukankah itu aneh?
“Hey Nona, berhentilah melamun... Kau mau kerasukan huh?”,
interupsi Darwin membuyarkan lamunan Umairoh.
Umairoh seketika melotot saat tersadar dari pikirannya karena
wajah Darwin yang berada tepat di depan wajahnya. “Sejak kapan kau ada di
sini?”
“Sejak tiga menit yang lalu. Tssk, sebenarnya apa yang kau
pikirkan sampai-sampai tidak sadar kalau aku datang.. Padahal bunyi motorku
saja sudah nyaring. Apa kau begitu merindukanku huh? Sudahlah, tidak perlu
sering-sering memikirkanku. Nanti kau malah bosan...”, canda Darwin dan
mendudukkan dirinya di samping Umairoh.
Umairoh mendengus lalu mencubit gemas lengan Darwin membuat
pria itu meringis namun tetap terkekeh. “Jadi bagaimana sekarang? Kau yakin
kita ke kampus lagi malam ini? Apa perlu kita lapor polisi saja?”
“Jujur saja aku lebih takut dari bulan lalu. Bagaimana jika
memang kak Darwis yang melakukannya? Apa kau tega sebagai adiknya melaporkan
kakakmu pada polisi? Yah meskipun kau tahu kan kalau aku begitu penasaran
mengenai kasus itu”
Umairoh diam saja. Ia sendiri bingung apa yang harus
dilakukannya. Ia tidak bisa berpikir jernih, pikirannya terlalu kalut karena
masih belum yakin apakah memang kakaknya yang selama ini membunuh korban-korban
itu. Jika memang itu benar kakaknya, apa motif sebenarnya dari pembunuhan itu?
Darwin mengguncang pelan bahu Umairoh, “Tskk.. Kau melamun
lagi. Belum sampai lima menit aku di sampingmu kau sudah memikirkanku lagi”,
Darwin segera bangkit menghindari cubitan Umairoh yang kedua kalinya dan
menghampiri motornya yang ia parkirkan di depan pekarangan rumah Umairoh.
“Jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik kita segera ke kampus untuk
membuktikan semuanya... Ayo”, Darwin menyodorkan helm untuk dikenakan Umairoh.
Umairoh menerima helm itu dengan malas dan mengenakannya perlahan.
“Aku takut Win”
Darwin menepuk pundak sahabatnya itu dan tersenyum
meyakinkannya, “Lebih baik kita melihatnya dengan mata kepala kita sendiri
untuk membuktikannya... Kebenaran harus kita ungkap Mer. Ya sudah ayo naik,
nanti keburu waktunya lewat”, Darwin segera menaiki motornya diikuti Umairoh
yang langsung duduk sambil memeluk pinggang Darwin cukup erat.
###
“Ckk... Darwis brengsek. Kenapa dia menyuruhku datang ke
kampus malam-malam begini? Apa dia mau membuatku jadi korban ke tujuh malam ini
huh?”, pria itu terus saja menggerutu sejak tadi. Tadi sore Darwis menelponnya
memintanya menunggu di kampus malam ini jam delapan karena ada yang ingin ia
bicarakan. Sekarang sudah pukul delapan lebih tiga menit namun yang ditunggu
belum juga menampakkan dirinya.
Pria itu mencoba menunggu di koridor kampus paling depan dan
duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Tadi Darwis mengiriminya pesan
kalau dia akan datang sedikit terlambat. Dan pria itu memilih menunggu
kalau-kalau yang ingin dikatakan Darwis nanti sesuatu sangat penting.
Minimnya cahaya lampu membuat bulu kuduk pria itu sedikit
meremang. Pasalnya selain hanya ia sendirian di koridor kampus itu, udara
dingin yang cukup menusuk membuat aura di sekitarnya mencekam. Belum lagi
kenyataan kalau malam ini akhir bulan dan dipastikan akan ada korban ketujuh.
Mulut pria itu tak henti-hentinya komat kamit berdoa kepada Tuhan agar malam
ini ia tidak mati konyol di kampus. Berkali-kali pula ia membuka ponselnya,
memastikan kalau Darwis segera menghubunginya.
Pukul delapan lebih lima menit. Masih terlalu cepat saat ini
untuknya kembali, mungkin Darwis akan segera datang. Pria itu tak berani
mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kampus takut kalau-kalau ia melihat
makhluk menyeramkan yang bisa membuatnya terkena serangan jantung mendadak.
###
“Kenapa kita bersembunyi di sini?”
“Psst... ini tempat yang aman. Kau mau menjadi korban malam
ini kalau menampakkan dirimu huhh?? Sudahlah kita diam saja di sini dan
mengamati pria itu”
“Tapi apa yang pria itu lakukan malam-malam begini? Apa dia
mau bertemu pacarnya?”
“Entahlah... Yang jelas dia sedang menunggu seseorang. Kurasa
dia tidak menyadari keberadaan kita di dalam pos satpam ini”, Darwin kembali
memeriksa jam di pergelangan tangannya. “Sekarang sudah jam delapan lebih enam
menit. Kalau memang pembunuhan itu benar dilakukan pukul 08.08, berarti masih
ada waktu dua menit lagi”
Umairoh membuka ponselnya. Ia sudah mengirim pesan pada
Darwis namun tak kunjung ada balasan dari pria itu. Ia juga sudah membuat
panggilan keluar berkali-kali, dan hasilnya tetap sama, kakaknya tidak
mengangkat panggilan telpon darinya. Ia kembali memperhatikan pria yang masih
duduk di koridor kampus itu. Perasaan tidak enak mulai menggelayutinya,
bagaimana jika malam ini ia benar-benar melihat kakaknya membunuh orang?
“Mer, sudah pukul 08.08... Berhati-hatilah”, bisik Darwin dan
membuat Umairoh seketika menahan nafasnya lalu mereka berdua dengan hati-hati
mengintip dari pos satpam ke arah pria yang masih duduk di koridor sana.
Derap langkah kaki beradu dengan lantai marmer membuat pria
yang sejak beberapa menit lalu berada di koridor kampus itu menolehkan
kepalanya ke arah sumber suara. Temaramnya cahaya membuat pria itu kesulitan
untuk melihat seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Umairoh dan Darwin
meskipun mereka di dalam pos satpam dapat melihat sekelebat bayangan seseorang
yang sedang berjalan dari arah dalam menghampiri pria itu. Umairoh refleks
memegangi lengan Darwin dan membuat sahabatnya itu seketika menyentuh pelan
bahunya bemaksud menenangkannya.
“Darwis?”, pria itu sontak berdiri dan berusaha mempertajam
penglihatannya. Namun kepala orang itu tertunduk dan terus melangkah mendekat
padanya, tangannya seperti menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. “Kau
Darwis?”, pria itu kembali mengulang pertanyaannya.
Hingga langkah seseorang itu berhenti tepat satu meter di
depannya, membuatnya bisa dengan jelas melihat seseorang itu. Pria itu masih
menunggu seseorang di hadapannya mengangkat wajahnya, dan pertanyaan yang sama
masih keluar dari mulutnya, “Darwis ini kau?”
Perlahan seseorang di hadapannya mendongakkan wajahnya
menatap pria di hapannya, “Menurutmu?”
Pria itu sontak melebarkan matanya, bahkan tanpa disadari ia
sudah memundurkan tubuhnya beberapa langkah. “Kau, kau... siapa??”, tanyanya
susah payah. Seseorang di hadapannya itu semakin mendekat ke arahnya dengan
sebuah seringaian iblis yang tercetak jelas di wajahnya. Sambil mengacungkan
sebilah belati dengan ukiran angka delapan di bagian tengahnya, seseorang itu
terus saja mendekati pria di hadapannya yang menunjukkan ekspresi ketakutan
luar biasa.
Umairoh dan Darwin yang melihat itu hanya bisa menahan nafas
mereka sambil mengenggam tangan satu sama lain. Setidaknya Umairoh sedikit lega
saat ini karena seseorang itu bukanlah kakaknya. Meskipun ia tidak bisa melihat
wajah seseorang itu dari tempatnya sekarang namun postur tubuhnya berbeda dari
postur tubuh kakak laki-lakinya.
Seseorang itu menarik sudut bibirnya, tersenyum mengejek dan
semakin membuat pria yang berada beberapa langkah di depannya itu semakin
ketakutan. Pria itu ingin sekali berlari dan mencapai gerbang kampus, namun
kakinya seolah berat untuk digerakkan. Ia sudah membayangkan bagaimana belati
di tangan orang di hadapannya itu akan menembus bagian tubuhnya, dan ia sudah
pasrah jika memang malam ini menjadi malam kematiannya. Teringat akan wajah
ibunya yang tersenyum tadi sore di rumah, mendengar suara ayahnya di telpon
tadi pagi yang mengatkan akan kembali besok dari luar kota membuat air matanya
tak terasa menetes.
Ia sudah sangat ketakutan sekarang, bahkan untuk mengeluarkan
sepatah kata saja ia tidak sanggup. Saat langkahnya membawanya tepat di tengah
halaman kampus, pria itu terjatuh dan terduduk namun masih berusaha menjauh
dari seseorang yang sepertinya sudah tidak sabar membunuhnya itu. “Kau tidak
akan bisa pergi dari sini”, suara datar
seseorang yang semakin mendekat kearahnya itu membuat seluruh persendiannya
ngilu, aliran darahnya seperti berhenti bekerja. Nafasnya bahkan
tersengal-sengal dengan keringat yang mengucur di pelipisnya.
Pria itu menunjukkan ekspresi memohon sambil menggelengkan
kepalanya. Ia sungguh tidak ingin mati saat ini, bayangan wajah ayah dan ibunya
semakin jelas di benaknya. Bahkan tanpa disadarinya ia sudah terisak kecil.
Sontak ia menutup matanya dengan menundukkan wajahnya kala seseorang itu
mengayunkan belatinya dan bersiap menghujam jantungnya. Umairoh dan Darwin juga
melakukan hal yang sama, menutup mata mereka tak berani melihat kekejaman
pembunuh itu. Mereka berdua tak berani melakukan apapun bahkan meski sekedar
memanggil polisi, mereka takut suara mereka akan menarik perhatian si pembunuh
tadi dan bisa saja mereka juga akan dibunuh karena menjadi saksi kejadian malam
ini.
“Aaaaaaaaakh”
Teriakan seorang pria membuat Umairoh dan Darwin langsung
membuka mata mereka. Dan betapa terkejutnya kedua orang itu karena suara
teriakan itu bukan berasal dari pria yang hendak dibunuh tadi melainkan dari
seseorang yang mengayunkan belati pada pria itu. Dan keterkejutan mereka belum
sampai di situ, Darwis berdiri di belakang seseorang itu sambil menusukkan
sebilah belati dan membuat seseorang itu berbalik menghadap Darwis dengan
ekspresi tidak percaya. Pria yang hendak dibunuh tadi juga langsung membuka
matanya dan betapa terkejutnya ketika melihat Darwis menusukkan belati di
punggung pria iblis yang hendak membunuhnya.
Darwin dan Umairoh langsung berdiri dari posisi jongkok
mereka sejak tadi untuk melihat lebih jelas kejadian di tengah halaman kampus
itu.
“Dar... wis... K kau.. kau?”, ekspresi tidak percaya
tergambar jelas diwajahnya. Sedangkan Darwis hanya menatapnya dengan sendu dan
perasaan bersalah.
“Maaf... Kurasa ini yang terbaik Dio...”, lirih Darwis sambil
mencabut belati yang tertancap di punggung seseorang tadi, Dio.
“Kau....”, itulah kata terakhir yang dikatan Dio sebelum
akhirnya tubuhnya menghilang seperti butiran kristal dan cahaya emas yang
menyilaukan mata menerangi halaman kampus seketika membuat Umairoh dan juga
Darwin serta pria yang masih terduduk di atas tanah itu menutup mata mereka.
Darwis memejamkan matanya sambil meneteskan air matanya. Beginikan akhir
hubungan persahabatannya dan Dio selama ini?
“Maaf”, ucapnya sekali lagi dan berlari meninggalkan tempat
itu menyisakan Darwin dan Umairoh serta pria yang hendak dibunuh tadi dalam
kebingungan.
Darwin segera berlari disusul Umairoh menghampiri pria yang
masih bergeming di tempatnya. Pria itu terlalu terkejut dengan apa yang baru
dilihatnya tadi, bahkan pria itu terlihat tersengal-sengal mengatur nafasnya.
“Dia kakak tingkat kita”, bisik Umairoh pada Darwin karena
sepertinya Darwin berusaha mengenali pria itu. Darwin lantas mengangguk dan
berjongkok di samping pria itu.
“Kakak tidak apa-apa kan? Kakak baik-baik saja?”, tanya
Darwin. Sedangkan yang ditanya terkejut dengan kehadiran dua orang itu di
dekatnya.
“Kalian siapa? Apa, apa kalian melihat semuanya tadi? Dan...
Aku belum mati kan? Aku masih hidup kan?”
Darwin menepuk pelan bahu pria itu, “Kakak masih hidup. Oh
iya, kami adik tingkat kakak dan yeah kami melihat semuanya dari awal sampai
Kak Darwis datang tadi...”
Pria itu mengerutkan keningnya, “Kau mengenal Darwis?”
“Hmm.. Ini Umairoh, dia adiknya kak Darwis”, Umairoh
tersenyum dan sedikit menunduk memperkenalkan dirinya pada pria itu, sedangkan
pria itu hanya mengangguk membalasnya. “Kurasa kakak hanya jadi umpan malam
ini”, lanjut Darwin lagi.
Pria itu menghela nafas panjang dan mengedarkan pandangannya
ke seluruh halaman kampus, mungkin bermaksud mencari sosok Darwis. “Dan
sepertinya pembunuh selama ini bukan manusia”, perkataannya dijawab dengan
anggukan mantap oleh Darwin dan Umairoh. Sekali lagi pria itu menghela
nafasnya, “Bisakah kejadian malam ini menjadi rahasia diantara kita?”, tanyanya
penuh harap pada kedua orang itu.
Darwin dan Umairoh saling melempar pandang dalam diam hingga
akhirnya keduanya menganggukkan kepala mereka.
###
Angin berhembus cukup tenang sore ini, matahari juga bersinar
tidak begitu terik membuat suasana sejuk di sekitar taman bunga dendelion.
Seorang pria berperawakan tinggi berdiri menatap hamparan dendelion itu dengan
sendu. Tempat ini penuh kenangannya bersama Dio. Tempat ini untuk pertama
kalinya ia bertemu sahabatnya itu dan di tempat ini pula mereka berdua sering
menghabiskan waktu bersama.
Sedang dua orang di belakangnya, Umairoh dan Darwin, berdiri
tak jauh darinya dan menatap iba pada pria itu. Kasus pembunuhan enam kali
berturut-turut lalu ditutup oleh kepolisian karena tidak menemukan bukti yang
jelas dan tidak bisa menemukan siapa pelaku dibalik pembunuhan itu. Kasus itu
dianggap sebagai kasus bunuh diri. Keluarga korbanpun sudah merelakan kematian
para korban sehingga kasus tersebut benar-benar sudah ditutup.
Umairoh bisa bernafas lega, paling tidak selama ini kakaknya
tidak membunuh para korban, pria itu hanya sebagai pencari korban untuk dibunuh
–meskipun hal itu juga termasuk kejahatan- tapi setidaknya tidak ada catatan
kelam untuk pria itu. Umairoh tahu keadaan kakaknya saat ini lebih dari sekedar
trauma dan penyesalan. Pria itu kehilangan sahabatnya, dia juga bisa merasakan
bagaimana jika ia kehilangan Darwin sahabatnya.
“Aku tidak menyangka selama ini kak Darwis memiliki sahabat
makhluk gaib”, bisik Darwin namun mampu didengar jelas oleh Umairoh.
Umairoh mengangguk pelan masih dengan menatap kakaknya. Usai
kejadian seminggu yang lalu di halaman kampus, Darwis menjadi sosok yang tak
banyak bicara. Terakhir ia mendengar kakaknya berbicara adalah empat hari yang
lalu setelah ia dan Darwin memaksa kakaknya itu untuk menceritakan kejadian
yang sebenarnya dan berjanji untuk merahasiakan kejadian itu dari siapapun.
Sedangkan pria yang minggu lalu dijadikan umpan oleh Darwis juga berjanji untuk
merahasiakan hal itu.
Sebuah pengakuan dari Darwis mengenai asal mula pembunuhan
itu terjadi serta bagaimana awal dari pertemuan Darwis dan Dio membuat Umairoh
dan Darwin menjadi percaya mengenai hal-hal tak kasat mata. Hal-hal yang selama
ini hanya dianggap sebagai khayalan dan imajinasi itu ternyata benar-benar ada,
makhluk gaib seperti Dio memang nyata adanya dan mereka sama-sama hidup di
tempat yang sama dengan manusia.
Semakin mencengangkan adalah mengenai teori keabadian yang
dijelaskan oleh Darwis saat itu. Toh makhluk abadi seperti Dio pada akhirnya
menghilang karena sebagian jiwanya sudah berubah menjadi manusia, padahal Dio
adalah makhluk yang tidak bisa mati. Teori mengenai angka ‘nol’ dan ‘delapan’.
Tidak masuk akal memang.
“Dio, selama ini aku bahagia bertemu denganmu dan menjadi
sahabatmu...”, lirihnya dengan senyum kecut yang tersungging di bibirnya. Pria
berjubah putih yang berdiri di tengah hamparan dendelion itu tersenyum tulus
menatap Darwis. “Maaf”, kalimatnya bahkan teramat pelan. Namun di depannya Dio
bisa mendengar dengan jelas ucapan maaf Darwis itu.
Dio mengangguk masih dengan mempertahankan lengkungan di
bibirnya. Angin sore menerpa surai hitam panjangnya hingga beberapa helai
mentupi bagian wajahnya. Lagi-lagi Darwis menghela nafas, ia sudah menyakiti
sahabatnya dengan ide gilanya delapan bulan yang lalu. Ia seharusnya membiarkan
saja Dio tetap menjadi makhluk abadi dengan begitu mereka bisa terus
bersama-sama, Darwis tak perlu melihat sahabatnya itu berubah menjadi iblis dan
membuat Dio mati ditangannya sendiri.
“Pergilah... Aku, aku tidak akan pernah melupakanmu, sobat”,
setitik air mata mengalir di sudut matanya. Bibirnya berusaha membuat sebuah
lengkungan meskipun akhirnya gagal dan pada akhirnya air matanya menganak
sungai di wajahnya. “Aku menyayangimu...”
Umairoh dan Darwin bisa mendengar kalimat yang diucapkan
Darwis, meskipun mereka tidak bisa melihat objek yang menjadi lawan bicara pria
itu tapi mereka tahu di sana ada Dio yang ingin mengucapkan perpisahan.
“Selamat tinggal”, Dio masih tersenyum dan bersamaan dengan
hembusan angin tubuhnya perlahan lenyap menyisakan bunga-bunga dendelion yang
bergoyang pelan tertiup angin.
Darwis menghapus kasar air matanya. Beginilah pada akhirnya
persahabatannya dan Dio. Akhir yang tak pernah sekalipun terbayangkan dalam
benaknya.
Umairoh menghampiri Darwis dan mensejajarkan tubuhnya berdiri
tepat di samping kakaknya itu, menggenggam erat tangan Darwis berusaha
menyalurkan kekuatan untuk pria itu. Sedang Darwin berdiri di sisi lainnya dan
menepuk pelan pundak Darwis, menyemangatinya. Ketiganya memandangi hamparan
dendelion di senja hari, berlatarkan mentari yang akan kembali ke peraduannya,
untuk bersinar ke belahan bumi yang lain.
Kali ini sebuah pelajaran yang mereka dapatkan bahwa di dunia
ini tak ada yang abadi, semua makhluk ciptaan Tuhan pasti akan kembali ke
asalnya, apapun itu. Karena yang abadi hanya Tuhan Yang Maha Kuasa.
.
.
FIN
###
/Tebar kembang/
Yeyeyelalala... Mau ngasih selamat dulu nih sama yang
berhasil baca cerita ini sampai bertemu kata “Fin”, hahaha. Sumpah ini cerita
panjang bener dah... Mungkin ada yang sampai eneg ngebacanya.
Okey saya mau curhat dulu nih, cerita ini keinspirasi waktu
ngebaca UrbanLejen yang “White Death”, yeah sebenernya nggak nyambung sih sama
White Death tapi emang keinspirasinya dari itu. Untuk angka ‘nol’ sendiri
inspirasinya dari lagunya U-Kiss “0330” dan juga lambang boyband Infinite,
angka delapan yang lagi baringan yang merupakan lambang infinity.
Ugh, padahal pengen biken thriller tapi napa nggak bisa T_T
(Yesung: Ah, payah lu Isah)
Cerita ini juga keingetan sama film Arthur Spiderwick... Nah
jadilah cerita di atas noh.... Eumm, buat namanya yang Isah pinjem dalam cerpen
ini makasih banyak yaaa especially My Oppa, Darwis :-D
Yesungdah, kebanyakan bacot... Makasih yang sudah berkenan
mau ngebaca cerita absurd ini ^^
Pai-pai /peluk Yesung(?)/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar