Oleh: Aisyah
Sekali lagi lubang itu
membuatku jatuh. Terlalu dalam dan kali ini bahkan semakin dalam. Aku tak
sepenuhnya menyalahkan lubang itu yang membuatku kini hidup dalam keterasingan
dan kesepian yang semakin menggerogotiku tiap perputaran waktu yang terus
berjalan tanpa bisa dihentikan dan tanpa bisa kembali lagi.
Seharusnya aku tak jatuh
untuk yang kedua kalinya mengingat betapa sakit rasanya jatuh ke dalam lubang
itu. Tapi apalah daya hawa nafsu yang dituruti semakin menjadi-jadi. Semua
terasa semakin menggiurkan setelah aku berhasil keluar dari lubang itu,
awalnya. Namun setan tak berhenti sampai di situ saja. Para setan itu bahkan
membuatku semakin buta dengan delusi yang tak tergambarkan bagaimana
keindahannya.
Dan disinilah aku.
Di dalam lubang pengap,
gelap, sepi, dan kehampaan yang tiada akhir. Tak gelap sepenuhnya memang.
Setitik cahaya masih bisa kulihat. Hanya setitik. Dan cahaya itu terlalu jauh
untuk bisa kujangkau. Terlalu jauh, dan hanya kemustahilan yang kudapati jika
aku berusaha mencapainya.
Aku tak mungkin menyalahkan
takdir. Dan tak bisa menyalahkan takdir. Sang takdir yang seolah memperolokku
dan seolah terus mempersakitku ditiap tarikan oksigen yang dilakukan sistem
pernafasanku. Karena pada dasarnya aku sendirilah yang memperburuk sang takdir
itu. Memperburuk takdir dengan menjadi budak dari sesuatu yang bernama hawa
nafsu. Hingga yang bisa kulakukan hanyalah mencari jalan keluar dari lubang ini
meskipun tertatih hingga berdarah di sekujur tubuhku.
Aku ingin berteriak, “Dimanakah
Tuhan??! Kenapa Dia selalu menghadirkan segala kegelapan ini untukku? Kenapa
harus aku? Kenapa??!”
Dan aku tahu aku salah.
Bukan Tuhan yang
menghadirkan kegelapan itu untukku. Tapi akulah yang memilih kegelapan itu yang
dipenuhi jerat setan beserta segala tipu daya dan muslihatnya yang tampak
seperti fatamorgana dalam sahara. Aku sendiri yang menyerahkan diriku untuk
diperbudak nafsu dan terlalu apatis dengan seruan-seruan dari jalan cinta-Nya.
Hingga jalan cinta-Nya yang
begitu terang terasa semakin melindap dan aku harus menanggung sakitnya
terjatuh dalam kubangan lubang gelap untuk kedua kalinya. Tanpa arah. Membuatku
semakin tersesat dan jatuh semakin dalam. Kurasa mati adalah pilihan terbaik.
Namun Malaikat Maut sepertinya enggan menghampiriku dalam lubang ini.
Dalam keputusasaan seraya
terus merangkak tertatih kudapati alunan bisikan yang senantiasa beresonansi
dalam hati kecil ini. Namun kuhanya memilih berpretensi akan hal itu. Toh
segala bisikan itu tak bisa menyelamatkanku dalam kepekatan gelap lubang yang
aku tak tahu seberapa dalamnya.
Namun semakin ku berpretensi
dan bersikap abai akan segala bisikan yang semakin meraung dalam hati kecilku,
semakin sakit yang kudapat. Bahkan semakin sulit keluar dari lubang ini yang
kurasa kedalamannya semakin bertambah di tiap langkah yang kujajaki agar bisa
keluar. Dan kudapati kepekatan gelap semakin melingkupi sekujur tubuhku.
Berhenti adalah satu-satunya
hal yang bisa kulakukan. Dalam kelimpungan kubiarkan segala bisikan itu
memenuhi hati kecilku hingga menjalar ke seluruh organ dalam tubuhku. Seketika
kurasakan sejuk yang tak pernah kurasakan bahkan sebelum aku terjatuh dalam
lubang ini. Sejuk dan damai di saat yang bersamaan. Sejuk dan damai yang tanpa
kusadari menghadirkan cahaya putih yang sedikit mampu menerangi gelepan yang
terus melingkupiku dalam lubang gelap ini.
Hingga tanpa kusadari
wajahku sudah basah sepenuhnya dengan air mata yang menganak sungai dan terus
mengalir tanpa bisa kuhentikan. Kedua tungkaiku tak mampu lagi menahan berat tubuhku,
membuatku tersungkur dengan kedua lututku yang bertumpu untuk menahan tubuh
ini.
Berbagai memori masa lalu
seketika berputar bagaikan roda film. Aku bergeming dengan menahan sesak kala
memori itu menampilkan gambar tokoh “aku” yang tengah menjadi budak hawa nafsu
dunia. Segalanya terasa indah namun penuh kepalsuan, dunia ciptaan setan.
Aku meringis. Terisak.
Lubang ini, aku putuskan
harus keluar dari tempat ini. Secepat yang aku bisa. Agar bisa segera kembali
ke jalan cinta-Nya. Kutemukan cara agar aku tak tertatih dan kesakitan pun
berdarah di sekujur tubuhku.
Aku beringsut, bersimpuh,
dan bersujud. Kusebut nama yang sering kuabaikan selama ini.
Allah. Allah. Allah.
Lelehan air mata terus
tumpah tak terbendung. Hadirkan getar hebat kala tak lagi kudapati diri ini
dalam lubang gelap. Tak lagi kudapati diri ini dalam pengap, sepi, dan
keterasingan.
Allahu Akbar. Allahu Akbar.
Laa ilaaha illallah...
Astaghfirullah wa atubu ilaih...
Apatah artinya hidup yang
selama ini kujalani tanpa Dia bersamaku. Apatah artinya jiwa kosong ini tanpa
pemiliknya yang Hakiki.
Kegelapan ini, hadir kala
kuabaikan Rabb-ku. Terus menerus menikmati ilusi dan delusi yang kesegalanya
bersumber dari iblis laknatullah.
Kubiarkan diri ini terus
bersujud. Semakin terang segalanya hingga gelap itu sirna sepenuhnya. Kembali
kucoba raih genggaman Illahi. Yang tak pernah meninggalkanku. Yang tak pernah
membiarkanku dalam keterasingan, karena aku memiliki-Nya yang cinta-Nya tak
pernah habis untuk kuhirup.
Dan kucoba berjanji, takkan
lagi terjatuh dalam lubang itu untuk yang ketiga kalinya. Kupegang erat
cinta-Nya agar senantiasa menuntunku dan agar aku tak kembali terseret derasnya
arus nafsu syahwat yang sulit terbendung jika aku tak memiliki-Nya di setiap
helaan nafas ini.
Semakin kucoba hirup
cinta-Nya, semakin terang yang kudapati. Lubang itu menghilang sepenuhnya dan
hadirkan serbuk bahagia tak tertara saat nama-Nya terus diucapkan kedua belah
bibir ini. Cinta-Nya yang hakiki. Cinta-Nya yang suci. Cinta dari Sang Pemilik
Cinta.
Cinta dari Allah. Rabb
manusia, Rabb semesta alam, Rabb sekalian makhluk, Rabb Yang Maha Esa.
Allah.
Jangan biarkan diri ini
kembali lagi dalam lubang gelap. Jangan singkirkan rahmat, cinta, dan kasih
sayang-Mu. Jangan biarkan terlepas genggaman hamba dalam perjalanan menuju
dunia abadi, akhirat-Mu.
Subahanallah.
Cintai Allah yang selalu
mencintaimu, Cintai Allah yang tak pernah meninggalkanmu.
Karena cinta-Nya, begitu
luas melebihi samudra. Ia takkan membiarkanmu sekalipun kau dalam kubangan
kenistaan. Cintailah Dia, niscaya bahagia milikmu, dunia dan akhirat.
Insya Allah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar