Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 03 September 2015

(Cerpen) Love Blossom



Love Blossom
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.
.
.
Ps: lama nggak nulis hehee... Semoga cerita ini layak untuk dibaca. Happy reading ^^
---**---

2015

Jangan salahkan aku jika tidak sempat membaca Surah Yaasin usai sholat magrib tadi. Salahkan temanku-yang-sangat-meyebalkan yang seenaknya saja menarik paksa tubuhku ke atas motornya usai tadi kami melaksanakan sholat maghrib berjama’ah di rumahku.

“Mau ke mana sih kita? Belum sempat baca Yaasin nih,” protesku saat motor sudah dijalankan perlahan oleh sang tersangka.

“Kamu tuh cowok cerewet banget sih. Udah diam aja, bentar lagi sampe kok, terus baca Yaasin-nya nanti aja habis Isya,” jawabnya santai.

Akhirnya aku pasrah saja ke mana manusia satu ini membawa motornya. Dalam perjalanan aku memutar otak, memangnya Asir akan membawaku ke mana di jam seperti ini? Entahlah.  Asalkan ia tidak mengajakku ke tempat kost perempuan saja.

Kedua bola mataku hampir mencuat dari tempatnya saat motor Asir berhenti tepat di depan sebuah kost perempuan. Apa?? Kost perempuan??! Hey, hey... Apa yang akan ia lakukan di sini?

“Nggak usah bengong berlebihan begitu. Buruan gih turun,” Asir menarik tubuhku yang mematung di atas motor.

“Mau ngapain sih ke sini?” tanyaku benar-benar penasaran.

“Makanya kalo penasaran buruan turun terus follow me.”

Aku mengendikkan bahuku lantas mengikuti Asir berjalan memasuki area kost. Hey, jangan kalian pikir aku lelaki yang suka menggoda wanita apalagi kalau kalian sampai berpikir aku sering bermain di kost perempuan. Demi Tuhan ini baru pertama kalinya aku ke sini.

Kulihat ada sekitar tiga orang remaja wanita yang sedang duduk pada kursi kayu yang ada di teras kost. Kelihatannya mereka juga mahasiswa sepertiku.

“Assalamualaikum...” Asir memberi salam yang langsung membuat ketiga remaja itu mengalihkan perhatiannya pada kami.

“Waalaikumsalam,” kudengar mereka bertiga menjawabnya serempak.

“Oh, Mas Asir? Masuk Mas,” sapa seorang gadis dengan kerudung hitam yang kelihatannya paling ramah di antara ketiganya.

“Iya,” jawab Asir ramah. Asir lantas menatapku dengan tatapan yang mengisyaratkan ikuti-aku-atau-kau-kucincang.

Aku hanya mengekor Asir dari belakang lantas duduk pada kursi kayu yang berseberangan dengan ketiga remaja di depan kami. Sejak tadi aku terus berpikir, memangnya apa yang akan kami lakukan di sini.

“Bentar ya Mas, Mawar ke dalam dulu ngambilin air,” ucap gadis berkerudung hitam tadi.

“Iya, silahkan saja Dik,” Asir kembali berucap ramah.

Sekarang aku melirik Asir yang santai sekali mengobrol dengan dua gadis di depan kami. Yang satu cukup gemuk memakai kerudung abu-abu, dan yang satu lagi tubuhnya kelihatan lebih pendek memakai kerudung Merah. Aku tak bisa dengan jelas melihat gadis berkerudung merah itu karena ia lebih sering menundukkan kepalanya.

“Penasaran kenapa aku ngajak kamu ke sini?” akhirnya Asir mengajukan pertanyaan yang sejak tadi kutunggu.

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.

“Tuh, yang pakai kerudung merah. Kamu sudah lupa sama dia?” tunjuk Asir dengan dagunya pada gadis berkerudung merah yang duduk dengan sedikit tidak nyaman kulihat.

Kedua alisku bertaut. Memangnya siapa dia?

Akhirnya karena tak menemukan ingatan mengenai siapa gadis itu dalam memoriku, aku hanya menggeleng pelan. Kudengar Asir mendengus lantas berdehem.

“Mer, dia lupa nih,” ucap Asir pada gadis berkerudung merah yang kebetulan duduk berseberangan dengan Asir.

Kutatap gadis itu yang kini juga turut menatapku. Eh? Wajah itu?

“Ini aku Win...” setelah mengatakan hal itu ia tersenyum membuat sekelebat memori seketika berputar dalam otakku.

Sontak saja kedua bola mataku melebar sempurnya. “Um, Umairoh??!” tanyaku tak percaya.

Ia hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Hal ini dimanfaatkan oleh Asir untuk tertawa sepuasnya seraya mengolok-olokku.

“Ehm... Kok gitu doank sih responnya? Win, ajak ngobrol dulu sana,” Asir menatapku seraya menaik turunkan alisnya. Aish, anak ini membuatku malu saja.

Kembali kutatap Umairoh yang duduk dengan salah tingkah. Aku tak bermimpi kan???

Sontak memori masa lalu berputar bagaikan piringan hitam dalam benakku. Masa lalu saat aku dan gadis itu... pertama kali bertemu dan menjadi teman untuk pertama kalinya. Dan yang paling utama, memori masa MTs-ku serasa terulang kembali.

---**---

2006

Sekarang masih pukul 06.25 pagi namun aktivitas di rumahku benar-benar sibuk. Baiklah, maksudku tidak hanya orang tuaku namun termasuk aku sendiri yang sejak usai sholat Subuh tadi sudah mulai menyiapkan segala keperluanku untuk berangkat ke sekolah hari ini. Hari ini adalah hari pertama aku masuk SMP, yeah aku masih kecil dan umurku baru 12 tahun, hampir tiga belas tahun sih tepatnya. Setidaknya hari ini aku sudah lepas dari gelar anak SD yang identik dengan warna putih-merah.

Kuharap hari ini aku tidak mengalami kesialan karna menurut berita yang sering aku dengar di tv kakak kelas yang melakukan orientasi terhadap murid baru sering melakukan hal-hal di luar batas kewajaran. Begitu pula dengan kakak kelas di sekolah baruku ini. Kemarin saat penyuluhan sebelum kami masuk sekolah hari ini, kakak kelas yang disebut ‘OSIM’ (Organisasi Siswa Madrasah)  memerintahkan kami seluruh murid baru dari gugus Umar bin Khatab untuk membawa “Pisang satu sisir”.

Oke kedengarannya mudah.

Tapi, aku masih kurang paham dengan maksudnya “pisang satu sisir” itu. Apakah aku harus membawa pisang satu sisir? Atau aku bawa pisang satu biji dan satu buah sisir? Tssk, demi berjaga-jaga aku terpaksa membawa satu sisir pisang dan juga satu buah sisir.

“Darwin, makan dulu baru berangkat,” interupsi ibuku ketika aku mulai meletakkan ransel hitamku di punggung.

“Nanti saja Bu, aku bisa terlambat,” jawabku dengan menoleh sekilas pada ibu yang mulai menuangkan air teh ke dalam gelas.

“Kalau begitu minum teh ini dulu. Kamu tidak boleh pergi sebelum menghabiskannya,” ibu berjalan menghampiriku dan menyodorkan teh yang asapnya masih mengepul di permukaan gelas.

Aku menerimanya dengan malas. Teh ini masih sedikit panas namun aku berusaha menghabiskannya agar tidak dimarahi ibu. “Sudah Bu, aku berangkat dulu.. Assalamualaikum,” pamitku pada ibu dan mencium tangan beliau. Lantas aku segera berjalan keluar rumah dengan sedikit tergesak karena jarak rumahku yang cukup jauh menuju sekolah.

“Hati-hati Win jangan ngebut di jalan!” teriak ibuku ketika aku sudah mulai menyeret sepedaku keluar dari halaman rumah.

“Iya Bu,” jawabku dan dengan segera aku mengayuh pedal sepeda dengan sedikit kencang.

Rasanya gugup sekali. Memang hari ini aku masih mengenakan seragam putih-merah karena kami para murid baru yang akan menjalankan MOS tidak diperkenankan memakai seragam SMP sebelum kami selesai menjalankan MOS. Aku menatap jalanan yang mulai padat, aku bisa melihat beberapa siswi berseragam putih-biru mengenakan pita yang banyak sekali di kepalanya, eumm mungkin mereka juga sedang melakukan MOS di SMA baru mereka. Aku tertawa sendiri ketika melihatnya. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika aku sudah SMA. Ah, bahkan masa SMP saja belum tapi aku sudah ingin jadi anak SMA.

“Wooy Darwiiin!!!” aku mendengar suara seseorang yang memanggilku dari belakang. Sontak saja aku menoleh untuk mencari pemilik suara.

“Hey Rus!” sapaku ketika temanku yang bernama Rusdi berhasil menyamakan laju sepedanya dengan sepedaku. “Kamu masuk SMP mana?”

 Jujur saja aku penasaran karena selepas acara perpisahan kami di MI dia tidak ada kabarnya lagi. Aku pikir dia melanjutkan SMP-nya di luar kota.

“Aku lanjut ke MTs Negeri Win,” jawabnya tanpa menoleh padaku karena pandangannya tertuju pada jalanan di depan kami yang berbatu.

“MTs Negeri?” tanyaku tidak percaya.

“Hmm... kamu masuk di sana juga kan?” dan kali ini ia menatapku dengan tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih.

Aku hanya mengangguk menjawabnya. “Dari mana kamu tahu?”

“Aku mendaftar di hari terakhir dan melakukan tes mengaji paling terakhir. Lalu aku melihat pengumuman di mading nama-nama siswa yang diterima, dan tidak sengaja aku ada membaca nama kamu. Wah, hebat sekali kamu nomer sepuluh. Tapi, urusan nilai tes mengaji nilaiku lebih tinggi dari kamu, hahahaa...”

Aku tersenyum mendengarnya. Kalau urusan membaca Al-Qur’an, temanku satu ini jangan diragukan. Dia pernah menjadi juara pertama lomba Tilawatil Qur’an sewaktu MI untuk kategori laki-laki. “Aku pikir kamu pindah keluar kota Rus.”

“Yeah, niatnya begitu. Aku sempat mendaftar di salah satu pesantren di kampung halamanku di Madura. Tapi, ibuku bilang aku masih terlalu kecil untuk masuk pesantren, jadi yah aku memilih masuk MTs saja toh sama-sama sekolah agama.”

Kali ini aku kembali mengangguk. Setelahnya tak ada lagi pembicaraan diantara kami karena kami mulai sibuk dengan pikiran masing-masing di sepanjang jalan.

“Aku pikir kita akan menjadi murid baru teladan. Ternyata..” Rusdi menghentikan sepedanya ketika kami sudah berada di depan sekolah baru yang akan menjadi tempat kami menuntut ilmu selama tiga tahun ke depan. Aku turut menghentikan sepedaku dan melihat ramainya murid-murid yang sudah memasuki halaman sekolah. “Banyak sekali murid barunya. Ayo Win kita parkir sepeda dulu,” Rusdi mengayuh sepedanya memasuki halaman sekolah mendahuluiku.

Aku membututi Rusdi dan kami memarkirkan sepeda di parkiran paling ujung di dekat pohon jambu air. Aku ingat dulu saat masih MI pernah memetik jambu air di pohon ini sewaktu latihan Pramuka gabungan dengan kakak-kakak MTs.

Aku dan Rusdi berjalan melewati koridor menuju ruang kelas tujuh yang letaknya di bagian belakang. MTs Negri ini sangat luas, sekolah bagian depan dengan halaman utama khusus untuk ruang guru, perpustakaan, ruang kelas 9A sampai 9D, Lab. Bahasa, Lab. Komputer, Lab. IPA, raung kesenian, aula, UKS, koperasi, ruang OSIM, dan paling ujung musholla. Halaman utama yang sangat luas untuk upacara, merangkap sebagai lapangan basket dan untuk lapangan voli. Sedangkan gedung bagian belakang yang memiliki lantai dua untuk ruang kelas 7A sampai 7D dan ruang kelas 8A sampai 8D, ada sebuah ruang guru untuk wali kelas 7 dan 8, serta kantin. Dan halaman gedung belakang biasanya dipakai untuk bermain sepak bola.

“Kamu gugus apa Rus?”

“Aku gugus Abu Bakar. Kamu?”

“Aku gugus Umar bin Khatab, dan kami disuruh membawa pisang satu sisir.”

“Pisang satu sisir? Berarti pisang satu dan sisir satu kan maksudnya? Kalau kami disuruh membawa batu es yang tidak bisa mencair meskipun sampai setahun.”

Alisku bertaut bingung. “Memangnya ada batu es yang tidak bisa mencair?”

Rusdi tersenyum misterius, lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Tadaaa... Ini dia. Batu yang bertuliskan huruf ‘S’, dijamin tidak akan mencair bahkan sepuluh tahun kemudian,” jelasnya sedikit heboh dengan menggenggam sebuah batu yang ukurannya sekepalan tangan.

Aku menganga tidak percaya. Benar juga, hebat sekali dia bisa menebak. “Ya sudah aku masuk duluan Rus, gugus Abu Bakar di ujung sana,” tunjukku pada ruangan paling ujung ketika kami sudah sampai di koridor gedung belakang.

“Oke. Sukses dengan MOS-nya kawan!” Rusdi berjalan meninggalkanku tepat di depan ruang kelas kelas 7B yang dijadikan ruangan untuk gugus Umar bin Khatab.

“Eh anak baru, ucapkan salam De’ ketika masuk kelas!” seru siswi yang mengenakan kaos bertuliskan OSIM padaku ketika aku baru melangkahkan kaki memasuki kelas. Aku tidak menyangka ternyata sudah banyak siswa baru di dalam kelas ini.

“Assalamualaikum,” ucapku sedikit pelan dan menunduk kaku. Oh sepertinya kegiatan MOS hari ini akan melelahkan.

“Waalaikumsalam. Cepat masuk! Letakkan tasmu dan setelah itu kalian semua yang ada di dalam ruangan ini ikuti saya menuju lapangan karena kita akan Upacara!” titah kakak OSIM laki-laki yang berdiri di bagian belakang kelas.

Aku segera meletakkan tasku pada bangku kosong di kursi paling belakang karna hanya bangku itu yang tersisa. Lantas kami semua berjalan keluar ruangan mengikuti kakak OSIM pembina gugus Umar bin Khatab menuju lapangan.

“Aww,” rintih seorang siswi yang berjalan berlawanan denganku.

“Ma, maaf. Kamu nggak apa-apa?” ucapku khawatir karna tadi aku menubruknya dengan cukup keras.

Dia hanya mengangguk dengan kepalanya yang tertunduk. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, yang bisa aku lihat hanya kerudungnya yang diikat dibagian depan dengan pita berwarna biru. Pita gugus Umar, berarti kami satu gugus. “Cepat taruh tasmu di dalam karena kita harus upacara. Kamu gugus Umar juga kan?” lanjutku karena ia terus saja menunduk.

Ia lantas mengangkat tiba-tiba wajahnya dan menatapku sambil mengangguk lantas berlari dengan kecepatan cahaya memasuki kelas. Membuatku hanya bisa mengerjapkan mataku melihatnya yang menghilang di balik pintu.

“Ayo kita ke lapangan,” ucapnya ketika sudah berdiri di depanku. Sejak kapan ia sudah di sini? Entahlah. Aku hanya mengangguk dan berjalan menuju lapangan mendahuluinya.

---***---

Akhirnya setelah selesai MOS selama tiga hari, hari ini kami resmi menjadi murid di MTs Negri. Aku pikir teman-teman satu gugus Umar bin Khatab adalah teman sekelas, ternyata kami dibagi lagi menurut urutan NIM saat pendaftaran. Berhubung aku berada diurutan sepuluh, aku sudah bisa menebak pasti aku berada di kelas unggulan. Yap, ternyata benar. Aku melihat namaku di mading dalam daftar murid kelas 7D.

Aku berjalan menuju ruang kelas 7D. Hari ini sudah ada beberapa murid baru yang mengenakan seragam putih-biru, tapi aku masih mengenakan seragamku waktu MI karena seragamku belum selesai dijahit.

“Hey Rus, kamu masuk kelas 7D juga?” sapaku pada Rusdi yang berdiri di depan pintu. Ia hanya menatapku sekilas dan mengangguk lantas kembali berbicara dengan teman-teman baru lainnya.

Aku mengacuhkannya yang sepertinya mengabaikanku dan memilih segera masuk ke dalam kelas. Ada satu bangku kosong di deretan murid laki-laki, tepat di depan papan tulis. Jujur saja aku tidak terbiasa duduk di depan seperti ini, tapi ya sudahlah apa boleh buat karna hanya ini tempat yang kosong.

“Kamu Darwin kan?” sapa seorang siswa yang sepertinya akan menjadi teman sebagkuku.

“Yah... eum, apa aku seterkenal itu? Bahkan aku saja tidak tahu siapa namamu,” jawabku sambil tersenyum setelah meletakkan ranselku di atas meja dan mulai duduk sambil menatapnya yang bisa kulihat sedang memperbaiki sampul bukunya.

“Bagaimana mungkin aku tidak tahu. Kita satu gugus saat MOS, waktu itu kamu disuruh membacakan puisi untuk kakak OSIM sambil berteriak di depan kelas. Jadi, mana mungkin aku tidak ingat wajahmu...”

Aku hanya ber-oh ria. “Siapa namamu?”

“Aku? Namaku Asir. Oh iya, aku mau ke toilet dulu. Kamu mau ikut?” ajaknya. Aku menggeleng karena aku sedang malas keluar kelas. “Baiklah tolong  jaga tempat dudukku, jangan sampai ada yang mengambilnya okey,” ia langsung melesat berlari meninggalkan kelas.

Selepas Asir pergi, aku mengedarkan pandanganku ke seluruh bagian kelas. Masih cukup berantakan. Mungkin karena seragam kami yang tidak sama membuat kelas ini jadi terlihat tidak rapi. Tidak sengaja mataku menatap seorang gadis yang duduk di bangku pojok belakang kelas, ia juga menatapku sambil tersenyum kikuk. Aku membalas senyumannya, lantas mengalihkan pandanganku keluar kelas.

Aneh. Kenapa wajahku tiba-tiba terasa panas? Aku kembali menatap gadis itu yang sepertinya tidak menyadari jika aku sedang menatapnya. Kali ini aku kembali tak bisa menahan senyumanku, karena ternyata aku dan gadis itu sekelas. Dia gadis yang dihari pertama MOS tidak sengaja tertabrak olehku. Namanya Umairoh.

“Assalamualaikum,” seorang guru wanita memasuki kelas dengan wibawanya membuat seisi kelas kasak-kusuk duduk ditempat duduk masing-masing tak terecuali Asir yang berjalan dengan mengendap-ngendap di belakang guru tersebut lantas langsung duduk di sampingku dengan cepat.

“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak.

Setelah meletakkan buku di atas meja, beliau berjalan ke depan kelas dan menatap kami semua dengan senyum ramahnya. “Apa kabar kalian semua para murid baru”

“Baik Bu....!” jawab kami kembali serempak.

“Hari ini kita perkenalan dulu. Ada yang sudah tau nama saya?”

“Beluuuum...”

Beliau mengangguk maklum. “Nama Saya Fitri. Kalian bisa memanggil saya Bu Fitri, saya wali kelas kalian, kelas 7D. Saya sudah dipercaya menjadi wali kelas 7D sejak tiga tahun yang lalu dan ini tahun ke-empat saya menjalankan amanah sebagai wali kelas 7D.”

Kami semua hening, tidak ada yang bersuara karena kami cukup antusias dengan beliau.

“Nanti kita akan kenalan satu persatu mulai dari absen pertama. Tapi sebelumnya, saya akan memberitahukan mengenai hal-hal apa saja yang harus kalian lakukan sebagai siswa MTs Negri. Sebagai sekolah agama yang menjunjung tinggi norma Islam, tentu kalian harus bertindak sebagai umat Islam yang baik. Kalian tidak boleh merokok, terutama ini untuk siswa laki-laki, apalagi sampai meminum minuman keras dan menggunakan narkotika. Tidak boleh bertindak asusila, merusak fasilitas sekolah, tidak boleh berkelahi di sekolah, serta tidak boleh membuang sampah sembarangan. Kalian harus mengikuti aturan tata tertib yang terpajang di depan kelas ini. Kalian bisa membaca semua peraturannya nanti. Dan yang paling utama, tidak boleh pa-ca-ran. Paham?”

“Paham Bu...”

“Nanti seluruh kelas akan ada giliran sholat Zuhur berjamaah di musholla, jadi nanti kalau tiba giliran kalian jangan lupa untuk membawa perlengkapan sholatnya. Dan biasanya, sebelum memulai pelajaran kita akan mengadakan tadarus Al-Qur’an selama tiga puluh menit, jadi mulai besok tolong bawa Al-Qur’an. Eum, saya jadi lupa apa yang mau disampaikan karena gugup di depan murid baru,” beliau terkekeh membuat kami tertawa mendengarnya. “Jangan terlalu tegang, santai saja. Di sini semua guru tidak ada yang jahat apalagi sampai memukul muridnya.”

“Kalau begitu kita perkenalan dulu, lalu setelah itu kita akan memilih pengurus kelas. Dan nanti setelah itu saya akan memberitahukan jadwal pelajaran kalian.”

Kami hanya mengangguk melaksanakan apa yang beliau katakan. Sepertinya hari ini kami belum belajar, paling tidak aku masih bisa merilekskan pikiranku sebelum dijejali pelajaran-pelajaran yang tentunya tingkat kesulitannya lebih tinggi dibanding saat MI.

---***---

“Di mana rumahmu?” tanyaku pelan pada Umairoh. Beberapa menit yang lalu aku melihatnya menyeret sepedanya keluar dari parkiran sekolah dan entah kenapa aku jadi mengikutinya sambil turut menyeret sepedaku.

Aku bisa melihat dengan jelas ia sedikit terkejut karena aku yang tiba-tiba berada di sampingnya. “Oh, kamu. Rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah,” jawabnya dengan menoleh padaku sekilas lantas kembali menatap jalanan di depan kami.

“Eum, ngomong-ngomong kenapa kamu menyeret sepedamu?” jujur saja aku penasaran sekali kenapa ia hanya menyeret sepedanya padahal sekarang kami berjalan sudah cukup jauh dari gerbang sekolah.

“Rantai sepedaku lepas,” ia lantas menghela nafas panjang tanpa menatap sedikitpun padaku.

“Mau kubantu memasangnya?” tawarku.

Ia menggeleng pelan, “Tidak usah. Lagipula biar dipasang nanti juga akan lepas lagi. Oh ya-,” ia tiba-tiba menatapku membuatku sontak membulatkan mataku. “Nama kamu Darwin kan?”

“Hmm. Kenapa?”

“Tidak. Tidak apa-apa. Ya sudah kalau begitu rumahku masuk gang itu, kamu bisa menaiki sepedamu sekarang”

Aku tak bisa menolaknya. Aku hanya mengangguk dan langsung menaiki sepedaku. Jujur saja aku sudah tak sabar sampai ke rumah karena perutku yang sudah berdemo minta diisi. “Kalau begitu aku duluan ya, Umairoh. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam,” ia melambaikan tangannya padaku.

Hey, ini tidak seperti di sinetron yang sering ditonton ibuku kan? Entahlah, aku merasa kalau aku dan gadis itu akan segera akrab setelah ini.

---***---

Oh Rabb, aku tidak percaya ini. Aku sudah menulis lima halaman di buku tulisku namun aku juga masih disuruh keluar kelas? Yang benar saja?

“Tapi Bu-“

“Tapi apa? Catatanmu ini tidak lengkap. Saya sudah peringatkan minggu lalu, bagi siswa yang tidak memiliki buku paket harus mencatat dan catatanmu ini sama sekali tidak lengkap. Sekarang, semua siswa yang tadi saya suruh keluar cepat keluar sekarang!” titah guru Fiqih yang membuat tubuhku rasanya lemas seketika.

Dengan malas aku melangkah keluar kelas setelah sebelumnya aku menatap Asir yang sedang menatap iba padaku. Ini diskriminasi. Ayolah, maksudku kenapa kami harus keluar kelas. Seharusnya beliau membiarkan saja kami ikut belajar di dalam kelas. Logikanya, bukankah jika catatan kami tidak lengkap kami seharusnya mengikuti pelajarannya agar semakin tidak tertinggal bukan?

Dan lagi, buku paket. Ini dia masalah utamanya. Aku tidak punya uang untuk membeli buku itu. Dan aku sudah berusaha untuk mencatat materi minggu lalu namun apa hasilnya? Pada akhirnya aku tetap harus keluar kelas. Ckk, menyebalkan.

“Umairoh kamu keluar kelas juga?” aku tidak percaya melihat Umairoh yang duduk di anak tangga sambil memeluk sebuah buku catatan. Aku turut duduk di sampingnya.

Ia mengangguk lemah. “Ini tidak adil. Catatanku bahkan lebih lengkap dari pada teman sebangkuku, tapi karena tulisannya besar sehingga kelihatannya banyak ia tidak disuruh keluar kelas.”

“Kenapa kamu tidak membeli buku paketnya saja?”

“Kamu pikir uang jatuh dari langit begitu?” ia melirik malas padaku. Aku hanya mengangguk saja. “Kamu sendiri kenapa keluar?” lanjutnya.

“Yeah, aku sudah mencatat tapi disuruh keluar. Jangan tanyakan kenapa aku tidak membeli buku paketnya karena kamu juga tahu kalau uang tidak jatuh dari langit.”

Kali ini ia terkekeh. “Ini pertama kalinya bagiku tidak mengikuti pelajaran karena dikeluarkan dari kelas,” ia memainkan buku catatan di tangannya.

“Kalau aku ini yang kedua kalinya.”

Ia menatap penuh tanya padaku. “Benarkah?”

“Hmm... Dulu saat di MI aku juga pernah tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran karena terlambat masuk,” terangku sambil memainkan jemariku.

Setelahnya kami hanya diam. Beberapa murid yang juga dikeluarkan dari kelas lebih memilih menghabiskan jam pelajaran Fiqih di kantin. Aku sedang malas kemana-mana saat ini. Aku lebih memilih duduk di tangga ini saja.

“Kamu ikut ekskul apa Win?” ini pertama kalinya Umairoh menanyaiku sambil menyebut namaku.

“Aku masih bingung. Mungkin aku lebih memilih ikut ekskul Muhadharoh atau mungkin lanjut Pramuka seperti di MI dulu. Kamu bagaimana?”

“Sepertinya aku tertarik untuk ikut ekskul Teater.”

“Oh Juliet,” tiba-tiba saja aku refleks berdiri dan menggerakkan tubuhku layaknya orang yang sedang bermain drama.

“Ckk, kamu ini. Teater itu bukan hanya bermain drama Romeo-Juliet seperti itu,” ia menggeleng tidak percaya melihat tingkahku barusan.

Aku lantas kembali duduk sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Apa yang aku lakukan tadi memalukan? Ah biarlah.

Kami kembali terdiam. Ini aneh sekali. Selama ini aku tidak pernah dekat dengan wanita, biarpun itu teman sekelasku dulu. Tapi dengan Umairoh, aku merasa tidak canggung untuk berbicara dengannya. “Bagaimana sepedamu? Rantainya sudah diperbaiki?”

Ia mengerucutkan bibirnya. “Tidak. Rantai sepedaku itu biar sudah aku pasang nanti juga lepas lagi. Jadi hari ini aku jalan kaki ke sekolah.”

“Oh begitu. Tapi untunglah rumahmu tidak terlalu jauh dari sekolah. Oh iya, aku jadi penasaran bagaimana ekskul Teater itu. Kapan ekskulnya?”

“Besok hari Kamis sore setelah Ashar. Kamu mau bergabung dengan ekskul Teater? Serius? Aku jamin deh kamu tidak akan menyesal setelah ikut...” ia tersenyum lebar kearahku.

“Ah, yang benar saja. Aku tidak yakin kalau Teater akan mengasyikkan,” terus terang saja aku sangsi. Karena selama ini yang aku tahu Teater itu identik dengan pertunjukan drama, ya seperti drama Romeo-Juliet itu.

“Hmm, kamu tidak akan menyesal”

“Oke-oke aku percaya.”

Kami berdua menghabiskan waktu pelajaran Fiqih dengan saling berbagi cerita. Tak jarang kami sama-sama tertawa karena pengalaman lucu yang kami ceritakan. Kuharap aku dan Umairoh bisa jadi teman baik selama di MTs.

---***---

Tunggu dulu. Ini tidak benar. Apa maksud Rusdi barusan?

“Ap, apa... Apa maksud kamu Rus?”

“Kamu tidak dengar? Dia bilang bawakan tas kami ke dalam kelas se-ka-rang!” kali ini Salman mendorong tubuhku membuatku terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh kalau saja aku tidak berpegangan pada tiang koridor.

“Sudah.. jangan banyak tanya. Cepat bawa tas kami sana...” Rusdi menyerahkan empat buah tas padaku. Miliknya, Salman, Adi, dan milik Ghafar.

“Tapi, tapi-“ aku ingin protes tapi mereka sudah lebih dulu meninggalkanku. Aku menatap tak percaya pada mereka yang sekarang berjalan menjauh menuju halaman belakang sekolah.

Dengan terpaksa aku membawa empat buah tas yang cukup berat menuju kelas tujuh. Aku memang merasa ada yang aneh sejak hari pertama selesai MOS, Rusdi mulai menjauhiku dan seolah tidak menganggapku. Seolah-olah kami tidak pernah kenal sebelumnya.

“Kenapa kamu membawa tas sebanyak itu Win?” Asir menatapku bingung ketika aku mulai memasuki ruang kelas.

“Punya Rusdi dan teman-temannya,” jawabku dan langsung meletakkan tas-tas yang kubawa di meja pemiliknya.

Sebelum aku kembali duduk di bangkuku, aku berjalan mendekati kursi Umairoh yang saat ini gadis itu sedang berbicara dengan teman sebangkunya. “Teater tidak menyenangkan sama sekali,” tuturku membuatnya mengalihkan perhatiannya dari temannya dan langsung menatapku.

“Kamu saja yang tidak bisa berimprovisasi dengan baik,” ia tersenyum mengejek. “Lagi pula kemarin kamu terlalu malu untuk mengekspresikan dirimu.”

“Tsk, kamu bilang tidak akan menyesal. Sekarang aku menyesal. Kenapa aku harus berteriak menyebut huruf vokal ‘A, I, U, E, O’ lalu mengikuti interupsi pelatih membayangkan sedang berada di hutan lalu dikejar pembunuh. Kekanak-kanakan sekali.”

Kali ini Umairoh menatap tak suka padaku. “Hey, kita tidak disuruh berteriak. Tapi menyuarakan dengan lantang huruf vokal. Dan itu tidak kekanak-kanakan tahu...”

“Hahaa, baiklah-baiklah. Sepertinya aku ikut ekskul Muhadharoh saja, belajar berpidato agar aku bisa Khutbah Jum’at dengan baik.”

“Yayaya, terserah kamu saja. Sudahlah kembali ke tempatmu, aku sedang berbicara dengan temanku,” ia mengibaskan tangannya seolah mengusirku.

Aku pura-pura marah padanya dan kembali duduk di bangkuku.

Pelajaran pertama pagi ini adalah Akidah Akhlak. Pelajaran favoritku karena hari ini kami akan mempelajari tentang 20 Sifat Wajib Allah. Bolehkan kalau aku menyombongkan diriku dengan menyebut kedua puluh Sifat itu?

Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil hawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat, ‘Ilmun, Hayyun, Sama’,Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan, ‘Aliman, Hayyan, Sami’an, Bashiran, Mutakalliman. (Afwan, kalo ada salah tulis maaf banget karena ini hafalan saya sendiri sebagai seorang Author)

“Ssyt, Win kamu sudah selesai PR Bahasa Arab belum? Aku belum menterjemahkan paragraf terakhir nih, eumm-“

“Iya baiklah lihat saja punyaku,” jawabku cepat sebelum Asir menyelesaikan kalimatnya karena aku sudah tahu maksud dibalik pertanyaannya.

“Hehe, terima kasih ya kawan.” Ia langsung menerima buku tulisku dan dengan cepat menulis di buku tugasnya.

“Assalamualaikum,” Pak Hadi, guru Akidah Akhlak memasuki kelas membuat seisi kelas langsung duduk di kelas mereka masing-masing termasuk Rusdi dan rombongannya yang mengekor di belakang Pak Hadi.

“Waalaikumsalam...” jawab kami tidak serempak.

“Kenapa tidak kompak menjawab salamnya? Saya ulangi lagi.. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam” jawab kami lagi.

Seperti hari-hari sebelumnya, kami tadarus Al-Qur’an lebih dulu sebelum memulai pelajaran hari ini. Dan hari ini Pak Hadi selaku guru Akidah Akhlak yang memimpin tadarus di kelas kami.

---***---

“Kalau aku perhatikan, Rusdi dan teman-temannya sering sekali memerintahkan kamu melakukan hal ini dan itu. Kenapa kamu mau saja disuruh mereka?”

Aku menghela nafas dalam. “Aku nggak tahu juga Mer. Terkadang aku takut ketika menolak apa yang mereka suruh. Jadi, aku terpaksa melakukan apa saja yang mereka katakan.”

“Bahkan termasuk membelikan mereka minuman seperti ini?” Umairoh mengangkat dua buah es teh dalam gelas plastik yang ia bawa pada tangan kanan dan kirinya.

Aku hanya mengangguk lemah menjawab pertanyaannya. Kudengar setelah itu Umairoh menghembuskan nafasnya dengan kasar.

Saat ini aku dan Umairoh tengah dalam perjalanan kembali dari kantin. Masing-masing dari kami membawa dua buah gelas plastik es teh. Tadi aku sudah menolak tawaran Umairoh untuk membantuku, tapi karena ia memaksa jadi aku terima saja bantuannya.

“Tapi kamu bisa menolak dengan tegas, Win. Kamu kan laki-laki... Kalau perlu kamu bisa hajar mereka satu persatu jika mereka masih terus memaksa kamu.”

Aku menatap tak percaya dengan apa yang baru saja gadis di sampingku ini katakan. “Huuh, ngawur kamu. Kamu tuh kebanyakan nonton FTV sih,” kekehku setelahnya.

“Sekali-sekali berkelahi kan nggak masalah buat laki-laki,” Umairoh juga turut terkekeh setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

“Woy Darwin! Lelet banget sih kamu! Cepetan sini... Kami sudah kehausan banget nih...!” teriak Adi saat aku dan Umairoh sudah mencapai pintu depan kelas. Adi dan ketiga teman satu kelompoknya sedang duduk di depan kelas.

Dengan cepat aku dan Umairoh menghampiri Adi, Rusdi, Ghafar, dan Salman, lantas menyerahkan es teh satu persatu kepada mereka. “Afwan, tadi di kantin penuh banget. Jadinya sedikit lambat,” jelasku pada mereka yang sepertinya kehausan sekali karena mereka langsung meneguk habis es teh mereka.

“Tsk, nggak percaya. Kamu pasti lambat karena pacaran dulu kan sama cewek yang sering sama kamu ini? hahaa...” celetuk Salman seraya menatapku dan Umairoh dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Awas Win, ntar kita aduin kamu ke wali kelas. Kan peraturan di sekolah kita nggak boleh pacaran. Ya nggak, Rus?” Adi ber-high five dengan Rusdi yang duduk di sebelahnya.

“Banget. Apalagi aku ini Ketua Kelas. Gampang banget kalau aku mau melaporkan kalian berdua ke wali kelas. Kita tunggu saja, kalau kamu berani melawan apa yang kami katakan, aku nggak akan segan-segan melaporkan kalian ke wali kelas,” ancam Rusdi.

Setelahnya keempat laki-laki itu tertawa tanpa dosa. Membuatku mau tak mau harus menahan kekesalanku. Ayolah Darwin, kau harus kuat. Jangan sampai emosimu tersulut.

“Kalian berempat itu tuh nyebelin banget sih. Aku sama Darwin nggak pacaran tahu!” Umairoh menghentakkan kakinya kesal lantas dengan cepat ia masuk ke dalam kelas tanpa berkata apa-apa padaku.

“Haha.. Hey, kenapa kamu kabur ke kelas? Kenapa nggak sekalian buangkan sampah kita-kita nih!” teriak Ghafar saat Umairoh sudah memasuki kelas.

“Ini Win, buang ke tempat sampah. Inget loh ya, kalau kamu sekali saja berani menolak apa yang kami suruh, bukan cuman kamu yang harus berhati-hati. Tapi cewek itu juga,” kali ini Adi menatapku dengan mata tajamnya setelah menyerahkan gelas plastik yang sudah kosong padaku. Lantas setelahnya ia berjalan ke belakang kelas disusul ketiga teman lainnya yang juga menyerahkan gelas kosong mereka padaku.

Aku menatap tumpukan sampah di tanganku. Kenapa rasanya ini tidak benar sama sekali? Memangnya apa salahku pada mereka sampai-sampai mereka harus melakukan hal ini padaku?

Dengan berat aku berjalan menuju tempat sampah di dekat tangga di samping kelas dan membuang sampah gelas plastik di tanganku. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum istirahat kedua berakhir. Kurasa lebih baik aku ke musholla saja menunggu adzan. Biar saja terlambat masuk pelajaran Fisika nanti. Toh guru Fisika tak pernah memarahiku karena aku memang cukup bisa diandalkan untuk mata pelajaran itu.

“Ke musholla yuk Win... Hoaaahhm, ngantuk banget nih. Aku mau tidur sebentar di musholla,” tiba-tiba saja Asir muncul dan merangkul bahuku.

Aku mendelik mendengar ucapannya. “Hey, Bung. Ke musholla itu buat sholat, bukan buat tidur,” kami berjalan beriringan meninggalkan area gedung belakang sekolah menuju gedung utama untuk ke musholla.

“Kan bisa tidur sebentar sebelum sholat,” Asir menatapku dengan tampang tanpa dosanya.

“Hahaa... Yah baiklah, terserah kamu saja deh.”

---***---

2015

Jika aku mengingat masa laluku saat MTs dulu kurasa tak akan ada habisnya. Karena ada banyak sekali kenangan dan kejadian yang tak terlupakan di masa-masa putih-biru saat itu. Jadi kurasa cukup mengingatnya sedikit-sedikit saja.

Hmm... Sejujurnya aku sangat membenci sesuatu yang berbau romantis. Kurasa itu terlalu feminim. Bahkan cerita-cerita romance di televisi ataupun film layar lebar. Terkadang aku muak dengan jalan ceritanya. Tapi entahlah, apakah saat ini bisa dikatakan romantis atau tidak.

Usai melaksanakan sholat Isya di musholla dekat kost perempuan tadi, sekarang aku sedang mengobrol dengan Umairoh di warung mi ayam yang jaraknya tak jauh dari musholla. Tak ada kecanggungan sedikitpun layaknya orang yang sudah lama tak bertemu. Nyatanya aku dan Umairoh sudah membicarakan banyak hal sejak tadi seraya menghabiskan mi ayam di mangkuk kami masing-masing.

Normalnya, jika kau tidak bertemu dengan seseorang hampir enam tahun lamanya, kau pasti akan berbicara sangat kaku dengannya. Terutama jika kau melihat banyak yang berubah dari seseorang itu. Dan tentu saja hal itu tidak berlaku untukku dan Umairoh.

Meskipun aku dan Umairoh tak bertemu selama enam tahun, namun aku merasa kami memiliki ikatan yang sangat kuat. Umairoh yang saat ini kuliah di luar kota dan mengambil jurusan Sastra Indonesia, sedang liburan semester. Tak sengaja saat pulang ia bertemu Asir di kost Mawar –ternyata Mawar itu pacarnya Asir dan ia merahasiakannya dariku—dan yah pertemuan antara aku dan Umairoh ini semua direncanakan oleh Asir.

“Lalu, bagaimana kuliah kamu?”

“Membosankan,” jawabku jujur.

“Bosan kenapa?” lanjut Umairoh setelah ia menyeruput es jeruk dalam gelasnya sampai habis.

“Kamu tahu aja kan gimana rasanya kuliah di jurusan yang bukan passion kita? Bahkan aku sering tidak mengerti apa yang dosenku ajarkan di dalam kelas.”

Kulirik dari sudut mataku Umairoh mengangguk. Mi ayam di mangkuk Umairoh sudah habis sejak tadi. Aku tak tahu kenapa gadis ini cepat sekali melahap makannya. Bahkan aku saja baru akan menyelesaikan suapan terakhir sekarang.

“Memangnya mau ambil jurusan apa sih kalau bukan jurusan Ekonomi?” kembali Umairoh menanyaiku setelah kami terdiam beberapa menit.

Kuteguk habis es teh dalam gelasku sebelum aku menjawab pertanyaannya. “Jurusan Tarbiyah seperti rencana kita waktu itu. Atau kalau tidak jurusan Sastra Inggris, Mer.”

Umairoh menatapku tak percaya. “Memangnya kamu bisa bahasa Inggris? Setahuku dulu kamu sangat payah dalam pelajaran bahasa asing, baik itu bahasa Inggris ataupun bahasa Arab.”

“Hey, jangan samakan aku sekarang dengan saat MTs dulu. Minatku pada bahasa Inggris muncul saat aku sekolah di MAN.”

Umairoh terkekeh pelan dan kembali mengangguk. Tak lama kulihat ia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Mungkin ia membalas pesan dari seseorang.

“Kayaknya kuliah kamu lancar-lancar aja ya?” tebakku.

Umairoh masih berkutat dengan ponselnya. Ia hanya menggumam menjawab pertanyaanku. Kenapa aku jadi merasa tidak suka diabaikannya seperti ini?

“Mer,” panggilku berusaha mengalihkan perhatiannya dari benda kotak di tangannya.

“Hmm?”

“Ingat tidak hari terakhir kita bertemu saat lulus MTs dulu?”

Yes. Akhirnya kali ini Umairoh menatapku dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

“Tentu saja ingat. Aku nggak bakal lupa kejadian waktu itu. Haha, padahal kita masih kecil tapi sudah berbicara layaknya orang dewasa,” Umairoh menerawang langit-langit warung. Mungkin memorinya memutar kenangan masa lalu kami, sama sepertiku sekarang.

“Aku masih ingat dengan jelas setiap detail yang terjadi saat itu.” Ucapku pelan.

---**---

2009

Dengan cepat aku berlari menuju gedung belakang sekolah dan menaiki tangga untuk mencapai lantai dua. Setelah menerima telpon dari Umairoh barusan, aku langsung berlari dari rumah meskipun sedang membantu ibuku menyiram tanaman.

“Hiks...”

Langkahku terhenti saat mendengar suara tangisan di ujung tangga. Kedua netraku dengan jelas melihat Umairoh sedang duduk pada anak tangga teratas seraya menelungkupkan wajahnya pada kedua lututnya. Perlahan kulangkahkan kakiku mendekatinya, berharap ia tak terkejut dengan presensiku.

“Mer,” panggilku pelan.

Umairoh mengangkat wajahnya yang memerah dengan matanya yang sembab. “Win, hiks...”

“Kamu kenapa?” ucapku khawatir seraya memposisikan tubuhku duduk di sampingnya.

Umairoh tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia berusaha meredakan tangisnya seraya menghapus kasar air matanya dengan menggunakan kain kerudung yang ia kenakan. Aku hanya bisa diam menunggu kalimat yang akan ia katakan. Terus terang saja, seandainya aku tak tahu diri sudah pasti kupeluk Umairoh saat ini juga. Tapi aku masih sadar kami bukan mahrom. Jadi aku memilih menatapnya yang sedang berusaha keras meredakan tangisannya.

“Ayah... Ayah dan Ibuku, mereka... bertengkar, Win,” lirihnya.

Aku terkejut. Ini pertama kalinya setelah tiga tahun berteman dengan Umairoh ia menangis karena orang tuanya yang bertengkar. Dan setahuku juga ini kali pertama aku mendengar tentang pertengkaran orang tuanya.

Aku ingin sekali bertanya penyebabnya, tapi aku urungkan niat itu dan memilih kembali diam membiarkan Umairoh melanjutkan kalimatnya.

“Dan Ayah memutuskan untuk pindah dari kota ini... Win,” suara Umairoh melemah di ujung kalimatnya.

Dan kali ini aku lebih terkejut dari sebelumnya. “Ap, apa? Pin..dah?” tanyaku tak percaya.

Umairoh mengangguk lemah. Ia menatapku cukup lama dengan matanya yang masih merah dan masih ada bekas air mata di wajahnya. “Kita tak bisa melakukan rencana kita waktu itu Win.. hiks,” Umairoh kembali menangis dan menutup wajahnya dengan kain kerudungnya.

Aku tak tahu harus berkata apa. Seharusnya setelah pengumuman kelulusan kami kemarin, hari ini kami akan memulai semua rencana kami. Mendaftar di MAN bersama-sama. Lalu setelah itu kami lulus dan akan melanjutkan kuliah jurusan Tarbiyah bersama, lantas  jika kami berjodoh tentu saja.. ehmm yah kau tahulah tanpa aku harus menyebutkannya.

“Mer...” lirihku tak percaya semua rencana kami runtuh tak tersisa.

“Win, ini nggak adil. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa harus kita? Nggak, maksudku... ayolah, kita sudah belajar sungguh-sungguh selama MTs, niat kita juga baik setelah lulus. Kenapa Allah menakdirkan semuanya nggak sesuai rencana kita? Ini nggak adil Win.. Ditambah Ayah dan Ibuku... Kenapa mereka harus bertengkar? Kenapa? Apa salahku? Hiks, Win.. Apa salahku??”

“Husssyyt Mer, jangan begitu,” aku berusaha menenangkan Umairoh. “Nggak baik bilang begitu. Kamu jangan nangis yaa.”

Tak lama ponsel Umairoh berdering. Gadis itu dengan ragu mengangkat panggilan telponnya. Ia melirikku sebentar sebelum berdiri menjauh dariku dan berbicara dengan sang penelpon.

“Win,” panggil Umairoh setelah beberapa menit ia menjawab panggilan telponnya.

Aku berdiri menghampiri Umairoh. “Kenapa Mer?”

“Aku... Aku sayang sama kamu,” ucapnya seraya menundukkan pandangannya.

Alisku bertaut bingung. “Kenapa kamu jadi tiba-tiba bilang begitu?”

“Keluargaku sudah bersiap pindah, dan aku harus segera pulang sekarang karena kami akan berangkat setengah jam lagi.”

Nafasku terasa tercekat. “Se, sssek sekarang? Kamu mau pergi sekarang???” tanyaku masih tak percaya.

Umairoh mengangguk lemah. “Win... Aku mungkin nggak akan kembali ke kota ini lagi karena rumahku sudah dijual sama Ayah. Aku, aku nggak tau gimana caranya ketemu kamu lagi nanti, aku-”

 “Aku akan cari kamu nanti,” potongku cepat.

“Hhuh? Maksud kamu?”

“Nanti aku akan cari kamu. Dimanapun kamu, Mer,” ucapku tulus dan masih ada nada tidak rela harus berpisah darinya dengan cara seperti ini.

“Kamu serius?”

“Heumm, tunggu aku. Aku pasti akan datang nemuin kamu. Mungkin ini sudah takdir kita, kita cuman bisa berencana, tapi Allah juga yang menentukan. Mungkin setelah ini Allah punya rencanya sendiri yang terbaik untuk kita berdua.” Terus terang saja aku tak tahu kenapa aku bisa mengatakan kalimat seperti itu.

Umairoh kembali menghapus air matanya yang masih belum berhenti membanjiri wajah merahnya. “Aku akan nunggu kamu buat nemuin aku, Win,” kali ini Umairoh tersenyum meskipun aku tahu senyum itu hanya keterpaksaan.

“Aku janji, Mer,” kali ini aku juga turut tersenyum meyakinkan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah ini.

“Aku seneng jadi teman kamu Win.”

“Aku juga, Umairoh. Aku sayang kamu...”

---**---

2015

Aku dan Umairoh sekarang dalam perjalanan kembali ke kost-nya Mawar. Umairoh bilang ia menginap di sana malam ini. Aku sungguh masih belum yakin apakah ini sungguhan atau hanya sekedar mimpi. Kalaupun mimpi, aku sungguh tak ingin bangun. Aku ingin bersama gadis ini, gadis yang pertama kali mengisi hatiku, dan sampai sekarangpun masih sama.

“Duduk di sini sebentar yuk Win,” ajak Umairoh saat kami memasuki halaman kost dan ada sebuah bangku kayu panjang di bawah pohon jambu air.

“Sekarang kamu sudah lebih tinggi dari pada dulu,” aku lebih dulu memulai pembicaraan.

“Huh, yaiyalah. Kamu pikir aku tidak mengalami pertumbuhan,” jawab Umairoh dengan nada kesal dibuat-buat.

“Tapi tetap saja aku masih jauh lebih tinggi dari kamu, haha.”

“Huh, kamu kan cowok wajar lah lebih tinggi dari aku. Oh ya, aku mau tanya. Kenapa dulu Rusdi dan teman-temannya selalu mem-bully kamu?”

Kedua alisku terangkat mendengar pertanyaannya. “Sebenarnya mereka tak suka padaku karena saat MOS ada kakak OSIM yang disukai Rusdi memberi surat cinta padaku. Jadi yah, begitulah mereka akhirnya memanfaatkan hal itu untuk mem-bullyku. Dan aku juga tahu hal itu saat di MAN.”

Umairoh hanya terkekeh setelahnya. “Win,” panggilnya setelah kami terdiam seraya mengobservasi ribuan bintang pada permadani langit di atas.

“Hmm?”

“Kenapa kamu nggak nyari aku sesuai janji kamu enam tahun lalu? Aku selalu nunggu kamu,” ucapnya pelan dan kali ini kulihat ia menunduk menatap ujung flat shoes yang ia kenakan.

Kuhela nafas dalam. “Bukan aku yang lupa dengan janjiku. Bukan juga aku yang nggak mau memenuhi janjiku. Aku memang akan nyari kamu, tapi nanti. Setelah aku mapan,” jawabku jujur. Kali ini aku benar-benar tulus mengatakannya. “Sebenarnya aku juga kebingungan harus mencarimu kemana karena saat kita di tingkat tiga SMA, kita lost kontak kan?”

Umairoh hanya mengangguk. Lantas kembali hening melingkupi kami.

“Apa kamu sekarang, eum.. Sudah punya kekasih?” tanyaku ragu.

Umairoh malah terkekeh mendengar pertanyaanku. “Tentu saja sudah,” jawabnya santai.

Apa katanya? Oh sungguh, langit serasa runtuh sekarang. Jika tadi ini mimpi yang aku tak ingin bangun, bisakah aku meminta bangunkan aku sekarang juga?

“Oh ya?”

“Hmm... Dan aku datang ke kota ini untuk menemui kekasihku yang sangaaaaaat kurindukan,” jawabnya riang. Berbanding terbalik dengan keadaanku sekarang.

“Si, ssiapa, siapa dia?”

Umairoh menatapku dalam. “Kenapa kamu malah nanya siapa sih? Ya tentu saja orang yang sedang berbicara denganku ini. Memangnya siapa lagi?”

Kedua mataku melebar. Kelewat lebar malah. “Mer, kamu, kamu jangan bercanda.”

“Memangnya wajahku kelihatan sedang bercanda sekarang? Hoaahhm, aku ngantuk. Rumahmu masih sama seperti dulu kan? Sampai ketemu besok di rumahmu ya... Assalamualaikum.”

Tanpa menunggu balasan salamku, ia lantas bangkit berdiri meninggalkanku yang mematung dan masih dalam keterkejutan. Kulihat tubuh Umairoh sudah menghilang di balik pintu kost.

Setelah aku tersadar, segera, dengan tak sabaran aku merogoh ponselku di dalam celana dan menghubungi sang tersangka yang sudah membawaku ke tempat ini. “Hey, Asir Mas Bro... Kamu di mana? Hahaa, terima kasih sobat. Kamu nggak bakal tahu gimana senangnya aku sekarang. Hey, cepat ke sini jemput aku pulang. Biar aku traktir kamu... Haha, baiklah, aku tunggu kamu.”

.
.
FIN

Aku bener-bener kangen masa-masa MTs dulu T_T
Kangen sahabat-sahabat Depofs, sahabat seperjuangan di MTs... Kangen masa-masa di ekskul teater selama tiga tahun di MTs, juga paling kangen sama Bu Ros, guru bahasa Arab tercinta J
Juga yang pasti kangen banget sama makanan di kantin MTs dulu, hihii... Kangen banget lah pokoknya segala kejadian selama di MTs dari sejak MOS sampe lulusan :D mulai dari yang nggak enakin sampe yang nyenengin...
Yesungdah sekian bacotan aku, makasih bagi yang sudah berminat mampir dan membaca cerpen ala kadarnya ini...
Assalamualaikum ^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar