Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Selasa, 29 April 2014

(Fanfiction) An Ending

An Ending

.

.

Author:

Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast:

Super Junior’s Yesung a.k.a Kim Jongwoon

Kim Jongjin

Genre:

Angst, Brothership

Lenght:

Ficlet

Warning:

Typo bertebaran, bahasa tidak sesuai EYD, OOC

.

.

<3<3<3

“Mungkin inilah...”

.

“Hey pengemis! Pergi kau dari sekolah ini!!!”

“Pengemis sepertimu tak pantas berada di sekolah kami...”

“Lihatlah pria bodoh menyedihkan ini, kau tidak tahu dimana tempatmu huh?”

“Kalau aku jadi dia, sudah kubuang ke tempat sampah sepeda butut itu.. hahaa”

Umpatan-umpatan yang merusak indra pendengaran itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Jongwoon. Bahkan tak jarang ia mendapat lemparan buku kala ia melewati gerbang sekolah, atau lebih parahnya lemparan telur busuk yang mengenai seragam sekolah satu-satunya miliknya.

Mungkin jika tidak mengingat bagaimana kebaikan Han Ahjussi yang sudah mau berbaik hati membiayainya sekolah, ia akan berhenti dengan senang hati dari sekolah busuk ini. Bahkan tiap ia dibully oleh teman-temannya, tak ada keadilan yang ia dapatkan meskipun semua guru selama ini mengetahui keadaannya.

Jongwoon tak mengerti apa kesalahan yang selama ini ia buat.

Mungkin bukan benar-benar tidak mengerti. Ia tahu. Ia mengerti. Hanya saja ia tak habis pikir.

Apakah miskin adalah sebuah kesalahan? Apakah miskin adalah dosa besar?

Jongwoon bisa saja berhenti sekolah dan bekerja untuk membiayai hidupnya dan adiknya. Tapi ia bukan orang bodoh yang akan berhenti sekolah begitu saja hanya karena hinaan yang ia terima setiap hari. Jongwoon memerlukan ijazah SMA-nya agar ia bisa bekerja lebih baik nantinya. Meskipun ia mungkin tak bisa duduk di bangku kuliah setelahnya, paling tidak ia memiliki ijazah SMA.

Hanya sesederhana itu.

Tapi hal sederhana itu begitu rumit untuk Jongwoon dapatkan. Dunia memang kejam. Setidaknya cukup kejam bagi orang lemah sepertinya. Bagaimanapun juga dunia tak akan berpihak pada orang lemah sekalipun seorang pahlawan datang menuntut dan membela keadilan bagi mereka. Terlalu kejam dan terlalu rumit untuk dipahami.

Orang-orang itu tidak tahu bagaimana keadaan Jongwoon. Toh walaupun mereka mengetahuinya, mereka tak akan peduli. Mereka tak seperti Jongwoon yang hidupnya selalu was-was. Mereka mungkin masih bisa tertawa karena mereka tak perlu memikirkan apakah esok masih  bisa makan atau tidak. Apakah besok rumah mereka akan digusur atau tidak.

Yang Jongwoon dan adiknya butuhkan hanyalah dapat bertahan hidup. Minimal  ia tidak lagi memikirkan bagaimana caranya besok untuk makan.

Jongwoon menyeret sepeda tuanya keluar gerbang sekolah dengan amarah yang tertahan dirongga dadanya. Mungkin ia masih bisa menerima jika ia dihina atau dilempari telur busuk sekalipun. Tapi kali ini, satu-satunya sepeda yang menjadi alat transportasinya dan merupakan satu-satunya benda yang mengingatkannya pada orang tuanya, benda itu sudah tak bisa dipakai lagi.

Rantai sepeda itu putus dengan rem yang juga sudah dirusak. Sepeda itu memang sebenarnya tak layak pakai dengan karat yang sudah sangat terlihat jelas di hampir seluruh bagiannya. Tapi paling tidak Jongwoon bisa menghemat waktu untuk pergi ke sekolah dengan sepeda itu.

Dan kini sepeda itu benar-benar sudah tak bisa dipakai.

Jongwoon menghempaskan sepedanya di pinggir sungai yang ia lewati saat berjalan pulang ke rumah. Ia sudah merelakan untuk membuang sepeda yang menjadi penghubung kenangannya dengan orang tuanya.

“Apa kalian puas sekarang menghancurkanku?”, geramnya tertahan dengan kedua tangannya mengepal kuat. Nafasnya memburu dengan matanya yang mulai memerah.

Jongwoon memang pria, tapi ia juga punya hati. Ia tahu bagaimana rasanya sakit hati. Ia juga berhak untuk menangis. Namun alih-alih mengeluarkan amarahnya dengan tangisan, ia menendang-nendang sepeda tuanya yang sudah tergeletak di pinggir sungai yang sebagian dari tubuh sepeda itu sudah masuk ke dalam air.

“KALIAN PUAS HUHH??? APA SALAHKU PADA KALIAN??!!! APA AKU PERNAH MENYAKITI KALIAN?? APA AKU PERNAH MENGGANGGU KALIAN HAAHH??!! ATAU KALIAN HANYA AKAN PUAS SETELAH MELIHATKU BENAR-BENAR HANCUR??? AAAAAARGGGGGHHH”. Jongwoon mengerang hingga ia terduduk lemah di pinggir sungai di bawah teriknya matahari.

Pria itu mulai menumpahkan perasaannya dengan meraung sekuatnya. Mungkin hanya di sini ia bisa meluapkan segala relung nestapanya. Karena di sini tak ada yang mendengarnya, kecuali hewan-hewan yang ada di sekitar sungai ini. Itupun kalau hewan-hewan itu mengerti apa yang Jongwoon katakan.

<3<3<3

“Kau sudah pulang Hyung?”, sapa Jongjin ramah ketika melihat Jongwoon berdiri di ambang pintu rumah mereka.

Jongwoon tersenyum tipis membalas sapaan adik kesayangannya itu. “Kau sudah makan?”, tanya Jongwoon usai meletakkan ranselnya di dekat meja. Rumah mereka hanya ada satu ruangan yang menjadi ruang serba guna, dan satu kamar mandi.

Jongjin mengangguk.

Hanya dengan melihat Jongjin perasaan Jongwoon sedikit membaik. Setidaknya Jongwoon tidak sendirian. Ia memiliki adik laki-laki yang sangat ia sayangi. Meskipun Jongjin tidak sesempurna anak yang lain. Kaki kirinya patah karena kecelakaan 9 tahun yang lalu. Dan itulah kenapa Jongjin tidak bisa bersekolah.

“Hyung, hari ini tepat 9 tahun orang tua kita meninggal. Kau ingin pergi ke makam mereka Hyung?”

“Hmm...”, Jongwoon menjawab singkat sambil mengganti pakaiannya.

Jongjin kembali mengangguk lantas setelahnya ia bangkit dari duduknya dengan sedikit tertatih. “Baiklah, kalau begitu aku akan bersiap-siap juga”.

“Tidak usah...”, Jongwoon menghalangi Jongjin yang hendak berdiri.

Jongjin mengernyit heran. “Kenapa Hyung?”

“Hmm, tidak ada. Hanya saja... Emm, bisakah kita bicara sebentar?”, Jongwoon ikut duduk di samping Jongjin. “Apa kau merindukan Ayah dan Ibu?”

“Tentu saja Hyung, aku sangat merindukan mereka. Makanya ayo kita pergi ke makam mereka”

Jongwoon memandang nanar Jongjin, “Apa kau...ingin bertemu mereka?”

“Huh? Apa maksudmu Hyung? Kita tidak mungkin bisa bertemu orang yang sudah meninggal kan?”

Jongwoon menarik nafas dalam. Digenggamnya erat tangan adiknya itu. “Jongjin-ah...”, lirih Jongwoon. Bahkan ia sudah tak bisa menahan air matanya sekarang.

“Wae Hyung? Kau kenapa? Kenapa kau menangis? Apa anak-anak itu mengganggumu lagi?”. Jongjin begitu khawatir melihat Jongwoon yang tidak seperti biasanya. Pria itu biasanya selalu tegar meskipun ia sering dibully.

Jongwoon tak menyahut, ia malah memeluk adiknya yang kebingungan karena sikapnya. “Jongjin-ah, aku menyayangmu”, bisiknya disertai isakan kecil.

Jongjin malah tersenyum mendengar ucapan Jongwoon, “Nado Hyung... aku juga menyayangimu”, ia lantas membalas pelukan hangat Jongwoon. “Sebenarnya ada apa Hyung? Tidak biasanya kau seperti ini”

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Jongwoon.

“Hyung, maafkan aku karena aku tak bisa melakukan apa-apa untukmu. Aku hanya menjadi bebanmu... maaf Hyung”, sedikit terisak Jongjin dalam dekapan Jongwoon. Ia yakin saat ini Jongwoon sudah sangat lelah. Dan ia tak bisa melakukan apapun untuk membantu Jongwoon yang menjadi tulang punggung sejak kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka 9 tahun lalu.

Jongwoon masih belum mengatakan apa-apa. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada Jongjin. Hingga beberapa menit kemudian, Jongwoon bisa merasakan cairan hangat di tangan kanannya.

Bahkan cairan itu mengeluarkan bau anyir yang menyapa penciumannya.

Jongwoon melepaskan pelukannya pada Jongjin. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi kesakitan di wajah saudaranya itu. Jongjin berusaha memanggil Jongwoon sambil memegangi perutnya yang makin banyak mengeluarkan cairan berwarna merah pekat.

Jongwoon baru saja menusuknya.

Jongwoon baru saja menancapkan sebilah pisau tepat di ulu hati Jongjin saat memeluknya.

“H.. Hyung.. Hyung...”, panggil Jongjin sekuat tenaga. Hingga akhirnya Jongjin tersungkur di lantai dengan darah yang tak berhenti mengalir di perutnya.

Jongwoon hanya menatap datar pada Jongjin yang meregang nyawa. Lalu ia mengelus pelan wajah adiknya yang sudah tak bernyawa itu dengan tangannya yang dipenuhi bercak darah Jongjin.

“Maaf Jongjin-ah. Ini yang terbaik untukmu. Kau akan berbahagia dengan Ayah dan Ibu di Surga”, setitik air mata kembali mengalir di sudut mata Jongwoon. Ia tahu ini salah. Tapi ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ia lelah. Ia muak.

“Dunia ini kejam Jongjin-ah... aku tidak ingin kau disakiti sepertiku. Aku berjanji akan pergi denganmu menemui Ayah dan Ibu di surga. Secepatnya”. Usai mengecup sekilas dahi Jongjin yang mulai terasa dingin, Jongwoon segera bangkit dan pergi meninggalkan tubuh kaku adiknya itu.

<3<3<3

Semilir angin sore menerpa surai hitam Jongwoon. Pria muda itu meletakkan sebuket bunga lily di depan makam orang tuanya. Setelahnya ia memberikan penghormatan di depan makam itu.

“Kalian orang tua terjahat didunia...”, ucapnya pelan sambil tersenyum getir. “Kalian meninggalkanku dan Jongjin yang saat itu masih anak-anak. Apa kalian tidak tahu betapa beratnya kami menjalani hidup kami selama ini??!!”

Jongwoon terduduk di depan makam dengan tangannya yang mengepal kuat. “Aku sakit Ibu. Aku lelah Ayah. Aku tidak sanggup lagi..”, isaknya sambil memukul-mukul dadanya.

Hingga beberapa menit berlalu yang terdengar di sekitar makam itu hanya isakan Jongwoon. Pria itu mencoba meremas-remas dadanya, bahkan ia sudah memukul-mukul dadanya lebih kuat dari sebelumnya. Ia ingin sekali menghentikan tangisan yang tak ada gunanya ini, namun hasilnya ia hanya bisa terisak semakin kencang.

“Sakit...”, ucapnya pelan. “Sakit Bu...”.

Sakit yang Jongwoon rasakan bukan karena dadanya yang ia pukul dengan keras, namun hatinya sudah terlalu sakit. Mungkin hati itu sudah tak berbentuk lagi. Hati dan persaannya sudah remuk. Hati dan perasaannya sudah hancur.

“Aku sudah mengirim Jongjin bersama kalian”, lirihnya usai ia mulai bisa mengendalikan isakannya. “Maafkan aku Ayah, Ibu... Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan”

Jongwoon lantas memejamkan matanya. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah lengkungan. Ia merasa ini adalah senyuman terakhir yang ia tunjukkan pada dunia. “Ibu, aku tak pernah menyangka kalau udara yang aku hirup senikmat ini”, ia menghirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan teramat pelan.

“Kurasa ini waktunya...”, Jongwoon membuka matanya dan mengambil sebilah pisau kecil dari dalam sakunya. Pisau itu perlahan ia sayatkan ke urat nadi di pergelangan tangan kirinya. Jongwoon bisa merasakan perih luar biasa hingga seluruh tubuhnya menegang. Ia bisa merasakan yang Jongjin rasakan kala ia menusuknya.

Semilir angin berhembus ke arah barat. Menggoyangkan rerumputan hijau serta bunga dendelion di sekitar makam orang tua Jongwoon. Burung gereja mencicit bersahutan memenuhi suara di senja yang tenang, menghantarkan sang surya ke peraduannya. Sekaligus mengucapakan salam perpisahan untuk pria yang berada di ambang kematian.

Hingga tak lama darah segar berceceran di sekitar tubuh Jongwoon yang sudah tersungkur di atas tanah. Jongwoon meregang nyawa di depan makam orang tuanya. Pria malang itu memilih mengakhiri hidupnya dan menyusul kedua orang tuanya.

Karena dunia ini kejam.

.

“...sebuah akhir”

.

.

Fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar