ITB vs DTB
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
.
.
Warning:
Jalan cerita bikin mual, alur cerita
gagjelas, typo bertebaran, ini cerita tanpa makna samasekali cuman buat
seru-seruan ajaaaahhhh, and... Happy reading ^^
***
.
.
Eumm, jangan kalian berpikir kalau ITB itu adalah Institut
Teknologi Bandung. ITB itu adalah singkatan yang aku kasih khusus untuk
seseorang yang, yang... yang apa yah,, bisa dibilang cukup spesial buat aku.
I= Isah
T= Tempat
B= Bully
Taraaaaa...
Surprise!
Apa itu Isah? Siapa itu Isah?
Member girlband? Bukan. Pemain film? Hadeeh apalagi itu bukan
pake banget. Namanya aja kampungan gitu kok. Masa iya ada pemian film dengan
nama Isah, ugh. Emang sih itu nama nggak kampungan amat tapi kaaan...
Ah oke daripada ngelantur aku kasih tau kalau Isah itu adalah
my closest friend, hahahahaha. Eh seriusan dia itu temen dekeeeeet aku. Kita
jadi teman sejak pertama masuk kuliah sampe sekarang. Nggak tau sih, semacam
ada takdir gitu diantara kami berdua jadi kami bisa deket banget. Karena dia
adalah my closest friend jadinya aku sering nyebut dia dengan panggilan ‘Ma
Kloset Plend’ yang biasa aku singkat jadi ‘Ma Klo’ hahhaa. Kloset? Yap, aku
sengaja kasih nama ‘kloset’ yang niatan awalnya supaya kata ‘closest’ itu jadi
rada ke-Indonesia-an. Eh tapi ternyata dia sadar kalau kloset yang aku maksud
adalah kloset beneran, tapi aku tetep istiqomah manggil dia ‘Ma Klo’ hehee.
Anaknya emang nggak cantik kayak cewek-cewek girlband Korea,
apalagi tinggi badannya yang bisa dibilang nggak cocok dengan usianya sebagai
anak kuliahan. Warna kulitnya juga jauuuh beda banget sama Miss Indonesia.
Oke-oke cukup mendeskripsikan bentuk tubuhnya. Aku mau kasih
tau kalo aku bikin singkatan itu bukan tanpa alasan. Anak itu emang suka aku
bully. Beneran loh ini, hahaha. Anaknya enak banget dibully, hampir tiap hari
kerjaanku adalah ngebully dia dan dia selalu kalah kalau ngelawan aku. Dan
sampe sekarang kegiatan membully dia menjadi hobby baruku, kkkk.
Well..
Mungkin kalo soal bully membully emang aku selalu menang dan
dia selalu kalah. Tapi aku akan kalah dan ciut kalo sudah main gombal-gombalan
ama tuh anak. Eh ciyusan aku sampe speechless.
.
.
DTB
Itu singkatan emang aneh banget yak.. iya lah, namanya juga
singkatan yang aku buat sendiri untuk makhluk paling menyebalkan seduniaaaaa
bahkan seakhirat mungkin.
D= Darwin
T= Tukang
B= Bully
Taraaaaaa....
Bagus kan singkatan yang aku buat khusus buat anak itu,
hahaha...
Itu anak emang nyebelin banget sumpahhh >_< dia
bener-bener hobby buat ngebully aku, nggak tau pagi, siang, sore, malem, bahkan
waktu tidurpun dia akan datang dalam mimpiku dan membully-ku dengan tanpa dosa.
Darwin itu anaknya nggak ada keceh-keceh samasekali. Tapi
nggak tau kenapa aku bisa akrab sama itu anak, mungkin semacam kayak ada chemistry
gitu diantara kami berdua, hahaha. Anaknya juga nggak tinggi kayak cowok-cowok
keceh pemain basket, kulitnya juga nggak seputih Yesung Super Junior. Tapi
untuk otaknya yah lumayan lah.
Dia sering manggil aku ‘Ma Klo’ yang merupakan singkatan dari
‘Ma Kloset Plend’. Yeah klo to the set, kloset. Itu dari kata ‘My Closest
Friend’, tapi seenaknya aja dia manggil aku kloset, memangnya mukaku kayak
kloset apa? Jadi aku panggil dia dengan ‘Ma Keset Plend’ yang biasa aku singkat
jadi ‘Ma Kes’. Pada tau keset kan yah? Itu loh yang biasa dijadikan lap kaki,
kebanyakan bertuliskan WELCOME, hahaha...
Ngomong-ngomong soal urusan bullu-membully dia emang jagonya.
Aku sebagai makhluk yang lemah hanya bisa pasrah jika dia udah mulai ngebully
aku. Dia bilang ngebully aku itu memiliki kesenangan tersendiri buat dia, dan
katanya lagi nih dia ngebully aku juga gara-gara aku yang mancing dia. Aku
nggak ngerti banget maksudnya, kapan coba aku mancing dia supaya ngebully aku,
huhh.
.
.
ITB vs DTB
Ini mungkin kedengarannya aneh, dan bahkan nggak masuk akal
sama sekali. Eum, bukannya benar-benar nggak masuk akal sih. Tapi, inilah
kenyataannya yang terjadi. Pukul 20.45
malam makhluk menyebalkan bernama Darwin baru aja nelpon aku dengan
suaranya yang serak dan terdengar bergetar. Katanya dia demam mendadak malam
ini.
Oke, kita memang nggak pernah tahu kapan kita semua tiba-tiba
jatuh sakit. Cuman, apa iya benar-benar semendadak itu? Jelas-jelas tadi sore
dia baru aja habis bermain voli dengan teman-temannya di kampus dan tertawa
terbahak-bahak tanpa beban, bahkan dia mengabaikan aku yang duduk di pinggir
lapangan voli menunggunya selesai bermain. Ckk.
Dan bodohnya aku, sekarang pukul 20.48 sudah bersiap-siap
memakai jaket dan jilbab untuk segera menuju ke rumahnya yang jaraknya lebih
dari satu kilo dari rumahku. Aku memang nggak yakin kalau makhluk itu
benar-benar sakit, tapi aku juga nggak ngerti kenapa kakiku terus saja
melangkah keluar rumah setelah meminta ijin pada mamaku dan mengambil motorku
untuk segera ku-gas menuju rumah Darwin.
Memang sih anak itu sering bikin aku kesal, tapi aku juga
nggak mau kalau sampai dia sakit. Lagian tadi kedengaran jelas kalau suaranya
benar-benar serak dan bergetar. Dan yang lebih parahnya dia ditinggal sendirian
di rumah karena orangtuanya lagi ada acara pernikahan keluarga mereka di luar
kota. Apa jangan-jangan anak itu kelelahan?
Dengan cepat kulajukan motorku agar sampai ke rumahnya,
menerobos jalanan malam ini yang nggak begitu ramai karena cuaca yang cukup
mendung. Perlu waktu kurang dari sepuluh menit sampai akhirnya aku tiba di
perkarangan rumahnya yang nggak begitu luas dan dengan buru-buru aku
memarkirkan motorku lalu bergegas mengetuk pintu rumah Darwin.
Tok tok tok
Aku mengetuk pintu dengan nafas tersengal-sengal. Ayolah
makhluk yang ada di dalam cepat buka pintunya, aku benar-benar khawatir
bagaimana keadaan anak itu sekarang.
Tok tok tok
Berkali-kali aku mengetuk pintu namun nggak ada juga
tanda-tanda orang di dalam akan membuka pintu buatku. Ckk, aku lupa bawa ponsel
jadi aku nggak bisa nelpon Darwin supaya membukakan pintu buatku.
Tok tok tok
Mungkin sudah lima menit aku berdiri di depan pintu rumah
Darwin kayak orang bego, atau lebih parahnya kayak orang yang lagi minta
sumbangan. Ah, kalo gini ceritanya aku mending nggak usah datang. Eummh, atau
aku pulang aja kali yah sekarang.
Tok tok tok
Ketukan terakhir. Dan kalau kali ini juga nggak ada yang buka
pintu aku bener-bener langsung tancap gas balik ke rumah. Ugh, mana malam ini
dingin banget lagi. Aku menggosok-gosok kedua tanganku mengusir dingin, kayak
di drama-drama Korea yang sering aku tonton di mana pemeran wanita
menggosok-gosok tangannya waktu kedinginan terus si cowok yang ada di dekatnya
membantu menghangatkan tangan ceweknya sambil niup tangan tuh cewek. Ah, tapi
kan aku sendirian. Nggak ada cowok ganteng kayak di drama Korea itu yang mau
bantu aku menghangatkan telapak tanganku.
Tsskk. Sepertinya emang nih pintu nggak bakal terbuka,
mendingan aku pulang sekarang aja deh. Dari pada aku kayak orang bego di sini,
aku buru-buru berbalik untuk mengambil motorku yang terparkir manis di
pekarangan.
-Set.
Kalau ini di drama Korea (drama Korea lagi) saat tangan
pemeran wanita ditarik tiba-tiba dan wanita tersebut menoleh ke arah pemilik
tangan -yang biasanya pemeran pria- pasti akan ada angin yang berhembus lembut
membuat surai sang wanita bergerak pelan dan musik slow sebagai latarnya.
Tapi, yang menjadi latar saat ini adalah bunyi petir dan aura
kegelapan yang melingkupiku ketika aku melihat dengan jelas siapa tersangka
yang baru saja menarik tanganku tiba-tiba. Wajah menyebalkannya yang sedang
menunjukkan cengiran tak berdosa menatap ke arahku dengan senyum kemenangannya
yang membuatnya terlihat seperti setan.
Belum sempat aku mengeluarkan sepatah kata untuk memakinya,
pria dengan ekspresi setan itu langsung menarikku masuk dan langsung menutup
pintu ketika kami sudah berada di dalam.
“Duduk di sini dulu okey,” ia menghempaskan tubuhku di atas
hambal di depan tv lantas menghilang di balik pintu dapur.
Tunggu. Tangannya saat memegang tanganku tadi tidak panas
atau pun dingin. Kurasa suhu tubuhnya normal. Jangan-jangan...
“Hyaaaa!! Darwin kamu mau bohongin aku lagi????,” aku
mengikutinya ke dapur dan dengan membabi buta memukulinya yang sedang membuat
dua gelas coklat panas. “Kamu nggak tau kalau aku tadi ke sini buru-buru
gara-gara aku khawatir haaah??!!,” aku masih memukulinya tanpa ampun.
Bukannya meminta maaf, ia malah tertawa sambil terbahak-bahak
sambil terus berusaha menghindari pukulanku.
“Hey Ma Klo berhenti, sakit nih,” rintihnya. Ckk aku nggak
peduli dia kesakitan atau nggak yang jelas aku masih tetap istiqomah memukuli
tubuhnya itu kalau perlu sampai dia babak belur.
Darwin terus menghindari pukulanku sampai kami harus
mengitari dapurnya yang tidak terlalu luas, hingga akhirnya pria itu berhenti
berlari yang membuatku ikut berhenti dan menatap heran padanya yang menoleh
padaku dengan pandangan menyesal, lalu tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah
lantas menatapku tajam sambil menunjukkan smirk-nya yang terlihat errrr
menyeramkan.
“Isah maapin aku ya,” lantas setelah mengucapkan kalimat yang
aku nggak ngerti kenapa tapi kayaknya aku merasakan firasat buruk setelah ini.
“Hyaaa Darwin kamu mau ngapain haaah???? Lepasin aku.. dodol
kamu mau ngapain??!!,” aku berteriak dan meronta-ronta saat tiba-tiba manusia
nggak tau diri ini mengangkat tubuhku dan menggendongku ala bridal. Dia
berjalan dengan langkah lebar lalu setelah sampai di ruang tengah manusia setan
ini menghempaskan tubuhku di atas hambal di depan tv dengan kasar.
Oh God. Kalian tau gimana rasanya? Perih gila cuy. Posisi
landing ku bener-bener nggak elit banget karena bokongku duluan yang nyium
lantai. Tssk. Aku meringis saking sakitnya tapi manusia di depanku cuman
tersenyum penuh kemengan tak menghiraukan tatapan horor dariku yang rasanya
amarahku udah tingkat Dewa Bujana(?)
“Anak pintar. Duduk diam yang manis di sini ya... I’ll be
back soon,” ucapannya terdengar seperti titah yang harus dilaksanakan dan aku
merasa nggak mau berdebat dengannya hingga aku lebih memilih diam dan nggak
berniat menatapnya sama sekali karena aku benar-benar sebal banget. Ugh. Dasar
Tukang Bully!
“Diam di sini dan jangan kemana-mana,” lalu setelah itu ia
pergi ninggalin aku mungkin kembali ke dapur melanjutkan apa yang tadi mau dia
buat.
Oh baiklah mungkin aku harus bersyukur pada Allah SWT karena
Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar kesanggupan, itu artinya aku
termasuk makhluk yang memiliki kesanggupan yang luar biasa karena aku diuji
dengan adanya makhluk tukang bully yang selalu mengerjaiku bernama Darwin.
Makhluk yang akan selalu menguji kesabaranku dan mengukur sebatas mana
kesabaranku.
“Tadaaa... Ini dia menu makan malam kita kali ini,” makhluk
yang baru saja kubicarakan sudah muncul di depanku dengan membawa nampan berisi
satu piring yang bisa kutebak adalah nasi goreng karena aku bisa mencium baunya
yang menguar ke seluruh ruangan dan dua gelas mungkin coklat panas yang tadi ia
buat di dapur.
Aku masih diam menatap makhluk itu sampai ia duduk di depanku
dan menyodorkan segelas coklat panas dengan uap yang mengepul di atas gelas.
Hmmm, sepertinya lezat sekali. Aku masih belum menerima gelas yang ia sodorkan
dan malah menatap curiga pada isi gelas dan wajahnya bergantian.
“Hey kamu kenapa? Biasanya kamu suka banget kalau sudah aku
bikinin coklat panas. Dan kamu kenapa natap aku kayak gitu?”
Aku menyipitkan mataku yang sebesar biji ramania (buah khas
kalsel yang yang masam banget waktu masih mentah, warna ijo kayak mangga muda
tapi bentuknya kecil kayak telor burung puyuh, enak banget dibikin rujak dan
kalau sudah matang manish bangeth dan berair gitu warnanya orange. Bijinya
warna ungu kalau masih muda), menatap curiga pada isi gelas yang ia sodorkan.
“Kamu nggak masukin racun kan di dalam gelas ini?”
“Whoaaa. Hebat. Kok kamu bisa tau kalau aku kasih racun tikus
di dalam minumannya? Udah buruan minum gih,” paksanya meraih tanganku agar
menerima gelas tersebut.
“Aku pastikan akan menghantuimu setelah ini,” ketusku lalu
menenggak isi gelas tersebut yang tidak terlalu panas. Lupakan jika memang ia
menaruh racun tikus di dalamnya.
“Hahaa... Kalau nanti kamu menghantiku maka Al-Qur’an menjadi
peganganku, dan aku meminta perlindungan dari Allah SWT serta akan aku bacakan
Ayat Kursi ratusan kali ke wajahmu,” bacotnya yang membuatku kehabisan
kata-kata.
Aku lebih memilih diam menatap kosong pada layar tv yang
terus mengoceh tanpa kutahu acara apa yang sedang ditayangkan. Sampai aku
merasa ada sesuatu yang mengganjal yang sejak tadi sempat aku lupakan.
“Eh Ma Kes, sialan banget kamu. Aku udah buru-buru ke rumahmu
gara-gara aku pikir kamu sakit beneran, iih nyebelin banget sih. Lain kali
biarpun sampai kamu sekarat beneran aku nggak bakal lagi mau dateng,” ucapku
dengan menahan kesal sambil mencubit lengannya kuat-kuat.
Dan, yeah manusia di sampingku ini cuman bisa terkekeh dan
terus memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya. Hey! Jadi dia makan nggak
bagi-bagi nih ceritanya?
“Jadi kamu ngapain nyuruh aku ke rumahmu kalau kamu nggak
sakit hah?”
“Aku minta temanin kamu makan aja, hehehe,” ia menatapku
dengan wajah ‘sok innocence’ dan mulut yang penuh dengan nasi goreng. “Kamu
mau?,” tawarnya lalu menyodorkan sesendok nasi goreng tersebut ke dalam
mulutku.
“Ogah”. Aku lebih memilih menghabiskan isi gelasku saja.
“Habis ini antar aku pulang”
Darwin melotot ke arahku, hey memangnya apa yang salah sama
kalimatku barusan. “Kamu kan bawa motor Sah?”
“Tapi ini kan sudah
hampir pukul setengah sepuluh malam. Kamu tega biarin aku ada di jalanan
sendirian malam-malam yang mendung begini? Sunyi tau di jalanan,” aku
mempoutkan bibirku kesal.
“Gag mau”
“Apaah?! Hey DTB!”
Darwin ngeluarin sebuah kunci yang ada di kantong celananya
dan menggantung-gantungkan benda tersebut di depan wajahku. “Kamu gag bisa
pulang. Jadi malam ini tidur di rumahku aja ya nemanin aku soalnya aku nggak
berani tidur sendirian di rumah,” ia kembali menunjukkan smirknya.
Aku berusaha merebut kunci tersebut dan ia langsung
menghindar dengan cepat.
“Darwiiiiiiiiiiiin nyebeliiiin!!!!”
.
.
Kebahagiaan terbesar di dalam hidupku adalah ketika membully
seorang gadis bernama Isah. Hahaha.
Tapi sudah tiga hari ini gadis itu mengacuhkanku setelah
kejadian tiga hari yang lalu saat aku membohonginya dan berpura-pura sakit,
sebenarnya aku tidak benar-benar ingin membohonginya. Nggak tau kenapa aku
senang banget melihat dia khawatir padaku. Lagipula aku kan hanya ingin meminta
dia agar menemaniku makan malam karena aku nggak biasa makan sendirian. Toh
lagipula kan setelah itu aku ngantar dia pulang sampai selamat di rumahnya.
Ckk.
Aku nggak tahan didiamin terus kayak gini. Lebih baik dia
marah-marah aja sama aku atau mukulin aku kayak biasanya daripada harus
didiamkan berhari-hari. Smsku gag dibalas. Nelpon sih diangkat tapi dia nggak
ada suaranya, ah kan buang-buang pulsa aja.
Kali ini aku coba buat kirim sms lagi ke dia. Kali ini bukan
sms berupa bully-an seperti biasa sebagai pembuka sesi sms-an aku dan dia. Aku
bener-bener pengen minta maap sama dia.
To: Isah
Isah... q minta mf. Iy
sih mmg aq slh v q g bner2 pngen bhongin km. Q g mw khilngan ITB-ku, Ma Klo
mfin q yah. Q jnji akn mmprbaiki skapku. Klo km g mw brtman sm q lg trus nnt q
brbagi crita ma cv? Brkluh kesah ma cv? Yaya Isah. Q tw km perlu wkt buat mfin
q, tp q hrp km mw mfin qw. Ma Klo mf yah :D
Sent
Ugh, semoga setelah ini dia mau balas smsku. Aku tau aku
emang keterlaluan selama ini, cuman aku nggak tau kenapa aku seneng banget bisa
bikin dia marah, haha.
Ponselku bergetar tanda ada satu pesan masuk. Buru-buru aku
buka ponselku,
From: Romi
Win,,, u ad d humz kh?
Qw mo nebeng printer u ya ntar mlm
Hadeeeh. Kirain dari Isah.
To: Romi
Iy k rumh q z
Sent
Aaah. Jangan-jangan Isah gag mau balas smsku lagi.
Ponselku bergetar lagi. Kali ini dengan sedikit malas aku
buka ponselku. Bingo! Dia balas smsku.
From: Isah
Aku pengen banget
maapin kamu, tapi di sisi lain aku rasanya masih susah buat maapin kamu yang
sering banget keterluan sama aku.
Aku memandang sedih pada layar ponselku. Iya memang sih aku
selama ini keterlaluan banget sama dia, tapi aku bener-bener tulus minta maap
kali ini.
To: Isah
Isah plz mfin q ych, q
jnji q bkaln brubah... Ma Klo I miss u
Mfin q ya ya ya :D
Sent
Ah semoga setelah ini dia mau maapin aku. Aku bener-bener
nggak tahan, dan frustasi rasanya selama beberapa hari ini dia acuhkan.
From: Isah
Hmmm. Iya deh aku juga
minta maap kalau ada salah. Jangan diulangi lagi yaaa... JJ
Aku nggak bisa menahan lengkungan dibibirku ketika baca
smsnya barusan. Dengan buru-buru aku segera membalas pesannya.
To: Isah
Mksih y Isah ^^ ok q
akan brusaha jd lebih baik lg J
Eum, hujan nih. Skr km
lg dmn?
Sent
Gag sampe semenit balasan smsnya sudah datang.
From: Isah
Di taman deket rumah
Sri nih berteduh, hujan.a deras banget... aku gak bisa pulang.
Apa? Dia nggak di rumah sekarang? Aku segera melirik keadaan
di luar dari balik jendelaku, hujannya terlalu deras. Anak itu nggak tahan
dengan hujan, pasti habis ini dia bakal bersin-bersin.
To: Isah
Napa km g pulng pke
daun keladi aj? Hehee... kn daun kladi itu lebar bs ntupin sluruh badn km yng
lebar :p tp srius nih km g bs pulang???
Sent
.
From: Isah
-_- elu emang nggak
pernah baek sama gue. Iya ini gue lagi berteduh, mana dingin banget pula ini.
Hidung gue mulai gatel uggh
.
To: Isah
Mw aq jmput skr kh?
Kyaknya hjannya bklan lama dch
Sent
.
From: Isah
Hehee, serius kamu mau
jemput aku? Aku tunggu yaa. Tapi jangan pake daun keladi loh :D jangan
lama-lama ya Win dingin banget niih
.
To: Isah
Iya2 crewet bgt jg ah.
Bntar diam dsitu jgan kmana2
Sent
Setelah mengirim pesan tersebut aku langsung bergegas
mengambil jaket dan mantel hujan, lalu tak lupa membawa kunci motorku dan
segera melesat menuju garasi buat ngambil motorku yang terparkir dengan gagah
di sana.
Hujan bener-bener deras saat ini. Dan jalanan sekarang sunyi
banget cuman ada beberapa mobil yang lewat, gagda motor, cuman ada motorku di
sepanjang jalan. Aku semakin mempercepat motorku supaya segera sampai di taman
deket rumah Sri.
Segera aku memarkirkan motorku saat sudah sampai di taman
yang biasanya menjadi tempat aku dan Isah untuk mengusir penat di akhir pekan.
Aku membuka payung berwarna merah hadiah ulang tahunku tahun lalu dari Isah,
katanya supaya aku nggak pakai daun keladi lagi kalo hujan, haha. Anak yang
aneh. Eh, lupakan tentang payung ini. Yang pasti sekarang aku sedang sibuk
mencari-cari keberadaan anak itu ke seluruh area taman. Tapi nihil, aku nggak
menemukan ada seorangpun yang berada di taman ini.
Kucoba mengirim pesan untuk Isah.
To: Isah
Isah, km dmn? Q udh
smpe nch dtmn
Sent
Aku terus mencoba mencari ke segala arah siapa tahu gadis itu
bersembunyi dibalik pohon. Ah iya aku ingat, di tengah taman ini ada sebuah
pondok kecil yang atapnya terbuat dari daun. Pasti Isah berteduh di sana. Tanpa
pikir panjang aku langsung berlari ke tempat yang aku yakini anak itu ada di
sana.
Alisku bertaut bingung karena aku nggak menemukan gadis itu
sama sekali. Kucek ponselku siapa tahu ada balasan sms darinya, tapi nggak ada
balasan. Kuturunkan payung yang sejak tadi kubawa dan meletakkannya didalam
pondok lalu setelahnya aku langsung duduk sambil mengatur nafasku, lantas
kemudian aku mencoba menelpon Isah.
Setelah terdengar nada dering beberapa kali, akhirnya
panggilanku diangkat juga sama orang di seberang sana.
‘Assalamualaikum Win,’ terdengar pelan suara Isah.
“Waalaikumsalam.. Isah kamu di mana? Aku sudah sampai nih di
taman”
‘Win,’ suaranya terdengar lemah.
“Iya Isah. Kamu di mana sekarang? Kamu gagpapa kan?,” ucapku
terlalu khawatir.
‘Ka, kamu... Kamu serius jemputin aku di tengah hujan deras
begini?,’ suaranya terdengar tidak yakin.
“Iya, ini aku sudah sampai. Aku nyari-nyari kamu ke seluruh
taman tapi kamu nggak ada, aku di pondok di tengah taman nih. Jadi kamu di mana
sekarang?,” tanyaku nggak sabaran.
‘Aku, aku...’
“Iya Isah kamu di mana? Kamu nggak apa-apa kan? Kamu sakit?,”
tanyaku semakin khawatir.
‘Win aku’
“Isah buruan deh nggak usah bertele-tele kayak gitu”. Setelah
aku mengucapkan kalimat tersebut, tak ada jawaban lagi dari Isah membuat
kekhawatiranku semakin menjadi-jadi. “Halo Isah, halo...”
‘Surprise!! Hahahahhahahaaa’
Aku bisa mendengar dengan jelas tawa anak itu yang melengking
yang mebuatku dengan cepat menjauhkan ponselku dari telinga. “Eh kenapa kamu
ketawa kayak gitu huh?”
‘Aku bohongin kamu tau.. hahaha. Ngapain coba hujan-hujan
kayak gini aku di luar rumah, mending aku di rumah tiduran. Tapi aku nggak
nyangka ternyata kamu beneran datang jemputin aku, kamu memang kawan sejati
Win’
Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi sekarang. Mulutku
menganga nggak percaya dengan kenyataan yang terjadi. Mungkin Isah balas dendam
sama aku gara-gara kejadian tiga hari yang lalu, jadi beginilah apa yang Isah
rasakan waktu itu.
‘Halo Win, kamu masih di situ?’
“Hmm. Ya sudah syukurlah kamu nggak kehujanan. Aku pikir kamu
kena hujan lagi terus demam lagi kayak waktu itu. Kalau gitu aku pulang dulu,
aku matikan telponnya. Assalamualaikum,” nggak tau kenapa aku tiba-tiba berucap
dengan nada dingin seperti itu. Aku malah langsung mematikan ponselku tanpa
memberi kesempatan anak itu menjawab salamku.
Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan taman.
Padahal tadi aku sudah khawatir banget. Aku menurunkan payung yang melindungi
tubuhku ketika sudah sampai di dekat motorku. Tapi tiba-tiba angin kencang
bertiup dari arah timur membuat payung yang belum sempat aku tutup terlepas
dari tanganku dan terbang ke arah barat. Oh tidak, payung hadiah ulang tahunku
terbang ke jalan raya. Buru-buru aku mengejar payungku yang semakin bergerak ke
tengah jalan.
Set. Aku berhasil mendapatkannya. Ugh, untung aja dapat.
Kalau sampai payung ini hilang, Isah pasti bakalan ngamuk berat. Tapi bukan
masalah Isah yang bakalan ngamuk sih, ini kan hadian ulang tahun kesayanganku.
Tiiin tiiiin...
Bunyi klakson dari arah kiri membuyarkan lamunanku. Aku bisa
melihat dengan jelas sebuah truk berwarna merah melaju dari arah kiriku dengan
kecepatan tinggi. Belum sempat aku menghindar, benda besar tersebut sudah
menghantam tubuhku membuatku terasa terbang sejauh sekian meter dan sakit luar
biasa di seluruh tubuhku. Payung yang tadi kugenggam terlepas begitu saja
seiring dengan aku merasakan cairan hangat keluar dari kepalaku.
Rasanya sakit. Aku kehilangan tenagaku. Tubuhku terbaring
bahkan aku sama sekali nggak bisa menggerakkan sedikitpun bagian tubuhku. Bau
anyir darah segera menyapa hidungku bersamaan dengan cairan tersebut yang
kurasa semakin deras keluar di bagian kepalaku. Cairan merah itu merembes
bersamaan dengan tetesan hujan yang terus mengguyur tubuhku. Samar-samar aku
melihat orang yang berada di dalam truk menghampiriku, hingga setelahnya...
semuanya terasa gelap.
.
.
Ini pertama kalinya aku ngerasain damai itu kayak gimana.
Bener-bener damai. Aku nggak tau ini persisnya dimana, tapi yang pasti banyak
banget kabut yang menghalangi pandanganku. Dan, aku juga heran. Sejak kapan aku
ganti baju pakai baju serba putih kayak gini, perasaan aku nggak pernah punya
baju beginian deh.
Aku terus berjalan ngikutin arah jalan setapak yang aku
pijak. Aduh, sudah aku pakai baju beginian terus mana aku nggak pakai alas kaki
lagi. Nggak kece banget rasanya. Bajuku udah rapi begini tapi aku nggak pakai
sendal atau sepatu, uh. Tanah yang aku pijak rasanya lembab seperti terkena
embun. Lembab tapi tidak becek.
Jalanan ini mau bawa aku ke mana? Lagian tempat ini seram
banget, cuman ada aku sendirian. Bahkan telingaku nggak ada dengar bunyi
apapun. Eh? Jangan-jangan aku sudah mati? Ah nggak, nggak mungkin.
Jalanan yang aku pijak menghilang, dan kabut yang dari tadi
menghalangi pandangaku juga ikut menghilang. Lalu tergantikan oleh suasana
di.... kamar rumah sakit?
Aku mendengar suara tangisan seseorang. Aku kenal tuh suara.
Ah, suara Isah. Kenapa dia nangis-nangis begitu?
Isah duduk di samping ranjang sambil terus memegangi tangan
seseorang yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Memangnya siapa yang
sedang sakit?
Eh tunggu dulu, itu kan aku? Ya ampun, memangnya apa yang
terjadi? Jadi, jadi ini aku cuman roh yang sudah keluar dari tubuh? Aku... aku
sudah mati???? Oh Tuhan nggak mungkin.
“Hey Isah jangan nangis... Isah,” panggilku berharap gadis
itu berhenti menangis. Oh sungguh aku nggak suka melihat Ma Klo menangis
begitu.
Tapi bukannya mendengarkan perkatanku dan berhenti menangis,
ia malah menangis semakin kencang. “Isah... ini aku di sini, jangan nangis
Isah”
Dan Isah malah menangis sampai sesenggukan. Kucoba menyentuh
pelan bahunya agar dia nggak terkejut. Loh... aku nggak bisa nyentuh Isah. Aku
coba lagipun hasilnya sama. Jadi, aku benar-benar kayak di film yang pernah aku
tonton. Aku cuman roh yang nggak bisa nyentuh apapun, dan jasadku nggak
kelihatan.
Dan sebenarnya, apakah aku ini sudah mati? Kalau aku sudah
mati, kenapa aku masih terbaring di tempat tidur itu? Sebenarnya apa yang
terjadi? Ada apa denganku? Kenapa banyak sekali perban di tubuhku itu?
Aku merasa benar-benar lemas. Ah iya aku ingat sekarang.
Payung. Aku mengejar payungku yang tertiup angin di tengah jalan dan
tiba-tiba... Oh aku nggak mau mengingat kejadian itu lagi. Ini artinya aku
sedang koma. Dan Isah, dia pasti merasa bersalah banget.
Kupegangi dadaku. Aku bisa meraskan rasa sesak yang tiba-tiba
memenuhi rongga dadaku. Isah nangis karena aku. Kenapa aku nggak hati-hati dan
membuatnya nangis begitu? Darwin bodoh. Kenapa waktu itu aku nggak hati-hati??
Aku benar-benar pengen meluk Isah yang nangis meraung-raung
begitu. Aku pengen ngehapus air matanya. Tapi... aku nggak bisa nyentuh dia.
Bahkan dia juga nggak bisa ngeliat aku. Sekarang aku harus gimana?
“Darwiiiin... Hiks, bangun Win, hiks, banguuun. Aku janji
habis kamu bangun aku nggak jahatin kamu lagi. Aku nggak mau ngerjai kamu lagi.
Win, bangun Win.. hiks,” aku benar-benar sakit rasanya melihat sahabatku
menangis begitu. Isah, aku di sini. Kamu nggak bisa lihat aku?
“Win... aku sayang sama kamu Win, jadi cepetan bangun, hiks
hiks... Darwiiinh”
Isah. Aku juga sayang sama kamu. Dan... aku nggak tau apa
yang musti aku lakuin sekarang...
.
.
Ini salahku. Harusnya aku nggak ngerjain dia waktu itu.
Kenapa aku tega bikin dia hujan-hujanan buat jemputin aku, mana hujan waktu itu
deras banget. Aku menatap pada wajah damai Darwin yang tertidur. Sudah dua hari
Darwin koma, dia nggak sadarkan diri setelah operasi dua hari yang lalu.
Darwin, aku musti gimana supaya kamu bisa bangun?
“Win, maafin aku...,” lirihku masih dengan terus menggenggam
tangan kanannya yang tidak diinfus. Dan lagi-lagi aku nggak bisa menahan mataku
supaya nggak nangis. Rasanya sakit banget waktu liat sahabatku kayak gini,
apalagi ini semua karena salahku.
“Isah, istirahat dulu gih. Nanti orang tuanya Darwin datang
kok. Kamu kan belom makan dari tadi malam,” Sri memelukku dari samping. Aku
selalu menjaga Darwin di sini meskipun orangtuanya sudah memintaku untuk
beristirahat saja. Aku nggak mau istirahat, aku nggak mau ninggalin Darwin. Dia
begini karena aku. “Sah...,” panggil Sri lagi yang kali ini membuaktu menoleh
padanya.
“Nanti aja Sri, aku belum lapar. Lagian siapa tau bentar lagi
Darwin bangun,” aku tersenyum bersaha meyakinkan Sri.
“Tapi nanti kamu sakit gimana?”
“Tenang aja. Aku nggak ada riwayat sakit maag kok. Nanti aku
bakalan makan deh kalau sudah lapar”
“Janji yah kamu musti makan. Ya sudah aku pulang dulu, nanti
aku ke sini lagi,” Sri mengambil tasnya yang ada di atas meja di dekat pintu
lalu setelahnya ia menghilang di balik pintu kamar inap Darwin.
Kuhela nafas berat. Dokter bilang mereka belum bisa
memastikan kapan Darwin akan sadar. Bagian kepala Darwin mengalami pendarahan
akibat tabrakan yang cukup kuat dan lengan kirinya patah, kemungkinan tangan
kirinya harus di gift dan perlu waktu yang cukup lama untuk pemulihan lengannya
nanti. Untung saja supir truk yang menabrak Darwin bertanggung jawab dan
langsung membawa Darwin ke rumah sakit sehingga nyawanya masih sempat
tertolong. Dan yang membuatku semakin bersyukur adalah operasi Darwin yang
berjalan lancar.
Semoga saja Darwin nggak mengalami geger otak. Aku takut
kalau sampai dia amnesia, dan yang lebih parahnya kalau sampai dia melupakan
aku.
Aku terus berada di sampingnya, menggenggam erat tangannya
berharap bisa menyalurkan kekuatan buatnya. Aku terus berdoa, meminta
pertolongan Allah di tiap sujud terakhirku usai sholat agar memberi kesembuhan
buat Darwin dan yang paling penting supaya dia cepat sadar.
“Wiin, cepet bangun. Nanti habis kamu bangun aku punya gombalan
yang bagus loh, yang bisa bikin kamu speechless. Jadi kamu cepet bangun yaa...
Wiin,” kali ini aku mengguncang pelan lengannya. Dan lagi-lagi tanpa kukomando
air mataku terus saja turun. Aku bahkan nggak tau gimana keadaan mukaku
sekarang, Sri bilang mataku sudah kayak mata panda. “Hiks, Win cepetan
banguuun, Wiiin, Ma Kes, DTB.... hey Cinta Permai banguun, hiks, hiks,” semakin
erat kugenggam tangannya.
Dua hari yang lalu saat aku menerima telpon dari Romi kalau
Darwin kecelakaan dan masuk rumah sakit aku sama sekali nggak percaya. Karena
aku yakin dia cuman mau membalasku, lagian dia kan memang sering ngerjain aku.
Tapi akhirnya aku percaya setelah ibunya Darwin nelpon aku beberapa jam
kemudian. Darwin nggak mungkin bawa-bawa ibunya buat ngerjain aku, dan setelah
dapat telpon itu aku langsung menuju rumah sakit.
Waktu itu bener-bener rasanya langit runtuh, aku bahkan nggak
tau musti gimana bahkan buat berdiri aja kakiku nggak sanggup. Darwin
kecelakaan di taman saat hujan deras waktu dia mau jemputin aku padahal aku
cuman bohongin dia. Isah dodol. Kenapa aku harus ngerjain dia waktu itu, aku
tahu waktu itu hujan deras banget. Semua ini salahku. Kalau bisa aku aja yang
gantikan posisi dia saat ini, aku sakit banget ngeliat Darwin kayak gini. Sakit
banget.
Wajah damainya masih belum bergerak dengan matanya yang
tertutup rapat. Kuusap pelan pipinya, wajah yang biasanya selalu menunjukkan
smirk menyeramkannya sekarang hanya terdiam kaku. Perlahan gerakan jemariku
beralih dari pipinya menuju bibir penuhnya, bibir ini selalu tersenyum penuh
kemenangan tiap dia berhasil mengalahkanku. Dan bibir ini juga yang selalu
tersenyum menenangkanku jika aku sedang mengalami masalah.
Win, cepat bangun. Aku kangen kamu.
.
.
“Ma Klo, kamu tau nggak kepanjangan ‘SJC’?”
“Hmmm, ‘SJC’? Sahabat Jadi Cinta?”
“Ugh, ngarep banget kamu. Jadi kamu pengen kita ada hubungan
cinta-cintaan begitu huh? ‘SJC’ itu artinya.... Si_Isah Jualan Cireng,
hahahahaaa”
“Iih nyebelin banget sih kamu. Nggak pernah sih kamu
sekali-sekali baik sama aku,” Isah mempoutkan bibirnya kesal, ah rasanya aku
gemas banget ngeliat dia begitu.
Aku hanya terkekeh menanggapinya, aku senang sekali melihat
dia kesal seperti ini. Oh iya, ngomong-ngomong aku juga nggak tau kenapa Isah
ada di tempat ini. Mungkin rohnya yang sedang tertidur datang menuju duniaku,
ah bukan, tapi aku yang mengundang rohnya untuk datang ke sini. Di tempat para
roh sepertiku yang menunggu keputusan apakah kami berhak melanjutkan hidup kami
di dunia atau hidup kami berakhir dan meninggalkan jasad kami yang sudah lama
terbaring koma.
“Isah,” panggilku untuk membuatnya mengalihkan perhatiannya
dari lembah yang penuh kabut di depan kami karena saat ini kami sedang duduk di
pinggir tebing batu di mana hanya ada aku dan Isah di sini.
“Hmmm?”
“Kalau aku udah nggak ada lagi, gimana perasaan kamu?,”
tanyaku dengan ekspresi serius serta menatap dalam pada iris coklatnya.
Isah balas menatapku, cukup lama kami pada posisi ini sampai-
“Bhuahahahahahhahh,” gadis di depanku ini terbahak-bahak
sambil meninju pelan bahuku. Hey memangnya apa yang lucu?
“Kamu kenapa ketawa? Aku serius tau,” aku melipat kedua
tanganku di depan dada dan berpura-pura kesal padanya.
“Hahhaahh, aduuh, maapph. Habisnyah mukamuh lucu banget,
hahaha, sumpah lucu banget waktu sok-sok mau serius begitu,” jawabnya lagi
sambil berusaha menahan tawanya.
“Aku serius Isah”
“Hmmmh, bagaimana yaa... Mungkin aku akan jadi gadis yang
paling bahagia sedunia karena nggak ada lagi makhluk pengganggu kayak kamu,”
jawabnya sambil menerawang langit yang berhiaskan awan putih tanpa cela.
“Beneran? Kamu serius seneng kalo aku nggak ada lagi?,”
ulangku memastikan.
“Yah nggak mungkin lah Win, sama siapa lagi aku berantem
kalau nggak sama kamu. Siapa lagi yang rela jemputin aku hujan-hujan, nganter
aku pulang malam-malam, siapa lagi yang bisa bikin aku memutar otak sekuat
tenaga biar nggak kalah. Pasti aku sedih banget lah Win. Eh tapi, kenapa kamu
nanya begitu?”
Aku sendiri bingung harus menjawab apa karena aku juga nggak
tau kenapa tiba-tiba aku nanya begitu. Aku lebih memilih mengabaikan
pertanyaannya dan menarik kepalanya untuk bersandar di bahu kananku. Membiarkan
udara yang berembun menyentuh permukaan kulit kami. Membiarkan kesunyian
melingkupi kami berdua. Biarkan sebentar begini, hanya ada aku dan Isah. Kami
berdua yang tenang dalam damai seperti ini, bukan Isah dan Darwin yang terus
menerus berdebat dan bahkan teman Isah yang bernama Sri memberi label kami
berdua sebagai tukang rusuh. Haha.
“Win,” ucap Isah di sela-sela acara menerawang kami pada
hamparan kabut di depan kami.
“Apa?”
“Do you love me?,” kepalanya dia angkat dari bahuku dan kali
ini menatapku dengan ekspresi serius.
Aku tersenyum dengan pertanyaannya itu, tentu saja aku
mencintainya. Aku mengangguk mantap, “Hmm.. Iya donk. Aku mencintaimu. I love
you as Ma Kloset Plend”
Kulihat ia menghela nafas. “Syukurlah, aku juga mencintaimu
sebagai sahabatku. Biarkan selamanya seperti ini, biarkan cinta itu terus
tumbuh antara sahabat dengan sahabatnya.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Isah
kembali menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Yeah, karena orang aneh juga bersahabat dengan orang aneh,
hahaa”
Ia mencubit kuat lenganku hingga aku meringis kesakitan.
“Jadi maksudmu aku aneh begitu? Enak aja, kamu aja yang aneh nggak usah ajak-ajak
aku”
Aku hanya kembali terkekeh pelan dan tak ingin berdebat
dengannya saat ini. Kuelus pelan kepalanya yang terbalut kerudung, aku
benar-benar menikmati waktu ini. Menikmati waktu berdua dengan sahabatku.
Jarang sekali kami berdua bisa seperti ini.
Angin bertiup teramat pelan seolah ikut memberi kenyamanan
pada kami.
“Isah, kalau aku pergi kuharap kamu bisa jaga dirimu
baik-baik. Jangan berteman dengan laki-laki sembarangan, oke”
“Huhh? Maksudmu?”
“Nggak ada. Hanya seandainya saja”
.
.
Jemari pria itu bergerak pelan, membuat gadis yang kepalanya
tertidur di tepi tempat tidurnya terbangun meskipun dengan mata yang masih
sulit dibuka. Dan jemari itu kembali bergerak hingga membuat gadis itu
membulatkan matanya tak percaya.
“Eungh..” pria itu melenguh pelan.
Dengan cepat gadis di sampingnya menekan tombol darurat agar
dokter segera datang memeriksa kondisinya.
“Ka, kamu udah sadar? Kamu baik-baik aja? Kamu, kamu ingat
sama aku?,” tanya Isah tak sabaran usai dokter beserta suster keluar dari ruangan
serba putih itu dan memastikan kalau Darwin sudah siuman.
Semua pertanyaan itu hanya Darwin jawab dengan anggukan
lemah. Bibir pria itu masih pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya
terlihat sangat jelas. Pria itu duduk di atas ranjang dengan punggungnya
bersandar pada dashboard ranjang, tangan kirinya masih menggunakan infus serta
bagian kepalanya masih diperban. Isah berdiri tak jauh di samping tempat tidur
Darwin, gadis itu terlalu terkejut bahkan tak tahu harus melakukan apa.
“Isah peluk aku,” lirih Darwin.
Isah yang mengerjapkan matanya beberapa kali, “Huhh? Apa kamu
bilang?”
“Peluk aku sekarang. Aku nggak mungkin berdiri dan meluk kamu
kan? Jadi cepetan sini peluk aku”
Isah mengerutkan keningnya, namun meski begitu ia tetap saja
melakukan apa yang diminta Darwin. Gadis itu langsung duduk di tepi ranjang
Darwin dan memeluk pria itu, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Darwin.
Darwin membalas pelukan Isah dengan tangan kanannya yang terbebas dari infus.
“Aku kangen kamu Win, kangen banget,” Isah lantas semakin
mengeratkan pelukannya pada Darwin.
“Memangnya berapa lama aku nggak sadarkan diri sampai kamu
sebegitu kangennya sama aku?”
“Tiga hari,” jawab Isah masih membenamkan wajahnya pada dada
Darwin.
“Ti, tiga hari? Pantas saja..”
Isah melepaskan pelukannya dan menatap bingung pada Darwin
yang menatapnya sambil tersenyum. “Pantas saja apa?”
“Pantas saja aku mencium bau aneh, jangan-jangan kamu nggak
mandi ya selama tiga hari ini?”
Isah seketika mempoutkan bibirnya dan detik berikutnya gadis
itu mengangguk lemah. “Aku terlalu khawatir sama kamu, makanya aku nggak mau
ninggalin kamu sendirian”
Darwin kembali tersenyum, “Oh Ma klo, so sweet banget...
Tapi, coba kamu mandi pasti lebih so sweet lagi,” Darwin mencoba berkelakar
dengan sahabatnya itu.
“Tskk, ya sudah aku mau mandi dulu. Bentar lagi orang tua
kamu datang jadi kamu nggak usah takut sendirian,” Isah berniat beranjak dari
duduknya di samping Darwin namun pria itu lebih dulu menahannya agar tidak
bangun.
“Jangan kemana-mana, temani aku aja. Kan tadi kamu belum
selesai meluk aku,” Darwin menaikkan alisnya, menggoda Isah.
“Ckk, ternyata setelah kecelakaan kamu malah semakin nyebelin
yah,” Isah menatap jengah Darwin. “Oh ya ngomong-ngomong soal kecelakaan waktu itu....”
Isah menatap bersalah pada Darwin, “Maaf...”
Darwin menggenggam tangan sahabatnya, “Nggak apa-apa bukan
salahmu. Mungkin ini teguran dari Tuhan supaya aku nggak ngejahilin kamu lagi.
Yang penting sekarang aku kan udah bangun, jadi nggak apa-apa”
Isah mengangguk lemah, “Maaf ya Win, aku ngerasa bersalah
banget sama kamu... dan.... makasih, makasih kamu sudah bertahan dan makasih
kamu masih hidup. Aku takut banget kehilangan kamu,” Isah menunduk usai
menyelesaikan kalimatnya.
Darwin lagi-lagi hanya tersenyum, “Harusnya aku yang bilang
makasih sama kamu karna bau badanmu itu aku jadinya nggak tahan buat nggak
bangun. Jadi bersyukurlah kamu nggak mandi selama tiga hari yang bikin aku
cepat siuman”
Isah melototkan matanya menatap Darwin yang hanya menunjukkan
cengiran tak berdosanya, gadis itu kemudian hanya menghela nafas. Mungkin jika
Darwin tidak sakit saat ini ia pasti sudah mencubit lengan Darwin sampai
meninggalkan bekas biru keunguan.
“Isah.. Makasih ya udah ngejagain aku beberapa hari ini. Maap
sudah bikin kamu khawatir, dan maap sudah bikin kamu nangis selama tiga hari
berturut-turut”
Isah menatap bingung pada Darwin, “Kok kamu bisa tau kalau
aku nangis?”
Darwin mengangkat bahunya enteng lantas menarik tangan Isah
dan menenggelamkan kembali kepala Isah dalam dadanya. “Enggak. Cuman nebak aja,
soalnya matamu bengkak”
Isah hanya bisa diam dan balas memeluk Darwin, merasakan
hangat di dadanya karena akhirnya sahabat yang ia rindukan sudah kembali sadar
meskipun butuh waktu lama sampai pria itu benar-benar pulih dan bisa kembali
bermain bersamanya.
“Win..”
“Hmm?”
“Cepat sembuh yaa, biar kamu cepat jadi DTB-ku lagi”
“Ya, pasti. Aku akan sembuh secepatnya, karena ITB-ku pasti
kesepian tanpa Tukang Bully sepertiku, hahaa”
Isah memukul pelan dada Darwin, sedangkan pria itu hanya
tertawa pelan lantas menenggelamkan
kepalanya pada lekukan leher Isah. “Isah”
“Mmm?”
“Mandi gih... badanmu bau- aaaargh,” Darwin hanya bisa pasrah
menahan sakit karena gadis itu mencubit kuat pinggangnya. “Isah aku lagi sakit
nih”
“Biarin, ugh...”
Dan keduanya tertawa bersama, tawa penuh kebahagiaan. Tawa
yang tulus dari dua sahabat yang tidak akan berhenti bertengkar, ITB dan DTB.
.
.
FIN
***
Finally nih
cerita gagje kelar juga setelah sekian minggu mengendap di folder draft,
hahaha.
Aneh banget
kah ini ceritanya? Hohoo, ini sudah maksimal imajinasiku mentok sampai di
sini... karena pada awalnya emang aku nggak tau ini cerita mau dibawa kemana
dan mau digimanain makanya lama banget gag kelar-kelar.
Dan seperti
biasa makasih buat yang udah meluangkan waktu buat baca my gagje story,
hehee... Pai-pai ^^
Ceritanya menyentuh sekali....
BalasHapusRasanya aku sedang berada dalam cerita itu haha :D
Ceritanya layak diterbitkan mnurutku.. peace...
Hahaaaa XD
HapusThank u for reading, dude ^^