Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Minggu, 14 September 2014

(Cerpen) Please Don't Go



Please Don’t Go
.

Inspired By:
B.A.P – Coma

.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.
.
---***---

After you left, I’m losing my rationality
Every night, I’m getting drunk from alcohol
I swear out loud because I think of you, who was so cold
I feel creepy, I shout out loud in anger
.

Botol alkohol kedua.

Segera ia tenggak habis benda cair di dalam botol itu. Meluapkan segala sesaknya yang tak pernah ia bayangkan selama ini.

Praang...

Terdengar dengan jelas pecahal botol kaca yang memekakkan telinga menghantam lantai dengan keras meskipun di luar hujan deras dengan petir yang bersahut-sahutan sejak tiga puluh lima menit yang lalu mengguyur kota. Cairan merah pekat mengalir di telapak tangan Darwin ketika ia mencoba mengambil pecahan kaca yang terserak di permukaan lantai.

Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi yang berarti ketika kembali pecahan kaca tersebut menusuk telapak tangannya dan membuat darah di telapak tanganya terus mengucur hingga merembes di atas keramik putih yang ia pijak. Bau amis khas darah seketika menyapa penciumannya namun kembali tak ada reaksi apapun di wajahnya yang sejak tadi hanya menunjukkan ekspresi datar.

Drrrtt drrrrtt

Ponsel di saku Darwin bergetar. Dengan cepat ia merogoh sakunya dan mengambil benda berbentuk kotak itu dengan terburu-buru, mengabaikan pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Ekspresi datarnya seketika berubah, kedua sudut bibirnya tertarik begitu saja serta tergambar jelas sedikit kelegaan pada wajahnya ketika membaca nama yang tertera pada layar ponselnya.

“Halo,” suaranya ia atur setenang mungkin setelah ia menggeser tombol hijau pada layar ponsel.

Hanya desahan nafas yang bisa Darwin dengar dengan jelas dari si penelpon di seberang sana. Beberapa sekon Darwin hanya diam menunggu suara si penelpon yang terus-terus hanya menghela nafasnya.

“Halo,” panggilnya lagi pada si penelpon.

“Win..”

Darwin bersumpah dadanya menghangat mendengar suara itu memanggilnya, memanggil namanya. Bahkan ia sama sekali tidak ingat jika sekarang telapak tangannya masih penuh darah. “Yes, i’m here”

“Kumohon hentikan, please stop it”

Sebelah alis Darwin terangkat. Tidak, ia bukannya sama sekali tidak mengerti maksud dari kata ‘hentikan’ itu. Hanya saja ia-

“I can’t stop it. I’m still loving you, but... why? Why you leave me alone?”

Lagi-lagi Darwin mendengar helaan nafas dari suara di seberang sana. Jika bisa ia juga akan melakukan hal yang sama, ia lebih lelah dalam situasi ini.

“Tapi kita sudah berakhir. Darwin, kumohon lepaskan aku. Kita, kita lebih baik seperti ini. and I’m sorry.... I’m sorry because-“

“Because what? Karena kamu sudah meninggalkanku? Karena kamu sudah membuatku menjadi seperti ini? Karena kamu sudah membuatku berteman dengan minuman beralkohol? Karena kamu sudah-”

“I’m sorry for everything,” sela suara di seberang sana cepat.

Darwin menganga tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Baru saja beberapa menit yang lalu perasaannya kembali menghangat karena gadis itu menelponnya, sekarang dadanya seakan dihimpit bongkahan es besar dari Antartika.

“You hurt me, Umairoh...,” lirih Darwin berharap gadis itu berpikir ulang untuk tidak meninggalkannya.

“Sampai jumpa Darwin. Semoga setelah ini kau hidup lebih baik. Jangan meminum minuman beralkohol yang tidak baik untuk kesehatanmu lagi. Hentikan semuanya. Maaf... dan juga... Terima kasih sudah bersamaku selama ini. Aku tutup telponnya”

Biip

Darwin bahkan belum diberi kesempatan menjelaskan segala perasaannya, bahkan ia belum sempat membalas kalimat terakhir sebelum gadis itu memutuskan sepihak sambungan telpon.

Ekspresinya kembali seperti beberapa menit yang lalu saat gadis itu belum menghubunginya. Tak ada raut apapun yang tergambar pada wajahnya. Datar. Namun terlihat jelas di matanya terbersit kepedihan dan luka.

Hujan masih deras di luar sana. Bahkan petir terus menerus menyeruakkan suaranya, seolah ikut mengolok Darwin yang terlihat tak waras. Darwin berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan lantai kamarnya yang berserakan dengan pecahan botol kaca. Pria itu membasuh tangannya dari cairan merah menjijikan yang masih saja mengalir melalui sela-sela lukanya yang menganga.

Seharusnya ia meringis karena luka itu terlalu perih ketika ia basuh.

Seharusnya ia berteriak kesakitan karena lukanya terus menerus mengeluarkan darah.

Tapi...

Hatinya lebih sakit dari itu. Bahkan hatinya sudah tercabik seperti antelope yang menjadi santapan makan siang cheetah. Tercabik dan tak berbentuk lagi.

.
.

I see my face reflected in the broken mirror
It’s like the pieces of our broken love
I stand at the tip of this cruel cliff
I rip up the memories of you – there is no more
.

Gadis itu memeluk Darwin dari belakang dengan lembut, membuat Darwin tak bisa menahan senyumannya. Ia bisa melihat gadisnya yang tersenyum begitu hangat dari pantulan cermin kamar mandi di hadapannya.

“Hey, aku sedang sikat gigi. Kamu mau menggangguku?,” ucap Darwin sambil mengusap pelan lengan Umairoh yang melingkar erat di pinggangnya.

Umairoh hanya terkekeh pelan dengan terus melingkarkan tangannya pada pinggang kekasihnya itu, menghirup dalam perofon khas Darwin yang sangat ia sukai.

“Oh, jadi kamu tidak mau melepaskanku? Kamu mau menempel terus padaku seperti ini?,” goda Darwin usai ia membersihkan mulutnya.

Darwin berbalik dan menatap gadisnya yang sedang menunjukkan senyuman manjanya, aegyo gadis itu selalu berhasil membuat Darwin luluh. Darwin mengusap pelan puncak kepala gadis itu, lantas memeluk erat Umairoh dalam dekapannya. Membiarkan jantung mereka saling berpacu dalam irama yang merdu.

 “Mer, janji ya kamu jangan pernah meninggalkanku sampai kapanpun”, ucap Darwin pelan seraya menenggelamkan kepalanya pada lekukan leher gadisnya.

“Hmm, aku janji”

.
.

What can I do?
I wander through a maze but I’m at the same place
What can I say?
You grow fainter, I can’t see your face
.

Darwin menatap refleksi dirinya pada cermin besar di samping tempat tidurnya. Tidak, ia sama sekali tidak melihat dirinya di sana. Yang tergambar hanya pantulan bayangan tubuh kekasihnya yang memeluknya, lantas berjalan pergi meninggalkan Darwin dalam kebingungan.

Dan kini, pantulan bayangan gadis itu memburam seiring dengan air yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Bayangan gadis itu semakin kabur bersamaan dengan setetes air mata yang mulai jatuh di sudut matanya. Ia masih belum melihat dirinya pada pantulan cermin itu, masih ada Umairoh di sana yang berdiri membelakanginya.

“Aaaaaaaakh,” Darwin berteriak lantas meninju cermin di depannya, menimbulkan darah yang kembali keluar namun kali ini dari buku jari tangannya. Ia melakukannya berulang kali sampai kaca itu tak berbentuk lagi. Sekarang Darwin bisa melihat pantulan dirinya dalam pecahan cermin yang berserakan di lantai. Pecahan cermin itu menggambarkan dirinya saat ini. Dirinya yang sudah remuk tak berbentuk.

“Umairoh..,” ucapnya dan terduduk di antara pecahan cermin. Mengabaikan darah di tangannya yang terus mengucur. Bahkan luka sore tadi di telapak tangannya pun belum sembuh.

“Aaaaaaargh... Aaaaaaaghh...” Darwin terus menerus berteriak seraya mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamarnya. Perih. Ia bahkan tak bisa merasakan dinginnya cuaca setelah hujan di malam ini.

Darwin mengambil botol alkohol terakhir yang tersisa di atas meja nakasnya. Ia meraih botol itu dengan terseok-seok. Lantas setelah berhasil membuka tutup botol itu dengan susah payah, ia langsung meneguk dengan terburu-buru cairan itu sampai habis.

Botol kosong itu ia lemparkan sampai membentur dinding dan membuat benda tersebut ikut pecah berserakan tak jauh dari pecahan cermin. Darwin menatap kosong pada kamarnya yang saat ini berserakan pecahan kaca di atas lantai. Lantas pria itu merebahkan dirinya di atas dinginnya lantai yang bertaburan beling. Beberapa pecahan beling sempat menusuk kulitnya yang terbuka, namun ia sama sekali tak mengindahkannya. Pria itu terbaring dengan tubuhnya menghadap dinding kamarnya, dimana ia bisa melihat fotonya dan Umairoh yang masih terpampang rapi dalam bingkai merah di sana.

Ia hanya menatap foto itu tanpa berkedip meskipun wajahnya sudah basah dengan air mata yang terus menerus mengalir. Lantas pria itu tertawa hambar, entah apa yang ia tertawakan dengan matanya yang menatap foto itu. Atau karena ia berada di bawah pengaruh alkohol yang bahkan membuatnya tak menyadari beberapa bagian tubuhnya yang mengeluarkan darah karena pria itu berbaring diatas serakan beling.

Ia mabuk.

Ia kehilangan rasionalnya.

Karena-

“I can’t live without you, Umairoh..” kelopak mata Darwin lantas terpejam setelah sebelumnya setetes air mata mengalir lagi dari sudut matanya.

.
.

I can’t move from the darkness
I can’t feel it – my tears flow
I’m trapped in the memories of you, No
Please hold my hand so I can wake up – please don’t go
.

###
Fin


Ehm ehmm.. akhirnya setelah udah lama nggak nulis aku bisa bikin cerita lagi usai kembali jatuh cinta sama lagu Coma dari B.A.P yeaay :D
Dan ini emang ancur bin aneh banget kan yah? Hohoo... tapi emang ini aku bikin sambil denger lagu Coma-nya B.A.P yang bikin jantungku berdebar, hahahhkkh... Akh, pokoknya aku sekarang jatuh cinta dah sama B.A.P <3
Makasih yang sudah mau baca dan cast yang selalu aku pinjem namanya ^^
Pai pai........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar