Please Don’t Go
.
Inspired By:
B.A.P –
Coma
.
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
.
---***---
After you left, I’m losing my
rationality
Every night, I’m getting drunk from
alcohol
I swear out loud because I think of
you, who was so cold
I feel creepy, I shout out loud in
anger
.
Botol alkohol kedua.
Segera ia tenggak habis benda cair di dalam botol itu.
Meluapkan segala sesaknya yang tak pernah ia bayangkan selama ini.
Praang...
Terdengar
dengan jelas pecahal botol kaca yang memekakkan telinga menghantam lantai
dengan keras meskipun di luar hujan deras dengan petir yang bersahut-sahutan
sejak tiga puluh lima menit yang lalu mengguyur kota. Cairan merah pekat
mengalir di telapak tangan Darwin ketika ia mencoba mengambil pecahan kaca yang
terserak di permukaan lantai.
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi yang berarti
ketika kembali pecahan kaca tersebut menusuk telapak tangannya dan membuat
darah di telapak tanganya terus mengucur hingga merembes di atas keramik putih
yang ia pijak. Bau amis khas darah seketika menyapa penciumannya namun kembali
tak ada reaksi apapun di wajahnya yang sejak tadi hanya menunjukkan ekspresi
datar.
Drrrtt drrrrtt
Ponsel di saku Darwin bergetar. Dengan cepat ia merogoh
sakunya dan mengambil benda berbentuk kotak itu dengan terburu-buru,
mengabaikan pecahan kaca yang masih berserakan di lantai. Ekspresi datarnya
seketika berubah, kedua sudut bibirnya tertarik begitu saja serta tergambar
jelas sedikit kelegaan pada wajahnya ketika membaca nama yang tertera pada
layar ponselnya.
“Halo,” suaranya ia atur setenang mungkin setelah ia
menggeser tombol hijau pada layar ponsel.
Hanya desahan nafas yang bisa Darwin dengar dengan jelas dari
si penelpon di seberang sana. Beberapa sekon Darwin hanya diam menunggu suara si
penelpon yang terus-terus hanya menghela nafasnya.
“Halo,” panggilnya lagi pada si penelpon.
“Win..”
Darwin bersumpah dadanya menghangat mendengar suara itu
memanggilnya, memanggil namanya. Bahkan ia sama sekali tidak ingat jika
sekarang telapak tangannya masih penuh darah. “Yes, i’m here”
“Kumohon
hentikan, please stop it”
Sebelah alis Darwin terangkat. Tidak, ia bukannya sama sekali
tidak mengerti maksud dari kata ‘hentikan’ itu. Hanya saja ia-
“I can’t stop it. I’m still loving you, but... why? Why you
leave me alone?”
Lagi-lagi Darwin mendengar helaan nafas dari suara di
seberang sana. Jika bisa ia juga akan melakukan hal yang sama, ia lebih lelah
dalam situasi ini.
“Tapi kita
sudah berakhir. Darwin, kumohon lepaskan aku. Kita, kita lebih baik seperti
ini. and I’m sorry.... I’m sorry because-“
“Because what? Karena kamu sudah meninggalkanku? Karena kamu
sudah membuatku menjadi seperti ini? Karena kamu sudah membuatku berteman
dengan minuman beralkohol? Karena kamu sudah-”
“I’m sorry
for everything,” sela suara di seberang sana cepat.
Darwin menganga tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Baru
saja beberapa menit yang lalu perasaannya kembali menghangat karena gadis itu
menelponnya, sekarang dadanya seakan dihimpit bongkahan es besar dari
Antartika.
“You hurt me, Umairoh...,” lirih Darwin berharap gadis itu
berpikir ulang untuk tidak meninggalkannya.
“Sampai jumpa Darwin. Semoga setelah ini kau hidup lebih
baik. Jangan meminum minuman beralkohol yang tidak baik untuk kesehatanmu lagi.
Hentikan semuanya. Maaf... dan juga... Terima kasih sudah bersamaku selama ini.
Aku tutup telponnya”
Biip
Darwin bahkan belum diberi kesempatan menjelaskan segala
perasaannya, bahkan ia belum sempat membalas kalimat terakhir sebelum gadis itu
memutuskan sepihak sambungan telpon.
Ekspresinya kembali seperti beberapa menit yang lalu saat
gadis itu belum menghubunginya. Tak ada raut apapun yang tergambar pada
wajahnya. Datar. Namun terlihat jelas di matanya terbersit kepedihan dan luka.
Hujan masih deras di luar sana. Bahkan petir terus menerus
menyeruakkan suaranya, seolah ikut mengolok Darwin yang terlihat tak waras.
Darwin berjalan menuju kamar mandi, meninggalkan lantai kamarnya yang
berserakan dengan pecahan botol kaca. Pria itu membasuh tangannya dari cairan
merah menjijikan yang masih saja mengalir melalui sela-sela lukanya yang
menganga.
Seharusnya ia meringis karena luka itu terlalu perih ketika
ia basuh.
Seharusnya ia berteriak kesakitan karena lukanya terus
menerus mengeluarkan darah.
Tapi...
Hatinya lebih sakit dari itu. Bahkan hatinya sudah tercabik
seperti antelope yang menjadi santapan makan siang cheetah. Tercabik dan tak
berbentuk lagi.
.
.
I see my face reflected in the
broken mirror
It’s like the pieces of our broken
love
I stand at the tip of this cruel
cliff
I rip up the memories of you –
there is no more
.
Gadis itu memeluk Darwin dari belakang dengan lembut, membuat
Darwin tak bisa menahan senyumannya. Ia bisa melihat gadisnya yang tersenyum
begitu hangat dari pantulan cermin kamar mandi di hadapannya.
“Hey, aku sedang sikat gigi. Kamu mau menggangguku?,” ucap
Darwin sambil mengusap pelan lengan Umairoh yang melingkar erat di pinggangnya.
Umairoh hanya terkekeh pelan dengan terus melingkarkan
tangannya pada pinggang kekasihnya itu, menghirup dalam perofon khas Darwin
yang sangat ia sukai.
“Oh, jadi kamu tidak mau melepaskanku? Kamu mau menempel
terus padaku seperti ini?,” goda Darwin usai ia membersihkan mulutnya.
Darwin berbalik dan menatap gadisnya yang sedang menunjukkan
senyuman manjanya, aegyo gadis itu selalu berhasil membuat Darwin luluh. Darwin
mengusap pelan puncak kepala gadis itu, lantas memeluk erat Umairoh dalam
dekapannya. Membiarkan jantung mereka saling berpacu dalam irama yang merdu.
“Mer, janji ya kamu
jangan pernah meninggalkanku sampai kapanpun”, ucap Darwin pelan seraya
menenggelamkan kepalanya pada lekukan leher gadisnya.
“Hmm, aku janji”
.
.
What can I do?
I wander through a maze but I’m at
the same place
What can I say?
You grow fainter, I can’t see your
face
.
Darwin menatap refleksi dirinya pada cermin besar di samping
tempat tidurnya. Tidak, ia sama sekali tidak melihat dirinya di sana. Yang
tergambar hanya pantulan bayangan tubuh kekasihnya yang memeluknya, lantas
berjalan pergi meninggalkan Darwin dalam kebingungan.
Dan kini, pantulan bayangan gadis itu memburam seiring dengan
air yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Bayangan gadis itu semakin kabur
bersamaan dengan setetes air mata yang mulai jatuh di sudut matanya. Ia masih
belum melihat dirinya pada pantulan cermin itu, masih ada Umairoh di sana yang
berdiri membelakanginya.
“Aaaaaaaakh,” Darwin berteriak lantas meninju cermin di
depannya, menimbulkan darah yang kembali keluar namun kali ini dari buku jari
tangannya. Ia melakukannya berulang kali sampai kaca itu tak berbentuk lagi.
Sekarang Darwin bisa melihat pantulan dirinya dalam pecahan cermin yang
berserakan di lantai. Pecahan cermin itu menggambarkan dirinya saat ini.
Dirinya yang sudah remuk tak berbentuk.
“Umairoh..,” ucapnya dan terduduk di antara pecahan cermin.
Mengabaikan darah di tangannya yang terus mengucur. Bahkan luka sore tadi di
telapak tangannya pun belum sembuh.
“Aaaaaaargh... Aaaaaaaghh...” Darwin terus menerus berteriak
seraya mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamarnya. Perih. Ia bahkan
tak bisa merasakan dinginnya cuaca setelah hujan di malam ini.
Darwin mengambil botol alkohol terakhir yang tersisa di atas
meja nakasnya. Ia meraih botol itu dengan terseok-seok. Lantas setelah berhasil
membuka tutup botol itu dengan susah payah, ia langsung meneguk dengan
terburu-buru cairan itu sampai habis.
Botol kosong itu ia lemparkan sampai membentur dinding dan
membuat benda tersebut ikut pecah berserakan tak jauh dari pecahan cermin.
Darwin menatap kosong pada kamarnya yang saat ini berserakan pecahan kaca di
atas lantai. Lantas pria itu merebahkan dirinya di atas dinginnya lantai yang
bertaburan beling. Beberapa pecahan beling sempat menusuk kulitnya yang
terbuka, namun ia sama sekali tak mengindahkannya. Pria itu terbaring dengan
tubuhnya menghadap dinding kamarnya, dimana ia bisa melihat fotonya dan Umairoh
yang masih terpampang rapi dalam bingkai merah di sana.
Ia hanya menatap foto itu tanpa berkedip meskipun wajahnya
sudah basah dengan air mata yang terus menerus mengalir. Lantas pria itu
tertawa hambar, entah apa yang ia tertawakan dengan matanya yang menatap foto
itu. Atau karena ia berada di bawah pengaruh alkohol yang bahkan membuatnya tak
menyadari beberapa bagian tubuhnya yang mengeluarkan darah karena pria itu
berbaring diatas serakan beling.
Ia mabuk.
Ia kehilangan rasionalnya.
Karena-
“I can’t live without you, Umairoh..” kelopak mata Darwin
lantas terpejam setelah sebelumnya setetes air mata mengalir lagi dari sudut
matanya.
.
.
I can’t move from the darkness
I can’t feel it – my tears flow
I’m trapped in the memories of you,
No
Please hold my hand so I can wake
up – please don’t go
.
###
Fin
Ehm ehmm.. akhirnya setelah udah lama nggak nulis aku bisa
bikin cerita lagi usai kembali jatuh cinta sama lagu Coma dari B.A.P yeaay :D
Dan ini emang ancur bin aneh banget kan yah? Hohoo... tapi
emang ini aku bikin sambil denger lagu Coma-nya B.A.P yang bikin jantungku
berdebar, hahahhkkh... Akh, pokoknya aku sekarang jatuh cinta dah sama B.A.P
<3
Makasih yang sudah mau baca dan cast yang selalu aku pinjem
namanya ^^
Pai pai........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar