Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Minggu, 14 September 2014

(Cerpen) One Day



ONE DAY
.
.

Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah

.

Inspired By:
Lee Jun Ki – One Day

.

Very short story... Don’t like, don’t read it...

***

Ini aku. Apa kabar? Rasanya sudah sangat lama kita tidak bertemu. Entahlah, bagiku ini sudah sangat lama. Aku tidak tahu apakah menurutmu dua tahun adalah waktu yang lama, tapi bagiku dua tahun ini waktu yang cukup lama –setidaknya.

.
Can’t you wait one day for me?
.

Kau ingat tidak, dulu kau pernah bilang kalau aku ini kekanak-kanakan. Aku terlalu manja. Jujur saja aku tidak merasa kalau aku kekanak-kanakan, apalagi dengan embel-embel ‘manja’ yang kau katakan itu. Tapi itu hanya menurutku karena aku tidak mungkin menilai diriku sendiri bukan?

“Lama tidak bertemu,” aku menyunggingkan senyum terbaikku ketika kau sudah duduk di sampingku. Setidaknya kau sudah cukup mengucapkan kalimat itu dan itu artinya menurutmu waktu dua tahun memang waktu yang cukup lama.

“Iya, sudah dua tahun. Bagaimana kabarmu?,” pertanyaan basa-basi. Aku bahkan tak perlu menanyakan hal itu karena aku bisa melihat sendiri keadaannya yang baik-baik saja.

“Hmm, bisa kau lihat aku selalu baik. Sepertinya kau juga baik-baik saja kan?,” ia tersenyum ke arahku dengan tatapan khasnya.

Demi Dewa Neptunus yang bahkan aku tidak tahu seperti apa wujudnya, dadaku kembali berdebar melihat ia tersenyum seperti itu, padaku. Ya, ia tersenyum padaku. Aku hanya tertawa menjawab pertanyaannya. Yeah, aku baik-baik saja. Baik-baik saja seandainya kau mau menunggu sampai saat itu. Menungguku berubah menjadi lebih dewasa dan memantaskan diriku untuk berada di sampingmu.

.
Can’t you come to me just for one day?
.

“Kuliah?”, ia kembali menanyaiku setelah menyeruput bubble tea yang ia pesan beberapa menit lalu.

“Hmm, kau sendiri?”

“Yeah. Jurusan Akuntansi”

Aku menatapnya dengan senyum mengejek membuatnya mengangkat sebelah alisnya.

“Apa ada yang salah dengan itu Nona?”

“Tidak. Aku hanya tidak habis pikir, kau begitu tergila-gila dengan Akuntansi”

Ia menyenggol pelan bahuku membuatku tersenyum dan kembali menatap jalanan di depan cafè. Setelahnya tak ada lagi diantara kami yang mengeluarkan suara. Terus terang aku tak tahu harus mengatakan apa. Tidak, bukannya tak ada yang ingin aku katakan. Bahkan terlalu banyak malah sampai aku tak tahu bagian mana yang lebih dulu harus kukatakan.

Bolehkah seandainya aku memintanya datang padaku suatu hari nanti? Maksudku saat di mana aku sudah benar-benar berubah, bisakah ia datang padaku disaat itu?

.
Can’t you come to my arms for one day?
.

“Sudah punya pacar?,” pertanyaannya barusan berhasil membuatku tersedak dan menumpahkan minuman di tanganku. “Hey, kau kenapa? Kau baik-baik saja?,” ia menepuk pelan pundakku dan mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan minuman yang mengotori bajuku.

“Y, ya.. Ya aku tidak apa-apa. Aku hanya terkejut, maaf. Pacar? Aku bahkan tidak pernah jatuh cinta dengan pria,” yeah aku berbohong. Tentu saja aku pernah jatuh cinta, dan kau orangnya bodoh.

Kali ini ia mengangguk. “Pacarku sedang sakit, dia terlalu sering bergadang mengerjakan tugas kuliahnya akhir-akhir ini. Ditambah ia juga sibuk membantu di restaurant bibinya,” ia menghela nafas setelahnya lantas mengaduk-aduk bubble tea-nya yang tak kunjung habis.

Aku menatap terkejut ke arahnya. Pacar?

“Siapa?,” tanpa aku perpanjang kalimat tanyaku ia pasti mengerti maksud ‘siapa’ yang aku tanyakan.

“Teman sekelas kita dulu”

Well, ia tak perlu menyebut nama gadis itu karena aku sendiri sudah bisa menebak siapa orangnya. Ingin sekali aku menangis rasanya. Bisakah kau memelukku? Memelukku sebentar saja... Mungkin tidak sekarang. Tapi nanti, saat kau tahu kenyataan mengenai perasaanku, bisakah kau datang padaku dan memelukku?

.
Just until I can cry and get exhausted
.

“Kau ke mana saja dua tahun ini?,” ia bertanya padaku tanpa beban dan tanpa menyadari perubahan pada air mukaku.

“Aku tidak ke mana-mana. Hanya bekerja lalu kuliah, lantas pulang ke rumah. Lalu kembali bekerja dan kuliah begitu seterusnya setiap hari yang aku lewati. Monoton”

Ia terkekeh. “Kau sudah berubah rupanya. Aku pikir kau masih manja seperti dulu. Dan, eumm tunggu dulu. Hey, kau tumbuh sedikit lebih tinggi sekarang, hahaa,” ia menatapku dari ujung kepala sampai kaki.

Aku refleks mengerucutkan bibirku. Bisa-bisa air mataku tumpah sekarang melihatnya seperti itu. Benar, setidaknya aku sedikit berubah. Dan itu semua aku lakukan hanya untuknya. Berharap agar ia bisa melihatku sebagai wanita. Bukan sebagai teman bermainnya di masa kecil.

“Kau kenapa sih? Kenapa cemberut seperti itu? Kau tidak suka kalau aku bilang kau lebih tinggi sekarang?”

Aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya dan menatap ke langit sore ini yang masih cerah. Apakah semua yang aku lakukan ini salah? Apakah semuanya hanya akan sia-sia saja? Jujur aku lelah. Bahkan aku tak bisa lagi membendung perasaanku padamu.

.
Just until I can let you go – Just one day
.

“Sekarang sudah pukul berapa? Kenapa langit masih saja terang?,” ia mengikutiku memandangi langit. Sedikit sekali benda putih di atas sana.

Aku tak menjawabnya. Entah kenapa tenggorokanku rasanya tiba-tiba tercekat.

“Kau tahu, aku pikir aku tidak bisa lagi bertemu denganmu karena selama dua tahun ini kita tidak lagi saling mengabari,” ia mengatakannya tanpa menatapku dan terus menilik pada hamparan biru tak berujung yang menjadi fokusnya kini.

Kali ini giliranku yang menghela nafas. Bukannya ‘kita’ tapi kau yang tak memberiku kabar mengenai eksistensimu selama dua tahun terakhir.

“Hey, kenapa kau diam saja?,” ia mengalihkan fokusnya dan menatapku penuh tanya.

Aku juga menatapnya kini. Ia mengerutkan keningnya menunggu sepatah kata yang keluar di antara kedua bibirku. Aku hanya terus menatap lekukan wajahnya, pahatan karya Tuhan yang selama ini menjadi mimpiku. Bolehkah aku menatapnya beberapa detik saja? Aku merindukannya. Merindukan wajahnya dan segala tingkah konyolnya.

Ia menjentikkan ibu jari dan jari tengahnya di depan wajahku membuatku mengerjapkan mataku. “Ckk, kau melamun”

Aku spontan menggaruk tengkukku yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. “Apa yang kau katakan tadi?”

Tssk, sudahlah lupakan. Oh iya, besok aku masih di sini. Apa kau besok ada waktu? Aku ingin jalan-jalan denganmu, bisa kan?,” ia tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang putih.

Aku berpikir sejenak. Sesekali tidak bekerja mungkin tak masalah. “Baiklah, kapan kau akan menjemputku?”

“Aku belum tahu pasti waktunya. Eum, yang pasti kau tunggu saja, aku akan mengabarimu besok pagi”

 Aku mengangguk.

Sampai aku bisa membiarkanmu pergi, bolehkah aku masih terus berharap? Dan besok, biarkan hanya kita berdua. Hanya untuk satu hari. Satu hari.

***
.
.
FIN

Gilaaaak ini gilaaaaak... /Okey aku lebay/ -___-
Gegara nonton drama ‘Arang and The Magistrate’ yang ketiga kalinya dan denger OST-nya yang bikin mewek aku tetiba aja keinspirasi bikin cerita beginiaaaan.... dan yehet, u-know-lah suara Lee Jun Ki di lagu One Day itu bisa bikin hati yang lagi ceria jadi galau nggak ketulungan, dan aku salah satu korbannyaaah!!
Baiklah abaikan cuap-cuap nggak penting dan nggak bermanfaat ini, I just wanna say thanks for everyone yang udah mau membaca karya imajinasi gila aku ini, wakakakwakakawakakakk :D
Pai-pai..
*seret Lee Jun Ki ke warung sate :P*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar