ONE DAY
.
.
Author:
Aisyah
a.k.a Cloudisah
.
Inspired By:
Lee Jun Ki
– One Day
.
Very short story... Don’t like, don’t read it...
***
Ini aku. Apa kabar? Rasanya sudah
sangat lama kita tidak bertemu. Entahlah, bagiku ini sudah sangat lama. Aku tidak
tahu apakah menurutmu dua tahun adalah waktu yang lama, tapi bagiku dua tahun
ini waktu yang cukup lama –setidaknya.
.
Can’t you wait one day for me?
.
Kau ingat tidak, dulu kau pernah
bilang kalau aku ini kekanak-kanakan. Aku terlalu manja. Jujur saja aku tidak
merasa kalau aku kekanak-kanakan, apalagi dengan embel-embel ‘manja’ yang kau
katakan itu. Tapi itu hanya menurutku karena aku tidak mungkin menilai diriku
sendiri bukan?
“Lama tidak bertemu,” aku
menyunggingkan senyum terbaikku ketika kau sudah duduk di sampingku. Setidaknya
kau sudah cukup mengucapkan kalimat itu dan itu artinya menurutmu waktu dua
tahun memang waktu yang cukup lama.
“Iya, sudah dua tahun. Bagaimana
kabarmu?,” pertanyaan basa-basi. Aku bahkan tak perlu menanyakan hal itu karena
aku bisa melihat sendiri keadaannya yang baik-baik saja.
“Hmm, bisa kau lihat aku selalu
baik. Sepertinya kau juga baik-baik saja kan?,” ia tersenyum ke arahku dengan
tatapan khasnya.
Demi Dewa Neptunus yang bahkan aku
tidak tahu seperti apa wujudnya, dadaku kembali berdebar melihat ia tersenyum
seperti itu, padaku. Ya, ia tersenyum padaku. Aku hanya tertawa menjawab
pertanyaannya. Yeah, aku baik-baik saja. Baik-baik saja seandainya kau mau
menunggu sampai saat itu. Menungguku berubah menjadi lebih dewasa dan
memantaskan diriku untuk berada di sampingmu.
.
Can’t you come to me just for one day?
.
“Kuliah?”, ia kembali menanyaiku
setelah menyeruput bubble tea yang ia
pesan beberapa menit lalu.
“Hmm, kau sendiri?”
“Yeah. Jurusan Akuntansi”
Aku menatapnya dengan senyum
mengejek membuatnya mengangkat sebelah alisnya.
“Apa ada yang salah dengan itu
Nona?”
“Tidak. Aku hanya tidak habis
pikir, kau begitu tergila-gila dengan Akuntansi”
Ia menyenggol pelan bahuku
membuatku tersenyum dan kembali menatap jalanan di depan cafè. Setelahnya tak ada lagi diantara
kami yang mengeluarkan suara. Terus terang aku tak tahu harus mengatakan apa.
Tidak, bukannya tak ada yang ingin aku katakan. Bahkan terlalu banyak malah
sampai aku tak tahu bagian mana yang lebih dulu harus kukatakan.
Bolehkah seandainya aku memintanya
datang padaku suatu hari nanti? Maksudku saat di mana aku sudah benar-benar
berubah, bisakah ia datang padaku disaat itu?
.
Can’t you come to my arms for one day?
.
“Sudah punya pacar?,” pertanyaannya
barusan berhasil membuatku tersedak dan menumpahkan minuman di tanganku. “Hey,
kau kenapa? Kau baik-baik saja?,” ia menepuk pelan pundakku dan mengambil
beberapa helai tisu untuk membersihkan minuman yang mengotori bajuku.
“Y, ya.. Ya aku tidak apa-apa. Aku
hanya terkejut, maaf. Pacar? Aku bahkan tidak pernah jatuh cinta dengan pria,”
yeah aku berbohong. Tentu saja aku pernah jatuh cinta, dan kau orangnya bodoh.
Kali ini ia mengangguk. “Pacarku
sedang sakit, dia terlalu sering bergadang mengerjakan tugas kuliahnya
akhir-akhir ini. Ditambah ia juga sibuk membantu di restaurant bibinya,” ia menghela nafas setelahnya lantas
mengaduk-aduk bubble tea-nya yang tak
kunjung habis.
Aku menatap terkejut ke arahnya.
Pacar?
“Siapa?,” tanpa aku perpanjang
kalimat tanyaku ia pasti mengerti maksud ‘siapa’ yang aku tanyakan.
“Teman sekelas kita dulu”
Well, ia tak perlu menyebut nama gadis itu karena aku sendiri
sudah bisa menebak siapa orangnya. Ingin sekali aku menangis rasanya. Bisakah
kau memelukku? Memelukku sebentar saja... Mungkin tidak sekarang. Tapi nanti,
saat kau tahu kenyataan mengenai perasaanku, bisakah kau datang padaku dan
memelukku?
.
Just until I can cry and get exhausted
.
“Kau ke mana saja dua tahun ini?,”
ia bertanya padaku tanpa beban dan tanpa menyadari perubahan pada air mukaku.
“Aku tidak ke mana-mana. Hanya
bekerja lalu kuliah, lantas pulang ke rumah. Lalu kembali bekerja dan kuliah
begitu seterusnya setiap hari yang aku lewati. Monoton”
Ia terkekeh. “Kau sudah berubah rupanya.
Aku pikir kau masih manja seperti dulu. Dan, eumm tunggu dulu. Hey, kau tumbuh
sedikit lebih tinggi sekarang, hahaa,” ia menatapku dari ujung kepala sampai
kaki.
Aku refleks mengerucutkan bibirku.
Bisa-bisa air mataku tumpah sekarang melihatnya seperti itu. Benar, setidaknya
aku sedikit berubah. Dan itu semua aku lakukan hanya untuknya. Berharap agar ia
bisa melihatku sebagai wanita. Bukan sebagai teman bermainnya di masa kecil.
“Kau kenapa sih? Kenapa cemberut seperti itu? Kau tidak suka kalau aku bilang
kau lebih tinggi sekarang?”
Aku mengalihkan pandanganku dari
wajahnya dan menatap ke langit sore ini yang masih cerah. Apakah semua yang aku
lakukan ini salah? Apakah semuanya hanya akan sia-sia saja? Jujur aku lelah.
Bahkan aku tak bisa lagi membendung perasaanku padamu.
.
Just until I can let you go – Just one day
.
“Sekarang sudah pukul berapa?
Kenapa langit masih saja terang?,” ia mengikutiku memandangi langit. Sedikit
sekali benda putih di atas sana.
Aku tak menjawabnya. Entah kenapa
tenggorokanku rasanya tiba-tiba tercekat.
“Kau tahu, aku pikir aku tidak bisa
lagi bertemu denganmu karena selama dua tahun ini kita tidak lagi saling
mengabari,” ia mengatakannya tanpa menatapku dan terus menilik pada hamparan
biru tak berujung yang menjadi fokusnya kini.
Kali ini giliranku yang menghela
nafas. Bukannya ‘kita’ tapi kau yang tak memberiku kabar mengenai eksistensimu
selama dua tahun terakhir.
“Hey, kenapa kau diam saja?,” ia
mengalihkan fokusnya dan menatapku penuh tanya.
Aku juga menatapnya kini. Ia
mengerutkan keningnya menunggu sepatah kata yang keluar di antara kedua
bibirku. Aku hanya terus menatap lekukan wajahnya, pahatan karya Tuhan yang
selama ini menjadi mimpiku. Bolehkah aku menatapnya beberapa detik saja? Aku
merindukannya. Merindukan wajahnya dan segala tingkah konyolnya.
Ia menjentikkan ibu jari dan jari
tengahnya di depan wajahku membuatku mengerjapkan mataku. “Ckk, kau melamun”
Aku spontan menggaruk tengkukku
yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. “Apa yang kau katakan tadi?”
“Tssk, sudahlah lupakan. Oh iya, besok aku masih di sini. Apa kau
besok ada waktu? Aku ingin jalan-jalan denganmu, bisa kan?,” ia tersenyum lebar
menampakkan deretan giginya yang putih.
Aku berpikir sejenak. Sesekali
tidak bekerja mungkin tak masalah. “Baiklah, kapan kau akan menjemputku?”
“Aku belum tahu pasti waktunya. Eum, yang pasti kau tunggu saja, aku
akan mengabarimu besok pagi”
Aku mengangguk.
Sampai aku bisa membiarkanmu pergi,
bolehkah aku masih terus berharap? Dan besok, biarkan hanya kita berdua. Hanya
untuk satu hari. Satu hari.
***
.
.
FIN
Gilaaaak ini gilaaaaak... /Okey aku
lebay/ -___-
Gegara nonton drama ‘Arang and The
Magistrate’ yang ketiga kalinya dan denger OST-nya yang bikin mewek aku tetiba
aja keinspirasi bikin cerita beginiaaaan.... dan yehet, u-know-lah suara Lee
Jun Ki di lagu One Day itu bisa bikin hati yang lagi ceria jadi galau nggak
ketulungan, dan aku salah satu korbannyaaah!!
Baiklah abaikan cuap-cuap nggak
penting dan nggak bermanfaat ini, I just wanna say thanks for everyone yang
udah mau membaca karya imajinasi gila aku ini, wakakakwakakawakakakk :D
Pai-pai..
*seret Lee Jun Ki ke warung sate
:P*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar