D’PANCAS GAJE STORY:
The Eternity?
(Special for Yuni’s Birthday)
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Cast:
D’Pancas Sri Wahyuni a.k.a Yuni
D’Pancas Diah Maharani a.k.a Diah
D’Pancas Aisyah a.k.a Isah
D’Pancas Ridha Anisa a.k.a Rida
D’Pancas Siti Hadijah a.k.a Dj
Genre:
Friendship, Fantasy
Warning:
Typo, jalan cerita
kepanjangan (More than 8.500 words), tidak sesuai karakter masing-masing, d.l.l...
And please use ur high
imagination J
-----5-----
“Jadi bagaimana?”
“Apanya?”
“Yah tentang kata-kataku barusan”
“Kau gila”
“Tapi ini tantangan, dan... hey aku tidak gila okey”
“Kau gila. Kau tidak waras”
Sedang gadis yang sejak tadi hanya sibuk dengan buku tebal
didepannya mendengus sebal mendengar perbincangan dua sahabatnya itu.
“Berhentilah berdebat, kalian membuat kepalaku pusing”
“Tapi aku benar kan Rida? Yuni kau memang gila! Kau tahu kan
siapapun yang masuk ke rumah itu tidak akan ada satupun dari mereka yang
selamat?”
“Tsk, kau ini payah sekali. Kau percaya dengan semua omong
kosong itu? Hey, kita kan tidak pernah melihat dengan nyata kalau memang
orang-orang yang pernah masuk ke dalam rumah itu tidak pernah selamat. Aku kan
hanya mengajakmu, jika kau memang tidak ingin ya sudah tidak usah dan jangan
mengataiku gila. Aku masih normal dan masih sangat waras”
Diah hanya cemberut mendengar jawaban Yuni barusan. Ia
sebenarnya memang penasaran dengan misteri rumah tua yang kata orang-orang
siapapun yang masuk ke dalamnya tidak akan selamat. Tapi dia tidak ingin
mengorbankan dirinya untuk masuk ke dalam rumah tua itu, ia masih sayang dengan
nyawanya.
“Kau penakut”
“Aku bukan penakut, aku hanya tidak ingin membuang-buang
waktu membuktikan perkataan orang-orang itu”
“Kalu begitu kau memang penakut”
“Ayolah aku sama sekali tidak takut, hanya saja...”, Diah
seolah kehabisan kata-kata untuk mendebat sahabatnya.
“Hanya apa? Katakan saja kalau kau memang takut, toh tidak
ada sanksi pelanggaran kan kalau kau mengakuinya”, Yuni mencibir dengan nada
meremehkan Diah.
Diah menatap Yuni sejenak, lantas menghela nafas kasar,
“Baiklah aku tidak takut dan aku akan ikut dengan kalian. Jadi kapan kita akan
ke sana?”. Hell, sejujurnya Diah sama sekali tidak ingin ke tempat itu. Sekali
lagi, dia masih sayang nyawanya.
“Kau yakin?”, tanya gadis yang masih berkutat dengan buku
tebal ditangannya. Matanya memicing dengan ekspresi tidak percaya ke arah Diah.
“Biasanya kau tidak suka dengan hal-hal yang berbau mistis”
Diah memutar bola matanya, “Aku memang tidak menyukai hal-hal
seperti itu, tapi... Yah hitung-hitung mengisi waktu liburan kita jadi tak
masalah kalau aku mencoba sesuatu yang baru”
“Kau yakin karena ingin mencoba sesuatu yang baru? Bukan
karena kau takut dikatakan ‘penakut’? Apalagi kalau Isah tau, kau tidak mau
menurunkan harga dirimu dengan dikatai penakut kan?”, Yuni kembali tersenyum
meremehkan. Sebenarnya tidak benar-benar bermaksud meremehkan sahabatnya itu.
“Ya”, hanya jawaban singkat itu yang keluar dari mulut Diah,
lantas kemudian gadis itu berjalan menuju tangga kost untuk menuju kamarnya. “Tinggal
beritahu aku kapan kita akan ke sana, aku akan ikut dengan kalian”, sambungnya
sebelum benar-benar menaiki anak tangga.
Yuni mengagguk mengiyakan. “Bagaimana denganmu? Kau yakin?”,
tanyanya pada Rida yang masih belum mengalihkan perhatiannya dari buku tebal
bernama novel yang sejak setengah jam lalu dibacanya.
“Heum”, gumam Rida sembari memperbaiki posisi kacamatanya.
“Baiklah kalau begitu, aku akan memberitahu Isah dan Dj”. Dan
Yuni menyambar ponselnya yang ia biarkan tergeletak di dekat TV, menghubungi
dua sahabatnya yang lain untuk ikut melakukan ‘misi’ menaklukan misteri yang
sudah dipercayai masyarakat di lingkungan mereka selama bertahun-tahun.
“Halo Dj...”
-----5-----
“HOMO HOMINI LUPUS. SELAMAT DATANG DI TEMPAT KEABADIAN. PARA
PEMUJA TUHAN, PARA PEMUJA SETAN, PARA PEMUJA SURYA, KALIAN AKAN MELALUI
SELEKSI. SIAPA YANG BERHASIL, MAKA KEABADIAN AKAN MENJADI MILIKNYA ”
“Ini gila. Sudah kukatakan kalau kita lebih baik kembali saja
sebelum salah satu diantara kita terseleksi”
“Tapi kita tidak bisa kembali, portal untuk kembali ke dunia
kita sudah dialihkan dan kita tidak bisa berbalik untuk kembali”
“Bagaimana caranya kita bisa menemukan kembali portal itu
sedangkan disini kita tidak bisa melihat apapun selain kabut dan cahaya?”
“Tssk, aku menyesal sudah ikut dengan kalian ke tempat ini.
Seharusnya kemarin aku menolak pergi dengan kalian dan bersantai di kost, dan
lagi- AAAAARGH”
“ISAH!!”
Peluh mengucur di pelipis Diah kala gadis itu terbangun dari
tidurnya. Bahkan sprey tempat tidurnya sudah acak-acakan dan tidak beraturan.
Gadis itu lantas langsung bangun dan duduk sembari mengatur deru nafasnya yang
tersengal-sengal. “Ya Tuhan, mimpiku benar-benar aneh”
-----5-----
“Aku tidak menyangka kalau tempat ini lebih menyeramkan dari
yang aku bayangkan”, Isah memperhatikan struktur rumah tua di hadapnnya. Mereka
berlima, Isah, Diah, Dj, Rida dan Yuni sudah berada di luar pagar sebuah rumah
yang menurut masyarakat di sekitar rumah itu, siapapun yang memasuki rumah itu
tidak akan bisa selamat.
Well, kelima gadis ini memang penasaran dengan misteri itu.
Tapi tidakkah mereka hanya membuang-buang waktu hanya untuk membuktikannya?
Yuni yang awalnya sangat bersemangat untuk memasuki rumah
tersebut, menelan ludahnya dengan susah payah. Pasalnya aura mistis rumah
tersebut sudah terasa dari luar sini, membuat bulu kuduknya meremang. Ini
memang masih sore, pukul setengan lima. Dan masyarakat masih banyak yang
berlalu lalang melakukan aktivitas mereka di sekitar sini.
“Perasaanku tidak enak, bagaimana kalau kita kembali saja?
Kurasa lebih baik kita-“
“Kau takut huh?”, potong Diah cepat.
Yuni mengerjap-ngerjapkan matanya dan kembali menelan
salivanya dengan sedikit kesusahan. Lantas ia melirik Dj yang berdiri di
sampingnya, gadis itu sepertinya tidak takut sama sekali. Sedang Rida mulutnya
mulai komat-kamit membaca Ayat Kursi dan Surah-Surah pendek yang ia hafal. Dan
sahabatnya yang satu lagi, Isah, masih sibuk memperhatikan bangunan tua di
depan mereka, sepertinya gadis itu sudah tidak sabar untuk masuk ke dalam sana.
Yuni kembali menatap Diah, “Ak, aku, aku tidak takut”,
ucapnya susah payah.
“Tsk, ya sudah kalau begitu tunggu apalagi, ayo kita masuk”,
Diah memulai langkahnya memasuki pekarangan rumah itu.
“Tunggu Diah!”, seru Dj kala gadis itu sudah berjalan
beberapa langkah. “Bagaimana kalau kita berlima berdoa dulu supaya tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat kita berada di dalam sana”
Diah membalik langkahnya menghampiri sahabat-sahabatnya tanda
ia setuju untuk berdoa terlebih dulu sebelum memasuki rumah itu. Dan mereka pun
memulai doa bersama dengan Dj yang memimpin doa.
Usai doa bersama, Diah kembali mejadi yang pertama lebih dulu
berjalan menuju pintu utama rumah itu. Dibelakangnya Isah dan Rida berjalan
beriringan, sedang Yuni dan Dj berjalan paling akhir dengan Yuni yang
menggenggam erat tangan Dj.
“Hey, tidak usah takut. Kau kan sudah terbiasa menonton film
thriller”
“Tapi thriller dan horror itu berbeda”, Yuni memperkuat
genggaman tangannya pada tangan Dj.
Dj hanya tersenyum, lantas ia membiarkan Yuni menggenggam
erat tangannya dan merekapun mengekor ketiga sahabat mereka yang sudah berjalan
beberapa langkah di depan mereka.
Pintu rumah itu tidak terkunci sama sekali, menimbulkan
kebingungan bagi Diah ketika gadis itu dengan mudahnya membuka pintu utama
rumah tua tersebut. “Hey, pintu ini tidak terkunci”
“Kau yakin Diah? Bagaimana kalau kita kembali saja?”, tawar
Rida yang mulai merasakan sesuatu yang buruk.
“Tapi kita sudah terlanjur sampai ke sini, tenang saja, tidak
akan terjadi apa-apa”, dan Diah mulai membuka pintu tersebut lebih lebar agar
sahabat-sahabatnya bisa mengikutinya masuk ke dalam.
Dan yeah, akhirnya kelima gadis muda itu masuk ke dalam rumah
tua yang sudah tidak berpenghuni sekitar puluhan tahun itu. Rumah tua yang
menurut masyarakat angker, mistis, berhantu, menyeramkan, dan lain-lain yang
mengakibatkan tak ada seorangpun yang berani mendekati bahkan memasuki rumah
itu.
Apa yang terlintas di pikiran kalian ketika di tanya mengenai
suasana di dalam sebuah rumah tua?
Gelap, pengap, banyak debu, sarang laba-laba di sana sini,
barang-barang yang letaknya sudah tidak beraturan, dan yang pasti tempat itu
tentu saja menyeramkan. Dan itulah yang pertama kali muncul dibayangan kelima
gadis itu ketika mereka sudah benar-benar melewati pintu utama rumah berwarna
coklat kusam itu. Bahkan Yuni yang menggenggam erat tangan Dj tidak berani
membuka matanya, ia hanya berjalan mengikuti langkah Dj. Gadis itu sama sekali
tidak berani membayangkan bagaimana ia benar-benar melihat isi rumah tua itu.
Belum sempat kelima gadis itu menyesuaikan retina mata mereka
dengan suasana di dalamnya, sebuah tarikan berkekuatan tinggi menarik tubuh
mereka. Menyedot mereka hingga tubuh mereka berputar-putar di dalam sebuah
pusaran seperti sebuah tornado, dan ketika tubuh mereka masih berputar-putar di
dalam pusaran, pintu utama yang mereka lewati tadi tertutup dengan keras hingga
menimbulkan bunyi debuman yang sangat nyaring.
Kelima gadis itu bahkan tak sanggup mengeluarkan barang
sedikit suara, yang ada hanya ketakutan karena tubuh mereka semakin tertarik
dengan angin deras yang ada di sekitar mereka. Tubuh mereka seperti debu yang
berterbangan, seolah seperti kehilangan berat tubuh dan gaya gravitasi sama
sekali tidak bekerja. Dan kini mereka sendiri tidak tahu berapa lama mereka
hanya berputar-putar di dalam pusaran itu. Entah itu detik, menit, bahkan
sekian jam sudah mereka di pusaran itu.
Pusaran itu seperti sedang menarik mereka ke sebuah tempat,
atau lebih tepatnya sebuah dimensi. Dimensi lain yang berbeda dengan dunia
mereka sebelumnya.
Hingga akhirnya kelima gadis itu tidak sadarkan diri tatkala
pusaran itu berhenti berputar, dan angin deras tadi menghilang secara perlahan.
Menghempaskan tubuh mereka ke sebuah daratan tak berujung. Sebuah daratan yang
dipenuhi kabut dan terlalu terang karena diseluruh tempat itu yang terlihat
hanya cahaya.
-----5-----
“Eungh..”, rintih Dj ketika pertama kali ia membuka matanya
perlahan. Kepalanya masih terasa pusing akibat terlalu lama berada di dalam
pusaran tadi.
“Kau sudah sadar Dj?”, samar-samar Dj mendengar suara Rida
ketika ia sudah berhasil membuka matanya dengan sempurna. Matanya
mengerjap-ngerjap karena ia tidak melihat tubuh Rida dengan jelas.
“Mataku sepertinya kabur”, ucapnya pelan lalu menggosok-gosok
kedua matanya dengan kedua ibu jarinya.
Rida merangkul bahu Dj, merapatkan jarak mereka agar mereka
bisa melihat satu sama lain dengan jelas. “Matamu tidak kabur, kita memang
sekarang berada di tempat yang aku sendiri tidak tahu di mana ini. Yang jelas
terlalu banyak kabut, sehingga jarak pandang kita tidak bisa jauh”
Mata Dj melotot, gadis itu terlalu terkejut karena ia pikir
tadi sedang bermimpi. “Jadi ini... nyata?”. Samar-samar Dj bisa melihat Rida
mengangguk lemah. “Yang lain di mana?”
Rida mengangkat bahunya sembari mengedarkan pandangannya ke
segala arah. Namun ia rasa percuma karena yang bisa ia lihat hanya kabut dan
kabut.
“Sepertinya pusaran tadi membuat kita terpisah dari yang
lainnya”, lirih Dj. “Jadi sekarang bagaimana? Apa yang akan kita lakukan?”,
tanyanya lagi pada Rida yang sepertinya sedikit trauma akibat pusaran yang
membawa mereka ke tempat yang tidak masuk akal ini.
Rida hanya menarik nafas dalam kemudian gadis itu menunduk.
Dj memperhatikan gadis itu, lamat-lamat Dj mendengar isakan keluar dari mulut
Rida. “Hey, kau menangis? Hussyt, sudahlah Rida tak apa. Ada aku di sini, yang
penting sekarang kita cari yang lain dulu.. Jangan menangis ya...”, Dj memeluk
sahabatnya itu.
“Hiks, seharusnya aku tidak mengusulkan ide gila ini pada
kalian. Seharusnya, hiks, lebih baik kemarin-“
“Husyyt, sudahlah tak apa. Ini bukan salahmu. Jangan menangis
lagi, sekarang kita cari mereka bertiga ya..”, Dj bisa merasakan Rida
mengangguk di dalam pelukannya, dan ia hanya bisa menenangkan Rida dengan
mengelus-elus pelan pundak sahabatnya.
-----5-----
“Bagaimana kita bisa menemukan Dj dan Rida di tempat seperti
ini? Aku bahkan tidak bisa melihat apapun kecuali kalian berdua”
“Kau benar Isah, tapi kita tidak bisa membiarkan mereka
berdua menghilang begitu saja. Lagi pula, ini salahku. Seharusnya aku tidak
mengajak kalian kemarin”, Yuni menghela nafas panjang. Terdengar jelas sekali
kalau gadis itu sangat menyesal.
“Sudahlah tak apa. Kita pasrahkan saja semuanya pada Tuhan”,
Diah menenangkan Yuni sembari merangkul sahabatnya itu.
Mereka bertiga terus berjalan tanpa tahu kemana langkah
mereka akan membawa. Mereka berharap bisa menemukan dua orang sahabat mereka
yang lain, yang terpisah dari mereka setelah pusaran yang menyedot mereka ke
dimensi aneh ini. Ketiga gadis itu terus mempertajam penglihatan mereka karena
jarak pandang yang hanya kurang dari satu meter disebabkan tebalnya kabut dan
silaunya cahaya di tempat ini.
“Aku benar-benar tidak mengerti, sebenarnya tempat apa ini?”,
tanya Yuni pada kedua sahabatnya.
“Kau sudah mengatakan hal itu dua kali Yun, dan ini yang
ketiga kalinya”, Isah menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Yuni barusan.
Namun meskipun begitu, ia juga memikirkan hal yang sama dengan Yuni.
“Apa aku harus mengatakannya lagi untuk yang keempat kali?”
“Hey sudahlah. Dimanapun kita saat ini yang penting kita
temukan dulu Dj dan Rida..”, Diah menengahi.
Ketiga gadis itu berjalan beriringan sambil bergandengan
tangan, sambil terus menajamkan penglihatan kalau-kalau mereka bisa menemuka Dj
dan Rida. Bahkan kini mereka sudah berjalan cukup jauh dan entah sudah berapa
lama mereka berjalan tanpa tahu arah di tengah tebalnya kabut dan silaunya
cahaya yang membuat mata mereka sedikit perih.
“Kenapa sejak tadi tidak ada perubahan, hanya kabut, kabut
dan kabut. Padahal kurasa kita sudah cukup jauh berjalan”
“Kau benar Sah, menurutmu apa sejak tadi kita hanya
berputar-putar saja di tempat ini?”, Diah memperhatikan sekelilingnya.
Isah mengangkat bahunya. “Kurasa tidak, karena kita sejak
tadi berjalan lurus. Mungkin kita memang tidak berputar, tapi tempat ini memang
seperti ini, tidak berujung”
“Mungkin saja. Tapi jika memang tempat ini tidak berujung...
Aku takut kita tidak bisa menemukan Dj dan Rida”, kali ini Yuni menghentikan
langkahnya. Isah dan Diah lantas ikut menghentikan langkah mereka.
“Ada apa?”, tanya Isah yang bingung melihat Yuni yang
tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Apa kalian mendengar sesuatu?”
-----5-----
“Kalau begitu ayo kita cari yang lainnya... Kurasa mereka
sekarang juga sedang mencari kita”, Dj mengulurkan tangannya agar Rida bangkit
dari duduknya. Mereka perlahan mulai berjalan dan sesekali berteriak menyebut
nama sahabat mereka yang lain.
“Isaaah...”
“Yuni...”
“Diah...”
Sekuat apapun mereka berteriak rasanya percuma karena suara
mereka seolah tersedot dan menghilang begitu saja, tidak merambat ke udara. Dj
bahkan menghela nafas berkali-kali. Ia benar-benar takut jika teman-temannya
menghilang dan tidak bisa ditemukan. Mungkin mitos yang dipercayai masyarakat
itu benar. Siapapun yang memasuki rumah tua itu tidak ada seorangpun yang
selamat. Apa mungkin mereka akan
tersesat selamanya di tempat seperti ini? Dj membatin. Lagi-lagi ia menghela
nafas.
“Dj, kau dengar sesuatu?”. Suara Rida menyadarkan Dj dari
lamunannya.
“Huh? Suara apa?”, Dj mencoba mempertajam pendengarannya.
“Kurasa tak ada suara apapun di sini”.
Rida meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, membuat Dj terdiam
dan kembali mempertajam pendengarannya.
“HOMO HOMINI LUPUS. SELAMAT DATANG DI TEMPAT KEABADIAN. PARA
PEMUJA TUHAN, PARA PEMUJA SETAN, PARA PEMUJA SURYA, KALIAN AKAN MELALUI
SELEKSI. SIAPA YANG BERHASIL, MAKA KEABADIAN AKAN MENJADI MILIKNYA ”
Dj maupun Rida sama-sama terkejut dan mata mereka membulat
sempurna. Bahkan Rida menelengkan kepalanya ke segala arah mencari sumber
suara. Suara wanita yang terdengar cukup menyeramkan, bahkan saat suara itu
muncul telinga mereka seakan tuli mendadak.
“Su, s suara, suara apa itu tadi?”, Rida lantas menggenggam
tangan Dj masih dengan kepalanya yang ia tolehkan kesana kemari untuk mencari
sosok yang baru saja mengucapkan kalimat aneh yang baru saja mereka dengar.
Dj menggeleng lemah, bahkan gadis itu sedikit kesusahan
menelan salivanya. Ia juga makin mengeratkan genggaman tangan Rida, berusaha
meredam ketakutannya.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Aku tidak mengerti
dengan apa yang dimaksud suara tadi. Keabadian? Seleksi?”, suara Rida terdengar
sedikit bergetar. “Sebenarnya tempat apa ini?”
“Kurasa itu adalah sebuah peringatan untuk kita..”
Rida memandang heran pada Dj, “Peringatan?”
Dj mengangkat bahunya, “Aku juga tak mengerti. Mungkin tempat
ini adalah tempat bagi siapapun yang ingin mendapatkan keabadian, dan untuk
mendapatkan keabadian itu siapapun yang datang ke sini harus melewati
seleksi..”
“Apa jangan-jangan kita juga akan diseleksi begitu?”, tanya
Rida tak sabaran karena ia benar-benar tak habis pikir dengan penjelasan Dj
tadi.
“Heum, mungkin seperti itu. Tapi kuharap kita tidak mengalami
seleksi itu... Jangan lepaskan pegangan tanganmu, kita harus tetap berpegangan
seperti ini karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini”, tukas Dj
kembali mengeratkan genggaman tangan mereka.
Rida hanya mengangguk dan setelahnya mereka kembali
melanjutkan langkah mereka, meskipun mereka sendiri tidak tahu kemana arah
tujuan mereka. Tapi mereka benar-benar berharap bisa menemukan teman-teman
mereka yang lainnya.
-----5-----
“HOMO HOMINI LUPUS. SELAMAT DATANG DI TEMPAT KEABADIAN. PARA
PEMUJA TUHAN, PARA PEMUJA SETAN, PARA PEMUJA SURYA, KALIAN AKAN MELALUI SELEKSI
ALAM. SIAPA YANG BERHASIL, MAKA KEABADIAN AKAN MENJADI MILIKNYA ”
Ketiga gadis itu seakan membeku seketika mendengar suara yang
cukup mengerikan dan sedikit memekakkan telinga. Suara yang sebelumnya juga
didengar oleh kedua teman mereka yang lain. Bahkan Diah merasa aliran darahnya
terhenti seketika.
“Suara itu...”, ucap Diah tertahan. Yuni dan Isah yang mulai
tersadar dari kebekuan menatap Diah dengan pandangan ingin tahu. Diah memandang
kedua sahabatnya lekat-lekat, “Kurasa aku pernah mendengar suara itu..”
Isah mengernyit heran. “Kau pernah mendengarnya? Bagaimana
mungkin?”
“Entahlah.. aku merasa seperti de javu”
“Sebenarnya apa maksud dari suara itu? Seleksi apa
maksudnya?”, Isah menatap serius kedua sahabatnya.
Yuni mencoba berfikir dan memejamkan matanya untuk mencerna
maksud ucapan dari suara yang baru mereka dengar itu. Sedangkan Isah dan Diah
hanya saling melempar pandangan penuh tanda tanya.
“Jangan-jangan..”, Yuni perlahan membuka matanya.
“Jangan-jangan kita akan diseleksi, karena tempat ini adalah tempat
keabadian... tempat ini adalah tempat bagi mereka yang mencari keabadian, dan
siapapun yang sudah berada di tempat ini pasti melewati seleksi, siapa yang
berhasi melewatinya, maka ia akan abadi. Aku tidak begitu mengerti tapi kurasa
seperti itu maksudnya”
“Ini gila. Kalau begitu kita lebih baik kembali saja sebelum
salah satu diantara kita terseleksi”
“Tapi kita tidak bisa kembali Isah, portal untuk kembali ke
dunia kita sudah dialihkan dan kita tidak bisa berbalik untuk kembali”, jawab
Diah sembari menghembuskan nafas kasar.
Yuni mengedarkan pandangannya ke segala arah, “Bagaimana
caranya kita bisa menemukan kembali portal itu sedangkan disini kita tidak bisa
melihat apapun selain kabut dan cahaya?”
Isah mendengus sebal, “Tssk, aku menyesal sudah ikut dengan
kalian ke tempat ini. Seharusnya kemarin aku menolak pergi dengan kalian dan
bersantai di kost, dan lagi- AAAAAAAARGH”
“ISAH!!”, Diah dan Yuni tak bisa menahan teriakan mereka kala
Isah tiba-tiba tersedot oleh kabut yang sangat tebal. Bahkan kabut itu berwarna
kelabu yang cukup pekat.
Diah kembali membeku, pasokan oksigen di paru-parunya
mendadak kosong dengan pikirannya yang juga kosong. Jantungnnya mulai bekerja
tidak normal. Bayangan mimpinya semalam berputar seperti film di memorinya, ia
ingat pernah melihat kejadian ini sebelumnya di mimpinya. Ia kembali merasakan
de javu. Seharusnya ia tidak mengabaikan mimpinya semalam, mungkin mimpi itu
sebuah peringatan untuknya dan teman-temannya agar tidak memasuki rumah tua
itu.
“Ini hanya mimpi kan?”, ucapnya retoris dengan nafasnya yang
memburu. Sudut matanya mulai menitikkan air mata.
Sedang gadis satunya lagi terduduk lemah sambil memeluk kedua
lututnya dan menenggalamkan kepalanya dikedua lututnya. Bahkan rasanya untuk
berdiri ia tak sanggup lagi, ia terlalu terkejut melihat sahabatnya sendiri
menghilang oleh kabut pekat tadi.
Diah menghapus kasar air matanya, lantas mencoba memeluk
sahabatnya yang mulai terisak. “Yuni tenanglah jangan menangis... Jangan takut,
kita akan mencoba mencari Isah... Dan, kuharap kita juga bisa menemukan Dj dan
Rida”
“Apa Isah sudah terseleksi?”, lirih Yuni di sela isakannya.
“Bodoh... Apa yang kau katakan! Isah tidak terseleksi...
Lagipula kita di tempat ini bukan untuk mencari keabadian atau apapun itu. Ia
tidak terseleksi, tidak... Itu tidak mungkin”, Diah juga mencoga mensugesti
dirinya sendiri bahwa yang ia lihat hanyalah Isah yang menghilang tersedot
kabut pekat dan mungkin gadis itu hanya terbawa ke tempat lain sama seperti
Rida dan Dj. Ia juga takut jika memang Isah terseleksi.
“Bagaimana kalau memang ternyata kita juga diseleksi? Hiks,
aku takut... Apa yang harus kita lakukan?”, Yuni tak kuasa menahan air matanya.
“Aku juga tak tahu apa yang harus kita lakukan... Tapi kurasa
lebih baik sekarang kita coba pergi dari tempat ini. Meskipun kita tidak tahu
akan kemana, tapi setidaknya kita tidak hanya berdiam diri di sini”, Diah
mencoba bangkit sambil merangkul Yuni yang masih terisak.
“Jangan menangis lagi yaa..”, Diah menghapus air mata di
wajah Yuni sambil mencoba tersenyum menguatkan sahabatnya itu sekaligus
meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Yuni mengangguk lemah dan memaksakan sebuah senyum. Hingga
kedua gadis itu kembali melanjutkan langkah mereka di tempat yang hanya
terlihat kabut seluruhnya. Sambil sesekali meneriakkan nama sahabat mereka yang
lainnya.
-----5-----
“Sebenarnya sudah seberapa jauh kita berjalan?”, ucap Dj
pelan.
“Aku juga tidak tahu, tapi yang pasti kita sudah berjalan
cukup jauh. Bahkan tidak bisa dikatakan cukup jauh lagi, tapi sangat jauh”
“Apa tempat ini memang tidak berujung? Aku bosan karena yang
kita lihat dari tadi tadi hanya kabut”, Dj berdecak sebal.
Rida hanya menggelengkan kepalanya. Sebenarnya ia juga cukup
lelah karena sejak tadi mereka berjalan tak ada perubahan sedikitpun, hanya
kabut yang tak berujung yang mereka lihat.
“Bisakah kita beristirahat sebentar?”, Dj melepaskan
genggaman tangan mereka dan ia langsung duduk sambil menselonjorkan kakinya.
“Ah, aku benar-benar lelah...”
Rida hanya mengikuti Dj duduk, namun gadis itu lebih memilih
duduk dengan menekuk kedua lututnya. “Jadi bagaimana sekarang? Kurasa tak ada
gunanya kita berjalan... karena kurasa tempat ini memang tak berujung”
“Aku juga tidak bisa berfikir sekarang... Tssk, perutku
bahkan sekarang sudah berdemo minta diisi”
Rida hanya terkekeh pelan karena sejak tadi Dj tak
henti-hentinya mengomel. “Kau makan saja kabut ini”, canda Rida.
Dj hanya mendengus –pura-pura-sebal- pada sahabatnya itu.
“Ckk, apa maksudnya seleksi? Buktinya tidak terjadi sesuatu pada kita kan? Ah,
kurasa suara itu hanya menakut-nakuti kita..”
Rida hanya mengangkat bahunya. Ia sendiri masih belum
mengerti dengan maksud suara yang mereka dengar beberapa waktu yang lalu.
“Ah, seharusnya kan kita tidak usah melakukan hal-hal bodoh
ini, jadi kita tidak perl- AAAAAAARRGGGH”
“DJ!!!!!”, Rida ferleks berusaha menarik tangan Dj yang
tiba-tiba tersedot kabut berwarna kelabu yang cukup pekat. Kabut itu berusaha
menyedot tubuh Dj. Tangan Dj terulur meminta Rida menariknya, namun usaha
mereka tak berhasil. Tenaga Rida tak cukup untuk menarik Dj karena kabut yang
menyedot tubuh Dj terlalu kuat. Hingga tubuh Dj menghilang dalam kabut itu dan
menyisakan Rida seorang diri.
“Dj!!!”, Rida mengedarkan pandangannya ke segala arah
berharap menemukan sosok Dj. Ia berusaha mempertajam penglihatannya demi
mencari sahabatnya itu. Bahkan tanpa sadar ia sudah melangkahkan kakinya entah
kemana sambil berteriak memanggil nama sahabatnya itu. “Dj....! Dj...!!”
Gadis itu sudah tak bisa menahan suaranya yang mulai begetar,
bahkan air matanya sudah mulai mengalir di pipinya. “Dj... hiks, Dj!!!”
“Dj kau dimana?”, ucapnya sekuat tenaga.
Ia masih terus melangkahkan kakinya dengan tenaganya yang
tersisa. “Dj...!!!”
-----5-----
Yuni dan Diah berjalan seperti orang linglung. Bahkan tak ada
seorangpun di antara mereka berdua yang membuka suara sejak Isah menghilang
ditelan kabut pekat tadi. Pikiran mereka terlalu kalut untuk berpikir.
“Apa kita akan berakhir di tempat tak masuk akal ini?”,
akhirnya Yuni yang pertama mengeluarkan suara selama beberapa waktu kesunyian
menyelimuti mereka berdua.
Terlihat Diah hanya menghela nafas. Cukup berat bagi gadis
itu untuk mengeluarkan suaranya. Ia juga masih belum bisa menghentikan
keterkejutannya dengan apa yang menimpa salah satu sahabat mereka.
“Ayolah Diah, katakan sesuatu...”, Yuni mulai jengah karena
sejak tadi yang ia dengar hanya Diah yang berkali-kali menarika nafas dalam
seolah ada beban yang menghimpit dadanya. Hey, ia juga lelah. Ia juga ingin
sekali menemukan teman-teman yang lain lalu kembali pulang.
“Diah..”
Diah menghentikan langkahnya. “Aku juga tak tahu Yun... Aku
juga tidak ingin berakhir di tempat ini”
Yuni hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Diah. Namun
seketika matanya menyipit sambil mempertajam pendengarannya.
“Kau kenapa?”, tanya Diah bingung.
Tak ada jawaban dari Yuni.
Ia lantas mengikuti Yuni untuk mempertajam pendengarannya.
Samar-samar ia mendengar suara yang tidak asing lagi baginya.
“Dj!”
Begitulah suara yang mereka dengar. Yuni dan Diah saling
bertatapan heran, hingga akhirnya mereka berteriak memanggil pemilik suara itu.
“Ridaaa...!”
Mereka berdua melangkankah kaki menuju sumber suara. Mereka
masih belum menemukan dengan jelas sosok pemilik suara yang mereka yakini
adalah suara Rida.
“Ridaaaa...!”, teriak mereka kembali bersamaan berharap Rida
bisa mendengar suara mereka.
“Ridaaa...”, mereka masih belum menyerah karena suara itu
semakin terdengar jelas.
“Diaaah... Yuni... Isah!!”
Dan seperti sebuah pertemuan mengharukan, ketiga orang itu
bertemu kala jarak mereka sangat dekat. Jarak pandang yang hanya kurang dari
satu meter membuat mereka cukup kesulitan melihat. Namun sepertinya retina
mereka sudah mulai beradaptasi dengan kondisi di sekitar mereka. Hingga tak
perlu repot-repot menunggu Rida berada satu meter dari mereka, mereka sudah
bisa melihat sosok Rida meskipun samar-samar dalam jarak sekitar lebih dari dua
meter.
Yeah, ketiga orang itu berpelukan disertai dengan isakan
namun bercampur kebahagiaan.
“Aku pikir aku takkan bisa bertemu dengan kalian lagi”, ucap
Rida usai mereka melepaskan pelukan mengharukan tadi.
“Kami juga takut tidak bisa menemukanmu...”, jawab Yuni
dengan bibirnya yang membentuk senyuman. Namun masih terselip ketakutan di hati
gadis itu.
“Dimana Dj? Apa kau tidak bersamanya setelah pusaran angin
sebelumnya?”, Diah menatap bingung Rida. Ia berharap Dj juga bersama Rida jadi
mereka hanya tinggal mencari Isah.
Ekspressi Rida seketika berubah. Terdengar jelas gadis itu
menghela nafas berat, lantas ia menatap nanar kedua sahabat yang ada di
depannya.
“Dj menghilang... Awalnya ia bersamaku, namun sesuatu terjadi
dan dia-“
“Apa Dj menghilang dalam kabut berwarna kelabu pekat?”,
potong Diah cepat.
Rida mengerjap-ngerjapkan matanya. “Ba, bagaimana kau tahu?”
Diah membuang tatapannya ke arah lain. “Isah juga mengalami
hal yang sama”
“Huh? Mak, maksud.. maksudmu Isah dan Dj ... terseleksi
begitu?”, Rida menatap heran Diah berusaha mencari jawaban dari mulut Diah.
“Mungkin”, jawaban singkat itu keluar dari mulut Yuni.
“Tapi... Bagaimana awalnya sebelum Dj menghilang dalam kabut
pekat itu?”, tanya Diah sambil mengajak kedua sahabatnya untuk duduk melingkar
agar mereka bertiga bisa berhadap-hadapan dan melihat dengan jelas satu sama
lain.
“Awalnya aku dan Dj beristirahat karena kami terlalu lelah
berjalan, namun sebelum Dj menghilang ia sempat bergumam kalau seharusnya kita
tidak perlu melakukan tindakan bodoh ini dan... akhirnya ia menghilang dalam
kabut pekat itu”, lirih Rida.
Diah sontak membulatkan kedua matanya tanda ia terkejut
dengan apa yang baru saja ia dengar dari Rida.
“Kau kenapa?”, tanya Yuni yang bingung melihat perubahan air
muka Diah.
“Yun, kau ingatkan sebelum Isah menghilang ia juga sempat
bergumam kalau ia menyesal ikut dengan kita ke tempat ini?”. Yang ditanya hanya
mengangguk sambil menunjukkan ekspressi herannya.
“Bukankah sebelum Isah menghilang dan dibawa kabut pekat itu
ia juga sempat mengeluh karena berada di tempat ini?,” Diah menatap serius pada
kedua temannya yang saling melempar pandang masing-masing.
Rida mengerutkan dahinya, nampak ia mencoba berpikir dan
mencerna maksud kalimat yang baru saja Diah ucapkan. “Jadi maksudmu, kita tak
boleh mengeluh di tempat ini begitu?”
Diah mengangguk ragu. Jujur saja ini hanya anggapannya karena
toh kedua temannya yang menghilang itu memang sebelumnya melakukan hal serupa.
“Lalu bagaimana caranya kita bisa menemukan mereka berdua?
Aku takut tak bisa menemukan mereka, bagaimana jika mereka disiksa di suatu
tempat? Atau lebih parahnya bagaimana jika mereka dibun-”
“Hey, hentikan pikiran burukmu. Kita berdo’a saja semoga Isah
dan Dj baik-baik saja oke,” Diah menyela dengan cepat sebelum Yuni
menyelesaikan kalimatnya.
Yuni menghela nafas. Ia benar-benar merasa menjadi teman yang
buruk. Ia yang mengusulkan ide ini, yah meskipun sebenarnya Rida-lah yang
mencetuskan ide gila ini pada awalnya. Tapi ia tak bisa menyalahkan sahabatnya
itu karena ia sendiri yang setuju dan memaksa teman-teman yang lain untuk ikut.
“Teman-teman, bagaimana kalau kita beristirahat dulu? Jujur
saja aku sangat lelah. Aku tak tahu sudah berapa lama kita di tempat ini.
Mungkin sekarang sudah larut malam, dan bagaimana jika kita tidur dulu untuk
memulihkan tenaga kita?,” tawar Rida pada Diah dan Yuni yang tampak sibuk
dengan pikiran mereka masing-masing.
“Hmm, baiklah kurasa tak ada salahnya jika kita tidur dulu
sebentar. Lagi pula aku mulai merasa lapar dan tak ada apa-apa yang bisa kita
makan di sini,” Yuni mulai berbaring diikuti kedua teman-temannya.
Ketiga sahabat itu mulai memejamkan mata mereka, membiarkan
kesunyian di tengah kabut menjadi penghantar menuju alam mimpi. Dan kalau boleh
berharap, semoga saja setelah mereka bangun kabut-kabut ini menghilang
digantikan dengan suasana di dalam kost mereka. Dan itu artinya, mereka
berharap ini semua hanya mimpi. Mimpi aneh yang bahkan tak pernah mereka
inginkan.
-----5-----
“Eungh,” Yuni melenguh pelan ketika bias cahanya menerpa
retinanya saat ia perlahan membuka mata. Gadis itu mengerjap membiasakan bias
itu menembus netranya sambil mengumpulkan sepenuhnya kesadarannya. Saat matanya
mulai beradaptasi dengan cahaya yang ada, seketika ia melototkan matanya lantas
pandangannya menuju ke segala arah melihat keadaan sekelilingnya.
Dengan cepat Yuni membangunkan kedua sahabatnya yang masih
tertidur pulas. Kelihatan sekali kalau kedua gadis itu sangat lelah. “Diah,
bangun” Yuni menyentuh pelan lengan Diah agar gadis itu tidak tekejut. “Rida,
bangun Da...”, Yuni juga turut membangunkan Rida yang tertidur di sisi
kanannya. Tanpa menunggu waktu lama, kedua sahabatnya itu terbangun dengan
kondisi setengah sadar.
“Hey, kita di mana ini??!,” Diah membelalak lantas bangun
dari posisinya dengan cepat dan ia langsung menelengkan kepalanya ke segala
arah. Begitupun dengan Rida yang sudah berhasil mengumpulkan kesadarannya.
“Tempat apa ini?,” Rida langsung bangkit berdiri. Ia
mengedarkan pandangannya menatap hamparan tanah coklat nan gersang di segala
arah. Tak ada satu tumbuhanpun yang bisa ia lihat. Hanya tanah tandus yang
terlampau kering hingga banyak struktur tanah yang pecah. Bahkan mereka sampai
menutup hidung karena debu yang berterbangan terus menerus.
Yuni mempertajam penglihatannya. Berharap bisa menemukan
sumber air di tempat aneh ini karena tenggorokannya sudah terlampau kering.
“Kemana perginya kabut-kabut sebelumnya? Kenapa kita bisa
tiba-tiba berada di tempat ini?,” Rida menatap bingung kedua sahabatnya.
Yuni hanya bisa diam karena ia sendiri tak mengerti kenapa
mereka di sini.
“Apa saat kita tertidur tadi kita dibawa ke dimensi lain
lagi?,” sambung Rida karena ia jelas sangat penasaran dengan berbagai keanehan
yang mereka alami sejak pertama kali memasuki rumah tua itu.
“Oh shit.. Apa kita
akan mati konyol karena kehausan? Lihatlah, sejauh mata memandang yang kita
lihat hanya tanah tandus. Bahkan hewan seperti semut pun tak ada di sini. Lalu,
setelah tanah tandus, kita akan dibawa ke mana lagi.. apa nanti-
Aaaaaaaaarggggh!!!!!!”
“Diaaah!!,” Yuni dan Rida membelalak tak percaya karena
pusaran debu tiba-tiba melingkupi tubuh Diah dan membawa sahabat mereka itu
menghilang bersamanya. Keduanya refleks menutup mata mereka dengan menangkupkan
kedua telapak tangan mereka pada wajah karena debu –debu itu mampu membuat mata
mereka perih.
Hal ini bahkan lebih buruk dibandingkan dengan dua kejadian
sebelumnya. Jika Isah dan Dj menghilang ditelan kabut pekat di tempat penuh
kabut, sekarang Diah menghilang dalam pusaran debu yang membuat mata perih di
tempat tandus ini.
Rida seketika terduduk lemas. Kedua kakinya bahkan rasanya
tak mampu menopang berat tubuhnya. Kejadian ini terlalu tiba-tiba. Tidak, ini
tidak benar. Jadi sekarang yang ada hanya ia dan Yuni begitu?
“Hiks, Yuni bagaimana ini? Aku takut. Kita bahkan belum bisa
menemukan Isah dan Dj, tapi sekarang Diah sudah menghilang. Lalu apa yang harus
kita lakukan?” Rida tak bisa lagi membendung tangisannya setelah Yuni mendekap
sahabatnya itu dalam pelukannya.
Yuni tak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya terus
mendekap Rida untuk menenangkannya. Ia juga takut. Ia juga lelah, teramat lelah
malah. Kalau harus memilih, ia lebih memilih menggantikan posisi
sahabat-sahabat mereka yang menghilang itu karena mereka semua tak bersalah.
Seharusnya ia yang dihisap kabut pekat atau pusaran debu itu bukan Dj, Isah,
ataupun Diah. Ia yang mengajak teman-teman mereka itu untuk ikut dengannya.
“Yuni, aku sudah tidak kuat lagi”
“Aku juga Rida. Tapi... Bisakah kau berhenti menangis?
Kumohon. Kita harus berpikir tenang, siapa tahu ada cara untuk mencari
teman-teman kita dan kembali ke dunia kita,” Yuni menatap Rida, berusaha
meyakinkan sahabatnya yang tersisa itu bahwa semua pasti akan baik-baik saja.
Rida dengan susah payah menghentikan tangisannya. Ia juga
tidak ingin menangis. Tapi ia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ini semua
karena usulannya yang membuat sahabat-sahabatnya yang tak bersalah harus
menghilang. “Ini salahku Yun-”
“Huussyt, hentikan. Hanya kita berdua yang tersisa di sini
dan kita tidak boleh mengeluh agar kita tak ikut dihisap pusaran itu. Kita
harus bertahan untuk menemukan mereka bertiga. Dan kau jangan menyalahkan
dirimu sendiri, oke. Ini semua bukan salahmu,” Yuni mengucapkannya dengan
pelan. Entah kenapa tiba-tiba ia juga ingin menangis sekarang.
Rida mengangguk pelan masih dengan sesenggukan karena
tangisannya yang ia paksa berhenti. “Lalu, haruskah kita menyusuri tempat ini?”
Rida menatap tak yakin pada Yuni.
Yuni menghela nafas sejenak, lantas matanya menilik ke segala
arah. “Hmm, kurasa tak ada pilihan lain. Kita tak bisa hanya berdiam diri di
sini. Mungkin di perjalanan kita bisa menemukan teman-teman yang lain”
“Baiklah,” Rida bangkit diikuti Yuni. Lantas keduanya
menyusuri pelan tanah tandus yang tak berujung.
-----5-----
“Apa menurutmu kita sanggup bertahan di tempat ini?,” Yuni
terus memaksakan langkahnya dengan menggenggam tangan Rida. Ia dan Rida tak
tahu sudah berapa lama mereka terus berjalan tanpa tahu ke mana bahkan tak tahu
apakah tanah tandus ini akan berakhir.
Rida hanya menghela nafasnya. Sejak pertama mereka berjalan
tadi Rida terus menerus menghela nafas panjang, seolah dadanya dihimpit
bongkahan es dari Antartika. “Aku tak tahu Yun. Aku bahkan terus menerus
berhalusinasi melihat oase tak jauh dari sini. Kurasa kita bisa mati kehausan,
kita perlu air setidaknya hanya satu atau dua teguk”
Memang bukan hal yang aneh lagi jika melihat fatamorgana di
hamparan tanah tandus. Kedua gadis itu hanya bisa menelan salivanya karena
fatamorgana tetaplah fatamorgana. Bukan oase sungguhan yang mengalir di
dalamnya air jernih serta burung-burung berkicau di sekitarannya, pun dengan
tumbuhan hijau yang menyejukkan mata.
“Kurasa malaikat maut sedang membuntuti kita Yun,” Rida
terkekeh pelan.
Yuni pun tersenyum tipis, “Kau masih sempat bergurau di saat
seperti ini?”
“Aku hanya lelah sejak tadi terlalu tegang. Tapi, hey sungguh
aku ingin mati sekarang saja rasanya karena aku tak kuat lagi dengan penderitaan
ini. Sampai kapan kita akan terus tersiksa seperti ini- Oups,” Rida seketika
membekap mulutnya sendiri karena tak sadar mengucapkan kalimat yang
membahayakan nyawanya.
Yuni juga menatap terkejut dengan apa yang baru saja Rida
katakan. Dan yah, tentu saja seketika pusaran debu hitam langsung melingkupi
tubuh Rida membuat pegangan tangannya pada Yuni semakin kuat. Yuni dengan susah
payah berusaha menarik Rida agar sahabatnya itu tak ikut masuk ke dalam pusaran
debu yang sangat kuat bahkan udara di sekitarnya berhembus kuat.
“Ridaaa! Ridaaaa!!,” Yuni masih terus mengerahkan tenanganya
untuk menyelamatkan Rida. Ia tak mau semuanya berakhir di sini.
“Aaaaaaaakkkh,” Rida akhirnya masuk ke dalam pusaran debu dan
turut menghilang di dalamnya karena tenaga Yuni tak cukup kuat untuk menarik
tubuh Rida.
Tubuh Yuni terkulai lemas. Ia tak tahu harus bagaimana lagi
sekarang. Gadis itu hanya bisa menangis melihat Rida yang pada akhirnya juga
turut menghilang. Ia tak tahu lagi apakah nanti ia juga akan terseleksi. Jadi,
beginikah akhir dari hidupnya dan sahabat-sahabatnya?
Angin besar seketika berhembus membuat Yuni bangkit berdiri
dan berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya karena angin itu teramat
kencang melingkupi tubuhnya. Yuni bahkan tak bisa melihat dengan jelas karena
matanya terlampau perih akibat angin yang terus-terus menerjangnya.
Cukup lama angin besar itu menerjangnya hingga perlahan angin
itu berhenti dan membuat Yuni setidaknya bisa bernafas lega, setidaknya lega
untuk beberapa milidetik karena jantungnya hampir mencelos seketika karena yang
pertama kali ditangkap oleh retina matanya bukan lagi tanah tandus tak
berujung, melainkan...
“Hutan?,” pertanyaan retoris Yuni pada dirinya sendiri.
Yuni menganga tidak percaya melihat bagaimana situasi di
sekitarnya. Tidak, ini bukan hutan belantara di mana banyak pepohonan besar di
dalamnya serta semak belukar di sela-sela pohon ataupun kubangan lumpur di
tengah hutan ditambah hewan-hewan liar yang menambah semarak vegetasi hutan.
Tapi, ini hutan dengan tumbuhan yang tak masuk akal.
Tunggu, Yuni saat ini tidak sedang berada di dalam film Alice and Wonderland kan? Bunga mawar
yang berwarna warni, jamur dengan motif yang sangat cantik, kumpulan kelinci
bertopi, harimau yang berdiri dengan gagah di dekat pohon akasia, kucing
terbang, pohon stawberry setinggi pohon apel. Benar-benar tak masuk akal.
Yuni bahkan harus menahan air liurnya melihat bagaimana
sekawanan tupai memetik buah ungu dan memakannya yang Yuni sendiri tak tahu apa
nama buah itu. Yang pasti buah itu berair dan mungkin sangat manis.
“Ikuti aku,” suara bass seorang pria menyadarkan Yuni dari
lamunannya.
“Kau.. Siapa?” Yuni memberanikan diri bertanya pada orang itu
yang mengenakan jubah putih. Tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran seorang pria.
Pria itu tak menjawabnya sama sekali melainkan membiarkan
Yuni menelan rasa penasarannya karena ia hanya berbalik memberi isyarat agar
Yuni mengikutinya. Tanpa ba-bi-bu Yuni langsung mengikuti pria itu. Yuni
berharap orang itu membawanya pada teman-temannya. Ia hanya ingin semua ini
segera berakhir.
Pria itu melewati tanaman merambat yang membentuk tirai
setalah sebelumnya ia berbalik menatap Yuni, memastikan gadis itu mengikutinya.
Setelah pria itu melewati tanaman berambat, Yuni menghentikan langkahnya. Ia
cukup ragu apakah harus mengikuti pria itu atau tidak. Tapi, jika ia tetap
berada di hutan ini tentu ia tak tahu harus melakukan apa. Dengan langkah ragu
Yuni akhirnya memutuskan melewati tanaman merambat itu.
-----5-----
Tungkainya terus bergerak tak tahu kemana langkahnya akan
berhenti. Pria berjubah putih tadi menghilang setelah ia berhasil melalui
tanaman merambat tadi. Pemandangan yang ia lihat pun berubah, tak lagi berupa
hutan aneh seperti dalam sebuah film fantasi yang pernah ia tonton. Melainkan
air terjun yang sangat besar di sisi kanannya, sedang di sisi kirinya adalah
kobaran api yang besar bahkan tubuhnya terasa terbakar meskipun jarak tubuhnya
dengan kobaran api itu lebih dari sepuluh meter.
Yuni hanya mampu mengikuti arah jalan setapak yang ia pijak.
Ia tak mampu berekspektasi lebih terhadap tempat yang akan menjadi destinasi
dari ujung jalan ini. Setiap langkah yang ia rajut seolah membuatnya merasa
berada di tempat yang semakin tinggi padahal jalanan itu tidak berupa tanjakan
apalagi berupa anak tangga.
Langkahnya kembali berhenti setelah cahaya keemasan menuntut
matanya untuk terpejam karena silaunya yang menohok retina. Cahaya emas itu
semakin pekat ketika sebuah suara yang membuat seluruh persendian Yuni terasa
ngilu menyambutnya tepat di hadapan Yuni.
“HOMO HOMINI LUPUS. SELAMAT DATANG DI TEMPAT KEABADIAN. PARA
PEMUJA TUHAN, PARA PEMUJA SETAN, PARA PEMUJA SURYA, KALIAN AKAN MELALUI
SELEKSI. SIAPA YANG BERHASIL, MAKA KEABADIAN AKAN MENJADI MILIKNYA ”
Tunggu, Yuni rasanya pernah mendengar suara ini sebelumnya.
Suara ini ia dengar ketika ia berada di tempat penuh kabut bersama Diah dan
Isah. Dan, kenapa ia mendengar suara ini lagi?
“WAHAI PEMENANG. SEGALA KEANGKUHAN MENYINGSING, MENGHILANG
KALA POSISINYA TAK BISA ABADI ADANYA. CAHAYA TAK LAGI BERPENCAR MANA KALA KELAM
MEMUNCAK, MENYISAKAN SEONGGOK JIWA YANG KEPERCAYAANNYA NYARIS TERLUCUTI, NYARIS
TAK BERBEKAS”
Yuni mengerjapkan matanya. Ia sama sekali tak mengerti apa
maksud suara itu. Pemenang? Apa itu artinya ia-
“Selamat datang di Keabadian, Pemenang,” kini pria berjubah
yang tadi membawa Yuni kembali menampakkan sosoknya, berdiri tenang membawa
tongkat hitam panjang. Suasana tempat Yuni berpijak pun kini berganti lagi
dengan cahaya dan kabut, persis seperti pertama kali ia dan teman-temannya
terdampar di dimensi tak masuk akal. Namun bedanya di tempat ini ia bisa
melihat dengan jelas objek yang berada di sekitarnya, yaitu pria berjubah putih
itu.
“Tu, tunggu.. Tunggu. Apa maksudnya, Pemenang?,” tungkai Yuni
membawa tubuhnya mundur sekian langkah menjauh dari sang pria berjubah putih.
“Dan, kau, kau s s si siapa?”
Pria berjubah putih menarik kedua sudut bibirnya, membuat
Yuni menatap waspada ke arahnya. “Darwin. Aku pemilik tempat keabadian ini.
Suara yang kau dengar pertama kali adalah suara peri penjaga Keabadian.
Selamat, Pemenang”
“Ta tapi, tapi ak ku, sama sekali tak berniat mengikuti
kompetisi gila ini. Dan, aku.. aku bukan pemenang!,” Yuni berusaha mengeluarkan
suaranya. Ia benar-benar ketakutan saat ini.
Pria berjubah itu hanya menatap Yuni dari ujung kepala hingga
ujung kaki. Lantas senyumnya berubah membentuk seringaian yang mengerikan. Yuni
bersumpah ia bisa melihat dengan jelas mata pria itu yang awalnya biru berubah
menjadi merah.
Tungkai Yuni semakin membawa langkahnya untuk mundur teratur.
Sedang si pria berjubah bernama Darwin terus menatapnya tanpa menghilangkan
seringaiannya.
“Kau Pemenang. Kau mengalahkan teman-temanmu karena
keangkuhan mereka. Kau mengalahkan teman-temanmu karena ke-egoisan mereka. Kau
mengalahkan teman-temanmu karena kesombongan mereka. Kau mengalahkan
teman-temanmu karena keserakahan mereka,” Darwin masih berdiri dengan tenang
membiarkan Yuni yang berdiri ketakutan dan terus berusaha menjauh.
“Ta, tapi.. Tapi aku tak pernah bermaksud ingin mengalahkan
teman-temanku! Kami datang ke tempat ini bersama-sama, dan... Me, me re mereka
tak egois!! Mereka teman-temanku! Dan, dan.. aku bukan pemenang...!”
Seringaian Darwin tak kunjung memudar. Pria itu menilik tajam
ke arah Yuni lantas jemari tangan kanannya yang terbebas dari tongkat ia
jentikkan dan seketika suasana di sekitar mereka kembali berubah. Bukan lagi
tempat yang dipenuhi kabut dan cahaya, melainkan tempat yang gelap bahkan
terlalu gelap di seluruh bagiannya.
Yuni berusaha memfokuskan retinanya karena ia tak bisa
melihat satu objek-pun karena segalanya hanya hitam.
“Perhatikanlah dengan baik,” Yuni hanya mendengar suara
Darwin tanpa bisa melihat apapun. Jujur saja rasanya ia ingin mati saat ini
juga. Ia terlalu takut dengan kegelapan yang sangat pekat seperti ini. Lantas
sebelum ia benar-benar dikuasi oleh ketakutannya yang hampir memuncak, gambaran
yang membuatnya seketika menitikkan air matanya terpampang terlampau jelas di
depannya. Tidak, ia tak pernah menginginkan hal ini terjadi. Ia tak pernah
menginginkan keabadian itu. Ia bahkan tak tahu, apa itu keabadian.
Di hadapannya kini terpampang gambaran bagaimana Isah yang
hampir di sekujur tubuhnya terikat oleh tali berduri di sebuah tempat yang
hanya dipenuhi cahaya merah, mata gadis itu terpejam namun kulit wajahnya
terlihat pucat seperti mayat. Yuni seketika membekap mulutnya dengan telapak
tangannya, tangisnya hampir pecah ketika gambaran itu berputar seperti film,
menampakkan detik-detik sebelum Isah terseleksi.
“Tssk, aku menyesal sudah ikut dengan kalian ke tempat ini.
Seharusnya kemarin aku menolak pergi dengan kalian dan bersantai di kost, dan
lagi- AAAAAAAARGH”
Tubuh Yuni bergetar sekian puluh sekon melihat bagaimana
sahabatnya itu ditarik dalam kabut pekat. Ia yakin sahabatnya itu pasti
merasakan kesakitan luar biasa.
“Ia terseleksi karena ke-egoisannya,” Yuni kembali mendengar
suara Darwin yang entah dari mana datangnya.
Kini belum sempat Yuni mengatur nafasnya melihat kondisi Isah
yang begitu menyesakkan hatinya, gambaran itu berubah menampakkan tubuh Dj yang
diikat pada sebuah tiang yang bisa memercikkan api. Netra Yuni terlampau jelas
melihat bagaimana api itu berkali-kali memercik dan mengenai tubuh Dj. Yuni tak
tahu apakah Dj dalam keadaan sadar atau tidak karena yang ia lihat kelopak
gadis itu menutup rapat dengan kondisi tubuh yang tak jauh berbeda dari Isah.
Pucat seperti mayat.
“Ah, seharusnya kan kita tidak usah melakukan hal-hal bodoh
ini, jadi kita tidak perl- AAAAAAARRGGGH”
“Ia terseleksi karena ke-angkuhannya,” lagi, suara Darwin
yang menggema menyapa pendengaran Yuni.
Mata Yuni sudah sembab. Air matanya terus menerus memenuhi
wajahnya tanpa bisa ia bendung. Ini semua tak benar baginya. Kenapa harus
teman-temannya yang mengalami hal itu?
Sama seperti sebelumnya, kini gambar itu kembali berubah
menampakkan tubuh Diah yang kedua kakinya diikat dengan tali tambang hitam
serta kedua tangannya yang terikat pada sebuah tiang hingga tubuh gadis itu
menggelantung. Kelopak matanyapun tampak tertutup rapat serta wajah pucat yang
tak jauh berbeda dari kedua sahabatnya sebelumnya.
“Oh shit.. Apa kita akan mati konyol karena kehausan?
Lihatlah, sejauh mata memandang yang kita lihat hanya tanah tandus. Bahkan
hewan seperti semut pun tak ada di sini. Lalu, setelah tanah tandus, kita akan
dibawa ke mana lagi.. apa nanti- Aaaaaaaaarggggh!!!!!!”
“Ia terseleksi karena kesombongannya”
Yuni bersumpah lebih baik ia sendiri yang menggantikan posisi
teman-temannya itu dari pada ia melihat dengan retinanya bagaimana sahabat-sahabatnya
tersiksa atas kesalahan yang tidak mereka perbuat.
Tubuh Yuni terkulai lemas. Kedua kakinya tak mampu lagi
menahan berat badannya hingga gadis itu terduduk dengan bertumpu pada kedua
lututnya. Ia sudah meraung kuat, ia tak sanggup lagi melihat sahabat-sahabatnya
yang tersiksa. Ia ingin kembali ke dunia nyata. Ia ingin menghabiskan waktu
bersama sahabat-sahabatnya. Dan, ia berharap ini semua hanya mimpi buruknya.
Gambaran di hadapannya kembali berubah. Tanpa Yuni harus
menebak ia sudah pasti tahu giliran Rida sebagai orang terakhir yang
terseleksi. Yuni menatap nanar Rida di dalam gambaran itu yang seluruh tubuhnya
dililit tali berduri, hampir sama dengan Isah hanya saja darah terus mengucur
dari bagian tubuh Rida yang bersentuhan dengan duri itu. Matanya pun terpejam
namun kondisi tubuhnya lebih parah dibandingan ketika sahabatnya yang lain.
“Aku hanya lelah sejak tadi terlalu tegang. Tapi, hey sungguh
aku ingin mati sekarang saja rasanya karena aku tak kuat lagi dengan
penderitaan ini. Sampai kapan kita akan terus tersiksa seperti ini- Oups,”
“Ia teseleksi karena keserakahannya”
Yuni kembali meraung. Tak tahu lagi apa yang harus ia
lakukan. Yuni ingin pulang, ia ingin kembali ke duninya bersama
sahabat-sahabatnya. “Kembalikan mereka, hiks... Mereka tak bersalah... Aku yang
mengajak mereka ke tempat ini, kumohon, hiks..”
Tubuh Yuni masih tak sanggup untuk bangkit. Ia merasa sudah
melakukan dosa besar karena mengorbankan teman-temannya untuk hal yang tak
pernah ia tahu dan tak pernah ia inginkan.
Suasana kembali terang dengan kabut dan cahaya yang
menggantikan gelap tadi. Darwin masih berdiri angkuh tak jauh dari tubuh lemah
Yuni. Mata merah Darwin bahkan sudah kembali biru serta seringaiannya yang
tampak beberapa menit lalu menghilang, berganti dengan wajah dingin tanpa
ekspresi seperti pertama kali Yuni melihatnya.
“Berbahagialah Pemenang. Sekarang kau makhluk abadi. Namun
kau harus mengikat perjanjian dengan kami,” tungkai Darwin perlahan maju
mendekati tubuh Yuni yang masih diam dalam geming, mengikis jarak di antara
mereka. Yuni berusaha menjauhkan tubuhnya dari pria itu namun seluruh tenaganya
seperti terhisap oleh tiap langkah yang Darwin rajut.
“Ja, jangan men de..kat”
Wajah kaku Darwin melunak saat tubuh Yuni hanya sejengkal darinya.
“Lihatlah di sisi kananmu”
Yuni mengerjapkan matanya, air matanya terhenti namun
wajahnya masih basah. Di sisi kanannya bukan lagi cahaya dan kabut, melainkan
beberapa orang mengenakan sutra emas. Beberapa di antaranya ada wanita namun
lebih dominan laki-laki. Mereka tertawa dan duduk di atas dipan yang terbuat
dari awan. Buah-buahan berukuran besar dan warna yang cerah terpampang angkuh
di dekat tubuh mereka. Pria dan wanita itu dengan bebas memakan buah-buahan
yang disuguhkan untuk mereka.
“Mereka Pemenang. Sepertimu,” Darwin mengulurkan tangannya
agar Yuni meraihnya. Yuni tak tampak berniat menerima uluran itu hingga Darwin
kembali berucap. “Hanya saja lakukan perjanjian dengan kami dengan mengorbankan
orang-orang yang telah kau kalahkan”
Kedua bola mata Yuni hampir mencelos mendengar pernyataan
Darwin yang menurutnya terlalu gila. Darwin masih mengulurkan tangannya
menunggu Yuni untuk segera meraihnya. “Kau akan abadi dan bahagia seperti
mereka”
Yuni memalingkan kepalanya ke arah lain. Ia sungguh tak sudi
menatap wajah pria di hadapannya yang lebih mengerikan dibandingkan setan. Ini
gila. Persetan dengan keabadian atau apapun itu namanya.
“Kau menolak Pemenang?”
Kini Yuni memberanikan dirinya membalas tatapan Darwin.
Dengan sekuat tenaga yang masih tersimpan ia berusaha bangkit tanpa harus
menerima uluran tangan Darwin. Yuni menatap tajam Darwin namun hanya dibalas
dengan ekspresi kaku Darwin. “Kembalikan teman-temanku..” desis Yuni. Kedua
tangannya mengepal kuat, matanya kembali memerah menahan tangis dan emosi.
Darwin berbalik meninggalkan Yuni yang menatap bingung
padanya. Lantas setelah tubuh mereka berjarak sekitar lima langkah, Darwin
kembali berbalik dan seketika itu juga tubuh Yuni terhempas sekian meter ke
belakang karena angin yang tiba-tiba berhembus kuat menghantam tubuhnya.
“Tak ada yang bisa keluar dari tempat ini,” ucapan Darwin
terlampau dingin dan nadanya terdengar mengancam.
Yuni kembali bangkit. Ia tak mau abadi di tempat setan ini.
Apalagi ia harus mengorbankan teman-temannya. Ia tak menginginkan itu terjadi,
ia hanya ingin pulang bersama teman-temannya.
“KUBILANG KEMBALIKAN TEMAN-TEMANKUUU!!!,” Yuni bahkan tak
tahu ada kekuatan yang datang dari mana hingga ia bisa berteriak seperti itu.
“Aku tak pernah ingin mengorbankan mereka... Mereka teman-temanku! Kembalikan
mereka dan biarkan kami pulang!,” lanjutnya lagi.
“Kau tak tertarik seperti mereka?” Darwin berusaha membuat
penawaran dengan Yuni. “Mereka abadi dan berbahagia. Mereka tak akan menjadi
tua dan mati. Kau sungguh tak tertarik?”
“Persetan dengan itu semua. Kubilang kembalikan
teman-temanku!”
Cahaya biru seketika berpendar dari dada kiri Yuni. Lebih
tepatnya jantungnya berpendar dan berdegup teramat cepat membuatnya kesulitan
bernafas. Cahaya biru itu semakin terang hingga seluruh tempat itu dipenuhi
cahaya biru.
Kini cahaya biru itu membawa Yuni kembali ke sebuah dimensi
lain di mana hanya ada dirinya sendiri di tempat yang dominan dengan cahaya
biru. Seperti ruang hampa, tanpa objek, tak ada lagi Darwin serta orang-orang
yang ‘katanya’ abadi, namun ia masih bisa menghirup oksigen.
Yuni bergidik ngeri dengan bulu romanya yang meremang karena
tempat itu terlampau mengerikan, lebih mengerikan dibandingkan saat itu berada
di kegelapan menyaksikan sahabatnya yang disiksa. Suara-suara samar yang entah
dari mana datangnya terus menyapa indra pendegarannya hingga suara itu
menelusup masuk ke dalam gendang telinganya membisikkan kalimat yang hampir
membuat jantung Yuni terjatuh dari tempatnya.
“Kau berada di dunia setan,” suara wanita yang begitu lembut
bisa Yuni dengar dengan jelas. Yuni menelengkan kepalanya ke segala arah demi
mencari sosok itu namun pada akhirnya ia menyadari hanya ia sendirian di tempat
itu. Bulu romanya semakin meremang kala angin kecil bertiup menerpa tengkuknya.
“Tapi kau bisa bebas karena keinginanmu untuk menyelamatkan
teman-temanmu. Dengan satu syarat..”
Yuni membeku menahan nafasnya dan terus mendengarkan kalimat
yang ia dengar entah dari mana datangnya itu. “Kau tak boleh menceritakan semua
kejadian ini kepada siapapun termasuk kepada teman-temanmu. Ingatan mereka atas
semua kejadian ini akan kami hapuskan dan kau bersama teman-temanmu bisa
kembali ke dunia kalian. Tapi jika kau menceritakan kepada orang lain, kau akan
kembali ke tempat ini dan mati di sini”
Yuni menelan salivanya susah payah lantas mengangguk kaku
meskipun terlihat konyol karena ia hanya sendirian saat ini. Setelah anggukan
itu, seketika itu juga seluruh cahaya biru di tempat itu berpendar semakin
terang dan cahaya biru itu membungkus tubuhnya membuat Yuni menutup matanya
karena cahaya itu terlampau silau. Yuni bisa merasakan tubuhnya melayang dan dibawa
ke sebuah tempat yang ia tahu tahu ke mana. Dan setelah itu, Yuni merasa
tubuhnya terlalu lelah hingga ia tak sadarkan diri, membiarkan cahaya biru itu
membawa tubuhnya.
-----5-----
Tak jauh berbeda dengan pagi sebelumnya, suasana di kost itu
masih sama hanya saja dua di antara mereka ada yang masih belum memiliki
kesadaran untuk bangun dari alam mimpi meskipun jam dinding sudah berdentang
sebanyak tujuh kali.
“Ckk.. mentang-mentang sedang libur seenaknya mereka berdua
tidur sampai matahari setinggi ini,” Isah bersungut-sungut sambil mengiris
bawang di dapur bersama Rida.
Rida tertawa pelan, “Bukankah kau juga baru bangun huh?”
“Tapi aku lebih dulu bangun setengah jam dari pada mereka
yang masih terlena dengan alam mimpinya”
Rida kembali terkekeh membiarkan sahabatnya itu terus
mengomel sejak tadi. “Biarkan saja mereka, kapan lagi kita bisa tidur sampai
matahari setinggi ini kalau bukan saat liburan seperti sekarang”
“Waahh.. Kalian membuat apa?,” Dj keluar dari kamar mandi,
sepertinya gadis itu baru saja membersihkan dirinya.
“Menu spesial. Telur dadar”
Dj merengut. “Menu spesial apanya, sejak kemarin kita hanya
makan telur dadar,” Dj menatap sebal Rida yang mulai memasukkan kocokan telur
dadar ke dalam wajan.
“Ah iya, Dj, kau bangunkan dua makhluk yang masih bersemayam
dalam kubangan bantal di kamar. Kalau perlu kau siram mereka biar bangun,”
instruksi Isah pada Dj yang bersiap duduk di meja makan.
“Memangnya mereka berdua belum bangun?”
“Hmm...”
Dj mengangguk dan menit berikutnya ia sudah berada di dalam
kamar Yuni dan Diah untuk membangunkan kedua makhluk itu.
“Hey, kalian berdua cepat banguuun!! Hari ini kita akan
bersih-bersih kost...,” Dj mengguncang tubuh Yuni dan Diah bergantian dengan
beringas dan sedikit tak berperikemanusiaan.
Hal itu tentu saja membuat kedua gadis itu sontak membuka
mata mereka meskipun sedikit sulit.
“Eungh...” Diah yang pertama sadar dan mengumpulkan nyawanya.
Gadis itu bangun dengan mata yang masih setengah terpejam. “Hoaaahm, kau
berisik Dj. Aku masih mengantuk,” suara Diah terdengar serak.
“Mengantuk katamu? Sekarang sudah jam tujuh lewat delapan
menit.. Haissh”
“Tapi aku merasa badanku pegal semua”
“Ckk, sudahlah cepat bangun sana.”
Dengan malas Diah berjalan gontai keluar kamar menyisakan Dj
dan Yuni. “Kalau Yuni tak juga bangun, siram saja pakai air galon,” ucap Diah
sebelum ia menghilang dibalik pintu kamar.
Dj hanya menggumam pelan lalu kembali menguncang tubuh Yuni
yang masih syahdu memeluk guling. “Yuuuuuniiiiiiii... Wooooy, banguun! Kau mau
mengalahkan beruang yang berhibernasi?,” Dj masih terus mengguncang tubuh Yuni
dengan brutal.
“Hoaaahm...” Yuni membuka perlahan matanya dan membiarkan
retinanya menyesuaikan dengan cahaya yang masuk. Setelah indra penglihatannya
berfungsi dengan baik, gadis itu terhenyak dan seketika bangkit dari tidurnya.
Menatap sekeliling kamarnya dengan pandangan tak percaya dan.. sedikit takjub.
“Kau ini aneh sekali. Ayo cepat bangun.. Setelah sarapan kita
harus bersih-bersih kost,” Dj berniat bangkit namun tiba-tiba Yuni memeluknya
membuatnya melototkan kedua matanya. “Hyaaa! Yuni apa yang kau lakukan?
Lepaskan aku,” Dj meronta karena Yuni yang memeluknya terlalu erat.
“Dj aku merindukanmu. Kau, kau baik-baik saja kan? Kau tidak
terluka kan?,” Yuni melepaskan pelukannya dan mengamati tubuh Dj.
Dj menatap risih pada Yuni yang memandanginya dengan tatapan
khawatir. “Kau ini aneh sekali. Pasti tadi kau bermimpi aneh. Sudahlah cepat
bangun, yang lain sudah menunggu di dapur,” Dj berdiri dan langsung
meninggalkan Yuni di dalam kamar.
Yuni lantas menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya lalu
berlari keluar kamar menuju dapur untuk menemui teman-temannya. “Ridaa.. Aku
merindukanmu,” Yuni memeluk Rida yang mulai menata telur dadar di atas meja
makan.
“Eh, apa yang kau lakukan? Lepaskan aku..,” Rida terhenyak
karena presensi Yuni yang tiba-tiba.
Yuni mengangguk patuh lalu beralih memeluk Isah yang sedang
mengaduk teh. “Isah, aku senang kau tak terluka. Tidurmu nyenyak kan?”
Isah refleks mendorong tubuh Yuni, tapi untung saja Yuni bisa
menahan keseimbangan tubuhnya hingga tidak terjatuh. Namun bukannya marah, Yuni
malah tersenyum yang membuat Isah mengerutkan keningnya. “Kau ini aneh. Pasti
bermimpi drama Korea lagi, ugh.. Sudah sana siapkan piring”
Yuni kembali beralih pada Diah yang sedang meregangkan
ototnya di dekat jendela, membiarkan sinar matahari yang menelusup masuk
melalui jendela menyentuh kulitnya. “Diah, aku senang kau tidur nyenyak tadi
malam. Aku merindukanmuu”
Respon Diah tak jauh berbeda dari Isah. Diah langsung
mendorong tubuh Yuni, namun Yuni sudah mengantisipasi hal itu dengan menahan
keseimbangan tubuhnya. “Kau pasti bermimpi yang bukan-bukan. Ugh, sana jangan
dekat-dekat”
Diah berjalan menuju meja makan, meninggalkan Yuni dengan
tingkah anehnya. Sedangkan Yuni tersenyum, terlihat sekali gadis itu sedang
bahagia. Yuni menatap ke luar jendela, langit bersih meskipun banyak awan yang
melingkupi. “Akhirnya aku bisa melihat langit lagi...”
“Yuni, apa yang kau lakukan di situ? Melamunkan mimpimu tadi
malam? Ayo cepat sarapan..” suara Dj menyadarkan Yuni dari acara menerawang
langit.
“Iya-iya”
Kelima gadis itu sarapan dengan menu seadanya. Yuni tak bisa
menyembunyikan kebahagiaannya karena akhirnya ia bisa berkumpul lagi dengan
sahabat-sahabatnya. Ia tak tahu berapa lama mereka berada di dunia lain, tapi
yang jelas Yuni sangat bersyukur ia dan teman-temannya kembali ke dunia mereka
meskipun keempat temannya tak mengingat sedikitpun kejadian itu termasuk
rencana mereka untuk masuk ke dalam rumah tua yang sudah puluhan tahun tak
berpenghuni.
Bagaimanapun sikap sahabatnya, Isah yang cerewet, Dj yang
hiperaktif, Diah yang suka memarahinya, dan Rida yang kadang membuatnya jengah,
namun mereka tetaplah sahabatnya. Sahabat yang selalu ia butuhkan seperti
oksigen. Sahabat yang selalu ia butuhkan seperti air.
Kejadian yang baru saja Yuni alami bersama sahabat-sahabatnya
membuatnya sadar. Yuni hanya perlu sahabat, bukan keabadian ataupun kebahagiaan
dalam dunia ilusi yang tak bisa dicerna otak manusia. Karena sahabat itu tak
bisa dikorbankan dengan apapun ^^
.
.
FIN
-----5-----
SELAMAT KEPADA PEMENANG
(eh salah)
Maksudnya SELAMAT
KEPADA YANG SUDAH SELESAI MEMBACA CERPEN INI DAN MENEMUKAN KATA ‘FIN’ J
Yuniiii selamat ulang
tahun.... semoga kamu nggak kecewa dengan cerpen ini karena aku membuatnya
dengan imajinasi yang terlampau tinggi. Nggak tau kenapa ini malah aneh begini,
semoga kamu nggak mual ngebacanya. Aku juga nggak nyangka ternyata jadinya
bakalan sepanjang ini, tapi aku seneng akhirnya bisa menyelesaikannya tepat
waktu sebelum tanggal 3 Oktober hyeay /jungkir balik/
Aku kangen D’Pancas
ngumpul L jadilah aku bikin cerpen nggak masuk akal ini.. Maap buat temen-temen
yang udah aku siksa dalam cerita ini yak ^^v dan buat Darwin makasih namanya
udah aku pinjem...
Yuni sekali lagi
selamat ulang tahun yah ^_^ panjang umur, sehat selalu, rajin sholat, berbakti
sama orang tua, rejeki keuangannya lancar, studinya lancar, jodohnya lancar..
dan traktirannya juga nih semoga lancar.. hehehh (modus)
Wokeh, nggak usah
panjang-panjang lagi karena tanganku udah pegel pake banget buat ngetik...
/elap keringat/
Pai-pai....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar