Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Rabu, 09 April 2014

(Fanfiction) Love Really Hurts

“Love Really Hurts”

.

.

Inspired By:

Yesung – Love Really Hurts

Author:

Aisyah a.k.a Cloudisah

Cast :

Liam Payne (One Direction)

Lucy Barbara (OC)

Genre  : Life, Family  

 Rating: PG-13

Lenght:

Oneshoot

Disclaimer:

This story is belong to me, don’t claim it as yours, and No Bashing!!

Warning:

Typo, Out of Character, Alur ngebut, Bahasa tidak sesuai EYD

Summary :

“Aku membencimu sebagai adikku...”

.

.

-----OD-----

Normal POV

Musim gugur. Pria itu merekatkan mantelnya memasuki area pemakaman. Tak henti-hentinya ia mengulas senyum di bibirnya. Memang tidak ada yang spesial di pemakaman ini. Ya, kau taulah, tentu saja tempat peristirahatan manusia yang sudah dipanggil Tuhan.

Pria itu berjongkok dan meletakkan sebuket mawar kuning di pinggir sebuah makam yang menjadi tujuan utamanya. Makam adiknya, sekaligus belahan jiwanya.

Ia tersenyum miris. Perlahan senyumnya memudar saat menyentuh nisan di makam itu.

Lagi. Begitu sesak di dadanya setiap membaca nama di batu nisan itu. Pria itu memukul-mukul dadanya untuk menghilangkan sesak yang teramat sangat. Ia berusaha menahan agar cairan bening itu tidak turun dengan leluasa dimatanya. Semakin ia menahannya, semakin perih yang ia rasakan.

Tangannya bergetar hebat menyentuh batu nisan itu.

“Bodoh, seharusnya kau tidak melakukan ini untukku”, ucapnya serak, lalu ia kembali teringat teringat akan kejadian 4 tahun yang lalu...

 

-----OD-----

 

*FLASHBACK*

Liam POV

Senang rasanya sudah lulus SMA. Ya, hari ini aku diterima di Universitas favoritku, Oxford University. Tentu saja berkat kerja kerasku belajar saat SMA dulu.

Aku melangkah gontai memasuki pekarangan rumahku. Sepi. Selalu seperti ini. Orangtuaku memang workaholic,  jadi beginilah aku, ditinggal sendirian di rumah-yang-memang-tidak-terlalu-besar ini.

Tunggu, apa tadi aku bilang sendirian? Tidak, aku tidak sendirian. Aku memiliki seorang adik perempuan, adik angkat lebih tepatnya. Sudah 5 tahun ia menjadi bagian keluargaku setelah kecelakaan maut yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Orangtuanya adalah sahabat ayah dan ibuku. Setelah itu ayah dan ibuku yang merawatnya dan menganggapnya seperti anak mereka sendiri.

Cantik. Ya, gadis itu cantik, terpaut tiga tahun lebih muda dari usiaku. Sekarang ia setara dengan kelas satu SMA. Setara? Iya, gadis itu tidak sekolah formal seperti anak lain, melainkan home schooling.

Aku membuka pintu perlahan. “Aku pulang”, ucapku datar.

Seperti biasa, gadis itu, eungh maksutku adikku tersenyum di depan pintu. Dia selalu menungguku pulang, pulang sekolah atau pulang dari mana saja. Ia mengulas senyum manisnya, menatapku dengan pandangan yang mengisyaratkan kau-sudah-pulang? Aku hanya memutar bola mataku jengah lalu berlalu di sampingnya menuju kamarku di lantai dua.

Tidak bisakah dia berbicara walau hanya satu kata? Dia tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun sejak kematian orang tuanya. Ia hanya mengangguk, menggeleng, atau menggunakan bahasa isyarat lain jikia berkomunikasi dengan orang lain. Tapi orangtuaku begitu menyayanginya dan memperhatikannya.

Aku sedikit iri bahkan cemburu dengannya, tentu saja karna orang tuaku lebih memperhatikannya dibandingkan aku. Aku tidak pernah berlaku manis dihadapannya. Ciih, untuk apa? Tapi sejujurnya aku sendiri tidak tau kenapa aku begitu membencinya. Memang tidak ada yang salah dengannya, namun melihatnya hatiku sakit. Sungguh sakit.

-----OD-----

Aku merebahkan tubuhku di kasur. Hmmm, nyaman sekali. Tunggu, ada yang tidak beres dengan kamarku. Kenapa begitu rapi? Bukankah tadi pagi aku tidak merapikannya? Bisa kutebak pasti anak itu. Siapa lagi yang ada di rumah ini selain dia. Ibuku sudah pergi kerja sebelum aku bangun.

Aku bergegas turun dan menemui anak itu yang sedang menyiapkan makan siang di dapur.

“Lucy! Aku tahu kau tidak tuli, tapi berapa kali harus kuperingatkan kau agar tidak menyentuh kamarku!”, teriakku dan menatapnya intens.

Ia hanya tertunduk.

“Sekali lagi kau masuk ke kamarku, aku tidak akan segan-segan menamparmu!”, kalimat yang barusan aku ucapkan mengalir begitu saja dari mulutku.

Dia makin menunduk. Aku mengatur nafasku yang naik turun tak beraturan.

“Aku tidak ingin makan siang di rumah, kau makan saja sendiri”, lanjutku dingin dan segera beranjak keluar rumah.

Blam

Kututup pintu dengan kasar. Hanya satu tujuanku saat ini, rumah Louis, sahabatku.

-----OD-----

Pukul delapan malam aku baru kembali ke rumah. Kubuka pintu dengan malas, kulihat ibu dan ayahku sudah pulang. Mereka sedang bercanda dengan gadis itu di sofa ruang tamu. Aku tidak suka menyebut gadis itu dengan ‘adikku’. Sesekali mereka tertawa, sepertinya bahagia sekali. Begitu penting dan berharganyakah gadis itu sehingga mereka tidak menyadari anaknya sudah pulang.

Aku berdiri tidak jauh dari mereka, pandanganku kabur. Kupegangi perutku yang tiba-tiba sakit. Sakit sekali.

Samar-samar kulihat ibuku mendekatiku, “Sayang, kau sudah pulang?”, tanyanya yang tidak begitu jelas di telingaku.

Aku hanya diam, penglihatanku semakin kabur, dan kudengar ibuku berteriak panik, “Liam! Kau baik-baik saja sayang??!?”, dan semuanya menjadi gelap.

Liam’s POV end

.

Lucy’s POV

“Liam! Kau baik-baik saja sayang??!?”, teriak ibu panik.

Aku dan ayah terkejut. Kakakku pingsan, wajahnya begitu pucat. Ibu menangis sambil memeluk kakak. Ya Tuhan, aku tidak sanggup melihat kakakku seperti itu. Tolong selamatkan dia Ya Tuhan...

-----OD-----

Saat ini kami berada di rumah sakit. Kakakku saat ini ada di ruang UGD. Ayah memeluk ibu yang menangis hebat di kursi tunggu. Tuhan, tolong selamatkan lagi kakakku kali ini.

Aku duduk di samping ibu. Meskipun dia bukan kakak kandungku, tapi hanya dia satu-satunya kakak bagiku. Sekalipun dia membenciku –meskipun aku tidak tahu kenapa- tapi aku sangat menyayanginya.

Aku menangis di samping ibu, hanya-mengeluarkan-air mata, namun tidak terisak. Kuelus pelan punggung wanita yang sudah menjadi ibuku selama lima tahun terakhir ini. Tangisnya mulai mereda. Kudengar pintu ruang UGD terbuka, dan seorang dokter menghampiri kami, ayah lebih tepatnya.

“Kanker hatinya sudah mencapai stadium akhir. Sel kankernya bisa merusak saraf tubuh lainnya jika ia tidak segera mendapatkan donor hati. Oleh karena itu Liam harus segera melakukan transplantasi hati.  Tapi tenanglah, saat ini kondisinya tidak terlalu buruk. Dia hanya perlu istrirahat dan tolong ingatkan selalu agar dia untuk tidak lupa meminum obatnya”, kata dokter itu tersenyum pada ayah lau pergi meninggalkan kami.

-----OD-----

Sudah dua hari kakak masih terbaring lemah di rumah sakit. Ibu menyuruhku pulang, jadi hari ini aku sendirian di rumah.

Aku tau kaka’ selalu marah jika aku masuk ke kamarnya. Tapi entahlah, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya. Aku tau aku lancang memasuki area privasinya ini, aku hanya ingin membersihkan kamar kakak, karena dia memang tidak pernah mau membersihkan kamarnya. Yah, meskipun pada akhirnya dia akan memarahiku, aku tau.

Kulangkahkan pelan kakiku menuju kamar atas, di mana kamar kakak berada. Usai merapikan beberapa barang yang berserakan, aku duduk di kursi meja belajarnya. Ada foto kakak di atas meja itu yang berbingkai ungu, warna favoritnya. Kuambil foto itu, ekspresinya begitu bahagia saat menatap kamera.

Tes...

Air mataku jatuh, selalu seperti ini. Kusentuh pelan wajah kakak difoto itu. Tuhan, jangan biarkan dia kesakitan. Biarkan aku yang merasakan sakitnya, sungguh perasaan ini menyiksaku setiap melihat kakakku yang jatuh pingsan karena penyakit yang dideritanya.

Air mataku jatuh di atas foto itu, sungguh aku selalu seperti ini setiap melihat fotonya. Seakanaku akan berpisah dengannya. Aku takut Tuhan, aku takut. Aku takut kehilangan kakak. Aku tau dia tidak menyukaiku, tapi aku tidak bisa membencinya. Apa salahku padanya Tuhan?

Kupeluk erat foto itu, seolah menyalurkan kehangatan pada kakakku yang saat ini berada di rumah sakit. Tidak bisakah aku memeluk erat kakakku seperti ini? Bukan fotonya, tapi kakakku. Aku selalu menyebutnya dengan “kakakku”, tapi apa dia menganggapku sebagai adiknya? Entahlah. Jauh di lubuk hatiku aku berharap kakak sedikit saja menganggapku ada, menganggapku sebagai adiknya. Sempat aku berpikir kakakku selama ini membenciku karena aku sudah merebut kasih sayang ayah dan ibu darinya. Tapi ayah dan ibu tidak pernah membedakan kami berdua, dan aku tahu ibu sangat sangat menyayangi kakak. Sinar mata seorang ibu terhadap anak kandungnya tidak bisa dibohongi.

Aku makin terisak, tangisanku pecah, pertahananku runtuh sudah. Makin erat kupeluk erat foto itu. Ka’, kumon bertahanlah, kau pasti sembuh. Aku sakit melihatmu sakit.

Kuletakkan kembali foto itu. Sebuah bingkai foto di balik tempat pensil menarik perhatianku.

Deg!

Fotoku? Ini fotoku tahun lalu saat merayakan ulang tahun.

Kakak menyimpan fotoku? Apa maksudnya ini? Bukankah kakak membenciku? Apakah sebenarnya di dalam hatinya dia menganggapku adiknya? Tidak, tidak mungkin. Meskipun aku memang berharap seperti itu tapi itu tidak mungkin.

Buru-buru kuletakkan kembali foto itu sebelum perasaanku kembali tidak terkendali. Kuhapus kasar air mataku yang masih setia bertengger di wajahku. Segera aku turun ke bawah menuju kamarku.

-----OD-----

Hari ini aku hanya sendirian di rumah. Tadi malam ayah hanya pulang sebentar untuk membersihkan diri. Ya, kakaku masih di rumah sakit. Jadi ayah dan ibu masih di rumah sakit untuk menemani kakak. Awalnya aku memaksa ayah agar mengijinkanku untuk ikut ke rumah sakit, tentu dengan bahasa isyaratku, tapi ayah melarangku dan menyurhku agar beristirahat di rumah saja. Ayah bilang tidak ingin aku sakit karena tidur di rumah sakit itu tidak nyaman. Huft, apa boleh buat aku terpaksa hanya sendiri di rumah. Lagi pula aku memang terbiasa ditinggal sendiri.

Drrrtt, drrrtt...

Bunyi ponselku yang menandakan ada pesan masuk.

From: Mom

Lucy sayang, kau sudah makan? jangan sampai terlambat makan ya sayang. Nanti malam kakakmu sudah boleh pulang, kau baik-baiklah di rumah sayang...

Aku tersenyum melihat pesan dari ibu. Benarkah kakak sudah boleh pulang? Segera kubalas pesan ibu.

To: mom

Iya Bu, aku sudah makan. Benarkah kakak sudah boleh pulang? Baiklah kalau begitu aku akan menunggu kalian malam ini ^^

Send.

Baiklah selagi menunggu mereka pulang ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Membersihkan rumah, dan nanti guru home schooling-ku akan datang.

Apa tidak ada yang bertanya apakah aku tidak kesepian? Jika kalian melihat ekspressiku saat ini maka aku akan menjawab dengan anggukan. Ya, aku kesepian. Seandainya saja setiap ayah dan ibu pergi bekerja kakak mau menemaniku, mengajakku mengobrol layaknya adik-kakak atau sekedar menonton TV bersama. Kami hanya makan siang atau makan malam bersama, itupun dalam keheningan. Hanya bunyi dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tapi itu sudah jauh lebih baik jika dibandingkan saat kakakku tidak mau makan di rumah. Ya, kakak lebih sering makan di luar, mungkin dengan teman-temannya, dibandingkan makan bersamaku di rumah.

Jika aku sedang sendirian, terkadang aku merindukan ayah dan ibuku yang sudah di surga. Aku sering berpikir kenapa Tuhan tidak membawaku bersama orang tuaku. Betapa hidupku yang saat ini hanya akan memberi beban bagi orang lain. Tapi jika aku tidak mengingat bagaimana baiknya orang tua angkatku, maka aku sudah melakukan tindakan bodoh, bunuh diri. Namun aku berpikir Tuhan pasti memiliki rencananya sendiri. Mungkin saja hidupku saat ini memang akan berguna bagi orang lain suatu hari nanti. Ya, aku harap begitu.

At night...

Kudengar bunyi bell, apa itu mereka? Segera aku keluar untuk membukakan pintu.

Kubuka pintu perlahan. Kulihat ayah dan ibu yang menggandeng kakak, apa dia sudah baikan? Kupasang senyum manis pada mereka, membukakan pintu lebih lebar tanda agar mereka masuk.

Lucy POV end

.

Liam POV

Akhirnya hari ini aku sudah bisa pulang dan setidaknya bisa sedikit bernafas lega karena aku muak dengan bau obat-obatan di rumah sakit. Ayah dan ibu menggandengku menuju depan pintu rumah. Gadis itu, maksudku Lucy, membukakan pintu rumah. Seperti biasa tersenyum manis.

Jujur saja kuakui senyumnya memang manis, namun terkadang aku merasa perih. Sebenarnya aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Tidak mau berdebat dengan pikiranku sendiri, segera kutatap Lucy yang masih bertengger di depan pintu dengan tatapan datarku seperti biasanya dan melengkah memasuki rumah melewatinya di samping pintu dengan tangan ibu yang masih menggandengku.

“Lucy kau sudah makan? Setelah ini kau segeralah tidur jangan terlalu larut. Udara malam ini sangat dingin,” kudengar ayah berbicara dengan Lucy.

Tidak ada jawaban. Tentu saja, karena kupastikan anak itu pasti hanya mengangguk karena saat ini aku tidak melihat ke arahnya, hanya memandang tangga menuju kamarku di atas. Tidak mungkin dia menggelengkan? Itu konyol sekali.

Kulihat ibu hanya tersenyum pada Lucy. “Sudah, cepat istirahat sayang. Ibu akan mengantar Liam ke kamarnya”.

Setelah itu kami segera berlalu, dan Ibu mengantarku sampai ke kamar.

“Kau harus lebih sering istirahat sayang, jangan terlalu lelah”, ucap ibu pelan sambil mengelus pipiku. Aku tahu ibu pasti lelah setelah menjagaku di rumah sakit. “Sekarang istirahatlah dulu”, lanjut ibu lagi.

Setelah meletakkah semua barang-barangku, ibu beranjak keluar kamar. Buru-buru aku memeluk ibu dari belakang.

“Aku sayang ibu”, bisikku ditelinga ibu. Ibu berbalik dan balas memelukku.

“Ibu juga sayang Liam. Tenanglah, semua akan baik-baik saja”.

Kupeluk ibu lebih erat. Saat-saat seperti inilah ibuku bisa lebih memperhatikanku. Aku takut, sungguh. Aku takut tidak bisa memeluk ibu seperti ini lagi.

Setelah ibuku keluar, aku beranjak menuju tempat tidur. Kusandarkan kepalaku di kepala ranjang. Rasa nyeri diperutku masih sedikit terasa.

 Kuambil sebuah foto di meja belajar samping ranjangku, foto Lucy. Kusentuh pelan wajahnya di foto itu. Lucy, kau tahu setiap melihat wajahmu dadaku selalu sesak? Tapi jika aku tidak melihatmu rasa sesak itu lebih terasa. Lucy, apa yang harus aku lakukan...

Aku membencimu Lucy, aku membencimu sebagai adikku. Lebih tepatnya saat dulu kau pertama kali menjadi bagian keluargaku. Apa kau tahu kalau kau itu adalah cinta pertamaku saat SMP dulu? Terdengar ironi memang. Saat itu kau masih Sekolah Dasar, saat itu aku melihatmu di festival musim panas. Kau tertawa begitu bahagia bersama teman-temanmu. Saat itu aku berfikir kaulah cinta sejatiku, kau takdirku. Tapi kau datang dan menjadi keluargaku, sebagai adik. Ya, kita tidak lebih dari sekedar saudara, meskipun bukan saudara kandung.

Hanya dengan membencimu aku bisa menghilangkan rasa ini. Hanya dengan menjauhimu aku bisa mengurangi perasaan ini. Lucy, apa aku pengecut? Aku begini karena kau. Begitu sesak tiap kali aku melihatmu. Egoiskah aku jika aku memintamu untuk pergi dari hidupku? Berhenti membuatku tersiksa...

Kuletakkan kembali foto Lucy. Kepalaku terasa sedikit sakit, segera kubaringkan tubuhku. Semoga besok pagi aku sudah lebih baikan.

Liam POV End

.

Normal POV

Sudah tiga minggu sejak Liam keluar dari rumah sakit. Pria itu sudah bisa beraktivitas seperti biasanya, namun terkadang nyeri di perutnya masih ia rasakan. Dan kondisi rumah Liam masih seperti dulu, dengan orang tua mereka yang workaholic dan Liam yang masih berlaku dingin terhadap Lucy. Bahkan setelah keluar dari rumah sakit tiga minggu yang lalu sikap Liam jauh lebih dingin. Liam seolah makin menghindar tiap bertemu dengan Lucy.

Pagi ini Lucy berniat membangunkan Liam, karena orang tua mereka saat ini sedang libur kerja dan mengajak untuk piknik. Saat Lucy hendak membuka pintu kamar Liam, ia begitu terkejut melihat keadaan Liam yang kritis, wajahnya pucat, sangat. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya, Liam mengerang memegangi perutnya. Lucy yang panik segera memanggil orang tuanya.

Tanpa basa basi lagi Liaam segera dilarikan ke rumah sakit. Ibu Liam tak henti-hentinya menangis, begitupun Lucy. Bahkan saat Liam sudah di bawa ke ruang UGD, ibunya semakin histeris.

“Hiks, Liam sayang... Liam... Li,,am”, tubuh wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu merosot ke lantai. Terus saja ia menyebut nama anaknya. “Liam... Harusnya ibu saja yang menderita, hiks, Liam..Liam”.

“Ssst, jangan menangis lagi sayang. Liam pasti kuat, kita berdoa saja semoga Liam tidak  apa-apa. Jangan begini sayang, tenanglah...”

Wanita itu menangis hebat dipelukan suaminya. Tanpa mereka sadari, Lucy berdiri tidak jauh di belakang mereka. Gadis itupun sama, ia menangis hebat. Hanya saja tanpa isakan. Entah apa yang gadis itu pikirkan, ia tersenyum miris memandangi ayahnya yang memeluk ibunya terduduk dilantai lorong rumah sakit itu. Tak lama, iapun ikut memeluk orang tuanya. Ikut terduduk di lantai, menguatkan orang tuanya, terutama ibunya. Berusaha memberitahu mereka bahwa ia juga sama sedihnya.

-----OD-----

Hari ini Liam menjalani operasi transplantasi hati. Ya, dia sudah mendapatkan pendonor hati. Selama tiga bulan Liam koma. Orang tuanya tak pernah absen menjaganya, terutama ibunya.

.

Liam POV

Dimana aku? Tempat apa ini? Penuh dengan kabut dan cahaya. Apa ini surga? Apa aku sudah mati?

Aku mengikuti jalan kecil yang sedang kupijak. Sedikit basah, menurutku seperti tetesan embun di atas jalan ini karena saat ini aku tanpa alas kaki. Jalan ini tak berujung kurasa, karena sejauh aku berjalan aku tak menemukan titik akhirnya. Kemanapun aku memandang hanya kabut dan kabut. Tak ada siapapun di tempat ini, apakah saat ini aku ada di dimensi lain?

Kuikuti terus arah jalan kecil ini, kuharap aku menemukan satu titik pemberhentian dari jalan kecil tak berujung ini. Di ujung sana, entah ini ilusiku atau nyata, aku melihat seorang gadis. Itu artinya di tempat tidak hanya aku sendiri. Aku melangkah pelan menuju gadis di ujung sana yang kulihat samar-samar karena tertutup kabut.

Lucy? Gadis itu Lucy? Aku sungguh terkejut saat ini. Benarkah ini Lucy? Apa yang dia lakukan di tempat-menurutku-aneh ini? Tapi sepertinya Lucy sama sekali tidak terkejut dengan kehadiranku. Gadis itu malah tersenyum ke arahku, seperti biasa, senyuman yang bisa meruntuhkan pertahananku. Tunggu dulu, ada yang aneh dengan penampilan Lucy kurasa. Gaun itu, untuk apa ia mengenakan gaun putih panjang itu. Memang kuakui dia semakin cantik mengenakan gaun itu, ditambah rambutnya yang terurai. Gadis itu jarang mengurai rambutnya, selama aku tinggal bersamanya hanya beberapa kali aku melihat gadis itu mengurai rambutnya. Gadis itu lebih sering mengikatnya.

Semakin kulangkahkan kakiku mendekat ke arah gadis itu.

“Kakak”, serunya padaku.

Apa dia barusa berbicara? Dia berbicara padaku?

Aku memandangnya heran. “Lucy? Ini kau? Kau barusan berbicara?”, ucapku tak percaya  sambil memperhatikannya dari ujang rambut hingga kakinya.

“Iya Kak, ini aku. Apa kakak sudah sembuh? Ah, sepertinya sudah. Aku senang sekali kak”, jawabnya begitu bahagia. Gadis ini langsung memelukku. Aku yang terkejut hanya begitu berdiri kaku dalam pelukannya, tanpa sedikitpun tanganku berniat bergerak untuk membalas pelukannya.

“Lucy sayang kakak, Lucy juga sayang ayah dan ibu. Ka’, maafkan Lucy yang selalu membuat kakak marah”, Lucy makin mempererat pelukannya.

Hangat. Pelukan ini begitu hangat. Tanpa sadar aku tersenyum, tanganku terangkat ingin membalas pelukannya. Namun belum sempat aku memeluknya, kurasakah tubuh Lucy memudar. Menyisakan butir-butir cahaya yang berterbangan. Aku menoleh ke sana kemari mencari sosok Lucy, namun nihil sosok itu tak nampak sedikitpun. Butir-butir cahanya itu hilang, menyisakan aku yang kembali sendirian di tempat ini beserta kabut yang tak berujung.

-----OD-----

Aku sudah pulang dari rumah sakit. Ibu bilang aku sudah tiga bulan tak sadarkan diri. Padahal aku merasa baru beberapa waktu yang lalu aku berada di rumah dan rasanya baru beberapa waktu yang lalu aku berhadapan dengan ruangan operasi sebelum dokter menyuntikkan obat bius padaku. Aku sungguh berterima kasih kepada siapapun yang telah mendonorkan hatinya untukku. Berkat operasi transplantasi hati itu, sel kankerku sudah di angkat dan sekarang aku sudah positiv sembuh dari kanker hati.

Tidak ada yang berubah dari rumah ini, meskipun kata ibuku ini sudah tiga bulan berlalu. Hanya saja ada sesuatu yang kurang saat ini. Lucy, ya Lucy. Sejak aku pulang dari rumah sakit aku tak menemukan gadis itu. Aku beranjak turun dari kamar ke ruang makan, di mana ibuku sedang menyiapkan makan malam. Kuberanikan diri bertanya tentang Lucy pada Ibu. Yah meskipun terdengar aneh karena selama ini aku tidak pernah berbicara tentang Lucy.

“Kau sudah mandi sayang?”, ibu berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari sup yang sedang di masaknya.

“Ibu..”

“Hmmmn, kenapa Liam? Oh iya, kalau kau tidak sibuk tolong panggilkan ayahmu ya untuk makan malam”, kali ini ibu beranjak menuju meja makan untuk meletakkan supnya. Wangi sup itu sudah menguar keseluruh ruangan dan membuat prutku berdemo untuk segera di isi.

Kurasa memang ada yang aneh dengan ibu. Tidak biasanya ibu memasak sendiri tanpa Lucy, ibu akan cemberut saat memasak tanpa Lucy. Karena menurutnya masakan yang ia buat tidak akan enak tanpa bantuan dari Lucy, dan ibu akan terlihat sangat senang sekali saat memasak dengan gadis itu. “Ibu...”, kupanggil ibu sekali lagi.

“Iya, ada apa Liam? Kenapa dari tadi kau hanya memanggil ibu?”

“Lucy... Lucy di mana, bu?”, sedikit ragu saat aku menyebut nama Lucy.

Kulihat ibu terkejut dengan pertanyaanku barusan. Ibu berjalan mendekatiku yang masih berdiri di dekat meja makan, kemudian menggenggam tanganku dengan pandangan menyesalnya. “Tidak bu, jangan katakan kalau....”

“Ini keputusan Lucy sayang. Lucy memaksa ibu agar...”

“Tapi ibu bisa sajakan menolaknya!!”, sergahku memotong kalimat ibu. Aku tidak bodoh, tentu saja dalam kondisi seperti ini aku bisa menebak apa yang telah terjadi. Aku benar-benar tidak percaya ibu begitu tega menerima permintaan Lucy.

“Saat Lucy dioperasi, dokter mengatakan kemungkinan dia bisa sembuh. Jadi ibu percaya Lucy pasti selamat setelah mendonorkan hatinya. Namun setelah dua bulan Lucy koma, dokter mengatakan Lucy tak bisa selamat karena tubuhnya sangat lemah. Ibu juga tidak bisa menerima ini sayang. Ibu salah, seharusnya saat itu ibu menolak permintaan Lucy meskipun ia terus memaksa ibu. Ibu saat itu hanya ingin kau sembuh, ibu berpikir kalian berdua bisa menjalani operasi dan selamat, tapi...” tak ingin mendengar apapun dari ibu aku segera berlari ke kamar Lucy. Tak kuhiraukan teriakan ibuku di dapur. “Liam ibu mohon dengarkan ibu..”.

At Lucy’s Room

Aku melangkah pelan menuju kamar Lucy. Kamar ini, pertama kalinya aku memasuki kamar ini. Rapi, sangat sesuai dengan kepribadiannya. Tubuhku seakan bergetar, tidak sanggup menerima kenyataan ini. Lucy pergi, dia pergi karenaku. Tidak, ini salah. Seharusnya biarkan aku yang pergi. Aku merasa seperti manusia tidak berguna, seseorang telah pergi karenaku. Seharusnya dia tidak perlu melakukan ini padaku, padaku yang telah jahat padanya. Aku telah gagal menjadi kakak yang baik baginya.

Perlahahan kududuki ranjang dengan sprey berwarna blue soft di kamar ini. Kuelus pelan permukaan tempat tidur ini. Lucy, katakan ini tidak benar. Katakan ini hanya sandiwara kalian. Lucy, kembalilah. Aku berjanji jika kau kembali aku akan memperlakukanmu dengan baik sebagai adikku.

Aku hanya bisa melamun di atas tempat tidur ini dengan kepala tertunduk, pikiranku kosong. Entah bagaimana setelah ini aku menjalani hidupku, menjalani hidup dengan perasaan bersalah. Meja nakas, ya aku teringat di meja nakas seseorang yang pergi akan meninggalkan pesannya. Konyol memang kedengarannya.

Dan benar saja, aku menemukan sebuah surat persis di samping foto Lucy. Dengan cepat kuambil surat itu dan membukanya. Tanganku sudah bergetar melihat tulisan demi tulisan di surat ini, tulisan tangan Lucy. Tuhan, kuatkan aku. Kubaca perlahan surat itu:

“Kakak, bagaimana kabarmu? Aku yakin kau sudah sembuh dan saat kau membaca surat ini mungkin aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku tidak tahu apakah setelah operasi nanti aku akan sembuh atau tidak, kata dokter ada kemungkinan aku selamat. Tapi firasatku mengatakan aku tidak mungkin bertahan, jadi aku menulis lebih dulu surat ini.

Kakak, kau pasti senang kan tidak bertemu lagi denganku? Ka’, aku tidak tahu mengapa kau membenciku. Tapi asal kakak tahu, aku sangat menyayangi kakak. Tolong sampaikan juga salam sayangku pada ayah dan ibu. Aku sangat sangat menyayangi kalian semua. Terima kasih selama lima tahun terakhir ini sudah menjadikanku bagian dari keluarga kalian. Sebenarnya jauh di dalam hatiku aku ingin selamat setelah operasi nanti, dan bisa melihat kakak serta ayah dan ibu lagi. Aku senang bisa memiliki seorang kakak, karena impianku sejak dulu adalah memiliki seorang kakak, dan betapa senangnya aku saat kau menjadi kakakku. Aku hanya anak tunggal, kita sama kak. Aku pikir setelah memiliki kakak, aku bisa merasakan hal-hal seperti adik-kakak yang lain, menonton TV bersama, mengobrol bersama, bermain bersama. Tapi... ah sudahlah, kakak sudah menjadi kakakku saja aku sudah senang.

Kak, hati yang sekarang di dalam tubuh kakak tolong di jaga dengan baik ya. Kuharap setelah ini kakak tidak sering pingsan lagi dan membuat ibu panik. Kakak tidak tahu kan betapa ibu sering menangis setiap kakak pingsan, jadi setelah ini jadilah lebih kuat. Tolong jaga ibu dan jangan membuatnya menangis lagi. Kak, aku memiliki satu permintaan, bolehkan? Anggap saja permintaan pertama dan terakhir dari adikmu. Kak, nanti setiap ulang tahunku tolong bawakan mawar kuning ke makamku, itu bunga kesukaanku. Tapi jika kakak tidak mau aku tak apa. Hanya saja aku akan merasa sangat tersanjung jika kakak mau mengabulkannya^^

Oh iya kak, bolehkah aku mengutarakan isi hatiku melalui surat ini? Kak, aku sayang kakak. Sebagai seorang adik, dan... sebagai seorang wanita. Maafkan  aku lancang mengatakan ini kak, perasaan ini terus saja tumbuh seiring aku bertemu kakak setiap hari. Sebenarnya aku sedikit bersyukur saat kakak menjauh dariku, kupikir dengan begitu aku bisa menghilangkan perasaan ini. Tapi semakin kakak menjauh, aku semakin merindukan kakak. Aku tahu ini hanya perasaan sepihak, perasaan yang tak mungkin terbalaskan.

Aku minta maaf selama ini sering masuk ke kamar kakak, karena aku hanya ingin menjadi adik yang baik, sekedar untuk membersihkan kamar kakak. Tapi kak, saat itu aku menemukan fotoku di meja belajar kakak. Seandainya Tuhan memberiku umur panjang ingin sekali aku bertanya pada kakak.

Kak, sejujurnya aku takut saat operasi nanti apakah aku benar-benar tidak selamat. Aku ingin sekali bisa selamat setelah operasi nanti, tapi hati kecilku merasa sudah lelah. Aku merindukan orang tuaku yang ada di surga kak, aku merasa mereka sebentar lagi akan menjemputku. Apapun yang terjadi setelah operasi nanti aku pasrahkan semuanya pada Tuhan, yang terpenting adalah kakak bisa sembuh. Aku sakit kak melihat kakak sakit. Setidaknya aku punya alasan mengapa Tuhan tidak membawaku bersama orang tuaku saat itu. Tuhan ingin menjadikanku bermanfaat untuk orang lain, yah setidaknya melalui donor hati ini aku sudah merasa tidak menjadi orang tidak berguna lagi.

Ah, apa aku terlalu panjang menulis. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tulis kak. Sejujurnya aku malu jika nanti aku selamat dari operasi dan kau membaca suratku ini, apa yang harus aku lakukan di depan kakak nanti. Kakak, sekali lagi aku sayang kakak. Aku sayang ayah dan ibu. Aku sayang kalian semua. Kak, betapa sedihnya aku saat aku memang sudah tidak ada, aku tidak bisa melihat upacara pernikahanmu nanti. Istrimu nanti pasti cantik, jauh lebih cantik dari padakuJ

Baiklah jaga selalu kesehatan kakak, ingat ya hati itu tolong dijaga baik-baik, hatiku, hati kita... Jaga ayah dan ibu, jadilah lebih kuat dan jangan sering-sering pulang malam lagi. Tsk, sepertinya tanganku tidak bisa berhenti menulis. Jaga diri kakak baik-baik, Lucy sayang kakak ^^”

LUCY

Air mataku sudah tidak terbendung lagi membaca surat ini. “Lucy!!!!”, aku berteriak memanggil namanya. Kuremas dadaku, sakit. “Seharusnya kau dengar juga pengakuanku sebelum kau pergi”, lirihku yang sudah sesenggukan.

Apa aku cengeng? Kuremas surat dari Lucy. Air mataku terus saja turun tanpa komando.

Kuletakkan kembali surat itu ke tempatnya, aku sudah tidak sanggup melihatnya. Ada sebuah album foto di samping surat itu. Apakah ini juga milik Lucy? Kubuka perlahan isinya. Tuhan, banyak sekali fotoku di sini. Di tiap foto ada tulisan tangan Lucy. Kubuka secara acak album foto itu.

28 Agustus 2005, fotoku saat ulang tahun.

“Selamat ulang tahun kak, kuharap tahun depan kita bisa merayakannya lagi”

Tes... Air mataku kembali turun. Kulihat foto berikutnya.

22 Mei 2006, fotoku saat di rumah sakit.

“Ka, cepat sembuh. Aku tidak tahan melihat kakak sakit, aku juga merasa sakit kak”

Aku menahan nafas, apa kau selama ini begitu memperhatikanku Lucy?

20 Desember 2008, fotoku bersama seorang gadis, teman sekelasku.

“Beruntung sekali gadis itu, kakak apa dia kekasihmu? Ah, aku iri, aku juga ingin berfoto denganmu”

Lucy, dia hanya teman sekelasku. Tubuhku bergetar, aku memutuskan untuk melihat langsung foto di halaman terakhir, mataku sungguh perih sekarang.

15 Mei 2009, fotoku saat lulus SMA

“Selamat Kak, rasanya ingin sekali aku memelukmu. Tapi itu tidak mungkin kan?”

Ini foto terakhir, kututup dengan kasar album foto itu dan kulempar di atas ranjang. Tubuhku merosot terduduk di bawah ranjang, kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Lucy, maafkan aku. Maaf, maaf selama ini sudah membuatmu menderita. Aku tahu dulu aku pernah berharap agar kau pergi dari hidupku, tapi tidak dengan seperti ini.

“Lucy.. kembalilah kumohon, Lucy!!!”, teriakku seperti orang kerasukan. Mataku pasti sudah bengkak saat ini. Tidak, ini pasti bohong. Lucy!!!

Liam POV End

.

*Flashback End*

Pria itu, Liam, masih setia berjongkok di makam yang sudah berusia empat tahun itu.

“Lucy, tahukah kau dulu saat aku di rumah sakit aku bermimpi bertemu denganmu. Kau cantik sekali dengan gaun putih, saat itu kau memelukku dan itu terasa nyata. Lucy, seandainya kau tahu kalau aku sudah menyukaimu sebelum kau mengenalku, jauh sebelum kau datang ke rumahku. Aku menyayangimu Lucy, sebagai adik dan sebagai seorang perempuan...” ucapnya Lirih.

Ia mengelus pelan nisan di makam itu yang bertulisan “LUCY BARBARA, 1994-2009”.

Liam meletakkan sebuket mawar kuning yang sedari tadi ia biarkan tergeletak di pinggir makam, diletakkannya bunga itu di dekat batu nissan.

“Aku sudah memenuhi permintaanmu kan? Hari ini ulang tahunmu, selamat ulang tahun Lucy”, ucapnya sambil tersenyum. “Kau pasti sedang tidur nyenyak kan di sana? Sampaikan salamku untuk orangtuamu. Lucy, terima kasih untuk segalanya. Terima kasih kau sudah berusaha menjadi adik yang baik, maafkan aku yang dulu sering menyakiti perasaanmu. Hati ini, aku berjanji aku akan menjaga hati ini dengan baik”, Liam menghapus air matanya.

“Tahun depan aku akan datang lagi Lucy. Tunggu aku, aku menyayangimu”, lanjut Liam dengan kembali memasang senyum yang sedikit dipaksakan.

Seorang gadis dengan gaun putih bersih memandangi punggung pria yang sedari tadi berjongkok di pinggir makamnya, “Lucy juga sayang kakak”, gadis itu tersenyum lembut kemudian menghilang bersama hembusan angin musim gugur.

Udara musim gugur begitu menusuk kulit, sangat dingin. Namun pria itu tidak menghiraukan dinginnya udara, ia masih setia di samping makam adiknya, makam cinta pertamanya.

<3

Sorry, really sorry

Even when I say this I feel apologetic

In a short while, we might lose everything

Love really hurts, it’s hurts too much

I keep smiling yet crying endlessly

Love is really funny, really frightening

Please, stop it now, if only

I was able to wake up from my dream

(Yesung – Love Really Hurts)

.

.

FIN

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar