Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 10 April 2014

(Cerpen) One Spring Day



One Spring Day
.
.
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Inspired By:

                                                                                                                            

2am – One Spring Day
My Friend’s True Story a.k.a Eni Palupi

Cast:
Mikhan, Khaen, Rey
Genre: Friendship, Sad
 Rating: Teen
Lenght:
Oneshot
Disclaimer:
This story is belong to me, don’t claim it as yours, and No Bashing!!
Summary:
Jauh di masa depan... saat aku menoleh ke masa lalu
Aku pikir aku akan bangga bisa mengatakan bahwa aku benar-benar mencintaimu...
-----<3-----
Aku masih gadis yang dulu. Aku masih Mikhan yang dulu. Aku masih tegar seperti yang dulu. Aku masih Mikhan yang senang menggores kertas putih dengan gambar Anime kesukaanku. Pun hatiku masih seperti yang dulu, dipenuhi cinta, kasih sayang, kebahagiaan, termasuk duka yang takkan bisa terobati oleh siapapun, oleh apapun, dan sampai kapanpun.
Dimusim semi ini, setelah-sekian-tahun aku membenci musim semi, kubuka hatiku. Memberi secercah kehidupan yang telah lama terkubur dalam memori, terkubur bersama kenangan, terkubur dalam keperihan jiwa yang telah lama mati rasa. Memberi setitik sinar pada relung hati yang telah lama mati, dalam jiwa yang gelap tanpa siapapun mengetahui betapa gelapnya hati ini. Tanpa cahaya.
Di bawah pohon maple ini, di tempat-penuh-kenangan ini, kugoreskan pensil, goresan demi goresan di atas kertas putih, yah.. buku gambar kesayanganku. Kutuangkan semua rasa sakit yang kusimpan di kertas ini, kutuangkan segala kenangan, segala kebahagiaan, segala nestapa keterpurukanku, menjadi satu nostalgia tak berkesudahan.
Mencoba melepaskan –tidak melupakan- perasaan membuncah yang menggerogoti relung jiwaku, terkadang merusak saraf otakku, mengehentikan aktivitas organ vitalku, perasaan yang sama setiap bayangan itu kembali hadir. Terlihat melankolis memang. Kau mungkin akan berfikir aku adalah gadis yang tidak waras, sedikit hiperbola tak apa.
Tak kuhiraukan air mata yang terus mengalir, tak kuhiraukan tubuhkku yang kembali bergetar, saat goresan demi goresan ini mulai menghasilkan bentuk yang begitu tak asing bagiku. Hasilnya memang belum sempurna, karena belumlah selesai. Namun hasilnya telah tampak di bayanganku membuatku kembali meringis perih. Bayangan itu, kenangan itu, semakin bergelayut di seluruh persendianku, membuat otot-ototku seakan mati rasa.
Tak bisa, aku tak bisa. Perasaan ini sudah tak terbendung lagi, aku tak dapat menghentikan perasaan ini.
Khaen, Rey,
Tes...
Lagi, air mataku menetes lagi. Semakin kutahan semakin perih yang kurasakan. Semakin kutahan, air mata ini semakin deras mengalir.
Khaen, Rey,
Tidakkah kalian ingin membawaku bersama kalian? Aku merindukan kalian... Sangat.
Jika ada yang bertanya apakah hidupku selama ini baik-baik saja, maka aku akan menjawab “aku baik-baik saja”. Tapi itu semua hanya kebohongan. Sungguh munafik jika kukatakan aku baik-baik saja. Tidak, aku tidak baik-baik saja. Aku sakit. Aku lelah. Segala senyum yang terpatri di wajahku, segala keceriaan yang selama ini menjadi pribadiku, itu semua hanya topeng untuk menutupi keadaanku. Jika kutunjukkan pada dunia bahwa aku tidak baik-baik saja, dunia akan menganggapku gadis paling menyedihkan. Tidak, aku tidak ingin di kasihani. Aku benci orang-orang memandangku dengan tatapan kasihan. Cukup aku yang menyimpan kesakitan ini, cukup aku yang memendam semua rasa lelah ini. Cukup aku, cukup aku yang tahu.
-----<3-----
Angin musim semi menerpa kulit wajahku. Membuat air mata ini telah kering beberapa saat yang lalu. Gambaranku pun telah hampir selesai. Gambar tiga orang sahabat, dua anak laki-laki dan satu anak perempuan yang berdiri di antara kedua anak laki-laki itu. Sahabat, itulah arti dari gambar ini. Sahabat.
Semua orang akan beranggapan mustahil ada persahabatan seperti itu, seorang perempuan dan dua orang laki-laki. Mustahil. Itu hanya ada di dongeng, di cerita-cerita khayalan remaja. Tapi ini nyata. Aku, Khaen, dan Rey. Kami bersahabat. Jika kau tak percaya tak mengapa. Tapi jangan membully persahabatan kami. Karena kau tak tahu apa-apa akan hal ini.
Setiap hari aku menangis dan tertawa karena kau
Sepanjang hari, aku hanya dipenuhi dengan hati bergelora
Ini baik-baik saja, tidak apa-apa, tidak apa-apa
Aku hanya perlu meninggalkan semuanya di sini
Kenangan, jejak, semuanya
Aku tersenyum miris melihat hasil gambar ini. Semua memori itu, masih terpatri jelas. Semuanya tampak seperti kemarin.
Flashback, Februari 2004:
“Mikhan, cepat kemari. Ada yang ingin aku perkenalkan sama kamu”, Rey berucap dengan penuh semangatnya.“Mikhan, perkenalkan ini namanya Khaen. Nah Khaen, ini gadis yang akan aku perkenalkan tadi, Mikhan”.
“Kamu???!!”, ucapku dan anak laki-laki yang bernama Khaen itu bersama dengan ekspresi yang sama-sama terkejut.
Rey memandang kami berdua dengan kebingungan karena ekspresi keterkejutan kami.“Loh, kalian sudah saling mengenal? Kenapa tidak memberitahuku?”.
Ya Tuhan, Rey, dunia ini sempit sekali. Anak ini kan yang kemarin mobilnya aku lempar dengan batu karna mobilnya seenaknya melewati genangan air di sampingku yang sedang jalan kaki, menyebabkan pakaikanku kotor seluruhnya.
Aku dan Khaen langsung merasa canggung, tak tahu hendak mengatakan apa-apa. Khaen, anak itu begitu dingin, tatapannya menusuk langsung ke retina mataku. Tuhan, bagaimana ini. Apa aku bisa berteman baik dengan Khaen?
Aku kembali tertawa dalam hati. Bagaimana pertemuan pertama kami saat itu, tahun 2004. Kami masih kelas empat Sekolah Dasar. Pertemuan konyol tanpa disengaja yang membuat kami pada akhirnya menjadi sahabat selama beberapa tahun. Persahabatan antara tiga anak manusia yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda, namun saling melengkapi. Ya, hanya beberapa tahun karena mereka berdua telah pergi meninggalkanku. Mereka pergi.
Tes...
Tidak, Astaga Tuhan. Kenapa aku cengeng sekali. Ini bukan saatnya untuk kembali menangis, Mikhan kau tidak boleh menangis lagi. Kembali kurasakan tubuhku bergetar, kupeluk erat hasil gambarku mencoba menahan tangisanku. Tapi aku tak bisa, aku cengeng. Aku cengeng.
Flashback, awal Mei 2007:
Kami bertiga, aku, Khaen, dan Rey melihat bulan purnama bersama di bawah pohon maple yang menjadi tempat favorit kami. Cantik. Bulan itu menampakkan sosoknya seutuhnya dengan cahaya yang begitu menenangkan malam, dan menenangkan setiap makhluk di bumi yang terkena bias cahayanya.
“Tahun depan saat purnama muncul lagi, kita akan melihatnya bersama-sama lagi yaa”, itulah kalimat yang diucapkan Rey saat itu. Kalimat yang pertama muncul sejak keheningan melingkupi kami bertiga di bawah cahaya purnama.
“Kuharap begitu Rey, semoga kita bisa melihatnya bersama lagi”, batinku dalam hati. Entah kenapa aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Khaenpun hanya tersenyum menanggapi ucapan Rey. Bulan purnama malam ini entah mengapa terasa lebih cantik, bahkan sangat cantik dibandingkan bulan purnama yang biasanya aku lihat. Jauh di lubuk hatiku, aku takut jika harapan itu tidak dapat terwujud. Tuhan, tolong kabulkan doa dan harapan kami ini.
Kami bertiga kembali terdiam di bawah bias rembulan, cahanya menerangi wajah kami. Kulihat Rey dan Khaen bersama-sama tersenyum kearahku, cahaya bulan membuat wajah mereka tampak bersinar. Aku hanya balas tersenyum pada mereka. Senyuman tulus tanpa paksaan, senyuman tulus karena kebahagiaan, senyuman tulus karena persahabatan.
Bukankah kita akan melihat purnama itu bersama lagi? Kau bilang kita akan melihatnya bersama lagi kan Rey? Khaen, kau juga ingin melihatnya bersama lagi kan? Pembohong! Kalian berdua pembohong! Kalian pergi, kalian pergi dariku. Aku sangat menunggu saat-saat itu, purnama.
Perih, entah apa lagi kata yang pantas aku katakan untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Hanya perih. Mataku perih, hatiku perih, jiwaku perih, perih seluruh tubuhku.
Setiap hari aku menangis dan tertawa karena kau
Sepanjang hari, aku hanya dipenuhi dengan hati bergelora
Ini baik-baik saja, tidak apa-apa, tidak apa-apa
Aku hanya perlu meninggalkan semuanya di sini
Kenangan, jejak, semuanya
Seakan semua itu baru saja terjadi. Ingin sekali aku membunuh waktu, kembali ke masa saat kami bertiga tertawa bersama, berbagi kisah bersama, menjalani hari-hari bersama. Tuhan, aku merindukan mereka. Aku masih dan akan selalu menyayangi mereka.
Set...
Aku merasakan ada sesuatu yang menyentuh bahuku. Kutolehkan wajahku, tidak ada siapapun di sini kecuali diriku sendiri. Tapi sentuhan ini, seakan nyata. Ini mistis, atau hanya halusinasiku?
“Mikhan, bangkitlah... Jangan terus menerus seperti ini. Aku dan Rey tidak ingin kau seperti ini”, sayup-sayup kudengar suara yang benar-benar masih familiar di telingaku. Suara ini, Khaen?
Khaen? Kau kah itu? Kau di mana? Khaen?
Refleks aku berdiri, kutolehkah wajahku mencari asal suara. Namun nihil. Aku tak menemukan siapapun. Mungkinkah itu... Tidak. Tidak mungkin. Ini mustahil. Aku pasti terlalu merindukan mereka. Iya, Khaen sudah tenang di sana. Dia tidak mungkin kembali. Tapi jika benar dia kembali, apakah dia datang untuk menjemputku dan membawaku bersamanya? Bersamanya dan juga Rey?
Kembali aku terduduk lemas. Masih kupeluk erat hasil gambaranku.
Bukankah musim semi difilosofikan sebagai musim di mana tumbuhnya jiwa dan harapan baru, serta kebahagiaan baru di mana sebelumnya kesengsaraan telah berguguran di mesim gugur? Tapi mengapa? Mengapa kesedihan itu tak juga beranjak dariku?
Dengan tangan bergetar, kuelus pelan gambar wajah Khaen. Dia yang lebih dulu meninggalkanku dan Rey, meninggalkan sejuta kenangan dan keperihan.
Khaen, tidakkah kau juga merindukanku?
Flashback, Juni 2007
Aku masih menunggu di depan rumahku, menunggu Khaen yang akan menjemputku ke rumah Rey. Ya, hari ini kami berencana akan merayakan ulang tahunku. Cukup lama aku menunggu di sini, detik, menit, bahkan jam telah berlalu. Langit saat ini mulai mendung. Aku merutuki Khaen yang dengan seenaknya membuatku lama menunggu. Setidaknya dia memberiku kabar jika memang akan terlambat atau bahkan lebih parahnya jika memang dia membatalkan janji hari ini.
Bosan menunggu Khaen, aku berniat memasuki rumah karena aku sudah lelah. Khaen, awas kau sudah membuatku lama menunggu. Entah berapa banyak sumpah serapah yang aku lontarkan untuk Khaen hingga suara Rey membuatku kembali keluar rumah.
“Mikh..Mikhaaan.. ituuu, Mik...”, suara Rey begitu tersengal-sengal. Ada apa dengan anak ini?
“Kamu kenapa Rey? Bicara yang jelas donk”
“Khaen... Mikhan, Khaen...”
“Khaen? Kenapa dengan Khaen?”
“Khaen...”, ekspressi Rey berubah pucat.
“Ada apa dengan Khaen, Rey? Jangan membuatku takut”
Beberapa saat Rey terdiam. “Khaen kecelakaan Mik”, wajah Rey terunduk dalam.
“Apaaa? Hahaa, Rey, sudahlah tidak perlu berbohong seperti itu. Aku tahu ini hari ulang tahunku, tapi ini tidak lucu”, aku tertawa menanggapi perkataan Rey. Khaen kecelakaan katanya? Hah, yang benar saja.
Kulihat ekspressi Rey, sepertinya dia sedang tidak bercanda. “Khaen sekarang ada di rumah sakit Mikh, dia kritis”.
Mendadak aku seperti orang lumpuh. Aku tidak sanggup menopang berat tubuhku sendiri. Setelah beberapa saat kemudian, aku dan Rey segera menuju rumah sakit tempat di mana Khaen saat ini.
...
Sudah setengah bulan Khaen di rawat di rumah sakit. Orang tua Khaen terutama Ibunya selalu setia menemaninya. Aku dan Rey pun tak pernah absen untuk menemani Khaen. Hari ini, aku dan Rey berkeliling rumah sakit dengan Khaen yang duduk di kursi roda. Hari ini untuk pertama kalinya setelah kecelakaan saat itu kami bertiga kembali tertawa bersama. Seakan melupakan segala yang telah terjali setengah bulan terakhir ini.
Namun di saat kami sedang tertawa begitu lepasnya, Khaen tiba-tiba tidak sadarkan diri. Khaen pingsan. Aku dan Rey yang panik segera berlari membawa Khaen kembali keruangannya. Entah mengapa kali ini tubuhku serasa lebih lemas. Rey memelukku, menenangkanku dan berkata bahwa Khaen akan baik-baik saja. Saat ini aku kacau, aku takut kehilangan Khaen. Aku tahu Rey pasti membenci saat aku menangis, tapi biarkan aku kali ini menangis di bahumu Rey. Rey semakin erat memelukku, “Tenanglah Mikhan, Rey pasti sembuh. Dia laki-laki yang kuat”.
Selama beberapa hari Khaen tak sadarkan diri. Hingga tiba hari yang begitu membuatku tak ingin hidup lagi. Khaen sudah tidak ada, dia pergi. Khaen pergi meninggalkanku dan Rey. Selamanya. Mungkin Tuhan begitu menyayangi Khaen sehingga Dia memanggil Khaen lebih dulu. Aku dan Rey menangis, kami kehilangan sahabat kami yang begitu berharga. Kami kehilangan jiwa kami. Kami kehilangan semangat dan senyuman kami, Khaen.
Mulai hari ini, semuanya akan terasa berbeda. Hanya ada aku dan Rey. Khaen, aku berjanji akan menjaga Rey, kau tenanglah di sana. Walaupun hati ini tidak bisa merelakanmu pergi Khaen.
Air mataku menetes tepat di atas gambar wajah Khaen. Bayangan saat-saat di mana Khaen pergi, begitu jelas. Bayangan itu seakan sudah diformat di otakku untuk terus di putar dan tidak bisa menghilang. Membuatku kembali meringis. Aku terisak seorang diri di sini, tanpa teman. Kurasa hanya angin musim semi yang menemaniku, yang mau mendengarkan tiap tangis piluku.
Set...
Kembali kurasakan sentuhan, kali ini tidak di punggungku, tapi di puncak kepalaku. Kudongakkan wajahku, namun sama seperti tadi tidak ada siapa-siapa. Kupejamkan mataku, merasakan sentuhan ini, sentuhan yang begitu lembut, begitu nyata. Dan sebuah suara, suara Rey... Iya, kali ini aku tidak salah. Ini suara Rey. Kupertajam pendengaranku, dengan mata yang masih tertutup rapat. Kudengarkan dengan baik tiap kalimat yang dilontarkan Rey, entah ini hanya halusinasiku atau ini memang nyata. Kuharap ini nyata. Semakin jelas aku mendengarkan suara ini, semakin tak tertahankan air mataku. Aku sudah berusaha menahan air mata ini, namun tak bisa. Air mata ini tidak mau berkompromi sedikit saja denganku.
“Mikhan, ini aku Rey.. kumohon jangan menangis lagi Mikhan...”.
Aku menyunggingkan senyum mendengar ucapannya barusan. Senyuman tulus untuk pertama kalinya setelah dia pergi meninggalkanku beberapa tahun yang lalu. Kurasakan usapan lembut di kepalaku, sungguh aku tidak ingin hal ini berakhir.
“Aku tahu ini berat untukmu Mikhan, tapi aku dan Khaen ingin kau kembali bersemangat. Kembali seperti Mikhan yang dulu aku dan Khaen kenal. Mikhan yang suka tersenyum, namun bukan senyum kepura-puraan. Tapi senyuman tulus, buka hatimu Mikhan, buka matamu pada dunia. Aku yakin kau bisa, kau tenanglah karena aku dan Khaen selalu ada bersamamu. Di hatimu...”.
Rey, seandainya kau tahu betapa selama ini aku kesepian karena kalian, betapa menderitanya aku selama ini. Kau jahat Rey, setelah Khaen pergi kau juga pergi meninggalkanku. Kau jahat Rey, kau jahat!
Apa yang aku lakukan dengan masing-masing kenangan yang menumpuk?
Mereka masih begitu jelas
Setiap hari aku menangis dan tertawa karena kau
Sepanjang hari, aku hanya dipenuhi dengan hati bergelora
Ini baik-baik saja, tidak apa-apa, tidak apa-apa
Aku hanya perlu meninggalkan semuanya di sini
Kenangan, jejak, semuanya
Flashback, Juni 2008
Hari ini aku merasa seperti Dejavu. Aku merasa kejadian tahun lalu kembali terulang. Tahun lalu, Khaen terbaring lemah di rumah sakit dan berakhir dengan ia yang pergi meninggalkanku. Meninggalkanku selamanya. Tahun ini, di musim yang sama –musim semi- sahabatku satu-satunya, Rey, terbaring koma di rumah sakit. Rey tidak mengalami kecelakaan seperti Khaen, tapi karena penyakitnya. Penyakit yang selama ini ia sembunyikan dariku dan juga dari Khaen. Rey mengidap penyakit yang-menurutku-menakutkan, kanker.
Aku merasa telah menjadi sahabat yang jahat. Aku merasa telah gagal menjadi sahabat yang baik untuk Rey. Aku gagal untuk menepati janjiku pada Khaen untuk menjaga Rey. Aku bersahabat dengan Rey bahkan sebelum mengenal Khaen, tapi aku bahkan tidak tahu bahwa Rey mengidap penyakit kanker. Apakah aku yang tidak peka atau Rey yang memang tidak ingin  aku mengetahui mengenai penyakitnya, aku tak tahu.
Di sini, di depan pintu kamar rumah sakit tempat Rey dirawat, aku menangis seorang diri. Dulu saat Khaen kritis, ada Rey yang menenangkanku. Sekarang saat Rey seperti ini, aku tidak tahu dengan apa aku menenangkan diriku. Jauh di lubuk hatiku saat ini aku lebih takut dibandingkan tahun lalu, saat Khaen kritis. Saat ini hanya Rey sahabat yang aku punya. Aku takut Rey juga akan pergi menyusul Khaen.
Tidak. Mikhan kau tidak boleh berpikiran seperti itu. Rey pasti sembuh. Rey akan sembuh. Dia kuat, seperti selama ini dia menahan penyakitnya, menyembunyikannya dariku dan Khaen. Rey harus dan pasti sembuh.
-----<3-----
Tapi Tuhan memiliki rencana lain. Rey tidak sembuh. Rey pergi. Beberapa menit yang lalu setelah Rey dioperasi, dokter menyatakan nyawa Rey sudah tak tertolong lagi.  Aku, apa yang harus aku lakukan? Rey, kenapa semua seperti ini? Mana janji kita untuk melihat purnama bersama lagi? Kalian berdua mengapa begitu tega meninggalkanku sendiri.
Kurasa dunia yang kupijak sudah runtuh. Dunia tak pernah berpihak padaku. Dunia mengambil semua yang aku sayangi. Hari ini, penghujung musim semi. Aku membenci musim semi. Mulai detik ini aku benci musim semi. Musim yang telah mengambil kedua sahabatku.
Di depan makam yang masih baru ini, dengan gundukan tanah yang masih basah, aku terduduk. Menangis. Apalagi yang bisa aku lakukan selain menangis. Aku bukan siapa-siapa tanpa Rey. Aku tak bisa melakukan apa-apa tanpa Rey. Kurasa tak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini. Lebih baik aku bunuh diri sekarang juga. Tuhan ijinkan aku menyusul Rey dan Khaen, ijinkan aku bertemu dengan mereka.
Aku masih terduduk lemas di pinggir makam Rey. Entah sudah berapa jam aku menangis di sini. Entah sudah berapa liter air mata yang telah keluar. Entah bagaimana kondisiku saat ini, aku tak peduli. Hingga suara yang begitu familiar di telingaku mengampiri indra pendengaranku. Suara wanita yang telah melahirkanku dan membesarkanku, suara ibuku.
“Sayang, sudah jangan menangis lagi ya... Mungkin Tuhan sayang sama Rey jadi Tuhan memanggil Rey sekarang”, suara ibuku begitu lembut.
“Berarti Tuhan tidak sayang padaku bu, kenapa Tuhan hanya memanggil Rey. Tuhan membiarkanku sendiri, ini tidak adil bu, hiks ini tidak adil...”, aku berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengucapkan kata demi kata.
“Tidak sayang. Tuhan sayang dengan Mikhan, hanya saja Tuhan memiliki rencananya sendiri. Sudah Mikhan jangan menangis lagi, sekarang kita pulang, istirahatlah sayang. Kau pasti lelah”, ibuku kali ini tersenyum. Senyum yang sangat kusukai. Setelah ibuku berucap seperti itu, aku merasakan lelah yang teramat sangat di seluruh tubuhku. Terakhir yang kulihat adalah wajah ibuku yang masih tersenyum, hingga... semuanya menjadi gelap.
Mengingat kenangan itu, sama dengan membuka lubang dalam hatiku yang selama ini berusaha kututupi. Mengingat kenangan itu, membuatku kembali mati rasa. Membuatku merasa menjadi manusia tak berguna, dan membuatku merasa kehidupan ini hanya memperolok-olokku.
Khaen, Rey,
Aku tahu kalian selalu mengawasiku. Kalian selalu menjagaku. Kalian tidak akan pernah aku hapus dari sini, dari hatiku. Saat ini yang perlu aku lakukan hanyalan bangkit. Bangkit dari keterpurukan nestapa yang menurutku terkadang terlalu melankolis, bangkit dari rasa bersalah, bangkit dari kelamnya hati yang tak kunjung disinari.
Khaen, Rey,
Terima kasih. Terima kasih sudah menjadi sahabatku dan mengajarkanku betapa berharganya hidup ini. Terima kasih kalian tidak pernah jauh dariku. Di musim semi, kalian pergi meninggalkanku. Di musim semi aku kehilangan sumber kehidupanku. Tapi di musim semi kali ini, aku kan membangun jiwa baru. Semoga filosofi itu benar adanya. Di musim semi memunculkan kebahagiaan dan meninggalkan kesengsaraan secara perlahan seperti pohon Ume yang berguguran bunganya secara perlahan di musim gugur dan akan mekar perlahan nanti di musim semi dan menumbuhkan bunga yang mekar dan cantik.
Jauh di masa depan, ketika aku melihat ke belakang
Aku pikir aku akan dengan bangga bisa mengatakan
Bahwa aku benar-benar mencintaimu
Setiap hari aku menangis dan tertawa karena kau
Sepanjang hari, aku hanya dipenuhi dengan hati bergelora
Ini baik-baik saja, tidak apa-apa, tidak apa-apa
Aku hanya perlu meninggalkan semuanya di sini
Kenangan, jejak, semuanya
(2 am – One Spring Day)
.
.
.
Fin

 #EPILOG
“Hey Rey, seharusnya aku duluan yang berbicara dengan Mikhan. Bukan kau. Bukankah yang meninggal terlebih dulu itu aku? Jadi biarkan aku yang berbicara dengannya terlebih dahulu!”
“Enak saja kamu Khaen. Kau tidak lihat aku yang sedang digambar Mikhan terlebih dahulu, itu berarti Mikhan lebih merindukanku dari pada kau”
“Bagaimana kalau kita undi dengan kertas, gunting, batu? Siapa yang menang dia yang lebih dulu berbicara dengan Mikhan. Setuju?”
“Oke, siapa takut. Ayo kita mulai, kertas, gunting, batu...”
“Hyey, tuh kan memang seharusnya aku yang lebih dulu. Hush hussh sana minggir, aku mau bicara dengan Mikhan. Ehm tes, tes, sudah merdu belum suaraku?”
“Hah, suaramu emang dari hidup sampai sekarang tetep aja ga enak di dengar.. hahahaa”
“Ah, sudahlah kau diam. Kalau begini terus kapan kita mulai. Kau tidak lihat dari tadi Mikhan menangis? Aku sudah tidak sanggup melihatnya mengeluarkan air mata untuk kita”
“Okey okey Prince Charming... Waktu dan tempat dipersilahkan...”
Ehm.. Mikhan, bangkitlah... Jangan terus menerus seperti ini. Aku dan Rey tidak ingin kau seperti ini”...
-----<3-----

Cuap-cuap Author:
Hyeyeyellalalala... Fiuuuuh *elap keringet*
Akhirnya nih cerita jadi juga, ga jelas ya? Banget dah. Ini cerita apa banget deh, awkward, ancur bin gaje abis. Aku mau ngucapin trima kasih banyak buat temenku yang cantik and unyu-unyuuu... Buat Eni Palupi ini cerita kalo ga karna kamu aku ga mungkin bisa bikin cerita begini. Makasih udah nginspirasi aku karna cerita nyata kamu *cipok Eni* gkgkgkgk...
Yesungdahlah, hope you like this story JJ
Pai-paiii *nyanyi bareng Oppa-Oppa 2am*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar