“Nona Picikan”
.
Author:
Aisyah a.k.a Cloudisah
Cast:
Darwin and
Umairoh
Genre:
Friendship
Rating:
Teen
Warning:
Typo, bahasa
campur aduk, alur cerita bikin mual...
Ps: Ini cerita kedua buat temanku
yang nyebelin bernama Darwin yang “Kepo” abis dan suka nyari-nyari kesalahanku
-_-
Yesungdah... Happy reading ^^
.
.
***
Darwin’s POV
Aku mengenalnya sekitar delapan bulan
yang lalu.
Ia bukan gadis terkenal, setidaknya
tidak terkenal di lingkungan kampus. Bukan gadis peraih medali olimpiade, juga
bukan mahasiswi pecinta alam. Ia hanya gadis biasa. Mahasiswi biasa dengan
kemampuan yang biasa serta penampilan yang bisa dibilang biasa saja.
Meskipun aku sudah mengenalnya selama
delapan bulan, namun sampai detik ini aku tak tahu namanya. Ia tak pernah
memberitahuku siapa namanya. Ia bilang ia sangat suka dengan nama panggilanku
untuknya, Nona Picikan. Oke, nama itu terdengar aneh dan sedikit... errr
entahlah.
Mungkin kalian akan berpikir kenapa
aku memanggilnya dengan Nona Picikan. Eumm, sederhana saja. Awalnya ia adalah
pelanggan yang pertama kali datang ke café-ku persis delapan bulan yang lalu saat
café-ku baru saja dibuka. Waktu itu ia
duduk di pojok café sambil menangis meraung-raung. Aku sebagai
pemilik café tentu saja kebingungan karena di hari pertama café-ku
buka sudah ada pelanggan yang menggalau ria di dalam café.
Saat itu aku mengampirinya yang meraung-raung
seperti orang kerasukan. Aku mencoba bertanya apa yang terjadi, namun ia tak
menghiraukan sama sekali. Ia malah menangis semakin kencang. Lantas aku mencoba
bertanya seseorang yang mungkin bisa ia hubungi agar menjemputnya. Ia masih
tetap tak mengindahkan perkataanku.
Awalnya aku mulai terpancing emosi karena ia
terus saja menangis dan membuat pelanggan lain merasa terganggu. Hingga akhirnya
aku merebut ponselnya untuk mencari nomor ponsel keluarganya yang mungkin bisa
aku hubungi. Saat aku mulai mencari-cari nomor di ponselnya, ia malah berteriak
dan segera merebut ponselnya dari tanganku. Ia bilang “picikan” ponselnya bisa
terlepas kalau aku “memiciknya” terlalu kuat.
Saat itu aku malah tertawa dengan apa yang ia
katakan. Hey, ayolah... itu namanya bukan “picikan” tapi “keypad”. Karena aku
menertawakannya ia malah melotot padaku dengan matanya yang bengkak dan merah.
Setelahnya ia bangkit dan langsung keluar dari café dengan langkah
tergesak-gesak. Sedangkan aku malah masih tak bisa menghentikan tawaku karena
tingkah gadis itu benar-benar aneh.
Setelah kejadian itu, aku kembali betemu
dengannya dua hari kemudian. Tepat di jam yang sama pukul 10 pagi di café-ku.
Namun saat itu berbeda dengan dua hari sebelumnya. Ia tak lagi menangis
meraung-raung. Yah, seperti kebanyakan gadis-gadis lain yang datang ke café, ia
juga datang bersama teman-temannya lalu setelah itu mereka mulai mendiskusikan
berbagai hal yang bisa kutebak salah satunya adalah membicarakan orang lain.
Seperti sebuah takdir, gadis itu malah menjadi
pelanggan setia di café-ku. Dan yeah kau taulah akhirnya kami menjadi mulai
akrab. Awalnya aku menanyakan namanya, namun ia bilang aku boleh memanggilnya
sesukaku asal nama itu masih manusiawi. Tentu saja aku bingung. Lantas aku
memanggilnya dengan “Nona Picikan” karena insiden dipertemuan pertama kami.
Well, anehnya ia malah senang saja dengan nama panggilan itu. Hingga akhirnya sampai
hari ini aku masih memanggilnya dengan “Nona Picikan”.
Kurasa cukup menceritakan pertemuan
pertama kami.
Karena yang terpenting saat ini ialah
gadis tak tahu diri itu tadi malam menyuruhku bertemu dengannya di taman dekat
kampusnya sepulang ia kuliah. Bahkan sekarang sudah lewat tiga puluh tujuh
menit dari waktu yang ia janjikan. Dan bodohnya aku malah masih menunggunya di
sini.
Baiklah mungkin gadis itu akan datang
beberapa menit lagi. Aku sudah mencoba menghubunginya berkali-kali namun ia
sama sekali tak menjawab panggilan telponku. Tsk, setelah ini aku tidak mau
lagi datang jika ia mengajakku bertemu. Hey, aku ini seorang pemilik café yang cukup sibuk. Dan aku sudah meluangkan
waktuku yang sangat berharga untuk memenuhi permintaannya.
Mungkin Tuhan tak menigjinkanku untuk
terus mengomel karena aku bisa melihat sosok gadis itu yang berjalan sedikit
sempoyongan sekitar delapan meter dari tempat yang sekarang kududuki.
Aku segera bangkit dari duduk dan
berdiri sambil melipat kedua tanganku di depan dada bersiap untuk mengomeli
gadis itu. Belum saja sampai, gadis itu malah terjatuh sekitar tiga meter dari
tempatku sekarang. Aku yang niatnya ingin memarahi gadis itu malah panik dan
menghampirinya.
“Kau tak apa? Hey... Nona
Picikan??!!! Apa yang terjadi... hey, bangunlah...”, aku menopang kepalanya di
atas pangkuanku. Berusaha menyadarkan gadis itu karena sepertinya ia tak
sadarkan diri.
“Nona, sadarlah... Kau kenapa?”, aku
mengguncang-guncangkan bahunya berharap agar gadis ini membuka matanya. Namun
ia benar-benar tak sadarkan diri. Kucoba meraba dahinya. Ya Tuhan badannya
panas.
Aku mulai panik dan langsung
mengangkatnya menuju rumahku yang berada di belakang café tak jauh dari sini. Aku sedikit kesusahan
berjalan karena gadis ini ternyata cukup berat. Baiklah Darwin disaat seperti
ini kau tidak boleh membahas berat badan orang lain. Tapi gadis ini benar-benar
cukup berat dan tanganku mulai terasa kram.
***
Sudah tiga jam Nona Picikan ini tak
sadarkan diri. Saat ini ia sedang berada di kamarku dan tiga jam yang lalu
dokter mengatakan ia hanya kelelahan sehingga badannya demam dan asam
lambungnya meningkat jadi ia perlu istirahat yang cukup.
Tapi, kalian tidak berpikiran yang
tidak-tidak kan?
Hey... Rumahku ini hanya ada satu
kamar karena aku tinggal seorang diri di rumahku yang minimalis di belakang café-ku. Aku mencoba berbisnis sendiri. Sedangkan
orang tuaku mengurus bisnis mereka di luar kota.
Aku menghampirinya yang masih tak
sadarkan diri. Aku duduk di tepi tempat tidur tepat di samping gadis itu
berbaring. Kuraba dahinya, suhu badannya sekarang sudah tak sepanas tadi.
“Sebenarnya apa yang terjadi
padamu?”, lirihku khawatir sambil meletakkan handuk yang kubasahi dengan air
dingin di dahinya. “Kau benar-benar pandai mengaduk-aduk perasaanku..”.
Gadis ini memang sering membuat
perasaanku jadi tak menentu. Kadang kala ia membuatku khawatir, kadang ia
benar-benar membuatku marah,terkadang membuatku sebal, bahkan kadang... aku
merindukannya kala ia tak ada kabar beberapa hari.
Aku masih duduk di sampingnya
menunggu ia membuka matanya. Wajahnya terlihat begitu tenang di saat tertidur
seperti ini.
Tsskk, apa yang aku lakukan. Aku tak
sadar kala tanganku mulai mengelus pelan kepalanya. Entah ada apa denganku
karena aku sekarang mulai merasa tak bisa jauh dari gadis ini. Gadis cerewet
yang tak pernah berhenti berbicara kecuali saat ia sedang makan atau tidur.
Bahkan disaat ia sakit seperti ini
aku juga merasakan sakit di dadaku. Matanya yang biasa menatapku dengan iris
caramelnya yang hangat, bibirnya yang biasanya akan selalu tersenyum padaku,
dan ekspressi cemberutnya jika ia sedang merajuk. Tapi saat ini ia sedang sakit
dan iris caramel itu sedang terpejam, bibir yang selalu tersenyum itu mengatup
rapat, dan wajahnya benar-benar pucat sekarang.
“Nona Picikan... Cepatlah sembuh”
***
Umairoh’s POV
“Eungh..”
Perlahan kubuka mataku. Bias cahaya yang
cukup menyilaukan membuatku mengerjap-ngerjapkan mataku untuk membiasakan
cahaya yang masuk ke dalam retina mata. Kepalaku terasa berat dan perutku
sedikit mual. Aku mencoba bangun dan berusaha memperjelas penglihatanku yang
terasa kabur.
Aku di mana sekarang? Ini tidak
seperti kamarku. Kamarku berwarna peach sedangkan di sini dominan berwarna biru
laut.
Ini tidak mungkin rumah sakit kan?
Kupegangi kepalaku yang terasa
berdenyut, bahkan rasanya sekarang untuk dudukpun tidak nyaman. Aku mencoba
mengingat kejadian beberapa saat yang lalu.
Oh iya. Tadi seingatku aku menemui
Tuan Kepo di taman. Dan setelahnya, aku tak ingat apa-apa lagi. Apa ini
kamarnya? Aku mencoba turun dari ranjang berusaha mencari seseorang yang
mungkin pemilik kamar ini.
Belum sempat kusampirkan selimut yang
menutupi tubuhku, kudengar langkah seseorang memasuki kamar ini. Ternyata
benar, ini kamarnya.
“Kau sudah bangun?”, tanyanya
terkejut lantas tergesak-gesak menghampiriku.
Aku hanya menatap bingung padanya.
Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tenggorokanku rasanya kering dan cukup sakit
untuk berbicara.
“Kurasa demammu sudah turun”. Ia
meraba dahiku dengan lembut. “Hey... ada apa denganmu?”, ia mengibas-ngibaskan
tangannya di depan wajahku karena aku hanya menatapnya tanpa berkedip sekian
sekon.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku saat
tersadar kalau aku sudah menatapnya terlalu lama. Aku lantas sedikit menjauhkan
tubuhku darinya.
“Tsskk.. Kau ini. Tenang saja, aku
tak melakukan sesuatu yang buruk padamu”, ujarnya seolah mengerti apa yang aku
pikirkan. Ah benar... Dia tidak mungkin melakukan hal-hal yang aneh padaku. Aku
sangat kenal pria ini. Ia bukan pria sembarangan.
“Kau tunggu di sini ya.. aku akan
mengambilkan makanan untukmu”, ia lantas beranjak dari duduknya dan berjalan
menuju pintu. Aku masih menatap punggungnya yang mulai menjauh hingga ia menghilang
di balik pintu.
Kurasakan perih di lambungku. Tssk..
maag-ku pasti kambuh lagi karena aku belum makan sejak tadi malam. Aku mencoba
bangun untuk menemui Tuan Kepo itu, tapi kepalaku masih terasa berat. Akhirnya
aku putuskan untuk menunggunya saja.
Kuperhatikan sekeliling kamar ini.
Tidak terlalu buruk juga, cukup rapi untuk seorang pria. Yah meskipun beberapa
buku berserakan di atas meja nakas serta beberapa pakaian yang bergantung
sembarangan di daun pintu.
Aku masih memperhatikan seluk beluk
kamar ini ketika pria itu datang membawakan nampan berisi makanan.
“Sudahlah, tidak perlu terlalu
mengagumi keindahan kamarku. Sekarang kau cepat makan... Tadi dokter bilang
kalau maag-mu kambuh. Ckk, kau ini benar-benar tidak bisa menjaga kesehatanmu
ya... Kau seharusnya makan tepat waktu...”. Pria ini benar-benar menyebalkan.
Kalau aku sedang tidak sakit sekarang pasti sudah kucakar-cakar wajahnya.
“Cepat makan... atau kau mau
kusuapi?”, ia mulai mengambil sendok dan memasukkannya ke dalam mangkuk bubur.
“Buka mulutmu”, perintahnya.
Aku tak mengindahkannya. Aku malah
menatap sinis padanya yang menungguku membuka mulut.
“Kau ini meskipun sakit tetap keras
kepala... Sudahlah, hanya buka mulutmu...ayo cepat”, ia menyodorkan mulut
sendok tepat di depan mulutku.
“Hmmm”, aku menggeleng kuat. Jujur
saja aku sedang tidak berselara makan saat ini.
“Kau harus makan meskipun hanya
sedikit, lalu setelah itu kau minum obat”, ia masih belum menyerah dan masih
menungguku membuka mulut. “Ayo...”
Akhirnya aku pasrah dan mulai menyuap
bubur itu. Rasanya benar-benar tidak enak. Hingga aku menyerah di suapan
kelima. Perutku terasa mual. Rasanya seperti ada yang mengiris-iris perutku.
Kepalaku juga terasa pusing, penglihatanku sedikit buram.
“Kau baik-baik saja?”, tanyanya khawatir.
Ia menyentuh pelan bahuku lantas menyodorkan obat untuk kuminum. “Minum dulu
obat ini baru setelah itu kau istirahat lagi”.
Aku hanya mengikuti apa yang ia
katakan. Aku sudah tidak tahan lagi. Rasanya aku ingin berbaring karena
kepalaku yang serasa berputar-putar.
Usai meminum obat, aku langsung
berbaring dan memejamkan mataku. Aku ingin mengatakan sesuatu pada Tuan Kepo
tapi rasanya terlalu sulit.
“Istirahatlah... Tidur saja lagi
supaya badanmu terasa nyaman”. Ia mengelus pelan puncak kepalaku. Aku hanya
bisa mengangguk dan setelahnya ia menutupi tubuhku dengan selimut berwarna biru
dengan gambar kartun Car.
“Jangan pikirkan hal-hal yang tidak
perlu saat ini... Kau perlu istirahat sekarang...”, itulah kalimat terakhir
yang aku dengar darinya sebelum akhirnya aku tertidur dan entah apa yang ia lakukan setelah ini.
***
Darwin’s POV
Nona Picikan.
Tidak ada yang spesial dengan nama
itu. Nama yang aneh, tidak masuk akal, dan benar-benar tidak elit. Orang lain
pasti akan mentah-mentah menolak nama itu. Tapi gadis aneh ini malah menyukainya.
Sebenarnya aku juga sangat menyukai julukan yang aku berikan padanya karena hal
itu selalu membuatku teringat bagaimana saat kami pertama kali bertemu.
Sekarang sudah pukul 9 malam dan ia
masih tertidur. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter tadi. Aku tahu
kalau gadis ini sedang ada masalah, karena aku mulai hapal kebiasaannya yang
selalu melupakan waktu makan jika banyak masalah yang ia hadapi.
Aku duduk di samping ia tidur.
Demamnya sudah turun namun keringat dingin membasahi keningnya. Kuambil tisu
untuk menyapu keringatnya, cukup pelan agar tak membangunkannya. Aku sangat
khawatir jika terjadi sesuatu padanya makanya aku tak bisa meninggalkannya sendirian
di kamar. Untung saja aku memiliki banyak karyawan sehingga aku tak perlu
mengkhawatirkan keadaan café-ku.
Sesekali ia bergumam dalam tidurnya.
Dan aku cukup terkejut ketika ia menyebutkan sebuah nama saat mengigau. “Ye..
sung. Yesung Oppa..”, dan hal itu sontak membuatku menjauhkan tanganku yang
masih mengelus puncak kepalanya.
Gadis ini benar-benar sasaeng fans.
Disaat tidurpun ia masih mengingat nama Yesung menyebalkan itu. Kenapa dia
tidak menyebut namaku saja huh? Tssk, aku bahkan sekarang cemburu dengan pria
bernama Yesung yang jauh di Korea Selatan sana.
“Hey Nona Picikan... Kalau kau terus
mengigau tentang Yesung, aku tak segan-segan menggendongmu keluar dari sini”, ucapku
sambil terkekeh pelan. Dasar bodoh. Tentu saja ia tak mendengar apa yang aku
katakan.
Sekarang aku sudah mulai menguap
berkali-kali. Aku mencoba menahan kantuk yang mulai menyerangku karena seharian
ini aku cukup lelah. Namun mataku seperti sudah diberi selotip hingga kepalaku
jatuh tanpa sadar di samping kepala Nona Picikan ini. Mungkin aku perlu tidur
sebentar untuk mengistirahatkan tubuhku.
***
Umairoh’s POV
Bunyi alarm membuatku langsung
terbangun. Aku cukup terkejut mendapati Tuan Kepo tertidur disampingku dan
tanpa aku sadari aku langsung beteriak sekencang-kencangnya.
“Aaaaaaaaaarrggghh....”
Ia lantas terbangung karena terkejut
mendengar teriakanku. Bahkan secara refleks aku memukuli tubuhnya dengan bantal
secara bertubi-tubi. “Hyaaa! Apa yang kau lakukan di sini??!!”, teriakku masih
sambil memukulinya dengan bantal.
“Awwwh.. berhenti memukuliku”, ia
berusaha menghindari seranganku dengan menggunakan tangannya sebagai tameng.
“Kubilang hentikan Nona Picikan!”, teriaknya tak mau kalah.
“Bagaimana aku bisa berhenti huhh??
Apa yang kau lakukan padaku? Bagaimana kau bisa tidur di sampingku??!!!”, aku
masih berusaha memukulnya.
“Ya ya yaaa.. Ini kamarku!”,
bentaknya sambil merebut bantal yang aku gunakan untuk memukulnya. Aku lantas
terdiam dan memandang bodoh wajahnya yang kusut dan rambutnya yang acak-acakan.
Sesaat aku langsung teringat kejadian
semalam di mana ia menyuapiku karena aku sedang sakit. Dan yang lebih parahnya
adalah... aku ingat kalau ini adalah kamarnya. Ah dasar bodoh bodoh bodoh. Aku
malu sekali.
“Sepertinya kau sudah sembuh”, ia
mulai meraba dahiku.
Aku tertunduk malu mengingat betapa
memalukannya perbuatanku tadi. “Maaf...”, kataku sambil menunduk tak berani
menatapnya.
Ia menatap datar kearahku. “Sudahlah
lupakan saja...”. Ia turun dari ranjang dan berdiri untuk membuka tirai
jendela. Aku bisa merasakan segarnya udara pagi hari yang menerpa kulitku.
Kulihat ia meregangkan kedua tangannya untuk merilekskan otot tubuhnya.
“Tuan Kepo, terima kasih ya sudah
merawatku selama aku sakit”, kataku tulus.
“Tak masalah... Santai saja. Kita kan
teman”, ia tersenyum dan aku tahu itu adalah senyuman tulus darinya. Tuan Kepo lantas
berdiri di depan jendela dengan posisi membelakangiku. “Nona Picikan...”
“Heumm?”, jawabku seadanya dan aku
masih pada posisi duduk di ranjangnya.
“Aku hanya bertanya... Sampai berapa
lama kau tidak memberitahku siapa nama aslimu? Maksudku, kita kan sudah lama
berteman. Jadi...”, ia berbalik menatapku.
“Jadi apa?”
“Jadi tak ada salahnya kan kita
saling terbuka satu sama lain... Teman macam apa kalau satu sama lain tidak
saling terbuka”
Aku hanya mengangguk mendengar
perkataannya. “Umairoh... Namaku U-M-A-I-R-O-H”, jawabku. Kurasa sekarang waktunya
aku memberitahukan namaku padanya.
“Namamu Umairoh? Pantas saja pipimu
sering sekali memerah, ternyata sesuai dengan namamu...”
“Bagaimana denganmu? Kau juga tak
pernah memberitahuku siapa nama aslimu...”
“Darwin”
“Huh?”
“Darwin.. Memangnya ada yang salah
dengan namaku?”
“Ti, tidak.. Namamu bagus kok”
“Kurasa dengan kita terbuka satu sama
lain kita bisa menjadi lebih dekat, benar kan?”, ia berjalan menghampiriku. Aku
kembali hanya mengangguk. “Oh iya, orang tuamu tidak khawatir kau tidak pulang?
Apa perlu aku yang memberitahu mereka?”, tanyanya dengan ekspresi khawatir.
“Tidak... aku kabur dari rumah”,
jawabku enteng.
Ia sontak melotot dengan bola matanya
hampir mencuat keluar. “Eits, aku hanya bercanda... mereka sekarang ini sedang
di luar kota. Jadi aku sendirian di rumah”. Kulirik ia menghembuskan nafas
lega.
“Sebenarnya ada apa semalam kau memintaku
menemuimu? Padahal kau sedang sakit...”
“Justru karena aku sedang sakit aku
menemuimu. Aku ingin kau menemaniku ke dokter.. tapi yeah, aku ambruk di tengah
jalan, hee”, aku menunjukkan cengiran terbaikku.
“Tssk, kau ini... Yasudah kalau
begitu mulai sekarang jangan panggil aku dengan ‘Tuan Kepo’ lagi okey”. Aku mengangkat
jempolku tanda aku setuju dengan perkataannya. “Eh tapi aku tidak terbiasa
memanggilmu Umairoh, jadi aku tetap memanggilmu dengan ‘Nona Picikan’ yaa”
Sekarang aku yang melotot kearahnya
yang sedang menatapku dengan tampang sok tak berdosanya. “Dasar curang! Kalau
begitu aku juga tidak mau memanggilmu Darwin...”
“Tidak boleh... Kau harus memanggilku
Darwin, karena sebutan ‘Tuan Kepo’ itu sangat tidak elit”, jawabnya tak mau
kalah.
“Dasar seenaknya saja... sebutan
‘Nona Picikan’ itu lebih tidak elit tau!”, aku mencoba memukulnya lagi dengan
bantal.
“Salah sendiri dulu kau tidak protes
dengan nama itu... weee, aku tidak mau”, ia berusaha menghindari pukulanku.
Akhirnya pagi ini berakhir dengan
perang bantal antara aku dan Tuan Kepo sambil kejar-kejaran di dalam kamarnya.
“Dasar Tuan Kepo!”
“Nona Picikan!!!!”
.
.
FIN
***
Huaaahhh... ini cerita macam apaan
yaa, sumpah ini cerita jelek bin ancur abis, hiks /pelukYesung/
Aku juga nggak tau Dude kenapa malah
begini jalan ceritanya soalnya inspirasi yang muncul malah mentok begini
doank... jangan kecewa sama hasilnya yaaah...
Tapi intinya sekarang aku sudah
ngelunasin utangku karena ‘Nona Picikan’ itu kan? Iya kan iya donk??? Jadi
jangan di tagih okey... hahahaa
Dan sekarang waktunya aku yang
nagihin ‘something’ ke kamu.. yah you-know-lah-maksudku ^^
Ini cerita jelek banget dah sumpah
jadi jangan timpukin aku pake bantal yaa, timpukin pake duit dollar ane ikhlas
lillahita’ala kok :D
Okey segini dulu cuap-cuap nggak
penting dan nggak berharga inih...
Pai-pai *seret Yesung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar