Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Rabu, 09 April 2014

(Fanfiction) STORM

STORM

.

Author:

Aisyah a.k.a Cloudisah

Inspired By:

Super Junior KRY Feat Sungmin and Donghae – Storm

Cast:

Harry Styles (One Direction)

Elizabeth (OC)

Zayn Malik (One Direction)

Louis Thomlison (One Direction)

Lenght:

Vignette

Disclaimer:

This story is belong to me, don’t claim it as yours, and No Bashing!!

Summary:

Dengan berat hati aku akan membawa hatiku pergi,

Ini seperti badai yang hebat,

Bahkan takdir terhapuskan seperti air hujan,

Aku merasa sakit, demam akan cinta yang membara,

Dan kau tidak mengerti air mata yang jatuh mengalir di bibirku yang mengering.

Jangan berusaha terlalu keras untuk menjauh dariku,

Tubuhku sudah hancur berkeping-keping,

Seperti itulah aku menginginkanmu,

Aku bahkan tidak dapat pergi selangkah lebih dekat padamu...

(KRY – Storm)

-----OD-----

Senin dimusim semi. Kehangatannya menyentuh tiap-tiap jiwa yang baru memulai hari dipagi ini. Pun demikian dengan seorang pria yang kini tengah berdiri di depan cermin, memantulkan bayangan dirinya dengan balutan tuxedo putih, serta dasi kupu-kupu yang menggantung di kerah bajunya. Senyum bahagia tercetak dengan jelas diwajah tampannya, ditambah lesung pipinya, yang merupakan kebanggaan dari pria itu. Semakin menyempurnakan penampilannya sesaat setelah ia menyisir rambut ikalnya, terlihat sangat rapi dibandingkan hari-hari biasanya.

Hari ini hari spesialnya. Tak ada orang yang mengatakan hari pernikahan bukanlah hari spesial. Setidaknya begitu menurut pria itu. Hari ini hari pernikahannya dengan dengan seorang gadis yang baru saja menjadi kekasihnya beberapa bulan yang lalu.

Ya, hanya beberapa bulan. Ia telah mengenal gadis itu selama setengah dari usianya sekarang, 24 tahun. Kau tentu bisa menghitungnya, dua belas tahun. Dan selama sekitar dua belas tahun itu pula ia memendam rasa tak biasa, sebuah rasa yang begitu sakral baginya, cinta. Namun selama itu, baru beberapa bulan yang lalu ia sanggup mengungkapkan isi hatinya, mengungkapkan perasaannya.

Dan anehnya sang gadis menerima perasaannya dengan senang hati, tanpa penolakan sedikitpun. Bahkan ketika pria tersebut melamarnya dua minggu yang lalu, gadis itu sama sekali tak menolaknya. Barangkali gadisnya juga memiliki rasa yang sama, begitu pikiran positifnya mengambil kesimpulan.

Tinggal menunggu dua jam lagi dari upacara pernikahannya. Pria dengan balutan tuxedo putih itu berjalan dengan tenang dari ruangannya, menuju ruang tamu dimana seluruh anggota keluarganya sudah menunggunya.

“Kau tampan sekali Harry, ah.. aku jadi iri. Rasanya aku juga ingin cepat-cepat menikah”, seloroh sahabat pria yang akan menikah itu.

“Kalau begitu kau harus segera mencari kekasih Louis”, Harry menyikut lengan sahabatnya itu, menimbulkan sedikit ringisan dari yang disikut.

“Hey, bagaimana Louis bisa mendapatkan seorang gadis kalau dia hanya sibuk dengan pekerjaan kantornya.. para gadis tidak mau punya suami yang gila kerja”, ayah Harry yang berdiri tak jauh dari Louis ikut angkat bicara mendengar ocehan dua pemuda itu. Sementara Harry semakin memperlebar senyumannya mendengar penuturan sang ayah yang menurutnya sesuai dengan apa yang selama ini ia pikirkan.

Louis sedikit mengembungkan pipinya mendengar ucapan ayah dari sahabatnya itu, yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. “Ah, paman. Aku kan hanya belum menemukan wanita yang cocok untukku”.

“Haha, yasudah kalau begitu. Ayo kita berangkat sekarang, kasihan calon pengantin baru kita yang sudah tak sabar”, Ayah Harry mengedipkan sebelah matanya pada Harry mermaksud menggoda anak semata wayangnya itu. Sedang Harry hanya tersenyum simpul menanggapi ayahnya.

“Silakan Tuan Muda... “, Louis membukakan pintu mobil untuk Harry masuk ketika mereka sudah berada di garasi. Harry duduk di kursi penumpang bersama ibunya, sedang ayahnya dan Louis di depan dengan Louis yang mengemudi menuju gereja tempat pernikahan Harry akan dilangsungkan. Harry tak henti-hentinya menghela nafas panjang, gugup. Sang ibu disampingnya yang melihat kegugupan diwajah putranya, menggenggam tangan putranya itu dengan lembut. Tentu sang ibu mengerti keadaaan anaknya saat ini, baginya ini sama seperti 25 tahun yang lalu. Saat ia melangsungkan janji setia bersama suaminya, ayah Harry.

-----OD-----

Harry POV

Aku gugup. Gugup sekali. Tak henti-hentinya jantungku berdebar kencang, meskipun aku sudah berkali-kali menarik nafas untuk mengurangi debaran jantungku yang semakin menggila ini. Tinggal satu jam lagi dari upacara sakral, upacara bersejarah dalam hidupku. Aku duduk di kursi tamu paling depan, menanti datangnya kekasihku, Elizabeth.

Aku bahkan tak bisa tidur tadi malam. Tiap aku memejamkan mata, yang terlintas dikepalaku adalah saat-saat ketika aku menyematkan cincin pernikahan kami di jari manis Elizabeth. Tuhan, aku gugup sekali. Kira-kira apa yang sedang dilakukan Elizabeth saat ini? Aku bahkan tak sanggup membayangkan wanitaku yang mengenakan gaun putih dan berjalan dengan anggunnya menuju altar. Oh tidak, lagi-lagi debaran jantungku meningkat tiga kali lipat.

Kuremas jari-jari tanganku mengurangi rasa gugup ini. Ayahku benar, saat-saat paling mendebarkan dalam hidupmu adalah ketika kau mengucapkan janji setia pada pasanganmu. Tuhan aku gugup sekali sungguh. Tak tahu lagi kata apa yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini, hanya gugup. Gugup bercampur bahagia. Sebentar lagi wanita yang kucintai akan segera menjadi milikku, milikku seutuhnya. Milikku secara sah, sah menurut negara dan menurut agama.

Menit semakin berlalu, kulihat para tamu undangan sudah mulai memasuki gereja. Sahabat-sahabatku yang lainpun sudah duduk di sana, Niall dan Liam yang duduk di samping Louis. Tapi di mana Zayn? Entahlah, mungkin dia akan sedikit terlambat, Zayn tak mungkin tak datang ke acara bersejarahku ini.

Kuhela nafas berkali-kali. Padahal aku sering datang ke pernikahan kerabatku, tapi kurasa mereka tak segugup ini. Apa karena aku yang terlalu berlebihan? Atau aku terlalu bahagia? Yang jelas jantungku sudah berdentam-dentam dengan kerasnya.

Kulirik arlojiku, tinggal lima belas menit lagi. Ibuku duduk di sampingku menenangkanku. Aku merasa seperti balita yang ketakutan datang ke dokter untuk disuntik. Ibuku menggenggam erat tanganku, hangat. Genggaman tangan ibuku selalu hangat, dan ini yang paling aku sukai. Sedangkan ayahku, berdiri di depan pintu menyambut para tamu undangan.

Lima menit lagi.

Kulihat Pendeta sudah bersiap diatas altar, sebagai saksi dari pernikahanku. Sial, kenapa jantungku semakin menggila. Aku bahkan tak sanggup untuk berdiri, lagi-lagi aku menarik nafas panjang mengurangi kegugupanku yang tak ada hentinya. Dan berkali-kali pula aku melihat kearah pintu, menunggu wanitaku datang.

Sekarang aku sudah berdiri di atas altar, menanti Elizabeth. Sekarang ini bukan hanya gugup, tapi tegang. Apa Elizabeth akan datang? Oh Tuhan ada apa denganku. Elizabeth tak mungkin tak datang. Ayolah Harry hilangkan pikiran negatifmu saat ini. Hari ini hari bersejarahmu. Entah kenapa perasaanku menjadi tak nyaman. Tidak tidak, ini pasti karena aku terlalu gugup. Semangat Harry, semangat.

Berkali-kali aku mensugesti diriku sendiri. Aku yakin hari ini akan menjadi hari yang tak akan terlupakan dalam hidupku. Sebentar lagi Elizabeth akan datang, aku tak boleh terlihat tegang seperti ini. Kutarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan, merilekskan kinerja saraf tubuhku.

Aku masih tersenyum di sini, di atas altar. Bahkan sekarang sudah sepuluh menit terlewati dari waktu yang sudah dijadwalkan. Pikiran-pikiran negatif kembali bermunculan di kepalaku. Tidak Harry, tidak. Elizabeth mungkin sedikit terlambat karena kesusahan dengan gaunnya, atau mungkin ada sedikit masalah dengan riasannya. Elizabeth pasti datang, pasti.

Kulirik ibuku yang mulai khawatir, berkali-kali ia melirik ke pintu masuk tempat di mana Elizabeth seharusnya sudah datang sekarang. Aku pun sama, bahkan beberapa tamu undangan sudah mulai tak tenang. Jemariku mulai bergetar, gugup. Bukan lagi gugup bercampur bahagia seperti tadi, tapi gugup bercampur khawatir. Khawatir Elizabeth tak datang. Bukan masalah ia tak datang, tapi aku khawatir terjadi sesuatu dengan wanitaku itu.

Kupejamkan mataku sambil menenangkan jantungku yang masih saja bekerja tak biasa. Ini sudah dua puluh lima menit dari waktu seharusnya. Aku masih menanti di sini. Datang, tidak, datang, tidak. Bodoh, apa yang aku pikirkan. Elizabeth datang, pasti. Dia akan datang ke sini, mengucapkan janji suci bersamaku.

Kudengar para tamu undangan berseru riuh, sontak membuatku membuka mata. Dia... Elizabethku, dia datang. Ya, dia datang. Aku tahu dia akan datang. Dengan gaun putih gading yang panjang menyapu lantai, serta tudung yang menutupi wajahnya yang aku yakin ia pasti sangat cantik hari ini. Wanitaku berjalan begitu anggun diiringi ayahnya, yang sebentar lagi juga akan menjadi ayahku. Sial, jantungku malah semakin menggila.

Tinggal beberapa langkah lagi ia datang padaku. Tak sabar rasanya menanti ayahnya menyerahkan tangan putrinya itu untuk diserahkan padaku. Tinggal empat langkah lagi, dan...

Ia berhenti. Tepat saat aku hendak menggapai tangannya. Tentu saja aku bingung, bahkan semua orang di dalam gereja ini. Elizabeth melepas genggaman tangan ayahnya, lalu membuka tudung yang menutupi wajahnya.

Tuhan, ini mimpi. Pasti mimpi. Bukan ini ekspressi yang ingin aku lihat darinya, seharusnya wanitaku juga tersenyum bahagia sekarang. Bukan mata merah yang sembab dan wajah yang pucat. Bahkan tak ada sedikitpun senyum dibibir tipisnya. Rasanya kakiku tak mampu menopang berat badanku sendiri, bahkan bernafaspun rasanya sulit. Elizabeth, apa yang terjadi padamu? Kau kenapa? Kau sakit?

“Maaf...”, samar-samar kudengar lirihan darinya.

Ma, maaf? Apa maksutnya?

 

Elizabeth POV

“Maaf...”, hanya itu kata yang mampu kuucapkan untuknya. Untuk pria yang sudah mencintaiku setulus hatinya, yang bahkan lebih menyayangiku dibandingkan nyawanya sendiri. Aku wanita hina, aku tak pantas memiliki hati pria setulus Harry.

Aku memandangnya dengan tatapan nanar. Air mataku tak berhenti mengalir sejak tadi malam. Kulihat ia kebingungan di atas altar. Maaf Harry, seharusnya aku tak datang. Aku tak pantas menerima hatimu, aku tak pantas menerima ketulusanmu.

“El, kau tak apa? Apa kau sakit? Kalau kau sakit jangan memaksakan dirimu untuk datang, acaranya bisa kita tunda dulu”, ucapnya khawatir. Ya, dia selalu khawatir padaku.

Aku menggeleng menjawab pertanyaannya, bahkan suaraku tertahan meski hanya untuk mengucapkan satu lagi kata maaf. Yang ada air mataku semakin deras, aku tahu wajahku sudah sangat kacau sekarang.

Aku masih berdiri mematung, aku tahu Harry tak mengerti apa yang terjadi. Pria itu turun dari altar dan menyentuh bahuku pelan. Sentuhannya selalu tulus, aku tahu itu. Tapi aku menyia-nyiakan ketulusannya. Tangannya dengan lembut menyeka air mataku yang tak bisa berhenti membasahi wajahku. Semua orang di dalam gereja ini hanya diam menyaksikan kami berdua.

Kutepis tangannya yang masih menyeka air mataku dengan ekspressi cemasnya. Kumohon Harry berhenti mencemaskanku. “Maaf...”, sekali lagi hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Aku tahu seribu kata maaf-pun tak bisa membayar segala ketulusannya untukku.

“Kau ini kenapa? Kau sakit?”, kembali ia meraba dahiku dengan punggung tangannya. Suaranya bergetar, aku tahu ia sangat khawatir. Dan sekali lagi kutepis tangannya. Kulihat ia terkejut, bahkan semua tamu undangan disini pun terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan.

“Ini seharusnya tidak terjadi Harry... Kau dan aku, kita seharusnya tidak bersama”, kutatap lekat-lekat matanya. Mata itu, selalu memancarkan kehangatan untukku selama ini. Mata yang tak henti-hentinya mengawasiku.

“El, kau sakitkan, ayo pu-“

“AKU TAK SAKIT HARRY.. AKU TAK SAKIT!!”, aku sudah tak sanggup menahannya. Maaf Harry aku telah merusak hari ini.  “Kubilang ini tak seharusnya terjadi. Kau, carilah wanita lain, selama ini ak-“

“Kenapa kau seperti ini El? KENAPA??!”, ia memotong ucapanku. Kulihat ekspressinya berubah, bukan lagi ekspressi khawatir, tapi cemas bercampur marah.

Tuhan, apa setelah ini kau sudah menyiapkan neraka untukku? Kuhela nafas panjang. Ya, kau memang pantas marah padaku Harry.

“Kau tak mengerti? Selama ini aku hanya berpura-pura tulus padamu. Selama ini aku menjalin hubungan dengan Zayn, kau tak tahu? Zayn sahabatmu, aku mencintainya. Tidakkah kau sadari selama ini aku tak pernah tulus denganmu?”

Harry menggelengkan kepalanya, menatap tak percaya kearahku. Setitik air mata jatuh dari sudut matanya. Kau jahat El, telah melukai hati pria dihadapanmu.

“SEBENARNYA APA MAKSUD PERKATAANMU BARUSAH EL? EL.. JANGAN BERCANDA, APA MAKSUDMU HAHH??!!”, air matanya semakin deras. Tangan kekarnya mengguncang-guncang bahuku.

“Selama ini aku hanya berpura-pura padamu Harry. Kau tak mengerti juga!!??”, aku semakin meninggikan suaraku. Dan lagi-lagi kutepis tangannya. Jangan menyentuhku Harry, itu hanya akan membuatku semakin merasa bersalah.

Pria itu tersungkur didepanku, aku bisa melihatnya meskipun tatapanku memandang lurus ke depan. Sedang air mataku tak mau berhenti mengalir. Aku wanita jahat. Sangat jahat. Bahkan aku mungkin sudah melebihi jahatnta iblis wanita. “El, kumohon jangan begini. Hiks, El.. aku mencintaimu, sangat mencintaimu...”

Aku tahu Harry, aku tahu. Tanpa kau katakan pun aku tahu kau mencintaiku. Tapi, aku tak pernah mencintaimu sedikitpun Harry, maaf. Hatiku hanya untuk Zayn. Selama ini aku bersamamu hanya agar aku lebih dekat dengan Zayn. Obsesiku selama ini terhadap Zayn, membuatku membutakan ketulusanmu, mengabaikan rasa cintamu untukku demi egoku.

Aku hanya diam melihatnya tersungkur, membuatnya terlihat menjadi pria menyedihkan. Aku sudah mengatakan ini kepada kedua orang tuaku, bahwa aku tak bisa mengucapkan janji suci bersama Harry. Orang tuaku kecewa denganku, sangat. Bahkan aku membenci diriku sendiri sejak tadi malam. Aku membenci semua yang aku lakukan.

Kulihat ayah dan ibu Harry memandang kecewa kearahku. Termasuk semua undangan di sini, dan kulihat sahabatnya, Louis menatapku dengan penuh kebencian. Ya, kalian pantas membenciku. Tapi kalian tak bisa memaksakan hatiku, memaksa hatiku terkurung dalam penjara hati yang tak pernah bisa kubuka untuk Harry.

“Harry... Lupakan semua ini, aku tak pantas untukmu...”, ia menahan kakiku dengan kedua tangannya saat aku ingin melangkah pergi.

“Harry lepaskan wanitaku!”, sebuah suara berat mengejutkanku.

 Zayn?

Harry menatap tak percaya pada Zayn yang kini menggenggam erat tanganku. Matanya merah, menahan tangis dan emosi. Aku tahu semua akan menjadi seperti ini karena kesalahanku.

“Zayn, kau?”, sedikit tertahan kudengar suara Harry menatap  Zayn. Aku hanya memandang nanar mereka berdua.

“Maaf Harry... Maafkan aku. Tapi aku mencintainya, dan dia juga mencintaku. Berbahagialah... Kau pasti menemukan wanita lain yang pantas untukmu. Kumohon lepaskan Elizabeth...”, Zayn menarikku pergi dari gereja ini. Maaf Harry, maafkan kami.

 

Harry POV

“Maaf Harry... Maafkan aku. Tapi aku mencintainya, dan dia juga mencintaku. Berbahagialah... Kau pasti menemukan wanita lain yang pantas untukmu. Kumohon lepaskan Elizabeth...”, itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari Zayn sebelum akhirnya aku kembali tersungkur di lantai. Dingin. Aku tak bisa lagi merasakan hangatnya musim semi.

Aku sudah tak perduli dengan keadaan disekitarku. Tak tahu apa yang para tamu undangan itu lakukan. Inikah yang terjadi? Inikah mengapa jantungku tak berhenti berdebar sejak tadi? Eli, aku bahkan menyerahkan seluruh jiwaku padamu. Zayn, kau sudah seperti saudaraku sendiri. Kalian... kalian berdua.. mengapa?

El, bisakah kau kembali dan menjelaskan alasannya? Kalian bahkan tak memberikan sedikitpun alasannya mengapa kalian melakukan ini...

Jantungku serasa sudah tak ditempatnya lagi. Aku bahkan tak tahu caranya bernafas sekarang, sesak. Jiwaku hilang, jiwaku pergi. Aku tak tahu bagaimana caranya aku hidup setelah ini. Jiwaku sudah tak ada lagi. Seluruh jiwaku sudah kuserahkan padanya, dan sekarang ia membawa jiwaku pergi. Pergi dan tak dapat kuraih lagi.

Ayah, ibu..

Maafkan aku mengecewakan kalian semua. Maaf membuat kalian malu atas semua yang terjadi. Aku, aku tak tahu lagi apa yang bisa aku katakan. Sakit, bahkan kata sakit tak cukup menggambarkan perasaanku saat ini. Aku hilang, radarku hilang.

Aku mencintai wanita itu. Aku mencintainya melebihi diriku sendiri. Aku memberikan segalanya untuknya, pun hati dan nafasku. Tapi, ia pergi. Pantaskah aku masih hidup?

Ayah... aku tak bisa sepertimu yang mampu mengucapkan janji suci bersama ibu. Tuhan, inikah yang disebut cobaan? Atau ini siksaan?

El, meskipun aku tak tahu apa yang terjadi, meskipun aku tak tahu alasannya. Meskipun kau tak pernah mencintaiku, tak pernah menerima ketulusanku... Dari lubuk hatiku yang paling dalam, dari hati tertulus yang bahkan tak bisa kau rasa, aku akan selalu mencintaimu. Aku tak bisa melepaskanmu, meskipun hatimu tak bisa untukku. Mencintaimu meskipun kau tak bisa menerima cinta ini, perasaan sakral yang tak bisa kau terima sedikitpun.

Aku  mencintaimu, aku mencintaimu dengan hati hancur.

Aku mencintamu dengan jiwa remuk.

Aku mencintaimu dengan sisa nafasku.

Selamanya, mencintamu...

-----OD-----

.

.

.

Fin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar