Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 25 Januari 2018

(Cerpen) Home



Home

.
.
.


(Sumber Gambar: Google Image)

.

Penulis: Aisyah (@cloudisah_)

.
.
.

Kisah ini hanya fiktif belaka…
.
.

***

Setetes bulir bening mengalir dari sudut mataku setelah mendengar suara pintu ditutup dengan kasar hingga menimbulkan bunyi debuman nyaring. Pertengkaran ayah dan ibu yang hampir setiap hari kudengar membuatku sering berfikir untuk pergi dari rumah ini selamanya.

Kenapa mereka harus bertengkar? Kenapa masing-masing mereka tidak ada yang mau mengalah dan bertahan dengan keegoisan mereka?


Aku hanya bisa mengerang frustasi. Tugas Auditing bahkan belum tersentuh sedikitpun, sementara tugas Manajemen Operasi sudah mengantri untuk segera diselesaikan.

Kutelengkupkan wajahku di atas meja belajar. Aku lelah. Aku muak dengan semua ini. Bisakah sehari saja aku berada di rumah dengan tenang tanpa khawatir bom pertengkaran orangtuaku meledak sewaktu-waktu? Bisakah?

OoooO

Kenangan masa kecil terus berputar dalam memoriku seperti kaset rusak. Memori yang sudah lama kulupakan kembali terputar seiring rasa bersalahku yang akhir-akhir ini mengusikku.

Aku jadi rindu suasana di dalam rumah ketika semuanya masih baik-baik saja. Aku merindukan saat-saat di mana kami sekeluarga berkumpul untuk makan malam dan sarapan bersama, saat ayah menemaniku berkeliling pasar malam, juga saat aku membantu ibu membersihkan rumah. Aku bahkan sudah lupa, bagaimana rasanya tertawa bersama ibu dan ayah.

“Kenapa Ibu dulu menikah dengan ayah?”

Aku sadar sekarang aku tidak cukup akrab dengan ibu apalagi untuk menanyakan hal itu. Tapi hari ini, disaat hanya aku dan ibu berdua di rumah, pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ibu yang sejak tadi sibuk dengan benang rajut di tangannya—ibu senang sekali membuat tas rajut—menatapku dengan alis bertaut.

“Kenapa Aini yang pendiam tiba-tiba bertanya seperti itu?” ibu terkekeh seraya kembali melanjutkan kegiatan merajutnya.

Kuhela nafas dalam. Aku sendiri tak tahu kenapa aku menanyakan hal seperti itu. Lagipula, itu urusan orangtuaku dan aku mungkin tak berhak untuk mengetahuinya. “Hanya ingin tahu.”

“Kami dijodohkan,” ibu menatapku dengan kedua sudut bibirnya yang berjungkat naik.

Kutatap wajah ibu yang mulai muncul kerutan di sekitar matanya. Aku tak menyadari jika wajah ibu sudah mulai menua. Suaranya terdengar lirih. Dan ini untuk kali pertama dalam hidupku aku melakukan konversasi serius dengan ibu.

“Apa Ibu… mencintai ayah?” aku bertanya cukup pelan dan hati-hati.

Aku hanya berfikir, kalau setiap pernikahan itu pasti dilandasi dengan rasa cinta. Lantas, adakah cinta di antara ibu dan ayah hingga mereka memutuskan untuk menikah sekalipun dijodohkan? Dan jika memang cinta mereka benar-benar ada, kenapa mereka harus membuang waktu dan tenaga hanya untuk pertengkaran yang tak pernah ada habisnya?

Tapi terus terang aku mual dengan sesuatu yang berbau percintaan. Sejak kecil aku sudah melihat gambaran bagaimana cinta yang dielu-elukan banyak manusia—kepada lawan jenis maksudku—hingga para pecinta itu memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan. Bagiku cinta itu tak ubahnya seperti rumah tangga ibu dan ayah. Penuh pertengkaran.

Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku. Wanita yang sudah berusia empat puluh tahun itu menunduk lantas setelahnya memelintir ujung baju dasternya. “Awalnya iya. Tapi, seiring berjalannya waktu Ibu tidak tahu apakah cinta itu masih ada atau tidak.”

Sebelah alisku terangkat. Jika memang cinta itu sudah tidak ada lagi, kenapa mereka tetap bersama yang malah hanya menyakiti diri mereka sendiri? Yah, sekalipun aku tahu perpisahan itu bukanlah hal yang mudah. Aku bahkan tak berani membayangkan bagaimana jadinya jika kedua orangtuaku bercerai. Dan kini aku meraba-raba, akan dibawa kemana pernikahan mereka ini nantinya.

Ibu mengehela nafas berat—lagi. Hingga hening melingkupi kami bahkan untuk waktu yang cukup lama, dan aku benar-benar tidak suka berada dalam situasi seperti ini.

“Kenapa kalian sering bertengkar?” Aku merutuki diriku dalam hati atas pertanyaan konyol yang baru saja kuajukan. Bukankah selama ini bersikap apatis atas pertengkaran mereka? Lantas kenapa aku tiba-tiba bertanya seperti itu? Tsskk...

Ibu menatapku nanar atas pertanyaanku barusan. Aku bisa melihat senyum keterpaksaan yang diciptakan oleh kedua sudut bibirnya. “Ibu kesepian, Ai.”

Aku tersentak. Aku tak pernah tahu, dan tak pernah menyadarinya. Ibu… Kesepian?

Jika kupikir-pikir, ibu pantas merasa kesepian. Ayah adalah seorang pekerja keras. Sebagai tukang bangunan yang bekerja sejak pagi sampai sore, ayah sangat jarang berada di rumah kecuali saat malam. Dan karena presensi ayah yang sangat jarang di rumah itulah, mungkin ibu mulai berspekulasi yang tidak-tidak diakibatkan rasa kesepiannya.

Sebagai seorang yatim piatu, ibu hanya memiliki ayah. Mungkin ibu hanya ingin ayah lebih memperhatikannya. Dan aku malah menambah parah rasa kesepian ibu dengan menjaga jarak dengannya. Aku sering menyalahkan ibu. Aku sering menyalahkan keegoisan ibu juga kecurigaannya pada Ayah yang tidak beralasan. Aku hanya tidak tega melihat ayah yang kelelahan tiap pulang bekerja, tapi ibu bukannya melayani ayah malah terus-terusan menuduh ayah dengan tuduhan tak berdasar. Dan hal itulah yang membuatku tanpa sadar sudah menciptakan jurang cukup lebar antara aku dan ibu.

Tanpa kusadari, penghilatanku memburam seiring dengan cairan bening yang berusaha menerobos keluar dari kedua mataku. Sekelebat bayangan ketika ibu menggendongku saat kecil merangsek masuk dalam memoriku. Menyentakku akan kenyataan kalau aku sudah terlalu lama menjaga jarak dengan ibu. Hatiku tiba-tiba seperti teriris saat melihat air mata yang mengalir dari sudut matanya.

“Maaf. Maafkan Ibu tidak bisa jadi seorang ibu seperti yang Aini inginkan. Ibu tahu, Ibu tidak seharusnya bertengkar seperti itu dengan ayah. Ibu hanya, Ibu—”

Tanpa melanjutkan ucapannya, ibu lantas memelukku dan terisak membuatku tak bisa lagi membendung cairan bening yang sudah tumpah dan membanjiri wajahku. Kugigit bibirku agar tak meraung dalam pelukan ibu.

Kupeluk erat tubuh ibu yang terisak. Aku tak suka melihat ibu seperti ini. Bagaimanapun tidak sukanya aku melihat ibu tiap kali bertengkar dengan ayah, tapi aku lebih tidak suka melihat ibu menangis seperti saat ini.

Aku berjanji, setelah ini aku akan berusaha mengembalikan keadaan di rumahku seperti sedia kala. Juga berusaha mengembalikan lagi cinta di antara ibu dan ayah. Mengembalikan cinta kami sekeluarga. Sebelum semuanya terlambat dan bertambah parah. Karena aku sudah terlalu lelah dengan kondisi di rumah yang membuatku bahkan kesulitan bernafas.

“Aini juga minta maaf, Bu.”

OoooO

Sekarang masih pukul lima sore ketika aku mendapati ayah duduk sendirian di teras rumah. Hari ini ayah pulang lebih cepat ketimbang biasanya.

Keputusanku sudah bulat untuk menghentikan semua pertengkaran mereka dan memulai lagi kehidupan kami dari awal, tanpa pertengkaran tentunya. Alasan terbesarku hanya satu, aku sudah muak harus mendengarkan pertengkaran mereka. Mereka bukan anak kecil yang bertengkar lantas berbaikan, lalu bertengkar lagi. Seharusnya mereka menyadari hal itu, mereka adalah orang dewasa yang harus berpikir lebih rasional.

Aku yang sejak kecil sudah melihat pertengkaran mereka, akhirnya dengan pikiran anak-anakku saat itu mengambil kesimpulan sendiri kalau begitulah adanya kehidupan rumah tangga. Hal itu membuatku takut untuk jatuh cinta pada lelaki. Dan aku terus termakan gagasan keliruku selama bertahun-tahun hingga aku mengerti bahwa bukan cinta yang menyebabkan pertengkaran tersebut. Tapi keegoisanlah penyebab utamanya.

Aku yang jarang berkomunikasi dengan ayah, melangkah ragu dan duduk persis di sampingnya. Ayah terkejut saat menyadari eksistensiku dan dengan ekspresi tidak percayanya ketika menatapku.

Aku benar-benar merasa canggung duduk bersama Ayah seperti ini. Rasanya sudah lama sekali aku tidak sedekat ini dengan Ayah. Dan aku hampir ingin menggagalkan saja rencanaku untuk ‘sedikit’ mencampuri urusan mereka.

Hingga selama beberapa menit baik aku maupun Ayah tak ada satupun di antara kami yang membuka suara. Aku tidak seperti anak-anak lain yang bisa melakukan konversasi hangat bersama seorang ayah. Karena memang begitulah sikapku terbentuk sejak kecil dari orangtua yang tak memberiku contoh bagaimana seharusnya sebuah keluarga itu.

Hening masih melingkupi kami. Sepertinya ayah lebih tertarik untuk mengobservasi jalanan kecil di depan rumah kami ketimbang berbasa-basi denganku.

“Bagaimana kuliahmu?”

Kedua netraku mengerjap ketika ayah tiba-tiba bertanya padaku. Hal yang pertama kalinya ayah lakukan, karena selama ini ayah tak pernah peduli dengan kehidupan kuliahku.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan ayah, ibu datang dari acara arisan tetangga dan menatap bingung kami berdua. Aku tahu ibu pasti merasa aneh karena aku memang tidak pernah mau duduk bersama orangtua seperti ini.

Seraya mengatur degup jantungku, aku bangkit berdiri dan menarik ibu untuk duduk di tempat yang tadi kududuki. Dan yang kudapati pertama kali setelahnya adalah tatapan aneh dari mereka berdua.

 “Aini, ada yang mau kamu katakan sama Ibu dan Ayah?” akhirnya ibu bersuara.

Orangtuaku yang tengah duduk di hadapanku masih menatapku dengan kuriositas yang tercetak di wajah mereka karena selama beberapa menit aku hanya bergeming. Bahkan aku beberapa kali menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Kalimat yang sudah kususun rapi tadi malam malah lenyap dari otakku. Aku bingung harus mengatakan apa dan dari mana memulainya.

“Anu, i..itu…” kugaruk tengkukku lagi. Aku menatap bergantian ibu dan ayah yang masih menungguku untuk mengatakan sesuatu.

Kuhela nafas dalam. Lantas setelah dengan susah payah menelan ­saliva, kubawa tubuhku duduk bersimpuh di kaki ibu. Aku bisa melihat ibu terkejut luar biasa dengan apa yang baru saja aku lakukan.

 “Bu, Ai minta maaf. Ai tidak pernah menemani Ibu saat Ibu kesepian. Ai tidak pernah mengerti keadaan Ibu. Ai sering menyalahkan Ibu. Maaf Bu atas semuanya,” aku menunduk dalam. Hingga akhirnya ibu turut terisak bersamaku seraya memeluk tubuhku.

“Iya, Sayang. Ibu juga minta maaf,” ibu mengecup puncak kepalaku lembut.

Kutatap ibu dengan pandangan buram lantaran air mata yang terus mendesak keluar. Lantas setelahnya kutatap ayah, dan beralih bersimpuh di bawah kakinya.

“Yah, Ai minta maaf. Ai banyak salah, Yah. Ai—” aku tak bisa melanjutkan kalimatku ketika ayah memelukku untuk pertama kalinya sejak aku beranjak dewasa. Ayah memelukku erat yang sudah terisak dan tak bisa lagi mengatakan apapun.

Suasana rumahku yang senantiasa senyap saat ini berganti dengan suara isak tangis kami sekeluarga. Ayah meskipun tidak terisak, aku bisa melihat matanya yang basah.

“Ayah juga minta maaf karena tidak pernah punya waktu untuk Aini.”

Selang beberapa menit, aku berusaha menghentikan isakanku lantas menggenggam tangan ayah dan ibu. Aku hampir lupa bagaimana wajah ibu dan ayah jika dilihat dari jarak sedekat ini.

“Ibu, Ayah,” aku menatap mereka bergantian. “Bisakah setelah ini kalian tidak bertengkar lagi? Ai lelah, Ai ingin kita seperti dulu lagi. Bisakah?” setetes air mata kembali lolos dari sudut mataku.

Ibu dan ayah saling melempar pandang. Aku tahu ini adalah hal paling gila yang pernah aku lakukan seumur hidupku.

Kulihat ayah menghela nafas dalam, sementara ibu menunduk dengan memainkan jemarinya. Sesulit itukah permintaanku hingga mereka tidak mudah mengabulkannya?

Ibu lantas tersenyum tipis setelah cukup lama terdiam, “Demi Aini, Ibu dan Ayah akan coba.”

Kedua sudut bibirku tertarik setelah ibu kembali memelukku. Yah, meskipun tidak bisa dikatakan kehidupan di rumahku sudah damai, paling tidak aku sudah bisa sedikit bernafas. Kuharap setelah ini tidak ada lagi suasana tegang di dalam rumah. Dan semoga aku bisa tenang mengerjakan tugas kuliah tanpa mendengar pertengkaran mereka lagi.

Cinta itu tak mungkin mudah layu lantas hilang begitu saja. Tapi egolah yang membuat cinta itu layu hingga kehangatannya membeku ditelan keegoisan. Kuharap setelah ini cinta itu tak lagi layu dan bisa mekar untuk selamanya. Meskipun secara perlahan. Sedikit demi sedikit. (*)

Tamat





Tidak ada komentar:

Posting Komentar