Home
.
.
.
(Sumber Gambar: Google Image)
.
.
Penulis: Aisyah (@cloudisah_)
.
.
.
Kisah ini hanya fiktif belaka…
.
.
***
Setetes bulir bening mengalir dari sudut mataku
setelah mendengar suara pintu ditutup dengan kasar hingga menimbulkan bunyi
debuman nyaring. Pertengkaran ayah dan ibu yang hampir setiap hari kudengar
membuatku sering berfikir untuk pergi dari rumah ini selamanya.
Kenapa mereka harus bertengkar? Kenapa masing-masing
mereka tidak ada yang mau mengalah dan bertahan dengan keegoisan mereka?
Aku hanya bisa mengerang frustasi. Tugas Auditing
bahkan belum tersentuh sedikitpun, sementara tugas Manajemen Operasi sudah
mengantri untuk segera diselesaikan.
Kutelengkupkan wajahku di atas meja belajar. Aku
lelah. Aku muak dengan semua ini. Bisakah sehari saja aku berada di rumah
dengan tenang tanpa khawatir bom pertengkaran orangtuaku meledak sewaktu-waktu?
Bisakah?
OoooO
Kenangan masa kecil terus berputar dalam memoriku
seperti kaset rusak. Memori yang sudah lama kulupakan kembali terputar seiring
rasa bersalahku yang akhir-akhir ini mengusikku.
Aku jadi rindu suasana di dalam rumah ketika
semuanya masih baik-baik saja. Aku merindukan saat-saat di mana kami sekeluarga
berkumpul untuk makan malam dan sarapan bersama, saat ayah menemaniku
berkeliling pasar malam, juga saat aku membantu ibu membersihkan rumah. Aku
bahkan sudah lupa, bagaimana rasanya tertawa bersama ibu dan ayah.
“Kenapa Ibu dulu menikah dengan ayah?”
Aku sadar sekarang aku tidak cukup akrab dengan ibu
apalagi untuk menanyakan hal itu. Tapi hari ini, disaat hanya aku dan ibu
berdua di rumah, pertanyaan itu meluncur begitu saja. Ibu yang sejak tadi sibuk
dengan benang rajut di tangannya—ibu senang sekali membuat tas rajut—menatapku
dengan alis bertaut.
“Kenapa Aini yang pendiam tiba-tiba bertanya seperti
itu?” ibu terkekeh seraya kembali melanjutkan kegiatan merajutnya.
Kuhela nafas dalam. Aku sendiri tak tahu kenapa aku
menanyakan hal seperti itu. Lagipula, itu urusan orangtuaku dan aku mungkin tak
berhak untuk mengetahuinya. “Hanya ingin tahu.”
“Kami dijodohkan,” ibu menatapku dengan kedua sudut
bibirnya yang berjungkat naik.
Kutatap wajah ibu yang mulai muncul kerutan di
sekitar matanya. Aku tak menyadari jika wajah ibu sudah mulai menua. Suaranya
terdengar lirih. Dan ini untuk kali pertama dalam hidupku aku melakukan
konversasi serius dengan ibu.
“Apa Ibu… mencintai ayah?” aku bertanya cukup pelan
dan hati-hati.
Aku hanya berfikir, kalau setiap pernikahan itu
pasti dilandasi dengan rasa cinta. Lantas, adakah cinta di antara ibu dan ayah
hingga mereka memutuskan untuk menikah sekalipun dijodohkan? Dan jika memang
cinta mereka benar-benar ada, kenapa mereka harus membuang waktu dan tenaga
hanya untuk pertengkaran yang tak pernah ada habisnya?
Tapi terus terang aku mual dengan sesuatu yang
berbau percintaan. Sejak kecil aku sudah melihat gambaran bagaimana cinta yang
dielu-elukan banyak manusia—kepada lawan jenis maksudku—hingga para pecinta itu
memutuskan bersatu dalam ikatan pernikahan. Bagiku cinta itu tak ubahnya
seperti rumah tangga ibu dan ayah. Penuh pertengkaran.
Ibu tak langsung menjawab pertanyaanku. Wanita yang
sudah berusia empat puluh tahun itu menunduk lantas setelahnya memelintir ujung
baju dasternya. “Awalnya iya. Tapi, seiring berjalannya waktu Ibu tidak tahu
apakah cinta itu masih ada atau tidak.”
Sebelah alisku terangkat. Jika memang cinta itu
sudah tidak ada lagi, kenapa mereka tetap bersama yang malah hanya menyakiti
diri mereka sendiri? Yah, sekalipun aku tahu perpisahan itu bukanlah hal yang
mudah. Aku bahkan tak berani membayangkan bagaimana jadinya jika kedua
orangtuaku bercerai. Dan kini aku meraba-raba, akan dibawa kemana pernikahan
mereka ini nantinya.
Ibu mengehela nafas berat—lagi. Hingga hening
melingkupi kami bahkan untuk waktu yang cukup lama, dan aku benar-benar tidak
suka berada dalam situasi seperti ini.
“Kenapa kalian sering bertengkar?” Aku merutuki
diriku dalam hati atas pertanyaan konyol yang baru saja kuajukan. Bukankah
selama ini bersikap apatis atas pertengkaran mereka? Lantas kenapa aku tiba-tiba
bertanya seperti itu? Tsskk...
Ibu
menatapku nanar atas pertanyaanku barusan. Aku bisa melihat senyum keterpaksaan
yang diciptakan oleh kedua sudut bibirnya. “Ibu kesepian, Ai.”
Aku
tersentak. Aku tak pernah tahu, dan
tak pernah menyadarinya. Ibu… Kesepian?
Jika
kupikir-pikir, ibu pantas merasa kesepian. Ayah
adalah seorang pekerja keras. Sebagai tukang bangunan yang bekerja sejak pagi
sampai sore, ayah sangat jarang berada di rumah kecuali saat malam. Dan karena
presensi ayah yang sangat jarang di rumah itulah, mungkin ibu mulai
berspekulasi yang tidak-tidak diakibatkan rasa kesepiannya.
Sebagai seorang yatim piatu, ibu hanya memiliki ayah.
Mungkin ibu hanya ingin ayah lebih memperhatikannya. Dan aku malah menambah
parah rasa kesepian ibu dengan menjaga jarak dengannya. Aku sering menyalahkan ibu.
Aku sering menyalahkan keegoisan ibu juga kecurigaannya pada Ayah yang tidak
beralasan. Aku hanya tidak tega melihat ayah yang kelelahan tiap pulang
bekerja, tapi ibu bukannya melayani ayah malah terus-terusan menuduh ayah
dengan tuduhan tak berdasar. Dan hal itulah yang membuatku tanpa sadar sudah
menciptakan jurang cukup lebar antara aku dan ibu.
Tanpa kusadari, penghilatanku memburam seiring
dengan cairan bening yang berusaha menerobos keluar dari kedua mataku.
Sekelebat bayangan ketika ibu menggendongku saat kecil merangsek masuk dalam
memoriku. Menyentakku akan kenyataan kalau aku sudah terlalu lama menjaga jarak
dengan ibu. Hatiku tiba-tiba seperti teriris saat melihat air mata yang mengalir
dari sudut matanya.
“Maaf. Maafkan Ibu tidak bisa jadi seorang ibu
seperti yang Aini inginkan. Ibu tahu, Ibu tidak seharusnya bertengkar seperti
itu dengan ayah. Ibu hanya, Ibu—”
Tanpa melanjutkan ucapannya, ibu lantas memelukku
dan terisak membuatku tak bisa lagi membendung cairan bening yang sudah tumpah
dan membanjiri wajahku. Kugigit bibirku agar tak meraung dalam pelukan ibu.
Kupeluk erat tubuh ibu yang terisak. Aku tak suka
melihat ibu seperti ini. Bagaimanapun tidak sukanya aku melihat ibu tiap kali
bertengkar dengan ayah, tapi aku lebih tidak suka melihat ibu menangis seperti
saat ini.
Aku berjanji, setelah ini aku akan berusaha
mengembalikan keadaan di rumahku seperti sedia kala. Juga berusaha
mengembalikan lagi cinta di antara ibu dan ayah. Mengembalikan cinta kami
sekeluarga. Sebelum semuanya terlambat dan bertambah parah. Karena aku sudah
terlalu lelah dengan kondisi di rumah yang membuatku bahkan kesulitan bernafas.
“Aini juga minta maaf, Bu.”
OoooO
Sekarang masih pukul lima sore ketika aku mendapati ayah
duduk sendirian di teras rumah. Hari ini ayah pulang lebih cepat ketimbang
biasanya.
Keputusanku sudah bulat untuk menghentikan semua
pertengkaran mereka dan memulai lagi kehidupan kami dari awal, tanpa
pertengkaran tentunya. Alasan terbesarku hanya satu, aku sudah muak harus
mendengarkan pertengkaran mereka. Mereka bukan anak kecil yang bertengkar
lantas berbaikan, lalu bertengkar lagi. Seharusnya mereka menyadari hal itu,
mereka adalah orang dewasa yang harus berpikir lebih rasional.
Aku yang sejak kecil sudah melihat pertengkaran mereka,
akhirnya dengan pikiran anak-anakku saat itu mengambil kesimpulan sendiri kalau
begitulah adanya kehidupan rumah tangga. Hal itu membuatku takut untuk jatuh
cinta pada lelaki. Dan aku terus termakan gagasan keliruku selama
bertahun-tahun hingga aku mengerti bahwa bukan cinta yang menyebabkan
pertengkaran tersebut. Tapi keegoisanlah penyebab utamanya.
Aku yang jarang berkomunikasi dengan ayah, melangkah
ragu dan duduk persis di sampingnya. Ayah terkejut saat menyadari eksistensiku dan
dengan ekspresi tidak percayanya ketika menatapku.
Aku benar-benar merasa canggung duduk bersama Ayah
seperti ini. Rasanya sudah lama sekali aku tidak sedekat ini dengan Ayah. Dan
aku hampir ingin menggagalkan saja rencanaku untuk ‘sedikit’ mencampuri urusan
mereka.
Hingga selama beberapa menit baik aku maupun Ayah
tak ada satupun di antara kami yang membuka suara. Aku tidak seperti anak-anak
lain yang bisa melakukan konversasi hangat bersama seorang ayah. Karena memang
begitulah sikapku terbentuk sejak kecil dari orangtua yang tak memberiku contoh
bagaimana seharusnya sebuah keluarga itu.
Hening masih melingkupi kami. Sepertinya ayah lebih
tertarik untuk mengobservasi jalanan kecil di depan rumah kami ketimbang
berbasa-basi denganku.
“Bagaimana kuliahmu?”
Kedua netraku mengerjap ketika ayah tiba-tiba
bertanya padaku. Hal yang pertama kalinya ayah lakukan, karena selama ini ayah
tak pernah peduli dengan kehidupan kuliahku.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan ayah, ibu
datang dari acara arisan tetangga dan menatap bingung kami berdua. Aku tahu ibu
pasti merasa aneh karena aku memang tidak pernah mau duduk bersama orangtua
seperti ini.
Seraya mengatur degup jantungku, aku bangkit berdiri
dan menarik ibu untuk duduk di tempat yang tadi kududuki. Dan yang kudapati
pertama kali setelahnya adalah tatapan aneh dari mereka berdua.
“Aini, ada
yang mau kamu katakan sama Ibu dan Ayah?” akhirnya ibu bersuara.
Orangtuaku yang tengah duduk di hadapanku masih
menatapku dengan kuriositas yang tercetak di wajah mereka karena selama
beberapa menit aku hanya bergeming. Bahkan aku beberapa kali menggaruk
tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Kalimat yang sudah kususun rapi tadi
malam malah lenyap dari otakku. Aku bingung harus mengatakan apa dan dari mana
memulainya.
“Anu, i..itu…” kugaruk tengkukku lagi. Aku menatap
bergantian ibu dan ayah yang masih menungguku untuk mengatakan sesuatu.
Kuhela nafas dalam. Lantas setelah dengan susah
payah menelan saliva, kubawa tubuhku
duduk bersimpuh di kaki ibu. Aku bisa melihat ibu terkejut luar biasa dengan
apa yang baru saja aku lakukan.
“Bu, Ai minta
maaf. Ai tidak pernah menemani Ibu saat Ibu kesepian. Ai tidak pernah mengerti
keadaan Ibu. Ai sering menyalahkan Ibu. Maaf Bu atas semuanya,” aku menunduk
dalam. Hingga akhirnya ibu turut terisak bersamaku seraya memeluk tubuhku.
“Iya, Sayang. Ibu juga minta maaf,” ibu mengecup
puncak kepalaku lembut.
Kutatap ibu dengan pandangan buram lantaran air mata
yang terus mendesak keluar. Lantas setelahnya kutatap ayah, dan beralih
bersimpuh di bawah kakinya.
“Yah, Ai minta maaf. Ai banyak salah, Yah. Ai—” aku
tak bisa melanjutkan kalimatku ketika ayah memelukku untuk pertama kalinya
sejak aku beranjak dewasa. Ayah memelukku erat yang sudah terisak dan tak bisa
lagi mengatakan apapun.
Suasana rumahku yang senantiasa senyap saat ini
berganti dengan suara isak tangis kami sekeluarga. Ayah meskipun tidak terisak,
aku bisa melihat matanya yang basah.
“Ayah juga minta maaf karena tidak pernah punya
waktu untuk Aini.”
Selang beberapa menit, aku berusaha menghentikan
isakanku lantas menggenggam tangan ayah dan ibu. Aku hampir lupa bagaimana
wajah ibu dan ayah jika dilihat dari jarak sedekat ini.
“Ibu, Ayah,” aku menatap mereka bergantian. “Bisakah
setelah ini kalian tidak bertengkar lagi? Ai lelah, Ai ingin kita seperti dulu
lagi. Bisakah?” setetes air mata kembali lolos dari sudut mataku.
Ibu dan ayah saling melempar pandang. Aku tahu ini
adalah hal paling gila yang pernah aku lakukan seumur hidupku.
Kulihat ayah menghela nafas dalam, sementara ibu menunduk
dengan memainkan jemarinya. Sesulit itukah permintaanku hingga mereka tidak
mudah mengabulkannya?
Ibu lantas tersenyum tipis setelah cukup lama terdiam,
“Demi Aini, Ibu dan Ayah akan coba.”
Kedua sudut bibirku tertarik setelah ibu kembali
memelukku. Yah, meskipun tidak bisa dikatakan kehidupan di rumahku sudah damai,
paling tidak aku sudah bisa sedikit bernafas. Kuharap setelah ini tidak ada lagi
suasana tegang di dalam rumah. Dan semoga aku bisa tenang mengerjakan tugas
kuliah tanpa mendengar pertengkaran mereka lagi.
Cinta itu tak mungkin mudah layu lantas hilang
begitu saja. Tapi egolah yang membuat cinta itu layu hingga kehangatannya
membeku ditelan keegoisan. Kuharap setelah ini cinta itu tak lagi layu dan bisa
mekar untuk selamanya. Meskipun secara perlahan. Sedikit demi sedikit. (*)
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar