Untold
***
Author:
Aisyah
(@cloudisah_)
Cast:
B.A.P
Bang Yongguk
OC’s
Jirin
Genre:
Family
.
.
.
Yongguk’s POV:
Aku
menyayanginya dengan seluruh nafasku. Hingga nafas ini tak bersisa untukku
sendiri. Nafasku telah kuserahkan untuknya. Untuk hidupnya.
Hanya
saja ia tak pernah tahu. Sebab akupun tak akan membiarkannya mengetahui begitu
besarnya rasa sayang ini yang lantas membuatku sering lupa untuk bernafas sebab
seluruh waktuku kudedikasikan hanya untuk menyayanginya.
Seperti
malam ini.
Nafasku
tercekat dengan hati tersayat melihatnya meringkuk lemah di atas tempat tidur.
Demamnya tinggi sejak tadi sore. Erangannya justru membuatku luka saat secara
perlahan kucoba mengompres keningnya.
“Badanmu
panas sekali, Sayang,” tanpa sadar suaraku bergetar.
Aku
tahu ia hanya demam biasa. Tapi rasa panik justru melandaku. Sebagai pria yang
tak cukup pandai dalam hal merawat orang sakit, malah menimbulkan reaksi
berlebihan sebagai akibat ketidakcakapanku.
Bahkan
baru saja aku menumpahkan air di dalam baskom ketika akan membasahi lagi handuk
untuk mengompres keningnya. Suara baskom yang terjatuh cukup keras ke atas
lantai mengusik tidurnya. Kedua netranya lantas terbuka dengan sangat pelan.
Mata
itu menatapku sayu. Sinar mata yang biasanya mampu hadirkan rasa damai, laksana
lenyap tertelan kehampaan dan keputusasaan. Dan aku bersumpah, tatapan itu
sangat mengganggu lantaran hatiku kembali sakit karenanya.
“Eung…”
erangnya seJirin mempertahankan kelopaknya agar tak kembali tertutup.
“Ha-haus.”
“Jirin
haus?” Tanyaku cepat. Mengabaikan lantai di samping tempat tidurnya yang basah
akibat tumpahan air.
Ia
mengangguk dengan teramat pelan.
Dengan
langkah terburu tungkaiku berderap ke luar kamar untuk mengambil air minum. Sekembalinya
dari dapur, kubawa tubuhku ke kamarku dengan tergesak berharap masih ada obat
penurun panas di dalam lemari obat. Dan sayangnya tidak kutemukan obat yang
kucari. Maka kuputuskan untuk kembali ke kamar Jirin yang pada akhirnya membuat
alat pemompa darahku serasa mencelos saat mendapati Jirin kembali terpejam di
atas tempat tidurnya.
Tubuhnya
berkeringat dingin. Dan seharusnya aku bisa lebih tenang mengingat hal ini
memang wajar terjadi bagi penderita demam. Namun aku tak bisa menahan kedua
tangankku yang gemetar sembari menyapu keringat di kulitnya dengan anduk
kering.
Bagaimana
bisa ia terserang demam hanya karena kemarin siang kehujanan saat pulang
sekolah? Aku tak mengerti dengan anak muda jaman sekarang yang daya tahan
tubuhnya tak sekuat kami dulu.
Usai
memastikan Jirin kembali tidur, kututupi tubuhnya dengan selimut hingga ke
dadanya. Mengecup sekilas keningnya yang panas, kuusap puncak kepalanya dengan
tangan yang masih gemetar seJirin menatap wajah pucatnya yang terlelap.
Memoarku
melayang ke masa di mana Jirin masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Ia yang
dulu kugendong ketika kami berjalan-jalan ke pasar malam, Jirin yang sewaktu
kecil sering menjadikan punggungku untuk bermain kuda-kudaan, serta tawa kami
berdua saat mengotori dapur istriku—ibunya Jirin.
Tak
ingin menyebut diriku pria cengeng, namun harus kuakui setetes cairan bening
lolos begitu saja tanpa bisa kutahan. Aku sering bertanya pada diriku sendiri.
Sudahkah aku menjadi seorang ksatria untuk Jirin? Sudahkah aku bisa menjaga Jirin
seperti ibunya dulu menjaganya? Sudahkah aku berhasil menjadi single parent?
Melenyapkan
pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung kutemui jawabnya, sekali lagi kukecup
kening Jirin. Menatapnya lamat-lamat sebelum kuputuskan untuk ke luar rumah
membeli obat demam untuknya.
***
Aku
mencintainya dengan rasa sakit.
Sakit
disebabkan wajahnya selalu mengingatkanku pada mendiang istriku. Sakit karena
aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan istriku yang dulu berjuang
untuk melahirkan anak kedua kami, yang pada akhirnya istriku dan janinnya tak
terselamatkan.
Dan
dengan rasa sakit yang tak kunjung hilang, kuberikan segala cintaku dan seluruh
hidupku untuk Jirin. Putri pertamaku yang kini sudah beranjak remaja. Putri
kecilku yang kini sudah duduk di tingkat pertama SMA.
Mencintainya
dengan rasa sakit lantaran aku belum rela melihatnya tumbuh menjadi gadis
remaja yang pada akhirnya akan jatuh hati pada pria sebayanya. Aku belum siap
untuk itu. Aku belum siap jika putriku melihat pria lain untuk dijadikan tempat
bersandar selain aku.
“Ayah
sudah bangun sepagi ini?”
Aku
terperanjat mendengar suara parau di belakangku. Jirin berdiri lunglai di
samping meja makan. Kedua matanya setengah terpejam menatapku.
Kualihkan
atensiku yang sejak tadi berdiri di samping jendela dapur, menatap tetes embun
dari ujung daun ketapang di luar sana. Kuhampiri Jirin dengan langkah tergesak
dan langsung memeriksa keningnya. Tentu saja hal itu membuat raut wajahnya berubah
cemberut.
“Bagaimana
kondisimu? Sudah baikan? Atau masih pusing? Kalau begitu hari ini izin sekolah
dulu biar nanti ayah yang menelpon wali kelasmu kalau hari ini—”
“Ayaaah,”
rengeknya menghentikan ucapanku. Jirin menurunkan tanganku yang masih
bertengger pada keningnya. “Jirin sudah baikan kok. Ayah jangan khawatir, oke? Hoaahmm…” Ia berjalan menjauhiku menuju
kamar mandi.
Yah,
beginilah sifat putriku. Sifatnya yang tidak suka jika ayahnya sendiri terlalu
memperhatikannya. Sifatnya yang terkadang membuatku kesal. Meskipun begitu, aku
tetaplah menyayanginya. Sebab ia putriku. Sebab ia putri istriku yang telah
meninggal dua tahun lalu.
“Kalau
begitu cepat mandi dan akan ayah buatkan nasi goreng untuk sarapan!” Seruku
pada pintu kamar mandi yang tertutup bersiap dengan peralatan memasak dan juga
bumbu dapur.
Setidaknya
pagi ini aku bisa bernafas lega lantaran aku tak perlu lagi dilanda cemas
berlebihan karena mengkhawatirkan kondisinya. Setelah ini kupastikan akan
menjadi ayah yang lebih keren lagi untuknya. Menjadi pria nomor satu dalam
hidupnya. Sebelum nanti ada bocah lelaki yang mengulurkan tangannya dan
mengambil putri tersayangku dariku untuk hidup bersamanya.
***
Tamat
Selamat
datang lagi di blog yang sudah seperti kuburan ini… ekekekk…
And #happy6yearswithBAP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar