Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Minggu, 28 Januari 2018

(Fanfiction) A Rainbow for You



A Rainbow for You



.
.
.

Author:
@cloudisah_

.
.

Main Cast:
B.A.P Jung Daehyun
OC’s Jirin

.
.

Genre:
Sad Romance

.
.
.

***

Ujung tongkatnya menyusuri rerumputan basah yang tengah ia pijak. Kedua tungkainya yang tanpa alas kaki itu ia biarkan basah kala barisan hujan kini tampak semakin rapat. Dengan agak terburu, ujung tongkatnya masih menyusuri basahnya rumput dengan tubuh yang mulai basah.

Hingga ketika ujung tongkatnya mencapai dataran yang lebih keras—dan itu pasti lantai kayu gazebo—kedua tangannya lantas meraba sebuah bangku di sana dan memposisikan tubuhnya duduk di atas bangku kayu tersebut setelah sebelumnya meletakkan tongkatnya secara asal. Halaman belakang rumah sakit menjadi tempat favoritnya ketika suntuk di kamar pasien belakangan ini, terlebih karena—

“Sudah kubilang ‘kan kalau mau ke sini katakan padaku.”

—pria pemilik suara itulah yang membuatnya selalu merindukan tempat ini.


Ia—Jirin—menjungkitkan kedua sudut bibirnya ketika mendapati suara yang sangat familiar bagi indra pendengarannya, dan ia tak perlu repot-repot menoleh untuk menyambut kedatangan sang pemilik suara. Jirin bisa merasakan orang itu sudah duduk di sisinya tanpa permisi. Hingga kemudian hening di antara keduanya selama puluhan sekon, membiarkan suara hujan mendominasi.

“Sekarang sedang hujan, kenapa kamu ke sini?” Setelah kembali membuka konversasi, Jirin berusaha menangkap air hujan melalui telapak tangannya, sekalipun hal tersebut tak berhasil karena terhalang ujung atap gazebo.

“Tadi aku melihatmu berjalan melewati kamarku, makanya aku ikuti,” pemilik suara yang hingga saat ini tak Jirin ketahui namanya itu menjawab kalimat tanya Jirin dengan suaranya yang khas. “Omong-omong, kenapa tidak duduk di kamarmu saja? Apa tidak dingin?”

Jirin menghela napas sejenak. “Aku tak bisa melihat hujan meskipun berada di sisi jendela. Karenaya aku ke sini, setidaknya aku bisa merasakan seperti apa yang dinamakan hujan itu.”

Yang diajak bicara terlihat mengangguk pelan. Lantas kembali hening. Hujan masih saja turun dengan kuantitas sedang, meskipun masih tak tampak tanda-tanda akan segera usai.

“Kamu tahu, Jirin. Setelah hujan biasanya akan muncul bias cahaya berwarna-warni di langit, yang biasa disebut dengan pelangi. Aku yakin kamu akan sangat menyukainya saat bisa melihat nanti!” pria itu berseru lantas berdiri di hadapan Jirin. Meskipun hal itu percuma sebab Jirin tak bisa melihatnya.

“Ya, aku pernah mendengarnya dari ibuku. Apakah benar-benar secantik itu?”

Pria itu mengangguk sekalipun ia sangat sadar itu adalah tindakan yang konyol. “Kamu harus percaya padaku. Oh iya, omong-omong jadwal operasimua satu minggu lagi, kan?”

Hmm. Aku sungguh tak sabar,” Jirin mengangguk senang. “Kata ibu, pendonor retina untukku adalah penderita tumor otak ganas. Aku bukannya berharap sih jika orang itu meninggal, tapi aku tidak bisa berbohong jika aku benar-benar sangat ingin bisa melihat!” Raut Jirin merona dan tentu saja hal itu membuat alat pemompa darah sang pria berdebar tak terkendali.

Setelahnya Jirin membiarkan pria itu menyelipkan anak rambutnya ke balik daun telinganya dan mengacak pelan puncak kepalanya. Ia tak menolak sebab ia justru begitu menikmati sensasi aneh yang menggelitik perutnya tiap kali bersama pria itu.

“Apa setelah aku bisa melihat nanti, aku bisa menemuimu? Dan di saat itu, maukah kamu memberitahuku siapa namamu?”

Pria itu bergeming beberapa sekon, lantas menghela napas terlampau dalam. “Kamu tentu akan tahu namaku nanti. Tapi, aku tak yakin kamu bisa melihatku sebab kemungkinan besar aku sudah pergi dari rumah sakit ini,” terangnya dengan lirih.

Jirin mengerucutkan bibirnya, “Memangnya kamu sakit apa, sih?”

Alih-alih menjawab, yang ditanya malah menarik lengan Jirin agar gadis itu turut berdiri bersisian dengannya. “Kita nikmati saja dulu moment kebersamaan kita saat ini,” ucap pria itu setengah berbisik.

Jirin bersumpah aliran darahnya serasa memanas dengan jantungnya yang bertalu dengan frekuensi teramat cepat. Hingga ia tak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk tidak lebih tertarik lagi.

OoooO

“Ada apa tiba-tiba kamu kemari?”

“Tidak ada. Aku hanya… eumm, merindukanmu?” pria itu terkekeh setelahnya.

Jirin berdecak pelan. “Bohong. Jadi, katakan sebenarnya ada apa kamu ke kamarku di saat malam seperti ini?”

Pria yang kamar inapnya bersebelahan dengan Jirin itu tak langsung menjawab pertanyaannya. Ia malah menarik kedua tangan Jirin dan menggenggamnya. Sesekali mencium punggung tangan gadis itu hingga membuat tubuh Jirin bergetar.

“Omong-omong, sudah hampir tiga minggu kita menghabiskan waktu bersama terhitung sejak aku pertama kali masuk rumah sakit ini,” pria itu makin mempererat genggaman tangannya pada tangan Jirin. “Kamu tahu, Jirin, apa yang aku rasakan?”

Jirin menggeleng pelan. Agak tak mengerti sebenarnya ke mana arah pembicaraan pria ini.

Jantung Jirin menggila ketika pria itu tiba-tiba menariknya, memeluknya posesif. Tak tahu harus bertindak seperti apa, Jirin akhirnya membiarkan pria itu menyandarkan kepalanya pada bahu Jirin. Hingga Jirin merasakan bahunya… basah?

“Kamu bisa merasakan debaran jantungku kan? Seperti inilah yang aku rasakan padamu, Jirin. Aku bersumpah begitu menikmati saat-saat kebersamaan kita yang rasanya terlalu singkat ini,” lirih pria itu tepat di telinga Jirin. Setelahnya pria itu mencium puncak kepala Jirin cukup lama dengan kedua netranya yang terpejam erat. Bulir bening tampak keluar dari sudut matanya.

Jirin memaksa pria itu untuk melepaskan rengkuhannya. “Hey, memangnya kita tidak bisa bertemu lagi? Bukankah akan lebih menyenangkan saat aku bisa melihat nanti?”

Pria itu bisa melihat dengan jelas kuriositas di wajah gadis itu. Ia tersenyum miris, lantas mengusap kedua pipi Jirin. “Aku berharap bisa seperti itu. Tapi… Aku tak yakin, dan memang kemungkinan besar tak bisa.”

Kedua alis Jirin serta merta bertaut. Ia tak mengerti. Kenapa pria itu harus berkata seperti itu seolah ia tak akan menemui Jirin lagi. Ingin sekali ia mempertanyakan hal itu, hanya saja pria itu pasti akan menolak untuk menjawab.

“Apapun yang akan terjadi nanti, kuharap itu adalah skenario Tuhan yang terindah dan terbaik untuk kita,” Jirin memaksakan sebuah senyum.

Tangan Jirin terangkat, meraba wajah pria di hadapannya itu dan jemari lentiknya menyusuri pahatan karya Tuhan itu perlahan. Dimulai dari kening, kedua mata, hidung, pipi, bibir, hingga dagunya. “Aku benar-benar ingin melihat wajah ini,” ucap Jirin tulus.

Tanpa Jirin ketahui, pria itu mati-matian menahan cairan bening yang berusaha menerobos pertaJirinnnya. Ingin sekali ia berteriak pada takdir yang menyakitkan di antara mereka. Takdir yang terlampau kejam terhadap jalan hidup mereka.

“Jirin, boleh aku memelukmu sekali lagi?” pria itu menatap Jirin sayu.

Jirin mengangguk ragu, lantas dengan cepat kembali tubuh mungilnya didekap erat. Terlampau erat hingga ia agak kesulitan bernapas. “Hey, sebenarnya ada apa sih?”

Pria itu memejamkan matanya rapat, sembari menghirup dalam aroma tubuh Jirin. Kalau bisa tak ingin lagi ia lepaskan rengkuhannya pada tubuh gadis itu.

“Sejujurnya, aku akan dioperasi tiga jam lagi. Dan, aku… Aku takut.”

Tentu Jirin terkejut. “Ap-apa? Opera…si? Sebenarnya apa penyakit yang—”

“Kamu akan tahu nanti. Semuanya. Sudahlah, cukup diam dan biarkan aku memelukmu, Nona-kamar-inap-sebelah.”

Pria itu kembali mencium puncak kepala Jirin dan kali ini lebih lama dari sebelumnya. Jirin akhirnya berkemam, membalas pelukan pria itu dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Tak lama, Jirin merasakan bahunya memberat. Pelukan mereka seketika terlepas ketika Jirin menyadari jika pria itu… sudah tidak sadarkan diri.

OoooO

Pelangi tampak melengkung indah dari balik kaca jendela kamar inap Jirin. Bibirnya membentuk garis asimetris, seraya menatap bias cahaya warna-warni itu yang jauh lebih cantik ketimbang ekspektasinya.

“Jadi, apa kamu sudah siap untuk ibu bacakan suratnya?”

Jirin berbalik, menatap sang ibu yang tengah menatapnya dengan air muka yang tak bisa ia deskripsikan. Tungkainya melangkah perlahan, duduk di sisi ibunya.

Jemari Jirin bertaut, tak tahu harus berekasi seperti apa sekarang. Sejak pria itu tak sadarkan diri malam itu, Jirin sudah menduga apa yang terjadi. Dan benarlah dugaannya ketika ibu sang pria kamar inap sebelah memberikan selembar surat tak lama setelah operasi Jirin berlangsung.

“Jirin takut, Bu. Jirin tak siap mendengarnya,” Jirin menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Tak pantaslah jika ia menangis saat ini juga. “Tapi, Jirin akan merasa bersalah jika tak mengetahui kebenarannya. Jirin tak ingin hanya menduga-duga.”

Ibu Jirin tersenyum tipis. “Lalu? Maukah Jirin mendengar isi suratnya sekarang?”

Lama Jirin terdiam. Untuk beberapa menit, yang terdengar hanya embusan napas berat darinya juga dari ibunya selain suara detik jarum yang terus berputar.

Perlahan Jirin menatap ibunya. Diraupnya oksigen sebanyak yang ia bisa sebelum menjawab, “Baiklah. Tolong bacakan isi suratnya, Bu.”

Ibu Jirin kembali tersenyum lantas membuka lipatan surat yang sejak tadi ia pegang. Di sampingnya, Jirin duduk dengan raut tegang.

Untuk Jirin, Nona-kamar-inap-sebelah,” ibunya menghela napas sejenak.

“Hey, bagaimana rasanya bisa melihat? Apakah silau? Lama-kelamaan kamu akan terbiasa dengan itu. Pertama-tama, selamat ya karena kamu pasti akan bisa melihat pelangi tak lama lagi. Kedua, biarkan aku memperkenalkan diriku secara resmi padamu. Namaku Jung Daehyun Panggil saja aku Dae. Ketiga, maaf harus pergi seperti ini. Keempat, kamu mungkin sudah tahu akulah pendonor retina untukmu. Kelima, tolong jangan membenciku. Keenam, kuharap kamu selalu mengingatku dan jangan melupakanku. Ketujuh, hiduplah dengan bahagia. Tolong jaga retina itu baik-baik untukku. Kedelapan sejujurnya aku ingin sekali berada di sisimu tapi apalah daya, inilah takdir Tuhan. Kesembilan, aku ingin menyatakan bahwa saat-saat terakhirku bersamamu adalah saat paling indah dalam hidupku. Kesepuluh sekaligus yang terkahir, aku,” ibu Jirin menatap putrinya itu sejanak. “Aku mencintaimu. Salam. Dari pria-kamar-inap-sebelah.”

Jirin seketika memeluk ibunya dengan cairan bening yang terus menerus menerobos hingga membentuk sungai kecil di wajahnya. Kalau boleh, ia ingin tetap buta saja asalkan pria itu—Daehyun—tetap hidup dan selalu di sisinya.

Kenyataan ini begitu menyakitkan. Tapi ia tak bisa membenci takdir, sebab ia tak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia sangat senang bisa melihat cahaya dengan kedua matanya sendiri. Dan Jirin hanya berharap, jika Angga akan mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan.

“Terima kasih untuk pelanginya, Dae,” batin Jirin.

END

Epilog

“Siapa gadis cantik yang ada di kamar sebelah, Dok?”

“Oh, gadis itu namanya Jirin. Ada apa?”

“Tadi sore kulihat ia berjalan melewati kamarku menggunakan tongkat. Maaf, apakah dia… buta?”

“Iya. Dia buta sejak dilahirkan. Apakah kamu mau mendonorkan retinamu untuknya? Yah itu bukan berarti kalau operasimu nanti benar-benar akan gagal. Hanya saja, eumm jika seandainya—”

“Iya, aku mau Dokter. Tapi sebelum tanggal operasiku ditentukan, bolehkah aku akrab dengannya?”

“Hmm, tentu saja boleh.” (*)

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar