A Rainbow for You
.
.
.
Author:
@cloudisah_
.
.
Main
Cast:
B.A.P
Jung Daehyun
OC’s
Jirin
.
.
Genre:
Sad Romance
.
.
.
***
Ujung
tongkatnya menyusuri rerumputan basah yang tengah ia pijak. Kedua tungkainya
yang tanpa alas kaki itu ia biarkan basah kala barisan hujan kini tampak
semakin rapat. Dengan agak terburu, ujung tongkatnya masih menyusuri basahnya
rumput dengan tubuh yang mulai basah.
Hingga
ketika ujung tongkatnya mencapai dataran yang lebih keras—dan itu pasti lantai
kayu gazebo—kedua tangannya lantas
meraba sebuah bangku di sana dan memposisikan tubuhnya duduk di atas bangku
kayu tersebut setelah sebelumnya meletakkan tongkatnya secara asal. Halaman
belakang rumah sakit menjadi tempat favoritnya ketika suntuk di kamar pasien
belakangan ini, terlebih karena—
“Sudah
kubilang ‘kan kalau mau ke sini
katakan padaku.”
—pria
pemilik suara itulah yang membuatnya selalu merindukan tempat ini.
Ia—Jirin—menjungkitkan
kedua sudut bibirnya ketika mendapati suara
yang sangat familiar bagi indra pendengarannya, dan ia tak perlu
repot-repot menoleh untuk menyambut kedatangan sang pemilik suara. Jirin bisa
merasakan orang itu sudah duduk di sisinya tanpa permisi. Hingga kemudian
hening di antara keduanya selama puluhan sekon, membiarkan suara hujan
mendominasi.
“Sekarang
sedang hujan, kenapa kamu ke sini?” Setelah kembali membuka konversasi, Jirin
berusaha menangkap air hujan melalui telapak tangannya, sekalipun hal tersebut
tak berhasil karena terhalang ujung atap gazebo.
“Tadi
aku melihatmu berjalan melewati kamarku, makanya aku ikuti,” pemilik suara yang
hingga saat ini tak Jirin ketahui namanya itu menjawab kalimat tanya Jirin
dengan suaranya yang khas. “Omong-omong, kenapa tidak duduk di kamarmu saja?
Apa tidak dingin?”
Jirin
menghela napas sejenak. “Aku tak bisa melihat hujan meskipun berada di sisi
jendela. Karenaya aku ke sini, setidaknya aku bisa merasakan seperti apa yang
dinamakan hujan itu.”
Yang
diajak bicara terlihat mengangguk pelan. Lantas kembali hening. Hujan masih saja
turun dengan kuantitas sedang, meskipun masih tak tampak tanda-tanda akan
segera usai.
“Kamu
tahu, Jirin. Setelah hujan biasanya akan muncul bias cahaya berwarna-warni di
langit, yang biasa disebut dengan pelangi. Aku yakin kamu akan sangat
menyukainya saat bisa melihat nanti!” pria itu berseru lantas berdiri di
hadapan Jirin. Meskipun hal itu percuma sebab Jirin tak bisa melihatnya.
“Ya,
aku pernah mendengarnya dari ibuku. Apakah benar-benar secantik itu?”
Pria
itu mengangguk sekalipun ia sangat sadar itu adalah tindakan yang konyol. “Kamu
harus percaya padaku. Oh iya, omong-omong jadwal operasimua satu minggu lagi,
kan?”
“Hmm. Aku sungguh tak sabar,” Jirin
mengangguk senang. “Kata ibu, pendonor retina untukku adalah penderita tumor
otak ganas. Aku bukannya berharap sih jika orang itu meninggal, tapi aku tidak
bisa berbohong jika aku benar-benar sangat ingin bisa melihat!” Raut Jirin
merona dan tentu saja hal itu membuat alat pemompa darah sang pria berdebar tak
terkendali.
Setelahnya
Jirin membiarkan pria itu menyelipkan anak rambutnya ke balik daun telinganya
dan mengacak pelan puncak kepalanya. Ia tak menolak sebab ia justru begitu
menikmati sensasi aneh yang menggelitik perutnya tiap kali bersama pria itu.
“Apa
setelah aku bisa melihat nanti, aku bisa menemuimu? Dan di saat itu, maukah
kamu memberitahuku siapa namamu?”
Pria
itu bergeming beberapa sekon, lantas menghela napas terlampau dalam. “Kamu
tentu akan tahu namaku nanti. Tapi, aku tak yakin kamu bisa melihatku sebab
kemungkinan besar aku sudah pergi dari rumah sakit ini,” terangnya dengan
lirih.
Jirin
mengerucutkan bibirnya, “Memangnya kamu sakit apa, sih?”
Alih-alih
menjawab, yang ditanya malah menarik lengan Jirin agar gadis itu turut berdiri
bersisian dengannya. “Kita nikmati saja dulu moment kebersamaan kita saat ini,” ucap pria itu setengah berbisik.
Jirin
bersumpah aliran darahnya serasa memanas dengan jantungnya yang bertalu dengan
frekuensi teramat cepat. Hingga ia tak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk
tidak lebih tertarik lagi.
OoooO
“Ada
apa tiba-tiba kamu kemari?”
“Tidak
ada. Aku hanya… eumm, merindukanmu?”
pria itu terkekeh setelahnya.
Jirin
berdecak pelan. “Bohong. Jadi, katakan sebenarnya ada apa kamu ke kamarku di
saat malam seperti ini?”
Pria
yang kamar inapnya bersebelahan dengan Jirin itu tak langsung menjawab
pertanyaannya. Ia malah menarik kedua tangan Jirin dan menggenggamnya. Sesekali
mencium punggung tangan gadis itu hingga membuat tubuh Jirin bergetar.
“Omong-omong,
sudah hampir tiga minggu kita menghabiskan waktu bersama terhitung sejak aku
pertama kali masuk rumah sakit ini,” pria itu makin mempererat genggaman
tangannya pada tangan Jirin. “Kamu tahu, Jirin, apa yang aku rasakan?”
Jirin
menggeleng pelan. Agak tak mengerti sebenarnya ke mana arah pembicaraan pria
ini.
Jantung
Jirin menggila ketika pria itu tiba-tiba menariknya, memeluknya posesif. Tak
tahu harus bertindak seperti apa, Jirin akhirnya membiarkan pria itu menyandarkan
kepalanya pada bahu Jirin. Hingga Jirin merasakan bahunya… basah?
“Kamu
bisa merasakan debaran jantungku kan? Seperti inilah yang aku rasakan padamu, Jirin.
Aku bersumpah begitu menikmati saat-saat kebersamaan kita yang rasanya terlalu
singkat ini,” lirih pria itu tepat di telinga Jirin. Setelahnya pria itu
mencium puncak kepala Jirin cukup lama dengan kedua netranya yang terpejam
erat. Bulir bening tampak keluar dari sudut matanya.
Jirin
memaksa pria itu untuk melepaskan rengkuhannya. “Hey, memangnya kita tidak bisa
bertemu lagi? Bukankah akan lebih menyenangkan saat aku bisa melihat nanti?”
Pria
itu bisa melihat dengan jelas kuriositas di wajah gadis itu. Ia tersenyum
miris, lantas mengusap kedua pipi Jirin. “Aku berharap bisa seperti itu. Tapi…
Aku tak yakin, dan memang kemungkinan besar tak bisa.”
Kedua
alis Jirin serta merta bertaut. Ia tak mengerti. Kenapa pria itu harus berkata
seperti itu seolah ia tak akan menemui Jirin lagi. Ingin sekali ia
mempertanyakan hal itu, hanya saja pria itu pasti akan menolak untuk menjawab.
“Apapun
yang akan terjadi nanti, kuharap itu adalah skenario Tuhan yang terindah dan
terbaik untuk kita,” Jirin memaksakan sebuah senyum.
Tangan
Jirin terangkat, meraba wajah pria di hadapannya itu dan jemari lentiknya
menyusuri pahatan karya Tuhan itu perlahan. Dimulai dari kening, kedua mata,
hidung, pipi, bibir, hingga dagunya. “Aku benar-benar ingin melihat wajah ini,”
ucap Jirin tulus.
Tanpa
Jirin ketahui, pria itu mati-matian menahan cairan bening yang berusaha
menerobos pertaJirinnnya. Ingin sekali ia berteriak pada takdir yang
menyakitkan di antara mereka. Takdir yang terlampau kejam terhadap jalan hidup
mereka.
“Jirin,
boleh aku memelukmu sekali lagi?” pria itu menatap Jirin sayu.
Jirin
mengangguk ragu, lantas dengan cepat kembali tubuh mungilnya didekap erat.
Terlampau erat hingga ia agak kesulitan bernapas. “Hey, sebenarnya ada apa sih?”
Pria
itu memejamkan matanya rapat, sembari menghirup dalam aroma tubuh Jirin. Kalau
bisa tak ingin lagi ia lepaskan rengkuhannya pada tubuh gadis itu.
“Sejujurnya,
aku akan dioperasi tiga jam lagi. Dan, aku… Aku takut.”
Tentu
Jirin terkejut. “Ap-apa? Opera…si? Sebenarnya apa penyakit yang—”
“Kamu
akan tahu nanti. Semuanya. Sudahlah, cukup diam dan biarkan aku memelukmu,
Nona-kamar-inap-sebelah.”
Pria
itu kembali mencium puncak kepala Jirin dan kali ini lebih lama dari
sebelumnya. Jirin akhirnya berkemam, membalas pelukan pria itu dengan tanda
tanya besar di kepalanya.
Tak
lama, Jirin merasakan bahunya memberat. Pelukan mereka seketika terlepas ketika
Jirin menyadari jika pria itu… sudah tidak sadarkan diri.
OoooO
Pelangi
tampak melengkung indah dari balik kaca jendela kamar inap Jirin. Bibirnya
membentuk garis asimetris, seraya menatap bias cahaya warna-warni itu yang jauh
lebih cantik ketimbang ekspektasinya.
“Jadi,
apa kamu sudah siap untuk ibu bacakan suratnya?”
Jirin
berbalik, menatap sang ibu yang tengah menatapnya dengan air muka yang tak bisa
ia deskripsikan. Tungkainya melangkah perlahan, duduk di sisi ibunya.
Jemari
Jirin bertaut, tak tahu harus berekasi seperti apa sekarang. Sejak pria itu tak
sadarkan diri malam itu, Jirin sudah menduga apa yang terjadi. Dan benarlah
dugaannya ketika ibu sang pria kamar inap sebelah memberikan selembar surat tak
lama setelah operasi Jirin berlangsung.
“Jirin
takut, Bu. Jirin tak siap mendengarnya,” Jirin menggigit bibir bawahnya
kuat-kuat. Tak pantaslah jika ia menangis saat ini juga. “Tapi, Jirin akan
merasa bersalah jika tak mengetahui kebenarannya. Jirin tak ingin hanya
menduga-duga.”
Ibu
Jirin tersenyum tipis. “Lalu? Maukah Jirin mendengar isi suratnya sekarang?”
Lama
Jirin terdiam. Untuk beberapa menit, yang terdengar hanya embusan napas berat
darinya juga dari ibunya selain suara detik jarum yang terus berputar.
Perlahan
Jirin menatap ibunya. Diraupnya oksigen sebanyak yang ia bisa sebelum menjawab,
“Baiklah. Tolong bacakan isi suratnya, Bu.”
Ibu
Jirin kembali tersenyum lantas membuka lipatan surat yang sejak tadi ia pegang.
Di sampingnya, Jirin duduk dengan raut tegang.
“Untuk Jirin, Nona-kamar-inap-sebelah,”
ibunya menghela napas sejenak.
“Hey, bagaimana rasanya bisa
melihat? Apakah silau? Lama-kelamaan kamu akan terbiasa dengan itu.
Pertama-tama, selamat ya karena kamu pasti akan bisa melihat pelangi tak lama
lagi. Kedua, biarkan aku memperkenalkan diriku secara resmi padamu. Namaku Jung
Daehyun Panggil saja aku Dae. Ketiga, maaf harus pergi seperti ini. Keempat,
kamu mungkin sudah tahu akulah pendonor retina untukmu. Kelima, tolong jangan
membenciku. Keenam, kuharap kamu selalu mengingatku dan jangan melupakanku.
Ketujuh, hiduplah dengan bahagia. Tolong jaga retina itu baik-baik untukku.
Kedelapan sejujurnya aku ingin sekali berada di sisimu tapi apalah daya, inilah
takdir Tuhan. Kesembilan, aku ingin menyatakan bahwa saat-saat terakhirku
bersamamu adalah saat paling indah dalam hidupku. Kesepuluh sekaligus yang
terkahir, aku,” ibu Jirin menatap putrinya itu sejanak. “Aku mencintaimu. Salam. Dari
pria-kamar-inap-sebelah.”
Jirin
seketika memeluk ibunya dengan cairan bening yang terus menerus menerobos
hingga membentuk sungai kecil di wajahnya. Kalau boleh, ia ingin tetap buta
saja asalkan pria itu—Daehyun—tetap hidup dan selalu di sisinya.
Kenyataan
ini begitu menyakitkan. Tapi ia tak bisa membenci takdir, sebab ia tak bisa
membohongi dirinya sendiri jika ia sangat senang bisa melihat cahaya dengan
kedua matanya sendiri. Dan Jirin hanya berharap, jika Angga akan mendapatkan
tempat terbaik di sisi Tuhan.
“Terima kasih untuk pelanginya, Dae,”
batin Jirin.
END
Epilog
“Siapa
gadis cantik yang ada di kamar sebelah, Dok?”
“Oh,
gadis itu namanya Jirin. Ada apa?”
“Tadi
sore kulihat ia berjalan melewati kamarku menggunakan tongkat. Maaf, apakah
dia… buta?”
“Iya.
Dia buta sejak dilahirkan. Apakah kamu mau mendonorkan retinamu untuknya? Yah
itu bukan berarti kalau operasimu nanti benar-benar akan gagal. Hanya saja,
eumm jika seandainya—”
“Iya,
aku mau Dokter. Tapi sebelum tanggal operasiku ditentukan, bolehkah aku akrab
dengannya?”
“Hmm,
tentu saja boleh.” (*)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar