Be Happy^^

No More Pain, No More Cry (: (:

Kamis, 25 Januari 2018

(Cerpen) Pondok Segi Empat



Pondok Segi Empat

.
.


(Sumber Gambar: Google Image)

.
.

Penulis:
Aisyah (@cloudisah_)

.
.

Menjelang senja, Mur dan keempat kawannya baru tiba di rumah almarhumah nenek Mur di desa Kayungo dan langsung mengunjungi kediaman ketua RT yang tak lain adalah paman Mur, sekitar dua ratus meter dari rumah almarhumah nenek Mur. Beliau meminta Mur mengunjunginya sebab sudah hampir dua tahun Mur tidak bertemu pamannya itu.

Jalanan senja yang remang membuat kelimanya menyalakan senter dari ponsel mereka. Tidak kelimanya, sih. Sebab ponsel Mur sendiri kehabisan baterai dan sayangnya listrik di desa Kayungo hanya dialiri listrik saat siang hari saja. Sementara pada saat malam selalu terjadi pemadaman oleh PLN. Memang distribusi listrik masih tidak merata untuk masyarakat di pedalaman.

“Duh, kok serem amat ya,” Kus yang bertubuh paling tinggi diantara kawanannya berjalan paling depan dengan netra yang menatap awas pada sekeliling. Jalan setapak yang sepi sebab masih tak banyak rumah penduduk di daerah tersebut. Jarak antar rumahpun sangat jauh. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah hamparan kebun kelapa sawit.

“Halah, Kus. Badan doing gede, nyali sekecil nyamuk,” Mul yang berjalan persis di belakang Kus mendengus sebal.


Kus tak berniat meladeni umpatan Mul barusan. Tungkainya tetap melangkah memimpin di depan. Sesekali ia terkejut saat kucing hutan melintas di dekat mereka.

“Ayo buruan, ntar keburu gelap,” Mur mengingatkan kawan-kawannya.

Boi dan Jun yang sejak tadi hanya diam turut mengikuti langkah Mur yang kini dipercepat agar segera tiba di rumah ketua RT. Jingga telah mendominasi sepenuhnya saat mereka berlima tiba di rumah ketua RT tepat sebelum barisan air langit tiba-tiba menyerbu permukaan.

OoooO

 “Mau keliling kampung dulu nggak?” Usul Jun.

Kelimanya masih bertahan di rumah Paman Ian—paman Mur—hingga pukul setengah sembilan malam. Dan saat ini mereka tengah duduk di teras. Terlihat sekali Kus tak nyaman berada di tempat itu.

“Gelap banget, Jun. Kita balik aja yuk, besok pagi baru kita keliling sekalian lari pagi. Pasti udaranya seger banget,” usul Mul.

Mur menatap raut Kus yang nampak khawatir. “Kamu kenapa sih, Kus? Kayak lagi diare aja.”

Menggeleng pelan, Kus menghela nafas dalam. “Nggak apa-apa. Cuman perasaanku nggak enak aja. Nggak tau kenapa.”

Boi bangkit dari posisinya, menuju sisi luar teras untuk mengambil sandal. “Balik yuk. Mamaku sudah mewanti-wanti kalo sudah sampe di Kayungo jangan keluyuran malam. Tahu sendiri kan di daerah ini masih hutan. Takut kenapa-kenapa aja, sih.”

Merasa usulnya tidak ada yang menerima, Jun mempoutkan bibirnya. Hal itu membuat Mur dan Mul terkekeh melihatnya. Kus dengan segera mengikuti Boi.

“Ah, nggak seru nih. Liburan macam apa ini nggak ada tantangannya… Ckk…” Jun dengan berat hati menghampiri keempat temannya yang sudah berada di depan pagar.

Beberapa sekon berikutnya, tungkai kelima pemuda itu telah mengikis jarak menuju rumah nenek Mur. Jalanan semakin gelap saat tak ada sinar bulan yang membantu menerangi di samping hanya mengandalkan penerangan dari senter ponsel mereka. Lolongan anjing hutan membuat kelimanya menelan saliva gugup.

Udara pun tak bersahabat setelah hujan tadi hingga membuat mereka berlima harus menahan dingin di sepanjang jalan. Kus berjalan berdempetan dengan Jun, membuat temannya itu menjadi kesal.

Mur sesekali mengarahkan senter pada kebun sawit di sisi kiri dan kanan jalan. Merasa ada yang mengawasi mereka, Mur berbisik pada teman-temannya.

Guys, kita harus jalan cepat-cepat. Tapi tetap harus berdekatan. Aku ngerasa ada bahaya…”

Mendengar itu, Kus kesulitan menelan ludah. Diliriknya Boi. Teman tambunnya itu tampak tidak ketakutan sama sekali. Sementara Mul juga tampaknya tenang-tenang saja, meskipun wajahnya menunjukkan raut waspada seperti Mur.

Hik…”

Suara itu membuat Mur, Mul, Boi, dan lebih-lebih Kus terkejut. Jun beberapa kali mengeluarkan suara seperti cegukan dan tungkainya berhenti melangkah hingga membuat empat lainnya turut menghentikan langkah mereka.

“Jun, nape lu?” Mul menepuk-nepuk pundak Jun.

Kus ingin berteriak rasanya saat Jun mendongak dan menatapnya dengan netra yang tiba-tiba berwarna merah. Beringsut mendekati Boi, tubuh Kus bergetar karena ketakutan.

“Astaga! Jun kerasukan!” Kedua netra Mul terbelalak.

Hik… Hik…” Jun lagi-lagi mengeluarkan suara aneh itu. Menatap satu persatu pada teman-temannya secara bergantian, lantas detik berikutnya ia berlari memasuki kebun sawit yang gelap.

Kus ingin pingsan rasanya. Sementara Mur memutar otak dengan kejadian tiba-tiba yang dialami Jun.

“Ba, bagai, bagaimana kalau kita kembali ke rumah pamanmu? Kit, kita… Kita minta ban…tuan…” ujar Kus masih dengan tubuh gemetaran.

“Kita harus kejar dia! Cepat!” Dan Mul sudah berlari memasuki kebun sawit gelap itu dengan bantuan senternya.

Kus tak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengikuti Boi dan Mur yang telah memasuki kebun sawit. Di tengah cuaca dingin ini tubuh Kus dibanjiri keringat. Jadi karena inilah perasaan Kus tidak enak sejak tadi.

Demi Tuhan Kus tak berani menatap sekeliling lantaran semuanya hitam. Kus takut kalau-kalau dalam kegelapan itu ia melihat makhluk astral dengan bentuk buruk rupa dan jelek. Atau bahkan lebih jelek dari Valak.

“MAMAAAAA!” Mul yang berlari paling depan tersentak saat suara petir memenuhi indra pendengaran mereka. Boi memegangi lengannya, sepertinya anak itu mulai ketakutan.

“Oh, sial. Kemana setan yang merasuki Jun itu membawa tubuh Jun?” Mur mengacak surainya kesal.

Belum sempat mereka memutuskan kemana mencari Jun di tengah kebun sawit itu, barisan air langit kembali tumpah. Keempatnya dengan serta merta berlari mencari tempat berteduh dan jika bisa kembali ke jalan di luar kebun sawit tadi. Tapi gelap membuat mereka berempat malah berputar-putar tak menentu di tengah kebun yang gulita itu.

“Kayaknya itu ada pondok. Ayo kesana guys!” Mur memimpin teman-temannya.

Dengan nafas terengah, mereka memasuki pondok itu yang untungnya pintunya tak terkunci. Mul melepaskan bajunya yang basah kuyup, disusul Boi. Mur berdiri di ambang pintu memperhatikan keadaan diluar, berharap menemukan sosok Jun. Sedang Kus langsung terduduk lemas dengan memeluk kedua lututnya.

“Jun… Gimana caranya kita bisa tolong Jun?” Kus menunduk dalam.

Perasaan bersalah mengahmpiri Mur. Jika saja ia tidak mengajak teman-temannya ke Kayungo pasti tidak akan seperti ini jadinya. Membawa tubuhnya menghampiri Kus, Mur duduk di sisi temannya itu seraya menepuk pelan pundak Kus.

“Maafin aku. Gara-gara aku, Jun jadinya—”

Ucapan Mur terhenti saat pintu itu tertutup sendiri dengan cukup kuat hingga menimbulkan bunyi debuman nyaring. Hujan semakin deras di luar membuat keempatnya duduk berdekatan. Mereka saling bertukar pandang tanpa kata. Selama puluhan sekon mereka saling bersitatap, lantas aroma busuk menyapa indra penciuman mereka. Mur ingat, kata almarhumah neneknya dulu kalau mencium aroma busuk yang aneh seperti itu artinya ada setan jahat di dekat mereka. Tapi tak boleh menyebut-nyebut ada setan agar tidak diganggu.

Memberanikan dirinya, Mur berdiri dan melangkah ke arah pintu. Mencoba membuka pintu tersebut. Namun jantungnya ingin mencelos rasanya ketika pintu itu terkunci dan tak dapat dibuka.

“Pintunya terkunci, Mur??!” Tebak Boi di tengah keremangan sebab yang tersisa hanya senter ponselnya dan Kus. Milik Mul sudah kehabisan baterai.

Anggukan dari Mur membuat tiga kawannya menjadi semakin bergidik ketakutan. Kus sendiri sudah tidak bisa menahan tangisnya. Dan dalam kekalutan itu, petir memperburuk keadaan.

Mur kembali menghampiri teman-temannya. Tubuh mereka berempat telah basah kuyup dan berada di dalam pondok itu sama sekali tidak membantu. Mereka memang terhindar dari guyuran hujan, namun bagian tembok yang renggang membuat udara dingin menelusup dengan leluasa. Gigi-gigi mereka bergemeletuk menahan dingin. Belum lagi perasaan cemas karena Jun yang kerasukan dan menghilang entah kemana. Perasaan mereka berkecamuk tak menentu.

“Kalau begini terus kita bisa kena hipotermia,” Boi melipat lengannya di depan dada. Ia sudah benar-benar kedinginan namun bajunya sama sekali tidak bisa dipakai. Basahnya luar biasa seperti cucian di dalam mesin cuci.

“Teman-teman…” Lirihan Kus membuat ketiga lainnya menatapnya dengan alis bertaut. “Kalau kita cuman berdiam diri, kita bisa mati kedinginan. Gimana… Eum, kalau kita main?”

Mul ingin protes namun ia harus berkemam saat Kus kembali melanjutkan.

“Maksudku kita bermain supaya badan kita tetap panas. Kita main pindah tempat di tiap sudut. Kan pondok ini ada empat sisi, nah tiap orang ambil posisi di setiap sudut. Lalu cara bermainnya adalah dimulai dari aku yang berdiri di salah satu sudut terus berjalan ke sudut lain yang sejajar dengan sudut awalku, terus nyentuh orang yang ada di sudut itu. Orang yang disentuh itu berjalan ke sudut berikutnya dan menyentuh orang yang ada di sudut tersebut. Begitu seterusnya dari sudut ke sudut.”

Mul kembali akan protes namun lambenya terbuka lebar melihat Boi dan Mur langsung menyetujui ide gila Kus sebab keduanya langsung mengambil posisi di tiap sudut. Kus langsung bangkit ke salah satu sudut. Dan Mul mau tak mau berdiri di sudut yang tersisa.

Keempatnya bermain sesuai penjelasan Kus. Meskipun agak membosankan tapi cukup ampuh mengusir dingin lantaran tubuh mereka yang terus bergerak. Hujan di luar sepertinya tak mau berbaik hati untuk berhenti hingga membuat empat pria itu terus melakukan permainan konyol itu.

Mereka tak tahu berapa lama melakukan permainan itu sampai suara ayam hutan berkokok nyaring dan hujan telah berganti dengan gerimis. Mur bergeming membuat kening Boi bertaut saat Mur tidak berpindah posisi ke sudutnya.

“Kenapa Mur?”

Guys. Bukankah permainan ini harusnya dimainkan lima orang? Coba kalian ingat-ingat. Orang di sudut pertama, menyentuh orang di sudut kedua. Orang di sudut kedua menyentuh orang di sudut ketiga. Lalu orang di sudut ketiga menyentuh orang di sudut keempat. Setelah itu orang di sudut keempat menyentuh kembali orang di sudut pertama. Seharusnya di sudut pertama nggak ada orang kan? Karena orang yang di sudut pertama tadi nggak kembali ke sudut awal, tapi diam di sudut kedua.”

Tanpa perlu mencerna lebih dalam lagi ucapan Mur barusan, Boi, Kus, dan Mul sudah mendobrak pintu pondok itu sekuat tenaga. Mur ikut berusaha mendobrak pintu itu dengan tanda tanya besar di kepalanya. Lantas, siapa yang ikut bermain bersama mereka? Jun? Apa iya?

Setelah pintu itu berhasil didobrak paksa, keempatnya serta merta berlari keluar pondok berharap cahaya segera nampak di ufuk timur. Dengan begitu mereka bisa ke luar dari kebun sawit itu dan mencari Jun yang kerasukan.

(Terinspirasi dari Urban Legend, Square)

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar