Pondok
Segi Empat
.
.
(Sumber Gambar: Google Image)
.
.
Penulis:
Aisyah
(@cloudisah_)
.
.
Menjelang senja, Mur dan keempat
kawannya baru tiba di rumah almarhumah nenek Mur di desa Kayungo dan langsung mengunjungi
kediaman ketua RT yang tak lain adalah paman Mur, sekitar dua ratus meter dari
rumah almarhumah nenek Mur. Beliau meminta Mur mengunjunginya sebab sudah
hampir dua tahun Mur tidak bertemu pamannya itu.
Jalanan senja yang remang membuat
kelimanya menyalakan senter dari ponsel mereka. Tidak kelimanya, sih. Sebab ponsel Mur sendiri kehabisan
baterai dan sayangnya listrik di desa Kayungo hanya dialiri listrik saat siang
hari saja. Sementara pada saat malam selalu terjadi pemadaman oleh PLN. Memang
distribusi listrik masih tidak merata untuk masyarakat di pedalaman.
“Duh, kok serem amat ya,” Kus yang
bertubuh paling tinggi diantara kawanannya berjalan paling depan dengan netra
yang menatap awas pada sekeliling. Jalan setapak yang sepi sebab masih tak
banyak rumah penduduk di daerah tersebut. Jarak antar rumahpun sangat jauh.
Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah hamparan kebun kelapa sawit.
“Halah, Kus. Badan doing gede, nyali
sekecil nyamuk,” Mul yang berjalan persis di belakang Kus mendengus sebal.
Kus tak berniat meladeni umpatan Mul
barusan. Tungkainya tetap melangkah memimpin di depan. Sesekali ia terkejut
saat kucing hutan melintas di dekat mereka.
“Ayo buruan, ntar keburu gelap,” Mur
mengingatkan kawan-kawannya.
Boi dan Jun yang sejak tadi hanya diam
turut mengikuti langkah Mur yang kini dipercepat agar segera tiba di rumah
ketua RT. Jingga telah mendominasi sepenuhnya saat mereka berlima tiba di rumah
ketua RT tepat sebelum barisan air langit tiba-tiba menyerbu permukaan.
OoooO
“Mau
keliling kampung dulu nggak?” Usul Jun.
Kelimanya masih bertahan di rumah Paman
Ian—paman Mur—hingga pukul setengah sembilan malam. Dan saat ini mereka tengah
duduk di teras. Terlihat sekali Kus tak nyaman berada di tempat itu.
“Gelap banget, Jun. Kita balik aja yuk,
besok pagi baru kita keliling sekalian lari pagi. Pasti udaranya seger banget,”
usul Mul.
Mur menatap raut Kus yang nampak
khawatir. “Kamu kenapa sih, Kus? Kayak lagi diare aja.”
Menggeleng pelan, Kus menghela nafas
dalam. “Nggak apa-apa. Cuman perasaanku nggak enak aja. Nggak tau kenapa.”
Boi bangkit dari posisinya, menuju sisi
luar teras untuk mengambil sandal. “Balik yuk. Mamaku sudah mewanti-wanti kalo
sudah sampe di Kayungo jangan keluyuran malam. Tahu sendiri kan di daerah ini
masih hutan. Takut kenapa-kenapa aja, sih.”
Merasa usulnya tidak ada yang menerima,
Jun mempoutkan bibirnya. Hal itu membuat Mur dan Mul terkekeh melihatnya. Kus
dengan segera mengikuti Boi.
“Ah, nggak seru nih. Liburan macam apa
ini nggak ada tantangannya… Ckk…” Jun
dengan berat hati menghampiri keempat temannya yang sudah berada di depan
pagar.
Beberapa sekon berikutnya, tungkai
kelima pemuda itu telah mengikis jarak menuju rumah nenek Mur. Jalanan semakin
gelap saat tak ada sinar bulan yang membantu menerangi di samping hanya
mengandalkan penerangan dari senter ponsel mereka. Lolongan anjing hutan
membuat kelimanya menelan saliva
gugup.
Udara pun tak bersahabat setelah hujan
tadi hingga membuat mereka berlima harus menahan dingin di sepanjang jalan. Kus
berjalan berdempetan dengan Jun, membuat temannya itu menjadi kesal.
Mur sesekali mengarahkan senter pada
kebun sawit di sisi kiri dan kanan jalan. Merasa ada yang mengawasi mereka, Mur
berbisik pada teman-temannya.
“Guys,
kita harus jalan cepat-cepat. Tapi tetap harus berdekatan. Aku ngerasa ada
bahaya…”
Mendengar itu, Kus kesulitan menelan
ludah. Diliriknya Boi. Teman tambunnya itu tampak tidak ketakutan sama sekali. Sementara
Mul juga tampaknya tenang-tenang saja, meskipun wajahnya menunjukkan raut
waspada seperti Mur.
“Hik…”
Suara itu membuat Mur, Mul, Boi, dan
lebih-lebih Kus terkejut. Jun beberapa kali mengeluarkan suara seperti cegukan dan
tungkainya berhenti melangkah hingga membuat empat lainnya turut menghentikan
langkah mereka.
“Jun, nape lu?” Mul menepuk-nepuk pundak Jun.
Kus ingin berteriak rasanya saat Jun
mendongak dan menatapnya dengan netra yang tiba-tiba berwarna merah. Beringsut
mendekati Boi, tubuh Kus bergetar karena ketakutan.
“Astaga! Jun kerasukan!” Kedua netra
Mul terbelalak.
“Hik…
Hik…” Jun lagi-lagi mengeluarkan suara aneh itu. Menatap satu persatu pada
teman-temannya secara bergantian, lantas detik berikutnya ia berlari memasuki
kebun sawit yang gelap.
Kus ingin pingsan rasanya. Sementara
Mur memutar otak dengan kejadian tiba-tiba yang dialami Jun.
“Ba, bagai, bagaimana kalau kita
kembali ke rumah pamanmu? Kit, kita… Kita minta ban…tuan…” ujar Kus masih
dengan tubuh gemetaran.
“Kita harus kejar dia! Cepat!” Dan Mul
sudah berlari memasuki kebun sawit gelap itu dengan bantuan senternya.
Kus tak bisa berbuat apa-apa lagi
selain mengikuti Boi dan Mur yang telah memasuki kebun sawit. Di tengah cuaca
dingin ini tubuh Kus dibanjiri keringat. Jadi karena inilah perasaan Kus tidak
enak sejak tadi.
Demi Tuhan Kus tak berani menatap sekeliling
lantaran semuanya hitam. Kus takut kalau-kalau dalam kegelapan itu ia melihat
makhluk astral dengan bentuk buruk rupa dan jelek. Atau bahkan lebih jelek dari
Valak.
“MAMAAAAA!” Mul yang berlari paling
depan tersentak saat suara petir memenuhi indra pendengaran mereka. Boi
memegangi lengannya, sepertinya anak itu mulai ketakutan.
“Oh, sial. Kemana setan yang merasuki
Jun itu membawa tubuh Jun?” Mur mengacak surainya kesal.
Belum sempat mereka memutuskan kemana
mencari Jun di tengah kebun sawit itu, barisan air langit kembali tumpah.
Keempatnya dengan serta merta berlari mencari tempat berteduh dan jika bisa
kembali ke jalan di luar kebun sawit tadi. Tapi gelap membuat mereka berempat
malah berputar-putar tak menentu di tengah kebun yang gulita itu.
“Kayaknya itu ada pondok. Ayo kesana guys!” Mur memimpin teman-temannya.
Dengan nafas terengah, mereka memasuki
pondok itu yang untungnya pintunya tak terkunci. Mul melepaskan bajunya yang
basah kuyup, disusul Boi. Mur berdiri di ambang pintu memperhatikan keadaan
diluar, berharap menemukan sosok Jun. Sedang Kus langsung terduduk lemas dengan
memeluk kedua lututnya.
“Jun… Gimana caranya kita bisa tolong
Jun?” Kus menunduk dalam.
Perasaan bersalah mengahmpiri Mur. Jika
saja ia tidak mengajak teman-temannya ke Kayungo pasti tidak akan seperti ini
jadinya. Membawa tubuhnya menghampiri Kus, Mur duduk di sisi temannya itu
seraya menepuk pelan pundak Kus.
“Maafin aku. Gara-gara aku, Jun
jadinya—”
Ucapan Mur terhenti saat pintu itu
tertutup sendiri dengan cukup kuat hingga menimbulkan bunyi debuman nyaring.
Hujan semakin deras di luar membuat keempatnya duduk berdekatan. Mereka saling
bertukar pandang tanpa kata. Selama puluhan sekon mereka saling bersitatap,
lantas aroma busuk menyapa indra penciuman mereka. Mur ingat, kata almarhumah
neneknya dulu kalau mencium aroma busuk yang aneh seperti itu artinya ada setan
jahat di dekat mereka. Tapi tak boleh menyebut-nyebut ada setan agar tidak
diganggu.
Memberanikan dirinya, Mur berdiri dan
melangkah ke arah pintu. Mencoba membuka pintu tersebut. Namun jantungnya ingin
mencelos rasanya ketika pintu itu terkunci dan tak dapat dibuka.
“Pintunya terkunci, Mur??!” Tebak Boi
di tengah keremangan sebab yang tersisa hanya senter ponselnya dan Kus. Milik
Mul sudah kehabisan baterai.
Anggukan dari Mur membuat tiga kawannya
menjadi semakin bergidik ketakutan. Kus sendiri sudah tidak bisa menahan
tangisnya. Dan dalam kekalutan itu, petir memperburuk keadaan.
Mur kembali menghampiri teman-temannya.
Tubuh mereka berempat telah basah kuyup dan berada di dalam pondok itu sama
sekali tidak membantu. Mereka memang terhindar dari guyuran hujan, namun bagian
tembok yang renggang membuat udara dingin menelusup dengan leluasa. Gigi-gigi
mereka bergemeletuk menahan dingin. Belum lagi perasaan cemas karena Jun yang
kerasukan dan menghilang entah kemana. Perasaan mereka berkecamuk tak menentu.
“Kalau begini terus kita bisa kena hipotermia,”
Boi melipat lengannya di depan dada. Ia sudah benar-benar kedinginan namun
bajunya sama sekali tidak bisa dipakai. Basahnya luar biasa seperti cucian di
dalam mesin cuci.
“Teman-teman…” Lirihan Kus membuat
ketiga lainnya menatapnya dengan alis bertaut. “Kalau kita cuman berdiam diri,
kita bisa mati kedinginan. Gimana… Eum,
kalau kita main?”
Mul ingin protes namun ia harus
berkemam saat Kus kembali melanjutkan.
“Maksudku kita bermain supaya badan
kita tetap panas. Kita main pindah tempat di tiap sudut. Kan pondok ini ada
empat sisi, nah tiap orang ambil posisi di setiap sudut. Lalu cara bermainnya
adalah dimulai dari aku yang berdiri di salah satu sudut terus berjalan ke sudut
lain yang sejajar dengan sudut awalku, terus nyentuh orang yang ada di sudut
itu. Orang yang disentuh itu berjalan ke sudut berikutnya dan menyentuh orang
yang ada di sudut tersebut. Begitu seterusnya dari sudut ke sudut.”
Mul kembali akan
protes namun lambenya terbuka lebar melihat Boi dan Mur langsung menyetujui ide
gila Kus sebab keduanya langsung mengambil posisi di tiap sudut. Kus langsung
bangkit ke salah satu sudut. Dan Mul mau tak mau berdiri di sudut yang tersisa.
Keempatnya bermain
sesuai penjelasan Kus. Meskipun agak membosankan tapi cukup ampuh mengusir
dingin lantaran tubuh mereka yang terus bergerak. Hujan di luar sepertinya tak
mau berbaik hati untuk berhenti hingga membuat empat pria itu terus melakukan
permainan konyol itu.
Mereka tak tahu
berapa lama melakukan permainan itu sampai suara ayam hutan berkokok nyaring
dan hujan telah berganti dengan gerimis. Mur bergeming membuat kening Boi
bertaut saat Mur tidak berpindah posisi ke sudutnya.
“Kenapa Mur?”
“Guys. Bukankah permainan ini harusnya dimainkan lima orang? Coba
kalian ingat-ingat. Orang di sudut pertama, menyentuh orang di sudut kedua.
Orang di sudut kedua menyentuh orang di sudut ketiga. Lalu orang di sudut
ketiga menyentuh orang di sudut keempat. Setelah itu orang di sudut keempat
menyentuh kembali orang di sudut pertama. Seharusnya di sudut pertama nggak ada
orang kan? Karena orang yang di sudut pertama tadi nggak kembali ke sudut awal,
tapi diam di sudut kedua.”
Tanpa perlu mencerna lebih dalam lagi
ucapan Mur barusan, Boi, Kus, dan Mul sudah mendobrak pintu pondok itu sekuat
tenaga. Mur ikut berusaha mendobrak pintu itu dengan tanda tanya besar di
kepalanya. Lantas, siapa yang ikut bermain bersama mereka? Jun? Apa iya?
Setelah pintu itu berhasil didobrak
paksa, keempatnya serta merta berlari keluar pondok berharap cahaya segera
nampak di ufuk timur. Dengan begitu mereka bisa ke luar dari kebun sawit itu
dan mencari Jun yang kerasukan.
(Terinspirasi dari Urban Legend, Square)
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar